Rabu, 25 Februari 2009

Listrik Selaparang

Apakah dimalam-malam terakhir ini listrik dirumah atau digubuk atau diistana anda mati? Sama, dikampung saya juga mati. Matinya listrik di malam-malam terakhir ini membuat orang banyak yang ngomel, marah, jengkel dan terkadang melupakan bahwa ia kreatif, mahluk yang inovatif, ditambah dija malam itu ada PR bagi para pelajar, tugas kantor, apalagi operasi tumor misalnya, upacara kematian, selamatan hingga upacara sunatan dan malam zaffaf bagi para pengantin.
Ngomel juga disertai sumpah serapah, dasar PLN! Dan seterusnya dan seterusnya. Akhirnya dengan keadaan ini mari kita berdiskusi saja, gratis, tidak bayar, didepan beranda rumah tentang iuran uang listrik yang tiap bulannya kita bayarkan, kok tidak ada diskon, tidak ada potongan, tentang sutet milik PLN yang disesali oleh penduduk, tentang orang mati yang kesetrum karena mencuri listrik dans eterusnya dan seterusnya.
Begitu listrik mati, tetangga-tetangga saya banyak juga yang mengomel, tidak sedikit yang mengelus dada dan banyak lainnya yang hanya diam. Menunggu listrik menyala, teman-teman kost pada cemberut, malah ada yang teriak-teriak segala. Kentara sekali jikalau kita sangat tergantung kalau tidak ketergantungan pada yang namanya listrik pada alat yang kita buat sendiri yang diciptakan sendiri oleh manusia. Kita lupa padahal ada minyak tanah yang dengan itu kita dapat membuat penerangan, buat lampu, dari botol kraktingdaeng atau dari kaleng susu dan lainnya.
Menyebut hal itu salah seorang tetangga saya bertanya. Waktu zaman raja Selaparang dulu, ada minyak tanah tidak ya? Selanjutnya diskusi makin menjadi hangat, soalnya sambil menunggu listrik menyala teman-teman dan para tetangga ikut duduk-duduk diserambi depan rumah. Untung tidak ada Pak Ahmad JD yang ahli sejarah itu yang mendengar diskusi malam itu yang saya rasa akan menjawabnya dengan sangat persis. Kira-kira apa kata pak Ahmad JD tentang hal ini?
Kita tahu orang-orang bahkan para pangeran dan raja-raja dari berbagai kerajaan dating untuk melamar Putri Mandalika, atau saat Arya Banjar Getas diutus untuk meminang seorang putrid idaman raja kira-kira mereka menggunakan minyak tanah tidak ya? Tetapi yang jelas saat itu listrik belum ada jawab seorang rekan.
Kita juga akrab dengan sumpah Palapa maha patih Gadjah Mada, kecemburuan social Rangga Lawe atau ulah Raden Wijaya yang menjebak pasukan Cina itu, atau sejarah perang Bubut antara Bali dan Lombok, tetapi diantara itu semua banyak juga yang kita tidak ketahui persis misalnya bagaimana pakaian prajurit selaparang waktu itu, warna topinya bagaimana, apakah mereka menjahit pakaiannya sendiri atau malah di obras di Hadi Taylor kata tetangga yang berlagak jenaka dan yang terakhir ini jelas tidak mungkin.
Yang jelas dari sejarah selaparang kita hanya mengetahui tentang hal-hal yang menyangkut kekuasaan, dari buku-buku sejarah juga melulu tentang pergeseran dan perebutan kekuasaan. Jarang bahkan tidak pernah diulas tentang motif pakaian yang mereka gunakan, sandal yang digunakan bagaimana, semua berisi kekuasaan. Kita isi jiwa anak-anak SD-SMP-SMA dengan melulu ambisi kekuasaan.
Kita mengerti Putri Mandalika karna parasnya ayu lantas mengorbankan diri agar tidak terjadi peperangan, untuk perdamaian, perebutan kekuasaan, yang kuat yang berhak memiliki, yang kuat yang berhak berkuasa. Tapi kita juga kurang paham bahwa bias jadi sang putrid berjiwa Kartini, bias jadi sama seperti Marsinah, bahkan Margareth Teacher ala Inggris itu.
Lepas dari itu semua kita terkadang jarang berfikir bahwa patih Gadjah Mada melakukan itu tanpa menggunakan motor, tidak juga mobil, tidak ada minyak tanah, bensin bahkan listrik, tanpa pistol, tanpa peluru, tanpa satelit. Waktu itu apa ia di kerajaan Selaparang ada pabrik bola lampu? Atau pabrik pengolahan minyak tanah?
Karena alasan ketergantungan, saat ini kita merasakan listrik mati seperti orang kebakaran jenggot, seperti tidak makan tiga hari, kita lupa bahwa jika tidak ada rotan maka akarpun jadi? Jangan gara-gara listrik mati kearifan kita terganggu, tujuan besar kita gagal, iakan tidak dapat, air keruh dan daun tunjung pun layu. Kalau motor mogok atau pecah bannya kita hamper-hampir malas naik sepeda apatah lagi jalan kaki, malu, gengsi. Mentalitas kita memang begitu, kalau baju robek malu pakai, buat lap saja, kita juga sekarang sudah tidak kuat lagi berlama-lama jalan diatas krikil, atau diaspal tanpa sandal, kecuali untuk alas an kesehatan karena rematik atau saran dokter misalnya.
Ini bukan menggurui tapi memang kenyataannya demikian mentalitas kita atelah berubah, kita lupa pepatah bijak orang tua kita : Piliq buku ngawan, semet bulu mauq banteng, empak bau, aik meneng tunjung tilah, saya rasa begitu.
Akhirnya lampu menyala, malam yang tadinya gelap sekarang agak sedikit terang walau ada juga disudut sana agak remang-remang, akhirnya akankah kita akan kembali ketabiat semula? Ah saya juga tak tahu karena kita dari dulu memang selalu begitu

Salahnya Tak Pernah Lihat Pesawat

Suatu hari misan saya yang dari desa dating leburan ketempat saya, dikota. Di bercerita bahwa sekarang didesa kami para tetangga-tetangga dan orang-orang sibuk cerita tentang pesawat. Lasingan melihat pesawat saja belum, maksudnya bentuk pesawatnya yang dari dekat itu bagaimana. Ini malah didiskusikan, mulai dari para pedagang sayaur, pedagang buah, pedagang kelontong, ibu-ibu yang lagi nyuci, atau orang tua yang lagi cukur jenggot, sampai para aparat pemerintah desa sibuk membahas tentang pesawat. Pesawat dan pesawat.
Sampai-sampai kebawa juga obrolan itu kerumah saya, baru habis solat, saya dipanggilnya untuk melanjutkan diskusi tentang pesawat “aneh kembek milu ne beluhuran tentang pesawat, lanjutan sak onek no”. saya jawab “bareh juluk, ngaji Al Qur’an surat Al Fath ne,” misan saya malah menyahut “aneh aruan….dendek ngaji doing, pesawat endah penting….ye yak atonget lemak jok sorge” lho, ngaji juga dong sahut saya. Karena saya dipaksa terus, akhirnya saya menunda ngaji saya dan ikut dalam diskusi dengan misan saya dan meniatkan setelah diskusi saya akan melanjutkan ngaji qur’an yang tertunda tadi.
Luar bias memang, daya tarik burung mesin yang bias terbang ini, daya tarik pesawat demikian terasa. Pesawat. Pesawat. Pesawat. Yang disini pro yang disana kontra, yang disini kontra yang disana pro. Rupanya misan saya ini, yang meskipun ada yang tidak mengenal sekolah ternyata pakar-pakar juga.
Mengikuti alur pemikiran yang berkembang, yang pakar birokrasi bilang pesawat harus dating kedesa ini, agar kita bias lihat, tapi aturannya mesti ditaati. Yang pakar sosiologi bilang masalah pesawat kurang sosialisasi, meski terus dikerjakan pembangunannya tetapi mesti terus ada sosialisasi tentang berbagai dampak positif dan negatifnya apalagi persiapan kea rah itu. Yang pakar adat lain lagi malah menyoroti tanah-tanah adat, mereka bilang jangan sampai tanah-tanah adat kita dijual untuk komersialisasi. Yang pakar pertanian cemberut sambil berkomentar kasihan sawah-sawah kita sekarang sudah tidak ada lagi tempat bertani apalagi mau swasembada beras. Yang pakar agama berkomentar sambari bertanya mengapa pesawat-pesawat untuk membawa orang kesurga melalui titian sirothal mustaqim kurang diperhatikan? Yang pakar demokrasi tidak mau ketinggalan mereka turut andil dengan mengatakan mengapa pemerintah tidak melakukan referendum sajauntuk menanyai masyarakat apakah setuju atau tidak tentang pesawat yang ingin tinggal landas di desa. Yang social engineering bilang kalau pemerintah mau mensejahterakan rakyat sejahterakan juga dong pendidikannya, kesehatannya, lapangan kerjanya jangan ada KKNnya, sejahterakan juga dong ekonomi mereka, ajari pendidikan politik, biarkab kebebasan berserikat dan berpendapat dimuka umum dan seterusnya dan seterusnya.
Aneh, saya sendiri malah mengerenyitkan dahi. Tapi boleh jugalah saya punya usul untuk satu kali masa jabatan pemerintah, gratisin dong sejumlah orang untuk pergi haji dengan criteria dan indicator tertentu misalnya para guru teladan, penyelamat lingkungan hidup, pedagang yang jujur, oranqg kaya yang dermawan, pelestari adat budaya, pejuang demokrasi, sampai mantan napi yang jadi teladan umat, bukannya pesawat juga bias mengantar kita kerumah allah? Siapa tau dari sana kita transit menuju surganya, atau paling tidak ada realisasi dari perwujudan haji myang mabrur itu, sebagaimana do’a Rasulullah saw.
Dulu, anak-anak di desa saya, mendengar suara pesawat diketinggian sana, dengan enak-enaknya dongakkan kepala melihat pesawat sambil teriak-teriak minta uang, maklumlah anak-anakkan masih lugu dan polos-polosnya, e tapi ada juga anak yang nasibnya kurang mujur, saking enaknya dongakkan kepala dan teriak minta uang malah jatuh kecebur kesumur yang permukaannya agak rata dengan tanah dan anak itu meninggal. Salahnya sendiri selalu melihat ke atas, karena uang lagi.

***
Saya itu orang yang tidak pintar maen gitar, tapi senang dengar lagu, kata seorang teman. Lagu apa Tanya saya, lagu Rhoma Irama, gali lobang tutup lobang, jawabnya sambil tertawa. Kalau pintar main gitar saya akan menyanyi sekeras-kerasnya, lagu madu dan racun, atau buat apa susah katanya lagi.
Adapun tentang ekonomi saya senang mendengarkan, soalnya tentang uang, uang dan uang. cita-citanya ingin buat rumah seperti raja Sulaiman yang alaihissalam itu, tapi dapat duitnya bagaimana? Habisnya berapa? Yang mengerjakan rumahnya siapa? Dan seterusnya dan seterusnya, pokoknya ekonomi keuangan itu menarik lanjutnya panjang lebar.
Namun akhir-akhir ini saya jadi kurang tertarik, katanya lagi penyebabnya karena kita sedang krisis keuangan, krisis property, krisisi bursa, krisis kepercayaan, krisis pasar, krisis ekspor import. Dampaknya PHK, pengangguran, biaya hidup tinggi, beras makin mahal dan seterusnya dan seterusnya. Tapi senangnya ada warisan, berarti aka nada investasi misalnya dari PT. Aimar yang dari Timur Tengah itu. Katanya milyaran dolar rupiah. Yaa allah banyak sekali. Dampaknya pasti aka nada misalnya penciptaan lapangan kerja, yang berarti ada pendapatan, ada gaji, bias beli beras dan seterusnya dan seterusnya lanjutnya lagi.
Tapi milyaran rupiah itu berapa? Investasinya padat modal atau padat kerja? Jangan-jangan saya keliru, membayangkan milyaran itu saja susah. Orang saya hanya mengenal pecahan seribu saja, seribu bulan, seribu satu malam, ulat kaki seribu dan seterusnya dan seterusnya. Untuk jumlah yang paling banyak paling kita berucap yaa allah banyak sekali, untuk maksimalisasi suatu hal.
Ini investasi milyaran rupiah, pak Bupati, pak ekonom tolong saya dong, jelaskan kepada kami berapa milyaran rupiah itu? Apa investasinya padat modal atau padat tenaga kerja? Berapa rupiah kira-kira jumlahnya, termasuk berapa besar kira-kira kami yang kecil-kecil ini akan turut kecipratan, agar kami juga bias beli tiket pesawat, soalnya kami juga mau ikut tinggal landas pak Bupati.

Time Is Money?

“Uang ibarat cermin, ia tidak memiliki warna tapi dapat merefleksikan semua warna” (Al-Ghazali)
Sangat sulit untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dalam kondisi seperti sekarang. Sejak 1997 nilai tukar rupaih ‘tidak berdaya’ menghadapi mata uang asing, termasuk dolar. Meski demikian dalam sistem perekonomian kita saat ini, uang menempati posisi dan fungsi yang sangat strategis, ia bagaikan darah dalam tubuh manusia, yang dengannya tidak heran pula jika masyarakat kita mengidentikkan atau malah menyamakan waktu adalah uang, yang keberadaannya bahkan dapat menjadi indikator bagaimana kondisi riil perekonomian.
Namun benarkah demikian? Bagaimana persfektif ekonomi Islam menjelaskan hal ini? Teori keuangan memang mendasarkan argumen bunganya dengan konsep time value of money (nilai waktu uang) namun bagaimana dengan konsep economic value of time (nilai ekonomis dari waktu) seperti yang ditawarkan Adiwarman A. Karim (seorang pakar ekonomi islam).
Islam memandang uang hanyalah sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditas atau barang dagangan. Maka motif permintaan terhadap uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demad for transaction), bukan untuk spekulasi atau trading. Islam tidak mengenal spekulasi (money demand for speculation). Karena pada hakikatnya uang adalah milik Allah SWT yang diamanahkan kepada kita untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat. Dalam pandangan Islam uang adalah flow concept, karenanya harus selalu berputar dalam perekonomian, sebab semakin cepat uang itu berputar dalam perekonomian, akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan akan semakin baik perekonomian. (Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah, Dari Teori ke Praktik, 2003).
Kuantitas waktu bagi tiap orang adalah sama yakni 24 jam sehari, 7 hari dalam sepekan. Namun demikian nilai waktu bagi setiap orang tentu akan berbeda. Hal ini akan bergantung pada bagimana orang tersebut memanfaatkan waktu. Semakin efektif (tepat guna) dan efesien (tepat cara) orang tersebut menggunakan waktunya maka akan semakin tinggi nilai waktu tersebut baginya.
Kedua indikator pemanfaatan waktu tersebut (efektif dan efesien) tentunya akan memberikan komitmen yang secara langsung akan dirasakan saat beraktivitas dalam kegiatan ekonomi sehari-hari artinya secara sunnatullah manfaatnya akan langsung dirasakannya disini. Di dunia. Dalam islam, keuntungan yang menjadi tujuan atau aktivitas mu’amalah seorang muslim yakni tidak hanya di dunia saja, namun juga di akhirat. Karenannya pemanfaatan waktu tersebut juga harus didasari pada nilai (keimanan) dan hal tersebut merupakan tujuan tertinggi atau keuntungan yang hendak diwujudkan di akhirat.
Sebaliknya jika hal tersebut tidak dapat diwujudkan, berarti terdapat beberapa faktor yang menjadikan seseorang itu merugi. Di dalam al Qur’an terkait dengan hal tersebut dijelaskan dalam Q.S. Al Ashr ayat 1-3. Dimana di dalam surah ini Allah swt bersumpah “demi waktu” untuk membantah anggapan manusia dan menegaskan bahwa tidak ada yang dinamai waktu sial atau waktu mujur, semua waktu adalah sama. Yang berpengaruh adalah sampai sejauh mana manusia menggunakan waktunya secara efektif dan efesien. Selanjutnya dalam surah tersebut juga dijelaskan bahwa semua manusia berada dalam kerugian, kecuali bagi mereka yang memiliki empat sifat yakni beriman, beramal saleh, berwasiat tentang kebenaran dan berwasiat tentang kesabaran atau ketabahan.
Untuk lebih memperjelas hal tersebut, dalam ekonomi konvensional time value of money didefinisikan sebagai “a dollar today u worth more than a dollar in the future because a dollar today can be invested to get a return (damodaran, Aswath dalam Adiwarman A. Karim, 2004)”.jika memperhatikan definisi tersebut memang terasa ada yang belum ada yakni bukankah dalam berinvestasi selalu terbuka kemungkinan untuk timbulnya posistif, negatif, atau bahkan no return?
Contoh untuk hal tersebut misalnya tabungan, karena disadari bahwa terdapat orang yang ingin menyimpan persediaan untuk kebutuhan di masa yang akan datang, semisal kebutuhan dihari tua, kesehatan atau pendidikan. Jika uang tersebut dimaksudkan untuk suatu tujuan tertentu yang telah dicapai, maka dengan demikian tercapainya tujuan tersebut adalah merupakan suatu imbalan yang wajar, tanpa perlu mendapatkan imbalan tambahan. Namun demikian anggapan ini justru tidak bermaksud mengatakan bahwa konsumsi di masa yang akan datang harus dipandang sebagai kurang bernilai dari konsumsi dimasa sekarang. (Adiwarman A. Karim, 2004).
Karena dalam ekonomi Islam tidak menghargai waktu sebagai uang, maka imbalan atas konsumsi yang ditunda tidak perlu diberikan. Bukankah pilihan orang untuk menabung atau mengkonsumsi juga ditentukan oleh kebutuhan. Memang jika penabung diberikan imbalan bunga misalnya, tentunya hal ini akan berpengaruh dan menimbulkan perubahan terhadap pilihannya dan kemungkinan besar hal itulah yang mengakibatkan penabungan uang atau penimbunan barang secara berlebih-lebihan. Perbuatan penimbunan barang dan penabungan yang secara berlebih-lebihan inilah yang dengan tegas dilarang oleh Al Qur’an dalam Q.S. At Taubah ayat 34-35 yang artinya “sampaikanlah hukuman yang berat terhadap orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan allah. Sesungguhnya akan tiba saatnya harta mereka itu akan dihancurkan oleh api neraka dan dahi, lambung dan punggung mereka akan dihanguskan olehnya (lalu dikatakan) kepada mereka : Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
Karena penimbunan itulah yang dapat mengakibatkan lenyapnya sejumlah uang atau barang dari peredaran yang dapat mengakibatkan depresi ekonomi dan penderitaan bagi masyarakat secara luas. Bukankah tidak ada yang dapat menjamin bahwa tabungan tersebut akan digunakan untuk sektor-sektor produktif karena ia memiliki fungsi rangkap liquiditas (liquidity trap).
Pada dasarnya uang memiliki fungsi pada tiga hal yakni sebagai alat tukar yang memisahkan antara keputusan membeli dan menjual, sebagai satuan pengukur nilai terhadap suatu komuditas dan terakhir sebagai alat penyimpan kekayaan. Dengan ketiga fungsi ini, maka untuk menjaga dan menstabilkan fungsi uang terkait erat dengan kebijakan moneter. Dimana kebijakan moneter tersebut harus memiliki kontribusi positif dalam mewujudkan tujuan sosio ekonomi misalnya pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan serta tingkat pertumbuhan ekonomi riil optimal yang berakibat pada tiadanya pengangguran dan tentunya stabilitas nilai mata uang.
Dalam sistem ekonomi islam, meningkatnya permintaan uang bersumber pada kebutuhan untuk bertransaksi dan berjaga-jaga yang sebagian besar ditentukan oleh tingkat pendapatan dan distribusinya, sebaliknya jika permintaan uang bertujuan untuk berspekulasi yang misalnya hal tersebut dapat dipicu oleh fluktuasi suku bunga maka hal tersebut diharamkan dan hal tersebut tergolong ke dalam riba nasi’ah. Larangan ini dimaksudkan untuk mencegah pelaku ekonomi tidak masuk ke dalam suatu sistem yang cara-caranya tidak diketahui. Karena itu dalam sistem moneter islami posisi dan fungsi bank memiliki perbedaan yang mendasar. Uang dalam perbankan islami difungsikan sebagai sarana penukar dan penyimpan nilai, namun bukan sebagai barang dagangan. Uang tidak diperjualbelikan baik secara langsung maupun kredit yang dapat dimonopoli oleh seseorang atau kelompok.
Selanjutnya keadaan ini juga ditolak oleh teori finance yakni dengan menjelaskan adanya hubungan antara resiko dan pendapatan atau keuntungan. Bukankah return goes along with risk? Kata Bang Adi.

R I B A

Islam dalam ajarannya melarang siapa pun berhubungan dengan riba, karena riba merupakan perbuatan syaitan dan diancam akan menjadi penduduk neraka, hal ini dengan jelas ditegaskan Allah swt dalam al Qur’an surah Al Baqarah ayat 272 yang artinya : “…pada hal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan, dan urusannya terserah kepda Allah). Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba) , maka orang-orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya….” Kemudian keterangan lain yang berkaitan dengan riba ini Allah swt pertegas kembali pada ayat 278 pada surat yang sama yang artinya “hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”. Sedangkan Rasulullah saw sendiri di dalam hadisnya mengutuk orang yang memakan riba (H.R. Muslim). Pada kesempatan lain, kata Tirmidzi larangan Rasulullah saw yang dimaksud disini adalah ditujukan kepada orang yang menyimpan, memakan serta memberikannya kepada orang lain.
Mengingat pada zaman Rasulullah saw belum ada jasa perbankan, maka sebagian ulama masih berbeda pandangan tentang status bunga bank. Apakah termasuk katagori riba atau bukan? Sudut pandang mana yang digunakan oleh ulama ini dalam mengambil keputusan sehubungan dengan polemik ini?
Secara bahasa riba berarti, ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistic riba juga berarti : tumbuh dan membesar, sedangkan menurut istilah tekhnis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Memang ada beberapa pendapat mengenai riba tetapi secara umumdapat ditarik suatu kesimpulan bahwa riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun dalam pinjam meminjam secara bathil dan bertentangan dengan prinsip-prinsip bermuamalah dalam islam.
Islam memandang riba merupakan sumber atau akar dari kerusakan sebuah perekonomian, hal ini misalnya dimana pada zaman rasulullah saw orang dipinjami uang dari orang lain mempunyai peluang kecil untuk melindunginya sewaktu-waktu sampai suatu saat tidak mampu lagi membayar karena bunganya yang berlipat-lipat, sehingga terkadang mereka membayarnya dengan menyerahkan salah seorang anggota keluarganya. Mereka terpaksa menjual keluarganya sebagai budak demi melunasi uatng-utang mereka. Beberapa pendapat ulama-ulama terdahulu terkait riba yakni diantaranya.
Imam Al Ghazali mengatakan bahwa uang harus dijaga sesuai dengan aturan-aturan moral, beliau berusaha mengungkapkan bahwa uang bukan hanya sebuah komuditas tapi juga sebagai alat yang dipakai untuk mempraktekkan keinginan bermoral dalam kegiatan kehidupan nyata, jadi bukan lagi mekanisme pasar yang menjadi penentu terhadap harga uang tersebut.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa uang hanya sebagai alat unbtuk memperoleh suatu obyek, uang bukan sebagai konsumsi. Jadi disini beliau ingin menyampaikan bahwa uang itu hanya sebagai alat yang dipakai sebagai barang produksi bukan barang konsumsi. Dengan mengacu pada pendapat ini, maka uang hanya dapat menghasilkan jasa nyata sampai uang tersebut digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa lainnya, dari situlah dapat menghasilkan pendapatan.
Ibnu al Qoyyim berpendapat bahwa uang adalah netral untuk transaksi inter-temporal. Tidak boleh ada spekulasi, menurutnya tidak boleh ada harga spekulasi yang diambil dari persfektif inter-temporal. Karena itu tidak boleh ada harapan atas harga yang menciptakan harga uang dalam bentuk bunga. (Munrokhim Misanam P.h.D Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan)
Bentuk-bentuk riba terbagi atas 3 bentuk yakni : Pertama yakni riba Jahiliyah. Dalam kitab ahkam al qur’an, al Jassas (w. 370/981), seorang ahli hukum dan mufassir Hanafi terkemuka, menerangkan bahwa riba yang dikenal dan dipraktekkan oleh msyarakat arab (jahiliyah) itu sesungguhnya adalah pengkreditan (meminjamkan) uang dirham atau dinar untuk jangka waktu tertentu dengan tambahan atas jumlah yang dipinjam sesuai dengan kesepakatan mereka…. Inilah praktek yang popular dikalangan mereka.
Pada bagian lain dari Ahkam Al Qur’an, ia menjalaskan bahwa riba jahiliyah itu sesungguhnya adalah suatu kredit berjangka dengan tambahan pengembalian yang diisyaratkan. Jadi tambahan itu merupakan imbalan atas jangka waktu yang diberikan. Maka allah yang maha tinggi membatalkan dan mengharamkannya, serta menegaskan dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu dan menegaskan juga dan tinggalkanlah sisa-sisa riba.
Ibn Rusyd (w. 520/1126), filosof Islam dan ahli hukum Maliki, dalam karyanya Bidayah al-Mujtahid, menyatakan bahwa adapaun riba hutang piutang yang berada dalam tanggung gugat (zimmah) ada dua macam, satu macam disepakati yaitu riba jahiliyah yang dilarang itu, bentuknya adalah bahwa mereka memberi pinjaman dengan tambahan dan memberi penangguhan.
Dari pernyataan yang diungkapkan al-Jassas dan Ibn Rusyd di atas digambarkan bahwa riba yang dipraktekkan pada zaman jahiliyah itu adalah kredit berbunga yang diberikan oleh kreditur dengan ketentuan debitur memberi tambahan sebagai imbalan jangka waktu dan tambahan itu disyaratkan dalam perjanjian.(Prof.Dr.H. Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer. Hal.88-89)
Kedua, riba al-Qarud / Riba Nasi’ah adalah riba atas pinjaman. Dalam jenis riba ini, kreditur diberi beban atas pinjaman karena berlalunya waktu, riba ini diesbut riba nasiah karena penangguhan waktu pembayaran (riba karena menunggu) pada riba muncul apabila seseorang meminjam kekayaan milik orang lain dalam bentuk apapun, kemudian melakukan akad untuk membayar kembali kepada orang tersebut sejumlah yang disepakati sebelumnya disamping pokok pinjaman.
Ketiga, riba Fadl (Riba Fuyu) yakni riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi criteria dan kualitasnya, sama kwantitasnya dan sama waktu penyerahannya. Contohnya yakni transasksi jual beli mata uang asing tidak dengan spot (Tarekh El Diwani, The Problem With Interest, hal.173)
Di dalam Al Qur’an riba dilarang melalui empat tahap yakni : pertama, dalam Q.S. Ar Rum ayat 39 yang menceritakan tentang perbandingan riba dan zakat dan sadaqah dan memuji zakat dan shadaqoh bukan riba. Q.S. Ar Rum ayat 39 menyatakan “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi allah, dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridlaan allah swt, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”
Kedua, dalam Q.S. An Nisa’ ayat 160-161 yang menceritakan tentang hubungan praktek riba dan bangsa yahudi dan menganggap praktek riba sebagai sesuatu yang zalim. Q.S. An Nisa’ ayat 160 menyatakan “Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dank arena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan allah swt” Q.S. An Nisa’ ayat 161 “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dank arena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil, kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”
Ketiga, dalam Q.S. Ali Imran ayat 130 yang menceritakan tentang pelarangan praktek double dan multiple riba. Q.S. Ali Imran ayat 130 menyatakan “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (228) dan bertaqwalah kamu kepada allah agar kamu mendapat keberuntungan” (228) yang dimaksud riba disini ialah riba nasi’ah. Menurut sebagian besar ulama, riba nasi’ah itu selamanya haram. Walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam : riba nasi’ah dan riba fadl. Riba nasi’ah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini ialah riba nasi’ah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat arab zaman jahiliyah.
Keempat, dalam Q.S. Al Baqarah ayat 275-281 yang menceritakan secara konklusif melarang semua bentuk riba. Apapun yang lebih dari uang yang dipinjam tidak dibolehkan.(Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid III, hal.76-80) Q.S. Al Baqarah ayat 275 menyatakan “Orang-orang yang makan (mengambil) riba (174) tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syeitan lantaran (tekanan) penyakit gila (175) keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambil dahulu (176) (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada allah orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal didalamnya ”
Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 276 menyatakan “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah (177) dan allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa (178)” dalam Q.S. Al Baqarah ayat 277 menyatakan “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan solat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala disisi tuhannya, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 278 menyatakan “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada allah dan tinggalkan sisi riba (yang belum dipungut) jiuka kamu orang-orang yang beriman”
Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 279 menyatakan “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa allah dan rasulnya akan memerangimu dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 280 menyatakan “Dan jika (orang yang berhutang) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 281 menyatakan “Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)” (174) Riba itu ada dua macam : riba nasi’ah dan riba fadl. Riba nasi’ah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi dan sebagainya.
Riba yang dimaksud dalam ayat ini ialah riba nasi’ah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat arab zaman jahiliyah. (175) Maksudnya : orang yang mengambil riba tidak tentram jiwanya seperti orang yang kemasukan syeitan. (176) Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan. (177) Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya dan yang dimaksud dengan menyuburkan shadaqah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipatgandakan berkahnya. (178) Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya
Dalam hadis Rasulullah saw juga ada pelarangan terhadap praktek-praktek riba diantaranya yakni : Pertama, hadis yang berasal dari Aun Ibn Hanifah yang meriwayatkan dari ayahyan bahwa rasulullah saw telah mengutuk baik kepada pembayar maupun penerima riba. Kedua, Abdullah Ibn Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw mengutuk orang-orang yang menerima dan memberi riba, orang yang mencatatkan urusan riba, dan menjadi saksi dan selanjutnya beliau mengatakan bahwa mereka semuanya sama (dalam melakukan perbuatan dosa). Ketiga, Menurut Jabir, Rasulullah saw mengutuk orang-orang yang menerima dan membayar riba serta orang-orang yang menjadi saksi. Keempat, Sabda beliau saw, pada waktu menunaikan hajinya yang terakhir, beliau bersabda yang maksudnya ialah bahwa “Segala bentuk riba diharamkan, sesungguhnya modal yang kamu miliki adalah untukmu, kamu tidak akan dianiaya dan tidak akan menganiaya. Allah telah menurunkan perintahNya bahwa riba diharamkan sama sekali. Saya bermula dengan (jumlah) bunga (yang dipinjamkan kepada banyak orang) dari Abbas dan membatalkan semuanya” selanjutnya beliau atas nama pamanya “Abbas telah membatalkan seluruh total bunga terhadap pinjaman modal dari para peminjam”
Pendapat dan pandangan para ulama fikih, baik ulama klasik maupun kontemporer sehubungan dengan bunga bank, apakah tergolong riba atau bukan? Diantaranya tanggapan tersebut adalah : Pertama, pendapat atau fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Syeikh Syaltut yakni “Pinjaman berbubga dibolehkan bila sangat dibutuhkan” fatwa ini muncul tatkala beliau ditanya tentang kredit yang berbunga dan kredit suatu Negara dan Negara lain atau perorangan. Kedua, pendapat atau fatwa Syeikh Rasyid Ridha, bahwa beliau membenarkan kaum muslimin mengambil hasil bunga dari penduduk negeri kafir. Beliau berkata “Menurut ketentuan asal syariat harta penduduk negeri kafir harbi boleh diambil oleh pihak yang menguasainya dan menghalalkannya. Riba mengandung kedzaliman, tetapi mendzalimi orang kafir harbi tidak haram, karena sebagai tindak balasan terhadap kedzalimannya”
Pendapat Guru Besar Hukum Islam Universitas Amman, Yordania. Mustafa Ahmad as Zarqa, mengemukakan pendapat sama dengan Abdul Hamid Hakim yakni mengatakan yaitu termasuk riba fadl dibolehkan karena darurat dan bersifat sementara.(Muhamad, Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam. Hal.57-58)
Sedangkan keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait dengan pelarangan riba. Tertuang pada keputusan pada fatwa nomor 1 tahun 2004 tentang bunga (interest/fa’idah), MUI memutuskan sebagai berikut :
a. Pengertian bunga (interest) dan riba bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uangb (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjamanb tanpa diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti dimuka, dan pada umumnya berdasarkan prosentase.
b. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut riba nasi’ah.
c. Hukum bunga (interest)
Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi criteria yang terjadi pada zaman Rasulullah saw yakni riba nasi’ah. Dengan demikian praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba. Dan riba hukumnya haram.
d. Praktek penggunaan tersebut hukumnya adalah haram. Baik dilakukan oleh bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
e. Bermu’amalah dengan lembaga keuangan konvensional yakni pertama untuk wilayah yang sudah ada kantor/lembaga keuangan syariah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga. Kedua, untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi dilembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip darurat/hajat.
Dari penjelasan di atas setidaknya dapat disimpulkan bahwa riba merupakan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun dalam pinjam meminjam secara bathil dan bertentangan dengan prinsip-prinsip bermu’amalah dalam islam. Karena itu tindakan semacam ini dilaknat dan dilarang oleh Allah swt, namun dalam keadaan yang darurat tetap dibolehkan seperti yang disebutkan oleh ulama yang dijelaskan di atas.
Makna darurat yang dimaksud di sini adalah suatu keadaan emergency, dimana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya kejurang kehancuran atau kematian dan pendapat yang mengatakan bahwa bunga bisa dikatakan riba bila sudah berlipat ganda merupakan pendapat yang keliru dalam hal memahami surat Ali Imran ayat 130. maksud ayat ini sesungguhnya hanya mengindikasikan karakter riba itu yang cenderung berkembang dan berlipat sejalan bertambahnya waktu, karena jikalau diartikan berlipat, akan sangat tidak mungkin jikalau bank akan mau melakukan sampai berlipat meskipun hanya dua kali lipat (tidak logis).

Agama Dalam Bingkai Kekuasaan

Dalam bukunya ”Megatrends” (2000) Naisbitt dan Aburdene pernah menyatakan bahwa diantara kecendrungan baru menjelang abad 21 adalah ”The Religious Survival of the New Millennium”, banyak pihak yang menyatakan bahwa hal tersebut terlalu antusias karena seakan-akan mengukuhkan harapan tentang ”kebangkitan kembali agama” setelah terseret arus modernitas yang membawa sekularisasi, dalam bingkai westernisasi, individualism dan materialism. Namun antusiasme itu berubah ketika disisi yang lain mereka mengumandangkan realitas baru (the new reality) tentang ”Spirituality, yes; Organized Religion, no!.”
Pandangan Naisbitt dan Aburdene sesungguhnya mencerminkan kegelisahan ketika dalam suatu mayarakat tertentu menunjukkan kecendrungan bahwa agama terlalu sering diinstitusionalisasikan dalam berbagai lembaga formal, atau politisasi agama dalam berbagai bentuk kepentingan politik praktis yang dilakukan oleh para politikus. Kegelisahan inilah, yang salah satunya dan pada gilirannya menjadikan agama terjebak pada politik praktis yang diusung para penguasa atau politisi yang haus akan kekuasaan dengan menempatkan agama sebagai tameng utama dalam merebut jabatan tinggi dalam lembaga-lembaga negara.
Agama sebagai sesuatu yang “suci” dan memainkan peranan yang sangat dalam perubahan sosial, pada kenyataannya agama juga dapat menjadi “alat” kekuasaan untuk membangun kekuatan, merekayasa dan membentuk pemerintahan. Agama dijadikan “alat” pembenaran, penguat, pengesahan dan legitimasi sehingga kekuasaan mendapat pembenaran. Konsep seperti inilah, yang sering dinamakan “politisasi agama” yang telah penulis sebutkan di atas. Dimana agama dipolitisasi atau dijadikan “tumbal” oleh yang namanya kekuasaan.
Pada masyarakat beragama yang sedikit tidak masih memiliki nilai religiusitas yang tinggi, apalagi sangat tradisional, dalam arti tingkat pemahaman politik keagamaan yang masih rendah politik seringkali dijadikan lompatan utama untuk mencapai tujuan tertentu, terutama tujuan politik itu sendiri. Tidak mengherankan jika kecendrungan politisi yang masih menganut konsep agama masih terus menghiasi dinamika kekuasaan di negeri ini. Tidak tanggung-tanggung dan tanpa malu-malu mereka memposiskan agama sebagai manuver utama untuk manarik simpati dan kepercayaan dari masyarakat pemilih (audience)
Bahkan tidak jarang Elite-elite agama menjadi “kaki tangan” kekuasaan untuk melegalkan keinginan kekuasaan. Hasan Hanafi sehubungan dengan ini, mengulasnya dalam Human Al-Fikr Al-Watan di alihbahasakan menjadi Oposisi Pasca Tradisi. Terkait dengan kekuasaan ini Hanafi menyebutkan bahwa dalam satu negara setidaknya telah terjadi dua tradisi, yaitu tradisi kekuasaan dan tradisi oposisi. Tradisi kekuasaan inilah yang dominan menjadikan agama sebagai “alat” kekuasaan.
Hanafi menulis “…negara menyatu dengan tradisi kekuasaan. Dengan tradisi itu negara menjadi kuat, mampu menguasai gerakan sosial dan dapat mengawasi persekongkolan terhadap tradisi oposisi untuk menahan rakyat untuk tidak memunculkan tradisi tersebut dan berlindung di dalamnya, dan mulai menghancurkan legalitas oposisi. Tokoh-tokoh agama mengkodifikasi tradisi negara dan negara memasukan tokoh-tokoh oposisi ke dalam penjara. Negara memberikan kepada tokoh agama yang pro tradisi dengan jebatan-jabatan keagamaan...kemudian menuduh tokoh-tokoh yang berseberangan dengan negara sebagai kelompok kafir, atheis, zindiq...(Hanafi.2003:2).
Elite-elite agama sengaja “dijinakkan” oleh negara atau pemerintah berkuasa dengan tujuan agar dapat mendukung keinginan-keinginan rancangan-rancangan yang telah dipersiapkan oleh penguasa. Pada masa era orde baru kondisi seperti ini, nampaknya juga pernah berlaku, dimana elite-elite agama yang mampu mendukung tradisi pemerintahan dipelihara dengan pemberian jabatan dan penghormatan-penghormatan yang tinggi, sedangkan yang berseberangan sering disisihkan malahan malahan dituduh sebagai “pembangkang”
Dalam konteks ini, nampak pula distorsi. Dimana agama juga dapat dipermainkan oleh pemegang kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan yang memanfaatkan elite-elite agama sabegai agent komunikatif pada masyarakat. Justifikasi-justifikasi yang diberikan oleh elite-elite agama tentu sangat berpotensi dalam mengamankan kekuasaan dari pada kritikan, pembangkangan dari pada masyarakat. Sebagai missal dalam hal ini yakni adanya adanya pendapat dari sebagian kalangan yang menganggap fatwa haram golput sebagai fatwa politik dan pesanan dari yang berkuasa, konsekuensinya ia hanya sebatas fatwa politik yang tidak membawa-bawa masalah surga dan neraka, dosa pahala, namun lebih pada penggunaan hak suara dal proses pemilihan umum. Keluarnya fatwa ini diindikasi oleh sebagian kalangan sebagai counter terhadap pernyataan yang menganjurkan untuk golput dalam pemilu kali ini.
Konsekuensi politisasi agama ini kadang-kadang membuat pemisahan-pemisahan ajaran agama dengan kegiatan manusia. Agama dianggap sebagai wilayah individu yang berjurang dengan ruang gerak sosial. Agama berjurang dengan negara, institusi-institusi negara dan lembaga-lembaga lainnya, sehingga wilayah agama betul-betul menjadi wilayah privat dan tidak menyentuh wilayah publik. Dengan pernyataan lain “Berikan kepada Tuhan hak Tuhan dan berikan kepada Negara hak Negara” padahal disis lain ada yang berpendapat bahwa tidak ada pemisahan antara Agama dan Negara. Makanya fenomena-fenomena sosial yang kita lihat penuh dengan kegiatan-kegiatan yang kontroversi dengan ajaran agama.
Disinilah kita melihat bahwa kecendrungan penguasa atau politisi di negeri ini semakin memporak-porandakan konsep kemurnian agama yang dijadikan alat dan tujuan untuk mencapai keinginan sesaat. Untuk kekuasaan. Bahkan, agama ditempatkan sebagai sentrum pendulang suara melalui kesan fragmentasi yang utopis. Karena mereka sadar bahwa kekuasaan dan agama merupakan dua hal yang saling terkait cukup erat dalam masyarakat Indonesia.
Tercatat bahwa sepanjang perjalanan sejarah bangsa ini kekuasaan selalu menggunakan tameng agama karena agama adalah sebagai satu-satunya alat legitimasi yang paling efektif untuk melanggengkan status quo. Dalam konteks inilah maka agama seolah-olah hanya berfungsi sebagai alat untuk kepentingan kelompok, golongan bahkan partai tertentu, bukan sebagai way of life atau pandangan hidup bagi kemaslahatan umat. Bila agama hanya ”diawetkan” sebagai mesin-mesin kepentingan, maka wajah kekuasaan bakal dironai dengan perpecahan dan disintegrasi (Kompas, 17 Desember 2005).
Politisasi agama kedalam ranah kekuasaan ini, menjadikan agama kekurangan makna bagi umatnya. Agama dikendalikan untuk kepentingan kekuasaan, semestinya agamalah yang mengendalikan kekuasaan. Fenomena seperti ini sering terjadi dalam kekuasaan yang dengannya agama hanya menjadi alat pembenaran dan legitimasi kekuasaan.
Sebagai missal di Thailand pada tahun 1960 Panglima Tertinggi Sarit Thanarat, pernah membuat politiasasi agama Budaha dengan mengintruksikan kepada seluruh pendeta Budha untuk tidak mengkhotbahi nilai-nilai kepuasan hati sesuai dengan ajaran Budha. Tujuannya adalah, agar kekuasaan Sarit Thanarat dapat berjalan sekehendak hati kekuasaan. Dimana waktu itu moto pemerintahannya adalah “bekerja untuk uang, uang adalah kerja, kebahagian menjadi mungkin.” Kemudian seiring dengan itu, institusi-institusi tradisional diambil alih perannya oleh lembaga-lembaga sekuler.
Disisi lain, Max Weber (2002:144), mewanti-wanti dan menyatakan bahwa ketidakpercayaan terhadap kekuasaan, yang menjadi sindrom bagi agama-agama keselamatan yang genuine, memiliki dasar alamiah yang patut dipertimbangkan. Itulah sebabnya pemaknaan keselamatan dan substansi ajaran kenabiaan patut segera dikembangkan pada kekuasaan yang bersifat etik. Etika yang terbentuk harus lebih terorientasi pada nilai-nilai batiniah yang suci (the sacred) sebagai alat keselamatan sehingga menghindari nafsu kekuasaan yang menghadang. Suatu hal yang naif apabila nilai substansi agama dipolitisasi dalam berbagai bentuk.
Kita sering mendengar ungkapan yang menyatakan ”agama untuk kekuasaan” dan ”kekuasaan untuk agama”. Banyak kalangan yang sering memperdebatkan ungkapan retoris tersebut karena dianggap memiliki kesamaan pemahaman walaupun pada hakikatnya dua ranah yang berbeda. Mereka hanya menjadikan agama ada dalam hidup, bukan menjadikan hidup dalam agama. Karenanya kedua ungkapan tersebut penting untuk dibedakan.
Disatu sisi, ”agama untuk kekuasaan”, menurut sebagian orang, cendrung merendahkan posisi agama, karena kekuasaan sebagai tujuan, dan agama dijadikan sebagai alat. ”Agama untuk kekuasaan”, kita bisa mengambil contoh dari partai-partai politik yang menggunakan teks-teks, idiom-idiom, simbol-simbol, atau ajaran-ajaran agama dengan memaksakannya seolah teks-teks itu mendukung posisi politik yang telah diambil partai bersangkutan. Agama menjadi kemasan, sementara isinya kepentingan politik. Ketika agama sebagai alat untuk meraih kekuasaan, maka berarti agama sangat rentan terhadap manipulasi. Disini pula tawaran Cak Nur tentang Islam Yes, partai islam no perlu dipikirkan.
Pada sisi lain, ”kekuasaan untuk agama”, seolah tampak lebih luhur, karena mereka menganggap agama tetap luhur, sementara politiklah yang merupakan alat. "Kekuasaan untuk agama", meski seolah-olah agama menjadi raja dan tujuan, namun menyebarkan virus yang dapat mematikan nilai-nilai demokrasi yang sehat. Ketika ”agama” menjadi tujuan itu sendiri, agama menggantikan Tuhan, menggantikan Yang Absolut. Jika kekuasaan dipahami sebagai pengorbanan, maka kekuasaan yang bertujuan agama, pada gilirannya akan menimbulkan semacam perjuangan demi Tuhan (a battle for God) sebagaimana yang terjadi pada kaum fundamentalis di Barat atau Yahudi. Demikian halnya dengan gerakan khilafah islamiyah (misalnya dalam pandangan sementara politikus muslim tau penerapan syariat islam kaffah) dan pemahaman lainnya dalam konsep agama-agama dunia.
Maka dari itu, agama sebagai kemasan perlu dihindari, terlepas dari pentingnya sebuah identitas bagi kelompok. Identitas hanya berlaku sebagai tanda pengenal, bukan untuk memperlakukan yang lain secara berbeda. Simbol penting, tetapi pertengkaran politik pada simbol akan mengalihkan persoalan tentang isi yang lebih penting. Begitu pula, dengan simbol agama yang banyak diusung oleh politisi dalam rangka memperoleh kepercayaan dan kekuasaan yang diharapkan

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id