Akad Bernama
Pengantar
Yang dimaksud dengan akad bernama ialah akad yang telah ditentukan namanya oleh Pembuat Hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain. Para fukaha tidak sepakat tentang jumlah akad bernama, bahkan mereka pun tidak membuat penyusunan sistematis tentang urutan-urutan akad itu. Bila kita mengambil al-Kasani (w. 587/1190) sebagai contoh dalam karya fikihnya, kita dapati akad bernama itu meliputi sebagai berikut : 1) sewa menyewa (al-Ijarah), 2) penempaan (al-Istishna’), 3) jual beli (al-Bai’), 4) penangguhan (al-Kafalah), 5) pemindahan utang (al-Hiwalah), 6) pemberian kuasa (al-Wakalah), 7) perdamaian (ash-Shulh) 8) persekutuan (asy-Syirkah), 9) bagi hasil (al-Mudharabah), 10) hibah (al-Hibah), 11) pemeliharaan tanaman (al-Musaqah), 12) gadai (ar-Rahn), 13) penggarapan tanah (al-Muzara’ah), 14) Penitipan (al-Wadi’ah), 15) pinjam pakai (al-‘Ariyah), 16) pembagian (al-Qismah), 17) wasiat-wasiat (al-wasaya), 18) perutangan (al-Qardh).
Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al Islami wa Adillatuh menyebutkan 13 akad bernama. Hanya saja ia kurang konsisten karena memasukkan jualah (janji memberi hadiah/imbalan) yang merupakan kehendak sepihak dalam daftar akad yang ia kemukakan. Padahal ia sendiri menegaskan bahwa yang ia maksud dengan akad dalam npembahasan tentang asas-asas umum akad adalah tindakan hukum berdasarkan kehendak dua pihak. Dan menyatakan ju’alah sebagai kehendak sepihak. Ketiga belas akad bernama dimaksud ialah : jual beli (al-Bai’), perutangan (al-Qardh), sewa menyewa (al-Ijarah), jualah (al-jualah, sayembara), persekutuan (asy-Syirkah), hibah (al-Hibah), penitipan (al-ida’), pinjam pakai (al-I’arah), pemberian kuasa (al-Wakalah), penangguhan (al-Kafalah), pemindahan utang (al-Hiwalah), gadai (ar-Rahn), perdamaian (ash-shulh)
Ahli hukum klasik lainnya menyebutkan beberapa jenis akad lain lagi sehingga secara keseluruhan menurut perhitungan az-Zarqa’ mencapai 25 jenis akad. Perlu dicatat juga bahwa aneka ragam akad bernama yang disebutkan az-Zarqa’ mencakup kehendak sepihak seperti wasiat, akad diluar lapangan hukum harta kekayaan seperti nikah atau bagaian dari suatu akad seperti pemberian hak pakai rumah yang merupakan bagian dari hibah.
Macam-Macam Akad Bernama
Berikut penjkelasan beberapa diantara akad bernama tersebut :
Jual Beli (al-Bai’)
Definisi
Jual beli (al-Bai’) menurut bahasa berarti menjual, mengganti, menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan definisi yang diberikan menurut ulama mazhab Hanafi ada dua yakni pertama, saling menukar harta dengan harta melalui cara-cara tertentu. Kedua, tukar menukar sesuatu yang dimiliki dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali didefinisikan sebagai saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.
Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli disyariatkan dalail-dalil Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw misalnya sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Al Baqarah ayat 198, dan Q.S. 4 ayat 29. Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 275 yang artinya “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Rasulullah saw melakukan aktivitas jual beli dan bersabda “Orang kota tidak boleh menjuual untuk orang desa” selain itu sabda Beliau “Pembeli dan penjual mempunyai pilihan selagi keduanya belum berpisah” (Muttafaq Alaih).
Selain itu Hadis Rasulullah saw dari Rifa’ah bin Rafi’ al Bazzar dan al Hakim menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda ketika ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) yang paling baik, Beliau menjawab “usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati”
Hikmah Jual Beli
Hikmah disyariatkannya jual beli ialah seorang muslim bisa mendapatkan apa yangh dibutuhkannya dengan sesuatu yang ada ditangan saudaranya tanpa kesulitan yangberarti.
Rukun dan syarat-Syarat Jual Beli
Menurut Mazhab Hanafi syarat jual beli adalah adanya ijab dan qabul dan rukun jual beli adalah adanya kerelaan kedua belah pihak. Sedangkan menurut Jumhur Ulama rukun dan syarat jual beli adalah adanya orang-orang yang berakad, sigat, barang yang dibeli dan nilai tukar pengganti. Sedangkan menurut ulama mazhab Hanafi orang yang berakad, barang yang dibeli dan nilai tukar barang termasuk dalam syarat jual beli bukan rukun.
Adapun syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas adalah sebagai berikut berikut :
Syarat orang yang berakad yakni berakal dan orang yang melakukan akad adalah orang yang berbeda, artinya seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli.
Syarat yang terkait dengan iajab qabul adalah kerelaan kedua belah pihak hal ini sesuai dengan kesepakatan ulama fiqh. Ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab qabul adalah orang yang telah akil baligh, qabul sesuai dengan ijab dan ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis
Syarat barang yang diperjual belikan yakni barang itu ada, dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia, milik seseorang dan dapat diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati ketika transaksi berlangsung dan syarat nilai tukar atau harga barang.
Menurut ulama fikih syarat-syarat sah jual beli adalah :
Jual beli terhindar dari cacat seperti kriteria barang yang diperjualbelikan itu tidak diketahui baik jenisnya, kualitas, kuantitasnya, jual beli mengandung unsur paksa, tipuan, mudarat dan lainnya.
Jika barang yang diperjualbelikan bergerak maka barang itu bisa langsung dikuasai pembeli dan harga barang dikuasai penjual adapun barang tidak bergerak bisa dikuasai setelah surat menyurat diselesaikan.
Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual beli. Jual beli baru bisa dilaksanakan apabila yang berakad tersebut punya kekuasaan untuk melakukan jual beli.
Sedangkan menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, rukun jual beli adalah seperti berikut :
Penjual. Ia harus memiliki barang yang dijualnya atau mendapatkan izin untuk menjualnya, dan sehat akalnya.
Pembeli. Ia disyaratkan diperbolehkan bertindak dalam arti ia bukan orang yang kurang waras, atau bukan anak kecil yang tidak mempunyai izin untuk membeli.
Barang yang dijual. Barang yang dijual harus merupakan yang halal yang diperbolehkan dijual, bersih, bisa diserahkan kepada pembeli dan bisa diketahui pembeli meskipun hanya dengan ciri-cirinya.
Bahasa akad, yaitu ijab dan qabul.
Kerelaan kedua belah pihak. Jadi jual beli tidak sah dengan ketidakrelaan salah satu pihak.
Bentuk-bentuk jual beli.
Ulama mazhab Hanafi membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi :
Jual beli sahih yakni jika jual beli itu disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, barang yang diperjualbelikan bukan milik orang lain dan tidak terkait dengan hak khiyar lagi.
Jual beli yang bathil yakni jika jual beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi atau jual beli itu dasar dan sifatnya tidak disyariatkan. Misalnya jual beli sesuatu yang tidak ada, menjual barang yang tidak bisa diserahkan kepada pembeli, jual beli yang mengandung unsur penipuan, jual beli benda najis dan lainnya.
Jual beli fasid yakni apabila kerusakan pada jual beli jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki. Yang termasuk jual beli fasid yakni jual beli al-majhul yakni jual beli dimana barangnya secara global tidak diketahui atau ketidakjelasannya bersifat total, jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat dan jual beli barang yang tidak ada ditempat atau tidak dapat diserahkan pada saat jual beli berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli. Jual beli yang dilakukan oleh orang buta juga termasuk jual beli fasid, jual beli dengan barter harga yang diharamkan dan lainnya.
Jual beli dalam bentuk khusus diantaranya :
Jaul beli murabahah (jual beli diatas harga pokok) yakni pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap satu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan.
As Salam / as salaf jual beli dengan pembayaran dimuka. Yakni merupakan pembelian barang yang diserahkan kemudian hari sementara pembayaran dilakukan dimuka
Al Istishna’ jual beli dengan pesanan. Merupakan salah satu bentuk jual beli salam namun objek yang diperjanjikan berupa manufacture order atau kontrak produksi. Istishna’ didefinisikan dengan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.
Bai’ al wafa’ yakni jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oelh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba. Artinya jual beli itu mempunyai tenggang waktu yang terbatas misalnya 1 bulan, 1 tahun, sehingga jika waktu yang ditentukan itu telah habis maka penjual membeli barang itu kembali dari pembelinya
Unsur kelalaian dalam transaksi jual beli.
Dalam transaksi jual beli, boleh saja terjadi kelalaian, baik ketika akad berlangsung maupun disaat-saat penyerahan barang oleh penjual dan penyerahan harga (uang) oleh pembeli. Untuk setiap kelalian itu ada resiko yang harus ditanggung oleh pihak yang lalai. Bentuk-bentuk kelalaian dalam jual beli itu menurut para pakar fiqh diantaranya adalah barang yang dijual bukan milik penjual (barang itu sebagai titipan atau jaminan utang ditangan penjual atau barang itu adalah barang hasil curian) atau menurut perjanjian barang harus diserahkan kerumah pembeli pada waktu tertentu tetapi ternyata tidak diantarkan dan atau tidak tepat waktu, atau barang itu rusak dalam perjalanan, atau barang yang diserahkan itu tidak sesuai dengan contoh yang disetujui. Dalam kasus-kasus seperti ini resikonya adalah ganti rugi dari pihak yang lalai. Ganti rugi dalam akad ini dalam istilah fiqh disebut adh-dhaman, yang secara harfiah boleh berarti jaminan atau tanggunbgan. Para pakar fiqh mengatakan bahwa adh-dhaman adakalanya berbentuk barang dan adakalanya berbentuk uang.
Pentingnya adh-dhaman jual beli adalah agar dalam jual beli itu tidak terjadi perselisihan terhadap akad yang telah disetujui kedua belah pihak. Segala bentuk tindakan yang merugikan kedua belah pihak, baik terjadi sebelum maupun sesudah akad menurut para ulama fiqh harus ditanggung resikonya oleh pihak yang menimbulkan kerugian.
Perutangan (al-Qardh)
Al Qardhu menurut bahasa ialah potongan, sedangkan menurut syar’I ialah menyerahkan uang kepada orang yang bisa memanfatkannya. Kemudian ia meminta pengembaliannya sebesar uang tersebut. Atau pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan dengan tanpa mengharapkan imbalan,
Hukum Al Qardhu
Al Qardhu disunnahkan bagi muqridh (kreditur/pemberi pinjaman) berdasarkan dalil-dalil berikut : firman allah swt dalam Q.S. Al Hadid ayat 11 yang artinya “siapakah yang mau meminjamkan kepada allah pinjaman yang baik, maka allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak”.
Sabda Rasulullah saw yang artinya “barang siapa menghilangkan salah satu kesulitan dunia dari saudaranya maka allah menghilangkan darinya salah satu kesulitan pada hari kiamat” (HR. Muslim).
Adapun al qardhu bagi kreditur/pemberi pinjaman maka diperbolehkan, karena Rasul saw meminjam unta kepada Abu Bakar r.a dan mengembalikannya dengan unta yang lebih baik. Belia saw bersabda yang artinya “sesungguhnya manusia yang paling baik ialah orang yang paling baik pengembalian (hutangnya)” (HR. Bukhari).
Diantara hukum-hukum al qardhu yakni :
Al qardhu (pinjaman) dimiliki dengan diterima. Jadi, jika mustaqridh (debitur/peminjam) telah menerimanya, ia memilikinya dan menjadi tanggungannya.
Al qardhu (pinjaman) boleh sampai batas waktu tertentu tapi jika tidak sampai batas waktu tertentu itu lebih baik karena itu meringankan mustaqridh (debitur).
Jika barang yang dipinjamkan itu tetap utuh seperti ketika saat di pinjamkan, maka dikembalikan ituh seperti itu. Namun jika telah mengalami perubahan, kurang atau bertambah maka dikembalikan dengan barang lain sejenisnya jika ada dan jika tidak ada maka dengan uang seharga barang tersebut.
Jika pengembalian al qardhu tidak membutuhkan biaya transportasi maka boleh dibayar ditempat mana pun yang diinginkan muqridh (kreditur). Jika merepotkan, maka muqtaridh (debitur) tidak harus mengembalikannya ditempat lain.
Muqridh (kreditur) haram mengambil manfaat dari al qardhu, dengan penambahan jumlah pinjaman, atau meminta pengembalian pinjaman yang lebih baik, atau manfaat lainnya yang keluar dari akad pinjaman jika itu semua disyaratkan, atau berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Tapi jika penambahan pengembalian pinjaman itu bentuk iktikad baik dari mustaridh (debitur) itu tidak ada salahnya. Karena Rasul saw memberi Abu Bakar unta yang lebih baik dari unta yang dipinjamnya.
Syarat-syarat al qardhu
Syarat-syarat al qardhu adalah sebagai berikut :
Besarnya al qardhu (pinjaman) harus diketahui dengan takaran, timbangan atau jumlahnya.
Sifat al qardhu dan usianya harus diketahui jika dalam bentuk hewan.
Al qardhu (pinjaman) bverasal dari orang yang layak dimintai pinjaman. Jadi ql qardhu tidak sah dari orang yang tidak memiliki sesuatu yang bisa dipinjam atau orang yang tidak normal akalnya.
Sewa menyewa (al-Ijarah)
Pengertian
Ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Al ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.
Secara terminologi ijarah berarti transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan (Ulama Hanafiah). Sedangkan meneurut ulama syafi’iyah ijarah berarti transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju , tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu. Ulama Malikiyah mendifinisikan ijarah sebagai pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.
Berdasarkan difinisi diatas maka akad al ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad al ijarah juga tidak berlaku pada pepohonan untuk diambil buahnya, karena buah itu sendiri adalah materi sedangkan akad al ijarah itu hanya ditujukan kepada manfaat. Demikian juga halnya dengan kambing, tidak boleh dijadikan sebagai objek al ijarah untuk diambil susu atau bulunya, karena susu dan bulu kambing termnasuk materi. Jumhur ulama fiqh juga tidak membolehkan air mani hewan ternak pejantan seperti unta, sapi, kuda dan kerbau karena yang dimaksudkan dengan hal itu adalah mendapatkan keturunan hewan, dan mani itu sendiri merupakan materi. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah saw yang artinya “Rasulullah saw melarang penyewaan mani hewan pejantan” (HR. al Bukhari, Ahmad ibn Hanbal, an-Nasai’I, dan Abu Dawud dari ‘Abdullah ibn ‘Umar).
Demikian juga para ulama fiqh tidak membolehkan ijarah terhadap nilai tukar uang, seperti dirham dan dinar karena menyewakan hal itu berarti menghabiskan materinya sedangkan dalam al ijarah yang dituju hanyalah manfaat dari suatu benda.
Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah pakar fiqh Hanbali menyatakan bahwa pendapat jumhur pakar fiqh itu tidak didukung oleh al Qur’an dan as Sunnah, Ijmak dan Qiyas. Menurutnya, yang menjadi prinsip dalam syari’at Islam adalah suatu materi yang berevolusi secara bertahap, hukumnya sama dengan manfaat, seperti buah pada pepohonan, susu dan bulu pada kambing. Oleh sebab itu, Ibn al-Qoyyim menyamakan antar manfaat dengan materi dalam wakaf. Menurutnya, manfaat pun boleh diwakafkan, seperti mewakafkan manfaat rumah untuk ditempati dalam masa tertentu dan mewakafkan hewan ternak untuk dimanfaatkan susunya. Dengan demikian menurutnya tidak ada alasan yang melarang untuk menyewakan (al-ijarah) suatu materi yang hadir secara evolusi, sedangkan basisnya tetap utuh, seperti susu kambing dan manfaat rumah. Karena kambing dan rumah menurutnya tetap utuh.
Dasar hukum al ijarah
Para ulama fiqh mengatakan yang menjadi dasar dibolehkannya akad al ijarah adalah Q.S. az-Zukhruf ayat 32 yang artinya “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggokan sebagian mereka atas sebagaian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagaian yang lain….”
Disamping itu dalam Q.S. ath-Thalaq ayat 6 yang berbunyi “….jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu untukmu, maka berikanlah upah kepada mereka….”. demikian pula dalam Q.S. al-Qashash ayat 26 yang artinya “salah seorang dari dua wanita iutu berkata : “Wahai bapakku ambillah dia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
Para ulama fiqh juga mengemukakan Sabda Rasulullah saw sebagai dasar hukum al-ijarah yakni yang mengatakan “Berikanlah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan, sebelum kering keringat mereka” (HR. Abu Ya’la, Ibnu Majah, ath-Thabrani dan at-Tirmizi). Disamping itu dalam riwayat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri yang artinya “Siapa yang menyewa seseorang maka hendaklah ia beritahu upahnya”(HR. ‘Abd ar-Razzaq dan al-Baihaqi). Selanjutnya dalam riwayat ‘Abdullah ibn ‘Abbas dikatakan “Rasulullah saw berbekam, lalu beliau membayar upahnya kepada orang yang membekamnya”(HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad ibn Hanbal).
Rukun al Ijarah
Menurut ulama Hanafiah rukun al ijarah itu hanya satu yakni ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa menyewa). Tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al ijarah itu ada empat yakni : pertama, orang yang berakad, kedua, sewa/imbalan. Ketiga, manfaat dan shiggah (ijab dan qabul). Ulama Hanafiah menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat termasuk syarat-syarat al ijarah bukan rukunnya.
Syarat-syarat al Ijarah
Sebagai sebuah transaksi umum, al ijarah baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya. Sebagaimana yang berlaku secara umum dalam transaksi lainnya. Adapun syarat-syarat akad al ijarah adalah :
Untuk kedua orang yang berakad menuerut ulama Syafi’iyyah dan Hanbaliyah disyaratkan telah balig dan berakal.
Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad al ijarah. Apabila salah seorang diantaranya terpakasa melakukan akad itu, maka kadnya tidak sah.
Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari. Apabila manfaat yang akan menjadi objek al ijarah itu tidak jelas, maka akadnya tidak sah.
Obyek al ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat. Oleh sebab itu para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa.
Obyek al ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan tidak boleh menyewa seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewa seseorang untuk membunuh orang lain (pembunuh bayaran), dan orang islam tidak boleh menyewakan rumah kepada orang non muslim untuk dijadikan tempat ibadah mereka.
Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya menyewa orang untuk melaksanakan sholat intuk diri penyewa dan menyewa orang yang belum haji untuk menggantiukan haji penyewa. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sewa menyewa seperti ini tidak sah karena solah dan haji merupakan kewajiban bagi orang yang disewa.
Obyek al ijarah itu merupakan sesuatu yang bisa disewakan. Seperti motor mobil hewan tunggangan dan sebaginya. Oleh sebab itu, tidak boleh dilakukan akad sewa menyewa terhadap sebatang pohon yang akan dimanfaatkan penyewa sebagai penjemur kain cucian, karena akad pohon bukan dimaksudkan untuk menjemur cucian.
Upah/ sewa dalam akad al ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta. Oleh sebab itu para ulama sepakat menyatakan bahwa khamar dan babi tidak boleh menjadi upah dalam akad ijarah, karena benda itu tidak bernilai harta dalam islam.
Ulama Hanafiah mengatakan upah/sewa itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa
Macam-macam al ijarah
Besifat manfaat misalnya sewa menyewa rumah, toko, kendaraan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkanb syara’ untuk dipergunakan maka para ulama fiqh sepakat boleh dijadikan obyek sewa menyewa.
Bersifat pekerjaan (jasa) ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan.
Berakhirnya akad al ijarah
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al ijarah akan berakhir apabila
Obyek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar, atau baju yang dijahitkan hilang.
Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh.
Menurut ulama Hanafiah wafatnya salah seorang yang berakad karena akad al ijarah menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama akad al ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena manfaat menurut mereka boleh diwariskan dan al ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.
Menurut ulama Hanafiah, apabila ada uzur dari salah satu pihak seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak maka akad al ijarah batal.
Jualah (al-jualah, sayembara)
Jualah menurut bahasa ialah apa yang diberikan kepada seseorang karena sesuatu yang dikerjakannya. Sedangkan menurut syariat ialah hadiah seseorang dalam jumlah tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak diketahui.
Hukum jualah
Jualah diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil berikut :
Firman allah swt dalam Q.S. Yusuf ayat 72 yang artinya “penyeru-penyeru berkata ‘kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”
Sabda Rasululalah saw kepada para sahabat yang mendapatkan jualah berupa sekawanan kambing karena mengobati orang yang tersengat “Ambillah ja’alah dan berikan aku satu bagian bersama kalian” (HR. Bukhari).
Diantara hukum-hukum jualah yakni :
Jualah adalah akad yang diperbolehkan. Jadi kedua belah pihak diperbolehkan membatalkannya. Jika pembatalan terjadi sebelum pekerjaan dimulai, maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika pembatalan terjadi ditengah-tengah proses pekerjaan, maka pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaan.
Dalam jualah masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika seseorang berkata, “barang siapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia mendapatkan hadiah satu dinar” maka orang-orang yang berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut kendati ia menemukannya setelah sebulan atau setahun.
Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang, hadiahnya dibagi secara merata diantara mereka.
Jualah tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan.
Barang siapa menemukan barang-barang tercecer atau barang hilang atau mengerjakan sesuatu pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalau didalamnya terdapat jualah, ia tidak berhak atas jualah tersebut, kendati ia telah menemukan barang tercecer tersebut, atau barang hilang tersebut, atau mengerjakan pekerjaan tersebut karena pekerjaannya itu ia lakukan secara sukarela sejak awal.
Jika seseorang berkata “barang siapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia berhak atas jualah” maka jualah seperti itu diperbolehkan kecuali jika ia berkata ”barang siapa makan dan tidak memakan sesuatu daripadanya, ia berhak atas jualah” maka jualah tidak sah.
Jika pemilik jualah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya jualah, maka ucapan yang diterima ialah ucapan pemilik jualah dengan disuruh bersumpah. Jika kedua berbeda pendapat tentang pokok jualah maka ucapan yang diterima ialah ucapan pekerja dengan disuruh bersumpah.
Persekutuan (asy-Syirkah)
Pengertian
Secara etimologi asy syirkah berarti percampuran yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan. Asy syirkah termasuk salah satu bentuk kerjasama dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang dalam hukum positif disebut dengan perserikatan dagang.
Secara terminologi ada beberapa difinisi sirkah yang dikemukakan ulama fiqh yakni :
Ulama Malikiyah mendifinisikan syirkah sebagai suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerja sama terhadap harta mereka.
Ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah, menurut mereka syirkah adalah hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
Ulama Hanafiyah, mendifinisikan syirkah sebagai akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.
Dasar hukum asy syirkah
Akad asy syirkah dibolehkan, menurut ulama fiqh berdasarkan firman allah swt dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 12 yang artinya “….maka mereka berserikat dalam sepertiga harta….” Ayat ini menurut mereka berbicara tentang perserikatan harta dalam pembagian warisan. Dalam Q.S. Shad ayat 24 yang artinya “…sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh; dan amat sedikit mereka ini…”
Disamping ayat-ayat tersebut dijumpai juga sabda Rasulullah saw yakni “Aku (Allah) merupakan orang ketiga dalam perserikatan antara dua orang, selama salah seorang diantara keduanya tidak melakukan penghianatan terhadap yang lain. Jika seseorang melakukan penghianatan terhadap yang lain, Aku keluar dari perserikatan antara dua orang itu.”(HR. Abu Daud dan al Hakim dari Abi Hurairah). Dalam hadits lain Rasulullah saw juga bersabda “Allah akan ikut membantu doa untuk orang yang berserikat, selama diantara mereka tidak saling menghianati” (HR. al Bukhari).
Macam-macam asy Syirkah
Syirkah al Amlak. Syirkah dalam bentuk ini menurut ulama fiqih adalah dua orang atau lebih memiliki harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad asy syirkah. Asy Syirkah dalam bentuk ini selanjutnya mereka bagi menjadi dua bentuk yakni :
Syirkah ikhtiar (perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat) yakni perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua orang yang bersepakat membeli suatu barang, atau mereka menerima harta hibah, wasiat atau wakaf dari orang lain, lalu mereka menerimanya dan menjadi milik mereka secara berserikat.
Syirkah jabar (perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat) yakni sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih tanpa kehendak dari mereka seperti harta warisan. Harta warisan menjadi milik mereka bersama orang-orang yang menerima warisan tersebut.
Syirekah al ‘Uqud. Akad dalam bentuk ini maksudnya adalah akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Menurut ulama Hanbaliyah yang tergolong dalam syirkah ‘uqud adalah :
Syirkah al inan (penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak selalu sama jumlahnya)
Syirkah al mufawadhah (perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas maupun kuantitasnya harus sama dan keuntungan dibagi rata)
Syirkah al abdan (perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama)
Syirkah al wujuh (perserikatan tanpa modal)
Syirkah al mudharabah (bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seseorang yang punya kepakaran dagang, dan keuntungan perdagangan dari modal itu dibagi bersama)
Ulama kalangan Malikiyah dan syafi’iyah menolak syirkah al mudharabah dimasukkan sebagai syirkah dan menerima bentuk syirkah ‘uqud yang lainnya. Sedangkan ulama Hanafiah membagi syirkah menjadi tiga bentuk yaitu syirkah al amwal (perserikatan dalam modal/harta), syirkah al-a’mal (perserikatan dalam kerja), dan syirkah al wujuh (perserikatan tanpa modal)
Syart-syarat umum asy syirkah
Perserikatan dalam kedua bentuknya di atas mempunyai syarat-syarat bumum yakni :
Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. Artinya salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap obyek perserikatan itu dengan izin pihak lain dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat.
Persentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat dijelaskan ketika berlangsungnya akad.
Keuntungan itu diambilkan ddari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.
Berakhirnya akad asy syirkah
Salah satu pihak mengundurkan diri karena menurut pakar fiqh akad perserikatan itu tidak bersifat mengikat, dalam artian tidak bolehdibatalkan.
Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia.
Salah satu pihak kehilangan kecakapannya bertindak hukum, seperti gila yang sulit disembuhkan
Salah satu pihak murtad dan melarikan diri kenegeri yang berperang dengan negeri muslim, karena orang seperti ini dianggap sebagai orang yang telah wafat.
Hibah (al-Hibah)
Hibah berarti pemberian atau hadiah. Jumhur ulama mendifinisikan hibah sebagai akad yang mengakibatkan pemilikan harta, tanpa ganti rugiyang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara sukarela. Sedangkan difinisi yang lebih rinci dikemukakan oleh ulama Hanbaliyah yakni pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta itu, baik harta itu tertentu maupun tidak, bendanya ada dan boleh diserahkan yang penyerahannya ketika pemberi masih hidup, tanpa mengharapkan imbalan.
Dasar dan hukum hibah
Hibah sebagai salah satu bentuk tolong-menolong dalam rangka kebajikan antara sesama manusia sangat bernilai positif. Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa hukum hibah adalah sunat berdasarkan firman allah swt dalam Q.S. an Nisa’ ayat 4 yang artinya “…kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu…” dalam Q.S. al Baqarah ayat 177 yang artinya “…dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang musafir (yang memerlukan pertolongan)…”
Para ulama juga beralasan dengan sabda Rasulullah saw yang artinya “saling memberi hadiahlah kemudian saling mengasihi”(HR. Bukhari, an Nasa’I, al Hakim dan al Baihaqi).
Rukun dan syarat hibah
Ulama hanafiyah mengatakan bahwa rukun hibah itu adalah adanya ijab dan qabul. Jumhur ulama mengungkapkan bahwa rukun hibah itu ada empat yakni orang yang menghibahkan, harta yang dihibahkan, lafaz hibah, dan orang yang menerima hibah. Sedangkan syarta barang yang dihibahkan adalah :
Harta yang akan dihibahkan ada ketika akad hibah berlangsung
Harta yang dihibahkan itu bernilai harta menurut syara’
Harta itu merupakan milik orang yang menghibahkannya
Menurut ulama Hanafiyah apabila harta yang dihibahkan itu berbentuk rumah harus bersifat utuh, sekalipun rumah itu boleh dibagi. Akan tetapi ulama malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah mengatakan bahwa menghibahkan sebagian rumah boleh saja dan hukumnya sah.
Harta yang dihibahkan itu terpisah dari yang lainnya dan tidak terkait dengan harta atau hak lainnya, karena prinsip barang yang dihibahkan itu dapat dipergunakan oleh penerima hibah setelah akad dinyatakan sah.
Harta yang dihibahkan itu dapat langsung dikuasai penerima hibah. Menurut sebagian ulama Hanafiah dan sebagaian ulama Hanbaliyah, syarat ini malahdijadikan rukun hibah, karena keberadannya sangat penting.
Pencabutan hibah
Ulama Hanafiah mengatakan bahwa akad hibah itu tidak mengikat. Oleh sebab itu, pemberi hibah boleh saja mencabut kembali hibahnya. Alasan mereka didasari oleh sabda Rasulullah saw yang artinya “orang yang menghibahkan hartanya lebih berhak terhadap hartanya, selama hibah itu tidak diiringi ganti rugi”(HR. Ibnu Majah, ad-Daruquthni, ath-Thabrani, dan al-Hakim).
Akan tetapi, mereka juga mengatakan ada hal-hal yang menghalangi pencabutan hibah itu kembali, yaitu :
Apabila penerima hibah memberi imbalan harta/uang kepada pemberi hibah dan penerima hibah menerimanya, karena dengan diterimanya imbalan harta/uang itu oleh pemberi hibah, maka tujuannya jelas untuk mendapatkan ganti rugi, dalam keadaan begini hibah itu tidak boleh dicabut kembqali, sesuai dengan sabda Rasulullah saw di atas.
Apabila imbalannya bersifat maknawi, bukan bersifat harta, seperti mengharapkan pahala dari allah, untuk mempererast hubungan silaturrahmi dan hibah dalam rangka memperbaiki hubungan suami istri, maka dalam kasus seperti ini hibah menurut ulama Hanafiah tidak boleh dicabut.
Hibah tidak dapat dicabut menurut ulama Hanafiah apabila penerima hibah telah menambah harta yang dihibahkan itu dengan tambahan yang tidak boleh dipisahkan lagi, baik tambahan itu hasil dari harta yang dihibahkan maupun bukan.
Harta yang dihibahkan itu telah dipindahtangankan penerima hibah melalui cara apapun, seperti menjualnya, maka hibah itu tidak boleh dicabut.
Wafatnya salah satu pihak yang berakad hibah. Apabila penerima hibah atau pemberi hibah wafat maka hibah tidak boleh dicabut.
Hilangnya harta yang dihibahkan atau hilang disebabkan pemanfaatannya maka hibah pun tidak boleh dicabut.
Penitipan (al-wadi’ah)
Pengertian
Secara etimologi kata wadi’ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. Secara terminologi ada dua difinisi wadi’ah yang dikemukakan pakar fiqh yakni menurut ulama Hanafi wadi’ah adalah mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat. Kedua, menurut ulama Maliki, Syafi’I dan Hanbali (jumhur ulama) wadi’ah adalah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
Dasar hukum wadi’ah
Dasar hukum wadi’ah yakni Q.S. an-nisa’ ayat 58 yang artinya “sesungguhnya allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia agar kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya allah maha mendengar lagi maha melihat”
Disamping itu Q.S. al Baqarah ayat 283 yang artinya “jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagaian kamu mempercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada allah tuhannya; dan jangan kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Hadis Rasulullah saw yang artinya “serahkanlah amanat orang yang mempercayai engkau, dan jangan kamu menghianati orang yang telah menghianati engkau”(HR. Abu Dawud, at Tirmizi dan al Hakim)
Rukun dan syarat al wadi’ah
Ulama Hanafiah menyatakan bahwa rukun al wadi’ah hanya satu yakni ijab dan qabul. Akan tetapi, jumhur ulama fiqh mengatakan bahwa rukun al wadi’ah yakni orang yang berakad, barang titipan, shigat ijab dan qabul, baik secara lafal atau melalui tindakan. Rukun pertama dan kedua yang dikemukakan jumhur ulama ini, menurut ulama Hanafiah termasuk syarat, bukan rukun.
Ulama hanafiah menyatakan bahwa yang menjadi syarat bagi kedua belah pihak yang melakukan akad wadi’ah yakni harus orang yang berakal. Sedangkan menurut jumhur ulama pihak-pihak yang melakukan akad wadi’ah disyaratkan telah balig, berakal dan cerdas karena akad al wadi’ah yang banyak mengandung resiko penipuan. Sayarat kedua akad al wadi’ah adalah bahwa barang titipan itu jelas dan boleh dikuasai . maksudnya barang yang dititipkan itu boleh diketahui identitasnya dengan jelas dan boleh dikuasai untuk dipelihara.
Perubahan akad al wadi’ah dari amanah menjadi ad-dhaman
Berkaitan dengan sifat akad wadi’ah sebagai akad yang bersifat amanah, yang imbalannya hanay mengharap ridha allah, para ulama fiqh juga membahas kemungkinan perubahan sifat akad al wadi’ah dari sifat amanah menjadi sifat ad-dhaman (ganti rugi). Para ulama fiqh mengemukakan beberapa kemungkinan tentang hal ini, yakni :
Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Apabila seseorang merusak barang itu dan orang yang dititipi tidak berusaha mencegahnya, padahal ia mampu, maka ia dianggap melakukan kesalahan, karena memelihara barang itu merupakan kewajiban baginya. Atas kesalahan ini ia dikenakan ganti rugi.
Barang titipan itu diterima oleh penerima titipan kepada orang lain (pihak ketiga) yang bukan keluarga dekat dan bukan pula menjadi tanggung jawabnya. Resiko tetap ditanggung pihak kedua (penerima titipan) tersebut. Apabila barang itu8 hilang atau rusak, dalam kasus seperti ini, orang yang dititipi dikenakan ganti rugi.
Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi. Jika barang titipan tersebut rusak ketika digunakan/dimanfaatkan oleh pihak yang dititipi, maka pihak yang dititipi tersebut wajib mengganti kerusakan yang ditimbulkan meskipun kerusakannya diluar kekuasaan. Karena barang titipan itu dititipkan hanya untuk dipelihara saja, dengan demikian pemanfaatan barang titipan dianggap suatu penyelewengan.
Orang yang dititipi mengingkari wadi’ah itu. Para ulama sepakat, apabila pemilik barang meminta kembali barang titipannya kepada orang yang ia titipi, lalu orang yang dititipi menolak tanpa alasan yang jelas, maka ia dikenakan ganti rugi.
Orang yang dititipi mencampurkan barang titipan dengan harta pribadinya, sehingga sulit untuk dipisahkan.
Orang yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan, makan ia dikenakan ganti rugi, kecuali syarat seperti tempat pemindahannya sama dengan syarat-syarat yang dikemukakan penitipan barang.
Barang titipan dibawa bepergian jauh.
Pinjam pakai (al-ariyyah)
Pengertian
Menurut etimologi bahasa arab al ariyyah berarti sesuatu yang dipinjam, pergi dan kembali atau beredar. Sedangkan menurut terminologi fiqh terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama fiqh yakni :
Ulama Malikiyah dan Imam as-Syarakhsi (w.483 H/1090 M), tokoh fiqh Hanafi mendifinisikan sebagai pemilikan manfaat sesuatu tanpa ganti rugi.
Definisi yang diberikan oleh ulama syafi’iyyah dan Hanbaliyah yakni kebolehan memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi.
Dasar hukum ariyyah
Al Qur’an surat al-Maidah ayat 2 yang artinya “….bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan ketaqwaan”. Dalam Q.S. Al Ma’un ayat 7 yang artinya “dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna”
Hadits Rasulullah saw dikatakan bahwa “Rasulullah saw meminjam kuda Abi Talhah dan mengendarainya”(HR. al Bukhari dan Muslim dari Shafwan ibn Umaiyah). Dalam riwayat Abu Daud dari Safwan juga dikatakan bahwa Rasulullah saw meminjam baju perang Abu Shafwan, lalu ia mengatakan “apakah hal ini merupakan pemakaian tanpa izin (gasab) wahai muhammad? Rasulullah saw malah menjawab: tidak, ini saya pinjam dengan jaminan”
Rukun al ariyyah
Ulama Hanafiyah mengatakan rtukun al ariyyah itu hanya satu, yakni ijab. adapun qabul menurut mereka tidak menjadi rukun. Adapun menurut jumhur ulama ada empat yaitu orang yang meminjamkan, orang yang meminjam, barang yang dipinjam, dan lafal peminjaman. Bagi ulama Hanafiyah orang yang meminjamkan, orang yang meminjam, dan barang yang dipinjam termasuk kedalah syarat bukan rukun.
Syarat-syarat al ariyah
Adapun syarat-syarat al ariyah menurut ulama fiqh sebagai berikut :
Orang yang meminjam itu haruslah orang yang telah berakal dan cakap bertindak hukum, karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai memegang amanah, sedangkan barang al ariyyah ini pada dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh orang yang memanfaatkannya.
Barang yang dipinjam itu bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah seperti makanan.
Barang yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam. Artinya, dalam akad al ariyyah pihak peminjam harus menerima langsung barang itu dan dapat ia manfaatkan secara langsung pula.
Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang mubah (dibolehkan syara’)
Menurut Hanafiyah, akad al ariyyah yang semula bersifat amanah boleh berubah menjadi akad yang dikenakan ganti rugi dalam hal sebagai berikut :
Apabila barang itu secara sengaja dimusnahkan atau dirusak.
Apabila barang itu disewakan atau tidak dipelihara sama sekali
Apabila pemanfaatan barang pinjaman itu tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku, atau tidak sesuai dengan syarat yang disepakati bersama ketika berlangsungnya akad, dan
Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentukan sejak semula dalam akad.
Pemberian kuasa (al-Wakalah)
Pengertian
Secara etimologi wakalah berarti al-hifdh (pemeliharaan) seperti firman allah dalam Q.S. ali Imran ayat 173 yang artinya “cukuplah allah menjadi penolong kami dan allah adalah sebaik-baikpelindung”. Wakalah juga berarti al-tafwidh (penyerahan), pendelegasian atau pemberian mandat. Q.S. Hudayat 56 yang artinya “sesungguhnya aku bertawakkal kepada allah tuhanku dan tuhanmu…..”
Menurut para fuqaha, wakalah berarti pemberian kewenangan/kuasa kepada pihak lain tentang apa yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’I menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.
Dasar hukum
Al Qur’an surah al kahfi ayat 19 yang artinya “dan demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya diantara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang diantara mereka: ‘sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. mereka menjawab: “kita berada disini sehari ataus etengah hari”. Berkata (yang lain lagi):”tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu (berada disini). Maka suruhlah salah seorang diantara kamu pergi kekota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia melihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanban itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorangpun”. Demikian halnya dalam Q.S. At Taubah ayat 60, Q.S. an Nisa’ ayat 35 dan Q.S. Yusuf ayat 55.
Dalam hadits rasulullah saw pernah mewakilkan kepada para sahabat untuk berbagai urusan. Diantaranya untuk membayarkan utangnya, menetapkan hukuman-hukuman dan melaksanakannya dan lain-lain.
Secara umum wakalah ada dua macam yakni :
Wakalah Muqayyadah (khusus) yaitu pendelegasian terhadap pekerjaan tertentu. Dalam hal ini seorang wakil tidak boleh keluar dari wakalah yang ditentukan.
Wakalah Mutlaqah yaitu pendelegasian secara mutlak misalnya sebagai wakil dalam berbagai pekerjaan. Maka, seseorang wakil dapat melaksanakan wakalah secara luas.
Adapun beberapa hal yang membuat wakalah itu berakhir masa berlakunya yakni sebagai berikut :
Muwakkil mencabut wakalahnya kepada wakil. Sebagian ulama Hanafi dan Maliki berpendapat hendaklah wakil mengetahui pencabutan akad tersebut.
Wakil mengundurkan diri dari akad wakalah. Menurut mazhab Maliki jika dalam akad wakalah tak ada kesepakatan fee, maka wakil boleh mencabut atau mengundurkan diri dari akad itu.
Muwakkil meninggal dunia, maka akad wakalah itu berakhir ketika berita kematian itu sampai kepada wakil.
Waktu kesepakatannya sudah berakhir.
Ketika tujuan wakalah terlaksana.
Ketika sesuatu atau barang yang menjadi obyek wakalah tidak menjadi milik muwakkil. Misalnya barang itu diambil alih oleh negara.
Penangguhan (al-Kafalah)
Pengertian
Secara etimologi kafalah berarti (al-dhaman) jaminan, hamalah (beban), dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah para ulama fiqh mengemukakan definisi yang berbeda-beda antara lain adalah menggabungkan suatu zimah (tanggung jawab) kepada zimah yang lain dalam penagihan, dengan jiwa, utang atau zat benda.
Menurut mazhab Hanafi istilah kafalah adalah memasukkan tanggung jawab seseorang kedalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum. Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali kafalah adalah menjadikan seseorang penjamin ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan atau pembayaran utang dan dengan demikian keduanya dipandang berutang. Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah karena sangat dibutuhkan dalam muamalah dan agar yang berpiutang tidak dirugikan karena ketidakmampuan yang berutang.
Dasar hukum
Al Qur’an
Al Qur’an surat Yusuf ayat 66 yang artinya “Ya’qub berkata “aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh.” Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Ya’qub berkata:”allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)”.
Demikian pula dalam Q.S. Yusuf ayat 72 yang artinya “penyeru-penyeru itu berkata “kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”
Hadis Rasulullah saw :
HR. Abu Daud : “Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar”
HR. Abu Daud, At Tirmizi, disahihkan Ibnu Hibban : “…bahwa penjamin adalah orang yang berkewajiban membayar”
Secara umum kafalah dibagi menjadi dua bagian yakni :
Kafalah dengan jiwa yang dikenal dengan kafalah bi al wajhi yaitu adanya kesediaan pihak penjamin (al-kafil, al-dhmin, atau al-za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (makful lah).
Kafalah dengan harta merupakan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran atau pemenuhan berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam yakni :
Kafalah bi al-dayn yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi beban orang lain. Dalam kafalah utang disyaratkan sebagai berikut :
Utang tersebut bersifat mengikat/tetap (mustaqir) pada waktu terjadinya transaksi jaminan seperti utang qiradh, upah dan mahar. Sementara Abu Hanifah, Malik dan Abu Yusuf berpendapat, bahwa seseorang boleh menjamin suatau utang yang belum mengikat.
Hendaklah barang yang dijamin diketahui. Menurut mazhab Syafi’I dan Ibnu Hazm, seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui, sebab perbuatan tersebut adalah gharar, sementara Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang boleh menjamin sesuatu yang tidak diketahui.
Kafalah dengan penyerahan benda yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada ditangan orang lain, seperti menyerahkan jualan kepada pembeli.
Kafalah dengan ‘aib, maksudnya adalah jaminan jika barang yang dijual ternyata mengandung cacat, karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya, maka penjamin (pembawa barang) bersedia memberi jaminan kepada penjual untuk memenuhi kepentingan pembeli (mengganti barang yang cacat tersebut).
Diantara hukum-hukum kafalah adalah sebagi berikut :
Dalam kafalah, kafil (penjamin) disyaratkan kenal dengan makful (orang yang dijamin) terutama dalam kafalah idhar (jaminan menghadirkan hak di pengadilan).
Dalam kafalah, disyaratkan kerelaan (kesediaan) pihak kafil (penjamin).
Jika seseorang menjamin dalam bentuk jaminan uang, kemudian makful (orang yang dijamin) meninggal dunia, maka penjamin (kafil) menanggung uang tersebut. Jika ia menjamin dalam bentuk kafalah ihdhar (jaminan menghadirkan hak dipengadilan) kemudian makful (orang yang dijamin) meninggal dunia maka kafil (penjamin) tidak terkena kewajiban apa-apa.
Kafalah tidak diperbolehkan kecuali dalam hal-hal yang boleh digantikan. Misalnya dalam masalah uang. Adapun pada masalah-masalah yang tidak bisa digantikan misalnya dalam masalah hudud (hukuman) atau qishas, maka kafalah tidak dibenarkan didalamnya, karena Rasulullah saw bersabda yang artinya “tidak ada kafalah dalam masalah hudud (hukuman)”
Pemindahan utang (al-Hiwalah)
Pengertian
Hiwalah adalah akad pemindahan utang piutang satu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak yang terlibat; muhil atau madin, pihak yang memberi utang (muhal atau da’in) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal a’alih).
Ditinjau dari segi obyek akad, mazhab Hanafi membagi dua bentuk hiwalah yakni :
Hiwalah al haq (pemindahan haq) yakni apabila yang dipindahkan merupakan hak menuntut utang;
Hiwalah ad dain (pemindahan utang) yakni jika yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar utang.
Ditinjau dari sisi lain hiwalah terbagi dua pula yakni :
Pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua, yang disebut hiwalah muqayyadhah (pemindahan bersyarat).
Pemindahan utang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut hiwalah muthlaqah (pemindahan mutlak)
Dasar hukum hiwalah
Hiwalah dibenarkan oleh Rasulullah saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh mayoritas jumhur ulama dengan lafal yang berbeda “memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih”. Disamping itu terdapat kesepakatan ulama (ijma’) yang menyatakan bahwa tindakan hiwalah boleh dilakukan.
Syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al muhal bih) yakni :
Sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang pasti. Jika yang dialihkan belum merupakan utang piutang yuang pasti misalnya, mengalihkan utang yang timbul akibat jual beli yang masih berada dalam masa khiyar maka hiwalah tidak sah.
Apabila pemgalihan utang dalam bentuk hiwalah mukayyadhah semua ulama fiqh sepakat, bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama meskilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika terdap[at perbedaan jumlah dan kualitas maka hiwalah tidak sah. Namun jika pengalihan itu dalam bentuk hiwalah mutlaqah maka kedua utang itu tidak mesti sama.
Ulama dari mazhab syafi’I menambahkan bahwa kedua utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terdapat perbedaan, maka hiwalah tidak sah.
Jika akad hiwalah telah terjadi, maka timbul akibat hukum, yakni sebagai berikut :
Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar utang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas. Sedangkan menurut sebagian ulamam mazhab Hanafi kewajiban tersebut masih tetap ada selama pihak ketiga belum melunasi utangnya kepada pihak kedua. Hal ini karena mereka memandang bahwa akad itu didasarkan atas prinsip saling percaya, bukan prinsip pengalihan hak dan kewajiban.
Lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut pembayaran utang kepada pihak ketiga.
Menurut mazhab Hanafi jika akad hiwalah mutlaqah terjadi karena inisiatif dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga yang mereka tentukan ketika melakukan akad utang piutang sebelumnya masih tetap berlaku, khususnya jika jumlah hutang piutang antara ketiga pihak tidak sama.
Menurut ulama fiqh berakhirnya akad hiwalah jika terjadi hal-hal sebagai berikut :
Salah satu pihak yang sedang berakad membatalkan akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan demikian, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama. Demikian pula pihak pertama kepada pihak ketiga.
Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.
Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad hiwalah itu kepada pihak ketiga.
Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan itu.
Hak pihak kedua, menurut ulama Hanafi tidak dapat dipenuhi karena pihak ketiga mengalami bangkrut, wafat dalam keadaan bangkrut atau dalam keadaan tidak ada bukti autentik tentang bukti hiwalah, sedangkan pihak ketiga mengingkari akad itu. Sedangkan menurut ulama Maliki, Syafi’I dan Hanbali selama akad hiwalah sudah berlaku tetap karena persyaratan yang ditetapkan sudah terpenuhi maka akad hiwalah tidak dapat berakhir karena hal-hal di atas.
Gadai (ar-Rahn)
Pengertian
Ar rahn adalah menjamin hutang dengan barang dimana hutang dimungkinkan bisa dibayar dengannya, atau hasil dari penjualannya. Ulama Malikiyah mendefinisikan ar rahn sebagai harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat. Sedangkan ulama Hanafiah mendefinisikan ar rahn yakni menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya.
Dasar hukum
Rahn dibolehkan berdasarkan Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 283 yang artinya “jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutanbg)”. Selain itu sabda Rasulullah saw yang artinya “rahn tidak boleh dimiliki dari orang yang menggadaikannya”(diriwayatkan Imam Syafi’I dan Ibnu Majah dan Daruqutni, Hadis ini hasan, karena jalurnya banyak).
Anas bin Malik r.a berkata “Rasulullah saw menggadaikan baju besinya kepada salah seorang yahudi Madinah dan Beliau mengambil sya’ir (sejenis gandum) untuk keluarganya” (HR. Bukhari).
Rukun ar rahn
Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun ar rahn. Menurut jumhur ulama rukun ar rahn itu ada empat yakni shigat, orang yang berakad, harta yang dijadikan agunan dan utang. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun ar rahn itu hanya ijab dan qabul. Disamping itu menurut mereka untuk sempurna dan mengikatnya akad ar rahn ini maka diperlukan al-qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan, dan utang menurut ulama Hanafiah termasuk syarat-syarat ar rahn bukan rukunnya.
Syarat-syarat ar rahn
Para ulama fiqh mengungkapkan syarat-syarat ar rahn sesuai dengan rukun ar rahn itu sendiri, yakni meliputi :
Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum, kecakapan bertindak hukum menurut jmhur ulama adalah orang yang balig dan berakal, (menurut ulama Hanafi tidak balig tetapi cukup berakal saja).
Syarat shigat (lafal)
Syarat al-marhum bihi (utang) adalah merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang tempat berutang, utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu dan utang itu jelas dan tertentu.
Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan). Menurut para pakar fiqh yakni : barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seiombang dengan utang, barang jaminan itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan, barang jaminan itu jelas dan tertentu, agunan itu milik sah orang yang berutang, barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain, barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat dan barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
Memanfaatkan barang jaminan (agunan) (al-marhun)
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan barang jaminan itu menjadi tanggung jawab pemiliknya. Para ulama fiqh juga sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali karena tindakan ini termasuk tindakan menyia-nyiakan harta yang dilarang Rasulullah saw (HR. at-Tirmizi). Akan tetapi bolehkan pihak pemegang barang jaminan memanfatakan barang jaminan itu; sekalipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan? Dalam persoalan ini, jumhur ulama fiqh selain ulama Hanabilah berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan, dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya barulah ia boleh menjual atau menghargai baranag itu untuk melunasi piutangnya.
Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah binatang ternak. Menurut sebagian ulama Hanafiah al murtahin boleh memanfaatkan hewan ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya. Syafi’iyah dan sebagian ulama Hanafiayah berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja tanpa diurus oleh pemiliknya maka al murtahin boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya maupun tidak karena membiarkan hewan itu tersia-sia termasuk kedalam larangan rasulullah saw yang diriwayatkan oleh at Tirmizi.
Perdamaian (ash-shulh)
Shulh ialah akad diantara dua pihak yang berperkara untuk memecahkan perselisihan yang terjadi diantara keduanya.
Hukum shulh
Al Qur’an
Firman allah swt dalam Q.S. an Nisa’ ayat 128 yang artinya “dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram”
As Sunnah
Sabda Rasulullah saw yang artinya “perdamaian (shulh) itu diperbolehkan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram”(diriwayatkan Abu Daud dan at Tirmizi yang men-shahih-kannya).
Diantara hukum-hukum shulh adalah sebagai berikut :
Shulh terhadap sesuatu yang dituduhkan dengan tidak boleh mengambil konfensasi darinya adalah seperti jual beli sesuatu yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan memanfaatkannya.
Jika salah satu dari pihak yang berdamai mengetahui kebohongan dirinya, maka shulh menjadi batal dan apa yang ia ambil karena shulh adalah haram.
Barangsiapa mengakui hak yang ada pada dirinya, namun menolak membayarnya kecuali jika ia diberi sesuatu dari hak tersebut maka tidak sdiperbolehkan.
Jenis-jenis shulh
Shulh kedalam harta benda terbagi dalam tiga jenis yakni :
Shulh karena pengakuan. Misalnya si A mengaku mempunyai piutang kepada si B dan ia mengakuinya, kemudian si A memberi sesuatu kepada si B sebagai bentuk perdamaian karena si B tidak membantah piutang yang ada padanya, misalnya dengan memotong sebagian hutang yang diakui si B, atau menghadiahkan kepada si B sebagaian barang yang diakuinya, atau si A mengakui memiliki hewan pada si B dan ia mengakuinya kemudian si A memberi si B pakaian dan lain sebagainya.
Shulh karena penolakan. Misalnya si A mengaku mempunyai piutang pada si B, namun si B tidak mengakuinya. Kemudian si B berdamai dengan si A agar membatalkan pengakuannya dan menghindarkannya dari perselisihan dan sumpah diwajibkan jika terjadi penolakan dari salah satu pihak.
Shulh karena diam. Misalnya si A mengaku mempunyai piutang pada si B nkemudian si B diam, tidak mengakui dan tidak menjawab, kemudian si B berdamai dengan si A dengan sesuatu yang membatalkan pengakuan dan meninggalakan perselisihannya.
Kepustakaan
Al Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta. 1993
Ensiklopedi Hukum Islam. Buku 2, 3, 4 dan 5. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2006
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah ; Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Gaya Media Pratama. Jakarta. 2007
Abbas S. Ziyad. Pilihan Hadits Politik, Ekonomi & Sosial. PT. Pustakja Panjimas. Jakarta. 1991.
Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam Jilid II. PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta. 1995
Dewi Gemala, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Badan Penerbit FH UI. Jakarta.2005.
Al-Jazairi, Abu Bakar. Ensiklopedi Muslim (Penerjemah : Fadhli Bahri, LC) Darul Falah. Jakarta. 2003.
Subekti. Aneka Perjanjian. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1989
0 Comments:
Post a Comment