Sabtu, 22 Februari 2014

Pengantar Buku Kinerja Pembangunan dalam Perspektif Misi Profetik



Kata Pengantar dalam Buku
KINERJA PEMBANGUNAN DALAM PERSPEKTIF MISI PROFETIK
(Integrasi Maqashid al Syariah dalam Menilai Kinerja Pembangunan)
(Yogyakarta: Pustaka Cendikia Publishing, 2014).
Penulis: Hermansyah, SEI., MSI.

MISI PROFETIS VERSUS TAFSIR STATISTIK
Oleh:
Dr. Yusdani, M.Ag.
(Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam,
Ketua Divisi Kajian & Penelitian Pusat Studi Islam UII Yogyakarta)

Realitas masyarakat Indonesia sebagaimana digambarkan oleh seorang bocah yang menulis sajak pendek: Indonesia, di mana alamatmu? Bagi bocah ini, Indonesia ibarat rumah yang memiliki alamat administratif jelas: Senayan atau Istana Merdeka. Namun, sangat mungkin sajak itu justru menggoda kita, benarkah negara ini punya alamat?[1]
Jika ditanya soal alamat negara, yang terbayang adalah posisi eksistensi dan orientasi nilai suatu bangsa. Dalam konteks ini, frase alamat negara dapat dipahami secara ideologis dan konstitusional. Jadi, alamat Indonesia adalah Pancasila (way of life/orientasi nilai), sedangkan rumah Indonesia adalah UUD 1945. Namun, bangsa ini kini semakin kehilangan Indonesia dalam konteks ideologis dan konstitusional. Indonesia telah menjelma menjadi negeri yang berada di dunia antah-berantah seperti dalam jagat fiksi.[2]
Sebagai alamat dan rumah, Pancasila dan UUD 1945 semakin terasa mengabur dalam kehidupan. Jika dicari, akan ditemukan mereka ”digembok” di dalam ruang ritual kebangsaan yang sunyi dan terasing. Artinya, Pancasila dan UUD 1945 hanya muncul dalam ritus-ritus peneguhan kebangsaan yang dilakukan secara retorik.[3]
Para penyelenggara negara (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) masih merasa perlu mengeksploitasi secara retorik Pancasila dan UUD 1945 agar mendapatkan legitimasi dari rakyat. Sementara break-down dan praksis kerja mereka cenderung tidak berwatak solider terhadap rakyat, seperti yang diamanatkan Pancasila dan UUD 1945, melainkan lebih membela kepentingan kekuatan kapital dan pasar bebas (neoliberalism) yang berprinsip ”hanya yang kuatlah yang bertahan dan berkuasa”. Ini terkait dengan perubahan paradigma kehidupan bangsa. Sebelum tahun 1965, kehidupan masyarakat Indonesia bercorak populis, sipil, dan anti-modal asing; sedangkan pasca-1965, masyarakat Indonesia bercorak elitis, militeristik, dan pro modal asing.[4]
Negara pun akhirnya tidak sepenuhnya menjadi lembaga pelayanan bagi warganya, melainkan cenderung menjadi agen kekuatan kapital. Adapun para penyelenggara negara cenderung menjadi kumpulan panitia pasar bebas. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan tidak merespons problem warga negara yang riil dan urgen, melainkan lebih melayani kepentingan kapital dan pasar global. Rakyat pun dikategorikan sebagai bagian dari pasar global yang sah untuk dieksploitasi secara ekonomis dan kultural. Rakyat tidak dipahami sebagai komunitas besar yang melekat pada eksistensi negara dan berhak dilindungi.[5]
Rakyat pun menjelma menjadi anak yatim-piatu. Tanpa diberi modal dan kemampuan secara optimal oleh negara, rakyat dipaksa bertarung melawan kebengisan kekuatan dan kuasa modal. Negara tega membiarkan rakyatnya menjadi bangsa konsumen, padahal negara semestinya mendorong bangsanya menjadi bangsa produsen yang kreatif dan mandiri.[6]
Negara cenderung ”tidak merasa bersalah” ketika berhasil menciptakan lapangan kerja bagi jutaan tenaga outsourcing yang upah harian/mingguan/bulanannya tak cukup untuk hidup minimum. Negara juga menciptakan disorientasi kultural melalui mesin-mesin dan industri budaya massa sehingga rakyat pun lahir sebagai kumpulan manusia yang seragam, baik dalam budaya ide, budaya perilaku/ekspresi, maupun dalam budaya material.[7]

Ironi Tafsir Statistik
Persoalan sosial, ekonomi, dan budaya yang menelan rakyat cenderung ditutup dengan karpet merah bernama tafsir statistik yang menarasikan kesuksesan negara dalam mengatasi kemiskinan, memberantas korupsi, menekan angka pengangguran, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Merasa sebagai hero, berbagai kesuksesan itu diucapkan secara fasih dan lantang oleh aktor-aktor politik istana.[8]
Namun, narasi tafsir statistik itu menjadi ironi getir ketika berhadapan dengan realitas sosial, ekonomi, dan budaya yang day to day dihadapi rakyat. Rakyat menggigil dan gemetar ditelan kehidupan berbiaya tinggi yang serba tidak pasti dan tak bisa ditawar; bahkan hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Rakyat pun dipaksa untuk kreatif, misalnya dengan menyulap nasi basi menjadi nasi aking (kering). Kepedihan itu terasa semakin menyayat ketika negara justru royal membelanjakan anggarannya dengan membeli pesawat untuk presiden, mobil mewah untuk pejabat, dan kebutuhan lain yang tak urgen.[9]
Ketika negara off dari tanggung jawab ideologis dan konstitusional sebagaimana digambarkan di atas, pusat dinamika masyarakat berada di tangan kuasa modal dan kuasa pasar. Sampai-sampai, pusat perbelanjaan yang dinyatakan melakukan praktik monopoli oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) malah dimenangkan kasusnya oleh pengadilan, tak lama setelah petinggi negara ini bertemu presiden direktur (CEO) perusahaan itu di Paris. Modal bukan lagi bermakna sebagai kapital an sich, tetapi menjelma menjadi ”panglima” yang menentukan seluruh dinamika negara dan masyarakat. Begitu pula dengan pasar yang tidak sekadar berarti ”kesepakatan jual-beli”, melainkan sudah menjadi pusat legitimasi bagi kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya.[10]
Siapa pun yang tidak tunduk dan patuh kepada kuasa modal dan pasar, dimohon secara tidak hormat untuk tersingkir dan termarjinalisasi. Jangan heran jika para pemimpin yang lahir kemudian adalah mereka yang mampu kompromi dengan kuasa modal dan pasar. Semua harus ”dibeli”, termasuk jabatan presiden, menteri, anggota DPR, jaksa, hakim, gubernur, bupati/wali kota, dan lainnya. Pemimpin-pemimpin yang lahir pun tidak lagi dari rahim sosial-kultural: integritas, kapabilitas, dan komitmen. Pragmatisme yang digerakkan kuasa modal dan pasar telah mendisfungsionalisasi rahim itu.[11]
Kuasa modal dan pasar melahirkan kehidupan bernegara yang serba artifisial dan tanpa visi profetik (membebaskan dan mengangkat eksistensi manusia). Rakyat pun memasuki ranah simulacra atau dunia seolah-olah. Seolah-olah punya pemimpin, seolah-olah punya wakil rakyat, seolah-olah hidup sejahtera, seolah-olah demokratis, seolah-olah mendapatkan keadilan, bahkan seolah-olah punya negara yang melindungi.[12]
Dunia simulacra tersebut di atas dibangun oleh negara, kuasa kapital, dan pasar melalui budaya simbolik yang merepresentasikan impian kolektif rakyat. Rakyat dipisahkan dari kehidupan yang riil dan otentik agar tidak kritis terhadap realitas semu yang mengepungnya, termasuk mempertanyakan di mana sesungguhnya ”alamat” Indonesia, seperti puisi bocah tersebut di atas. Bangsa Indonesia  pun semakin kehilangan Indonesia yang sangat mereka cintai.[13]

Misi Profetik Agama
             Melihat realitas persoalan bangsa tersebut di atas, menjadi momen tepat dan urgen untuk merefleksikan kembali keberagamaan kita. Ia bisa dikatakan sebagai upaya mengaca diri di hadapan “cermin besar” keteladanan Rasul dalam segala aspek kehidupannya yang tidak mesti dilakukan secara zakelijk, harfiah, atau sepotong-sepotong, pemaknaan terhadap keteladanan perilaku Nabi harus elastis, komprehensif, substansial, dan kontekstual. Jadi, yang diambil dari pribadi Nabi adalah dimensi keteladanan profetiknya yang berupa hikmah, kearifan, pesan, dan pelajaran hidup; bukan sekadar physical performance yang artifisial dan karitatif. Konsekuensinya, tidak semua perilaku Nabi, terutama yang bersifat fisik, harus dijiplak mentah-mentah, tanpa mempertimbangkan kesesuaian konteksnya.[14]
Urgensi memunculkan kembali kesadaran profetik dalam ruang keberagamaan kita didasarkan pada sejumlah fenomena kehidupan yang makin menjauh dan semangat ke-Nabian Muhammad, seperti kekerasan, terorisme, kriminalitas, kemiskinan, kebodohan dan pembodohan, ketidakadilan dan ketertindasan, despotisme dan keangkuhan, hedonisme dan pemberhalaan duniawi, dan semacamnya. Betapa di sekeliling kita sudah dipenuhi orang-orang yang konon beragama namun sama sekali tidak mampu memaknai keberagamaannya sendiri secara profetik. Kecintaan dan komitmen mereka terhadap agama dan Nabi tidak perlu diragukan, namun itu semua dibungkus fanatisme buta yang justru sering merugikan diri sendiri.[15]
Mengharapkan agama mampu menjawab segala persoalan kontemporer mungkin ibarat “mimpi di siang bolong”, ketika persoalan inheren dalam agama sendiri belum terpecahkan. Logikanya, bagaimana agama mampu membebaskan umatnya dari seluruh persoalan yang ada, jika ia sendiri belum terbebaskan. Dalam kenyataannya, cara pembacaan umat beragama terhadap realitas agamanya masih amat sederhana jika tidak malah “primitif”. Agama masih dibelenggu pandangan parokial berupa keterkungkungan teks yang diciptakan umatnya sendiri.[16]
Dengan demikian, kesadaran profetik meniscayakan dua hal; membebaskan agama lebih dahulu, lain mengonstruksi agama yang membebaskan. Musuh yang melekat dalam diri agama, berupa cara pembacaan terhadap agama yang sempit, dalam banyak hal justru lebih berbahaya ketimbang musuh di luar dirinya. Di sinilah letak pentingnya pembacaan agama yang profetik guna menghadapi berbagai persoalan kontemporer yang makin rumit dan menantang.[17]

Obyek dan Subyek Agama Profetik
Obyek sekaligus subyek keberagamaan profetik adalah umat manusia (humankind) secara keseluruhan, tanpa kecuali. Persoalannya justru pembacaan terhadap agama sering menghalangi tercapainya misi profetik agama itu sendiri, yakni menjadikan mereka humanum (manusia sejati). Umat manusia, melalui pembacaan terhadap realitas agamanya, sering berbuat kerusakan yang merugikan manusia lain. Pembacaan terhadap agamanya masih teosentris (manusia untuk agama), belum antroposentris (agama untuk manusia). Cara pembacaan seperti ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai pembacaan yang terbebaskan.[18]
Pembacaan agama yang antroposentris, seperti ditegaskan Esack (1997), membawa pada dua implikasi. Pertama, pembacaan yang selaras dengan misi dan kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Kedua, pembacaan harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi umat manusia secara keseluruhan, bukan sebagian atau segelintir dari mereka.[19]
Ide dasar umat manusia sebagai sebuah kunci hermeneutik, dengan demikian, memunculkan dua persoalan teologis klasik. Pertama, problem menyangkut the value of mankind sebagai pengukuran kebenaran. Jika seseorang menerima pemahaman dan peran umat manusia sebagai ukuran kebenaran, maka pertanyaannya, bisakah kita mengartikan bahwa kepentingan Tuhan itu identik dengan kepentingan manusia, atau sebaliknya? Jawaban atas pertanyaan ini, tentu saja, mengikuti prinsip kebenaran relatif yang mengakui keberadaan multi kebenaran, sebab kebenaran absolut hanya milik Tuhan.[20]
              Kedua, persoalan kepemilikan otentisitas pembacaan terhadap agama. Persoalan ini sering melahirkan perdebatan teologis yang panjang tentang siapa yang lebih otentik dalam melakukan pembacaan terhadap agamanya. Tidak seorang pun berhak memonopoli otentisitas pembacaan agama. Orang yang menganggap diri paling legitimate dalam melakukan pembacaan terhadap agamanya oleh Esack disebut telah melakukan hermeneutical promiscuity, perzinaan hermeneutik.[21]
Dengan demikian, pembacaan terhadap realitas teks agama (al-Qur’an dan Hadis) harus ditakar dari, dan berpulang pada, nilai-nilai kemanusiaan manusia sebagai obyek sekaligus subyek beragama. Meski mengusung kriteria kebenaran, upaya pembacaan itu harus diletakkan dalam kerangka Tauhid (pengesaan Tuhan). Dengan cara demikian, umat Islam tidak perlu lagi terkungkung oleh teks-teks agama yang membelenggu aspek kemanusiaannya. Dan, ini prasyarat bagi terciptanya pembacaan profetik kedua; agama yang membebaskan.[22]
Misi profetik Nabi yang paling utama adalah misi pembebasan, yakni membebaskan umat manusia dari segala bentuk belenggu dan ketertindasan. Dengan begitu, Nabi adalah seorang pembebas bagi umatnya. Dalam proses pembebasan ada proses transformasi, pemindahan, atau perubahan dari kondisi yang tidak diinginkan menuju kondisi yang diinginkan. Inilah yang telah dilakukan Nabi untuk masyarakat Arab pada awal-awal masa keNabiannya.[23]
Dalam pandangan Engineer (1990), pembacaan terhadap perjalanan (sirah) Muhammad akan menghasilkan tiga jenis pembebasan. Pertama, pembebasan sosio-kultural. Sebelum Muhammad diutus Allah, struktur masyarakat Arab dikenal amat feodal dan paternal yang selalu melahirkan fenomena penindasan. Secara garis besar, mereka terbagi ke dalam dua kelas yang saling bertentangan; kelas terhormat yang menindas (syarif/the oppressor) dan kelas budak dan orang miskin yang tertindas (mustad’afin/the oppressed).[24]
Islam turun membawa pesan egalitarianisme di semua bidang kehidupan. Islam yang dibawa Muhammad tidak lagi mengenal polarisasi miskin-kaya, lemah-kuat, penindas-tertindas, penguasa-dikuasai, dan seterusnya. Tidak ada lagi perbedaan manusia berdasar warna kulit, ras, suku, atau bangsa. Yang membedakan mereka bukan hal-hal yang bersifat fisik, tetapi nilai keimanan dan ketakwaannya.[25]
Konsep pembebasan yang dicetuskan 14 abad lalu itu amat revolusioner, bukan saja bagi masyarakat Arab, tetapi umat manusia secara keseluruhan yang cenderung bertindak rasis dan diskriminatif terhadap sesama. Konsep ini amat relevan diangkat kembali ke dalam konteks kehidupan mutakhir yang tengah menghadapi krisis kemanusiaan yang berawal dan arogansi rasial, etnik, dan budaya. Artinya, dengan beragama kita hilangkan kemiskinan, kebodohan, dan kezaliman, bukan sebaliknya.[26]
Kedua, keadilan ekonomi. Sejak diturunkan, al-Qur’an amat menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua, bukan untuk sekelompok orang. Ia amat menentang penumpukan dan perputaran harta pada orang-orang kaya saja, sementara orang miskin selalu tertindas secara struktural dan sistemik. Untuk keperluan ini, al-Qur’an juga menganjurkan orang berpunya menafkahkan sebagian hartanya kepada fakir miskin. Bagi mereka yang tertindas, Allah tidak saja telah menganjurkan untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan, namun juga menjanjikan mereka kemenangan. Di negara kita, keadilan masih menjadi barang luxurious, terlebih bagi kalangan lemah-tertindas. Keadilan hanya milik kaum berpunya. Hal ini amat dirasakan manakala kita melihat kebijakan pembangunan yang selalu merugikan wong cilik.[27]
Keseluruhan uraian yang dikemukakan di atas secara substantif  mengindikasikan di tengah hiruk-pikuk berbagai teori, paradigma dan pendekatan tentang kinerja pembangunan adalah dibutuhkannya suatu paradigma alternatif sebagai pendekatan untuk merumuskan indikator atau tolok ukur keberhasilan kinerja pembangunan bangsa. Sudah tentu pendekatan dimaksud selain solutif juga bersifat holistik. Dalam hubungan inilah kehadiran buku Kinerja Pembangunan dalam Perspektif Misi Profetik yang ditulis oleh Sdr. Hermansyah, SEI., MSI. seorang penulis dan dosen muda yang produktif dan mempunyai visi keberpihakan atas persoalan-persoalan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menjadi urgen dan penting serta perlu diapresiasi.
Salah satu gagasan yang merupakan benang merah dalam buku yang ada di tangan pembaca ini adalah bahwa penulis berupaya mengintegrasikan teori -maqasid al-Syari’ah[28] yaitu suatu teori fundamental yang berasal dari dan dikonstruk oleh para juris muslim sebagai suatu perspektif dalam melihat kinerja pembangunan. Dengan kata lain, buku ini mencoba menawarkan cara pandang alternatif dalam melihat persoalan kinerja pembangunan. Jika teori maqasid al-Syari’ah ini diterjemahkan ke Bahasa Indonesia secara substantif dapat juga diartikan sebagai ajaran profetik.
Tanpa ada keinginan untuk mengarahkan pikiran pembaca atas buku ini, kepada pembaca yang budiman dipersilahkan membaca langsung buku ini secara kritis. Dengan harapan dengan terbitnya buku ini akan memberi sedikit semangat dan optimisme dalam menyikapi kinerja pembangunan di Indonesia. Selamat membaca.

Yogyakarta, Januari 2014.


[1] Indra Tranggono, “Semakin Kehilangan Indonesia” (artikel opini) Harian Kompas dikutip http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/04/05441959/semakin.kehilangan.indonesia diunduh 4 Maret 2010.
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4]Ibid. Baca juga Jeery Mander, Debby Barker dan David Corten, Globalisasi Membantu Orang Miskin?, Globalisasi, Kemiskinan dan Ke­timpangan, (Yogyakarta: Cinderalas, 2003), hlm. 4-5.
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Ibid. dan Jeery Mander, Debby Barker dan David Corten, Globalisasi Membantu Orang Miskin?, Globalisasi, Kemiskinan dan Ke­timpangan, (Yogyakarta: Cinderalas, 2003), hlm. 4-5.
[8]Ibid.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Ibid.
[13]Ibid. dan Jeery Mander, Debby Barker dan David Corten, Globalisasi Membantu Orang Miskin?, Globalisasi, Kemiskinan dan Ke­timpangan, (Yogyakarta: Cinderalas, 2003), hlm. 4-5.
[14] Masdar Hilmy, Islam Profetik Substansiasi Nilai-Nilai Agama dalam Ruang Publik (Yogyakarta: Impulse Kanisius,2008),hlm.244-245.
[15]Ibid, hlm.245
[16] Ibid, hlm.245
[17] Ibid, hlm.247, baca juga Zuly Qodir, Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009), hlm.279-280 dan Jeery Mander, Debby Barker dan David Corten, Globalisasi Membantu Orang Miskin?, Globalisasi, Kemiskinan dan Ke­timpangan, (Yogyakarta: Cinderalas, 2003), hlm. 4-5.
[18]Ibid, hlm.247-248
[19] Ibid, hlm.248 dan baca Parsudi Suparlan, “Pendahuluan” dalam Parsudi Suparlan (Penyunting), Kemiskinan di Perkotaan Bacaan untuk Antropologi Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm.x 
[20] Ibid. dan baca juga Zuly Qodir, Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009), hlm.279-280
[21] Ibid, hlm.248
[22]Ibid, hlm.248
[23] Ibid, hlm.248
[24]Ibid, hlm.248-249
[25]Ibid, hlm.249, baca Q.S. 48: 13. dan baca juga Zuly Qodir, Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009), hlm.279-280.
[26]Ibid, hlm.249
[27]Ibid, hlm.249-250; baca Q.S. 59: 7, Q.S 2: 219  dan Q.S.  28: 5.
[28] Sarjana muslim kontemporer yang membahas dan mengintegrasikan teori  ini dengan teori-teori ilmu sosial kontemporer antara lain adalah Jasser Auda, Maqasid al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, (London: IIIT,2008).

Privatisasi Air di Indonesia



PRIVATISASI AIR DI INDONESIA
(KAJIAN UNDANG-UNDANG SUMBERDAYA AIR
DAN EKONOMI ISLAM)



Tulisan ini telah disampaikan pada The 13th Annual International Conference On Islamic Studies (AICIS XIII) dengan Tema “Distinctive Paradigm Of Indonesian Islamic Studies: Towards Renaissance Of Islamic Civilization” dan meraih Best Paper dalam Sub Theme: Islamic Economics: Balancing Prosperity & Social Justice, Senggigi Lombok, Date: 18th-21st November 2013.




Abstract
This research of background by idea that water is God creation to fulfill requirement of human life in world, hence exploiting of clean water have to be based by feeling responsibility and fully for the prosperity of mankind. Pursuant to the mentioned hence management of water also have to in harmony with natural law, holding responsible, powered and fair of society.
Some regions in Indonesia feel difficulty get to access clean water for agriculture, plantation even for everyday requirement. Policy of government with reference to water right of tenure by long lease can be told do not in line with Section commendation 33 UUD 1945. Delivering birth of number code of law 7 year 2004 about water resource, very have contribution to clean water crisis, because giving opportunity of ready sector privat of drinking water, and domination is source of water (ground water, irrigate surface, and some of river body) by body is effort and individual. As a result, rights of water for every threatened individual with right of tenure by long lease agenda irrigate and commercialisation irrigate in Indonesia.
Water right of tenure by long lease represent effort of[is ownership of commercially of water resource vanishing the existence of governmental intervention and also social security function, on the basis of that thing is, economic system of Islam pass concept is ownership of arranging that water is not including object had perfectly, because there proprietary rights each and everyone stick without aside from, and resource irrigate the including into ownership of public. With existence of definition is ownership of to water resource, hence right of tenure by long lease of water represent form grind of human right of resource irrigate because opposing against al-syariah maqasid which is hifz al-mal.

Keyword: Right Of Tenure By Long Lease, Water, Privatisation, Islamic Economics.


A.          Pendahuluan
Sebagai agama yang mempunyai predikat rahmatan lil ‘alamin, Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk selalu berinteraksi dengan lingkungan secara baik. Sebab Allah Swt telah menciptakan alam semesta untuk manusia agar dipergunakan sebaik-baiknya demi perbaikan kualitas dan kesejahteraan kehidupan.[12] Berdasarkan hal itu maka pengelolaan air juga harus selaras dengan hukum alam, bertanggung jawab, adil dan memberdayakan.[13] Pendayagunaan sumber daya air bersih harus ditujukan sebesarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran, sehingga ketersediaan dan distribusi potensi sumber air bersih harus direncanakan secara konprehensif dan memenuhi asas-asas kemanfaatan, keadilan, kemandirian, kelestarian dan keberlanjutan.[14]
Namun, saat ini air bersih mulai langka di berbagai belahan dunia. Sejak tahun 1998, 28 negara di dunia telah mengalami kelangkaan air, bahkan angka ini diperkirakan akan naik menjadi 56 negara pada tahun 2025. Di Indonesia, krisis air bersih mulai dirasakan oleh penduduk ibu kota dan beberapa wilayah di Pulau Jawa. Kenyataan ini sangat ironis, karena Indonesia adalah negara kepulauan dengan 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalir di seluruh Indonesia. Beberapa wilayah di Indonesia merasakan kesulitan mendapatkan akses air bersih untuk keperluan pertanian dan perkebunan bahkan untuk kebutuhan sehari-hari. Di banyak wilayah pedesaan, permukaan air bawah tanah jauh menurun, mata air-mata air tercemar dan persediaan menurun secara drastis. Selain faktor kerusakan ekologis, beberapa pakar berpendapat bahwa krisis air berkenaan dengan privatisasi pelayanan air dan keterlibatan swasta dalam pengelolaan sumberdaya air. Sekitar 95% dari kegiatan-kegiatan pelayanan air ini masih dikendalikan oleh sektor publik, yang kemudian diserahkan pada pihak swasta.[15]
Hal ini tentu sangat merugikan masyarakat, karena tidak memiliki akses untuk air minum, bahkan air bersih dalam jumlah yang memadai. Karena itu, penyediaan kebutuhan pokok seperti ini tidak dapat dibiarkan begitu saja kepada kekuatan pasar.[16] Kencangnya isu privatisasi sumber daya air menjadi persoalan pelik yang menghadapkan komunitas publik versus sekelompok pemilik modal. Ini sama halnya dengan menghadapkan sumber daya yang menguasai hajat hidup manusia versus subyek kepemilikan untuk diperdagangkan. Hal ini seakan mendapat justifikasinya ketika undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air telah diundangkan. Akibatnya, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan agenda privatisasi dan komersialisasi air.[17]
Dalam sejarah soal air, yang ditemukan dalam komunitas tradisional sebagai bagian pranata sosial yang lebih dahulu lahir sebelum negara, memandang hubungan manusia dengan air sebagai relasi alamiah dan tidak bisa lepas dari nilai etik keagamaan yang diyakini dan menjadi satu kesatuan dalam interaksi masyarakat dengan sumber daya air.[18] Namun, pola interaksi lembaga negara justru menempatkan hubungan manusia dan air secara tidak etis, dengan menempatkan ‘ownership politic’ melalui kebijakan perundang-undangan. Sehingga dalam perspektif etika lingkungan, fiqih lingkungan dan sistem ekonomi Islam persoalan “hak atas air” tidak dapat diterima dengan mudah, karena pengetahuan dari hujan kosmik pun yang telah berlangsung milyaran tahun, agak susah menyebut klaim air sebagai “milik” siapapun, meski telah dikonstruksi dalam politik perundangan negara, apalagi hak milik segelintir kelompok. Hal ini dikarenakan air telah demikian mengakar tradisi pengelolaannya dalam masyarakat melalui pelestarian kearifan sosial-ekonomi-keagamaan yang menyejarah, dan ini bisa dijawab secara jelas berbasiskan pandangan keagamaan dan budaya masyarakat tersebut.[19]

B.           Privatisasi Air Bersih dalam UU Sumber Daya Air (SDA)
Kelangkaan air baik kuantitas maupun kualitasnya telah sering menjadi pemicu perselisihan yang berakhir pada perkelahian. Pengakuan hak atas air menjadi sangat penting, karena air adalah hak azasi, tanpa air manusia akan mati.[20] Privatisasi sebenarnya sudah dilaksanakan pada awal 1990-an tetapi baru mempunyai dasar hukum dalam bentuk undang-undang pada tahun 2003, yaitu dengan diterbitkannya UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN. UU ini sekarang menjadi acuan dalam melaksanakan proses privatisasi. Dan untuk lebih detail peraturan pelaksanaan undang-undang ini juga telah diterbitkan, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan.[21]
Konsepsi hak atas air dalam UU Sumber Daya Air (SDA) telah mengatur Hak Guna Air yang terdiri atas Hak Guna Pakai (HGP) air dan Hak Guna Usaha (HGU) air (pasal 7). HGP air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi (pasal 8). Bagi para investor kepastian akan ketersedian bahan baku menjadi sangat penting, oleh karena itu keberadaan HGU air yang dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya (pasal 9), menjadi bagian penting langkah privatisasi pengelolaan sumber daya air. Penerbitan ketentuan tentang HGP dan HGU air dianggap telah mencederai deklarasi Hak Azasi Manusia (HAM) dan UUD 1945 pasal 33.[22]
UU No.7 Tahun 2004 membatasi peran negara semata sebagai pembuat dan pengawas regulasi atau sebagai regulator. Negara sebatas sebagai regulator dan swasta sebagai penyelenggara sistem air (privatisasi) merupakan penjabaran dari penerapan sistem ekonomi liberal. Negara sebatas regulator akan kehilangan kontrol atas setiap tahapan pengelolaan air untuk memastikan terjaminnya keselamatan, dan kualitas pelayanan bagi setiap pengguna air. Negara tidak dapat menjamin dan memberikan perlindungan pada kelompok tidak mampu dan rentan dalam mendapatkan akses terhadap air yang sehat dan terjangkau. Peran sosial tersebut tidak dapat digantikan oleh swasta yang memiliki orientasi keuntungan sebagai tujuan utama. Penyelenggaran air minum dan pengelolaan air oleh swasta berpengaruh kepada biaya dan tarif yang ditanggung pengguna. Keuntungan perusahaan, biaya eksternal, biaya operasional dan investasi menjadi biaya total yang ditanggung oleh pengguna air. Inilah yang disebut pengenaan full cost recovery.[23]
UU No 7 Tahun 2004 tentang SDA, meskipun dikatakan tidak mengatur tentang privatisasi, namun membuka secara lebar peluang tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 40 ayat (4), yang kemudian telah dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 9, dan Pasal 64 PP No. 16 Tahun 2005. Meskipun dikatakan hanya menyangkut Sistem Pengembangan Air Minum (SPAM) pada daerah, wilayah, atau kawasan yang belum terjangkau pelayanan BUMD/BUMN, akan tetapi HGU air yang dapat diberikan pada swasta dan perorangan, adalah merupakan peluang bagi privatisasi dimaksud. Walaupun Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa hak guna air tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan sebagian atau seluruhnya, akan tetapi dengan bentuk kapitalisasi usaha melalui saham di bursa, mobilisasi kapital demikian menjadi terbuka luas, meskipun tanpa memindahtangankan HGU yang diperoleh satu badan hukum. Oleh karenanya pintu atau peluang demikian tidak dapat dikesampingkan hanya karena secara ekplisit tidak menyebut privatisasi.[24]
Usaha swasta yang mengelola air (minum) akan selalu profit-oriented. Pelayanan atau public service bukan merupakan orientasinya bahkan dapat dikatakan bertentangan dengan watak dasarnya, sehingga tidak dapat diharapkan bahwa badan usaha swasta akan mengabdikan dirinya bagi pelayanan publik yang bersifat sosial.

C.          Bentuk-Bentuk dan Dampak Privatisasi Air
Proses privatisasi air terdiri dari berbagai bentuk. Bentuk pertama adalah pengambilalihan (swastanisasi) Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) milik pemerintah atau negara (BUMN) oleh pihak swasta. Contoh untuk bentuk ini adalah: (1) PT. Adhitya Tirta Batam; (2) PDAM Kota Palembang Tirta Musi; (3) PDAM DKI Jakarta; (4) PDAM Kota Tangerang; (5) PDAM Kab. Bekasi; (6) PAM Kota Ambon; (7) PDAM Kab. Maluku Utara; (8) PDAM Kab. Sidoarjo; (9) PDAM Kab. Bandung; dan (10) PDAM Kota Semarang.[25]
Disamping PDAM tersebut di atas, masih terdapat sejumlah PDAM yang sedang dalam proses privatisasi, diantaranya: (1) PDAM Kota Yogyakarta Tirta Marta; (2) PDAM Kota Banjarmasin; (3) PDAM Kota Bitung; (4) PDAM Kota Minahasa; (5) PDAM Kota Tabanan; (6) PDAM Kab. Lombok Barat Giri Menang Mataram; (7) PDAM Kota Bandung; (8) PDAM Kab.Sumedang.[26]
Dalam pelaksanaan privatisasi PDAM tersebut, terdapat enam skema privatisasi yang melibatkan peran swasta dalam PDAM yakni:[27] pertama, servis kontrak, yakni swasta mengerjakan tugas-tugas memasang atau membaca meteran, memonitor angka kehilangan air, memperbaiki jaringan pipa, dan menagih rekening. Servis kontrak biasanya untuk jangka waktu antara 6 bulan sampai 1 tahun. Kedua, manajemen kontrak, yakni manajemen PDAM ditangani oleh pihak swasta. Dengan manajemen kontrak ini, diharapkan membuat kinerja PDAM lebih efesien dan membantu PDAM untuk menentukan target-target pendapatan dan layanan. Kontrak ini biasanya berlaku untuk jangka waktu 3 sampai 5 tahun. Dalam hal ini pihak swasta mendapat fee yang tetap untuk melakukan kerja manajerial.
Ketiga, lease (leasing) yakni skema privatisasi dalam bentuk sektor swasta menyewa asset PDAM dan mengambil tanggungjawab mengoperasikan dan melakukan pemeliharaan. Penyewa membeli hak PDAM, sebagai imbalannya ia memperoleh pendapatan. Hak swasta dengan demikian hanya melakukan konsolidasi kerja sehingga lebih sehat. Keempat, konsesi, yakni privatisasi dimana pihak swasta tidak hanya bertanggungjawab untuk pengoperasian dan pemeliharaan aset, tapi juga berinvestasi dalam PDAM tersebut. Konsesi biasanya berlangsung selama 25-30 tahun dan selama masa itu pihak swasta dapat menggunakan secara penuh aset PDAM. Namun setelah kontrak berakhir semua aset PDAM diserahkan kepada pemerintah. Kelima, Built Operator Transfer (BOT) yakni privatisasi yang pihak swasta membangun tempat penampungan air atau pengelolaan air serta mengoperasikan selama jangka waktu tertentu sesuai kontrak. Pemerintah membayar perusahaan pemegang BOT. Jadi, skema privatisasi ini sekedar alih teknologi dari swasta kepada pemerintah. Keenam, joint venture. Yakni privatisasi dalam bentuk kerjasama dalam permodalan.
Bentuk kedua adalah penguasaan hak mengambil air dari satu kawasan atau pengkaplingan suatu wilayah dengan penguasaan hak untuk mengambil air di wilayah tersebut. Hal ini banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK).[28] Sebagai contohnya adalah PT. Aqua Tirtainvestama atau PT. Aqua Golden Misissipi Danone di Klaten. Bentuk ketiga adalah penguasaan irigasi. Di Indonesia, privatisasi air bentuk yang ketiga ini relatif belum berkembang, namun kemungkinan berkembangnya telah diakomodasi oleh UU No. 7 tahun 2004. Di beberapa negara Asia, seperti India privatisasi air bentuk ketiga ini sudah berjalan.[29] Privatisasi bentuk ketiga ini melibatkan pembangunan bendungan dan saluran-saluran irigasi yang dibiayai dan dikelola oleh swasta. Sebagai kompensasinya, perusahaan swasta yang mengelola irigasi tersebut akan memungut biaya dari para pengguna jasa irigasi  (petani). Dengan demikian jika PDAM dan perusahaan AMDK memperdagangkan air untuk konsumsi, perusahaan pengelola bendungan dan irigasi memperdagangkan air untuk pengairan sawah, persamaan keduanya adalah sama-sama menekankan nilai ekonomi air.
Selanjutnya dampak privatisasi adalah mengeringnya beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS). Dari 470 DAS di seluruh Indonesia, dengan luasan area 3 juta hektar, pada 2008 sebanyak 64 DAS atau seluas 2,7 hektar berada dalam kondisi sangat kritis. Diprediksi, angka ini terus meningkat setiap tahun jika eksploitasi sumber daya air terus berlangsung. Pada 1984, hanya terdapat 22 DAS kritis dan super kritis; tahun 1992 meningkat menjadi 29 DAS kritis; tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis; tahun 1998 menjadi 42 DAS kritis; tahun 2000 menjadi 58 DAS kritis; tahun 2002 menjadi 60 DAS kritis dan tahun 2008 meningkat menjadi 64 DAS kritis.[30]Selain mengancam kebutuhan primer (daruriyat) rakyat, yakni kebutuhan untuk minum, mandi, memasak dan mencuci. Privatisasi air juga mengancam kebutuhan sekunder (hajiyat) rakyat yakni kebutuhan untuk mengairi lahan pertanian dan perkebunan. Juga akan berdampak pada kebangkrutan dan menyengsarakan petani.

D.    Privatisasi Air Menurut Tinjauan Ekonomi Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM)
1.            Hak Milik Pengelolaan Sumber Daya Air Dalam Ekonomi Islam dan Perlindungan Maqasid al-Syari’ah
Kepemilikan menurut pandangan ekonomi Islam dibedakan menjadi tiga, yaitu: kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardiyah), kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘aamah) dan kepemilikan negara (al-milkiyah ad-daulah).  Pembagian jenis kepemilikan menjadi tiga kelompok semata-mata di dasarkan ketentuan nash-nash syarak yang telah menetapkan pembagian tersebut.[31]
Jika kita mengkaji dan mendalami hukum-hukum syarak yang berkaitan dengan cara-cara seseorang mendapatkan harta yang sah, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan harta terbatas pada lima sebab, yaitu: (1) Bekerja; (2) Warisan; (3) Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup; (4) Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat; (5) Harta yang diperoleh dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.[32]
Sedangkan kepemilikan umum adalah izin al-Syarik kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda yang telah dinyatakan oleh al-Syarik bahwa benda tersebut untuk suatu komunitas, dimana mereka saling membutuhkan, dan al-Syarik melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau sekelompok kecil orang.[33]
Dari pengertian di atas maka benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok: Pertama, fasilitas umum yang merupakan kebutuhan umum dan dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Apabila barang tersebut tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan dalam mencarinya. Dalam hal ini terdapat dalil, bahwa manusia memang sama-sama membutuhkan air, padang rumput dan api, serta terdapat larangan bagi individu untuk memilikinya. Namun perlu ditegaskan disini bahwa sifat benda-benda yang menjadi fasilitas umum adalah adalah karena jumlahnya yang besar dan menjadi kebutuhan umum. Namun jika jumlahnya terbatas seperti sumur-sumur kecil di perkampungan dan sejenisnya, maka dapat dimiliki oleh individu dan dalam kondisi demikian air sumur tersebut merupakan milik individu. Rasulullah Saw telah membolehkan air di Thaif dan Khaibar untuk dimiliki oleh individu-individu penduduk.[34]
Kedua, bahan tambang yang tidak terbatas.[35] Bahan tambang diklasifikasikan menjadi bahan tambang yang terbatas jumlahnya dan bahan tambang yang tidak terbatas jumlahnya. Bahan tambang yang terbatas jumlahnya dapat dimiliki secara pribadi. Hasil tambang seperti ini akan dikenai hukum rikaz (barang temuan) sehingga harus dikeluarkan 1/5 bagian (20%) darinya. Bahan tambang yang tidak terbatas jumlahnya termasuk milik umum (collective property) dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Ketiga, benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu secara perorangan. Sedangkan benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah dimiliki oleh pribadi, maka benda tersebut merupakan benda yang tercakup kemanfaatan umum. Maka, meskipun benda-benda tersebut termasuk dalam kelompok pertama, karena merupakan fasilitas umum, namun benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama, dari segi sifatnya, bahwa benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu.  Berbeda dengan kelompok pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. Zat air, misalnya, mungkin saja dimiliki oleh individu, namun individu tersebut dilarang memilikinya, apabila suatu komunitas membutuhkannya.  Berbeda dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
Sebenarnya pembagian ini -meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat syar’iyah, yaitu keberadaannya sebagai kepentingan umum- esensi faktanya menunjukkan, bahwa benda-benda tersebut merupakan milik umum. Ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan dan sebagainya. 
Pengelolaan terhadap kepemilikan umum pada prinsipnya dilakukan oleh negara, sedangkan dari sisi pemanfaatannya dinikmati oleh masyarakat. Masyarakat bisa secara langsung memanfaatkan sekaligus mengelola barang-barang 'umum' tadi, jika barang-barang tersebut bisa diperoleh dengan mudah tanpa harus mengeluarkan dana yang besar seperti, pemanfaatan air disungai atau sumur, mengembalakan ternak di padang penggembalaan dan sebagainya. Sedangkan jika pemanfaatannya membutuhkan eksplorasi dan eksploitasi yang sulit, pengelolaan milik umum ini dilakukan hanya oleh negara untuk seluruh rakyat dengan cara diberikan gratis atau dengan harga murah sehingga rakyat dapat memperoleh beberapa kebutuhan pokoknya dengan murah.
Hubungan negara dengan kepemilikan umum sebatas mengelola, dan mengaturnya untuk kepentingan masyarakat. Negara tidak boleh menjual aset-aset milik umum. Sebab, prinsip dasar dari pemanfaatan adalah kepemilikan. Seorang individu tidak boleh memanfaatkan atau mengelola barang dan jasa yang bukan miliknya. Demikian pula negara, tidak boleh memanfaatkan atau mengelola barang yang bukan miliknya. Laut adalah milik umum, bukan milik negara. Pabrik-pabrik umum, tambang, dan lain-lain adalah milik umum, bukan milik negara. Atas dasar ini, negara tidak boleh menjual asset yang bukan menjadi miliknya kepada individu-individu masyarakat.
Sementara milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh rakyat yang pengelolaannya menjadi wewenang Negara, dimana Negara dapat mengkhususkan sesuatu kepada sebagian rakyat, sesuai dengan kebijakannya.  Makna pengelolaan oleh Negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki Pemerintah untuk mengelola semisal harta pajak dan sebagainya. Meski harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh negara, namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan kepada orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan hak milik negara dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakan negara.[36] Sebagai contoh terhadap air, tambang garam, padang rumput, lapangan dan lain-lain tidak boleh sama sekali negara memberikannya kepada orang tertentu, meskipun semua orang boleh memanfaatkannya secara bersama-sama sesuai dengan keperluannya. 
Jika dilihat dari dimensi kebijakan dalam sistem ekonomi Islam, maka sumber daya air, sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan hak milik umum (publik). Kepemilikan umum adalah izin dari Allah Swt, kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk ke dalam katagori kepemilikan umum adalah benda-benda yang dinyatakan oleh Allah Swt bahwa benda-benda tersebut adalah untuk umum, dimana mereka masing-masing saling membutuhkan dan melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau sekelompok kecil orang, sebagaimana dalam hadis Nabi Saw yang dikutip di atas.
Sistem ekonomi Islam dengan demikian telah memberikan batasan yang jelas tentang sumber daya air yang merupakan kepemilikan umum. Dengan batasan itu, ekonomi Islam yang tidak lain adalah fiqh muamalah,[37] dapat memberikan status hukum atas industri atau pabrik yang akan mengelola kepemilikan umum. Misalnya, pompa air. Hukum pompa air berbeda-beda sesuai dengan perbedaan status hukum air. Jika airnya termasuk dalam kepemilikan individu, seperti sumur khusus yang dimiliki perorangan, maka termasuk kepemilikan individu. Masing-masing orang dapat membuat alat di atas sumur yang dimiliki, kemudian air dikeluarkan dan dijual kepada orang lain. Karena airnya kepemilikan individu, maka status hukum alatnyapun (pompa air) juga demikian. Hanya saja individu tersebut tidak boleh memasang pipa dijalan umum untuk aliran air, karena jalan termasuk kepemilikan umum. Sehingga tidak boleh selamanya ada seseorang secara individu memilikinya, yang dapat menghalangi orang lain. Sebab jalan umum termasuk jenis fasilitas yang harus dipelihara bersama-sama, sehingga memilikinya secara khusus tidak diperbolehkan.[38]
Sedangkan jika airnya termasuk kepemilikan umum, seperti sumur umum, sumber mata air umum, sungai dan danau maka alat yang digunakan mengeluarkan air termasuk barang kepemilikan umum, karena air merupakan kepemilikan umum. Dikecualikan sungai-sungai besar seperti sungai Kapuas, maka bagi setiap orang boleh memasang alat di atasnya, dan dengan perantaraan alat itu, mengambil air untuk dirinya. Orang tersebut juga boleh dengan alat itu memberi minum manusia dengan upah. Sebab pengambilan air itu tidak menghalangi siapapun untuk mengambil air dari sungai, juga tidak menghalangi siapapun membuat alat di atas sungai sehingga eksistensi air sebagai kepemilikan umum tidak akan hilang.[39]
Disamping itu, Islam memperkenalkan apa yang disebut dengan maqasid al-syariah. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa segala petunjuk agama, baik berupa perintah maupun larangan, pada akhirnya akan mengantarkan manusia pada tujuan tersebut. Hal ini juga berarti bahwa dalam Islam, masalah air bersih memperoleh legitimasi yang sangat kuat untuk dilestarikan dan dikelola, karena ia erat terkait dengan maqasid al-syariah.
Dengan paradigma al-maqasid al-Syatibi terhadap air kita berharap setiap orang bahkan mahluk lainnya pun dapat menikmati dan mengakses air tanpa halangan oleh siapapun, karena akses terhadap air merupakan bagian dari kewajiban individu untuk menjaga kemaslahatan. Dengan demikian kebutuhan akan air merupakan masalah kebutuhan daruriyat yang harus dipenuhi karena jika tidak manusia akan terancam dehidrasi (kekurangan air) bahkan mati. Efek lain dengan adanya privatisasi adalah menciptakan kekacauan sosial yang dapat menimbulkan biaya sosial (social cost) yang tinggi hal ini dikarenakan, setiap masyarakat, tidak terkecuali yang miskin akan gelisah dan kesulitan mendapatkan air bersih karena air merupakan kebutuhan dasar yang diberikan Tuhan secara gratis dan kini guna mendapatkannya harus dengan uang (membayar) karena nilai air telah dimutilasi menjadi barang komersil.[40]
Kebutuhan akan air sebagai maslahah al-ammah harus diartikan bahwa manusia tidak dapat membiarkan sumber daya air dijadikan komoditi personal dan memasuki wilayah suplay and demand oleh personal atau kelompok tertentu yang dijual kepada penawar tertinggi, karena air merupakan kebutuhan daruriyat dan merupakan hak asasi yang sangat fundamental. Setiap generasi untuk tujuan kemaslahatan hidup harus menjamin jumlah dan kualitas air agar tidak merosot sebagai akibat komersialisasi dan privatisasi.
Dari penjelasan atas kepemilikan umum (publik) di atas, menjadi jelas bahwa Allah Swt menjadikan air untuk manusia sebagai milik umum.[41] Semua air yang ada di sungai, danau, laut ataupun air tanah yang berasal dari hujan bukanlah ciptaan manusia. Tugas manusia hanyalah membersihkan air, meningkatkan kualitasnya, melestarikan keberadaannya dan mendistribusikan dengan adil.
Atas dasar paradigma inilah, sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa negara (yang mewakili rakyat) mengatur produksi dan distribusi air untuk rakyat. Negara tidak boleh memungut harga dari rakyat, karena air merupakan milik umum (rakyat), namun demikian negara hanya boleh memungut tarif sebagai kompensasi produksi dan distribusi barang-barang milik umum, tapi bukan untuk memperoleh keuntungan dari rakyat.[42]

2.            Privatisasi Sumber Daya Air dan Krisis Hak Asasi Rakyat
Air merupakan matrik budaya, dasar kehidupan yang dalam bahasa Arab, Urdu dan Hindusta, ia disebut ab, abad ruho, adalah salam untuk kemakmuran dan kelimpahan.[43] Hak atas air mengandung makna tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Karenanya hak atas air adalah suatu yang mutlak dan telah memunculkan kewajiban bagi negara untuk mengakuinya. Kesadaran akan hal itu, sejak awal telah diadopsi dalam kehidupan bernegara. Air merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya dijamin konstitusi. Dengan kata lain, sejak awal telah disadari perlunya penyediaan kebutuhan dasar, termasuk air bersih, dijamin dalam konstitusi negara Indonesia, sebagai sebuah kontrak sosial kenegaraan antara warga bangsa dan pemerintah. Kontrak sosial antara pemerintah dengan rakyat dibangun atas dua premis dasar yakni bahwa pemerintah harus bertanggung jawab menyediakan jasa kebutuhan dasar dan bahwa rakyat harus melatih hak-hak kewarganegaraan mereka untuk memastikan tersedianya jasa kebutuhan dasar.[44]
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) atas penyediaan kebutuhan dasar juga dipertegas pada level global yakni pada November 2002, komite PBB untuk hak ekonomi, sosial dan budaya mendeklarasikan akses terhadap air merupakan hak dasar (a fundamental right). Dijelaskan bahwa air adalah benda sosial dan budaya, dan tidak hanya komoditi ekonomi. Komite ini juga menekankan bahwa 145 negara telah meratifikasi Konvenan Internasional untuk hak ekonomi, sosial dan budaya yang kini telah diikat dengan perjanjian untuk mempromosikan akses air secara setara tanpa diskriminasi.[45]
Patut dicatat bahwa jaminan bagi hak atas air ini tidak terbatas hanya pada kebutuhan personal dan domestik melainkan hak atas air guna memenuhi kebutuhan produksi yang terkait dengan hak asasi atas pangan yang layak, guna menjamin kesehatan lingkungan, menyangkut juga hak atas kesehatan dan untuk menjamin penghidupan sebagai pemenuhan atas hak penghidupan yang layak. Khusus mengenai hak atas air, terkait dengan ketahanan pangan (food scurity) General Comment poin 15 dari komite ekonomi PBB sebagai badan pengawas implementasi ECSR (Economics Sosial and Cultural Rights) memberikan penekanan bagi para petani marginal.[46]
Pengadopsian hak asasi atas air oleh semua negara anggota PBB memunculkan beberapa kewajiban bagi setiap negara di dunia, yang secara umum bisa dikatagorisasikan sebagai menghormati, melindungi dan memenuhi. Kewajiban menghormati berarti setiap negara disyaratkan untuk tidak melakukan tindakan baik secara langsung maupun tidak, yang dapat mengancam seseorang atau sekelompok orang untuk menikmati hak asasi atas air yang mereka miliki. Kewajiban melindungi mensyaratkan setiap negara untuk mencegah pihak ketiga (semisal sektor swasta atau korporasi) melakukan upaya-upaya (dalam bentuk apapun) yang mengancam pemenuhan hak asasi atas air. Dan kewajiban memenuhi berarti setiap negara disyaratkan untuk mengadopsi upaya atau langkah yang diperlukan dalam rangka merealisasikan sepenuhnya hak asasi atas air bagi warga negaranya.[47]
Dapat dibayangkan jika pola pikir yang eksploitatif, kapitalistik dan materialistik diberi tempat dalam pengelolaan sumber daya air dalam bentuk privatisasi, maka disinilah krisis air kemudian akan menjadi sebuah krisis HAM yang paling mendasar. Tanpa air bersih dan buruknya sanitasi, manusia kurang layak mempertahankan kemanusiaannya. Air merupakan hajat hidup orang banyak. Masalah kekurangan air dapat menimbulkan bencana bagi manusia dan kelalaian dalam pengelolaan sumber daya air juga dapat berakibat bencana. Pemenuhan kebutuhan akan air, adalah pemenuhan terhadap kebutuhan dasar untuk keberlangsungan hidup, karena kebutuhan dasar merupakan HAM, maka pemenuhan kebutuhan akan air adalah pemenuhan atas HAM.
Manusia memiliki hak atas sesuatu melalui dua cara, yaitu: (a) Atas dasar hakikatnya; dan (b) atas dasar kegunaanya. Pertama adalah hak yang dimiliki manusia di luar kewenangannya. Manusia memiliki hak ini atas dasar “perintah ilahi”. Kedua adalah hak yang dimiliki atas dasar akal budi dan kehendak, dalam arti bahwa manusia memiliki hak atas sesuatu karena ia mampu menggunakannya. Masyarakat (dalam hal ini negara) sebagai sumber hak positif menetapkan pembagian atas barang-barang dan jasa bagi warganya, dan ini hanya akan sah jika didasarkan atas “hak kodrat”, yaitu hak yang lebih dasar yang dimiliki oleh semua manusia. Karenanya tidak tepat untuk mengatur akses atas sumber daya air dalam dua hak yang setara yaitu HGP air yang sifatnya asasi dan HGU air, yang bersumber dari hukum positif berdasar kedaulatan negara, yang pada dasarnya memberi kemungkinan HGU air menjadi diutamakan dari HGP air yang bersifat asasi, meskipun dinyatakan bahwa pengaturan yang dilakukan bukan dimaksudkan demikian.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air sebagai komoditas ekonomi dan barang yang menjadi kebutuhan dasar dan asasi manusia memerlukan pengaturan yang harus mempertimbangkan dan mendorong negara untuk melindungi, menghormati dan memenuhinya. Meskipun akan selalu dipersoalkan kondisi saat ini yang tidak memungkinkan Negara untuk melaksanakan kewajibannya memenuhi kebutuhan asasi manusia akan air, sehingga memerlukan mobilisasi dana dan daya, maka tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan pengaturan melalui sistem perizinan, meskipun tetap diakui bahwa hak milik sekalipun, dapat dicabut untuk kepentingan umum.

E.           Penutup
Dari pembahasan tersebut dapat diuraikan beberapa penekanan dalam kajian ini yakni sebagai berikut: Pertama, privatisasi air merupakan upaya kepemilikan atas air yang menghapus adanya intervensi pemerintah serta fungsi jaminan sosial, atas dasar hal itu, sistem ekonomi Islam melalui konsep kepemilikan mengatur bahwa air adalah bukan termasuk benda yang dimiliki secara sempurna, karena disitu hak kepemilikan setiap orang melekat tanpa terkecuali, dan sumber daya air termasuk ke dalam kepemilikan umum. Dengan adanya batasan kepemilikan terhadap sumber daya air, maka privatisasi atas air merupakan bentuk penindasan HAM atas sumber daya air karena bertentangan dengan maqasid al-syariah yang menitikberatkan pada hifz al-mal. Kedua, hak guna air merupakan konsep yang menjiwai keseluruhan isi undang-undang sumber daya air. Pemerintah dengan telah disahkannya undang-undang ini memindahkan dan atau melepaskan ”hak mengusai hajat hidup rakyat” atas air sebagai cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak kepada perseorangan, badan hukum atau perusahaan dengan motif komersial. Dengan dikeluarkannya undang-undang ini maka pihak swasta, kelompok dan individu memiliki peluang untuk menguasai sumber daya air.

Bibliography

Adnan Harahap, dkk. 1987. Islam dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Swarna Bumi.
Afzalur Rahman. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid 1. Terj. Soeroyo dan Nastangin. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf
Ari Handriatni, “Peran Islam Dalam Penyelamatan Lingkungan Hidup”. Jurnal Studi Agama, Millah. Volume VI, Nomor 2, Tahun 2007.
Atyanto Dharoko. “Model Arahan Pemanfaatan Lahan Untuk Konservasi Sumber Daya Air di Kabupaten Sleman”. Jurnal Manusia dan Lingkungan. Volume 13 nomor 2 Juli 2006. 
Aziz Ghufron dan Saharani, “Islam dan Konservasi Lingkungan”. Jurnal Studi Agama Millah, Volume VI, Nomor 2 Tahun 2007.
Budi Wignyosukarta. “Aroma privatisasi Dalam UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air”. Makalah Seminar Bulanan ke-31 PUSTEP-UGM, 2 Agustus 2005. Lihat pada www.ekonomipascasila.org diakses pada 10 Oktober 2010
Hasbi Ash Shiddieqy. 1974. Fiqh Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang.
Henry Heyneardi dan Savio Wermasubun. 2003. Dagang Air. Perihal Peran Bank Dunia dalam Komersialisasi Privatisasi Layanan Atas Air di Indonesia. Salatiga: Widya Sari Press.
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
M. Sholahuddin. 2007. Asas-Asas Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Majalah Flamma yang diterbitkan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta. Edisi 21 volume 10/Juli – Agustus 2004.
Marwan Batubara. “Menggugat Penjajahan Sumberdaya Air dengan Modus Privatisasi”. Dalam http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menggugat-penjajahan-sumberdaya-air-denganmodus-privatisasi-2.htm. diakses pada 10 Oktober 2010.
Munawar Khalil. “Privatisasi Privatisasi Sumber Daya Air dalam Tinjauan Hukum Islam”. Jurnal Pemikiran Islam Afkaruna. Vol. 1. No. 1 Januari – Juni 2006.
P. Raja Siregar, dkk. 2004. Politik Air: Penguasaan Asing Melalui Utang. Jakarta: Walhi
Qodri Azizy. 2004. Membangun Fondasi Ekonomi Umat. Meneropong Prosfek Berkembangnya Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robert J. Kodoatie, dkk. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah. Yogyakarta: Andi.
Taqiyuddin An Nabhani. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektf Islam. Jakarta: Risalah Gusti.
UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Vandhana Shiva. 2003. Water Wars: Privatisasi, Profit dan Polusi. Terj. Achmad Uzair. Yogyakarta: Insist Press
Walhi. “Kebutuhan Dasar Merupakan Hak Asasi Manusia”. Dalam http://www.walhi.or.id/kampanye/air/privatisasi/priv_air diakses pada 10 Oktober 2010.








[12] Ari Handriatni, “Peran Islam Dalam Penyelamatan Lingkungan Hidup”. Jurnal Studi Agama, Millah. Volume VI, Nomor 2, Tahun 2007, hlm. 35
[13] Lihat Aziz Ghufron dan Saharani, “Islam dan Konservasi Lingkungan”. Jurnal Studi Agama Millah, Volume VI, Nomor 2 Tahun 2007, hlm. 60
[14] Atyanto Dharoko. “Model Arahan Pemanfaatan Lahan Untuk Konservasi Sumber Daya Air di Kabupaten Sleman”. Jurnal Manusia dan Lingkungan. Volume 13 nomor 2 Juli 2006. hlm. 92
[15] Marwan Batubara. “Menggugat Penjajahan Sumberdaya Air dengan Modus Privatisasi”. Dalam http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menggugat-penjajahan-sumberdaya-air-denganmodus-privatisasi-2.htm. diakses pada 10 Oktober 2010, pukul 20.00 WIB.
[16] Robert J. Kodoatie, dkk. Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah. (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2001), hlm. 56-57
[17] Marwan Batubara. “Menggugat Penjajahan Sumberdaya Air dengan Modus Privatisasi”. Dalam http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menggugat-penjajahan-sumberdaya-air-denganmodus-privatisasi-2.htm. diakses pada 10 Oktober 2010, pukul 20.00 WIB.
[18] Adnan Harahap, dkk. Islam dan Lingkungan Hidup. (Jakarta: Yayasan Swarna Bumi, 1987), hlm. 29
[19] Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hlm. 182
[20] Hal ini misalnya Nampak pada kasus Umbul Wadon di Yogyakarta. Lihat majalah Flamma yang diterbitkan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta. Edisi 21 volume 10/Juli – Agustus 2004, hlm.14-23
[21] Lihat UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
[22] Budi Wignyosukarta. “Aroma privatisasi Dalam UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air”. Makalah Seminar Bulanan ke-31 PUSTEP-UGM, 2 Agustus 2005. Lihat pada www.ekonomipascasila.org diakses pada 10 Oktober 2010, pukul 20.00 WIB.
[23]Henry Heyneardhi dan Savio Wermasubun. Dagang Air. Perihal Peran Bank Dunia dalam Komersialisasi dan Privatisasi Layanan Atas Air di Indonesia (Salatiga: Widya Sari Press, 2004), hlm. ii
[24] Budi Wignyosukarta. “Aroma Privatisasi Dalam UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air”. Makalah Seminar Bulanan ke-31 PUSTEP-UGM, 2 Agustus 2005. Lihat pada www.ekonomipascasila.org diakses pada 10 Oktober 2010, pukul 20.00 WIB.
[25] P. Raja Siregar, dkk. Politik Air: Penguasaan Asing Melalui Utang (Jakarta: Walhi, 2004), hlm. 46-47
[26] Ibid. hlm. 109
[27] Ibid. hlm. 104-105
[28] Ibid. hlm. 94-96
[29] P. Raja Siregar, dkk. Politik….hlm. 94-96 dan lihat juga Vandana Shiva. Water…hlm. 59-80.
[30] Marwan Batubara. “Menggugat Penjajahan Sumberdaya Air dengan Modus Privatisasi”. Dalam http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menggugat-penjajahan-sumberdaya-air-denganmodus-privatisasi-2.htm. diakses pada 10 Oktober 2010, pukul 20.00 WIB.
[31] Hasbi Ash Shiddieqy. Pengantar Fiqh Muamalah. (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 171-175
[32] An Nabhani, Taqiyuddin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektf Islam. (Jakarta: Risalah Gusti, 1996), hlm. 71
[33] Hasbi Ash Shiddieqy. Pengantar…. hlm. 173
[34] M. Sholahuddin. Asas-Asas Ekonomi Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 106
[35] Ibid. hlm. 108
[36] M. Sholahuddin. Asas…hlm. 120-121
[37] Ekonomi Islam adalah fiqh muamalah, hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Qodri Azizy. Lihat dalam Qodri Azizy. Membangun Fondasi Ekonomi Umat. Meneropong Prosfek berkembangnya Ekonomi Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 175-199
[38] Munawar Khalil. “Privatisasi Privatisasi Sumber Daya Air dalam Tinjauan Hukum Islam”. Jurnal Pemikiran Islam Afkaruna. Vol. 1. No. 1 Januari – Juni 2006,.hlm. 5
[39] Ibid
[40] Munawar Khalil. Privatisasi…hlm. 12
[41] Lihat Q.S. al-Waqi’ah (56) ayat  68-69. Lihat juga Afzalur Rahman. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid 1. Terj. Soeroyo dan Nastangin (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 241
[42] Munawar Khalil. Privatisasi….hlm. 6
[43] Vandhana Shiva. Water Wars: Privatisasi, Profit dan Polusi. Terj. Achmad Uzair (Yogyakarta: Insist Press, 2003), hlm. 1
[44]P. Raja Siregar, dkk. Politik….hlm. 33
[45] Walhi. “Kebutuhan Dasar Merupakan Hak Asasi Manusia”. Dalam http://www.walhi.or.id/kampanye/air/privatisasi/priv_air diakses pada 10 Oktober 2010, pukul 20.00 WIB.
[46] Henry Heyneardi dan Savio Wermasubun. Dagang Air. Perihal Peran Bank Dunia dalam Komersialisasi Privatisasi Layanan Atas Air di Indonesia (Salatiga: Widya Sari Press, 2003), hlm.71
[47] Ibid. hlm. 72

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id