Sabtu, 23 April 2011

Ahmadiyah, Indonesia dan Saya

Apa yang membedakan kedudukan warga minoritas dalam pemikiran saya dibandingkan dengan tradisi liberal? Hak-hak minoritas dijamin oleh sistem (negara): karena Negara kita adalah Negara hukum.


Namun, perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa di Indonesia masih jauh dari cita-cita tersebut. Sistem hukum dinegara kita tergusur oleh yang mendukung demokrasi deliberatif. Hal ini misalnya dapat disimak jika kita mencermati hak-hak minoritas di Indonesia yang selalu dihegemoni, lebih-lebih lagi saat berkaitan dengan persoalan keagamaan, khususnya Islam.


Mengapa hal ini terjadi di Indonesia? Barangkali akibat tumbuhnya benih-benih konflik antara tradisi dan modenitas. Agama sebagai sebuah tradisi, manakala berhadapan dengan modernitas. Kita menjumpai pertarungan sengit antara keduanya: tradisi dan modernitas, dan gagal mendamaikan keadaan tersebut.


Agama, dalam sejarahnya, tak pernah kaku. Di sana, kebudayaan memainkan peranan bermakna, yang sentiasa menyegarkan. Walau bagaimanapun, kebudayaan, adat istiadat tak pernah satu, sebaliknya beragam, serta sentiasa berubah. Dalam kebudayaan, termasuk juga agama. Mengikuti modernitasi, agama kemudian mendapat dampak yang sangat drastis. Karena itulah, banyak penganut agama berada di persimpangan jalan. Dan, komunitas muslim di Indonesia memang tersentak dengan arus modenitas yang tak terbendung. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan?


Modenitas, lahir belakangan dari agama di Indonesia. Indonesia bisa dikatakan berhadapan dengan modernitas setelah merdeka. Sebelumnya, Indonesia masih terbelenggu oleh kolonialisme. Setelah modenitas merebak- dengan konsekuensi dan nilai-nilai yang diusungnya -maka unsur-unsur dalam keyakinan keagamaan mulai dipertanyakan. Singkatnya, Islam di Indonesia sebagai sebuah kebudayaan mulai dipertanyakan satu demi satu unsur-unsurnya.


Selanjutnya, serbuan modernitas ini menimbulkan berbagai bentuk perlawanan-perlawanan baru. Keadaan ini rupanya secara perlahan telah mengugurkan beberapa kesyakinan yang telah sekian lama diamalkan dan dijalani masyarakat beragama.


Keteguhan dan rutinitas dalam menjalani setiap bentuk kebudayaan ini adalah ciri masyarakat tradisional. Sementara, keteraturan (hukum) adalah ciri masyarakat modern. Tatkala adanya keteraturan, maka unsur-unsur tradisi, termasuk kategorisasi besar (great tradition), itu akan mulai mengalami pergeseran satu demi satu. Satu demi satu, nilai-nilai tradisi dipertanyakan dan digugat. Sementara, masyarakat -kian terbuka- akan mulai mencari wadah tempat berpijak yang lebih autentik, serta lebih rasional. Di Negara kita, Indonesia, dengan fungsi negara sebagai Negara hukum, Negara yang berbhineka tunggal ika dengan idiologi multikulturalistik-nya, maka negara kita sedikit demi sedikit kini mulai mengarah pada kemodernan dan kosmopolitanisme sebagaimana dinyatakan Cak Nur (alm).


Tapi, kosmopolitanisme kita seakan tanpa arah dan tanpa falsafah, meskipun dianggap ada, namun nasionalisme itu kini mulai dipertanyakan kembali urgensinya dalam membentuk Negara ini. Sistem, dan masyarakat kita sepertinya belum siap untuk berhadapan dengan kosmopolitanisme ini. Mental kita terlalu lemah, belum menemukan bentuknya. Ini dapat dilihat tatkala kita sering kehilangan pedoman tentang bagaimana memprediksi dan menghadapi berbagai bentuk krisis dan berbagai persoalan bangsa lainnya. Kegagalan ini bertitik tolak dari pembacaan terhadap berbagai rumusan dasar-dasar negara yang mentah. Indonesia ternyata belum selesai, demikian Max Lane. Tumbuh suburnya kalangan minoritas, bak jamur dimusim hujan, jelas merupakan gejala modenitas, yang mengungkapkan kegagalan kita dalam memapankan sistem berbangsa dan bernegara kita. Kasus Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) misalnya, relevan untuk diungkap disini.


Dalam kasus JAI tersebut, kita mudah terbakar, menghalalkan darah sesame warga Negara bangsa ini (mengkafirkan dan istilah lainnya dalam bahasa agama) tatkala ada warga negara yang keluar dari kategorisasi besar masyarakat Indonesia yang nota bena mayoritas Muslim. Mereka dinyatakan sesat dari Islam/agama. Adakah Islam itu tak warna-warni? Ketimpangan nalar kita ini merupakan sebuah paradox. Kita berselingkuh di belakang pemahaman pembenaran dan penghakiman atas nama keyakinan yang kita tahu adalah merupakan hak prerogative Tuhan. Padahal, dilam sistem berbangsa dan bernegara kita yang multikultural, berpaut pada eksklusivisme tertentu cukup lemah kerasionalannya.


Bukankah pada dasarnya Konstitusi negara kita menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan? Dengan demikian dalam kasus JAI negara juga tidak berhak mencampuri urusan agama, apalagi mencoba memberikan pengakuan terhadap agama tertentu. Sebagaimana yang tertuang dalam SKB tiga mentri. Tidak ada agama yang diakui dan tidak diakui di negeri ini. Negara harus netral agama. Jika harus ditanya mana yang lebih tinggi kedudukannya antara agama dan Konstitusi, maka Konstitusi menaungi semua agama untuk bisa hidup secara damai. Tidak ada satu agama yang harus diistimewakan atas agama yang lain. Kasus kekerasan atas nama agama sesungguhnya adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran terhadap Konstitusi.


Memang ada produk perundang-undangan yang masih mencoba mengekang kebebasan beragama, seperti dalam UU PNPS 1965 tentang adanya lima atau enam agama yang diakui. Hal yang sama juga terdapat dalam KUHP pasal 156 a tentang penodaan agama. Meski begitu, kedua produk UU ini masih menyisakan perdebatan. PNPS 1965 sebetulnya tidak memberikan pernyataan eksplisit tentang beberapa agama yang diakui, kemudian serta merta yang lain menjadi tidak sah. Di sana hanya dicantumkan agama-agama yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia, sementara bukan berarti bahwa agama lain yang belum banyak dianut itu tidak bisa hidup.



Demikian halnya pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama. Pasal ini bermasalah karena terlalu banyak membuka ruang tafsir tentang apa sesungguhnya yang disebut sebagai penodaan agama. Pada praktiknya, mereka yang mengaku memiliki otoritas agamalah yang selalu memaksakan penafsirannya mengenai siapa yang menodai dan siapa yang berpegang teguh terhadap agama.



Selanjutnya, terhadap praktik hukum di Indonesia yang kerapkali tunduk kepada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Atas dasar apa MUI harus dijadikan rujukan hukum?. Bukankah MUI dinegara kita tidak lebih dari sebuah Ormas yang tidak memiliki legitimasi apa-apa untuk menentukan paham mana yang sesat dan paham mana yang benar. Negara harus tunduk kepada hukum, bukan kepada kelompok-kelompok seperti MUI.



Mari kita lebih jernih melihat kedudukan fatwa dan sumber-sumber hukum dalam fiqh Islam.Melihat gejala yang ada, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui terlebih dahulu posisi agama dalam kehidupan sosial. Ada paradoks yang mesti diperhatikan dalam realitas agama. Secara doktrinal, agama mengkampanyekan keselamatan, kebahagiaan, dan perdamaian. Tetapi pada saat yang sama ia bisa muncul dengan wajah yang garang dan penuh kekerasan. Dalam konferensi tentang perdamaian dan HAM untuk memperingati 950 tahun kota Nuremberg, disimpulkan bahwa pesan perdamaian dan kasih sayang agama dapat didistorsi menjadi instrumen kebencian dan konflik.



Pada titik inilah diperlukan kebebasan berkeyakinan. Kebebasan berkeyakinan adalah manifestasi dari hak azasi manusia yang paling mendasar. Tidak ada sesuatu yang bisa menghalangi penerapan HAM sebab HAM adalah sesuatu yang dijamin secara konstitusional, HAM sesuai dengan hukum moral, HAM juga sesuai dengan hukum legal, HAM bersifat universal, dan juga internasional.



Pada tingkat internasional, kebebasan berkeyakinan dijamin di dalam Pasal 2 DUHAM: “Setiap orang berhak atas semua hak…tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama/keyakinan, politik atau pendapat yang berlainan….” Demikian pula Pasal 18 DUHAM yang menyebutkan “Setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama; hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan…” Instrumen internasional lain dapat ditemui dalam Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida; Kovenan Hak Sipol (Pasal 18); Kovenan Hak Ekosob (Pasal 2); Kovenan Hak Anak (Pasal 14); Konvensi Eropa untuk Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar (Pasal 9); Konvensi Amerika untuk HAM (Pasal 12); Konvensi Afrika tentang Segi Khusus Pengungsi dan Masalah di Afrika (Pasal 8); Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi atas Dasar Agama/Keyakinan (Pasal 1 – 3), dan lain-lain. Sementara di dalam negeri telah dikenal beberapa bentuk perundang-undangan yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan: UUD 1945 Pasal 28 e; UU No. 39/1999 Pasal 22 ayat 1; UU Nomor 11/2005 tentang Ratifikasi Hak Ekosob; UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Hak Sipil dan Politik; dan lain-lain.



Keyakinan dalam perspektif ini dapat kita bagi dalam tiga bentuk keyakinan yakni keyakinan yang dijamin kebebasannya: keyakinan theistik, keyakinan non-theistik, dan keyakinan a-theistik. Hal ini tercantum dalan DUHAM pasal 18 yang menyatakan perlindungan terhadap keyakinan theistik, non-theistik, dan a-theistik, juga kepada agama atau keyakinan apapun.



Harus diakui bahwa memang belakangan ini muncul produk perundang-undangan yang mencoba menyalahi konstitusi dan mencoba mendesakkan upaya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada kasus-kasus semacam itu, maka kelompok progressif perlu melakukan constituional review atas semua UU atau peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini bisa disalurkan kepada Mahkamah Konstitusi. Di samping itu, perlu juga diupayakan judicial review terhadap semua UU dan peraturan perundang-undangan yang potensial bertentangan dengan UUD. Mahkamah Agung merupakan lembaga yang menyediakan jalur untuk upaya kedua ini.



Sesungguhnya pelbagai kasus kekerasan agama belakangan ini membawa pelanggaran UU yang tidak sedikit. Pelanggaran itu bukan hanya terkait dengan aksi kekerasan, tetapi juga pengahasutan dan penyebaran kebencian di ruang publik. Ada pula upaya pembiaran (crime by omission) terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat hukum dengan masih minimnya proses hukum dan bentuk pencegahan terhadap aksi kekerasan yang terjadi. Dan yang lebih menyedihkan adalah bahwa jika kasus kekerasan agama tersebut diproses secara hukum, maka aparat hukum cenderungan menjadikan korban sebagai tersangka. Dalam hal ini, aparat secara langsung menjadi pelaku kekerasan itu sendiri (crime by commission).



Terkait dengan hal ini, maka setidaknya JAI membutuhkan adanya jaminan Konstitusi atas kebebasan beragama. Kendati begitu, pada tingkat tertentu kekebasan beragama ini juga dibatasi. Pasal 156 a dan UU No. 11/PNPS/1965 adalah bentuk pembatasan terhadap kebebasan beragama. Meski kebebasan beragama dijamin dalam pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 (perubahan kedua), namun pembatasan itu bisa ditemui dalam pasal 28 j ayat 1 UUD 1945 (perubahan kedua). Kendati demikian, harapan masih terbuka lebar bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dengan diratifikasinya Kovenan Hak SIPOL melalui UU No. 12/2005.



Sebenarnya jika kita cermati beberapa kasus kekerasan yang ada justru tidak terlalu terkait dengan agama. Pemicu paling besar adalah masalah ekonomi politik. Agama seringkali hanya dijadikan sebagai tameng bagi kepentingan lain. Kasus-kasus kekerasan agama yang ada paling sering terjadi pada masa-masa ketika sedang terjadi gejolak politik lokal. Tampaknya, ada yang bermain di air keruh. Kasus sesat menyesatkan dijadikan alasan untuk sebuah mobilisasi massa bagi kepentingan politik tertentu. Meski begitu, kasus kekerasan, apapun motifnya, tetap harus diproses secara hukum


*****


Disisi lain, umat Islam adalah kolektivitas yang dibayangkan hidup, punya logika, dan punya jalan pikiran sendiri. Ia punya sikap tentang apa itu Islam dan apa itu bukan Islam. Barang siapa yang memahami Islam di luar pemahamannya dianggap mengancam Islam dan umat Islam dan, karena itu, harus dikeluarkan. Bila tidak mau keluar, tetap bernaung dalam nama Islam, ia dinilai pantas dimusnahkan.


Sikap umat seperti ini sebenarnya diciptakan dalam sejarah oleh sebuah otoritas agama atau ulama dan negara atas dasar penafsiran yang dinilai berlaku umum dalam tradisi otoritas tersebut. Peran ulama adalah membentuk paham-paham Islam mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Sampai di situ tidak apa-apa. Tapi, ketika otoritas agama ini punya kekuasaan atau bisa menggunakan kekuasaan negara, paham tersebut bisa punya daya paksa dan bahkan daya musnah seperti yang kita saksikan di Pandeglang itu.



Negara bisa dipaksa atau mungkin dipersuasi oleh ulama, terutama Majelis Ulama dan para ulama di Kementerian Agama karena petinggi negara terkait takut dinilai membela hak-hak beragama Jemaah Ahmadiyah. Mereka takut dinilai memusuhi umat Islam kalau menolak permintaan para ulama untuk mengkerangkeng jemaah Ahmadiyah.



Ketakutan elite negara, yang umumnya awam dengan tafsir Islam, itu semakin menjadi-jadi karena hampir tidak ada ulama tandingan dari umat Islam yang berpengaruh untuk menyampaikan paham alternatif terhadap pandangan tentang Islam yang dinilai umum tersebut. Kita tahu ada sejumlah ulama atau intelektual yang menoleransi adanya perbedaan paham dalam Islam, termasuk yang berkaitan dengan akidah, karena mereka tahu bahwa perbedaan semacam itu punya sejarah yang panjang dalam tradisi Islam. Dan sah adanya.



Kita ingat bagaimana para pendukung Sayidina Ali dan para pendukung Sayidina Usman saling mengkafirkan, saling mengeluarkan mereka dari Islam. Padahal mereka semua para pengikut setia Nabi. Mereka berebut pengaruh. Bukan soal paham agama betul.



Kita tahu banyak ulama besar pada masa keemasan Islam yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu, yang menganggap akal lebih penting daripada wahyu. Juga kita ingat perdebatan besar para ulama Asyariah dan Mu’tazilah tentang hakikat wahyu atau Al-Quran, apakah ia kekal (qadim) atau baru (hadis). Kita juga tahu ada ulama besar tasawuf, seperti Yazid Albustami atau Al-Hallaj, yang punya ungkapan ganjil bagi awam umat Islam ketika mengatakan, misalnya, “tidak ada Tuhan selain Aku”; “Aku adalah Tuhan”, dan seterusnya.



Itu semua wilayah akidah dan, karena itu, beda paham dalam soal akidah juga biasa saja. Kalau Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya seorang nabi, ya, tidak ada apa-apanya kalau kita melihat perbedaan paham para ulama pada zaman keemasan Islam tersebut. Jangankan yang mengaku sebagai nabi, yang mengaku dirinya sebagai Allah saja ada. Jangankan perbedaan paham dalam menafsirkan sumber doktrin Islam, yakni Al-Quran, yang menganggap Al-Quran kurang penting pun ada. Dan semuanya berdasarkan atas otoritas keulaman mereka.



Celakanya, para ulama yang berdiri di belakang SKB itu cukup tahu sejarah Islam, tapi mereka memilih secara selektif. Seleksi itu bukan karena mereka sudah bertemu dengan Allah dan mengatakan bahwa Allah membenarkan substansi SKB itu, tapi lebih karena perasaan dan sejarah sosial mereka sendiri dalam lingkungan ulama Indonesia yang jumud, yang mata hatinya tertutup terhadap kenyataan bahwa ini adalah Indonesia, negara Pancasila, bukan negara Islam.



Sejauh ini para ulama yang bernafsu mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam cukup berhasil memonopoli arti dan makna Islam itu, sehingga paham yang lain harus dimusnahkan. Lebih dari itu, mereka kemudian berhasil juga menciptakan ketakutan di seantero negeri, termasuk kepada para jenderal yang paham keislamannya dari tradisi abangan itu.


Para elite negara begitu takut kepada umat Islam yang maknanya ciptaan para ulama itu. Mereka begitu percaya, kalau melawan paham ulama itu, mereka akan ditinggalkan umat Islam, yang membentuk hampir seluruh penduduk negeri ini. Kalau ditinggalkan, apalagi dimusuhi umat yang buatan ulama itu, habislah riwayat petinggi negara yang nasibnya bergantung pada pilihan umat itu, apakah itu presiden, anggota DPR, gubernur, maupun bupati. Pejabat-pejabat negara lainnya yang tak dipilih umat, seperti yang duduk di Mahkamah Konstitusi, kejaksaan, kepolisian, dan kementerian, juga takut karena bergantung pada para pejabat yang dipilih umat tersebut. Umat berkuasa, dan membuat takut seantero negeri


*****


Sebenarnya fenomena yang kita alami ini telah lama dianalisis Habermas (juga Max Weber) mencermati dampak modenitas terhadap tradisi di Eropa saat itu. Kini, hal yang sama sebagaimana yang melanda tradisi di Eropa, juga kita alami di Indonesia. Hanya saja, objeknya yang berbea. Kali ini, masyarakat muslim di Indonesia juga kikuk dan kaget untuk menghadapi benturan sengit ini. Kasus penindasan minoriti JAI sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah sebuah ujian mengenai sejauh mana hak-hak minoritas di Indonesia. Hasilnya, kita gagal. Tapi, untungnya konflik ini belum (atau, agak sedikit soft) sampai pada tingkat perang.


Menyangkut sifat universal dari ajaran agama (Islam) disini menjadi menarik. Dalam kaca mata, Habermas, filsuf Jerman ini -termasuk Carl Schmitt yang merupakan lawannya- telah lama bergelut antara dikotomi penting dalam sistem yakni antara: perundang-undangan dan keabsahan. Menariknya adalah, melalui teori wacana-nya, Habermas tidak menolak fungsi agama dalam ruang publik. Dalam gagasannya, Habermas lebih menukik bahwa agama berupaya menjembatani kebersamaan dalam sebuah masyarakat. Syaratnya, agama tersebut mestilah melakukan proses universalisasi atas ajaran-ajaran-nya.


Meskipun demikian, tindakan melarang JAI, dan kelompok minoritas-minoritas Islam lain di Indonesia, telah menghambat agama dan penganut agama untuk melakukan universalisasi ajaran-nya. Kekangan dan larangan terhadap kaum minoritas ini sekaligus mencitrakan Indonesia yang tidak lagi berbhineka tunggal ika atau pengakuan atas Indonesia yang berdasarkan hukum, sebagai Negara hukum. Kita seakan-akan takut pada perbedaan. Takut pada pembaharuan. Semua yang berbeda, mudah saja dikelompokkan sebagai, "menggugat keselamatan negara" “menggugat kebenaran agama mayoritas”.


JAI di Indonesia ibaratnya saat ini berada pada titik nadir. Kalangan minoritas ini menderita kerana perbedaan dalam keyakinan keimanan. Mereka kehilangan ruang peribadi, ruang public, ruang berbangsa dan bernegara dan ruang dalam menjalankan keyakinan keberagamaan mereka sebagaimana yang diatur dalam Negara hukum ini. Hak universal untuk mewacanakan keimanan menjadi daerah terlarang bagi mereka, dan di negara mereka sendiri memasung hal itu. Lalu, apa lagi ruang yang tersisa bagi mereka? Jawabannya menyesakkan, Nol Besar.


Dalam hal ini, Habermas dalam "Constitutional Democracy: A Paradoxical Union of Contradictory Principles?" menunjukkan keterkaitannya. Habermas menyatakan bahwa ketika hak individu dijamin dalam konteks kewarganegaraan, maka hal itu akan membebaskan hak politiknya. Keterkaitan antara perlembagaan dan demokrasi hanya bermakna setelah adanya kombinasi antara hak peribadi dan hak selaku warga: dan, masing-masing diperoleh dari sumber yang sama."


Kemelut minoritas yang terkikis hak-hak individunya ini sangat memprihatinkan. Ini kerana, kasus yang menimpa JAI sudah masuk pada persoalan diskriminasi. Dan lebih memilukan lagi, diskriminasi terhadap JAI ini dilakukan oleh aparat negara, dengan restu pemerintah. Dan dibenarkan oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.


Maka, kini saatnya kita berduka. Kita lebih memilih diam dan menyaksikan kezaliman terjadi pada sesame warga bangsa yang minoritas. Lihatlah, betapa miskinnya pengetahuan dan pemahaman kita atas demokrasi yang kita usung. Demokrasi yang kita fahami rupanya mutlak milik mayoritas, dan minoritas tidak memiliki tempat, ruang dan hak-haknya. Demokrasi kita bukannya kebebasan wacana. Bukannya kebebasan media. Dan bukannya kebebasan berkeimanan dan berkeyakinan. Rupanya diam-diam dengan semangat ‘sosialis' yang paling ekstrim, negara berhasrat memilik-negarakan iman-mayoritas setiap muslim di Indonesia. Lalu, apakah negara seperti ini dapat mensejahterakan kita? Memberikan kedamaian, perlindungan dan kedudukan sama didepan hukum?


Masalahnya adalah: apakah pemasalahan ini harus kita diamkan, kita lupakan sebagaimana kasis-kasus berbangsa dan bernegara lainnya? Lalu, apa lagi yang akan kita tunggu -jika prinsip keadilan pun tidak ditegakkan? Ketika hak-hak minoritas tidak mendapatkan pembelaan sewajarnya, maka itu berarti negara kita telah kehilangan muka dan wibawanya. Karena, membela minoritas adalah ukuran berdemokrasi dalam sebuah negara-hukum. Bukan saja pada minoritas JAI, sebaliknya juga pada minoritas-minoritas lain. Mereka memiliki hak dalam melakukan universalisasi dan rasionalisasi atas pemahaman-pemahaman mereka.


Kini segalanya monolog. Tiada dialog. Sistem, hukum, serta dasar, hanya berkaca pada satu perspektif: kata pemerintah, SKB tiga menteri Dalam sistem yang tak mengorganisasi-dirinya ini, masyarakat hampir limpuh dan tak berperanan. Minoritas tak berperanan. Yang tersisa, hanyalah kata kekuasaan yang tidak komunikatif semata. Justeru, sekiranya kalangan minoritas ditindas, oleh pemerintah sekalipun, lalu kepada siapa lagi kaum minoritas ini akan mengadu?


Negara kita, dengan pemerintah dan keputusan hukumnya menyangkut hal ini sebetulnya adalah ancaman kepada keluhuran hukum. Pemerintah kita gagal memahami di mana batas kebenaran hukum-negara. Sebaliknya, menurut Habermas, negara yang baik adalah negara yang senantiasa bersedia untuk meralat dan berbenah diri. Setidaknya, negara akan sadar bahwa setiap hukum negara dalam negara-hukum itu tak pernah ada yang final, termasuk lembaganya sekalipun. Hukum mestilah bersifat mengayomi masyarakat. Bukannya dari sebuah suara tunggal pemerintah.


Meskipun begitu, untuk disalahkan para politisi secara seluruhnya, juga meski ditinjau ulang. Masyarakat, saya pikir juga turut menanggung dosanya. Masyarakat (termasuk insan akademik) kita tampaknya tak terdidik untuk kritis, dan pemerintah juga seakan (sama seperti penjajah!) cenderung memupuk masyarakat menjadi demikian. Saat masyarakat tak kritis, maka pemerintah akan bergembira dan berdiam diri.


Akhirnya, tragedi minoritas JAI adalah bukti mutakhir yang mewarnai ketak-kritisan masyarakat berbangsa dan bernegara kita. Ternyata, kalangan JAI dihukum hanya kerana secuil iman. Dan, nilai iman mereka rupanya telah diseka dengan sebuah tanah air yang terpasung martabatnya. Anggota JAI diburu, dikepung ruang geraknya, seperti binatang. Bukan hanya oleh orang-orang di lapisan bawah, tapi juga oleh elite negara dan ulama!

Selasa, 05 April 2011

Ketika Pondok Pesantren Berpolitik


Demokrasi yang merupakan sebuah sistem yang disusun untuk mewadahi pluralitas, karenanya keterbukaan dalam situasi politik untuk menuju sistem politik yang lebih baik sangat kita harapkan. Namun demikian gejala tersebut setidaknya banyak menimbulkan fenomena baru ditengah masyarakat. Semisal banyaknya pondok pesantren (ponpes) yang terjun langsung dalam dunia politik praktis.

Sebab bagaimanapun juga, pada mula sejarahnya ponpes adalah merupakan lembaga atau institusi yang banyak berperan dalam ranah pendidikan-kultural-keagamaan, sehingga pada saat mereka beralih ruang, yakni ke arena politik-struktural-kekuasaan, maka tugas-tugas kultural-pendidikan-keagamaan yang menjadi tanggungjawabnya kerap kali dinomorduakan atau malah terabaikan.

Beragam pandangan yang timbul dari kenyataan ini, baik yang pro atau yang kontra, yang berangkat dari pandangan satu kesatuan agama dan Negara (ad din wa al-daulah), atau sebaliknya yang menolak pandangan tersebut, ini tentunya juga tidak luput dari beragam argumentasi dan indikator perspektif yang menyertainya. Disini, kita juga menyadari bahwa tidak seluruh ponpes juga memiliki anggapan demikian, namun disini kita tidak akan mendiskusikan pandangan tersebut karena dalam tulisan ini, kita akan melihat bilamana ponpes berpolitik praktis.

Dari beragam keadaan tersebut tentunya akan menimbulkan pertanyaan tentang ‘ketahanan' ponpes dalam politik praktis? Pertanyaan ini timbul dan kerap kali merupakan bagian dari hubungan yang ‘tidak wajar' antara ponpes dengan dunia politik praktis, yang dimulai dari kedekataan antara para pengasuh ponpes dengan para pejabat atau tokoh pemerintahan. Ini tampak jelas, dari adanya pendapat yang beredar luas dikalangan masyarakat dan ponpes kita yakni: jika "wakaf" dari orang-orang non-muslim sah, apalagi sumbangan dari pejabat yang pada umumnya sama sekali ‘tidak mengikat'. Untuk sejumlah ponpes, yang memang para pengasuhnya ‘mengikatkan diri' dengan para pejabat dan tokoh di atas, mereka lalu tidak memandang penting ‘kebersihan diri' dari virus politik yang sangat berbahaya itu. Akibatnya banyak tokoh-tokoh ponpes yang ‘tergelincir' secara politis, dan kerap kali tidak dapat mengambil tindakan bagi kepentingan rakyat banyak dan masyarakat luas.

Hal ini sangat berbeda dengan masa KH. A. Wahab Chasbullah yang menjadi Ra'is Aam NU dengan wakilnya, KH. Bisri Syansuri. Dimana, menurut pengakuan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa KH. Wahab Chasbullah habis-habisan menentang gagasan Bung Karno untuk membubarkan semua parpol dan tinggal satu partai saja yang boleh berdiri di Indonesia. Demikian halnya ketika Bung Karno mempersiapkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, KH. Bisri Syansuri menentang habis-habisan DPR-RI, yang menurutnya -pada waktu itu, adalah hasil pemilihan umum tahun 1955. Jika harus diganti maka penggantinya harus dipilih, dan bukannya ditunjuk oleh Bung Karno. Untuk itu, KH. Bisri Syansuri menghadapi semua tekanan termasuk dengan datangnya tiga orang perwira RPKAD (sekarang Kopassus), dengan bersenjata lengkap dan melakukan intimidasi di ponpes KH. Bisri Syansuri.

Dari apa yang dicontohkan oleh KH. A. Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syansuri tersebut, terlihat bahwa para pimpinan ponpes masa lampau mendasarkan pandangan mereka pada aturan-aturan agama, bukannya pada uang dan sejenisnya. Contoh lainnya dalam hal ini, adalah Ra'is Akbar NU KH. M. Hasjim Asy'ari dari Tebuireng Jombang yang ‘membiarkan diri' ditangkap Kempetai (polisi rahasia Jepang), karena ia menolak untuk melakukan seikirai (upacara membungkuk badan untuk mendukung Kaisar Jepang). Menurut KH. M. Hasjim Asy'ari, hal itu sama saja dengan mengakui bahwa Kaisar Jepang adalah keturunan Dewa Matahari (Amaterasu) sesuatu hal yang tidak akan mungkin dilakukan secara keagamaan bagi seorang muslim, yang hanya mengakui kekuasaan Allah SWT. Untuk sikapnya itu, KH. M. Hasjim Asy'ari harus membiarkan tangan kirinya lumpuh karena siksaaan polisi rahasia Jepang.

Dengan demikian telah terjadi perubahan kualitatif dari sikap dan pandangan para pimpinan ponpes dalam kurun waktu sekitar setengah abad ini. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, berapa besarkah perubahan pandangan dan sikap tersebut? Ternyata perubahan-perubahan yang terjadi tidaklah besar. Secara kuantitatif, dari seluruh pimpinan ponpes yang ada di Indonesia, taruhlah ternyata paling tinggi hanya sekian persen pimpinan ponpes yang mengalami perubahan pandangan akibat perkembangan politik (untuk mendapatkan jawaban yang lebih akurat tentunya hal ini perlu kita lakukan penelitian yang lebih mendalam). Itupun dapat dibagi dua adanya perubahan pandangan itu.

Ada yang berpandangan, mereka berubah karena faktor uang dan hal-hal yang sejenis, tetapi lebih banyak faktor pandangan ‘politik'. Contoh perubahan karena pandangan ‘politik’ yakni misalnya bahwa orang-orang non-muslim tidak dapat menjadi pengurus dari partai politik (parpol) Islam –hal ini bilamana ponpes mendukung bahkan bergabung dalam salah satu parpol misalnya. Meskipun banyak pula para pimpinan ponpes yang membolehkannya, berbagai pandangan ini misalnya banyak terjadi dalam tubuh parpol-parpol Islam, semisal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan parpol-parpol berideologi Islam lainnya.

Perbedaan pandangan yang demikian fundamental antar mereka yang membolehkan dan yang melarang adalah merupakan konsekuensi dari pilihan dan kegiatan serta program kerja yang dilakukan. Dilihat dari sudut pandang ini jelas ponpes menempuh strategi yang saling berbeda, dan melalui bidang yang berbeda-beda pula dalam perjuangan. Kalau dilihat prospeknya, ponpes memiliki kemampuan untuk ‘bermain politik' melalui wadah yang saling berbeda. Ini berarti hampir seluruh ponpes mampu bermain politik secara dewasa. Hanya sedikit ponpes yang kehilangan kemampuan bermain politik, karena faktor uang dan kekuasaan, yang dalam jangka panjang akan membunuh kemampuan ponpes itu sendiri.

Politik yang dijalankan mayoritas ponpes di seluruh Indonesia (tak terkecuali di pulau Lombok) adalah mengembangkan sikap ‘melayani kebutuhan' berbagai pihak di luar ponpes. Artinya, ‘peranan agama' dalam penciptaan kemakmuran dan keadilan bagi bangsa dan negara ini ternyata tidak pupus dan bahkan justru menunjuk kepada masa depan yang lebih baik. Dengan kata lain, peranan agama dalam dunia perpolitikan di negeri kita tidaklah pudar, bahkan semakin tumbuh subur dan lebih nyata di masa depan. Meskipun pada titik ini sangat ramai beragam argumentasi terkait dengan peranan agama atau hubungan agama dalam Negara. Namun sedikitnya karena itu marilah, bagi ponpes, kita songsong era ini dengan membenahi ‘sasaran-sasaran politik' yang ingin dicapai.

Setelah era politik parpol-parpol yang berebut kekuasaan, disusul oleh kekuasaan kaum profesional dan kemudian tentara/militer selama tigapuluh tahun lebih, kini datanglah era untuk menyaksikan munculnya peranan lembaga-lembaga keagamaan (seperti ulama, ustad, tuan guru dan sebagainya). Kalau dari pihak-pihak sebelumnya tidak begitu banyak hasil yang diperoleh, maka bagaimana dengan kepemimpinan ulama atau tuan guru atau pimpinan ponpes yang disimbolkan oleh pengaruh ponpes dalam berpolitik? Dapatkah mereka membawakan kemakmuran dan keadilan bagi bangsa dan daerah, dengan menciptakan masyarakat yang kuat, daerah yang maju dan negara yang besar? Seperti halnya faktor-faktor lain dalam pembangunan, ponpes juga harus terlibat dengan pelestarian dan pembuangan jauh-jauh beberapa aspek dari kehidupannya. Karena hal ini adalah hal yang biasa terjadi dalam sejarah manusia.

Tuan Guru Tak Perlu di Bela


Membela pribadi, kelompok dan institusi berdasarkan identitas agama juga sangat berbahaya bagi prinsip dan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan. Betapapun mulia ajaran sebuah agama, belum tentu mulia perilaku umatnya, termasuk disini pribadi, kelompok dan institusi tersebut.

Tuan Guru Tak Perlu di Bela. Yang mesti diperjuangkan adalah tegaknya nilai-nilai Islam seperti persaudaraan, ukhuwah, keadilan, kesejahteraan atau kemaslahatan. Segala peristiwa yang tidak menyejukkan di negeri ini dan dalam taraf yang agak relatif di daerah kita acapkali dipicu oleh hasrat yang begitu kuat untuk melakukan pembelaan terhadap pribadi, kelompok atau institusi tertentu berdasarkan identitas yang dimilikinya. Disini, terkadang rpibadi-pribadi tersebut acapkali mengklaim dan menyatakan diri secara plural, kami atau kita dari pada personal yang tunggal, aku. Terkait dengan tema tersebut di atas saya akan menguraikan hal-hal berikut.

Pertama-tama bahwa masyarakat awam dipulau Lombok masih beranggapan bahwa pribadi dan institusi yang bernama Tuan Guru adalah identik dengan Islam itu sendiri karenanya mesti dipahami bahwa Islam dan Tuan Guru adalah dua hal yang berbeda. Islam adalah serangkaian ajaran hidup (way of life). Sementara Tuan Guru adalah sebuah pribadi dan dalam kapasitas tertentu juga berlaku sebagai sebuah institusi dalam sebuah komunitas (muslim suku Sasak). Betapapun Tuan Guru ingin menghayati dan mengamalkan prinsip-prinsip ajaran agama Islam, mereka dalam taraf tertentu juga menerima Islam secara parsial dan sesuai dengan pemahaman dan latar belakang (background) mereka dalam pengertian yang luas. Asumsi ini didasarkan pada fakta bahwa apa yang kita sebut sebagai Tuan Guru yang berfungsi sebagai pemimpin dalam ranah kultural terkadang (dan sering kali terjadi) beralih ke ranah struktural (baca: politik) yang banyak mengandung berbagai macam konsekuensi yang tidak enak didengar dan disaksikan.

Atas dasar peralihan ranah kepemimpinan tersebut maka perpecahan dalam ranah struktural ini kemudian terus berlanjut dan merembet ke persoalan teologi. Sebagaimana yang juga telah dengan apik diperlihatkan dalam sejarah umat Islam. Yang akibatnya masyarakat mati-matian membela pribadi dan institusi yang bernama Tuan Guru ini. Lantas kepada Tuan Guru yang manakah kemudian pembelaan akan dilakukan?

Membela Tuan Guru yang semata-mata didasarkan atas identitas agama juga sangat berbahaya bagi keadilan dan kemaslahatan. Betapapun mulia ajaran sebuah agama, belum tentu mulia perilaku umatnya, termasuk dalam hal ini Tuan Guru. Di pulau Lombok misalnya, para pelaku korupsi, Tuan Guru yang berbuat cabul atau guru ngaji yang mencabuli murid-muridnya dan tingkah Tuan Guru yang tidak berkenan hadir untuk mengisi majelis ilmu jika tidak dijemput oleh sebuah mobil mewah dan selembar anplop tebal untuk sekedar berkah. Kita juga tahu sendiri bahwa tak ada suara lantang Tuan Guru menentang cuci tangannya berbagai kerusakan hutan dan pencemaran serta kerusakan lingkungan hidup didaerah kita. Tak ada fatwa Tuan Guru menentang “penggusuran” tanah warga yang tidak sebanding ganti ruginya untuk dijadikan areal bandara internasional. Tak ada pula rekomendasi khusus perdagangan perempuan, termasuk pengiriman TKW kecuali setelah didesak di sana-sini. Yang ada hanya gemuruh dukungan para Tuan Guru untuk dukungan calon gubernur tertentu. Atau gegap gempita ceramah Tuan Guru di acara-acara pejabat yang tak ada nuansa dakwahnya sama sekali. Bahkan, sebagiannya kini bak selebritis. Susah dicari dan acapkali mementingkan materi. Tentu kita tidak akan membela para palaku kejahatan itu meski ia mengaku Tuan Guru dan sangat taat beribadah.

Karena pada masa ini kita juga dengan lebih jernih dapat melihat evolusi Tuan Guru dalam perjalanannya. Dimana pada masa penjajahan bergejolak jumlah Tuan Guru relatif sangat banyak. Namun sejak era 70an jumlah Tuan Guru semakin menyusut. Pedikat Tuan Guru yang pada masa itu tidak mudah di dapat dan lebih banyak dalam aspek keagamaan. Dan pada masa penjajahan jumlah Tuan Guru mengalami penurunan. Predikat Tuan Guru pada masa sekarang (kontemporer atau Tuan Guru kholaf) juga mengalami perluasan yang dapat pula mencakup berbagai disiplin keilmuan akademis juga keagamaan.

Saat ini, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa Tuan Guru selain sebagai pribadi juga sebagai sebuah institusi dalam sebuah komunitas. Keberadaan Tuan Guru sebagai pribadi dan institusi ini juga dapat kita petakan dalam tiga katagori bahkan juga lebih, misalnya Tuan Guru pegawai negeri sipil (PNS), Tuan Guru politik dan Tuan Guru Independen.

Tuan Guru PNS berjumlah sangat banyak yang terikat oleh aturan kepegawaian dan umatnya relatif longgar. Sedangkan Tuan Guru politik jumlahnya sedikit, terikat dengan aturan kepartaian dan umatnya meliputi komunitas dalam partai bersangkutan. Sementara Tuan Guru independen jumlahnya sedikit, memiliki jaminan dari umatnya, terpengaruh oleh perubahan nilai dan lebih mengakar.

Demikian halnya jika kita kelompokkan berdasarkan pandangan keagamaan, maka Tuan Guru dapat kita identifikasi atas Tuan Guru yang berpandangan tradisionalis, Tuan Guru yang berpandangan modernis dan Tuan Guru yang berpandangan fundamentalis. Masing-masing pandangan ini memiliki perspektifnya sendiri-sendiri. Misalnya Tuan Guru tradisionalis cenderung apa adanya, bersikap statis, tidak mau menerima perubahan dari luar dan berpegang pada satu madzhab. Sedangkan Tuan Guru modernis cenderung bersifat dinamis, mau menerima perubahan dari luar baik yang berasal dari adat istiadat maupun pengaruh kebudayaan Barat dan mengambil dari berbagai madzhab. Sementara Tuan Guru yang berpandangan fundamentalis cenderung statis dan tidak mau menerima perubahan dari luar baik yang berasal dari adat istiadat terlebih pengaruh kebudayaan Barat, disamping keinginan kuat untuk melaksanakan ajaran Islam sebagaimana pada masa awal Islam.

Tuan Guru tradisionalis biasanya bertempat dan menyampaikan ajaranya di surau-surau dan dalam kelompok-kelompok tarekat. Sedangkan Tuan Guru modernis biasanya ditandai keterkaitannya dengan institusi atau organisasi semisal, majelis ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, para Tuan Guru Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Tuan Guru pada Departemen Agama (Depag) dan hakim-hakim agama. Sementara Tuan Guru fundamentalis misalnya banyak tergabung dalam Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihat, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan lainnya.

Dari kenyataan di atas, karenanaya untuk selalu menyatakan bahwa Tuan Guru selalu benar dan oleh karenanya selalu mesti dibela adalah kedzaliman. Tragedi-tragedi kemanusiaan di pulau Lombok dalam beberapa tahun yang lalu, dan relatif dalam masa-masa terakhir ini biasanya muncul dari pandangan semacam itu. Disini penulis tidak akan menyebutkan contohnya, cukuplah ia menjadi rahasia umum dalam masyarakat di pulau Lombok. Merasa pasti dan selalu benar yang oleh karenanya bisa membantai semua penentangnya.

Kita percaya bahwa agama yang kita anut (yakni Dienul Islam) mengajarkan kebaikan dalam bingkai kemaslahatan dan maqasid al-syariah. Tapi umat penganutnya yang juga Tuan Guru adalah insan yang serba kekurangan. Karenanya mari membela Islam sembari bersikap kritis terhadap Tuan Guru, juga terhadap umat agama apapun yang melakukan kejahatan dan pembenaran yang dilakukan yang mengidentikkan dirinya dengan agama.

Khutbah Jum’at dan Peradaban Yang Merosot


Kesan saya, ada korelasi yang signifikan antara merosotnya peradaban umat dengan khutbah Jum’at, bagaimana hal ini kita jelaskan? Begini, saya merasakan bahwa telah sekian lama bahkan akhir-akhir ini, seakan makin marak saya dengarkan tiap Jum’at, tampaknya khutbah Jum’at tidak lagi menjadi media bagi umat untuk bisa menambah wawasan keagamaannya dengan cerdas, tapi justru seolah menjadi media dan tempat mempertahankan tradisi dengan demagogi, ceramah yang sarat dengan klise, repetisi materi yang membosankan, dan kadang caci-maki yang menyuburkan rasa benci.

Kalau mendengar khutbah-khutbah yang disiarkan melalui stasiun TV dinegeri ini, setidaknya saya merasa, mutu khutbah lebih memiliki variasi dan menemukan vitalitas materinya, meskipun tidak semua, namun secara umum jauh lebih baik ketimbang mutu khutbah Jum’at di masjid-masjid kita selama pelaksanaan ibadah Jum’at. Selain materi yang menemukan momentumnya yang disesuaikan dengan perkembangan, cara penyampaiannya juga relatif agak lebih menarik. Terkadang saya jadi berfikir, apakah ini ada kaitanya dengan permintaan pasar dengan disiarkannya melalui stasiun TV?

Sedih rasanya melihat, mendengar dan merasakan semangat dan materi khutbah Jum’at yang seperti itu. Namun apakah memang harus seperti itu?

Lalu apa hubungannya dengan peradaban umat? Apa ini juga merupakan cermin dari keadaan peradaban umat saat ini? Saya jadi ingat Prof. Fathi Osman yang suatu ketika berujar, peradaban adalah suatu keseluruhan. Ketika suatu peradaban merosot, maka yang merosot bukan hanya salah satu aspek di dalamnya, tetapi juga merembet ke seluruh aspeknya. Kemerosotan peradaban umat, jika dibaca melalui cara pandang Prof. Fathi itu, juga tampak hingga ke perkara sepele seperti khutbah Jum’at.

Saya tidak bisa seluruhnya sepakat dengan kalangan yang menyebut dirinya “tradisionalis” seperti Prof. Seyyed Hossein Nasr, yang mengatakan bahwa peradaban Barat sudah mengalami kebangkrutan secara spiritual, meski secara material tampak gemerlap dan cemerlang. Pandangan ini, saya kira, diikuti pula oleh banyak kalangan umat Islam.

Saya juga tidak bisa sepakat dengan pandangan seperti ini dengan alasan sangat sederhana: bukankah kecemerlangan lahiriah menandakan suatu vitalitas rohaniah. Jika seseorang mengalami kebangkrutan secara rohani, dengan sendirinya kebangkrutan itu akan tampak pula pada aspek-aspek jasmani.

Peradaban yang memproduksi ratusan pemenang Nobel dalam segala bidang setiap tahunnya, jelas menandakan bahwa peradaban itu sehat jasmaniah dan rohaniah. Peradaban yang menghasilkan ratusan film bermutu dan produk-produk hiburan bermutu lainnya setiap tahun (ada juga yang tidak bermutu), jelas manandakan bahwa peradaban itu subur dan maju, lahir dan batin.

Peradaban yang menghasilkan ribuan judul buku bermutu setiap tahun (sebagaimana bisa dilihat melalui jurnal review buku seperti The New York Review of Books atau Times Literary Supplement), jelas menandakan bahwa ia segar bugar, luar-dalam.

Sebaliknya, peradaban yang di dalamnya terdapat khutbah-khutbah Jum’at yang sarat demagogi dan caci-maki, apa yang bisa kita katakan selain ia sedang merosot? Lihatlah ironi berikut ini. Siapa penulis muslim yang dapat mengarang biografi tentang nabi mereka sendiri sememikat biografi yang ditulis Karen Armstrong, seorang mantan biarawati, tentang Nabi Muhammad? Siapakah sarjana Muslim yang dapat melahirkan karya tentang sejarah sosial umat Islam (sejak masa klasik hingga modern) secemerlang yang ditulis Prof. Ira M. Lapidus, “The History of Islamic Societies”?

Dalam bidang-bidang yang menyangkut agama Islam pun, ”orang lain” bahkan dapat melahirkan karya yang lebih baik daripada umat Islam sendiri. Apakah peradaban Barat yang sakit secara rohaniah, seperti dikatakan kalangan tradisionalis itu, akan dapat menghasilkan karya-karya besar yang terus mengucur setiap tahun dalam setiap bidang ilmu pengetahuan? Bagaimana peradaban yang sakit secara “spiritual” dan rohani bisa melahirkan karya-karya besar seperti “The City in History” karya Lewis Mumford, misalnya?

Belum lagi menyangkut fungsi dan pembeda antara seorang dai (khatib) dengan seorang kadi, dimana posisi seorang khatib dalam melaksanakan khutbah Jum’at lebih sebagai seorang pendakwah (dai), bukan pendakwa (kadi). Bukankah Islam adalah agama dakwah? Dakwah adalah ajakan, sementara dakwa berarti tuduhan. Mengajak dan membagi jalan kebenaran menjadi pekerjaan khatib, yang lahir karena keuletan dia menegakkan misi, bukan hasil audisi, atau kontestasi. Sementara mengurusi kesalahan, tuduhan, hingga penghakiman adalah tugas seorang kadi.

Terkadang dalam materi khutbah Jum’at, Islam sering tergambar dengan wajahnya yang keras, penuh pemaksaan, dan intoleransi. Yang menyedihkan, diskursus akademik yang bersifat “spesialis” dihakimi secara demagogis melalui “mimbar awam” seperti khutbah Jumat ini. Padahal hal ini, dalam era kontemporer saat ini, kekerasan, pemaksaan dan intoleransi tak lagi bisa dipertahankan, yang menuntut keterbukaan, toleransi, dan persamaan hak. Begitu juga, wajah Islam yang lusuh, terbelakang, dan ahistoris sudah tak lagi memiliki tempat dalam kehidupan modern yang semakin menuntut adanya rasionalisasi dan pragmatisme dalam setiap bidang kehidupan.

Khutbah Jum’at yang diperlukan umat untuk kehidupan sekarang dan di masa-masa mendatang adalah khutbah yang mampu memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan umat, baik pada tingkat individu, masyarakat, maupun negara. Persoalan-persoalan yang dihadapi umat dewasa ini, sudah barang tentu, berbeda dengan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslim sepuluh tahun, seratus tahun, atau apalagi seribu empat ratus tahun yang lalu.

Khatib setidaknya diharuskan untuk selalu memiliki perspektif baru dalam melihat berbagai persoalan yang di hadapi umat. Sebagaimana para khatib masa silam melihat segala persoalan dari perspektif mereka, khatib saat ini juga dituntut untuk melihat persoalan yang dihadapi umat dengan perspektif masa kini. Tawaran penyelesaian persoalan-persoalan masa kini dengan solusi-solusi masa silam hanya akan membuat umat makin teralienasi dari dunia di mana mereka hidup. Inilah sebenarnya sumber dari banyak kontradiksi yang akhir-akhir ini sering kita dengarkan melalui khutbah-khutbah Jum’at.

Karenanya sudah saatnya umat bersikap kritis dalam melihat, mendengar dan membaca khutbah-khutbah Jum’at yang disampaikan oleh para khatib, karena bagaimanapun, sebagian dari pesan-pesan yang terkandung dalam khutbah Jum’at tersebut banyak juga yang dibentuk dalam kondisi sosial-budaya tertentu. Dan karenanya, perlu penafsiran dan pemahaman ulang agar lebih menemukan kontektualisasi dan revitalisasinya bagi peningkatan peradaban yang sedang merosot.

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id