Senin, 09 Januari 2012

STRATEGI MANAJEMEN BISNIS MEDIA CETAK

Overview Bisnis Media Cetak

Reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto menghasilkan ledakan dalam bisnis media massa, termasuk media cetak. Berbagai bentuk kekangan bagi bisnis ini dilepaskan. Pemerintah mencabut ketentuan SIUP(surat izin usaha penerbitan). Siapapun bisa leluasa terjun ke industri pers ini. Ratusan surat kabar, majalah, tabloid dengan gampang diterbitkan. Saat ini ada ratusan atau ribuan surat kabar baru yang terbit dalam berbagai bentuk. Untuk itu, topik bahasan ini akan menyoroti perkembangan bisnis media cetak, baik yang berkaitan dengan tiras maupun iklan, serta strategi redaksi dalam menerobos pasar sebagai titik tolak untuk menganalisis dan membahas strategi manajemen bisnis pers menghadapi persaingan keras dan berbagai langkah untuk mencari peluang agar bisnis media cetak ini bisa bertahan hidup dan untung.

Perkembangan tiras media cetak

Untuk mengetahui perkembangan media cetak dari tahun ke tahun, bisa dilihat untuk kurun waktu dari 1995. Ini perlu untuk membandingkan keadaan sebelum reformasi dan keadaan kemudian setelah reformasi. Jumlah surat kabar harian pada tahun 1998 sebanyak 172 buah. Ini pun merupakan kenaikan besar dari 1995 (77 buah), menjadi 79 buah di tahun 1997. Sementara surat kabar mingguan tercatat tahun 1998 sebanyak 425 buah, majalah mingguan 55 buah dan majalah tengah bulanan 104 buah. Berdasarkan wilayah, media cetak yang terbit di Jakarta tahun 1998 sebesar 431 buah.

Ledakan bisnis media cetak itu juga mempengaruhi perkembangan total tiras di Indonesia (data tercatat sejak 1995). Total tiras per 1995 sebesar 13,04 juta eksemplar, dan tahun 1998 mencapai 16,70 juta eksemplar.

Pertumbuhan pesat ini tentu tak lepas dari keinginan investor untuk mencoba berbisnis di dunia pers, mengharap bisa memetik untung baik secara finansial maupun keuntungan lain di dunia bisnis informasi ini. Gegap gempitanya bisnis media cetak itu juga dirasakan di daerah. Apalagi sejumlah media cetak sudah melakukan sistem cetak jarak jauh (SCJJ). Koran berskala nasional dikemas dengan tambahan halaman. daerah. Selain itu, banyak perkembangan baru dalam manajemen dan bisnis media cetak di daerah sehingga mendorong oplah dan perolehan iklan untuk media di daerah. Dan ini kiranya akan menjadi awal yang baik karena nanti, kalau otonomi daerah dilaksanakan, perkembangan bisnis pers tersebut pasti akan menjadi modal yang sangat menguntungkan. Tak sedikit media cetak daerah yang tampil meyakinkan dengan tiras yang lumayan dan pendapatan iklan memadai. Ambil contoh perkembangan tirasnya di Sumatera Selatan. Tahun 1998 sebesar 225,3 ribu eksemplar, meningkat dari 97,3 ribu di tahun 1995.


Perkembangan perolehan iklan

Selain mengembangkan jumlah oplah yang dicetak dan dijual, bisnis media cetak juga ditopang oleh penghasilan dari iklan. Krisis ekonomi rupanya telah membuat bisnis periklanan merosot. Kue iklan Indonesia selama masa krisis ekonomi menyusut hingga 50%. Bahkan, menurut perhitungan P31, belanja iklan nasional turun sampai 70%.

Belanja iklan tahun 1995 sebesar Rp 3,4 triliun, tahun 1996 menjadi Rp 4,14 triliun, dan 1997 menjadi Rp 5,09 triliun atau naik 23,04% dibanding 1996. Tahun 1999, belanja iklan sekitar 4,67 triliun atau naik 23,04% dari tahun 1998 sebesar Rp 3,76 triliun. Penurunan sangat besar terjadi dari 1997 ke 1998 dan 1999. Berapa iklan yang diserap media cetak? Koran pada 1998 menyedot 25% atau Rp 956 miliar, majalah Rp 191 miliar, dan di tahun 1999 sekitar Rp 201 miliar.

Persaingan memperebutkan kue iklan yang begitu ketat membuat sejumlah media cetak kalah perang dan tak mendapat bagian iklan. Selain persaingan antar media cetak sendiri, kelompok media cetak juga mendapat pukulan berat dari televisi swasta yang menyedot sekitar 60,4% kue iklan pada 1999. Tahun-tahun sebelumnya, televisi merebut jatah iklan lebih dari 50%. Selain itu, juga ada saingan yang tak kalah menarik yakni radio swasta. Mereka juga agresif dalam upaya menyedot iklan. Bagaimana proyeksi tahun 2000? Belanja iklan di surat kabar tahun 1999 sekitar Rp 1.089 miliar, yang akan meningkat menjadi Rp 1.292 miliar tahun 2000, dan hingga 2002 diperkirakan mencapai Rp 1.614 miliar. Sedang belanja iklan untuk jenis majalah tahun 1999 diperkirakan akan mencapai Rp 233 miliar, dan diperkirakan akan meningkat menjadi Rp 284 miliar tahun 2000 dan hingga 2002 diperkirakan mencapai Rp 423 miliar. Selain persaingan ketat antar media cetak, duit iklan ini juga diperebutkan oleh televisi (yang tahun ini paling tidak akan tambah dua atau tiga televisi lagi).

Strategi Manajemen Bisnis Media Massa Menghadapi Persaingan Bebas.

Di tengah persaingan yang ketat dan keras itu, setiap pengelola bisnis media massa mesti mengatur strategi dan taktik yang jitu agar tetap memenangkan persaingan atau memetik untung dari ramainya bisnis media massa itu, dan bisa bertahan hidup. Ada beberapa hal perlu diperhatikan, sebelum membuka bisnis media cetak: modal, sumber daya manusia, visi dan misi, memilih segmen yang jelas.

Modal diperlukan baik untuk investasi maupun biaya operasi dan produksi sampai perusahaan itu membuahkan untung atau balik modal. Setelah untung pun, perusahaan masih perlu mencadangkan dana untuk re-investasi atau pengembangan. Selain itu juga diperlukan investasi fisik lainnya seperti peralatan, teknologi, dan faktor-faktor penunjang lainnya seperti percetakan, gedung, angkutan dan lain-lain. Sumber daya manusia (SDM) adalah tenaga inti kewartawanan dan manajemen yang akan menjadi motor utama bisnis media cetak itu. Untuk melahirkan produk media cetak yang bagus, harus disiapkan SDM yang bagus pula, tentu dengan imbalan yang memadai. Kalau wartawan dan karyawan tak digaji dengan cukup, jangan harap produk yang dihasilkan akan baik, laku dan mampu mengalahkan saingannya.

Selain itu, SDM yang tak digaji dengan cukup akan cenderung terjebak "mencari penghasilan" dengan memperjualbelikan profesi, terlibat pemerasan, kriminal, main amplop, dan lain-lain. Investor sejak mula harus didesak untuk memenuhi kebutuhan pokok wartawan dan karyawannya yakni gaji dan berbagai tunjangan. SDM yang tak memiliki integritas tak mungkin akan menghasilkan produk yang kredibel, baik bagi pelanggan maupun pemasang iklan. Independensi dalam editorial policy akan memberikan arah yang fair untuk content media cetak itu, dan membuat produk semakin kredibel.

Visi dan misi dirumuskan sebagai acuan berbagai langkah bisnis media cetak itu. Kejelasan ini akan menentukan desain, gaya penyajian, isi, cara kerja karyawan, struktur organisasi, gaya manajemen dan lain-lain. Misi dan visi bukan cuma dirumuskan sebagai kata-kata mutiara tapi diterapkan dan akan menjiwai gaya penyajian redaksi, sikap SDM, etika dalam bisnis, sistem penggajian, dll. Dengan misi dan visi itu, semua pihak memaklumi apa target dan arah dari bisnis media informasi itu.

Memilih segmen konsumen dengan jelas menjadi penting agar mendapatkan konsumen yang jelas dan tepat sasaran. Tanpa pemilihan segmen yang jelas, produk akan mengambang dan tak jelas arah. Dalam persaingan yang ketat seperti sekarang ini, pemilihan segmen menjadi penting karena akan menjadi acuan untuk spesialisasi, menentukan strategi pemasaran dan promosi, penetapan positioning, dll. Segmen juga bermacam-macam. Bisa segmen berdasarka demografik, profesi, minat, maupun motivasi (benefit segmented) yakni mereka yang mengharapkan keuntungan dari produk yang dibelinya. Mereka memiliki kepentingan bersama yakni mendapatkan manfaat.

Strategi apa yang perlu dipertimbangkan untuk menghadapi persaingan?

a). Strategi Pemasaran:

Tugas memasarkan produk bukan cuma menjadi tanggungjawab bagian sirkulasi atau iklan. Dalam bisnis informasi seperti yang sekarang ini, produk sendiri harus dirancang agar laku dijual. Sebelum produk diluncurkan, pengelola mesti memikirkan siapa yang menjadi sasaran konsumennya (kelas menengah, pengusaha, mahasiswa, petani, dan lainlain). Tentu, sasaran yang dipilih adalah mereka yang mempunyai daya beli dan kebutuhan untuk mendapat informasi.

Segenap lapisan di perusahaan harus siap memasarkan produknya. Mulai dari redaksi, personalia, satpam, sampai sales dan account executif. Tentu, "semangat menjual" ini harus sesuai dengan peran masing-masing. Personalia. harus mengarahkan segenap karyawan untuk siap sedia melayani konsumen sesuai dengan perannya, misalnya menjawab telepon dengan baik atau menunjang pelaksanaan penjualan. Satpam harus bersikap ramah kepada setiap pelanggan atau konsumen yang datang. Bukan berlaku seperti provost di suatu instansi militer. Redaksi senantiasa berpikir untuk bisa menjual produknya pada saat merancang berita yang akan ditulisnya. Berita adalah informasi yang harus dijual kepada masyarakat, bukan sekadar karya yang dipakai untuk memuaskan diri. Sense of marketing yang mesti dimiliki oleh semua lapisan dalam suatu bisnis media cetak akan membantu penjualan produk.

b). Bagaimana Menghadapi Persaingan?

Fair competition

Membangun jaringan (networking) dalam pemasaran, Memelihara pelanggan dengan ikatan yang lebih personal untuk lebih memberikan kepuasan pelanggan. Mengembangkan pasar baru pada segmennya, Melakukan promosi baik untuk memperkokoh image maupun untuk mendukung sales. Mempertahankan kredibilitas di depan konsumen (pembaca maupun pernasang iklan).

Mengembangkan produk-produk sampingan untuk menambah penghasilan. Banyak masalah yang mesti dihadapi dalam urusan masuk ke pasar media cetak. Sebab, penerbit harus mengkoordinasikan jaringan agen dan pengecer yang begitu kuat posisi tawarnya. Tak jarang penerbit justru ditekan dan ditentukan oleh agen tersebut. Untuk produk baru atau media cetak yang baru terbit, sering tak bisa dijual karena perlakuan jaringan agen yang begitu kuat. Bagaimana penerbit mesti menghadapi agen dan jaringannya?

c). Bagaimana dengan usaha nonpenerbitan?

Beberapa penerbit yang sudah kuat dalam bisnis, bukan cuma mengembangkan usaha di bidang media cetak. Ada pula yang mengembangkan usaha di luar penerbitan seperti hotel, seminar, perkebunan, transportasi, dan lain-lain. Namun usaha di luar penerbitan ini bisa. digolongkan menjadi dua kelompok: Masih berkaitan dengan core bisnisnya atau ada kaitan dengan kompetensinya dalam bisnis media cetak atau bisnis informasi. Misalnya radio, penerbitan buku, biro Man, seminar, percetakan, cybermedia, dll. Penunjang bisnis utamanya: seminar, biro iklan, angkutan, telekomunikasi, pabriK kertas, dll.

Tak berkaitan dengan bisnis utama seperti perkebunan, perikanan, industri baja, hotel, restoran, real estate, dan lain-lain. Yang ini, bisa berkembang kalau pengusaha atau kelompok usaha itu memang memiliki kompetensi di berbagai bidang usaha di luar bisnis media massa itu.

Jadi, dalam menghadapi persaingan yang keras dan ketat dalam bisnis informasi itu, perlu kejelian, kelihaian, keuletan, kejujuran dan kemampuan (kompetensi) dalam bisnis media cetak (informasi) itu. Kalau tak mampu bersaing, dengan modal sebesar apa pun akan ludes. Bisnis media cetak, adalah binsis kepercayaan. Kalau tak berhasil merebut kepercayaan masyarakat (pembaca dan pemasang iklan), niscaya bisnis itu akan segera tenggelam. Selain itu, bisnis media cetak juga harus disadari bahwa keuntungungannya tak begitu besar dan sangat padat karya. Mulai dari tenaga redaksi, sampai pengecer. Artinya, kalau mau bisnis di sektor ini, tak cukup dengan hitung-hitungan bisnis semata. Idealisme masih diperlukan, yakni menyebarluaskan informasi untuk membuat setiap orang lebih memahami kebenaran dan menjadi lebih cerdas untuk bisa hidup lebih demokratis dengan sesama. Bahwa dari sini kemudian mendapat keuntungan, itu adalah nikmat yang mesti disyukuri.

Mengenal Institusi dan Manajemen Media Cetak



Kata manajemen berasal dari management (Inggris) yang diadobsi dari kata manaj (iare) (Italia) yang bermuara pada mamis (Latin) dengan makna tangan. Jadi manajemen dalam arti asalnya adalah memimpin, membimbing atau mengatur (Djuroto, 2000). Secara sederhana manajemen dimaknai sebagai getting result through the work of others. Sementara definisi yang sedikit lebih lengkap dengan mengutip pandangan pakar manajemen Hendry Fayol: “management is the direction of enterprise throught the planning, coordinating and controlling of its human materials resources toward the attainment of pre determined objectives”.

Dengan kata lain manajemen mengandung dua pengertian: Pertama, POAC (Planning, Organizing, Actuating, Controlling). Kedua, 6 M (Men, Materials, Machine, Methods, Money, Market) (Soehoet,2002). Manajemen merupakan konsekuensi logis dari kepercayaan (responsibility) dan kenyataan (reality) yang harus dibuktikan melalui struktur organisasi media cetak yang bersifat formal dan kecakapan yang bersifat fungsional (authority). Diantaranya bidang: redaksi, iklan, pemasaran dll.

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan diantaranya: peluang usaha, kemampuan SDM, kapital, SWOT dengan kompetitor, keinginan pembaca, perubahan sosial berupa teknologi, ekonomi, politik, budaya dll. Langkah yang perlu dilakukan antara lain: perhatian terhadap lingkungan eksternal, menjual ruang untuk iklan, efesiensi di semua unit usaha, suntikan modal dll. Semua pendapatan diperoleh dari penjualan produk media cetak (eceran, langganan, barter dll), penjualan kolom (iklan baris, duka cita dll) dan penjualan jasa kegiatan off print seperti seminar, pameran dll untuk membentuk image posistif (Djuroto, 2000).

Manajemen Media Cetak

Dengan mengutip pakar komunikasi Kanada Marshall McLuhan yang mengatakan the press is the extention of man, Jakob Oetama mengatakan pers merupakan perpanjangan alat untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap informasi, hiburan, pendidikan dan keingintahuan mengenai peristiwa yang terjadi di sekitarnya (Oetama, 1987). Inilah yang dimanifestasikannya dalam surat kabar KOMPAS yang didirikannya bersama dengan PK Ojong (alm) tanggal 28 Juni 1965 dengan struktur yang kurang lebih sebagai berikut: Pertama, owner: pemilik perusahaan yang menerima laporan pertanggungjawaban dari top manager. Terkadang owner identik dengan top manajer.

Kedua, top manager: pengambil kebijakan internal dan eksternal. Serta pengendali perusahaan baik redaksional maupun usaha. Juga menerima laporan pemimpin redaksi dan pemimpin perusahaan. Ketiga, pemimpin umum: orang pertama dalam perusahaan yang bertanggung jawab atas maju mundurnya institusi pers yang dipimpinnya. Serta menjadi penentu kebijakan, arah perkembangan laba rugi perusahaan. Termasuk berhak mengangkat atau memecat bawahannya. Terkadang pemimpin umum adalah top manager sekaligus owner. Keempat, wakil pemimpin umum: menjalankan tugas-tugas pemimpin umum atau menggantikannya dalam operasionalisasi harian. Kelima, bidang redaksi: pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi, sekretaris redaksi, redaktur pelaksana, redaktur dan reporter bertanggung jawab terhadap semua isi penerbitan pers. Ini meliputi penyajian berita, peliputan fokus pemberitaan, topik, pemilihan headline dll. Keenam, bidang cetak: ditangani oleh operator cetak dan pengepakan hasil penerbitan sehingga sampai ke tangan pembaca. Ketujuh, bidang usaha: menerima laporan para manajer demi kepentingan perusahaan baik produksi dan distrubusi.

Zona Pasar Media Cetak

Pertama, CZ (City Zone): batas wilayah media cetak itu berada. Kedua, PMA (Primary Market Area): area utama tempat media cetak itu menyajikan berita dan pelayanan iklannya. Ketiga, RTZ (Retail Trading Zone): wilayah di luar CZ tempat media cetak itu diperjualbelikan. Keempat, NDM (Newspaper Designated Market): area geografis yang dianggap media cetak itu sebagai pasarnya.

Format Media Cetak

Broadsheet: ukuran surat kabar umum. Misalnya, KOMPAS, Media Indonesia, Republika dll. Tabloid: ukuran setengah broadsheet. Format ini diperkenalkan untuk dikonsumsi oleh pembaca di kalangan masyarakat urban yang sibuk dalam transportasi umum seperti bus, kereta api dll. Misalnya, KORAN TEMPO dll.

Magazine: ukuran setengah tabloid atau seperempat broadsheet. Halamannya diikat dengan kawat, sampul lebih tebal dan mengkilap daripada halamannya. Misalnya, Majalah TEMPO dll.

Book: ukuran setengah magazine atau seperempat tabloid atau seperdelapan broadsheet. Misalnya, Majalah INTISARI dll.

Struktur Organisasi Media Cetak

Pertama, redaksi yang terdiri dari pemimpin redaksi; wakil pemimpin redaksi; sekretaris redaksi; dewan redaksi; redaktur pelaksana; redaktur; koresponden (reporter di luar kota atau di luar negeri). Kedua, tata usaha yang terdiri dari administrasi internal yang mengurusi manajemen internal, kepegawaian, penggajian dll; administrasi eksternal yang mengurusi pemasaran, sirkulasi, iklan, langganan dll. Ketiga, produksi yang terdiri dari percetakan sendiri atau percetakan lain.

Proses Media Cetak

Pertama, kebijakan redaksi yang tergantung pada ideologi atau politik media cetak. Misal, KOMPAS (Katolik), Suara Pembaruan (Kristen), Republika (Islam), Suara Karya (Parpol) dll. Kedua, frekuensi terbit: harian; mingguan, dwi mingguan; bulanan. Ketiga, tenggat terbit: jam (harian); hari tertentu (mingguan); minggu tertentu (bulanan). Ini perlu diketahui dan diperhatikan oleh pemasang iklan. Keempat, cetak: off set modern sampai dengan cetak digital jarak jauh. Kelima, sirkulasi: lokal; nasional; regional; internasional. Keenam, pembaca: jenis kelamin, usia, pendidikan, penghasilan, profesi, hobby, suku, agama dan ras/etnik. Ketujuh, metode distribusi: bagaimana media cetak itu didistribusikan. Misalnya, eceran, loper, agen, toko dll.

Produksi Media Cetak

Pembicaraan tentang media cetak berarti membicarakan pers. Sebab terminologi pers terdiri dari: Pertama, pers dalam arti luas adalah seluruh alat komunikasi massa baik cetak maupun elektronik. Kedua, pers dalam arti sempit secara spesifik tertuju pada media cetak berbentuk surat kabar dan majalah. Dalam berbagai literatur surat kabar digunakan sebagai sebutan untuk media cetak yang content-nya mengutamakan hasil jurnalisme berbentuk berita (news). Sementara sebutan untuk pers digunakan untuk seluruh media massa tercetak yang terbit secara reguler baik yang mengutamakan jurnalisme maupun hiburan.

Ada tiga pendekatan yang biasa dilakukan dalam kajian tentang pers. Pertama, pendekatan etika atas eksistensi institusi pers dan prilaku pelaku profesional pers (jurnalis). Kedua, pendekatan ilmu sosial atas eksistensi institusi pers. Ketiga, pendekatan praktis atas kerja teknis pelaku profesional pers dalam institusi pers.

Titik tolak kajian tulisan ini melihat fenomena pers sebagai institusi sosial yang menjadi bagian dari komunikasi massa. Bukan semata-mata berdasarkan pendekatan praktis dan kerja teknis dalam konteks jurnalisme.

Introduksi

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa media cetak termasuk pers dalam pengertian sempit. Artinya, media cetak adalah bagian dari media komunikasi massa. Untuk itu perlu dikaji dulu definisi komunikasi massa (mass communication) untuk membedakannya dengan jenis komunikasi lainnya seperti komunikasi intrapersonal (intrapersonal communication) atau komunikasi interpersonal (interpersonal communication). Secara singkat komunikasi massa dimaknai sebagai berikut: “mass communication is a process in which professional communicator use media to disseminate messages widely, rapidly, and continually to arouse intended meanings in large and diverse audiences in attempts to influence them in a variety of ways” (DeFleur, 1985).

Rumusannya menggunakan formula baku yang dikembangkan oleh sosiolog AS Harold D. Lasswell yang mengatakan “communication is who says what in what channel to whom with what effect”. Ini sangat populer di kalangan para pengkaji ilmu komunikasi yaitu proses yang mencakup komunikator, pesan, media, komunikan dan pengaruhnya.

Selanjutnya mengutip Charles R Wright dalam karyanya Mass Communication: A Sociological Perspective yang mengatakan “mass communication is one way in which social communication has become institutionalized and organized. Our society expects, for example, that certain news will be routinely handled through mass communication so as to reach large number of people, from all ways of life, quickly and publicly. Social communication can be institutionalized in other ways, for example, a society may expect that personal news about family matters will be transmitted privately and kept within the family circle”.

Pers dilihat sebagai fenomena sosial dengan karakteristiknya yang khas sebagai institusi sosial. Dengan demikian peta kajiannya dapat diuraikan sebagai berikut: sistem sosial, institusi sosial, institusi media massa, institusi pers dan jurnalisme. Institusi pers menjalankan fungsinya dengan menyampaikan informasi. Nilai informasi ini dapat dilihat dalam kaitannya dengan eksistensinya dalam sistem sosial. Untuk itu institusi pers dapat menjalankan fungsi politik, ekonomi atau sosio-kultural.

Tulisan ini hanya membahas tiga pokok bahasan: Pertama, memaparkan media cetak dalam perspektif historis. Kedua, Mendiskusikan perbedaan media cetak sebagi institusi sosial dengan media cetak sebagai jurnalisme. Di sini dibicarakan konsep dasar berita; teknik mencari berita; perbedaan fakta dengan opini; aliran jurnalisme. Ketiga, memperkenalkan institusi dan manajemen media cetak yang meliputi manajemen media cetak; zona pasar media cetak; format media cetak; struktur organisasi media cetak; proses media cetak.

Media Cetak dalam Perspektif Historis

Dari berbagai literatur yang menitikberatkan pada content media cetak disebutkan bahwa cikal-bakal media cetak bermula pada acta duirna yaitu semacam lembaran yang ditempel pada zaman Romawi kuno. Lembaran ini memuat hal-hal yang dibicarakan dalam senat yang akan disampaikan pada warga kota. Tetapi literatur lainnya yang memusatkan perhatian pada teknologi yang dipakai menyebutkan bahwa media ini sudah ada di China kuno sebelum kertas dan alat cetak dikenal bangsa Eropa.

Identifikasi media cetak sekarang lebih banyak dilakukan atas karakter kultural dan isinya dalam masyarakat. Karenanya pembicaraan selalu dimulai dari acta duirna (Romawi kuno), gazeta (Venesia) dan corantos (Inggris) sejenis lembaran tercetak abad XVII yang berisi informasi tentang negara asing. Baik acta duirna maupun corantos berisi informasi politik. Sementara gazeta berisi informasi ekonomi. Sejarah media massa modern dimulai dari media cetak. Kenyataannya, suratlah yang merupakan bentuk awal dari surat kabar. Bukan lembaran yang berbentuk buku. Surat kabar abad XVII tidak lahir dari satu sumber. Tetapi gabungan kerja sama antara pihak percetakan dengan pihak penerbit. Ragam surat kabar resmi yang diterbitkan oleh raja atau penguasa memiliki ciri-ciri khas yang sama dengan surat kabar komersial tetapi lebih berfungsi sebagai terompet penguasa dan alat pemerintah. Pengaruh surat kabar komersial menjadi tonggak penting dalam sejarah komunikasi karena menyebabkan beralihnya pola pelayanan ke pembaca anonym. Bukan hanya semata-mata jadi alat propagandis pemerintah dan penguasa.

Sejak awal perkembangannya surat kabar sudah menjadi lawan nyata atau musuh penguasa yang terlanjur mapan. Dalam konteks Indonesia, tekanan terhadap pers dimulai sejak usaha pertama mendirikan surat kabar di Batavia (Jakarta) yang dilarang oleh pihak VOC (Vereenigde Oost-Indische Campagnie) dengan alasan takut Inggris, Perancis, Spanyol dan Portugis sebagai saingan dagangnya akan memperoleh keuntungan dari berita dagang yang dimuat dalam surat kabar tersebut (Smith, 1986). Tetapi dalam konteks modern institusionalisasi media cetak dalam sistem pasar berfungsi sebagai alat pengendali. Sehingga surat kabar modern sebagai badan usaha besar justru menjadi lemah dalam menghadapi banyak tekanan dan campur tangan daripada surat kabar tempo dulu yang masih sederhana.

Ada perbedaan yang mendasar antara penetrasi pasar pers komersial yang kian meningkat via iklan dan hiburan dengan publik pembaca surat kabar yang membaca karena alasan politis. Ada surat kabar yang menyajikan dan memberikan pandangan politik dan surat kabar yang didirikan oleh partai politik dan dimanfaatkan demi kepentingan partai politik tersebut (McQuail, 1991).

Sementara sejarah media cetak dimulai berbentuk buku yakni penggandaan bibel yang dulunya ditulis tangan oleh para scribist yaitu pendeta sekaligus juru tulis. Seiring waktu dan ditemukannya mesin cetak dari mesin pemeras anggur oleh Johannes Gutenberg (Jerman) tahun 1446 dengan teknik movable metal type (huruf logam yang berpindah). Selanjutnya tahun 1690 Ben Harris menerbitkan Public Occurences surat kabar pertama kali di koloni Inggris. Tahun 1741 Andrew Bond Jord menerbitkan American Magazine yang disusul oleh Benyamin Franklin yang menerbitkan General Magazine di koloni Inggris.

Sementara perkembangan buku dimulai dengan percetakan dan penggandaan Bibel menjadi lebih cepat dan massal oleh Johannes Gutenberg tahun 1455 yang kini masih tersimpan dengan nama Gutenberg Bible Masterpiece. Tahun 1638 berdiri Cambridge Press sebagai pecetakan buku pertama di AS. Kemudian tahun 1836 William Holmes dan Mc Guffey memanfaatkan penggandaan buku sebagai text book untuk memberantas buta huruf sekitar 122 juta jiwa di AS. Koleksi buku yang terkenal di Library of Congress berasal dari koleksi buku penulis deklarasi kemerdekaan AS Thomas Jefferson. John Harvard dari Cambridge, Massachusetts menyumbangkan 300 koleksi bukunya yang saat itu termasuk jumlah yang sangat besar kepada Newtowne College yang kemudian berubah nama menjadi Harvard University tahun 1638 sebagai penghormatan atas jasa John Harvard (Vivian, 2008).

Kemunculan buku, surat kabar dan majalah dapat dipahami melalui latar belakang masyarakat yang melahirkannya. Ribuan tahun sebelum dikenal alat cetak masyarakat China kuno sudah mengenal lembaran tertulis yang berisi informasi dari kerajaan. Begitu pula acta duirna di zaman Romawi kuno yang disusul lembaran informasi yang diterbitkan pemerintah Venesia yang dijual seharga satu gazette (mata uang Venesia waktu itu). Secara spesifik buku tidak digolongkan sebagai institusi pers dan jurnalisme karena lebih tertuju pada dunia ide bukan informasi semata. Meskipun tidak dipungkiri banyak buku yang diterbitkan yang berasal dari informasi berisi reportase pers. Tetapi sebagai produk, buku bukanlah media pers.

Institusi pers dapat dilihat dari aspek politik, ekonomi, profesionalisme dan filosofis yang ditempatkan dalam dua bidang. Pertama, secara eksternal institusi pers dilihat dalam kaitannya dengan institusi lain dalam kehidupan masyarakat. Kedua, secara internal dilihat dari motif dan profesionalisme institusi medianya (Siregar, 1992).

Media Cetak sebagai Institusi Sosial dan Jurnalisme

Pers atau press (Inggris) dalam Bahasa Indonesia yang kita kenal selama ini berasal dari Bahasa Belanda. Ini berarti menyiarkan berita dari barang cetakan. Sebagai mana yang telah diulas panjang lebar sebelumnya, secara singkat pembicaraan tentang pers mencakup dua pengertian. Pertama, pers sebagai institusi sosial yang berfungsi sebagai watch dog of the press bagi institusi lainnya seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Di sinilah manifestasi pers sebagai the fourth estate dalam sistem sosial.

Masalahnya, pers tidak bisa disebut sebagai institusi sosial apabila produk jurnalistik yang dihasilkannya tidak bermakna secara sosial. Dari sinilah dimulai pembahasan berikutnya pers dalam konteks jurnalisme. Kedua, pers sebagai jurnalisme berarti kinerja pelaku profesi pers dalam rangka memilih dan memilah realitas sosial yang akan diolah menjadi informasi yang akan dimuat sebagai berita (news) baik dalam surat kabar maupun majalah.

Dalam konteks jurnalisme ini pulalah realitas sosial yang diubah menjadi realitas media cetak dalam dua bentuk. Pertama, realitas sosiologis berarti informasi yang berasal dari pelaku obyektif yang terjadi dalam interaksi sosial dan yang terpenting bermanfaat bagi publik. Misalnya, informasi tentang kenaikan BBM, TDL dll. Kedua, realitas psikologis berarti informasi yang berasal dunia subyektif dalam alam pikiran manusia. Dengan demikian, jika realitas sosiologis berbicara tentang tindakan maka realitas psikologis lebih berbicara tentang apa yang dipikirkan tentang tindakan itu dan yang terpenting hanya bermain dalam dunia subyektif pengisi waktu luang. Misalnya, informasi kawin-cerai artis x dan sejenisnya produk infotainment di layar kaca.

Konsep Dasar Berita

Berita atau NEWS (Inggris) seringkali ditafsirkan sebagai singkatan dari: North; East; West; South yang bermakna setiap realitas sosial dari empat penjuru arah mata angin berpotensi jadi berita. Tetapi tidak semua realitas sosial itu lantas serta-merta bisa dijadikan berita. Di sinilah diskursus tentang nilai berita (news worthy) dimulai. Ada anekdot yang mengatakan: “jika ada orang digigit anjing itu bukan berita, tetapi jika ada orang menggigit anjing itu baru berita”. Terdapat unsur kejutan di sini.

Secara spesifik ada beberapa unsur berita diantaranya: aktualitas (timeliness); penting (significance); terkenal (prominence); besar (magnitude); dekat (proximity); manusiawi (human interest). Ada pula yang menambahkannya sebagai berikut: kebaruan (newness); informatif (informative); luar biasa (unusualness); ekslusif (exclusive); berdampak (impact); pertentangan (conflict); tokoh publik (public figure/news maker); seks (sex) dll.

Pada proses pemberitaan terdapat pembingkaian (framing) yang memuat maksud (aim) dan tujuan (intention) berita dengan mempertimbangkan kebijakan redaksi (editorial policy) dan kerja keredaksian (news room management) (Siregar, 2003).

Secara garis besar berita terbagi tiga: Pertama, berita langsung (straight/hard news): laporan langsung suatu peristiwa. Kedua, berita ringan (soft news): laporan yang berupa kelanjutan atau susulan dari peristiwa yang pertama. Ketiga, berita kisah (feature): produk jurnalistik yang melukiskan suatu pernyataan yang lebih terperinci. Sehingga apa yang dilaporkan terasa lebih hidup dan tergambar dalam imajinasi pembaca.

Di samping itu ada beberapa derivasi jenis berita di atas sebagai berikut: Pertama, berita menyeluruh (comprehensive news): laporan suatu peristiwa yang bersifat menyeluruh yang ditinjau dari berbagai aspek. Kedua, berita mendalam (depth news): laporan suatu peristiwa yang memerlukan penggalian informasi yang aktual, mendalam, tajam, lengkap dan utuh (depth reporting). Bukan opini jurnalis yang bersangkutan. Ketiga, berita penyelidikan (investigative news): laporan peristiwa yang terpusat pada sejumlah masalah yang kontraversial. Biasanya dengan penyelidikan ala detektif yang tersembunyi untuk memperoleh fakta. Keempat, berita interpretatif (interpretative report): laporan suatu peristiwa yang berfokus pada isu atau masalah kontraversial yang memerlukan penafsiran. Kelima, tajuk rencana (editorial writing): laporan suatu peristiwa dengan menyajikan fakta dan opini yang menafsirkan berita­berita penting dan mempengaruhi opini publik. Biasanya ditulis oleh pemimpin redaksi atau jurnalis senior institusi pers yang mewakili institusinya. Bukan mewakili pribadi jurnalis yang bersangkutan.

Teknik Mencari Berita

Pertama, secara umum: (1). Observasi adalah pengamatan realitas oleh jurnalis baik secara langsung (participant observation) maupun tidak langsung (non participant observation); (2). Wawancara (interview) adalah tanya jawab baik lisan maupun tulisan dengan nara sumber yang terdiri dari pengumpulan pendapat umum (man in the street interview), wawancara mendadak (casual interview), wawancara tokoh (personal interview), wawancara nara sumber yang terkait dengan berita (newspeg interview), wawancara telepon (telephone interview), wawancara tertulis (question interview) dan wawancara kelompok (group interview); (3). Cover up adalah sejenis wawancara juga untuk menyusun suatu laporan yang dilengkapi dengan pengaruhnya terhadap masyarakat; (4). Press release adalah siaran pers yang dikeluarkan oleh nara sumber yang biasanya berbentuk institusi kepada jurnalis. Tetapi tidak ada tanya jawab bila informasi itu dirasa kurang lengkap. Inilah yang membedakannya dengan konferensi pers (press conference).

Kedua, kontak resmi pers (formal press contact): (1). Konferensi pers (press conference) biasanya bernuansa pengenalan (awareness aspect), saling mengerti dan menghormati (mutual understanding and appreciation aspect) dan meluruskan suatu berita negatif (make something to clear and objective) antara jurnalis dengan nara sumber; (2). Wisata pers (press tour) adalah undangan pada jurnalis yang sudah dikenal baik oleh nara sumber ke suatu event atau peninjauan keluar kota. Bahkan ke luar negeri selama lebih dari satu hari untuk meliput kegiatan nara sumber. Biasanya berbentuk laporan langsung (on the spot news); (3). Resepsi pers (press reception) dan jamuan pers (press gathering) adalah undangan resepsi baik formal maupun informal pada jurnalis seperti ulang tahun, pernikahan dan acara keagamaan yang disisipi pemberian keterangan oleh pihak nara sumber; (4). Taklimat pers (press briefing) adalah jumpa pers resmi yang diselenggarakan secara periodik setiap awal atau akhir bulan atau tahun. Mirip semacam diskusi dengan memberi masukan bagi kedua belah pihak antara jurnalis dan nara sumber untuk menghindari kesalahpahaman.

Ketiga, kontak pers tidak resmi (informal press contact): (1). Keterangan press (press statement) dilakukan oleh nara sumber tanpa ada undangan resmi. Bahkan cukup via telepon dengan sisi negatif menimbulkan polemik bila tidak berhati-hati; (2). Wawancara pers (press interview) adalah wawancara dengan nara sumber melalui perjanjian atau konfirmasi dulu; (3). Jamuan pers (press gathering) berbeda dengan yang resmi, sifatnya hanya sekedar menjaga hubungan baik bagi kedua belah pihak antara jurnalis dan nara sumber di luar tugas fungsionalnya.

Perbedaan Fakta dengan Opini

Dalam konteks jurnalisme dibedakan secara tegas antara fakta (fact) dengan opini (opinion). Dunia jurnalistik mengenal tiga jenis fakta sebagai berikut: Pertama, fakta pertama: jurnalis berada di tempat kejadian dan melihat dengan mata kepalanya sendiri peristiwa yang akan diliput dan diberitakannya. Kedua, fakta kedua: jurnalis berada di tempat kejadian dan melihat dengan mata kepalanya sendiri peristiwa yang akan diliput dan diberitakannya, tetapi tidak utuh. Untuk itu dilengkapinya dengan meminta keterangan pihak lain yang menyaksikannya. Ketiga, fakta ketiga: jurnalis tidak berada di tempat kejadian dan meminta keterangan pihak lain yang juga tidak berada di tempat kejadian, tetapi dianggap punya keahlian berkaitan dengan peristiwa yang akan diliput dan diberitakannya.

Sementara opini diartikan sebagai penilaian moral jurnalis atau orang lain terhadap suatu peristiwa. Masalahnya, dalam kinerja jurnalistik sangat mustahil meniadakan sama sekali opini ini. Artinya, ketika redaktur menyeleksi hasil reportase sampai proses editing maka sesungguhnya ia telah beropini dalam kerjanya. Begitu juga ketika seorang jurnalis memilih informasi yang akan dijadikan berita yang pantas dimuat atau membuang sebagian atau keseluruhan maka ia juga telah beropini.

Bentuk produk jurnalistik opini di media cetak antara lain sebagai berikut: Pertama, tajuk rencana: pendapat atau sikap resmi suatu media cetak sebagai institusi pers terhadap suatu peristiwa yang berkembang dalam masyarakat. Biasanya ditulis oleh pemimpin redaksi atau jurnalis seniornya. Karakternya untuk surat kabar atau majalah papan atas: hati-hati, konservatif, menghindari kritik langsung dalam ulasannya. Sebaliknya untuk surat kabar atau majalah populer: berani, atraktif, progresif dan kritik langsung yang lebih bernuansa sosial dengan pertimbangan politis. Kedua, karikatur: opini redaksi berupa gambar yang sarat dengan kritik sosial dengan memasukkan unsur humor. Sehingga membuat siapa pun yang melihatnya tersenyum. Termasuk tokoh yang dikarikaturkan itu sendiri. Ketiga, pojok: pernyataan nara sumber atau peristiwa tertentu yang dianggap menarik untuk dikomentari oleh redaksi dengan kata atau kalimat yang mengusik, menggelitik, reflektif dan sinis. Keempat, esai: karangan prosa yang membahas secara sepintas lalu dari perspektif pribadi penulisnya tentang seni, sastra dan budaya. Kelima, artikel: termasuk news by line yaitu tulisan lepas seseorang yang mengupas tuntas suatu masalah yang bisa mempengaruhi pembaca. Keenam, kolom: opini singkat dengan tekanan pada aspek pengamatan. Serta pemaknaan terhadap suatu persoalan atau keadaan tertentu dalam masyarakat. Panjang tulisan biasanya setengah panjang esai atau artikel. Ketujuh, surat pembaca: opini singkat yang ditulis pembaca yang dimuat dalam rubrik khusus Surat Pembaca. Pendapat lain mengatakan bahwa opini di luar opini jurnalis yang bersangkutan termasuk fakta juga. Inilah yang akhirnya menimbulkan berbagai aliran dalam jurnalisme.

Aliran Jurnalisme

Pertama, jurnalisme obyektif: membedakan dengan tegas antara fakta dengan opini. Kedua, jurnalisme baru: kombinasi sastra berupa opini jurnalis dengan teknik jurnalistik. Misalnya, jurnalisme gaya Majalah TEMPO ketika dipimpin oleh Goenawan Mohammad. Ketiga, jurnalisme investigatif: penyelidikan mendalam dalam pemberitaan. Sebagai ilustrasi terbongkarnya kasus Watergate oleh dua orang jurnalis Washington Post: Bob Woodward dan Carl Bernstein tahun 1972 yang melibatkan Presiden AS Richard Nixon yang akhirnya jatuh dari kursi kekuasaan. Ini menghasilkan penghargaan atas karya jurnalistik tertinggi di AS Pulitzer bagi kedua jurnalis tersebut. Di Indonesia hal yang nyaris sama pernah dilakukan pula oleh jurnalis senior Mochtar Lubis (alm) dengan surat kabar Indonesia Raya yang dipimpinnya. Ia membongkar kasus korupsi Pertamina yang melibatkan Jenderal Ibnu Sutowo (alm). Bedanya, bukannya mendapat penghargaan atas karya jurnalistik Adi Negoro malah sebaliknya surat kabar Indonesia Raya dibreidel oleh penguasa Orde Baru Jenderal Soeharto (alm) (Gaines, 2007). Keempat, jurnalisme evaluasi: gabungan jurnalisme obyektif (primary of fact), jurnalisme baru (reporter subjectivity) dan jurnalisme investigatif (investivigative reporting). Kelima, jurnalisme presisi: meramu fakta, interpretasi, analisis dan opini jurnalis yang bersangkutan.

Di samping itu ada lagi versi lain tentang aliran jurnalisme ini. Pertama, jurnalisme bermakna: ditujukan pada kelas menengah atas dalam konteks intelektual. Kedua, jurnalisme patriotis: dianut oleh para jurnalis sekaligus pejuang pada revolusi kemerdekaan. Ketiga, jurnalisme pembangunan: khas Orde Baru pimpinan Soeharto (alm) yang membuat tafsir tunggal atas Pers Pancasila sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab sebagai mitra pemerintah. Bukan jadi oposan yang mengkritik program pembangunan pemerintah yang menyingkirkan masyarakat dari ruang publik, politik dan birokrasi. Keempat, jurnalisme selera rendah: ini yang dianut tabloid MONITOR yang dipimpin oleh Arswendo Atmowiloto dengan konsep jurnalisme lher dengan mengekploitasi seks. Kelima, jurnalisme plintiran: dipopulerkan oleh bekas Presiden Abdurrahman Wahid (baca: Gus Dur) yang selalu menuduh jurnalis memutarbalikkan fakta dengan opini. Keenam, jurnalisme talang air: semua dimuat tanpa proses editing.

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id