Selasa, 06 Januari 2009

Mengawali Dengan Pendidikan


Pendidikan merupakan hal yang penting dalam kerangka humanisasi dan pemberdayaan, karena ia terkait dengan upaya membangun sejarah dan peradaban yang lebih baik di masa yang akan datang. Dulu ketika para tokoh reformasi awal berhasil mengawali arah baru politik di Indonesia yang lebih kita kenal dengan era reformasi hingga melalui sebuah pemilihan umum langsung yang lebih legitimate dari pemilu sebelumnya dengan naiknya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Republik Indonesia.
Demikian halnya didaerah-daerah, tak terkecuali di Kabupaten Lombok Tengah, salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Barat, setelah melalui pemilihan kepala daerah yang digelar secara langsung untuk pertama kalinya berhasil menempatkan pasangan Lalu Wiraatmadja dan Lalu Wira Supritno sebagai Bupati dan Wakil Bupati untuk periode 2005-2009. kiranya tidak salah bagi kita warga Negara yang percaya dan meyakini bahwa segala perubahan hendaknya dimulai dari revolusi dibidang pendidikan dan pengetahuan. Untuk mengingat kembali penghargaan Handayani Award yang diperoleh daerah ini yang telah konsen terhadap dunia pendidikan semasa kepemimpinan H. Lalu Suhaimi, yang dengannya selaku warga kitapun berharap agar hal tersebut lebih dapat ditingkatkan dan untuk tidak diakhiri dimimbar politik yang retoris dan hilang tanpa bekas.
Setidaknya dengan harapan itu kita berani memulai sebuah tradisi baru, dari pemerintahan baru, dengan platform beleidnya pada persoalan pendidikan dan peningkatan kecerdasaan dalam makna yang lebih luas dan tidak melulu dengan persoalan degup mutasi kabinetnya.
Bangsa dan Negara yang besar dengan karakter dan teknologinya dengan jelas telah mengajarkan pada kita bahwa segala bentuk perubahan baik itu sosial, politik, ekonomi dan budaya serta harapan akan lahirnya suatu masa gemilang, haruslah berangkat dan lahir dari perhatian yang intens dan serius tentang upaya mencerdaskan bangsa dengan segala kebijakan yang memihak ke arah itu. Pendidikan.
Kita juga banyak belajar dari zaman renasaince di Eropa, politik restorasi di Jepang dan revolusi Islam di Iran. Kini dengan itu Negara-negara tersebut telah dapat mengelola pendidikan yang gratis bagi rakyatnya dan melakukan kebijakan-kebijakan politik yang lebih intens dan serius dalam upaya menaikkan harkat dan martabat kesempurnaan rakyatnya lewat pendidikan, subsidi harga buku dengan harga yang murah dan terjangkau. Memang kemajuan disegala bidang merupakan salah satu tujuan utama pembangunan, namun hal tersebut akan sangat disayangkan jika tidak didukung dengan kesiapan paripurna Sumber Daya Manusianya. Jika dikaji lebih dalam selaku warga masyarakat setidaknya kita juga turut mempersiapkan Sumber Daya Manusianya, namun tetap akan terasa janggal jika justru yang menjadi focus perhatian justru bukan pada sektor pendidikan dan ilmu pengetahuan, namun lebih pada bidang lain. Mengapa malah kesepakatan para anggota dewan yang terhormat terhadap pembangunan mega proyek Bandara Internasional Lombok Baru?
Andai saja kita siap untuk itu? Apakah kita dengan arif telah memikirkan plus minus pembangunan tersebut. Andai pun hal tersebut terealisir, telah siapkah Sumber Daya Manusia didaerah kita untuk menempati posisi strategis? Alih-alih posisi startegis, jangan-jangan malah hanya akan menjadi kuli didaerah sendiri. Akibatnya kepentingan-kepentingan rakyat yang terkait pelayan publik diabaikan, semisal pendidikan, kesehatan dan lainnya. Belum lagi dampaknya terhadap lahan pertanian yang tidak dikembangkan yang mengakibatkan daerah ini harus memasok beras dari daerah lain dan para petani kita tidak lagi dapat menanam atau membiarkan apa yang ditunjukkan oleh tanah dan tidak pula untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dari hasil pertanian dan lahan mereka dan akibatnya kita tidak perlu heran jikalau anak-anak kita yang sedang dalam masa pertumbuhannya akan selalu mengkonsumsi dan mempercayai bahwa makanan yang mereka makan selalu berasal dari rak-rak minimarket atau megahnya super market.
Akankah sebuah kemajuan akan selalu kita artikan dengan makna laju pertumbuhan dengan angka-angka kuantitatif yang tidak menyentuh kebutuhan mendasar rakyat, jangan-jangan hal tersebut malah akan melahirkan manusia-manusia daerah yang “ber otak desa body kota” yang melupakan adat dan budaya dan mengenyampingkan kemurnian niali-nilai yang telah berakar dan diyakini keluhurannya. Nampaknya benar apa yang dikatakan Pritjof Chapra dalam bukunya Titik Balik Peradaban bahwa karakteristik yang paling menonjol dari perekonomian dewasa ini adalah adanya obsesi dengan pertumbuhan yang selalu dipandang sebagai sesuatu yang esensial, baik oleh ahli ekonomi maupun politisi. Meskipun seharusnya telah cukup jelas bahwa perluasan yang tak terbatas dalam suatu lingkungan yang terbatas hanya akan menimbulkan malapetaka.
Sepertinya kepercayaan pada pentingnya pertumbuhan terus menerus merupakan suatu konsekuensi dari penekanan yang terlalu banyak pada nilai-nilai perluasan itu sendiri, penonjolan diri atau kekuasaan ataupun kompetisi yang berlebihan. Hal tersebut tampaknya merupakan refleksi dari pola pemikiran linear, cerminan dari suatu kepercayaan yang keliru bahwa jika sesuatu itu baik bagi suatu individu atau kelompok maka semakin banyak sesuatu itu akan semakin baik, benarkah demikian adanya?
Tapi untuk apa menyesali, toh kini hal itu telah dimulai. Nasi telah jadi bubur. Yang dapat rakyat harapkan dari para pemimpinnya adalah tidak terulangnya kesalahan yang telah dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, arogansi kekuasaan, ingin menang sendiri, tidak boleh beda pendapat, anti kritik dan refresif. Siapa berani menguak kebijakannya walaupun sebenarnya memang tidak bijak. Berbagai pasal dan perda telah disiapkan untuk membekuk. Kalau sudah begini maka –meminjam istilah Rhoma Irama- yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Mereka yang sudah besar makin besar karena diuntungkan, sementara yang kecil makin terjerembab karena selalu di eksploitasi.
Karena rakyat juga banyak belajar bahwa sebuah tirani selalu bermula dari sana, saat sebuah kelompok, orang atau rezim kehilangan respek dan penghargaannya kepada orang lain, kelompok lain yang dengannya menyebabkan persepsi beralih ke dalam diri dan memandang dengan persfektif sang Aku, dan dengannya menganggap wilayah luar sebagai sesuatu yang terpisah dari sang aku. Hal tersebut berarti keadaan tersebut tidak layak bahkan mengancam. Hal itulah yang dapat menciptakan sebuah kekuasaan yang melegitimasi.
Akhirnya, selaku warga kita juga menyadari bahwa setiap bangsa yang maju adalah berbanding lurus dengan bagaimana bangsa tersebut memperhatikan dan mengurus kecerdasan dan pendidikan rakyatnya. Boleh jadi ketidakteraturan yang ada selama ini bertitik tolak karena kita lebih sering mengabaikan upaya nyata yakni setiap usaha mengurus bangsa adalah hanya membawa dan menghantarkan bangsa tersebut dalam kesempurnaan evolusi dan kecerdasannya, akan tetapi kecerdasan dan pendidikan yang baik akan membawa kepada rakyat akan memilih sendiri mana yang baik dan memiliki harapan untuk membawa mereka pada kualitas hidup yang lebih baik.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id