Jumat, 10 Oktober 2014

Epistemologi Ekonomi Islam (Telaah Singkat Pengaruh Positivisme Terhadap Ekonomi Islam)



Tulisan ini telah terbit pada Jurnal Ekosiana Jurnal Ekonomi Syariah
Program Studi Ekonomi Syariah STAI An Najah Surabaya
Volume 1 Nomor 1 Maret 2014. Hal. 27-41. ISSN: 2730-02


Abstract
The entire scientific disciplines must be built upon a foundation of epistemological. Epistemology is the branch of philosophy that discusses in depth the whole process of obtaining knowledge. In this paper will describe how the flow of positivism influence on Islamic economic studies that have been developed. This study will start from the description of several streams in the philosophy of science, positivism influence on Islamic economics and the future course of action in an effort that led to a paradigmatic change in addressing the practical teachings of the Islamic economic system.

Keywords: epistemology, positivism, Islamic economics

Abstrak
Seluruh disiplin ilmu pengetahuan ilmiah mesti dibangun atas landasan epistemologis. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas secara mendalam segenap proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana pengaruh aliran positivisme terhadap kajian ekonomi Islam yang selama ini berkembang. Kajian ini akan dimulai dari uraian atas beberapa aliran dalam filsafat ilmu, pengaruh positivisme terhadap ekonomi islam dan arah tindakan masa depan dalam usaha yang berujung pada perubahan paradigmatik dalam menyikapi ajaran praktis sistem ekonomi Islam.

Kata kunci: Epistemologi, positivisme, ekonomi Islam

A.                 Pendahuluan
Seluruh disiplin ilmu pengetahuan ilmiah mestilah dibangun atas landasan epistemologis. Hal ini berarti bahwa sebuah ilmu, akan dapat dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu jika ia telah memenuhi syarat-syarat ilmiah (scientific). Salah satu syarat dalam kajian filsafat adalah epistemologi. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas secara mendalam segenap proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dalam studi ini dicari rumusan-rumusan untuk memecahkan pertanyaan-pertanyaan mendasar menyangkut ilmu pengetahuan.[1]
Epistemologi pada hakikatnya membahas tentang filsafat pengetahuan yang terkait dengan asal-usul (sumber) pengetahuan, bagaimana memperoleh pengetahuan tersebut (metodologi) dan kesahihan (validitas) pengetahuan tersebut. Ilmu ekonomi Islam (Islamic economics) sebagai sebuah disiplin ilmu, jelas memiliki landasan epistemologis. Membahas epistemologi ekonomi Islam berarti mengkaji asal-usul (sumber) ekonomi Islam, metodologinya dan validitasnya secara ilmiah. Pengertian epistemologi Secara etimologi, epistemologi berasal dari kata Yunani episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan. Jadi epistemology berarti studi atau penelitian tentang pengetahuan.
Secara terminology, epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods, and validity of knowledge. Dengan demikian, epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan.[2]
Epistemologi ini pada umumnya disebut filsafat pengetahuan. Dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh JF Ferrier pada tahun 1854 Dalam pengertian terminologis ini, Miska Muhammad Amin, mengatakan bahwa epistemologi terkait dengan masalah-masalah yang meliputi: a) filsafat, yaitu sebagai cabang filsafat yang berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan, b) metoda, sebagai metoda, bertujuan mengantar manusia untuk memperoleh pengetahuan, dan c) sistem, sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.[3]
Jika ontology merupakan pengkajian mengenai teori yang sudah ada, maka epistemology merupakan upaya untuk menyusun teori yang baru, dan jika kita masih berkehendak untuk mengislamkan ilmu pengetahuan, maka prosesontologilah yang membantunya, atau dengan memperbaiki ilmu pengetahuan dari awal hingga akhir. Namun jika yang dilakukan adalah mengislamkan ilmu pengetahuan terhadap ilmu yang sudah ada maka kita cukup untuk menentukan yang baik dan layak menurut Islam atau tidak.[4]
Dengan demikian dalam pembahasan kali ini, setelah sedikit di atas diuraikan menyangkut epistemology, maka disini kita akan melihat bagaimana pengaruh aliran positivism terhadap kajian ekonomi Islam yang selama ini berkembang.

B.                 Aliran Filsafat Ilmu
Dalam tradisi keilmuan Barat setidaknya ada 3 aliran besar filsafat ilmu yang sangat berpengaruh, yaitu, empirisme,[5] rasionalisme[6] dan positivisme.[7] Di era modern empirisme dikembangkan pada zaman Renaisans dengan tokoh utamanya Francis Bacon (1561-1626). Filsafat Bacon ini mempunyai peran penting dalam metode induksi dan sistematisasi prosedur ilmiah, bersifat praktis dan empiris. Aliran ini memberi kekuasaan pada manusia atas alam melalui penyelidikan ilmiah secara empiris.
Sedangkan aliran rasionalisme menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia menurut aliran ini yakni memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek. Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme, adalah kelemahan alat indera yang terbatas. Kelemahan itu dapat dikoreksi seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan, pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi untuk sampainya manusia kepada kebenaran diperlukan akal Laporan indera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas, belum sistimatis atau masih chaos. Bahan pengalaman inderawi harus dipertimbangkan oleh akal. Akal mengatur dan mensistimatoisasi pengalaman itu secara logis sehingga terbentuklah pengetahuan.
Aliran positivisme ini dikemukankan oleh August Comte (1798-1857). Sebagai sebuah metode ia berpangkal dari gejala yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan berbagai persoalan di luar fakta. Karena itu Ia menolak metafisika dan agama. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan, positivisme terbatas pada gejala-gejala empiris saja.[8]
Sementara itu, terdapat beberapa perbedaan antara Filsafat Pengetahuan Islam (Epistemologi Islam) dengan epistemologi pada umumnya. Yang pada garis besarnya, perbedaan itu terletak pada masalah yang bersangkutan dengan sumber pengetahuan, dalam Islam sumber pengetahuqn, yakni wahyu dan ilham. Sedangkan masalah kebenaran epistemologi pada umumnya (Barat) menganggap kebenaran hanya berpusat pada manusia sebagai makhluk mandiri yang menentukan kebenaran. Epistemologi Islam membicarakan pandangan para pemikir Islam tentang pengetahuan, dimana manusia tidak lain hanya sebagai khalifah Allah, sebagai makhluk pencari kebenaran. Manusia tergantung kepada Allah sebagai pemberi kebenaran. Misalnya menurut pandangan Syed Nawab Haider Naqvi, ada empat aksioma etika yang mempengaruhi ilmu ekonomi Islam, yaitu tauhid, keadilan, kebebasan dan tanggung jawab.[9] Pengaruh asumsi dan pandangan yang dipakai dalam penelitian ekonomi Islam harus terbukti faktual, karena berbagai dimensi manusia adalah kenyataan faktual.
Epistemologi di dalam Islam tidak berpusat kepada manusia yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri dan menentukan segala-galanya, melainkan berpusat kepada Allah, sehingga berhasil atau tidaknya tergantung setiap usaha manusia, kepada iradat Allah. Epistemologi Islam mengambil titik tolak Islam sebagai subjek untuk membicarakan filsafat pengetahuan, maka di satu pihak epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Di lain pihak, epistemologi Islam berpusat pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran). Di sini manusia berfungsi subyek yang mencari kebenaran. Manusia sebagai khalifah Allah berikhtiar untuk memperoleh pengetahuan sekaligus memberi interpretasinya. Dalam Islam, manusia memiliki pengetahuan, dan mencari pengetahuan itu sendiri sebagai suatu kemuliaan.

C.                 Pengaruh Positivisme Terhadap Ekonomi Islam
Penelitian-penelitian dalam bidang sosial, terutama bidang ekonomi selama ini lebih banyak menggunakan pendekatan positivistik kuantitatif.[10] Sebagian besar peneliti ekonomi beranggapan bahwa pendekatan ini dianggap lebih canggih, lebih baik dibandingkan dengan pendekatan kualitatif. Sehingga mereka beranggapan bahwa penelitian dengan pendekatan kualitatif tidak obyektif dan diragukan kebenarannya.
Adalah Auguste Comte pihak yang bertanggungjawab di sini.  Comte memberi kita visi tentang idealitas keilmuwan, tentang ilusi keagungan penerapan prosedur eksperimen dalam penyelidikan sosial, tentang pentingnya “memajukan” masyarakat untuk lepas dari belenggu pemikiran teologis serta metafisis menuju masyarakat positif yang “ilmiah”. Ironisnya, pandangan ini telah menjadi satu-satunya norma ilmiah -sebuah norma yang tanpa pernah dipertanyakan, telah menjadi tradisi untuk mengklaim diri paling ilmiah dan yang lain sebagai tidak ilmiah. Atas visi yang keblalasan tersebut, cabang ilmu yang pada awalnya murni logika, misalnya ekonomi dan ilmu sosial, telah ikut-ikutan mengadopsi visi filosofis Comte. Setiap pernyataan atau proposisi, menurut klaim positivis, tidak akan pernah dapat dibuktikan kebenarannya apabila tidak melalui prosedur eksperimen yang empiris.
Positivisme dalam ranah epistemologi mensyaratkan bahwa ilmu tindakan manusia harus menerapkan prosedur yang sama seperti yang dilakukan dalam ilmu alam. Bagi Comte, masyarakat positif dikatakan dapat berhasil secara ilmiah ketika para ilmuwan telah meninggalkan sesuatu yang a priori. Metode yang paling tepat, menurut Comte, ialah pencarian hukum-hukum ilmu sosial melalui eksperimen. Baginya hanya metode eksperimenlah yang dapat mendekatkan kita pada objek observasional. Prasyarat kedua, menurut Comte, dalam menuju masyarakat positif adalah dengan menggantikan pendidikan teologi, metafisika dan sastra dengan pendidikan filsafat positif. Comte mengartikan pendidikan positif sebagai ajaran yang mendidik masyarakat agar persepsinya dapat sesuai dengan objek factual -dengan kata lain gagasan-gagasan abstrak serta fiksi seharusnya ditiadakan. Dengan demikian ajaran-ajaran teologis, metafisik dan sastra merupakan ajaran yang tidak sesuai dengan objek faktual. Jadi keberadaan mereka perlu digantikan dengan ilmu-ilmu alamiah,[11] atau dengan kata lain hal-hal yang bukan fakta non-metafisis tidak bermakna apa-apa. Masyarakat ilmiah dalam menelaah ilmu sedapat mungkin harus mampu mengombinasikan beberapa sudut pandang cabang ilmu. Bagi Comte kombinasi dalam berperspektif sangatlah penting. Akhirnya Comte beranggapan bahwa untuk mengatasi krisis masyarakat, hanya pandangan filsafat positivisme-lah yang mampu mengatasi krisis sosial. Dengan filsafat positif anarkisme intelektual, yang biasanya melewati jalan rumit untuk diperdebatkan dalam mencari kebenaran, harus dilenyapkan.[12]
Tujuan utama ilmuwan yang berpandangan positivis ialah mencari keteraturan dari sebuah fenomena dengan menggunakan statistik. Alasannya adalah hanya dengan statistik yang dapat menguji fenomena sosial layaknya pengujian ilmu alam.[13] Bagi kaum positivis, sebuah teori yang tidak dapat diverifikasi atau difalsifikasi oleh pengalaman empiris -yang biasanya melalui data statistic- tidak akan dapat dianggap sahih. Bahkan sebuah pernyataan tanpa dukungan analisa statistik tidak bisa disebut “ilmiah”. Tegasnya, positivisme berpandangan bahwa ilmu merupakan satu-satunya pengetahuan yang valid dan fakta-fakta sajalah yang mungkin menjadi objek pengetahuan. Apa yang ada dibalik fakta ditolak.[14]
Dengan prosedur induktif, para ahli ilmu sosial berharap akan menemukan hukum-hukum sosial seperti layaknya hukum fisika, sehingga penggunaan prosedur yang kaku, dengan berbagai varian metodologi kuantitatifnya, telah berhasil membuat sebagian besar akademisi kita sudah merasa “paling ilmiah”. Doktrin tersebut, tidak dapat dipungkiri, menyiratkan pandangan yang kacau. Statistik tidak menggambarkan keteraturan. Dia hanya sebuah kumpulan kejadian-kejadian yang beragam, yang kemudian direduksikan menjadi angka-angka. Dengan demikian, kejadian-kejadian tersebut bukanlah sebuah variabel yang dapat dipastikan akan mempengaruhi kejadian di masa depan. Fenomena yang telah direduksi ke dalam angka statistik adalah fenomena masa lalu dan merupakan sejarah masa lalu, sehingga sangat musykil untuk membangun teori dari data statistik.[15]
Dalam bidang ekonomi misalnya dapat diambil contoh bahwa tiga ekonom yang tulisannya sebagian besar mencerminkan pengaruh dari positivisme adalah T.W. Hutchison, Paul Samuelson dan Milton Friedman. Pada tahun 1938 buku yang berjudul: The Significance and Basic Postulates of Economic Theory yang ditulis oleh Hutchison menyerang pendapat tentang pemilihan berdasarkan logika murni, suatu doktrin yang dipertahankan oleh Lionel Robinson enam tahun sebelumnya dalam bukunya The Nature and Significance of Economics Science. Lebih dari 50 tahun Hutchinson[16] melanjutkan kritikannnya terhadap ilmu ekonomi yang berdasarkan pada landasan yang tidak dapat diuji. Target kritikan tersebut mulai dari apriori yang dikembangkan oleh Ludwig von Mises sampai pada penggunaan model matematika tentang teori keseimbangan umum. Pada bab pendahuluan dalam bukunya yang berjudul: Foundation of Economic Analysis, Samuelson mengambil dari karya ahli fisika, Percy Bridgman, mendesak para ekonom mencari teorema yang secara operasional bermanfaat. Pendekatan revealed preference dari Samuelson pada teori permintaan telah menempatkan teori konsumen pada basis yang dapat diobservasi. Akhirnya, Friedman[17] pada tahun 1953 dalam bukunya yang berjudul: The Methodology of Positive Economics memberikan argumentasi yang populer yaitu realitas asumsi suatu teori tidak relevan, apa yang diperhitungkan dalam pengkajian suatu teori adalah cukup untuk membuat prediksi dan sederhana. Melalui ciri khasnya, Friedman diakui sebagai pelopor penggunaan metodologi instrumental (yang banyak dipengaruhi oleh pandangan pragmatis Amerika dari pada positivisme), metodologi ini akhirnya disinonimkan dengan positivisme pada periode tahun 1950 sampai tahun 1960[18]
Dengan demikian, ilmu ekonomi telah mengklaim bahwa ia telah mampu menemukan “hukum-hukum alam” yang mengatur aktivitas perekonomian dan distribusi produk-produk sosial, serta memperlihatkan bahwa campur tangan terhadap hukum-hukum ini akan menyebabkan terjadinya “chaos” dan “disequilibrium”. Ilmu ekonomi dengan demikian merupakan sintesa eklektik dari proporsisi-proporsisi moral tertentu yang berasal dari ajaran-ajaran Berkeley, David Hume, Hegel dan Bentham. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu ekonomi Islam juga adalah cabang dari ekonomi neoklasik. Ia mencari fungsi utilitas individu pada basisi interpretasi Islam dari filsafat utilitarian, metodologinya juga disusun dari kerangka analisis makro-mikro yang dikembangkan Stigler, Friedman, Keynes dan Klein. Ekonomi Islam dengan demikian membangun suatu gambaran ideal mengenai suatu ekonomi, dimana individu-individu, perusahaan-perusahaan dan pemerintah harus menjadi “Islamis”.[19]
Tidak terkecuali dalam upaya pengembangan metodologi ekonomi Islam, ekonom Muslim di Indonesia dalam memformulasikan metodologi ekonomi Islam secara massif menggunakan logika positivisme. Seakan-akan nilai-nilai ekonomi dalam Islam menjadi tidak ilmiah bila tidak didukung oleh pendekatan kuantitatif-nomotetik -sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Memang ada nilai plus dari usaha penggabungan itu. Namun hal ini seakan dipaksakan dan sisi gelapnya adalah, para ekonom Muslim tersebut dalam perumusannya malah masuk pada ranah yang tidak bisa disentuh oleh logika positivisme,[20] maupun ilmu sosial, -sebagaimana hal ini telah banyak mendapat kritik sebelumnya. Namun demikian, penekanan pada logika positivisme ini bisa saja dilakukan, dengan catatan terdapat pengelompokan dalam lapangan kajian ekonomi Islam misalnya menyangkut mana yang dapat diukur dan dikembangkan dengan menggunakan logika positivism semisal dengan teori-teori matematik, fisika, statistic dan ekonometrik, dan mana yang tidak, misalnya menyangkut nilai-nilai.
Misalnya dalam hal mencapai falah (kebahagiaan dunia dan akhirat) yang diarahkan untuk mencukupi lima jenis (Maqasid al‑Syari'ah: agama, jiwa, akal, ketur­unan dan harta) kebutuhan guna menghasilkan mashlahah (kemaslahatan) yang diukur dengan: (1) mashlahah yang lebih besar lebih disukai daripada yang lebih sedikit; (2) mashlahah diupayakan terus meningkat sepanjang waktu, disamping berkah atau barakah (keberuntungan yang bersifat spiritual). Pengartian seperti ini, sebenarnya sah-sah saja, akan tetapi hal ini akan menjadi pertanyaan manakala mengukur dan mereduksi kedua indikator ini hanya berdasar pada logika positivis dan dapat diuji saja, tanpa mempertimbangkan kekayaan khazanah teori dan metode pemikiran Islam. Pertanyaannya selanjutnya yang muncul, adalah reduksi pemaknaan yang ditimbulkannya, karena hal ini juga menyangkut penilaian. Padahal untuk hal ini Chapra[21] telah mewanti-wanti bahwa meskipun pencarian hubungan antara sebab akibat adalah penting guna memungkinkan kita untuk menjelaskan dan memprediksikan, namun terdapat rambu-rambu yang harus diingat yakni, manusia sangat tergantung pada keterbatasan-keterbatasan dan tidak dapat menjelaskan atau memperidiksikan segala sesuatu. Kita mungkin hanya mengetahui satu “bagian hubungan yang diarahkan lampu senter ditengah hutan yang gelap”. Dan terdapat begitu banyak fenomena didalam kehidupan sosial, ekonomi dan keagamaan yang tidak dapat kita jelaskan jika kita bersikeras mengenai analisis empiris. Kedua, kaum Muslim secara intrinsik meyakini jauh kemungkinan terjadinya konflik antara pengamatan empiris dan proposisi yang termaktub dalam nash. Setiap konflik yang nyata mungkin berasal dari kesalahan penafsiran proposisi atau bukti, atau implementasi yang tidak efektif, atau kesalahan pengamatan.
Misalnya dalam pengukuran mashlahah bagi konsumen yakni dengan ukuran semakin tinggi frekuensi kegiatan yang ber-mashlahah, maka semakin besar pula berkah yang akan diterima oleh pelaku konsumsi dan mashlahah yang diterima tersebut merupakan perkalian antara pahala dan frekuensi kegiatan tersebut. Demikian halnya dengan berkah yang diterima oleh konsumen tergantung pada frekuensi konsumsinya, yakni semakin banyak barang/jasa halal-tayyib yang dikonsumsi, maka akan semakin besar pula berkah yang akan diterima. Selain itu, berkah bagi konsumen ini juga akan berhubungan secara langsung dengan besarnya manfaat dari barang/jasa yang dikonsumsi[22]
Jika acuan hukum yang digunakan adalah maslahat manfaat, pertanyaan yang akan segera muncul adalah, bagaimana "maslahat, atau manfat" itu dapat didefinisikan, dan siapa punya otoritas untuk mendefinisikannya. Tidak syak lagi, pertan­yaan ini sangat penting dan menentukan. Gagal menjawab pertanyaan ini, akan kembali berimplikasi untuk memperkata­kan bahwa maslahat‑manfaat sebagai tujuan syari’at (hukum), telah dijadikan tujuan bagi dirinya sendiri. Maslahat manfaat hanya jargon kosong belaka.[23]
Disamping itu, jika konsep-konsep etika religious dalam Islam seperti halnya berkah, pahala dan dosa dikuantivikasi bagaimana kita akan menentukan secara kuantitatif seberapa besar perolehan yang dicapai, lalu bagaimana pula menjelaskan analisis konsep-konsep pokok yang mendasari etika religious tersebut?[24] Padahal pencapaian maksimum dalam konsep-konsep etika riligius tidak berarti selamanya dianggap sebagai sesuatu yang patut dan layak karena “….boleh jadi kamu menganggap sesuatu itu baik bagi kamu, padahal tidak demikian disisi Allah…..” dan menurut hadis bahwa “……yang baik dan bermanfaat adalah yang sedikit dan secara istiqomah dilakukan…..”
Penafsiran reduktif inilah yang beranggapan bahwa pemaknaan-pemaknaan etika religius dapat dipotong sekecil-kecilnya hingga hingga menjadi atom, yang pada akhirnya kemaslahatan dan keberkahan akan dilihat dari hal-hal yang dapat diindera, selanjutnya etika dan religius keberagamaan akan dinilai dari jenggot dan busana, sehingga “muslim yang baik” “ekonomi yang berkah dan maslahat” bukan saja berkewajiban memelihara jenggot, tetapi juga bentuk dan panjangnya harus disesuaikan dengan Nabi! Nilai-nilai etika religious direduksi menjadi tanda dan symbol, semangat perilakunya, dimensi moral dan etis, keberkahan dan kemaslahatan dan prinsip-prinsip umum yang dianjurkan, semua terserap kedalam logika reduksi yang absurd.[25]
Karena Berdasarkan cakupan dan implikasinya, ulama ushul fiqih membagi maslahat menjadi dua, yaitu[26] al-maslahah al-’ammah dan al-maslahah al-khossoh. Yang pertama adalah maslahat yang berimplikasi pada orang banyak, dalam hal ini, otoritas yang berhak memberikan peni­laian yang dan sekaligus menerima manfaatnya tidak lain adalah orang banyak yang bersangkutan, melalui mekanisme syura untuk mencapai kesepakatan (ijma'). Jadi, apa yang disepaka­ti oleh orang banyak dari proses pendefinisian maslahat melalui musyawarah itulah manfaat yang sebenarnya. Kesepakatan orang banyak, di mana kita merupakan bagian daripadanya, itulah manfaat tertinggi yang mengikat. Sementara yang kedua berakibat hanya pada kebaikan pribadi atau golongan saja. Dalam maslahat kategori ini, karena sifatnya yang sangat subyektif, yang berhak menentukan dan sekaligus penerima manfaatnya tentu saja adalah pribadi bersangkutan. Tidak ada kekuatan kolektif mana pun yang berhak menentukan apa yang secara personal‑subyektif dianggap maslahat oleh seseorang.
Kalau dipertanyakan kedudukan hukum atau ketentuan‑ketentuan legal‑normatif yang ditawarkan oleh wahyu (teks al-Quran atau hadis), kedudukannya adalah sebagai materi­al yang ‑juga dengan logika maslahat sosial yang obyek­tif, bukan dengan logika kekuatan atau kepercayaan yang subyektif‑ masih harus dibawa untuk ditentukan statusnya ke dalam lembaga permusyawaratan. Apabila kita berhasil memba­wanya sebagai bagian dari kesepakatan orang banyak, ia berfungsi sebagai hukum yang secara formal‑positif mengikat. Akan tetapi, apabila gagal memperjuangkannya sebagai kesepa­katan, daya ikatnya tentu saja hanya terbatas pada orang‑orang yang mempercayainya. Dan daya ikat seperti ini paling jauh hanya bersifat moral‑subyektif, tidak bisa sekaligus formal‑obyektif.
Al-Syatibi, berdasarkan segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, membagi mashlahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu al-daruriyat, al-hajiyat dan al-tahsiniyat. Mashlahat menurutnya, tidak jauh berbeda dengan apa yang dirumuskan oleh al-Ghazali, yaitu memelihara lima hal pokok berupa agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Segala bentuk upaya untuk memelihara kelima macam ini dipandang sebagai maslahat, dan merusaknya adalah mafsadat.[27] Daruriyat adalah kemaslahatan esensial bagi kehidupan manusia dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan itu sendiri, baik dunia maupun akhirat. Dengan kata lain jika daruriyat ini tidak terwujud, niscaya kehidupan manusia akan punah. Daruriyat ini mencakup pemeliharaan lima unsure pokok dalam kehidupan, yakni yakni agama/keyakinan, jiwa, akal, keturunan dan harta. Contoh untuk penunaian aspek ini misalnya menunaikan rukun Islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri yang masing-masing merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta[28] Di sisi lain, hajiyyat merupakan segala hal yang menjadi kebutuhan primer manusia agar hidup manusia bahagian dan sejahtera dunia dan akhirat, serta terhindar dari berbagai kesengsaraan. Jika kebutuhan ini tidak tertunaikan, manusia akan mengalami kesulitan (masyaqqah) meski tidak sampai menyebabkan kepunahan[29] Tingkatan terakhir adalah tahsiniyyat yakni berupa kebutuhan hidup komplementer-sekunder untuk menyempurnakan kesejahteraan hidup manuisa. Jika kemaslahatan tahsiniyyat ini tidak dipenuhi, maka kemaslahatan hidup manusia kurang sempurna dan kurang nikmat meski tidak menyebabkan kesengsaraan dan kebinasaan hidup. Contoh jenis maqashid  ini adalah antara lain mencakup kehalusan dalam berbicara dan bertindak serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.
Sebenarnya maslahah atau ‑dalam ungkapan yang lebih operasional‑ adalah "keadilan sosial” dapat kita artikan sebagai mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syarak. Disini ditegaskan bahwa ia harus sesuai dengan tujuan-tujuan syarak, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Hal ini disebabkan karena tujuan-tujuan manusia tidak selamanya sesuai dengan tujuan syarak, pendapat ini misalnya diuraikan oleh al-Ghazali[30]
Ungkapan al-Ghazali ini memberikan isyarat bahwa ada dua bentuk kemaslahatan, yaitu kemasalahatan menurut manusia dan kemaslahatan menurut syari’at. Kemasalahatan menurut manusia ukurannya adalah akal dan perasaan, sedangkan kemaslahatan menurut syari’at ukuranya adalah wahyu. Memelihara tujuan syari’at yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan memelihara harta. Dengan kata lain, upaya menambil manfaat atau menolak kemudaratan yang semata-mata demi kepentingan duniawi manusia tanpa mempertimbangkan kesesuaian dengan tujuan syara’, apalagi bertentangan dengannya, tidak dapat disebut segbagai al-maslahah, tetapi sebaliknya itu merupakan mafsadah.
Kemudian dari formulasi di atas, jika berkah yang diterima oleh konsumen tergantung pada frekuensi konsumsinya, yakni semakin banyak barang/jasa halal-tayyib yang dikonsumsi, maka akan semakin besar pula berkah yang akan diterima maka hal ini akan berarti mafsadah bagi mereka yang kekurangan yakni para fakir dan miskin, karena jangankan untuk tingkat frekuensi yang tinggi, jenis produk dengan label halal pun akan sangat sulit bagi mereka untuk dikonsumsi. Untuk itulah disini patut untuk di cermati bahwa maslahat juga perlu dipandang dari sisi keumumannya dan kekhususannya. Bisa saja dianggap maslahat bagi orang-orang elit dan menjadi mafsadat bagi orang-orang awam.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa definisi maslahat,[31] sangat beragam dan dapat mengarah pada adanya kontradiksi antar kemaslahatan. Ada kemaslahatan yang kita yakini dan anggap benar, namun dalam perjalanannya justru menyingkirkan kemaslahatan lain, atau malah terjerumus dalam mafsadat. Dalam kondisi inilah semua orang harus meletakkan ragam pendapat tersebut pada porsinya masing-masing, kemudian dianalisis dari segala sudut pandang. Baru akan diketahui maslahat yang harus didahulukan dan maslahat yang diakhirkan. Proses inilah yang akan mengantarkan pada maslahat yang benar.
Sebenarnya, konsep mashlahah yang dibingkai oleh teori maqasid al‑Syari'ah dapat dijadikan sebagai metode dalam membaca berbagai fenomena perekonomian, tanpa harus terjebak dalam logika positivistik dan bersikeras dengan melakukan degradasi konsep yakni misalnya dengan mengaitkannya dengan tujuan yang didampingi oleh tujuan sekunder dan tujuan tertier berdasarkan estetika dan kemampuan lokal. Misalnya dalam hal menyelamatkan harta, Islam mengharuskan orang mengetahui ilmu bela harta. Demi kelancaran proses tujuan primer ini, dibutuhkan fasilitas bela harta, misalnya bank sebagai tempat penyimpanan uang. Tanpa bank, penyimpanan uang tetap bisa dilakukan misalnya di bawah tilam, di dalam celengan atau dikubur disuatu tempat. Namun demikian, kehadiran lembaga keuangan dalam hal ini perbankan syariah sangat membantu pemilik dari banyak kemungkinan yang akan mengganggu, baik itu perampok, maling atau bahaya lain semisal kebakaran. Pada tahap tertier, pilihan untuk menentukan bank syariah mana diserahkan kepada kemantapan dan kemampuan lokal. Mungkin sebagian orang akan memilih bank syariah milik pemerintah, dengan alas an keamana yang lebih terjamin. Dan mungkin sebagian lainnya akan menjatuhkan pilihan pada bank syariah yang lain, dengan alasan gengsi, jarak yang jauh atau yang lain. Sedangkan pengharusan penempatan uang di tempat tertentu akan menimbulkan mafsadat yakni terbunuhnya spesialisasi dan lapangan kerja perbankan. Jika dalam melaksanakan kewajiban menyelamatkan, yang disertai dengan niat yang ikhlas demi ketaatan kepada allah, ini orang meninggal dunia karena mempertahankan hartanya dari serangan orang lain, maka ia adalah seorang syuhada’.[32] 
Penempatan konsep mashlahah sebagai metode ini, juga didasarkan atas prinsip kepasangan, sehingga dikenal prinsip tidak ada maslahah (kebaikan, rahmat, manfaat) tanpa mafsadat (keburukan, fitnah), sebaliknya tidak ada mafsadat tanpa mashlahah. Prinsip ini berasumsi bahwa tujuan (hukum) Islam (dalam bingkai mashlahah) disamping bersifat ilahi juga wad’I (manusiawi), absolute tetapi juga relative, universal juga sekaligus local, abadi sekaligus sementara, harfiah sekaligus maknawiyah.[33] Disinilah dapat dimengerti mengapa (hukum) Islam bergerak antara lima dasar yakni halal, haram, mubah, makruh dan sunnah karena implikasi membawa kita untuk lebih memahami konsep-konsep tersebut secara kualitatif-multikulturalis-profetik.
Ini bukan berarti metode positivistik-degradatif harus ditinggalkan. Yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu sosial. Hal ini perlu dilakukan, agar pemahaman terhadap ilmu ekonomi Islam benar-benar sesuai dengan konteksnya, baik konteks sejarah pemikiran Islam masa lalau maupun kondisi perekonomian umat Islam kontemporer. Pengintegrasian berbagai macam keilmuan (eksak maupun sosial) dalam kajian ekonomi Islam, jika dilakukan dengans serius dan tepat, justru akan menciptakan suatu sinergi ilmiah yang akan berguna untuk memecahkan problem metodologi dan pengembangan system ekonomi Islam, tetapi dengan tetap tidak keluar dari kaidah rancang bangun keilmuan yang Islami.
Alternative lain terhadap pendekatan realis‑posi­tivis ini yakni suatu pendekatan yang lebih memadai untuk memahami agama adalah pende­katan transformatif; suatu pendekatan yang memandang peruba­han (change) sebagai sarana untuk mencapai cita kebaikan kualitatif yang bermuara pada cita kebaikan mutlak ‑dalam bahasa agama disebut Tuhan. Pendekatan ini diusulkan bukan karena agama (yang mana saja) tidak pernah datang sekadar untuk membenarkan apa yang tengah menjadi "nyata" dalam kehidupan manusia, melainkan ‑sebagaimana terbukti dalam sejarah‑ agama selalu datang dengan gugatan‑gugatan yang mendasar mengenai makna dari "apa yang tengah menjadi kenya­taan" itu. Kalau tidak, kalau agama datang dengan semangat membe­narkan apa yang ada seperti yang dipersepsikan oleh kaum realis, agama memang hanya berfungsi sebagai sistem legiti­masi yang tidak memiliki prinsipnya sendiri dan jika benar begitu, kisah kesulitan setiap rasul dalam berhadapan dengan "unsur pembentuk dan pembela realitas" (yakni kelompok elit penguasa) menjadi aneh dan sungguh tidak perlu. Karenanya pendekatan transformatif mengemuka sebagai suatu pendekatan alternatif dari pendekatan realis-positivistik. Esensi kemaslahatan dalam syarak  bukan hanya berfungsi sekadar sistem legitimasi melainkan sebagai pemenuhan  terhadap sesuatu yang mendasar  mengenai makna dari apa yang tengah terjadi.[34]
Jalan lain yang ditawarkan Sardar dalam menuju apresiasi yang segar dan kontemporer terhadap Islam mensyaratkan keberanian untuk menghadapi bencana metafisik dan beralih dari reduksi menuju sintesis. Hal ini mengharuskan umat Islam untuk berani menghadapi gagasan absurd dan dengan gerakan sintesis mereka dituntut untuk bergerak maju menuju makna dan pesan utama Islam -sebagai cara pandang moral dan etis dan cara membentuk dunia, sebagai ranah budaya kewargaan- sebagai sebuah dukungan partisipatoris dan sebagai sistem pengetahuan dan perilaku serta tindakan yang holistik.[35]
Disamping itu, pemahaman syariat secara kontekstual dengan memperhatiakn keseluruhan proses yang terkait dengan perwujudan mashlahah juga merupakan salah satu dari rangkaian ijtihad. Sedangkan untuk ini, diperlukan kemampuan membaca berbagai perkembangan soaial disamping perwujudan untuk mencapai mashlahah setinggi-tingginya. Kemampuan demikian memang tidak perlu dirumuskan secara kuantifikasi. Namun dalam konteks pengembangan, semua pengkaji system ekonomi Islam, selayaknya peduali dengan berbagai aspek kemaslahatan. Dan membahas tentang kemashlahtan dalam perspektif ekonomi Islam berarti membahas mengenai hal-hal yang bersifat kontekstual.
Dan jika mayoritas kalangan ekonom akademik saat ini masih berkutat melalui asumsi-asumsi positivistik, maka tidak ada cara lain kecuali mengkaji ulang asumsi-asumsi tersebut, permasalahan tentang apakah suatu bidang ilmu bisa dikatakan ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah terletak pada penggunaan model matematis dan analisis statistik yang canggih maupun yang tidak canggih. Tapi pada kesesuaian asumsi-asumsi dalam epistemologisnya dalam melihat objek material ilmu tersebut -yang tentunya dalam ilmu-ilmu sosial berbeda jauh dengan asumsi epistemologis ilmu alam. Karena itulah maka pemahaman terhadap basis ‘nilai’ manusia menjadi sangat penting. Sebuah penilaian manusia tidak dapat direduksi ke dalam sesuatu yang cardinal. Penilaian manusia akan selalu berbentuk ordinal. Sebuah nilai tidak akan dapat direduksi ke dalam agregrat-agregat melalui bahasa matematis dan juga statistik.  Tetapi sebaliknya, nilai adalah sebuah prioritas. Dia tidak dapat menjadi A sekaligus dalam waktu yang sama menjadi B. Manusia akan selalu dibatasi untuk memilih -melalui penilaiannya- prioritas antara A atau B, ataupun memprioritaskan B daripada A.
Dalam ranah ini maka mempelajari epistemologi ilmu ekonomi akan menjadi penting bagi para ekonom dan para ahli ilmu sosial. Artinya, filsafat ilmu bukanlah sekedar digunakan dalam ilmu-ilmu alam, seperti fisika atau matematika. Lebih dari itu, filsafat ilmu juga sangat berguna sebagai sebuah pengujian terhadap pemikiran materi-materi metodologis. Namun cara kerja epistemologi bidang kajian ilmu manusia berbeda dari fisika atau matematika. Dia beroperasi berdasarkan hukum-hukum logika tindakan. Walaupun preposisi apriori matematis berbeda dengan preposisi apriori dalam logika tindakan, keduanya mengkarakteristikan hal yang sama, bahwa kedua proposisi apriorinya tidak mungkin lagi di analisis menjadi lebih kecil lagi. Artinya, dia menjadi batas akal/rasio dalam bekerja.  Proposisi apriori matematis seperti; +, -, /, x adalah kaidah-kaidah yang membatasi hukum-hukum berfikir tentang realitas (yang dalam hal ini bukan ranah tindakan), yang apabila diuji secara empiris akan membawa pada kesimpulan yang sahih—dengan syarat tidak terjadi kesalahan logis dalam pendeduksiannya. Dengan demikian, dia sahih baik secara apriori maupun riil. Demikian halnya dalam logika tindakan. Kaidah-kaidah tentang identitas dan kontradiksi ialah kaidah yang membatasi dalam memandang realitas. Kategori-kategori logika seperti “ada”, “semua” serta implikasi-implikasinya seperti “dan”, “tidak”, “atau”, “jika-maka” merupakan batas-batas yang tidak dapat dianalisis lebih lanjut. Dia akan begitu dan tetap seperti itu, baik secara logis maupun riil .
Walaupun karakter apriori logika tindakan serta karakter apriori matematis memiliki karakteristik yang sama, akan sangat keliru bagi kaum positivistik, yang menekankan fungsi prediktif, dengan cara menggunakan perhitungkan matematis dalam menggambarkan realitas tindakan. Alasannya, kerena proses pendeduksian matematis tidak dapat ditarik dari aksioma tindakan. Dalam perspektfi ini, maka sebenarnya positivisme tidak memiliki basis epistemologi apapun. Di sinilah pentingnya kajian praksiologi atau logika tindakan. Pencarian kebenaran dalam logika tindakan tidak dilakukan dengan cara mengukur; dia hanya dapat ditelaah melalui identifikasi reflektif.  Identifikasi tersebut mengisyaratkan bahwa setiap tindakan manusia sepenuhnya subyektif.  Jadi memprediksikan sebuah tindakan adalah sesuatu yang muskil, karena ketika kemarin saya makan jam 6 pagi, hal tersebut tidak akan menjamin bahwa saya besok akan makan pada jam yang sama seperti kemarin, secanggih apapun metode statistik yang anda gunakan, anda tidak akan mampu memprediksikan jam berapa besok saya akan makan. Karena sebab-sebab konstan dalam sebuah tindakan tidak akan pernah ada sama sekali. Kemudian kaum positivis mungkin akan bertanya-tanya, untuk apakah science jika tidak memiliki fungsi prediktif? Yang jelas tanpa memiliki fungsi prediktif suatu ilmu tetap akan dapat memberi petunjuk bagi manusia untuk memahami dunianya. Dengan tujuan yang lebih sederhana, tugas ilmu pengetahuan adalah menguak realitas-realitas yang masih terhalang. Sains tentang manusia tidak dapat membangun ide-ide apapun, dia hanya dapat menguak realitas.

D.                Arah Tindakan Masa Depan
Sebagai sebuah disiplin baru, ekonomi Islam hingga saat ini masih dalam suatu proses pencarian body of science-nya. Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka pencarian tersebut, salah satunya adalah dengan mengkaji ulang sejarah perekonomian dan umat Islam masa lalu, merekonstruksi pemikiran para tokoh (ekonomi) Islam dan kemudian memberikan interpretasi-interpretasi kritis terhadap sejarah dan pemikiran tersebut.
Proses interpretasi sejarah dan pemikiran ekonomi Islam di Indonesia mengalami pergumulan yang cukup dinamis, dimana muncul pro dan kontra terhadap terminologi ekonomi Islam itu sendiri, instrumen-instrumen teoritisnya maupun perdebatan yang bersifat metodologis. Perdebatan-perdebatan itu juga melahirkan berbagai macam corak pemikiran di bidang ekonomi Islam, dari yang bersifat liberal hingga radikal.
Metodologi ekonomi Islam mengungkap permasalahan manusia dari sisi manusia yang multi dimensional. Keadaan ini digunakan untuk menjaga obyektivitas dalam mengungkapkan kebenaran dalam suatu femomena. Sikap ini melahirkan sikap dinamis dan progressif untuk menemukan kebenaran hakiki. Kebenaran hakiki adalah ujung dari kebenaran. Masudul Alam Chowdhury misalnya, merumuskan metodologi Islamic Economic dengan istilah shuratic process. Penggunaan istilah shuratic berasal dari dari kata syura/musyawarah, untuk menunjukkan bahwa proses ini bersifat konsultatif dan dinamis. Metodologi ini merupakan upaya untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang bersifat transenden, sekaligus didukung oleh kebenaran empiris dan rasional yang merupakan tolak ukur utama kebenaran ilmiah saat ini.
Sementara seorang muslim meyakini bahwa kebenaran utama dan mutlak berasal dari Allah, sedangkan kebenaran dari manusia bersifat tidak sempurna. Akan tetapi manusia dikaruniai akal dan berbagai fakta empiris di sekitarnya sebagai wahana untuk memahami kebenaran dari Allah. Perpaduan kebenaran wahyu dan kebenaran ilmiah akan menghasilkan suatu kebenaran yang memiliki tingkat keyakinan yang tinggi. Menurut Chouwdhury sumber utama dan permulaan dari segala ilmu pengatahuan (primordial stock of knowledge) adalah al-Qur’an, sebab ia merupakan kalam Allah. Pengetahuan yang ada dalam al-Qur’an memiliki kebenaran mutlak (absolute), telah mencakup segala kehidupan secara komprehensif (complete) dan karenanya tidak dapat dikurangi dan ditambah (irreducible). Akan tetapi, al-Qur’an pada dasarnya tidak mengetahui pengetahuan yang praktis, tetapi lebih pada prinsip-prinsip umum. Ayat-ayat al-Qur’an diimplementasikan dalam perilaku nyata oleh Rasulullah, karena itu as-Sunnah juga adalah sumber ilmu pengetahuan berikutnya. Al-Qur’an dan Sunnah kemudian dapat dielaborasi dalam hukum-hukum dengan menggunakan metode epistemological deduction, yaitu menarik prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam kedua sumber tersebut untuk diterapkan dalam realitas individu.
Selanjutnya dalam epistemologi Ekonomi Islam diperlukan ijtihad dengan menggunakan rasio/akal. Ijtihad,[36] yang terbagi kepada dua macam, yaitu ijtihad istimbathi dan ijtihad tathbiqi. Ijtihad istimbathi bersifat deduksi, sedangkan ijtihad tathbiqi bersifat induksi. Dari segi kuantitas orang yang berijtihad, ijtihad dibagi kepada dua, yaitu ijtihad fardi (individu) dan ijtihad jama’iy (kumpulan orang banyak). Ijtihad yang dilakukan secara bersama disebut ijma’ dan dianggap memiliki tingkat kebenaran ijtihad yang paling tinggi. Dalam membicarakan epistemologi ekonomi Islam, digunakan metode desuksi dan induksi. Ijtihad tahbiqi yang banyak mengunakan induksi akan menghasilkan kesimpulan yang lebih operasional, sebab ia didasarkan pada kenyataan empiris. Selanjutnya, dari keseluruhan proses ini -yaitu kombinasi dari elaborasi kebenaran wahyu Allah dan as- Sunnah dengan pemikiran dan penemuan manusia yang dihasilkan dalam ijtihad akan menghasilkan hukum dalam berbagai bidang kehidupan. Jika diperhatikan, maka sesungguhnya Shuratic proses ini merupakan suatu metode untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang memiliki akar kebenaran empiris (truth based on empirical process).

E.                 Penutup
Sudah cukup lama umat manusia mencari sistem untuk meningkatkan kesejahteraan khususnya di bidang ekonomi. Selama ini memang sudah ada beberapa sistem, diantaranya dua aliran besar sistem perekonomian yang dikenal di dunia, yaitu sistem ekonomi kapitalisme, dan sistem ekonomi sosialisme. Tetapi sistem-sistem itu tidak ada yang berhasil penuh dalam menawarkan solusi optimal. Konsekuensinya orang-orang mulai berpikir mencari alternatif. Dan alternatif yang oleh banyak kalangan diyakini lebih menjanjikan adalah sistem ekonomi Islam. Karena sistem ini berpijak pada asas keadilan dan kemanusiaan. Oleh karenanya, sistem ini bersifat universal, tanpa melihat batas-batas etnis, ras, geografis, bahkan agama.
Untuk mewujudkan tujuan ini, setidaknya dibutuhkan usaha yang berujung pada perubahan paradigmatik dalam menyikapi ajaran praktis sistem ekonomi Islam. Perubahan paradigmatik ini sangat diperlukan. Sistem ekonomi Islam tidak hanya dapat diukur melalui pendekatan kuantitatif-nomotetik selanjutnya dereduksi menjadi angka-angka, namun juga dapat didekati dengan menggunakan pendektan kualitatif dan dalam pemahaman multikulturalisme untuk mewujudkan sistem ekonomi sebagai suatu sistem profetis dengan cara membaca realitas sosial untuk kemudian merumuskannya dalam sistem perekonomian Islam. Sehingga sistem ekonomi Islam dapat berfungsi ganda, disamping sebagai alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan sekaligus sebagai alat rekayasa perekonomian Islami sebagaimana tujuan yang hendak dicapai yakni menuju falah.

F.                 Kepustakaan
Abdul Aziz Dahlan (ed). 1997. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
Adiwarman A. Karim. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ketiga. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Agustianto. Epistemologi Ekonomi Islam pada http://agustianto.niriah.com/2008/03/11/epistemologi-ekonomi-islam di akses pada 21 November 2009.
Bruce J. Caldwell. 2004. Beyond Positivism Economics Methodology in the Twentieth Century. London: Routledge, 2004.
Deliarnov .1997. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.
F. Budi Hardiman. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius
F. Budi Hardiman. 2007. Filsafat Modern dari Machiavelli hingga Nietzsche. Jakart: Gramedia Pustaka Utama
Giyanto. Melawan Positivisme dalam Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak Volume III, Edisi No. 70, Tanggal 22 Maret 2009 pada (Http://akaldankehendak.com) diakses pada 27 Desember 2009
Goenawan Muhammad. 1999. Metodologi Ilmu Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Bagian 2. Yogyakarta: P3EI FE UII
Hermansyah, 2010. Kultursigrafi Ekonomi Islam di Indonesia. Mataram: CV. Dimensi Raya.
Hamka Haq. 2007. Al-Syathibi Aspek Teologis Konsep Mashlahah Dalam Kitab al-Muwafaqat. Jakarta. Erlangga
Javed Ansari. 1985. Gerakan Islamisasi: Sebuah Pengantar dalam buku Islamisasi Ekonomi Suatu Sketsa Evaluasi dan Prosdek Gerakan Perekonomian Islam.  Yogyakarta: PLP2M.
M. Umer Chapra. 2001. The Future Of Economics: An Islamic Persfektive. Jakarta: SEBI.
Masdar F. Mas’udi. 1998. Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Muhammad Baqir Ash-Shadr. 1999. Falsafatuna. (Terj. M. Nur Mufid bin Ali). Mizan: Bandung
Neong Mahadjir, 2001. Filsafat Ilmu: Positivisme, PostPositivisme, dan PostModernisme. Yogyakarta: Rakesarasin.
Soedjono Dirdjosisworo. 1985. Pengantar Epistemologi dan Logika Bandung: CV. Remadja Karya
Syed Nawab Haider Naqvi. 1994. Islam, Economics, and Society. London & New York: Kegan Paul International.
Tim P3EI. 2008. Ekonomi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Toshihiko Izutsu. 1993. Konsep-Konsep Etika Religius Dalam Al Qur’an. (Terj. Agus Fahri Husein dan A.E. Priyono). Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yudian W. Aswin. 2007. Maqashid al-Syariah Sebagai doktrin dan Metode dalam buku M. Amin Abdullah Re-Strukturisasi Meodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta. Yogyakarta: Suka Press.
Yudian Wahyudi. 2007. Maqashid Syariah Dalam Pergumulan Politik Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga. Yogyakarta: Nawesea Press.
Yusdani, at-Tufi dan Teorinya tentang Maslahat, Makalah disampaikan pada acara bedah metodologi kitab kuning seri ushul fikih humanis, UII selasa 7 September 2004
Ziauddin Sardar. 2003. Kembali ke Masa Depan (Terj. R. Cecep Lukman dan Helmi Mustofa). Jakarta: Serambi.


[1] Lihat Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Logika (Bandung: CV. Remadja Karya, 1985), hal. 1
[2] Lihat Goenawan Muhammad. Metodologi Ilmu Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Bagian 2 (Yogyakarta: P3EI FE UII, 1999), hal. 24.
[3] Lihat Agustianto. Epistemologi Ekonomi Islam pada http://agustianto.niriah.com/2008/03/11/epistemologi-ekonomi-islam di akses pada 21 November 2009
[4] Goenawan Muhammad. Metodologi….hal. 25
[5] Empirisme berpendapat bahwa penginderaan adalah satu-satunya yang membekali akal manusia dengan konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan, dan (bahwa potensi mental akal budi) adalah potensi yang tercerminkan dalam berbagai peristiwa inderawi. Lihat Muhammad Baqir Ash-Shadr. Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali (Mizan: Bandung, 1999), hal. 31-32
[6] Rasionalisme berpendapat bahwa terdapat dua sumber bagi pengetahuan yakni penginderaan (sensasi). Kita mengkonsepsi panas, cahaya, rasa dan suara karena penginderaan kita terhadap semua itu. Dan kedua, adalah fitrah dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera, namun ia sudah ada (tetap) dalam lubuk fitrah. Lihat Muhammad Baqir Ash-Shadr. Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali (Mizan: Bandung, 1999), hal. 28-29
[7] Positivism beranggapan agar pengetahuan tidak melampaui fakta-fakta. Fakta dimengerti sebagai fenomena yang dapat di observasi, karena itu disini kita melihat bahwa positivism masih terakait erat dengan empirisme, namun perbedaannya lebih pada penolakan positivism terhadap pengalaman subyektif yang bersifat rohani, sedangkan empirisme masih menerimanya. Lihat F. Budi Hardiman. Filsafat Modern dari Machiavelli hingga Nietzsche (Jakart: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 205
[8] Lihat F. Budi Hardiman. Filsafat…. hal. 204-213
[9] Lihat Syed Nawab Haider Naqvi. Islam, Economics, and Society. (London & New York: Kegan Paul International, 1994)
[10] Pengaruh positivisme dalam ilmu ekonomi meliputi rentang waktu sekitar 40 tahun, dimulai pada akhir tahun 1930 sampai pada akhir tahun 1970. Sepanjang waktu tersebut tidak berarti pada ekonom dengan penuh kesadaran mengikuti filosofi seperti diuraikan di atas. Dalam kenyataannya, ekonom tertentu menulis tentang metodologi yang diambil dari aliran positivisme, sedangkan ekonom lainnya menggunakan pendapat ilmuwan positivis untuk membenarkan atau untuk mempertahankan adanya perubahan tertentu dalam praktek ilmu ekonomi yang terjadi pada waktu itu. Sehingga positivisme berpengaruh secara tidak langsung, baik dalam penulisan metodologi maupun dalam pekerjaan para praktisi ekonomi. Lihat F. Budi Hardiman. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004).
[11] Soedjono Dirdjosisworo. Pengantar….hal. 1-3
[12] Lihat Giyanto. Melawan Positivisme dalam Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak Volume III, Edisi No. 70, Tanggal 22 Maret 2009 pada (Http://akaldankehendak.com) diakses pada 27 Desember 2009
[13] F. Budi Hardiman. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. (Yogyakarta: Kanisius, 2003). hal. 56
[14] Neong Mahadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme, PostPositivisme, dan PostModernisme (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), hal. 69
[15] Ibid. Lihat juga  Hermansyah, Kultursigrafi Ekonomi Islam di Indonesia (Mataram: CV. Dimensi Raya, 2010).
[16] Lihat juga Bruce J. Caldwell, Beyond Positivism Economics Methodology in the Twentieth Century. (London: Routledge, 2004) pada Bab 6 dan 7.
[17] Fiedman secara tegas menyatakan bahwa banyak terdapat kekeliruan dalam ilmu ekonomi, terutama terkait dengan pengambilan kebijakan, yang timbul dari kebingungan dalam membedakan antara ilmu ekonomi positif dan normatif. Ia merasa bahwa banyak argumen-argumen terhadap effek positif sebuah kepastian tindakan kebijaksanaan lebih jelas sebagai isu-isu normatif. Ibid. hal. 173-180
[18] Deliarnov Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 1997).
[19] Javed Ansari. Gerakan Islamisasi: Sebuah Pengantar dalam buku Islamisasi Ekonomi Suatu Sketsa Evaluasi dan Prosdek Gerakan Perekonomian Islam (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hal. 102
[20] Misalnya dalam persoalan berkah atau nilai maslahah dalam perilaku ekonomi, dimana keberkahan dan kemaslahatan, diukur berdasarkan variabel-veriabel yang bersifat empiris. Disini mestinya diakui bahwa keberkahan dan kemaslahatan itu berhubungan nilai dan rasa serta pengalaman spiritual pelaku ekonomi yang tidak dapat dikuantifikasi antara pengalaman saya dan yang anda rasakan. Lihat Tim P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)
[21] Lihat M. Umer Chapra. The Future Of Economics: An Islamic Persfektive (Jakarta: SEBI, 2001), hal. 141-142
[22] Tim P3EI, Ekonomi…hal. 135
[23] Yusdani, at-Tufi dan Teorinya tentang Maslahat, Makalah disampaikan pada acara bedah metodologi kitab kuning seri ushul fikih humanis, UII selasa 7 September 2004
[24] Lihat misalnya Toshihiko Izutsu. Konsep-Konsep Etika Religius Dalam Al Qur’an. Terj. Agus Fahri Husein dan A.E. Priyono (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1993)
[25] Lihat juga pada Ziauddin Sardar. Kembali ke Masa Depan Terj. R. Cecep Lukman dan Helmi Mustofa (Jakarta: Serambi, 2003), hal. 40-41
[26] Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), hal. 1144.
[27] Haq, Hamka, Al-Syathibi Aspek Teologis Konsep Mashlahah Dalam Kitab al-Muwafaqat. (Jakarta. Erlangga 2007), hal. 57
[28] Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ketiga (Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 382
[29] Haq, Hamka, Al-Syathibi Aspek….. hal. 103
[30] Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi…hal.1143
[31] Untuk mengetahui beberapa definisi menyangkut masalah ini mislanya dapat dilihat pada Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum….hal. 1144
[32] Lihat Yudian W. Aswin. Maqashid al-Syariah Sebagai doktrin dan Metode dalam buku M. Amin Abdullah Re-Strukturisasi Meodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hal 147
[33] Lihat Yudian Wahyudi. Maqashid Syariah Dalam Pergumulan Politik Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007), hal.28-29
[34] Masdar F. Mas’udi, Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988),  hal. 180
[35] Ziauddin Sardar. Kembali ke…hal. 43
[36] Lihat Amir Mu’allim dan Yusdani. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. (Yogyakarta: UII Press, 2005)

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id