Sabtu, 29 Maret 2014

Bank NTB: Dari CSR Hingga Nasib UUS

Tulisan ini telah terbit di Harian Umum Lombok Post pada 25 dan 26 Maret 2014





Beberapa minggu yang lalu, melalui media ini, kita diingatkan perihal dana corporate social responsibility (CSR) PT. Bank NTB yang dinilai oleh sebagian anggota dewan menimbulkan pertanyaan serius dan dibutuhkan mekanisme dan prosedur yang jelas menyangkut pengaturannya, hingga pada Senin, 09 September 2013 di harian ini pula saya pernah menulis menyangkut Akselerasi Konversi PT. Bank NTB menjadi bank syariah.
Dalam tulisan kali ini saya akan mencoba mengelaborasi kedua hal tersebut, agar bagi masyarakat dapat memahami sebenarnya apa dan bagaimana CSR perbankan itu sendiri, hingga meneropong dari jarak jauh bagaimana nasib dan perkembangan unit usaha syariah (UUS) PT. Bank NTB saat ini.
CSR merupakan wacana penting dalam dunia bisnis sejak tahun '970an. Dalam historisnya, praktik CSR sendiri berawal dari tahap yang paling sederhana, yakni sifat kedermawanan para pemilik perusahaan. Pada saat ini CSR merupakan kegiatan penting bagi perusahaan-perusahaan modern, terutama dipelopori oleh MNCs (multi­national corporations). Terdapat berbagai definisi CSR, namun pada intinya menekankan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi (menciptakan profit demi kelang­sungan usaha), melainkan juga tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam dunia perbankan, CSR juga telah menjadi tren baru yang menarik. Meskipun demikian, masih terdapat pro dan kontra tentang relevansi CSR dengan bisnis pada perusahaan.
Argumen yang mendukung pentingnya CSR bagi perusahaan antara lain: (a) CSR sejalan dengan kebutuhan dan harapan masyarakat yang terus berubah; (b). Perusahaan sebagai bagian dari masyarakat memiliki kewajiban moral terhadap ling­kungannya; (c) Terbatasnya sumber-sumber daya mendorong perusahaan untuk bekerja­sama dengan masyarakat untuk memeli­haranya; (d) Semakin baik lingkungan sosial maka akan semakin baik pula lingkungan bisnis itu; (e) Perimbangan tanggung jawab dan kekuasaan perusahaan; (f) CSR merupa­kan suatu nilai lebih yang sangat positif bagi perkembangan dan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang.
Sementara itu argumentasi yang menentang CSR antara lain: (a).Tujuan bisnis adalah mengejar keuntungan sebesar-­besarnya; (b).CSR dapat mengganggu fokus manajemen perusahaan; (c) CSR dianggap memberatkan masyarakat, karena biaya­-biaya dibebankan pada produk yang harus dibayar konsumen; (d) Bisnis mempunyai kekuasaan yang sudah memadai, sehingga tidak memerlukan dukungan masyarakat; (e) Kurangnya tenaga terampil yang dimiliki perusahaan; (f) pada dasarnya perusahaan tidak mampu membuat pilihan moral, sehingga sulit membuat keputusan sosial.

CSR dalam Perspektif Islam dan Perbankan Syariah
CSR dalam perspektif Islam merupakan konsekuensi inhern dari ajaran Islam itu sendiri. Tujuan dari syariat Islam (maqashid al syariah) adalah maslahah sehingga bisnis adalah upaya untuk menciptakan kemaslahatan, bukan sekedar mencari keuntungan. Menurut Syed Nawab Haider Naqvy (1996), kegiatan ekonomi dan bisnis dalam Islam dilandasi oleh aksioma Tauhid, Keseimbangan, Kebebasan, dan Pertang­gungjawaban. Aksioma-aksioma ini harus diimplementasikan dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi dan bisnis. Aksioma keseimbangan dan pertanggungjawaban, misalnya, akan membawa implikasi pada keseimbangan dan pertanggungjawaban antara jiwa dan raga, antara person dan keluarga, antara individu dan sosial, antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya (Beekun, R.I., 1997).
Aktifitas CSR pada dasarnya juga melekat secara inhern pada bank syariah sebagai konsekuensi kebersandaran bank syariah pada ajaran Islam. Berbeda dengan bank konvensional, bank syariah tidak dapat memisahkan secara dikotomis antara orientasi bisnisnya dengan orientasi sosialnya. Orientasi bisnis seharusnya juga membawa orientasi sosial, atau setidaknya tidak kontradiksi dengan orientasi sosial. Hal ini membawa konsekuensi pada kuatnya karakter sosial dari perbankan syariah, relatif jika dibandingkan dengan bank konvensional.
Sebenarnya, dalam pandangan Islam kewajiban melaksanakan CSR bukan hanya menyangkut pemenuhan kewajiban secara hukum dan moral, tetapi juga strategi agar perusahaan dan masyarakat tetap survive dalam jangka panjang. Jika CSR tidak dilaksanakan maka akan terdapat lebih banyak biaya yang harus ditanggung per­usahaan. Sebaliknya jika perusahaan melak­sanakan CSR dengan baik dan aktif bekerja keras mengimbangi hak-hak dari semua stakeholders berdasarkan kewajaran, martabat dan keadilan, dan memastikan distribusi kekayaan yang adil, akan benar­-benar bermanfaat bagi perusahaan dalam jangka panjang. Seperti meningkatkan kepuasan, menciptakan lingkungan kerja yang aktif dan sehat, mengurangi stres karyawan, meningkatkan moral, mening­katkan produktivitas dan juga meningkatkan distribusi kekayaan di dalam masyarakat. CSR juga dapat digunakan sebagai alat stratejik untuk membentuk reputasi dan imej publik terhadap bank syariah sehingga menguntungkan dalam jangka panjang.
Tetapi, kenyataannya masih banyak bank syariah yang semata-mata lebih mengutamakan pencapaian keuntungan maksimal, sebagaimana bank-bank konven­sional selama ini. Seharusnya mereka menyertakan komponen tanggung jawab sosial dalam kegiatan operasionalnya sebagai tujuan akhir dalam melayani masyarakat secara utuh. Dalam studi terhadap 47 bank syariah yang tersebar di 14 negara, perbankan syariah juga ditengarai belum bersikap terbuka dalam melaporkan aktifitas CSRnya, terutama jika dilihat dari laporan keuangan yang dipublikasikan (Farook Syad and Lanis Roman, www.afaanz.org).
Program CSR kebanyakan dilakukan dalam bentuk Community Development yang cenderung bersifat karitatif, responsif, berorientasi jangka pendek, dan kurang melibatkan masyarakat. (Sunartiningsih 2004; Ardiyan Rino, 2004). Program CSR seringkali hanya sebagai program peredam gejolak, yang nampak ketika terjadi kasus keributan di dalam masyarakat misalnya.
Salah satu penyebab lemahnya pelaksanaan CSR kemungkinan adalah karena masih adanya anggapan bahwa CSR adalah sentra biaya (cost center) sehingga akan mengurangi laba perusahaan. Kompetisi perbankan yang ketat dan orientasi maksimasi keuntungan juga seringkali menyebabkan kecenderungan bank syariah untuk lebih melayani kelompok kuat dan profitable. Karenanya, fungsi sosial bank syariah dalam mem­fasilitasi keterkaitan antara voluntary sector dengan pemberdayaan ekonomi marjinal belum optimal. Nah karena beberapa argument di atas itulah maka penulis merasa memang dibutuhkan suatu aturan khusus menyangkut bagaimana mekanisme dan prosedur pengaturan CSR PT. Bank NTB sebagai bank plat merah daerah. Meskipun pengawasan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Bank Indonesia (BI), namun tetap ini harus memiliki mekanisme khusus sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah selaku pemilik kepada masyarakatnya.

Unit Usaha Syariah PT. Bank NTB
TAHUN 2014 merupakan tahun kesembilan beroperasionalnya Unit Usaha Syariah (UUS) dan Kantor Cabang Syariah PT. Bank NTB. Dalam usianya yang masih seumur jagung ini, setidaknya dapat dijadikan pijakan dalam mengevaluasi dan memposisikan keberadaan UUS dan Kantor Cabang Syariah PT. Bank NTB. Memposisikan UUS dan Kantor Cabang Syariah PT. Bank NTB ini akan baik jika dilihat dari aspek nasabah atau masyarakat pengguna jasa perbankan syariah, termasuk disini aspirasi masyarakat yang menghendaki adanya konversi PT. Bank NTB menjadi Bank Syariah dan aspek manajemen PT. Bank NTB syariah sendiri yang saat ini masih menerapkan dual banking sistem.
Salah satu ketentuan dalam UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah kewajiban bagi Bank Umum Konvensional (BUK) untuk melakukan spin-off atas UUS yang dimilikinya dan dikonversi menjadi BUS. Ini harus dilakukan ketika nilai asset UUS telah mencapai paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya, atau paling lambat 15 tahun sejak berlakunya UU ini, yaitu tahun 2023.
Namun demikian harus dipertimbangkan apakah mau entry melalui spin off atau langsung konversi. Diantara keuntungan entry melalui UUS adalah biaya yang lebih rendah dan proses yang relatif cepat. Kalau langsung membuka BUS, minimal harus menyediakan setoran modal Rp.1 triliun dan proses perizinan baru (atau konversi) yang relatif memakan waktu. UUS juga bisa memanfaatkan berbagai sarana dan pra-sarana yang dimiliki oleh induk, baik IT, jaringan dan SDM.
Namun untuk akselerasi pertumbuhan dan target market share yang lebih ambisius (bukan sekedar nice to have), UUS mempunyai beberapa kelemahan. Diantara faktor-faktor yang menyebabkan kondisi tersebut antara lain (Sumber: Kajian Spin Off, Batasa Tazkia, 2009). Pertama, rendahnya sinkronisasi (alignment) kebijakan dan pelaksanaan strategi bank induk (yang fokus pada bisnis konvensional) dengan UUS (yang beroperasi laiknya bank dalam bank). Kedua, brand awareness dan top of mind masyarakat rendah sebagai akibat belum dilakukannya program komunikasi yang memadai. Ketiga, kebutuhan SDM baik di kantor pusat (UUS) maupun KCS belum terpenuhi, karena rendahnya alignment dan mis-match prioritas induk dan UUS. Keempat, optimalisasi penggunaan kewenangan limit pembiayaan yang dimiliki masih kurang.
Pertanyaan saat ini yang masyarakat masih membutuhkan jawaban adalah mau spin off kapan? Ini sebenarnya bukan pilihan yang sulit. Melihat besarnya keuntungan yang dimiliki oleh early entrants dalam hal positioning dan market capture, maka BUS adalah pilihan terbaik. Bahwa BUS bisa dengan relatif menguasai pangsa pasar iB. Apalagi ketika semua bank pada tahun 2023 akan berbentuk BUS, sangat logis kalau proses UUS menjadi BUS dilakukan sebaik mungkin (painless, effective, biaya rendah). Dan ini berarti proses transformasi harus dimulai seawal mungkin.
Ada beberapa alasan mengapa strategi perlu dipertimbangkan, yaitu: Pertama, memanfaatkan momentum konsolidasi perbankan nasional yang sedang berlangsung. Dalam kondisi konsolidasi, ketentuan permodalan masih relatif longgar, dan kalaupun jalur akusisi yang diambil, bank yang tersedia untuk diambil alih masih relatif banyak dengan harga reasonable. Kedua, pangsa pasar dan pencapaian kinerja BUS lebih baik dari UUS secara umum. Ini diantaranya disebabkan penetapan strategi BUS yang lebih mudah dibanding UUS, karena jumlah stakeholder terbatas. BUS juga memiliki independensi yang tinggi dalam penentuan target dan pengembangan kapasitas operasional. Ketiga, BUS juga memiliki kemudahan melakukan cost efficiency, proses migrasi sistem atau SDM, dan kemudahan pengukuran kinerja bagi bank dan karyawan. Terakhir, dukungan BI juga cukup besar bagi BUS, dalam upaya bank sentral mendorong pencapaian target market share dan mendukung implementasi arsitektur perbankan syariah nasional.
Persoalan manajemen dengan adanya rencana konversi juga sebaiknya dipersiapkan, hal ini misalnya dengan melakukan edukasi, meningkatkan public awareness, persiapan infrastruktur dan teknologi IT disamping juga harus dibarengi dengan inovasi produk dan layanan serta komitmen dalam  menjalankan syariah Islam dalam perbankan dan penyiapan sumber daya insani (SDI), selama ini yang kita lihat belum pernah PT. Bank NTB melakukan recruitment karyawan yang khusus dialokasikan untuk pengembangan syariah, namun cenderung hanya bersipat suplemen atau malah mengambil dari karyawan konvensional yang ada. Ini tidak keliru, namun sebagaimana yang telah kerap kali diingatkan oleh para ahli dan praktisi perbankan syariah, sebaiknya ada alokasi khusus untuk penyiapan dan pengembangan SDI ini, jangan melulu melakukan pembajakan karyawan (istilah Salman Taufik). Saya rasa hal ini terkait juga dengan tingkat kesehatan bank, jadi semua aspek harus dilakukan dengan transparan dan sepengetahuan publik/nasabah untuk menjamin tingkat kepercayaan yang lebih tinggi lagi. 
Kalau memang benar-benar komitmen untuk mengembangkan syariah, saya rasa laju tumbuh kembang UUS PT. Bank NTB dengan kantor cabang dan kasnya yang ada saat ini tidak akan tertatih-tatih, sebagimana yang terjadi selama ini. Aspirasi ini juga sebaiknya secara cepat dan cerdas ditindaklanjuti, mengingat hal ini merupakan aspirasi masyarakat NTB yang merasa memiliki bank pembangunan daerah mereka, juga untuk menangkap peluang yang lebih besar dimasa depan.

Sabtu, 22 Maret 2014

Kinerja Pembangunan



Tulisan ini telah terbit pada Jurnal Iqtishaduna dengan Judul “Menilai Kinerja Pembangunan dengan Analisis Pendekatan Maqasid al-Syariah” Iqtishaduna Edisi 4 Tahun 2013. Hal. 33-62. ISSN: 2076-1234.


Abstract
This research of background by idea that most development in Nations moslem adopt development strategy Western countries of ideological characteristic and its economist situation. Frequent this by mistake of times, rill make Nations moslem very difficult to face problems of faced economist. From result of analysis that is later, then concluded that is: First, failure of development theorys which in awaking up in West conception is resulted because used approach by parsial. This approach of implication at uncared frequent logical consequences, namely: (a) emphasis at growth disregarding distribution with justice; (b) do not express the existence of policy priority; (c) do not there are strategy touching the problem of economics directly, (d) uneven run policys, so that often generate and  do not flatten and is inequitable. Both, one of the approach which is used in assessing development performance in is in perspective of Islam by using analysis of al-maqasid is cultural approach in anthropological frame of development representing one of the alternative approach as form revise from approach of development of which totally in handling and touching entire/all existing problems which is overemphasize economic aspect.

Keyword: Approach, Maqasid al-Syariah, Performance, Development.

A.    Pendahuluan
Paradigma tradisional tentang kinerja pembangunan cenderung mengidentikkan kinerja pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi.[1] Kinerja pembangunan dikatakan berhasil bila pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah relatif tinggi. Namun dewasa ini, definisi kinerja pembangunan yang banyak diterima adalah kinerja pembangunan merupakan suatu proses dimana pendapatan perkapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah “garis kemiskinan absolut” tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang.[2]
Berangkat dari keinginan untuk menyempurnakan indikator kesejahteraan, maka banyak ahli ekonomi dan lembaga internasional mengembangkan indeks pembangunan dengan memasukkan indikator sosial.[3] Konesp Human Developmen Index yang dikembangkan oleh United Nation Development Program (UNDP) memperioritaskan pada pencapaian tujuan pembangunan yang menjadikan masyarakat sebagai fokus perhatian. Beberapa pemikiran yang dikembangkan oleh UNDP diringkas sebagai berikut: (1) memfokuskan pembangunan pada manusia; (2) memadukan pendekatan ekonomi dan sosial dalam pencapaian tujuan pembangunan; (3) menyediakan alat analisis untuk perencanaan pembangunan; dan (4) memberikan anjuran kepada pemerintah dunia ketiga guna memperioritaskan distribusi hasil pembangunan.[4]
Di Indonesia, kondisi pembangunan fisik memang telah menghasilkan kemajuan yang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi telah meningkat tajam pada awal 1980-an, tetapi tidak terjadi kesinambungan seperti yang diharapkan. Akibat dari kemajuan pembangunan fisik, terjadi pula pengrusakan alam lingkungan secara besar-besaran. Meskipun secara normatif, masalah-masalah kemiskinan, kesehatan, pengangguran, keadilan sosial telah termuat dalam naskah-naskah perencanaan pembangunan nasional namun implementasinya masih sangat jauh dari memusakan.[5]
Hasil-hasil pembangunan yang telah di capai dengan penerapan sejumlah teori dan asumsi kemudian menghadirkan banyak konsekuensi subjektif kemudian menjadi wacana perdebatan. Hal ini menjadi menarik, karena merupakan upaya pembongkaran terhadap substansi pemikiran yang berasal dari ideologi ilmu sosial yang bernama “pembangunan” (developmentalism). Sebuah konsep pembangunan yang berasal dari Barat yang serta merta dipaksakan pada hampir semua rakyat yang hidup di dunia ketiga, dan tidak lepas dari refleksi paradigma positivisme dan post-positivisme menyangkut perubahan sosial yang bersifat reduksionis. Ilmu pengetahuan yang memuat konsep pembangunan yang diproduksi oleh negara Barat dan dikirimkan kepada rakyat dunia ketiga, dimana mereka awalnya dilabeli “kekurangan” tentang hal-hal yang dapat dipenuhi oleh teknologi dan keahlian professional.[6]
Diskursus pembangunan selanjutnya tidak pernah memberi legitimasi segala bentuk pengetahuan “non-positivisme”, sehingga cara-cara pertanian tradisional digusur dan segala bentuk formasi non-kapitalistik dihancurkan. Keragaman pemikiran yang berasal dari budaya etnik dilabeli sebagai tradisional yang menghambat pola fikir yang rasional. Dalam kondisi seperti ini akhirnya lahirlah banyak pemikir kritis yang bersikap bahkan menolak konsep pembangunan.
Pada penelitian ini kinerja pembangunan dikaji dari konsep maqasid al-syariah, untuk selanjutnya akan disebut al-maqasid. Konsep al-maqasid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia didunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan dan peningkatan mutu hidup terhadap unsur-unsur, yakni agama, keimanan, jiwa, akal, keturunan dan harta.[7] Sesuai dengan diskusi menyangkut al-maqasid, pengayaan keimanan, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan menjadi fokus dari semua upaya manusia. Jadi manusia ini sendiri menjadi tujuan maupun cara, sangat berhubungan dan tergantung pada proses sebab akibat berantai. Realisasi tujuan ini memperkuat cara dan lebih lanjut mengintensifkan realisasi tujuan.[8] Dengan demikian kewajiban-kewajiban dalam syariah yang menyangkut perlindungan al-maqasid pada gilirannya bertujuan untuk melindungi kemaslahatan manusia.[9]
Sementara itu, fokus permasalahan yang hendak dipecahkan adalah tentang bagaimana mengetahui kinerja pembangunan dalam perspektif Islam? Dan bagaimana menentukan pendekatan yang digunakan dalam menilai kinerja pembangunan dalam perspektif Islam dengan menggunakan analisis al-maqasid?

B.     Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan dalam dua pendekatan, yakni: pendekatan komparatif eksploratif[10] dan pendekatan antropologis. [11] Sementaran jenis penelitian, yakni deskriptif kualitatif.[12] Untuk teknik pengumpulan data menggunakan litereir atau library research (studi pustaka). Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri atas: pertama, data primer, yakni al-Qur’an, Hadis dan Fatwa MUI tentang kriteria maslahat; kedua, data skunder, yakni terdiri dari bahan-bahan pustaka lainnya, seperti buku, artikel, jurnal, ensiklopedi, software kitab-kitab Islam, dan data internet yang berisikan pendapat para pakar atau praktisi dan hal-hal yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang menjadi obyek kajian; ketiga data tersier, yaitu data hasil penelitin, kamus hukum dan kamus ekonomi. Sedangkan teknik analisis data menggunakan content analisys (analisis isi) dengan paradigma kritis.[13] Holsti sebagaimana dikutip Isnawijaya, mendefinisikan analisis isi sebagai teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis.[14]

C.     Hasil dan Pembahasan
Kinerja Pembangunan
Berbagai definisi dikemukakan menyangkut kinerja pembangunan, misalnya dimana kinerja lebih merupakan suatu istilah umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode yang dicapai, kemampuan kerja atau prestasi yang diperlihatkan.[15] Menurut Fiske sebagaimana dikutip Sri Handayani menjelaskan bahwa kinerja merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pekerja dalam pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan.[16]
Menurut Wiklund ukuran kinerja adalah pertumbuhan (growh), menurut Widodo, secara fungsional kinerja organisasi tercermin dari baiknya tingkat kinerja sumber daya manusia seperti tingginya tingkat produktivitas, tingkat kreativitas dan inovasi, juga tercermin pada manajemen operasi produksi seperti tingginya tingkat efesiensi, tingginya mutu produk dan mutu layanan, disamping tingginya kinerja manajemen keuangan, seperti ketersediaan dana, penggunaan dana yang efektif dan efesien.[17]
Dari definisi tersebut di atas, maka kinerja adalah merupakan hasil kerja pembangunan yang dicapai oleh suatu organisasi, daerah dan atau negara selama periode tertentu. Menurut Todaro kinerja pembangunan dapat dimaknai sebagai suatu proses multidimensi yang melibatkan perubahan-perubahan dalam suatu struktur sosial, sikap dan faktor kelembagaan, juga percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakadilan dan penghapusan kemiskinan absolut.[18]
Setidaknya terdapat tiga nilai dasar yang harus diperhatikan dalam kinerja pembangunan yakni:[19] (1) sustenance yakni kemampuan untuk menyediakan kebutuhan dasar yang meliputi pangan, papan dan rasa aman; (2) self-estem yakni berupa kebutuhan untuk dihargai dimana suatu perasaan akan dinilai atau martabat dan hormat terhadap diri pribadi, sehingga tidak dimanfaatkan semata-mata sebagai alat untuk mencapai tujuan orang lain; (3) freedom from servitude yakni kebebasan untuk dapat memilih. Kebebasan disini hendaknya tidak dipahami dalam makna politik atau ideologi, melainkan dalam pengertian yang lebih mendasar mengenai kebebasan atau emansipasi dari perampasan kondisi material kehidupan, dari penjajahan sosial atas manusia oleh alam, kebodohan, penderitaan, lembaga-lembaga dan keyakinan-keyakinan dogmatik.
Sejak akhir tahun 1940-an pembangunan telah menjadi perhatian bagi penelitian akademik yang penting terutama di negara-negara yang baru merdeka (post colonial states). Sejak itu istilah pembangunan diasosiasikan dengan kondisi dan situasi ekonomi, politik, dan perubahan sosial. Permasalahan klasik pembangunan adalah kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan yang masih terus terjadi. Tantangan studi pembangunan adalah menjembatani kesenjangan dan ketidakadilan, mempromosikan penanganan konflik dengan jalan yang damai, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.[20]
Berbagai teori pembangunan yang muncul seolah-olah tak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat dunia. Teori-teori ekonomi sejak dari neo-klasik ekonomi konvensional sampai liberalisasi dan deregulasi juga tidak membuat bangsa-bangsa di dunia menjadi sejahtera seperti yang dicita-citakan. Teori pembangunan terus mengalami perkembangan termasuk bertambah luasnya kajian dan bidang ilmu yang memberikan kontribusi. Salah satunya adalah masuknya ilmu filsafat, etika dan keagamaan dalam mengkaji teori dan praktek pembangunan. Pembahasan tentang etika pembangunan dan peran nilai-nilai keagamaan semakin relevan dengan kondisi bangsa yang belum begitu menggembirakan. Kebijakan pembangunan masih lebih menekankan pada dimensi ekonomi dan fisik, belum menyentuh dimensi lain terutama moralitas dan religiusitas.
Dalam kepustakaan menyangkut konsep kinerja pembangunan, konsep kinerja pembangunan muncul seiring dengan kajian tentang teori dan studi pembangunan. Diantara konsep kinerja pembangunan yang paling sering disinggung adalah konsep modernisasi (Modernization Concept), konsep ketergantungan (Dependency Concept). Kemudian diikuti dengan berkembangnya konsep sistem dunia (World System Concept). Sampai saat ini berbagai konsep dan paradigma yang muncul diseputar kinerja pembangunan adalah variasi ketiga konsep tersebut.[21]
Konsep terakhir yang tidak dapat dilepaskan dari konsep dan paradigma pembangunan dan berbagai pandangan di dalamnya adalah konsep pembangunan manusia. Menurut konsep ini, tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk menikmati kehidupan yang kreatif, sehat dan berumur panjang. Walaupun sederhana, tujuan ini sering terlupakan oleh keinginan untuk meningkatkan akumulasi barang dan modal. Banyak pengalaman pembangunan menunjukkan bahwa kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tidak terjadi dengan sendirinya. Pengalaman-pengalaman tersebut mengingatkan bahwa pertumbuhan produksi dan pendapatan (wealth) hanya merupakan alat saja, sedangkan tujuan akhir pembangunan harus manusianya.
Pembangunan manusia bertujuan untuk memperluas pilihan-pilihan manusia. Pengertian ini mempunyai dua sisi. Pertama, pembentukan kemampuan manusia seperti tercermin dalam kesehatan, pengetahuan dan keahlian yang meningkat. Kedua, penggunaan kemampuan yang telah dimiliki untuk bekerja, menikmati kehidupan atau aktif dalam kegiatan budaya, sosial, dan politik. Paradigma pembangunan manusia yang disebut sebagai sebuah konsep holistik mempunyai 4 unsur penting, yakni: (1) peningkatan produktivitas; (2) pemerataan kesempatan; (3) kesinambungan pembangunan; dan (4) pemberdayaan manusia.[22]
Pembangunan selalu menunjukan pada manusia, dimana manusia adalah subjek pembangunan. Hal itu berarti bahwa di satu pihak manusia adalah pelaksana, di lain pihak ia adalah tujuan pembangunan. Suatu pembangunan akhirnya tidak akan berhasil jika tidak memperhatikan para manusia pelakunya. Sebab pada manusia-lah pembangunan benar-benar mempunyai akar yang kuat. Produksi hanya dapat dihasilkan dan dapat diberikan secara kontinu, sepanjang manusia sanggup melaksanakannya. Pembangunan secara struktural berarti membangun manusia pembangunan.[23]
Di Indonesia, pembangunan adalah sebuah istilah yang populer dalam kehidupan bangsa Indonesia, terutama pada masa Orde Baru. Kata ini seakan-akan menjadi suatu kekuatan besar yang memberikan energi dan motivasi kepada bangsa Indonesia untuk meraih keberhasilan dan kesejahteraan dalam segala aspek kehidupan. Kebijakan pembangunan di Indonesia selama masa Orde Baru dirumuskan dalam program Pembangunan Jangka Panjang (PJP), telah berhasil mengangkat angka pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan pada saat itu.[24] Namun di sisi lain, keterlibatan masyarakat baik dalam proses maupun pemanfaatan hasil, belum mencapai tingkatan yang merata (adil). Sebaliknya proses dan hasil pembangunan masih sangat terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat, terutama para pemilik modal.
Kondisi tersebut dimungkinkan, mengingat model pembangunan berorientasi pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, dengan konsekuensi menjadikan uang (capital) sebagai yang paling pokok.[25] Konsekuensinya lembaga-lembaga non-ekonomi seperti lembaga politik dan sosial juga harus digerakkan untuk mencapai tujuan ini. Jika ini bisa dilakukan maka tahap lepas landas dan kemudian tahap konsumsi masal yang tinggi (sebagaimana Rostow) akan dicapai. Namun demikian, langkah pertama seluruh proses yang panjang ini dimulai dengan menghilangkan hambatan pada masyarakat tradisional, agar masyarakat dapat memerdekakan dari nilai-nilai tradisinya, dan mulai bergerak maju. Dengan demikian, kelompok masyarakat yang terlibat dalam proses maupun pemanfaatan hasil, terbatas pada mereka yang kuat secara ekonomi. Yang kondisi ini menyebabkan keresahan sosial dan berujung pada krisis multidimensi dan ancaman disintegrasi nasional.[26]
Makna dan hakikat pembangunan nasional di Indonesia yang dirumuskan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) yang merupakan rangkaian upaya pembangunan berkesinambungan dan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat seperti ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan dan keamanan (hankam). Rangkaian pembangunan dalam seluruh aspek tersebut diupayakan untuk mencapai tujuan nasional yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yakni kesejahtraan umum dan keadilan sosial.[27]
Kebijakan dan program pembangunan yang disusun setiap lima tahun (Repelita) sekali dengan GBHN sebagai landasan operasionalnya telah “membius” dan menambah keyakinan masyarakat akan kehebatan pembangunan. Hal ini diperkuat dengan laporan-laporan, data statistik, dan dukungan dunia internasional yang menunjukkan kesuksesan pelaksanaan pembangunan serta indikator sosial-ekonomi lainnya semakin menambah kepercayaan bangsa Indonesia akan keampuhan dan “kesaktian” kata pembangunan, meskipun dalam kenyataannya sebagian besar mereka hidup dalam kesulitan dan kebodohan karena kemiskinan.[28]
Pembangunan dikatakan berhasil, manakala pertumbuhan ekonomi tinggi yang pada gilirannya akan memberikan efek tetesan ke bawah (trickle down effect) sehingga keberhasilan tersebut akan dirasakan oleh setiap anggota masyarakat. Kenyataan menunjukkan hal yang berbeda dari anggapan tersebut, badai krisis (ekonomi dan politik) pada 1997 akhirnya membuktikan pelaksanaan pembangunan yang memihak para konglomerat dan mengabaikan kekuatan masyarakat bawah sebagai sumber daya yang sangat potensial dan merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia.
Pemihakan tersebut sangat dimungkinkan karena paradigma pembangunan yang diterapkan lebih mengacu pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang mengutamakan uang (capital) sebagai yang paling utama (capital centered development). Pemihakan ini sebenarnya bertentangan dengan tujuan pembangunan nasional yang menekankan pada pembangunan untuk seluruh dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pasal 33 UUD 1945. Tetapi dalam prakteknya, porsi yang terbesar diberikan kepada swasta (konglomerat) sementara BUMN terlebih lagi koperasi, hanya menjalankan peran yang marjinal.[29]
Konsep pembangunan yang berkembang di Indonesia dirumuskan melalui sebuah sistem yang biasa disebut sistem ekonomi Pancasila. Secara konseptual, setidaknya terdapat 4 (empat) ciri khas sistem ekonomi Pancasila yakni:[30] (1) peranan dominan koperasi bersama dengan perusahaan negara dan perusahaan swasta. Semua bentuk badan usaha didasarkan pada asas kekeluargaan dan prinsip harmoni dan bukan pada asas kepentingan pribadi dan prinsip konflik kepentingan; (2) memandang manusia secara utuh. Manusia bukan semata-mata homo economicusi tetapi juga social man and religious man; (3) adanya kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme atau kemerataan sosial; dan (4) prioritas utama terhadap terciptanya suatu perekonomian nasional yang tangguh.
Adapun panca ajaran ekonomi Pancasila yang dapat diturunkan dalam setiap sila sebagaimana yang telah dimasyarakatkan pada tahun 1981, yakni:[31] (1) roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral; (2) kehendak kuat rakyat akan adanya kemerataan sosial; (3) peroioritas kebijaksanaan ekonomi pada pengembangan ekonomi nasional yang tangguh; (4) koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional; (5) keseimbangan antara perencanaan nasional dan desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi di daerah-daerah.
Secara yuridis implementasi konsep pembangunan di Indonesia yang dirumuskan dalam sistem ekonomi Pancasila ini selalu didasarkan pada hukum dan melaksanakan demokrasi ekonomi. Demokrasi yang menjadi tujuan untuk tercapainya masyarakat adil dan makmur material dan spiritual berdasarkan Pancasila. Dengan demikian dalam ekonomi Pancasila dan implementasi konsep pembangunnanya, yang primer atau yang predominan adalah Pancasilanya sebagai falsafah hidup bangsa. Selain itu, faktor-faktor sosio-kultural sebagai keperibadian bangsa juga bersifat predominan dan menentukan nilai-nilai serta faktor-faktor ekonomi yang dijunjung tinggi serta digunakan dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.

Maqasid al-Syariah
Secara bahasa maqasid al-syariah terdiri dari dua kata yakni maqasid dan al-syar’iyah. Maqasid adalah bentuk jamak dari maqshad yang berarti tujuan (goal).[32] Syar’iyah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air, dalam pengertian ini dapat pula dikatakan sebagai jalan menuju sumber pokok kehidupan.[33]
Diantara beberapa prinsip yang mengatur tentang konsep maqashid al-syariah, misalnya sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Anbiya’ (21) ayat 107. Ayat ini memiliki kandungan bahwa segala ketentuan syariat yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad saw. bertujuan untuk membawa manusia pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Ayat ini juga mengindikasikan tujuan syariat untuk mengatur kemaslahatan yang ada pada kehidupan manusia. Bahkan melalui ayat ini juga dipahami adanya perlakuan yang sama antara sikap Allah kepada Muslim dan non-Muslim dalam hal pemberian rahmat.[34]
Disamping itu, ayat-ayat dalam al-Qur’an juga menunjukkan adanya konsep tadrijiy (gradual) dalam menetapkan syariat Islam, seperti ayat-ayat yang menunjukkan proses haramnya riba.[35] Graduasi pengharaman riba tersebut mempertimbangkan kebiasaan umat yang ada saat itu, sehingga perubahan tidak dilakukan dengan serta merta. Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam begitu memperhatikan kemaslahatan manusia secara sosiologis dan psikologis.
Beberapa ayat al-Qur’an yang dijadikan rujukan misalnya dalam merumuskan konsep maslahat ini misalnya:[36] dalam hal keagamaan yakni Q.S. al-Dzariat (51): 56, Q.S. Ali Imran (3): 103. Dalam hal memelihara jiwa yakni Q.S. al-Nisa’ (4): 29-30, Q.S. al-Ma’idah (5): 32, Q.S. al-Nisa’ (4): 92. Dalam hal memelihara akal dan berpendidikan yakni Q.S. al-Ma’idah (5): 90, Q.S. ar-Rahman (55): 33. Dalam hal keturunan yakni kelangsungan hidup manusia dari generasi kegenerasi yakni Q.S. al-Nisa’(4) : 3, Q.S. an-Nur (24): 32, Q.S. ar-Ruum (30) : 21. Dalam hal kehidupan yang layak dan sejahtera yakni Q.S. al-Qashash (28): 77, dan Q.S. al-Baqarah (2): 201.[37]
Sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, as-Sunnah juga sering digunakan untuk melegitimasi dukungan Nabi Muhammad saw terhadap konsep maslahat adalah sabda Nabi yang juga digunakan oleh al-Thufi sebagai dalil teori maslahat yang ia ciptakan.[38] Hadis tersebut artinya “Dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan Al Khudri radiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh melakukan perbuatan (mudarat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain“.[39]
Selain kedua sumber hukum di atas yang disepakati oleh para ulama kekuatan hujjahnya (al­muttafaq ‘alaihima), terdapat juga beberapa ijtihad sahabat yang menjadi landasan kuat bagi maslahat dan secara rasional mengindikasikan bahwa maslahat pernah memainkan peranan yang cukup signifikan dalam sejarah Islam.[40] Beberapa kebijakan-kebijakan yang dituangkan para sahabat Nabi yang mengindikasikan peran pertimbangan maslahat, diantaranya adalah: pertama, kebijakan yang ditempuh oleh hasil Ijtihad Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an yang terpencar. Ijtihad ini atas inisiatif Umar yang berkeyakinan dan berhasil meyakinkan Abu Bakar bahwa pengumpulan mushaf akan membawa maslahat.[41] Kedua, hasil ijtihat Umar menyangkut talak, hukuman bagi pencuri dan pembagian zakat kepada muallaf. Dimana hasil Ijtihad Umar tentang ketiga hal tersebut sering dijadikan rujukan dalam penetapan maslahat.[42]
Ketiga, hasil ijtihat Umar menyangkut pembagian harta rampasan perang (ghanimah) dan hukuman bagi pelaku zina, dimana Umar dalam pembagian ghanimah ini, Umar lebih memilih untuk tidak melaksanakan ketentuan dalam al-Qur’an yakni Q.S. al-Anfal ayat 41 yang menyatakan bahwa ghanimah itu, setelah dikurangi seperlima untuk kegiatan keagamaan dan sosial, maka sisanya empat perlima dibagikan kepada mereka yang ikut berperang, dalam hal ini Umar lebih memilih untuk memberikan kepada baitul mal guna perbendaharaan negara.[43] Menyangkut hukuman bagi pelaku zina, telah menjadi ketentuan al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw bahwa hukuman yang dikenakan kepada seorang laki-laki pelaku zina yang masih lajang adalah 100 kali cambuk dan kemudian diasingkan selama satu tahun. Pada waktu Umar, pelaku zina tidak diasingkan, karena dikhawatirkan akan bergaul dan terpengaruh dengan musuh-musuhnya.[44]
Sementara itu maqasid al-syariah menurut al-Fasi yakni tujuan syariah dan rahasia-rahasia dibalik penetapan hukum oleh Allah. Maksudnya disini adalah tujuan-tujuan umum (maqasid al-ammah). Sedangkan rahasia hukum adalah maqasid al-khassah atau al-juz’iyah (tujuan khusus dari penetapan suatu hukum). Tujuan umum syariah menurut al-Fasi yakni membangun dunia, menjaga sistem kehidupan dan keutuhannya sesuai dengan kebutuhan manusia serta melaksanakan apa yang ditugaskan kepada mereka seperti berbuat adil, keselamatan akal, pekerjaan, mendistribusikan kekayaan dan lainnya.[45]
Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan tujuan umum dalam syariah yakni makna dan hikmah yang disimpulkan dari semua atau sebagaian situasi penetapan hukum yang tidak hanya dapat disimpulkan dalam bentuk khusus dari hukum-hukum syariah. Ibnu ‘Asyur selanjutnya menjelaskan bahwa al-maqasid al-ammah antara lain meliputi perlindungan terhadap aturan, menarik kemaslahatan, mencegah kerusakan, menegakkan kebersamaan antara umat beragama, menjadikan umat lebih berdaya dalam bidang ekonomi dan lainnya. Sedangkan al-mawasid al-khassah meliputi cara-cara legal untuk mewujudkan kemaslahatan umat, atau memelihara kemaslahatan umum dalam interaksi khusus. Termasuk didalamnya semua hikmah penetapan berbagai hukum dalam transaksi ekonomi.
Terkait dengan hal ini, al-Syatibi membagi ijtihad menjadi dua bentuk, yakni ijtihad istinbati dan ijtihad tatbiqi. Dalam kajian al-maqasid ijtihad istinbati dilakukan untuk mengetahui secara teliti inti masalah yang dikandung oleh nash. Inti permasalahan ini selanjutnya dijadikan tolak ukur terhadap suatu kasus yang akan ditentukan hukumnya. Kemudian untuk menerapkan inti masalah (ide hukum) yang terdapat dalam nash itu kepada suatu permasalahan yang konkrit, diperlukan suatu bentuk ijtihad lain, yakni ijtihad tatbiqi atau disebut juga dengan tahqiq al-manat (ilat). Ijtihad seperti inilah yang berperan penting dalam mengantisipasi perubahan sosial disepanjang zaman dan tempat.[46] Selanjutnya, al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan dengan al-maqasid. Kata-kata itu ialah maqasid al-syariah, al-maqasid al-syar’iyyah, dan maqasid min syar’I al-hukm. Meskipun demikian menurut Asafri, walau dengan kata-kata yang berbeda mengandung pengertian yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah swt. Apabila ditelaah pernyataan al-Syatibi tersebut, dapat dikatakan bahwa kandungan al-maqasid atau tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia.[47]
Dimana al-Syatibi mendefinisikan maslahat sebagai sesuatu yang dipahami untuk memeliharanya sebagai suatu hak hamba, dalam bentuk meraih kemaslahatan dan menolak kemudaratan yang untuk mengetahuinya tidak didasarkan pada akal semata, jika Allah tidak memberikan penegasan terhadapnya, bahkan menolaknya, maka kaum muslimin sepakat menolaknya sebagai kemaslahatan.[48] Dari pendapat ini dapat dipahami bahwa menurut al-Syatibi bahwa yang dimaksud dengan al-maslahah dalam pengertian syari’ (Allah swt) mengambil manfaat dan menolak kemafsadatan yang tidak hanya berdasarkan kepada akal sehat semata, tapi dalam rangka memelihara hak hamba.
Al-Syatibi menyatakan bahwa tidak semua kemaslahatan duniawi dapat diketahui oleh akal, namun hanya sebagian, dan lainnya diketahui melalui syariat. Jika akal dapat mengetahui segala kemaslahatan duniawi secara mutlak, syariat hanya berfungsi sebagai pedoman ukhrawi, padahal syariat bermaksud menegakkan keduanya, kehidupan duniawi dan ukhrawi.[49]
Sehubungan dengan hal inilah, justifikasi pendapat al-Syatibi patut dikemukakan bahwa akal itu tidak dapat menentukan baik dan jahatnya sesuatu, maksudnya adalah akal tidak dapat mengatasi syariat dalam menilai baik jahatnya sesuatu sehingga akal harus tunduk kepada wahyu, akal tidak memiliki lahan berfikir kecuali dalam hal yang telah diberikan melalui wahyu. Dengan kata lain akal tidak boleh menjadi subjek atas syariat. Disini sebenarnya dapat dipahami bahwa al-Syatibi dalam membicarakan maslahat memberikan dua dlawabith al-maslahat (kriteria maslahat) sebagai batasan: Pertama, maslahat itu harus bersifat mutlak, artinya bukan relatif atau subyektif yang akan membuatnya tunduk pada hawa nafsu. Kedua, maslahat itu bersifat universal (kulliyah) dan universalitas ini tidak bertentangan dengan sebagian juziyat-nya.[50]
Sedangkan definisi maslahat secara terminologi atau istilah syarak telah banyak dikemukakan oleh para ulama ushul. Di antaranya adalah: Imam Ghazali, memberikan definisi maslahat sebagai sebuah ungkapan yang menunjukkan adanya (usaha) mengambil manfaat dan menolak mudarat dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syarak.[51] Ungkapan al-Ghazali ini memberikan isyarat bahwa ada dua bentuk kemaslahatan, yaitu kemasalahatan menurut manusia dan kemaslahatan menurut syari’at. Kemasalahatan menurut manusia ukurannya adalah akal dan perasaan, sedangkan kemaslahatan menurut syari’at ukuranya adalah wahyu.[52]
Dalam kitabnya al‑Muwafaqat, al-Syatibi menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai al-maqasid. Dalam pembahasannya, Syatibi membagi al-maqasid dalam dua bagian penting, yakni maksud syari’ (qashdu asy-syari’) dan maksud mukallaf (qashdu al-mukallaf) yang mengacu kepada suatu pertanyaan: “Apakah sesungguhnya maksud Tuhan dalam menetapkan hukum?” Al-Syatibi ketika berbicara mengenai maslahat dalam konteks al-maqasid mengatakan bahwa tujuan pokok pembuat undang-undang (Syari’) adalah tahqiq masalih al-khalqi (merealisasikan kemaslahatan makhluk), dan bahwa kewajiban-kewajiban syari’at dimaksudkan untuk memelihara al-maqasid.[53]
Menurut Syatibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudaratan (jalbul mashalih wa dar’u al-mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Syatibi kemudian membagi maslahat ini kepada tiga bagian penting yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsinat (tertier, luxs).
Imam al-Qarafy, salah seorang penganut madzhab Maliki pernah menegaskan bahwa aturan yang wajib diperhatikan oleh ahli fiqih dan fatwa ialah memperhatikan perkembangan yang terjadi dari hari ke hari, sambil memperhatikan tradisi dan kebiasaan, dengan perubahan waktu dan tempat. Senada dengan al-Qarafy, Yusuf Qardawi juga menjelaskan bahwa di antara hukum­-hukum hasil ijtihad terdapat hukum yang landasannya kemaslahatan temporal, yang bisa berubah menurut perubahan waktu dan keadaan, berarti harus ada perubahan hukum yang menyertainya.[54]
Senada dengan hal tersebut menurut al-Syatibi, seorang mujtahid tidak boleh menerapkan hukum yang telah digalinya dari al-Qur’an atau Sunnah sebagaimana adanya. Ia berkewajiban memberikan pertimbangan berdasarkan situasi dan kondisi yang mengitari objek hukum. Apabila hukum yang dihasilkan dari ijtihadnya itu tidak cocok diterapkan pada objek hukum karena penerapan hukum itu membawa kemudaratan, maka mujtahid itu harus mencarikan hukum lain yang lebih sesuai, sehingga kemudaratan bisa dihilangkan dan kemaslahatan dapat tercapai. Teori inilah yang dikenal dengan sebutan nazariyyah i’tibar al-ma’al.[55]
Oleh Tim Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta kemaslahatan ini didefinisikan sebagai segala bentuk keadaan, baik material maupun non material, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai mahluk yang paling mulia.[56] Menurut Tim ini, dalam al-Qur’an maslahat banyak disebut dengan istilah manfaat, atau manafi’, istilah lain yang sering digunakan juga adalah hikmah, huda, barakah yang berarti imbalan baik yang dijanjikan oleh Allah di dunia maupun di akhirat, dengan demikian menurut Tim P3EI maslahat mengandung pengertian kemanfaatan dunia dan akhirat.
Dari beberapa pendapat para ahli ushul dan ekonomi di atas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan maslahat adalah perolehan kemanfaatan dan penolakan terhadap kesulitan terhadap hamba (terutama manusia), dan hal itu dipandang sebagai tujuan dari pembentukan syariat. Namun demikian al-Raysuni mengakui sangat sulit memberikan definisi yang mendetail mengenai maslahat. Karena definisi ini juga akan memberikan gambaran pola pikir orang yang mengartikannya. Sebagian orang diejek sebagai seorang reformis hanya karena seringkali menganjurkan penggunaan maslahat, aktivitas sosialnya juga banyak dikritisi. Oleh karena itu untuk mendapat pemahaman yang benar dan tepat terhadap pengertian maslahat, menurut al-Raysuni harus melihat dari berbagai segi dan sudut pandang, yakni:[57] pertama, sebagai permulaan akan lebih baik jika melihat pengertian maslahat secara sederhana dan universal, yaitu dengan mengatakan bahwa maslahat adalah segala sesuatu yang mengandung kebaikan dan manfaat bagi sekelompok manusia dan juga individu. Kedua, selanjutnya dilihat dari sisi lain dan ditemukan wajah lain dari maslahat yaitu mencegah mafsadat. Oleh karena itu, dalam mencapai kemaslahatan harus dihindarkan segala kerusakan baik sebelum dan sesudahnya, atau yang mengikut dan menyertainya.
Ketiga, selanjutnya ditemukan bahwa kemaslahatan yang dibutuhkan manusia dan bermanfaat bagi mereka ternyata sangat beragam bentuk dan coraknya. juga akan temukan bahwa maslahat dan mafsadat mempunyai tingkatan berbeda secara kualitas dan kuantitas. Keempat, maslahat bila dilihat dari sudut pandang waktu yang panjang, ternyata karena perkembangan zaman dapat juga berubah menjadi sesuatu yang merusak atau sebaliknya. Dan terakhir, maslahat juga perlu dipandang dari sisi keumumannya dan kekhususannya. Bisa saja dianggap maslahat bagi orang-orang elit dan menjadi mafsadat bagi orang-orang awam.
Dari penjelasan al-Raysuni tersebut dapat dipahami bahwa definisi yang beragam dari maslahat juga akan mengarah pada terdapatnya kontradiksi antar kemaslahatan. Dengan kata lain, terdapat kemaslahatan yang kita yakini dan anggap benar, namun dalam perjalanannya justru menyingkirkan kemaslahatan lain, atau malah terjerumus dalam mafsadat. Dalam kondisi ini, menurut al-Raysuni semua orang harus meletakkan ragam pendapat tersebut pada porsinya masing-masing, kemudian dianalisis dari segala sudut pandang yang telah disebutkan. Baru akan diketahui maslahat yang harus didahulukan dan maslahat yang diahirkan. Menurut al-Raysuni, proses inilah yang akan mengantarkan pada pengertian maslahat yang benar.[58]
Selanjutnya menurut Ramadhan al-Buthy, sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, terdapat beberapa kriteria maslahat yang harus dipegang oleh seorang mujtahid, diantaranya adalah: (1) mempriorotaskan tujuan-tujuan syarak, (2) tidak bertentangan dengan al-Qur’an, (3) tidak bertentangan dengan Sunnah, (4) tidak bertentangan dengan prinsip qiyas, dan (5) memperhatikan kepentingan umum yang lebih besar.[59] Dalam hal ini nampak bahwa salah satu faktor terjadinya perbedaan, tidak terkecuali dalam merumuskan konsep maslahat ini, adalah perbedaan dalam menilai realitas yang oleh para fuqaha diidentifikasi sebagai masalah umum atau dikenal dengan istilah tahqiqul manath.[60]

Menilai Kinerja Pembangunan dalam Perspektif al-Maqasid
Dalam penjelasan sebelumnya, penulis telah menjelaskan bahwa hakikat al-maqasid dari segi substansi adalah kemaslahatan. Maslahat atau al-mashlahah berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.[61] Pandangan para ahli ushul tersebut di atas setidaknya juga dapat dijadikan landasan berpijak bagi para ekonom untuk menetukan kriteria kemaslahatan, meskipun untuk hal ini, kita tidak dapat menarik garis yang tegas menyangkut perbedaan antara ulama ahli ushul disatu sisi dan ekonom disisi lain, karena sering terjadi, bahwa seorang ekonom muslim juga berkedudukan sebagai seorang ahli ushul, dan demikian sebaliknya.
Al-Qur’an dan as-Sunnah juga telah menetapkan beberapa variabel penting yang sangat menentukan kesejahteraan atau kesengsaraan manusia. Ini misalnya dilakukan melalui suatu hubungan sebab akibat pada sifat jika A maka B, dimana A merupakan norma atau lembaga yang diperlukan, dan B merupakan kontribusi yang dapat diberikan A kepada kesejahteraan semua mahluk hidup sekarang, maupun di masa yang akan datang. Sama seperti upaya untuk menjelaskan fenomena sebelumnya menghasilkan proposisi, teori-teori dan hukum-hukum, hubungan antara al-maqasid dan berbagai cara perilaku individu dan kelompok maupun saringan, motivasi, restrukturisasi dan peranan pemerintah yang ditunjukkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah juga dapat menghasilkan proposisi yang berharga. Dan semua proposisi tersebut mesti diuji sehingga menghasilkan teori-teori dan hukum-hukum.
Sesuai dengan diskusi menyangkut al-maqasid pengayaan keimanan, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan menjadi fokus dari semua upaya manusia. Jadi manusia ini sendiri menjadi tujuan maupun cara, sangat berhubungan dengan dan tergantung pada proses sebab akibat berantai. Realisasi tujuan ini memperkuat cara dan lebih lanjut mengintensifkan realisasi tujuan. Pertanyaan yang masih belum terjawab adalah mengapa al-Syatibi dan para ulama lainnya menempatkan keimanan, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan dalam suatu urutan yang berbeda secara radikal dari ilmu ekonomi konvensional, dimana keimanan tidak memiliki tempat dan jiwa, akal dan keturunan meskipun dianggap penting dikesampingkan keruang variabel eksogen. Sehingga, itu tidak mendapatkan perhatian yang layak.
Keimanan ditempatkan di urutan pertama[62] karena memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi keperibadian, yakni perilaku, gaya hidup, selera dan preferensi manusia, dan sikap terhadap manusia, sumber daya dan lingkungan. Ini sangat mempengaruhi sifat, kuantitas dan kualitas kebutuhan materi maupun kebutuhan psikologi juga metode pemuasannya. Keyakinan ini mencoba meningkatkan keseimbangan antara dorongan material dan spiritual, meningkatkan solidaritas keluarga dan sosial, dan mencegah berkembangnya anomie (suatu kondisi ketiadaan standar moral).[63]
Tetapi, keimanan saja tidak menghilangkan ketidakadilan sistem pasar. Akan menjadi tidak realistis untuk mengasumsikan bahwa semua individu sadar secara moral pada masyarakat manusia. Selanjutnya tiga tujuan lainnya (jiwa, akal dan keturunan) berhubungan dengan manusia, yang kesejahteraannya merupakan tujuan utama dari syariah. Ini mencakup kebutuhan fisik, moral, psikologi dan akal untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Jadi dengan memasukkan jiwa, akal dan keturunan dalam formulasi yang akan ditentukan, adalah mungkin untuk menciptakan tingkat kepuasan atau kesejahteraan yang seimbang dari berbagai kebutuhan manusia. Hal ini juga dapat membantu dalam menganalisa variabel-variabel ekonomi penting, seperti misalnya konsumsi, tabungan dan investasi, sedemikian rupa sehingga membantu mewujudkan kesejahteraan, yakni sesuatu yang tidak dilakukan oleh ilmu ekonomi konvensional karena pengagungan yang berlebihan terhadap pasar dan hasil-hasilnya.
Memang, sebagian orang mungkin akan keberatan dengan mengatakan bahwa dimasukkannya keimanan, kehidupan, akal dan keturunan akan menjadikan ilmu ekonomi pembanguanan dalam Islam menjadi tidak dapat dikelola (unmanageable). Menurut Chapra hal tersebut tidak meski demikian karena kepentingan utama dari seorang ahli ekonomi bukan aspek-aspek transendental dalam keimanan, tetapi lebih merupakan dampak dari sudut pandang dunia, nilai-nilai dan lembaga-lembaganya terhadap individu dan masyarakat dan terhadap variabel-variabel ekonomi.
Karena itu, beberapa rekomendasi yang diberikan Chapra terkait dengan tugas yang perlu dilakukan ilmu ekonomi Islam secara signifikan yakni mempelajari perilaku sebenarnya dari individu dan kelompok, perusahaan dan pemerintah, menunjukkan jenis perilaku yang diperlukan bagi pencapaian tujuan dan menjelaskan mengapa pranata ekonomi yang berbeda berperilaku sebagaimana mereka lakukan, dan bukan dengan cara yang seharusnya mereka lakukan serta menyarankan suatu strategi yang peraktis untuk perubahan sosial ekonomi dan politik yakni suatu strategi yang dapat membantu mengarahkan semua perilaku pemain di pasar mempengaruhi alokasi dan distribusi sumber daya sedekat mungkin dengan apa yang dibutuhkan bagi pencapain tujuan.[64]
Namun demikian juga akan dipertimbangkan beberapa hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan, obyek yang tidak terlihat dan pertimbangan nilai yakni: pertama, sebagaimana yang dikatakan Chapra[65] bahwa mungkin dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari al-Qur’an dan as-Sunnah berhubungan dengan obyek yang tidak terlihat, seperti Allah, akhirat dan ketenangan jiwa. Semua ini tidak dapat diamati dan oleh karena itu tidak dapat menjadi dasar dari ilmu pengetahuan. Hal ini bukanlah sebuah argumentasi yang sahih karena meskipun obyek-obyek ini tidak terlihat, dampaknya terhadap perilaku manusia dari variabel-variabel ekonomi dapat diamati.
Kedua, bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah memberikan norma-norma mengenai bagaimana pranata ekonomi harus berperilaku dan kebijakan apa yang harus digunakan untuk mewujudkan kerjasama yang dimaksudkan oleh Islam. Ketiga, dapat dikatakan bahwa teori-teori yang diturunkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan literatur Islam lainnya tidak selalu dapat diuji, karena besarnya kesejahteraan yang ada sekarang ini di dunia Islam dan cara bagaimana seharusnya kaum muslim berperilaku dan cara sebenarnya mereka berperilaku. Karena itu, pengujian mungkin dilakukan dengan bantuan catatan sejarah di dalam masyarakat muslim maupun masyarakat non muslim.
Dengan demikian pembangunan secara otomatis didefinisikan oleh al-maqasid. Walaupun pertumbuhan ekonomi penting, namun tidak cukup untuk mencapai kehidupan manusia yang baik (fallah). Hal ini harus pula diikuti oleh peningkatan ketenangan jiwa atau kesehatan spiritual setiap individu, keadilan, perilaku yang baik dan menurunnya tingkat kejahatan. Sesuai dengan hal ini, syariah memberikan prioritas yang tinggi pada peningkatan spiritualisme dan persaudaraan serta keadilan sosial ekonomi dalam daftar al-maqasid. Namun demikian, masalah sosial dan ekonomi akan masih merupakan impian manakala sumber-sumber langka yang ada pada negara-negara muslim tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia seluruhnya melalui pemberantasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan umum dan penurunan ketidakseimbangan pendapatan dan kesejahteraan. Tujuan dari pemenuhan kebutuhan inilah yang harus direalisasikan melalui pembangunan kemampuan individu, kesempatan kerja dan kemandirian.[66]
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan yang berorientasi pada manusia para ahli ekonomi Islam telah sepakat bahwa al-maqasid dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai keberhasilan pembangunan, karena itu untuk formulasi dan pengembangan konsep al-maqasid ini, beberapa indikator yang telah tersusun dalam konsep misalnya oleh UNDP (United Nation Development Program) dan pertimbangan-pertimbangan keagamaan, sosial dan budaya juga akan dipertimbangkan untuk menentukan ketercapaian pengukuran dengan menggunakan konsep al-maqasid.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa kemaslahatan dalam bingkai terwujudnya tujuan al-maqasid merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam studi ekonomi pembangunan yakni dalam menilai kinerja pembangunan. Dalam konteks kontemporer konsep ini menjadi sangat penting manakala pengukuran kinerja pembangunan manusia hanya dilihat pada aspek material belaka.
Kompleksitas masalah yang tidak dapat lagi diselesaikan dengan menggunakan metode ushul konvensional yang telah sangat jauh tereduksi dari bentuk dan format asalnya, maka dengan menggunakan pendekatan al-maqasid al-Syatibi diharapkan akan dapat dirumuskan secara logis, humanis dan seimbang, karena itu menjadi perlu juga untuk dilihat unsur-unsur substansial yang paling mendasar dari pendekatan tersebut yang dapat dirumuskan menjadi rumusan yang sistematis dan aplikatif dan sesuai untuk situasi masa kini. Jelas, hal ini berbeda dengan situasi ketika al-Syatibi merumuskan pendekatannya itu.[67] Oleh karenanya usaha untuk menyusun indikator kinerja pembangunan demi menjamin keadilan dan kesejahteraan harus terus berjalan.

Nilai-Nilai Kemaslahatan Dalam Merumuskan Kinerja Pembangunan
Sebenarnya pembahasan mengenai maslahat dalam merumuskan kinerja pembangunan ekonomi dalam Islam bukanlah hal baru. Ia misalnya telah ada bersamaan dengan berkembangnya kajian ushul fiqh. Persoalannya kemudian, para ekonom konvensional atau Barat liberal tidak mengakui al-maqasid sebagai tujuan pembangunan, dalam kata lain kurang mengakui peranan wahyu dan keimanan sebagai sebuah dasar ilmu yang layak dipertahankan. Dan pada gilirannya diskursus pembangunan selanjutnya tidak pernah memberi legitimasi segala bentuk pencapaian non-positivisme. Dalam kondisi seperti ini akhirnya lahir banyak pemikir kritis yang mulai bersikap bahkan menolak konsep pembangunan.
Al-Syatibi dan para pemikir muslim lainnya meletakkan iman di awal daftar al-maqasid, karena dalam persfektif Islam, iman adalah ramuan terpenting untuk kesejahteraan manusia. Iman (baca: agama) meletakkan hubungan manusia pada suatu dasar yang tepat, memungkinkan manusia dapat berinteraksi dengan sesama dalam suatu sikap yang seimbang dan saling memperhatikan untuk membantu memantapkan kesejahteraan seluruh manusia. Ia memberikan suatu filter moral untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya sesuai dengan aturan keadilan sosial-ekonomi dan suatu sistem motivasi yang memberikan kekuatan yang langsung mengarah pada tujuan pemenuhan kebutuhan dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil.[68]
Tanpa memasukkan dimensi keimanan, tanpa memandang apakah keputusan-keputusan tersebut terkait dengan urusan rumah tangga, bidang usaha, pasar atau bidang lainnya tidak mungkin untuk merealisasikan efesiensi dan keadilan dalam alokasi dan distribusi sumber daya. Untuk mengurangi ketidakseimbangan dan ketidakstabilan perekonomian secara makro, atau untuk mengatasi kejahatan, percekcokan, dan berbagai gejala anomi yang berbeda.
Al-Syatibi selanjutnya meletakkan harta di akhir daftar al-maqasid hal ini dikarenakan ia bukan merupakan tujuan itu sendiri, ia hanya sebuah alat, meskipun sangat penting dan pokok dalam merealisasikan kesejahteraan. Jika harta benda adalah tujuan maka ia akan mengarah pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan berdampak terhadap lingkungan yang akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan manusia. Ketiga tujuan yang lain (hidup, akal dan keturunan) terkait dengan manusia itu sendiri yang kesejahteraannya merupakan tujuan utama syariah. Segala sesuatu yang diperlukan untuk memperkaya ketiganya harus dianggap sebagai sebuah “kebutuhan” dan segala sesuatu yang mungkin dilakukan untuk memantapkan pemenuhannya.[69]
Realisasi al-maqasid juga membutuhkan sumber-sumber daya, yang pengumpulannya tidak mungkin dilakukan tanpa menggunakan semacam realokasi. Tanpa realokasi, menyebabkan terjadinya defisit keuangan, ekspansi kredit, dan utang eksternal yang menambah tekanan pada inflasi neraca pembayaran, depresiasi mata uang dan beban jasa utang.[70] Jika realokasi yang diperlukan untuk mewujudkan al-maqasid tidak hanya dapat dihasilkan oleh operasi kekuatan pasar atau perencanaan sentral, juga harus memiliki mekanisme filter yang disetujui secara sosial. Menurut Chapra hal ini dapat diatasi oleh sebuah sistem moral, dimana Islam telah memilikinya dan akan efektif jika hal tersebut diamalkan.[71]
Sistem moral tersebut terwujud dalam pengakuan bahwa manusia adalah khalifah Allah di bumi, pengakuan terhadap kepentingan pribadi dan keinginan mendapatkan keuntungan, persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi. Untuk mewujudkan terealisasinya sistem moral tersebut dalam perekonomian, maka dibutuhkan suatu uapaya untuk merestrukturisasi sistem ekonomi yang terkait dengan: (1) transformasi faktor manusia dalam pembangunan untuk memungkinkan memainkan peran yang aktif dan konstruktif; (2) mengurangi pemusatan dalam kepemilikan alat-alat produksi; (3) menghilangkan atau meminimalkan konsumsi yang sia-sia dan tidak perlu pada tingkat pribadi dan masyarakat agar sumber tersebut disalurkan pada tujuan-tujuan sosial; (4) melakukan reorganisasi investasi guna memungkinkan sistem produksi yang dapat memenuhi tuntutan ekonomi berdasarkan kebutuhan, meningkatkan kesempatan untuk mandiri dan pekerjaan serta memperluas surplus ekspor; (5) melakukan reformasi sistem keuangan sesuai dengan ajaran Islam guna memungkinkan memainkan peranan penting dalam perwujudan al-maqasid.[72]
Restrukturisasi seperti itu, tidak mungkin tanpa peran aktif dan positif dari pemerintah, namun bukan dalam bentuk totalisme seperti dalam sistem sosialisme. Peranan ini lebih merupakan peran komplementer, baik dalam pengawasan maupun dalam menjaga kebebasan individu dan abolisi terhadap hak-hak milik.[73] Sebaliknya peranan ini juga harus diwujudkan dalam penciptaan lingkungan sehat dan pembangunan lembaga-lembaga tepat fungsi, dan dapat menjamin kehidupan yang lebih baik.
Syariah Islam pada dasarnya telah memberikan unsur yang penting terkait dengan starategi dalam mewujudkan terciptanya tujuan al-maqasid, namun tidak mengungkapkan langkah kebijakan yang rinci, hal ini memang harus dikembangkan, mungkin dengan mengangkat pengalaman dari negara-negara lain terkait dengan kebijakan tertentu, dengan tetap menjamin kontribusi positif pada perwujudan al-maqasid dan tidak mengakibatkan peningkatan berlebihan terhadap klaim-klaim sumber daya, karena hal tersebut dapat mengakibatkan ketimpangan. Kebijakan-kebijakan tersebut harus tetap melalui mekanisme filter dari nilai Islam.
Disisi lain dalam diskursus pemikiran Islam terdapat anggapan bahwa metodologi klasik kurang menghiraukan kemampuan manusia dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk manusia itu sendiri. Konsekuensinya manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fiqh klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf). Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi klasik ini. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah ilegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan masalah.[74]
Karenanya bagi kelompok yang berpandangan pentingnya penyerapan nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat, kondisi sosio-kultural dan historis yang ada dalam suatu masyarakat harus menjadi pertimbangan pokok dalam memahami teks dalam membaca kemaslahatan. Umat Islam harus berani mencari formula baru dalam memahami teks dan terus mengembangkannya sesuai dengan perkembangan masyarakat. Pada dasarnya teks pasti memiliki hubungan yang erat dengan asbab al-nuzul juga asbab al-wurud. Dengan tidak menghancurkan kebudayaan agama yang telah ada, maka bentuk kebudayaan baru yang datang harus disofistikasikan berdasarkan nilai-nilai luhur agama. Sebab, proses penerimaan wahyu dan penyebarannya terhadap para sahabat serta generasi setelahnya berjalan secara dinamis, bukan proses yang statis.[75]
Sebenarnya merumuskan konsep maslahat dalam menilai kinerja pembangunan ekonomi bukanlah persoalan mudah. Asumsi ini setidaknya dapat dilihat dari dua hal: Pertama, kondisi obyektif bangsa Indonesia yang pluralistik harus dipertimbangkan, jangan sampai menimbulkan kontra produktif yang merugikan umat Islam sendiri. Kedua, pembenahan terhadap konsepsi, strategi dan model pembangunan mutlak dilakukan. Ini adalah upaya agar sistem poerekonomian yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kesadaran hukum dan sesuai dengan karakteristik hukum dan ide dasar sistem perekonomian nasional yang dicita-citakan.
Sementara itu, melalui peran yang dimainkan oleh para ulama melalui produk fiqih yang ada di Indonesia dan dapat dijumpai formulasinya dalam kitab-kitab fikih klasik, konsepsi dan perumusan terhadap konsep kemaslahatan banyak dibangun berdasarkan ‘urf  Timur Tengah. Atas dasar itulah ada bagian-bagian tertentu dari penafsiran konsep maslahat yang mendapat sambutan kurang hangat dari masyarakat karena dianggap kurang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Hasbi sebagaimana dikutip Syaukani mengatakan bahwa seharusnya masyarakat muslim Indonesia mengambil mana yang lebih cocok dengan nusa dan bangsa ini, yaitu syariat Islam yang dapat menampung kemaslahatan masyarakat dan menjadi pendiri utama bagi pembangunan di tanah air.[76]
Relativitas pemaknaan maslahat yang terjadi selama ini cenderung menjadikan maslahat sebagai sebuah nilai yang diperebutkan. Pemikiran Islam konservatif dan liberal seringkali mempertentangkan aplikasi maslahat. Akibatnya, maslahat dijadikan alat legitimasi semua pemikiran yang mereka kembangkan. Hal ini yang penulis anggap melatarbelakangi perlunya pemberian batasan yang jelas tentang penggunaan maslahat sebagai sebuah dalil hukum dan sebagai sebuah tujuan pembangunan dalam perekonomian.
Batasan yang selama ini dijabarkan oleh para ulama, seperti al-Syatibi menurut penulis berkaitan dengan maslahat dalam artian yang sangat luas. Padahal sebagaimana diungkap Syaltut, maslahat sama seperti ijtihad yang selalu berubah menyesuaikan kondisi waktu dan zaman.[77] Itu artinya, batasan untuk maslahat juga perlu dibuat lebih spesifik sesuai dengan kebutuhan dimana maslahat tersebut akan digunakan. Dalam konteks Indonesia, maka batasan maslahat yang berbasis budaya Indonesia mutlak untuk direalisasikan.
Usaha memberikan batasan maslahat dalam konteks Indonesia juga telah dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL). MUI melalui fatwa kriteria maslahat, sedang JIL melalui pemikiran dan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan maslahat. Hanya saja dalam pandangan penulis, batasan yang diberikan keduanya masih belum merepresentasikan dialog yang seimbang antara maslahat sebagai bagian dari hukum Islam dan kondisi realitas Indonesia serta maslahat sebagai sebuah tujuan pembangunan dalam ekonomi. Dan selama ini masih terkesan aspek hukum dalam perumusan kemaslahatan sangat jauh bahkan berkorelasi negatif dengan pemahaman dalam hal konsepsi pembangunan ekonomi yang diukur dengan pencapaian-pencapaian ekonometrik positivistik. Padahal dalam konteks kinerja pembangunan hal tersebut ibarat satu keeping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Substansi nilai yang berasal dari perumusan konsepsi maslahat hendaklah dirumuskan dengan tepat dan disumbangkan secara produktif untuk kemanusiaan dan ke-Indonesiaan.
Ideologi masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa tidak mungkin mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis. Untuk mencapai tujuan proses-proses demokratisasi yang sedang dijalani, pluralisme budaya harus digeser menjadi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme[78] sebagaimana yang dikonsepsikan Parsudi Suparlan.[79] Beranjak dari konsep Parsudi, sudah saatnya dilakukan penilaian atas berbagai teori perubahan sosial dan pembangunan utama (mainstream social change and development theories). Teori-teori tersebut lahir dan dibesarkan dalam suasana Enlightenment dan modernitas di Eropa Barat dan Amerika Utara, yang kemudian disebarkan ke berbagai belahan bumi, termasuk ke Indonesia sebagai post-colonial reality.
Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar di dunia sudah masuk ke Nusantara sejak abad ketujuh,[80] dan terus berkembang hingga kini. Ia telah memberikan sumbangsih bagi keanekaragaman kebudayaan lokal. Islam tidak hanya hadir dalam bentuk tradisi agung (great tradition) bahkan memperkaya pluralitas dengan Islamisasi kebudayaan dan pribumisasi Islam yang pada gilirannya banyak melahirkan tradisi­tradisi kecil (little traditions). Berbagai warna Islam dari Aceh dan Melayu, Jawa, Sunda, Sasak, Bugis dan sebagainya riuh rendah memberikan corak kemajemukan. Dengan keragamannya, Islam berjasa bagi penciptaan landasan kehidupan bersama dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam juga menawarkan norma, sikap dan nilai yang dapat memperluas relasi damai diantara komunitas-komunitas etnik.
Pluralitas pemaknaan maslahat dewasa ini dalam konteks kinerja pembangunan ekonomi di Indonesia harus diletakkan pada porsi seperti ini. Pemaknaan maslahat sebagai nilai universal merumuskan kinerja pembangunan dengan demikian tidak bisa diserahkan pada perspektif apa yang dipahami dalam konteks pertumbuhan ekonomi saja dengan mengabaikan nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran kemaslahatan.

D.    Kesimpulan
 Berdasarkan pembahasan yang telah peneliti lakukan, maka dapat peneliti simpulkan beberapa hal: pertama, kegagalan teori-teori pembangunan yang di bangun dalam konsepsi Barat adalah diakibatkan karena pendekatan yang digunakan secara parsial. Pendekatan ini mengimplikasikan pada konsekuensi-konsekuensi logis yang kerap terabaikan, yakni: (a) penekanan pada pertumbuhan yang mengabaikan distribusi berkeadilan, hal ini diindikasikan pada kebijakan yang lebih menekankan pada akumulasi kapital dengan orientasi pada pertumbuhan cepat; (b) tidak mencerminkan adanya prioritas kebijakan, pembangunan satu sektor kerap kali mengakibatkan pengabaian terhadap sektor lain; (c) tidak terdapat strategi yang menyentuh masalah ekonomi secara langsung, seperti penanganan ketimpangan dengan menerapkan trickle down effect; (d) kebijakan-kebijakan yang dijalankan tidak seimbang, seperti pada konsep dualisme ekonomi, sehingga sering menimbulkan ketidakmerataan dan ketidakadilan. Hal ini mengindikasikan tidak adanya tujuan yang diarahkan pada perwujudan al-maqasid.
Kedua, dalam diskursus ekonomi Islam terdapat kajian yang menarik menyangkut kemaslahatan, karena erat terkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan dalam pembangunan yakni maqasid al-syariah, dimana al-Qur’an dan as-Sunnah telah menetapkan beberapa variabel penting yang sangat menentukan kesejahteraan atau kesengsaraan manusia. Dengan demikian pembangunan didefinisikan oleh al-maqasid yang meliputi aspek primer (daruriyat), sekunder (hajiyat) dan tertier (tahsiniyat). Walaupun pertumbuhan ekonomi penting, namun tidak cukup untuk mencapai kehidupan yang baik (fallah). Hal ini harus pula diikuti oleh peningkatan ketenangan jiwa atau kesehatan spiritual setiap individu, keadilan, perilaku yang baik dan menurunnya tingkat kejahatan. Sesuai dengan hal ini, syariah memberikan prioritas yang tinggi pada peningkatan spiritualisme, persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi dalam daftar al-maqasid. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan yang berorientasi pada manusia para ahli ekonomi Islam telah sepakat bahwa al-maqasid dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai keberhasilan pembangunan, karena itu kemaslahatan dalam bingkai terwujudnya al-maqasid merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam studi ekonomi pembangunan yakni dalam menilai kinerja pembangunan.
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam menilai kinerja pembangunan dalam perspektif Islam dengan menggunakan analisis al-maqasid adalah pendekatan kultural (cultural approach) dalam bingkai antropologi pembangunan yang merupakan salah satu pendekatan alternatif sebagai bentuk revisi dari pendekatan pembangunan yang ekonomistis. Di Indonesia, pendekatan ini relatif baru, dan sampai saat ini belum menemukan bentuknya. Strategi pembangunan melalui pendekatan kebudayaan tidak sekadar melahirkan manusia mesin penghasil uang, tetapi membangun manusia sebagai sebuah entitas yang utuh dengan seluruh dimensinya.

E.      Daftar Pustaka
A.A. Islahi. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. Terj. H. Anshari Thayib. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997.
Abd. Moqshit Ghazali, “Membangun Ushul Fiqh Alternatif”, dalam http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=470, diakses pada 11 Februari 2008.
Abd. Salam Arief. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita; Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut. Yogyakarta: Lesfi, 2003.
al-Qardawi, Yusuf. Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Pustaka al-­Kautsar, 1999.
al-Raysuni, Ahmad dan Jamal Barut, Muhammad. Ijtihad Antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan Sosial. Terj. Ibnu Rusydi & Hayyin Muhdzar. Jakarta: Erlangga, 2002.
Alwi, Syafaruddin. Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan. Kontribusi Bagi GBHN 1993. Dalam buku Tantangan Pembangunan di Indonesia Beberapa Pandangan Kontemporer Dari Dunia Kampus. Yogyakarta: UII Press, 1997.
Asmuni, M. Thaher, “Konsep Pembangunan Ekonomi Perspektif Ekonomi Islam”, dikutip dari www.msi-uii.net/headasp/katagori=rubrik&menu=ekonomi/ diakses 22 Oktober 2009
Asmuni, “Penalaran Induktif Syatibi dan Perumusan al-Maqosid Menuju Ijtihad yang Dinamis”, dikutip dari www.yusdani.com. di akses pada 22 Oktober 2009.
Asmuni. “Studi Pemikiran al-Maqashid (Upaya Menemukan Fondasi Ijtihad Akademik yang Dinamis)”. Jurnal al-Mawarid. Edisi XIV Tahun 2005.
Asmuni. Aktualisasi Teori Maqasid as-Syatibi (Upaya Menemukan Landasan Nilai-Nilai Etis Religius dalam Mengembangkan Produk Perbankan Syariah) dalam buku Amir Mu’allim. Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah. Yogyakarta: MSI & Safiria Insania Press, 2008.
Azis Dahlan, Abdul (ed), Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.
Azwar, A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi III. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Bakri, A. Jaya. Konsep Maqasid Syari’ah al-Syatibi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Budiman, Arief. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif. Pemahaman Filosofis & Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003.
Chapra, M. Umer, The Future Of Economics: An Islamic Persfective. Jakarta: SEBI, 2001.
Chapra, M. Umer. “Strategi Pembangunan Ekonomi Di Negara-Negara Muslim: Persfektif Ajaran Islam”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Islam “Equilibrium” Volume 01 Nomor 1 Tahun 2005.
Chapra, M. Umer. Islam dan Tantangan Ekonomi. Islamisasi Ekonomi Kontemporer. Surabaya: Risalah Gusti, 1999.
Chulsum, Umi dan Novia, Windy. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Kashiko, 2006.
Fazlurrahman. Islam. Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1984.
Hamka Haq. al-Syathibi Aspek Aspek Teologis Konsep Mashlahah Dalam Kitab al-Muwafaqat. Jakarta: Erlangga, 2007.
Handayani, Sri. “Pengaruh Kinerja Karyawan Terhadap Perceived Service Quality Word Of Mouth Recommendation Pada BPRS Kota Salatiga” Jurnal Ekonomi Bisnis. Vol. 9, No. 2 Juli 2008.
Hartono, Arif. “Menelusuri Wacana Pembangunan”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Kajian Ekonomi Negara Berkembang. Volume 4 Nomor 1 Tahun 1999.
http://www.undp.or.id di akses pada 20 Oktober 2009
Imam Mustofa. “Ijtihad Jaringan Islam Liberal Sebuah Upaya Merekonstruksi Ushul Fiqih”. Jurnal Hukum Islam “Al-Mawarid” edisi XV Tahun 2006
Imam Syaukanie. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia & Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Isnawijayani. “Analisis Isi Film Ayat-Ayat Cinta Dalam Memasyarakatkan Pendidikan Islam” Jurnal Pembangunan Manusia. Volume 7 Nomor 1 April Tahun 2009.
Jasser Auda dengan Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law a Systems Aproach. Herndon USA: IIIT, 2008.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran & Peradaban Islam. Yogyakarta: Book Publisher, 2007.
Kasenda, Peter. Bersahabat dengan Sejarah. Jakarta: FISIP, Untag, 2006.
Klaus Krippendorff. Analisis Isi Pengantar Teori dan Metodologi. Terj. Farid Wajidi. Jakarta: Rajawali Press, 1993.
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.
Ma’ruf, Ahmad. “Analisis Kinerja Pembangunan Melalui Indeks Pembangunan Manusia: Studi Kasus pada 14 Kecamatan di DIY”, IESP Vol. 2 No. 1, April 2001.
Manan, M. Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993.
Mubyarto. Ekonomi dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Aditya Media, 1995.
Munandar, Aris.” Pembangunan Nasional, Keadilan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat” Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 1, September 2002.
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Shiddiqi, Nouruzzaman. Fikih Indonesia; Penggagas & Gagasannya, Yogya: Pustaka Pelajar, 1997.
Salim, Agus. Perubahan Sosial Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002.
Sayuti, Ali M. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Soetrisno. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia (Suatu Studi). Yogyakarta: Andi Offset, 1992.
Subhilhar. “Etika Pembangunan: Kajian Alternatif Dalam Studi Pembanguan”. Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Studi Pembangunan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan, 20 September 2008.
Suharto, Edi, Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: Al Fabeta. 2005.
Suharto, Edi. Analisis Kebijakan Publik Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: Alfabeta, 2005.
Suparlan, Parsudi. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”. Tulisan Keynote Address disajikan dalam Sesi Pleno I Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3: ‘Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika: Menuju Masyarakat Multikultural”, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.
Tambunan, Tulus T.H. Transformasi Ekonomi di Indonesia Teori dan Penemuan Empiris. Jakarta: Salemba Empat, tt.
Tangdilintin, Paulus. “Pembangunan Sosial: Respon Dinamis& Komprehensif Terhadap Situasi Krisis Suatu Catatan Bagi Sistem Ekonomi Kerakyatan”. Pidato Pengukuhan Guru Besar FISIP UI, Jakarta 1999.
Tim P3EI, Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Todaro, Michael P.  Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi VI. Terj. Haris Munandar. Jakarta: Erlangga, 1998.
Todaro, Michael. Economic Development, Sixth Edition. England: Addison Wesley Longman Limited, 1997.
Widodo. “Peningkatan Kinerja Organisasi Melalui Kualitas Strategi”. Jurnal Ekonomi Bisnis. Vol. 9, No. 2 Juli 2008
www.ui.ac.id di akses pada 24 Desember 2009.
Yusdani “Menyimak Pemikiran Hukum Islam Satria Effendi”.Jurnal Mawarid Edisi XVII. 2007.
Yusdani, “Ijtihad dan Nazariyyah I'tibar Al-Ma'al”, dikutip dari www.yusdani.com, di akses pada 22 Oktober 2009.
Yusdani. Peranan Kepentingan Umum Dalam Reakltualisasi Hukum; Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin al-Thufi. Yogyakarta: UII Press, 2000.


[1] Todaro, Michael P.  Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi VI. Terj. Haris Munandar (Jakarta: Erlangga, 1998), 16
[2] Ahmad Ma’ruf, “Analisis Kinerja Pembangunan Melalui Indeks Pembangunan Manusia: Studi Kasus pada 14 Kecamatan di DIY”, IESP Vol. 2 No. 1, April 2001, 69-88.
[3] Misalnya UNRISD (United Nation Research Institute on Sosial Development) dengan 16 indikator sosial ekonomi, pada 1970 Morris D. Morris memperkenalkan Physical Quality of Life Index (PQLI). UNDP (United Nation Development Program) dengan IPM atau Human Development Index pada 1990. Selain itu sejak 1995 UNDP mengembangkan pula alat ukur yang ditujukan untuk menilai keberhasilan pembangunan disuatu negara misalnya Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index/HPI) dan Indeks Pembangunan Jender (Gender Development Index/GDI). Todaro, Michael P.  Pembangunan... 73-80
[4] Ahmad Ma’ruf, “Analisis Kinerja ….,69-88
[5] Suharto, Edi, Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (Bandung: Al Fabeta. 2005), 15-16
[6] Agus Salim. Perubahan Sosial Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002), 266
[7] Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ketiga (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 380
[8] Chapra, M. Umer, The Future Of Economics: An Islamic Persfective. (Jakarta: SEBI, 2001), 124-125
[9] Adiwarman A. Karim. Sejarah… 381
[10] Nouruzzaman Shiddiqi, Fikih Indonesia;…71
[11] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 39
[12] Ali, M. Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 47
[13] Klaus Krippendorff. Analisis Isi Pengantar Teori dan Metodologi. Terj. Farid Wajidi (Jakarta: Rajawali Press, 1993), 15
[14] Isnawijayani. “Analisis Isi Film Ayat-Ayat Cinta Dalam Memasyarakatkan Pendidikan Islam” Jurnal Pembangunan Manusia. Volume 7 Nomor 1 April Tahun 2009, 3
[15] Umi Chulsum dan Windy Novia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Surabaya: Kashiko, 2006), 381
[16] Sri Handayani. “Pengaruh Kinerja Karyawan Terhadap Perceived Service Quality Word Of Mouth Recommendation Pada BPRSUD Kota Salatiga” Jurnal Ekonomi Bisnis. Vol. 9, No. 2 Juli 2008
[17] Widodo. “Peningkatan Kinerja Organisasi Melalui Kualitas Strategi”. Jurnal Ekonomi Bisnis. Vol. 9, No. 2 Juli 2008
[18] Michael Todaro. Economic Development, Sixth Edition. (England: Addison Wesley Longman Limited, 1997), 16
[19] Arif Hartono. “Menelusuri Wacana Pembangunan”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Kajian Ekonomi Negara Berkembang. Volume 4 Nomor 1 Tahun 1999, 72
[20] Edi Suharto. Analisis Kebijakan Publik Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (Bandung: Alfabeta, 2005), 16-22
[21] Subhilhar. “Etika Pembangunan: Kajian Alternatif Dalam Studi Pembanguan”. Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Studi Pembangunan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan, 20 September 2008, 4.
[22] http://www.undp.or.id di akses pada 20 Oktober 2009
[23] Peter Kasenda, Bersahabat dengan Sejarah (Jakarta: FISIP Untag, 2006), 344-454.
[24] Lihat Soetrisno. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia (Suatu Studi) (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), 181.
[25] Arief Budiman. Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), 25-31
[26] Tulus T.H. Tambunan. Transformasi….1
[27] Syafaruddin Alwi. Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan. Kontribusi Bagi GBHN 1993. Dalam buku Tantangan Pembangunan di Indonesia Beberapa Pandangan Kontemporer Dari Dunia Kampus. (Yogyakarta: UII Press, 1997), 281
[28] Aris Munandar. “Pembangunan Nasional, Keadilan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat”. Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 1, September 2002, 13
[29] Lihat Paulus Tangdilintin, “Pembangunan Sosial: Respon Dinamis & Komprehensif Terhadap Situasi Krisis Suatu Catatan Bagi Sistem Ekonomi Kerakyatan”. Pidato Pengukuhan Guru Besar FISIP UI, Jakarta 1999.
[30] Soetrisno. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia Edisi II (Suatu Studi) (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), 115
[31] Mubyarto. Ekonomi dan Keadilan Sosial. (Yogyakarta: Aditya Media, 1995), 115
[32] Asmuni. Aktualisasi Teori Maqasid as-Syatibi (Upaya Menemukan Landasan Nilai-Nilai Etis Religius dalam Mengembangkan Produk Perbankan Syariah) dalam buku Amir Mu’allim. Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah (Yogyakarta: MSI & Safiria Insania Press, 2008), 140. Lihat juga Jasser Auda dengan Maqasid al-Syariah….2
[33] Fazlurrahman. Islam. Terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), 140
[34] Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi..1147
[35] Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah. (Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 2007), 182-183.
[36] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya (Bandung, Diponegoro, 2003).
[37] Jaih Mubarok. Metodologi..156-157
[38] Abdallah M. al-husayn al-Amiri. Dekonstruksi Sumber….33
[39] Imam Nawawi, Hadis ‘Arbain al-Nawawi, hadis ke-32 dalam software Hadits Arba'in An­Nawawi dengan Syarah Ibnu Daqiqil ‘Ied versi 0.1
[40] Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004), 6-7
[41] Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi..hal. 1147. Lihat juga M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), 83-84
[42] Amir Mu’allim. “Maqashid al-Syariah”. Jurnal al-Mawarid Edisi VI Desember 1997. 5-6
[43] Lihat Jaribah bin Ahmad al-Haritsi. Fikih Ekonomi Umar bin Khattab. Terj. Asmuni Solihan Z. (Jakarta: Khalifa, 2006), 259-262
[44] Amir Mu’allim. “Maqashid ..5-6.
[45] Asmuni. Aktualisasi…141
[46] Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi… 1111
[47] Asafri Jaya Bakri. Konsep Maqasid syaro’ah Menurut al-Syatibi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 63-64. Lihat juga Asmuni Studi Pemikiran al-Maqashid (Upaya Menemukan Fondasi Ijtihad Akademik yang Dinamis)….11-12.
[48] Hamka Haq. al-Syathibi Aspek.. 83
[49] Yusdani “Menyimak…., 6
[50] Asmuni, “Penalaran Induktif Syatibi dan Perumusan al-Maqosid Menuju Ijtihad yang Dinamis”, dikutip dari www.yusdani.com. di akses pada 22 Oktober 2009.
[51] Hamka Haq. al-Syathibi Aspek...83
[52] Yusdani. Peranan Kepentingan Umum Dalam Reakltualisasi Hukum; Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin al-Thufi, (Yogyakarta: UII Press, 2000), 31.
[53] Jasser Auda dengan Maqasid al-Syariah… 20-21
[54] Yusuf al-Qardawi, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka al-­Kautsar, 1999), 256-260.
[55] Yusdani, “Ijtihad dan Nazariyyah I'tibar Al-Ma'al”, dikutip dari www.yusdani.com, di akses pada 22 Oktober 2009.
[56] Lihat Tim P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 5
[57] Ahmad al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut. Ijtihad Antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan Sosial. Terj. Ibnu Rusydi & Hayyin Muhdzar (Jakarta: Erlangga, 2002), 18-20
[58] Ibid. 21
[59] Imam Mustofa. “Ijtihad …77.
[60] Ibid. 43
[61] Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), 1143.
[62] Al-Syatibi selanjutnya menekankan bahwa: “kepentingan keimanan (dien) lebih penting dari pada kehidupan duniawi” Lihat Adiwarman A. Karim. Sejarah… 380.
[63] Chapra, M. Umer, The Future,…125
[64] Ibid. 132-133
[65] Ibid. 143
[66] M. Umer Chapra. “Strategi Pembangunan Ekonomi Di Negara-Negara Muslim: Persfektif Ajaran Islam”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Islam “Equilibrium” Volume 01 Nomor 1 Tahun 2005. 2.
[67] Asmuni. Aktualisasi Teori Maqsid as-Syatibi (Upaya Menemukan Landasan Nilai Etis Religius Dalam Mengembangkan Produk Perbankan Syariah). Lihat Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah (Yogyakarta: MSI UII & Penerbit Safiria Insania Press, 2008), 145
[68] M. Umer Chapra. Islam dan Tantangan Ekonomi. Islamisasi Ekonomi Kontemporer. (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 9
[69] Ibid. 10
[70] M. Umer Chapra. Strategi…6
[71] Ibid. 7
[72] Ibid. 7-8
[73] A.A. Islahi. Konsepsi …106
[74] Abd. Moqshit Ghazali, “Membangun Ushul Fiqh Alternatif”, dalam http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=470, diakses pada 11 Februari 2008.
[75] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), 56.
[76] Imam Syaukanie. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia & Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), 92-93.
[77] Abd. Salam Arief. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita; Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut. (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 155
[78] Akar kata multkulturalisme menurut Parsudi adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikultiuralisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), isme (aliran atau paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hibup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya yang unik
[79] Lihat Parsudi Suparlan. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”. Tulisan Keynote Address disajikan dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3: ‘Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika: Menuju Masyarakat Multikultural”, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.
[80] M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), 326

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id