Kamis, 15 Januari 2009

Seorang Penganggur

“Orang yang sibuk dan menyibukkan diri itu berbeda” kata seorang rekan. Yang pertama benar-benar disibukkan oleh aktivitas-aktivitasnya dalam bekerja dan yang kedua orang yang mencari-cari pekerjaan untuk mengisi banyak waktunya yang terbuang alias tidak bekerja atau pengangguran.
“Dulu”, lanjutnya, selepas sekolah menengah atas saya pernah bimbang. Mau bekerja dulu atau melanjutkan kuliah. Alasannya, jika bekerja tentu dapat menabung dari penghasilan, membantu orang tua dan keluarga lainnya, disamping itu juga uangnya dapat digunakan untuk melanjutkan kuliah. Namun sayang masih terdapat kekurangan, yakni pengetahuan saya hanya sebatas itu-itu saja dan sulit dapat berkembang, jabatan juga susah naiknya, jadi dewasa juga susah, ya karena itu tadi ilmu pengetahuan yang tidak bertambah, tentunya dalam berbagai hal” lanjutnya. “Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah disebuah sekolah tinggi swasta di Malang, pada jurusan ekonomi dengan harapan akan mudah mendapatkan pekerjaan setelah kuliah saya selesai, dengan menggunakan gelar kesarjanaan, peningkatan karir disamping pola pikir akan jadi lebih dewasa, kata kakak ku”.
Karikatur ini sebenarnya merupakan penjabaran dari kisah seorang rekan yang ia utarakan dalam waktu yang tidak luang, karena memang ia juga berkeinginan kisahnya ditulis, “untuk bagi-bagi pengalaman” katanya. Dengan menulis kisahnya, selanjutnya membaca tulisan ini, setidaknya sedikit beratnya beban psikologis yang ia rasakan dapat terkurangi. Di samping itu agar para pembaca juga mengetahui, mengerti, memaklumi, syukur-syukur mau menawarkan pekerjaan bagi mereka yang memiliki perusahaan, instansi atau memiliki posisi dan jabatan tinggi, lanjutnya.
Setelah menyelesaikan gelar kesarjanaannya (S1) rekan saya tersebut mencoba menawarkan selembar ijazah dan transkrip nilai yang telah ia peroleh dan dibekali dengan persyaratan melamar pekerjaan lainnya. Kata seorang teman sesama pencari kerja, lanjutnya “lamaran kerja dimasukkan saja keberbagai instansi atau perusahaan, siapa tahu ada yang nyangkut, ibarat memancing, semakin banyak umpan yang kita lepas, kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin besar”. Berselang beberapa bulan, dari salah satu perusahaan yang cukup ternama “high class” di Indonesia rekan saya tersebut memperoleh panggilan, tanpa pikir panjang seluruh tes ia ikuti. Mulai dari tes administratif, tes pengetahuan umum dan psikotes hingga tes wawancara akhir. Dan sayang dalam tes wawancara akhir inilah ia tidak terjaring alias tidak masuk nominasi. “tapi mau bilang apa” lanjutnya, “perusahaan tentu memiliki standar sendiri dalam menentukan kualifikasi calon Sumber Daya Manusianya”.
Setiba dirumah ia kembali berfikir sambil melakukan evaluasi terhadap apa yang telah ia jalani. ‘’saya positif thinking saja” katanya. “Syukur-syukur ijazah S1 saya masuk nominasi, meski tidak berhasil, artinya ia laku ditawarkan, hal ini setidaknya sudah membuat saya bersyukur dan berbesar hati” lanjutnya. Padahal jika dihitung-hitung telah berapa ribu rupiah uang yang telah ia keluarkan untuk meng-copy, melegalisir ijazah dan transkrip, belum lagi persyaratan-persyaratan administratif lainnya dalam mengajukan surat lamaran, itu hanya untuk satu perusahaan saja. Ditambah ongkos kirim dan biaya transportasi yang tidak pernah ia perhitungkan.
Dua bulan berikutnya, panggilan kedua datang dari sebuah bank swasta nasional. “lumayan jika berhasil masuk nominasi dalam industri perbankan nasional, bayangkan namanya juga lembaga perbankan, tempat hilir mudiknya lalu lintas keuangan dinegeri ini” katanya antusias. Namun sayang saat tes pertama untuk pengetahuan umum, rekan saya tidak semangat, padahal ia sangat antusias sekali mengikuti tes tersebut, alasannya yang melakukan tes jumlahnya ribuan orang dan yang akan masuk nominasi hanya lima orang, tidak itu saja jelasnya, para pelamar datang dari beragam kalangan, beragam disiplin ilmu, beragam umur dan beragam profesi. “Terang saja hal tersebut membuatku sedikit agak colleps dalam menjawab soal”, katanya.
Setelah tes wawancara awal dan psikotes, rekan saya tidak mendapat panggilan lagi untuk mengikuti seleksi berikutnya, setelah dua minggu menunggu ternyata benar, panggilan yang ia harapkan tak kunjung tiba, dengan sedikit pasrah ia berkata “yang penting saya sudah berusaha, masalah hasil Tuhan yang nentukan” katanya menerima keadaan.
Sejenak ia terdiam lalu ia kembali menjelaskan, bahwa saat ini terdapat 11,6 juta penduduk menganggur dinegeri ini, angka itu menunjukkan jumlah pengangguran terbuka, 30 juta orang tergolong setengah menganggur. Dan 36 juta penduduk berpendapatan dibawah Rp. 150.000,- perbulan dari jumlah total angkatan kerja sebesar 106,9 juta jiwa dinegeri ini. Separuh angkatan kerja yang ada berpendidikan sebatas sekolah dasar (SD) atau bahkan tidak tamat SD. Dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, sekitar 70% warga terhitung bekerja pun hanya dapat menggeluti sektor informal yang berproduktivitas rendah, antara lain usaha rumah tangga dan pedagang kaki lima.
Pengembangan industri yang tidak mengarah pada padat pekerja antara lain tampak pada rasio pertumbuhan ekonomi dengan penciptaan lapangan kerja. Tahun 2005 hanya terjadi 178.000 kesempatan kerja baru per satu persen pertumbuhan. Padahal hingga pertengahan 1990-an, 300.000 – 400.000 kesempatan kerja baru dapat diciptakan tiap satu persen pertumbuhan. Hal ini tentu menunjukkan jika industri yang dikembangkan lebih padat modal jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Sementara itu penentuan upah menjadi isu perburuhan yang sangat alot, terlebih lagi upah minimum ditetapkan ditingkat Propinsi dan kabupaten. Kemudian ditetapkan pula upah minimum per sektor. Pola pengupahan seperti ini tentunya mengakibatkan distorsi. Terang saja, karena ia menyoroti nasib pencari kerja di Indonesia, segala hal yang terkait dengan kebijakan itu, seputar isu perburuhan, jam kerja, upah minimum dan sejenisnya menjadi semakin nampak menarik untuk dikaji dan dibahas.
Setelah berminggu-minggu rekan saya menunggu panggilan kerja yang tidak kunjung datang, sembari duduk-duduk dibendara rumah. Ia bertanya tentang apa yang dapat ia perbuat ditengah himpitan hidup yang makin hebat, sembari mengevaluasi dan mencoba menangkap peluang, lanjutnya. Secara karakter building, rekan saya mengatakan bahwa ia cukup berprosfek, memiliki kebiasaan yang positif, tamat sarjana, memiliki kompetensi dan kecakapan dalam bekerja dan senang bekerja tim. “jika demikian mengapa saat ini anda masih tetap menganggur?” tanyaku. Jawabannya sederhana, menurutnya karena saat ini ia tidak memiliki uang untuk menyogok, paling tidak untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS), kedua, tidak dapat melakukan nepotisme dikarenakan ia tidak memiliki keluarga yang menduduki jabatan strategis baik secara struktural maupun fungsional dalam jajaran atau instansi pemerintahan atau swasta. Ketiga karena kejujuran. Menurut penjelasannya hal tersebut merugikan, dan menyebabkan banyak orang yang tidak suka, apalagi dalam dunia bisnis. Keempat, karena kita masih harus banyak belajar, terangnya, sambil tersenyum mencibir. Benarkah?
“Jika mempelajari jaringan kerja yang ada, meskinya ia positif, dapat aktif dan efesien”, lanjutnya. “Namun sayang ia hanya diperuntukkan bagi mereka yang berani membayar mahal saja. Bursa kerja juga demikian, terkadang ia sangat tidak nyaman dan dalam lingkup yang terbatas, disamping biaya yang relatif mahal. Bursa kerja hanya banyak dilakukan di kota-kota besar saja, tidak didaerah-daerah, hal tersebut setidaknya juga turut andil dalam proses besar terjadinya urbanisasi besar-besaran ke daerah perkotaan”. Sebenarnya bisa, katanya, sambil menjelaskan bahwa untuk meningkatkan kesempatan kerja tak bisa disangkal adalah melalui UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Data dari Bank Indonesia menunjukkan lebih dari 40 juta jiwa dari 210 juta lebih penduduk Indonesia menggantungkan harapan pada usaha kecil dan menengah. Lebih dari 3 juta UKM yang ada mencerminkan 96% dari total unit bisnis merefleksikan betapa UKM memang bisa menjadi tulang punggung perekonomian negeri ini.
Persoalannya, bagaimana UKM bisa menemukan lahan subur? Selama ini, program pemerintah untuk mewajibkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk menyisihkan 1 hingga 3 % keuntungannya guna pemberdayaan UKM kurang bekerja maksimal. Dari kacamata BUMN, pekerjaan ini mengurangi fokus mereka terhadap core bisnis. Disamping pembinaan UKM menjadi terkapling-kapling menurut kepentingan BUMN yang bersangkutan. Sebenarnya akan lebih berdaya, jika dana tersebut di pool kan oleh, katakanlah semacam badan khusus yang nantinya akan mengelola dana prioritas tertentu. Dengan demikian dana dari 158 lebih BUMN terjamin akan lebih terarah. Porsi UKM yang diberdayakan juga akan jelas, bukan lagi berdasarkan ego sektoral masing-masing BUMN, namun pengembangannya lebih didasarkan pada potensi UKM dengan kekuatan riilnya dalam membuka lahan untuk para pencari kerja.
Dilengangnya suasana malam, rekan saya masih menjelaskan bahwa perhatian terhadap nasib para pencari kerja ternyata hanya masih sebatas lipstick politik saja, hanya di atas kertas. Hingga saat ini jumlah pencari kerja tidak pernah berkurang, malah makin bertambah. Angka pengangguran di Indonesia untuk tahun 2005 ternyata cukup mencengangkan yakni mencapai sekitar 10,8 juta jiwa. Tahun 2006 hingga awal tahun 2007 diperkirakan akan menjadi titik balik pertumbuhan angka pengangguran tersebut. Relativitas jumlah penganggur yang saat itu 10,3 % pada akhir tahun 2009 diharapkan akan dapat ditekan hingga di bawah 6 % oleh pemerintah (Kompas, 28/01/2006).
Jumlah tersebut tentunya mengindikasikan kesenjangan antara jumlah tenaga kerja dengan tersedianya lapangan kerja. Menurut Sekjen Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi jumlah pengangguran tersebut didominasi oleh lulusan SLTP dan SLTA yakni sebesar 61% sedangkan lulusan SD kebawah sebesar 30% dan sisanya sebesar 7% yakni mereka yang mengantongi lulusan Perguruan Tinggi. Sedangkan dari setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya tercipta sekitar 200.000 kesempatan kerja baru. Jika dipridiksikan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 5% per tahun maka terdapat hanya sejitar 1 juta kesempatan kerja baru, ironisnya pertumbuhan tenaga kerja baru tiap tahunnya mencapai 2,5 juta jiwa.
Solusinya, seyogyanya dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya pemerintah menerapkan kebijakan yang ‘memihak’ pada kelompok yang marginal melalui perlindungan terhadap pengusaha kecil dan menengah dari dominasi perilaku ekonomi monopolistic. Peningkatan perluasan dan mempermudah perkreditan atau pembiayaan di industri permodalan lain yang lebih kondusif perlu ditinjau kembali. Selain itu program penanggulangan pengangguran, keterbelakangan, tingkat pendidikan yang rendah perlu dilengkapi dengan kebijakan-kebijakan “tindakan turun tangan” yang tentunya hal ini memiliki dampak strategis yang luas dan berjangka panjang. Jelasnya.
Namun tetap saja kita yang akan memberi arti, pada derap dan langkah kita, ujarnya. Karena menurutnya, ia tidak sendiri selaku pencari kerja, dan sayangnya dikebeliaan usinya, dan dimassa-massa produktivitasnya dalam menggeluti dunia kerja ia tidak dilibatkan. Belum ada kebijakan pemerintah untuk mempercepat proses pensiun bagi pegawai pemerintah yang sudah tidak produktif lagi, katanya. Dan bulan malam hanya tersenyum mendengarkan dialog kami. Malam itu.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id