Jumat, 20 Juli 2012

Aset Perbankan Syariah Asia Tumbuh 15 Persen per Tahun

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Aset perbankan syariah Asia telah menunjukkan geliatnya sejak tahun lalu. Diperkirakan pertumbuhan aset perbankan syariah mencapai 15 persen setiap tahun selama 10 tahun ke depan.

Hal ini disimpulkan oleh badan standar pengaturan global yang mencatat pertumbuhan pesat perbankan syariah di Asia.

Berdasarkan data dari bank sentral, kepemilikan aset di Malaysia meningkat 27 persen sepanjang satu tahun terakhir. Hingga April 2012 nilai aset di Malaysia mencapai 344 miliar ringgit. Pejabat resmi menyatakan di Indonesia pertumbuhan aset mencapai Rp 144 triliun (15,2 miliar dolar), atau meningkat 43 persen.

Sekretaris Jenderal Kuala Lumpur-based Islamic Financial Services Board (IFSB), Jaseem Ahmed, mengatakan peningkatan kebutuhan konsumer menjadi motor penggerak peningkatan aset ini.

CEO HSBC Amanah Malaysia, Rafe Haneef, mengungkapkan pemerintah mengembangkan program di pusat ekonomi syariah Asia dan Timur Tengah berupa membawa lebih banyak dana untuk pemberi pinjaman.

Berdasarkan hasil riset dari Ernst & Young LLP industri ini masih bisa berkembang lebih pesat lagi dengan pencapaian aset 1,1 triliun dolar di akhir 2012. Jumlah ini meningkat luar biasa dibandingkan 2010 yang hanya 826 miliar dolar. "Perbankan syariah telah tumbuh 15-25 persen," ujar Haneef, seperti dilansir laman Islam Online, Rabu (18/7). Hal ini juga seiring dengan makin banyaknya negara yang beralih ke perbankan syariah seperti Mesir.

Data otoritas moneter mencatat perbankan syariah Indonesia memberikan kontribusi 3,8 persen dari total pertumbuhan di April. Sementara Malaysia berkontribusi 24 persen. The Deloitte Middle East Islamic Finance Centre di Manama, Bahrain, bulan lalu mengeluarkan laporan aset perbankan syariah di Arab Saudi mencapai 94 miliar dolar. Nilai ini berkontribusi 26 persen dari total market share enam anggota Gulf Cooperation Council (GCC).

Firma Lee Hishammuddin Allen & Gledhill mengklaim nilai ini bisa tumbuh lebih besar lagi setelah lebih banyak negara mengadopsi perbankan syariah dan menerbitkan sukuk.

Oman dan Hong Kong kini tengah dalam proses perumusan aturan perbankan syariah. Sementara Turki, Afrika Selatan, dan Afghanistan, tengah mempersiapkan penerbitan sukuk. Mesir kini sedang mencari jalan untuk memperkenalkan industri syariah di negara tersebut.

Isu sukuk telah mengalami peningkatan luar biasa pada 2012, yaitu 20,8 miliar dolar. Sedangkan pada periode yang sama tahun lalu, sukuk yang diterbitkan hanya 14 miliar dolar, yang didominasi oleh Timur Tengah.

Head Hishammuddin Allen, Megat Hizaini Hassan, mengungkapkan prospek perbankan syariah sangat positif, terutama yang fokus pada kebutuhan konsumen. Munculnya pasar baru akan menjadi pendorong utama.

Pada 2007 lalu IFSB memprediksi aset perbankan syariah akan mencapai 2,8 triliun dolar pada 2015. Prediksi ini diakui Jaseem belum akan diubah. "Industri ini sangat kuat dan tengah tumbuh," ujarnya.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Friska Yolandha

IIFIS Dorong Pemerintah Laksanakan Ekonomi Inklusif

REPUBLIKA.CO.ID,  SOLO -- International Islamic Financial Inclusion Summit (IIFIS) menghimbau kepada pemerintah untuk segera mengerahkan rancangan undang-undang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), termasuk di dalamnya LKM Syariah.

Hal ini bertujuan agar ada payung hukum untuk mengatur, mengawasi, menjamin, dan melindungi LKM/LKMS seperti yang dilakukan Bank Indonesia di dunia keuangan.

Hal di atas tertuang dalam Deklarasi IIFIS yang dibacakan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, Nusron Wahid, dalam penutupan Seminar IIFIS, Rabu (18/7).

Dalam deklarasi tersebut disebutkan pula perlu dirumuskan rencana aksi nasional dalam pengembangan dan pelaksanaan keuangan inklusif yang mengakomodasi kepentingan rakyat.

Bank Indonesia juga diminta memfasilitasi terbentuknya Indonesian Financial Inclusion Society (IFIS). "IFIS akan menjadi forum kerja bersama untuk percepatan pelaksanaan ekonomi iknlusif melalui peningkatan kapasitas kelembagaan dan permodalan," ujar Nusron.

Apa yang tertuang dalam Deklarasi IIFIS ini sejalan dengan tujuan berdirinya negara kesatuan RI, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu pemerintah bertanggungjawab dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif.

Menteri Perekonomian, Hatta Rajasa, mengungkapkan ekonomi iknlusif ini telah menjadi pembicaraan dalam pertemuan negara-negara G20 yang berlangsung di Meksiko bulan lalu. Ekonomi inklusif menjadi satu dari masalah utama yang dibahas, selain krisis global dan eurozone.

Pemerintah berniat untuk membangun Indonesia dengan mewujudkan pertumbuhan yang tinggi, inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Namun program MP3EI tidak cukup untuk ini. "Perlu ada program nyata yang memberikan perlindungan kepada masyarakat secara merata," ujar Hatta. Ia berharap deklarasi ini dapat berlajut agar Indonesia bisa menjadi contoh dalam ekonomi yang inklusif.



Redaktur: Heri Ruslan

Bank Syariah Berpotensi Redam Pertumbuhan Rentenir

REPUBLIKA.CO.ID, TERNATE -- Sejumlah pengamat menilai, Bank Syariah memiliki kewajiban moril melayani masyarakat ekonomi kelas bawah di Maluku Utara (Malut), dalam memberi bantuan permodalan bagi pelaku usaha. Upaya itu guna meredam beroperasinya para rentenir.

Pakar Ekonomi Syariah, Prof Dr H Viatsal Rifai, MBA mengatakan, bank syariah harus hadir di mana-mana, bahkan hingga tengah malam harus ada di pasar-pasar dalam melayani kebutuhan pelaku ekonomi kelas bawah. "Bank ini harus beroperasi untuk menghapuskan rentenir. Selama ini rentenir memberi kredit pada masyarakat kelas bawah," katanya di Ternate, Rabu (18/7).

Karena itu Viatsal minta bank-bank Syariah yang beroperasi di daerah ini agar beroperasi hingga malam hari dan masuk ke pasar-pasar, hingga memutuskan mata rantai rentenir yang banyak untungnya. Jadi sudah menjadi kewajiban kita untuk memerangi ribah.

Ia mengatakan, meminjam pada seseorang atau saudaramu dan harus mengembalikan ditambah jumlah tertentu itu ribah. "Sudah menjadi kewajiban kita untuk memerangi ribah, Sehingga tidak ada alasan apa pun juga bagi kita untuk tidak mendukung usaha bisnis syariah," ungkapnya.

Usaha bisnis syariah, menurut Viatsal tidak mengejar laba tapi bisnis secara bersama dengan konsep moderaba. "Kalau tidak terlambat, tunggu pertanggung jawaban di Yaumilakhir. Kita sudah punya kewajiban, sepanjang kita menamai muslim, inilah bisnis yang sesuai dengan harkat dan martabat kita sebagai ummat Islam," katanya.

Untuk itu, dirinya mengaku kalau di Ternate ini muslim hampir 100 persen, seharusnya bisnis syariah ini perkembangannya harus menjadi contoh bagi masyarakat di daerah lain. "Bisnis syariah sudah harus melayani kebutuhan masyarakat pelaku ekonomi kelas bawa atau pelaku ekonomi lemah untuk mendorong pertumbuhan perbankan Syariah di Malut, khususnya di Kota Ternate," ujarnya.
 
Redaktur: Karta Raharja Ucu
Sumber: Antara

Minggu, 01 Juli 2012

Managemen Pengawasan Resiko Bank Syariah




Dari bab sebelumnya kita telah mengenal adanya beberapa jenis risiko yang antara lain adalah risiko kredit (credit risk), risiko likuiditas (liquidity risk), dan risiko tingkat bunga (interest rate risk). Disamping itu kita juga mengenal adanya risiko nilai tukar valuta asing (foreign exchange rate risk), dan risiko operasional (operational risk). Berbagai jenis risiko itu juga dapat dibedakan atas dua kelompok besar yaitu: (1) Risiko yang sistematis (systematic risk), yaitu risiko yang diakibatkan oleh adanya kondisi atau situasi tertentu yang bersifat makro, seperti perubahan situasi politik, perubahan kebijakan ekonomi pemerintah, perubahan situasi pasar, situasi krisis atau resesi, dan sebagainya yang berdampak pada kondisi ekonomi secara umum; dan (2) Risiko yang tidak sistematis (unsystematic risk), yaitu risiko yang unik, yang melekat pada suatu perusahaan atau bisnis tertentu saja.

Perbankan Islam juga berpotensi menghadapi risiko-risiko tersebut, kecuali risiko tingkat bunga, karena Perbankan Islam tidak akan berurusan dengan bunga.

1.      Risiko kredit

Risiko kredit muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan/atau bunga dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukannya.[1]

Penyebab utama terjadinya risiko kredit adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya.

Risiko ini akan semakin nampak ketika perekonomian dilanda krisis atau resesi. Turunnya penjualan mengakibatkan berkurang-nya penghasilan perusahaan, sehingga perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar hutang-hutangnya. Hal ini semakin diperberat dengan meningkatnya tingkat bunga. Ketika bank akan mengeksekusi kredit macetnya, bank tidak memperoleh hasil yang memadai, karena jaminan yang ada tidak sebanding dengan besarnya kredit yang diberikannya. Dan tentu saja bank akan mengalami kesulitan likuiditas yang berat, jika ia mempunyai kredit macet yang cukup besar.

Risiko kredit muncul manakala bank tidak dapat memperoleh kembali tagihannya atas pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukannya. Penyebab utama dari risiko ini adalah penilaian kredit yang kurang cermat dan lemahnya antisipasi terhadap berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya.

Risiko ini dapat ditekan dengan cara memberikan batas wewenang keputusan kredit bagi setiap aparat perkreditan, berdasarkan kapabilitasnya (autorize limit) dan batas jumlah (pagu) kredit yang dapat diberikan pada usaha atau perusahaan tertentu (credit line limit), serta melakukan diversifikasi.


2.      Risiko likuiditas

2.1. Risiko likuiditas

Pemicu utama kebangkrutan yang dialami oleh bank, baik yang besar maupun yang kecil, bukanlah karena kerugian yang dideritanya, melainkan lebih kepada ketidakmampuan bank memenuhi kebutuhan likuiditasnya.

Likuiditas secara luas dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan  segera dan dengan biaya yang sesuai. Likuiditas penting bagi bank untuk menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari, mengatasi kebutuhan dana yang mendesak, memuaskan permintaan nasabah akan pinjaman dan memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi menarik dan menguntungkan.[2]

Likuiditas yang tersedia harus cukup, tidak boleh terlalu kecil sehingga mengganggu kebutuhan operasional sehari-hari, tetapi juga tidak boleh terlalu besar karena akan menurunkan efisiensi dan berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas.

Risiko likuiditas muncul manakala bank mengalami ketidak-mampuan untuk memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan segera, dan dengan biaya yang sesuai, baik untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun untuk memenuhi kebutuhan dana yang mendesak.
Besar-kecilnya risiko ini banyak ditentukan oleh :

q  kecermatan perencanaan arus kas (cash flow) atau arus dana (fund flow) berdasarkan prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana-dana, termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana-dana (volatility of funds);
q  Ketepatan dalam mengatur struktur dana-dana termasuk kecukupan dana-dana non PLS;
q  Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas; dan
q  Kemampuan menciptakan akses ke pasar antar bank atau sumber dana lainnya, termasuk fasilitas lender of last resort.

3.      Risiko Nilai Tukar Valuta Asing

Risiko nilai tukar valuta asing (foreign exchange rate risk) timbul apabila bank mengambil posisi terbuka (open position). Di saat bank berada pada posisi beli (overbought position / long position), kerugian akan terjadi bila nilai tukar mata uang lokal (currency base) cenderung naik (menguat), dan sebaliknya pada saat bank berada pada posisi jual (oversold position / short position), kerugian akan terjadi apabila mata uang lokal cenderung turun (melemah).

Risiko nilai tukar valuta asing ini dapat ditekan dengan cara membatasi atau memperkecil posisi, atau bahkan dapat dihindari sama sekali bila bank selalu mengambil posisi squaire.

Bagi Perbankan Islam, pada umumnya lebih mampu menghindari risiko nilai tukar valuta asing, karena mereka dituntut untuk mematuhi norma-norma syariah yang antara lain adalah:

q  Bank Islam hanya melakukan transaksi komersil dan tidak akan pernah melakukan transaksi arbitrage;
q  Bank Islam hanya akan melakukan pertukaran valuta asing secara tunai;
q  Bank Islam tidak melakukan short selling; dan
q  Bank Islam tidak akan pelakukan pertukaran tanpa penyerahan (non delivery trading).

4.      Risiko Operasional

Menurut definisi Basle Committee[3], risiko operasional adalah risiko akibat dari kurangnya (deficiencies) sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Risiko ini berkaitan dengan kesalahan manusiawi (human error), kegagalan sistem, dan ketidakcukupan prosedur dan kontrol.

Dalam definisi ini kita jumpai semua komponen yang relevan dengan risiko operasional yaitu:          

                  1. Sistim informasi;
                  2. Pengawasan Internal;
                  3. Kesalahan manusiawi (human error);
                  4. Kegagalan sistem; dan
                  5. Ketidakcukupan prosedur dan kontrol.

Pangeran Muhammed Al Faisal[4] menyatakan bahwa khususnya bagi Bank Islam, yang sangat diperlukan adalah: good governance, transparancy, and accounting standard.

British Banker Association dalam tahun 1997 melaporkan bahwa 69% (enam puluh sembilan persen) responden menyatakan bahwa risiko operasional lebih penting daripada risiko pasar dan risiko kredit[5].

Manajemen operasional merupakan area dimana industri-industri, sektor-sektor yang penting, dan para kompetitor betul-betul berkemauan untuk membagi informasi dan ide-ide. Setiap industri, sebagai lembaga individu, untuk mencapai sukses memerlukan lingkungan dan ekonomi yang stabil. Salah satu faktor yang dapat mengganggu adalah kegagalan bank. Bila kegagalan itu ternyata adalah akibat dari kelemahan kontrol operasional, maka akibatnya adalah kepercayaan nasabah dan reputasi industri bisa hancur.

Adalah tidak mudah untuk menerapkan manajemen risiko dari nol. Untungnya ada model yang dapat dicontoh. Kelompok industri lain mempunyai metode pengelolaan risiko operasional yang sangat mapan, layak dan teruji.  Industri penerbangan, industri petrokimia dan industri militer adalah contoh eksponen-eksponen ahli dalam manajemen risiko operasional. Lembaga-lembaga keuangan dapat mengadopsi model ini untuk memenuhi kebutuhannya.

Beberapa terms yang sering digunakan dalam manajemen risiko operasional adalah sebagai berikut:

Hazard: kondisi yang potensial menyebabkan terjadinya kerugian atau kerusakan                           

Exposure: Sumber-sumber yang besar kemungkinannya diakibatkan oleh even yang sudah terjadi, lembur atau pengulangan kejadian yang sama.

Probability: kemungkinan bahwa suatu even akan terjadi.

Risk: kemungkinan kerugian dari hazard, diperhitungkan dari kemungkinan dan kehebatan kerugian selama periode tertentu.

Risk control: Tindakan yang dirancang untuk mengurangi risiko, seperti perubahan prosedur, perbaikan fasilitas, supervisi ekstra dan sebagainya.

Risk management: pengambilan keputusan yang rasional dalam keseluruhan proses penanganan risiko, termasuk risk assessment, sebagaimana tindakan untuk membangun dan menerapkan pilihan-pilihan kontrol risiko.

Gambling: pengambilan keputusan risiko tanpa assessment yang rasional atau prudent atau keterlibatan manajemen risiko.

Sebagai perbandingan, Angkatan Udara Amerika Serikat (US Air Force) menggunakan enam tahap proses yang jelas dan sederhana. Mereka berargumentasi bahwa lembaga atau organisasi lain yang menggunakan lima tahap proses, hanyalah mengkombinasikan dua dari enam tahap proses mereka. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:

(1)   Mengidentifikasi hazard

Mempertimbangkan semua aspek dari situasi saat ini dan yang akan datang, lingkungan dan masalah yang secara historis diketahui. Dalam mengidentifikasi hazard, pengalaman tidak dapat terlalu diandalkan. Ini adalah alat yang paling efektif yang tersedia. Pengidentifikasian hazard harus didekati secara bersama karena tidak seorangpun yang dapat melakukannya sendiri dengan sukses. “Pikirkanlah kesalahan yang dapat terjadi, sekecil apapun kemungkinannya”.

(2)   Menaksir risiko

Berdasarkan hasil identifikasi hazard, tahap berikutnya adalah menganalisis risiko yang terkait, bagaimana dan seberapa besar kemungkinannya. Angkatan Udara Amerika Serikat percaya, bahwa tahap ini adalah merupakan inti dari program manajemen risiko. Kesuksesan tahap ini tergantung pada kualitas analisa risiko dan biaya.

·         Apa hasil terbaik ?
·         Apa hasil yang paling mungkin ? dan
·         Bagaimana kemungkinannya masing-masing ?

Ketiga pertanyaan tersebut masing-masing harus mendapat perhatian yang cukup. Analisa dapat dilakukan secara kuantitatif ataupun secara kualitatif, tergantung pada situasi (waktu, biaya dan kapabilitas).

Konsep penting lainnya, adalah interaksi. Interaksi terjadi bila dua buah hazard atau lebih terjadi bersama-sama sekaligus. Misalnya situasi dimana pengawasan internal lemah terjadi pada ketidak-jujuran yang terjadi dalam suatu lingkungan. Pengalaman dan pikiran jernih merupakan jalan terbaik untuk menaksir interaksi secara konsisten.

(3)     Menganalisa kadar pengawasan risiko

Angkatan Udara Amerika Serikat menggunakan risk assessment matrix untuk membangun kadar pengawasan yang diperlukan. Matrix mengkombinasikan berat-ringannya beban risiko dan kemungkinan hazard sampai lima level. Level-level risiko atau taksiran risiko operasional ini menjelaskan semua dampak dari semua hazard yang terkait dengan operasi.

1)      Sangat tinggi (extremely high) : kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan operasi
2)      Tinggi (high) : kehilangan kemampuan untuk memenuhi persyaratan standar operasi
3)      Sedang (medium): turunnya kemampuan dalam pemenuhan persyaratan standar operasi
4)      Rendah (low): Tidak (sedikit) berdampak pada penyelesaian operasi
5)      Sangat rendah (residual risk): risiko tersisa setelah dilakukan usaha pengurangan risiko.

Level-level risiko yang diperoleh dari matrix yang digunakan itu adalah fleksibel dan bervariasi antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain, tergantung pada sifat dasar dari operasi dan kemauan perusahaan untuk menerima risiko. Hal ini harus diformulasikan dalam bentuk kebijakan tertulis oleh setiap bank. Walaupun demikian ada aturan yang keras dan cepat, yang harus diterapkan yaitu:

 bila tidak dapat mengontrol risiko – hindarkanlah !

Ada empat tahap dalam menganalisa kadar pengawasan risiko yaitu :

I.                    Membangun pengawasan risiko

Yaitu kadar pengawasan yang harus dibangun untuk mengeliminasi hazard dan mengurangi risiko. Begitu pengawasan risiko dibangun, maka risiko dievaluasi sampai risiko dapat dikurangi, sampai pada level dimana manfaatnya lebih banyak daripada biaya potensial.

II.                 Mengidentifikasi pengawasan risiko

Pembangunan pengawasan risiko diawali dengan pengambilan tingkat risiko yang ditentukan sebelumnya dan mengidentifikasi sebanyak mungkin pilihan pengawasan risiko yang mungkin diambil bagi semua hazard yang melampaui tingkat risiko yang bisa diterima.
     
III.               Menentukan efektifitas risiko

Setelah identifikasi pilihan pengawasan risiko, proses berikutnya adalah menentukan efek dari setiap pengawasan yang berkaitan dengan hazard.

IV.              Memilih pengawasan risiko

Pengawasan yang terbaik adalah yang konsisten dengan tujuan operasional dan penggunaan sumber daya yang tersedia secara optimal.
     
(4)     Membuat Keputusan Pengawasan Risiko

Keputusan pengelolaan risiko harus dibuat secara dini dalam tahap penyusunan perencanaan. Hal ini lebih mudah diintegrasikan dalam suatu operasi daripada mencoba menyelipkannya pada tahap akhir. Keputusan yang demikian dibuat setelah menganalisa secara hati-hati semua aspek operasi. Proses analisa tersebut harus logis melalui konsultasi dengan semua unsur atau pihak yang relevan.

Pada dasarnya tahap ini harus dilakukan oleh kelompok manajemen senior yang bertanggung jawab atas strategi pengelolaan risiko.

(5)     Menerapkan Pengawasan

Setelah keputusan diambil, tahap berikutnya adalah menerapkan pengawasan. Ini adalah tahap dimana manfaat dari persiapan dan pemikiran yang hati-hati menjadi jelas.

Dalam rangka mencapai kesuksesan dalam penerapan pengawasan, haruslah ditemukan kebutuhan mutlak untuk mendapatkan satu pendekatan menyeluruh terhadap risiko operasional, dan kebijakan umum harus dipertahankan dengan ketat untuk memastikan integritas.

Manajemen pada semua level harus diberikan wewenang untuk            mengkomunikasikan semua standar yang diperlukan kepada staf mereka dan kemudian menerapkannya dalam wilayah tanggung jawab mereka. Manajemen tidak boleh menganggap bahwa staf mereka tahu ataupun mengerti pengawasan yang ditentukan. Konsekuensinya, setiap pernyataan yang berhubungan dengan manajemen risiko harus jelas, praktis dan disosialisasikan.

(6)  Supervisi dan evaluasi

Setiap program manajemen risiko, baik risiko operasional, risiko pasar atau risiko kredit, harus secara berkesinambungan (continue) di-review dan di-update. Risiko operasional adalah dinamis dan terus-menerus berubah, lebih dari risiko pasar dan risiko kredit. Program tersebut tidak dapat hanya ditulis sebagai doktrin lalu dilupakan.

Adalah tanggung jawab manajemen untuk memastikan bahwa standar minimum telah diikuti dan standar maksimum dicapai semaksimal mungkin. Bila menemukan sesuatu yang tidak direncanakan, maka program tersebut harus diberhentikan dan dievaluasi.

Itulah proses yang telah dilakukan oleh Militer Amerika Serikat, dan dapat dipakai oleh tipe organisasi lain yang berbeda dalam menghadapi isu manajemen risiko operasional. Lembaga keuangan dapat belajar dari pengalaman mereka, dan pengalaman dari yang lain.

Dr. Paul Dorey dari Barclays Bank [6] menyatakan, bahwa manajemen risiko bukan hanya sekedar kemungkinan (probability), tetapi juga masalah informasi atau kekurangan informasi.

Mereka percaya[7], bahwa bagaimanapun proses dipilih untuk menerapkan strategi pengelolaan risiko, dimana ada tiga elemen yang merupakan kunci sukses penciptaan dan penerapannya, yaitu:

Budaya (culture)

Apakah Pengurus (the Board of Directors) dan manajemen senior dari lembaga keuangan menerima dan secara aktif memelihara  tanggung jawab dalam manajemen risiko.
Apakah mereka sebagai tim bekerja sama dan mendemonstrasikan penerimaan tanggung jawab itu.

Informasi

Apakah institusi keuangan telah memformulasikan prosedur untuk memperoleh informasi secara sentral, terkoordinir dan memungkinkan kelompok manajemen membuat keputusan-keputusan yang diketahui secara baik tentang bagaimana mereka mengelola risiko operasional.

Tindakan

Apakah keputusan-keputusan pengawasan diambil secara cepat dan secara meyakinkan, dan penerapannya diawasi dengan ketat dan tertib.

Tidak ada seorangpun dapat membantu menciptakan ketiga faktor tersebut. Hal ini harus diputuskan atau diciptakan oleh manajemen dari masing-masing institusi.

*****



[1] John Bitner dan Robert A Goddard,  Asset/Liability Management: A Guide To the Future Beyond GAP, (New York: John Wiley & Sons, 1992), p. 77.
[2] Ibid, p.46-47.
[3] Philip H Martin, “Operational Risk Management”, Speech, presented to the 4th Islamic Banking and Finance Forum, Bahrain, Desember 1997.
[4] Interview with Prince Muhammed Al Faisal intitled Banking on Ethics (Islamic Banker : Dec 96/Jan 97 edition), ibid.
[5] ibid.
[6] ibid.
[7] ibid.

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id