Senin, 26 Januari 2009

UANG DAN AGAMA

UANG DAN AGAMA
OLEH : HERMANSYAH, S.EI.
LEMBAGA STUDI EKONOMI ISLAM DAN PERUBAHAN YOGYAKARTA 2009

Pengantar

“Uang kata seorang penulis, adalah sebuah persekongkolan tak diucapkan”. Kita tahu bahwa ia hanyalah selembar kertas, atau sepotong tembaga, atau sekeping timah. Kita bahkan tahu ia sering tak terlihat ..... dengan itu, harga-harga pun ramai bekerja di dalam kepala manusia – sebutir kepala tak lagi special. Dan orangpun akan diam atau ia akan bergerak karena angka-angka itu, yang tiap kali menghardik. “Money doesn’t talk : it swears” kata lagu “Bol Dycan” (Gunawan Muhammad, Catatan Pinggir 5, 2002 : 344).
***
Seorang mahasiswa agama pada sebuah PT Islam ditawarkan oleh kakaknya: “Di hari ulang tahunmu, kamu mau dapat handphone, uang atau umroh ?. Handphone, uang atau umroh tuga hal yang berbeda. Yang satu sebuah perkakas, alat komunikasi. Yang kedua sebuah kertas, sepotong tembaga atau sekeping timah yang dapat merefleksikan semua harga dan yang satu lagi sebuah ibadah. Namun ketiganya dapat dijadikan hadiah ulang tahun, karena ketiganya di zaman kita saat ini sudah menjadi komoditas. Telpon genggam kini dibuat secara mahal, dijual, ditawar dan diberi harga. Uang sebagai alat tukar harga, motif berjaga-jaga bahkan spekulasi. Umroh hanya masalah tiket pesawat, ongkos fiskal, ongkos penginapan dan hal lainnya yang tak jauh beda dengan perjalanan ke luar negeri., Amerika Serikat, Inggris, atau Israel misalnya.
Lalu bagaimana nilai handphone bagi si mahasiswa, nilai umroh pada dirinya dan nilai uang sebagai suatu hadiah di hari ulang tahun ?. Nilai guna suatu yang konkrit dan sangat individualistis telah berubah menjadi nilai tukar, sesuatu yang pada akhirnya dapat diterjemahkan dalam pecahan recehan dan angka-angka uang.
Maka pada akhirnya kita punya handphone, uang dan kita pergi umroh. Terkadang kita tidak tahu lagi siapa gerangan yang akan kita ajak bicara : Tuhan atau manusia atau menguangkan keduanya ?


A.PENDAHULUAN
Dalam peradaban modern, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat tidak ada yang tidak terkait atau tidak ada yang tidak membutuhkan uang. Begitu pentingnya peran uang dalam kehidupan masyarakat, sehingga hampir tidak ada aktivitas kehidupan anggotanya yang bebas berurusan dengan uang. Meskipun pada awalnya uang hanya berperan sebagai alat bantu untuk memudahkan umat manusia melakukam tukar menukar barang maupun jasa, tetapi sejalan dengan perkembangan peradaban, uang telah mengambil peran yang amat penting dalam kehidupan, sehingga dapat dinyatakan secara umum, bahwa dalam peradaban modern, orang tidak lagi dapat hidup tanpa uang.1
Dalam konteks kehidupan perekonomian secara umum, sering kali uang dianalogikan dengan darah dalam tubuh yang menopang kehidupan. Kenyatannya kehidupan ekonomi masyarakat tidak akan hidup tanpa peran uang didalamnya. Kuat dan lesunya kehidupan ekonomi masyarakat, sebagian besar amat ditentukan oleh lancar tidaknya aliran uang dalam perekonomian.
Untuk mengaturnya diperlukan pemahaman yang baik atas faktor-faktor yang mempengaruhi peredaran uang atau aliran uang. Demikianlah dapat uang menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menggiatkan kehidupan perekonomian, akan tetapi uang juga dapat menjadi penyebab lesu bahkan runtuhnya kegiatan perekonomian. Terkait dengan itu diperlukan pemahaman yang baik tentang segala sesuatu berkenaaan dengan uang, agar kita dapat memfungsikannya dengan baik bagi peningkatan kehidupan ekonomi.

B.PEMBAHASAN
1.Pengertian dan Sejarah Perkembangan Uang
Uang yang dalam bahasa latin disebut money oleh beberapa ahli ekonomi didefinisikan sebagai berikut :2
a)Roberson dalam bukunya Money menyatakan uang adalah segala sesuatu yang umum diterima dalam pembayaran barang-barang.
b)R. S sayer dalam bukunya Modern Banking menyatakan uang adalah segala sesuatu yang umum diterima sebagai pembayaran utang.
c)A. C. Pigou dalam bukunya the Veil of Money menyatakan bahwa uang adalah segala sesuatu yang umum dipergunakan sebagai alat penukar.
d)Roling G. Thomas dalam bukunya Our Modern Banking and Monetery System mendefinisikan uang adalah segala sesuatu yang siap sedia dan pada umumnya diterima dalam pembayaran pembelian barang-barang, jasa-jasa dan untuk membayar utang.
Dengan demikian uang didefinisikan sebagai segala sesuatu (benda) yang diterima olem masyarakat sebagai alat perantara dalam melakukan tukar-menukar atau perdagangan.3
Menurut sejarah, ada anggapan bahwa uang diciptakan pertama kali di negeri Cina lebih kurang 2700 SM oleh Huang (kaisar Kuning). Sejarah purba juga telah mencatat bahwa orang Assyria, Phunisia dan Mesir juga telah menggunakan uang sebagai alat tukar. Akan tetapi dari seluruh perkembangan uang di negara manapun awalnya dimulai setelah orang mengenal kegiatan tukar-menukar dan tukar menukar yang pertama dilakukan diantaranya dimulai tukar menukar antara barang dengan barang yang disebut Barter.
Pertukaran dengan cara barter ini awalnya berjalan lancar dan tidak memiliki hambatan apapun. Akan tetapi setelah manusia semakin banyak ragam kebutuhan maka cara barter mulai mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya seperti sulitnya menukarkan barang yang dikehendaki dengan barang yang dimiliki serta sulitnya mendapatkan barang yang sama nilainya untuk dipertukarkan.
Setelah mengalami kesulitan dengan cara barter, orang mulai mencari alternatif lain yang dapat dijadikan sebagai alat yang dapat dipergunakan dalam pertukaran. Dari benda-benda yang secara perkembangannya banyak dijadikan sebagai alat pertukaran diantaranya ada yang berupa kulit binatang, kerang dari laut, dan lain-lain. Benda-benda tersebut kemudian disebut Uang Barang.
Penggunaan uang barang ini tidak dapat terus dipergunkan sebagai alat pertukaran, hal ini disebabkan karena ada kesulitan dalam ukuran, berat, bentuk dan jaminan lain yang tidak pasti. Maka alternatif benda yang dijadikan alat tukar adalah emas dan perak dengan pertimbangan tidak mudah rusak, diterima oleh umum, mudah disimpan dan mudah dibawa-bawa, harganya tinggi walaupun dalam jumlah yang kecil, sifatnya sama dan dapat saling mengganti, mudah dibagi tanpa mengurangi nilai serta harganya tetap dalam jangka waktu panjang.
Oleh karena itu, dalam mata uang beberapa negara seperti India, nama mata uangnya Rupee yang artinya perak, Belanda, nama mata uangnya Golden yang artinya emas. Uang yang terbuat dari emas dan perak disebut uang logam dan uang ini disebut juga sebagai full bodied money, karena nilai uang ini dijamin penuh (100%) oleh bodynya, artinya antara nilai nominal dan nilai bahan sama.
Pada perkembanan selanjutnya uang kemudian terbuat dari kertas dan bahkan mendominasi peredaran uang dimasa sekarang.
2.Fungsi Uang
Pada awalnya uang hanya berfungsi sebagai alat untuk memperlancar pertukaran yang semula dilakukan dengan barter (pertukaran in natura). Kesuliatan untuk menentukan kesamaan nilai barang yang akan dipertukarkan dengan cara barter, dapat diatasi dengan memanfaatkan uang sebagai media, sehingga selain berfungsi sebagai alat untuk mempermudah pertukaran (mean of exchange), uang juga berfungsi sebagai satuan hitung (unit of account).4 Pada tahap selanjutnya sejalan dengan perkembangan peradaban dan aktivitas ekonomi, fungsi uangpun mengalami perkembangan. Secara terperinci fungsi uang dalam kehidupan manusia dapat diuraikan sebagai berikut :5
a)Uang sebagai alat tukar menukar (mean of exchange)
Sebagai alat tukar menukar, uang membawa efisiensi dalam kehidupan ekonomi. Selain mempermudah proses pertukaran atau transaksi, dengan uang dapat dihemat waktu yang diperlukan oleh manusia untuk mempertukarkan barang dan jasa. Sebagai gambaran, dalam perekonomian barter, pertukaran barang dan jasa dilakukan tanpa uang, bila seorang dokter ingin menukarkan jasa layanan kesehatan yang dimiliki untuk mendapatkan makanan, maka dia harus mencari petani yang menghasilkan beras, untuk menemukan petani yang membutuhkan layanan kesehatan tentu saja tidak mudah, selain itu juga dibutuhkan waktu. Bila dalam rentang waktu tertentu tidak ada petani yang sakit dan membutuhkan jasa dokter, bukan tidak mungkin dokter yang bersangkuatan akan mati kelaparan. Kesulitan dan waktu yang diperlukan untuk menukarkan barang dan jasa, disebut dengan biaya transaksi (transaction cost), dan hal itu muncul dalam ekonomi barter, oleh karena setiap kali akan melakukan pertukaran seseorang harus menemukan orang lain yang menginginkan barang tau jasa miliknya, dan sekaligus juga ingin menukarkan barang atau jasa yang dimilikinya. Proses pertukaran memerlukan suatu “kejadian yang secara kebetulan menimbulkan keinginan ganda (double coincidence of wants)”.6
Dengan uang, biaya transaksi dapat ditekan, dan keharusan untuk menemukan double coincidence of wants dapat dihilangkan. Dengan adanya uang sebagai alat pertukaran, dokter dalam contoh tadi dapat memberikan layanan kepada siapa saja yang mau membayar jasanya, dan dengan uang yang diperoleh, dia dapat membeli makanan yang dibutuhkan kepada petani manapun yang mau menjual bahan makanan. Dengan demikian selain menekan biaya transaksi, keberadaan uang dalam pertukaran juga mendorong masing-masing orang untuk menekuni pekerjannya, tanpa harus merisaukan apakah ada orang lain yang menginginkan hasil pekerjannya untuk dipertukarkan. Uang telah mendorong terjadinya spesialisasi atau pembagian kerja dalam kehidupan ekonomi masyarakat.
b)Uang sebagai satuan hitung (unit of account)
Sebagai konsekuensi dari fungsi alat pertukaran, uang seharusnya juga berfungsi sebagai satuan hitung. Artinya uang digunakan sebagai penentu nilai atau harga barang dan jasa. Dengan fungsi sebagai satuan hitung, pertukaran barang dan jasa akan mudah dilaksanakan, karena nilai atau harga barang dan jasa yang dipertukarkan menjadi jelas satuan-satuan pengukuran nilainya. Demikian pula dengan berfungsinya uang sebagai satuan hitung, jasa ataupun kerja seseorang dapat dinilai dengan uang, demikian pula kekayaan, hutang, ataupun karya seseorang juga dapat dinilai dengan uang.
c)Uang sebagai penimbun kekayaan (store of value)
Oleh karena penerimaan uang oleh masyarakat luas, uang dapat pula dimanfaatkan untuk menimbum kekayaan, dengan memiliki uang, berarti memilki barang dan jasa, oleh karena dengan uang setiap saat dapat diperoleh barang dan jasa sebagai ukuran kekayaan. Seseorang menimbun kekayaan dalam bentuk uang pada umumnya didorong oleh keinginan berjaga-jaga dalam pemenuhan kebutuhannya di masa yang akan datang. Sebagai alat untuk menimbun kekayaan, uang sebenarnya tidak lebih baik dibandingkan dengan barang-barang kekayaan lain seperti tanah, rumah, emas, berlian, bahkan saham atau obligasi. Mengingat barang-barang yang bersangkutan relatif nilainya stabil dan bahkan berpeluang naik nilainya di masa-masa mendatang. Meskipun demikian ada kelebihan uang yang tidak dimiliki oleh barang-barang kekayaan tersebut, yaitu uang merupakan kekayaan yang memiliki likuiditas (liquidity), artinya uang dengan mudah dapat diwujudkan menjadi barang dan jasa apa saja untuk memenuhi kebutuhan. Seberapa baik uang berfungsi sebagai alat penimbun kekayaan, sangat dipengaruhi oleh stabilitas daya beli uang atau tingkat harga barang dan jasa. Bila tingkat harga barang secara keseluruahan naik dua kali lipat, maka daya beli uang akan turun menjadi tinggal setengahnya. Penurunan daya beli uang dapat diistilahkan dengan inflasi, dan hal ini dapat mengakibatkan jumlah kekayaan yang ditimbun (dalam bentuk uang) mengalami penurunan. Selain itu penurunan nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing juga dapat menyebabkan kekayaan yang ditimbun dalam bentuk uang mengalami penurunan. Oleh karena dengan penurunan tersebut, berarti daya beli uang domestik yang ditimbun untuk ditukarkan dengan mata uang asing, atau barang dan jasa dari luar negeri juga akan menurun. Berdasarkan hal tersebut, fungsi uang sebagai penimbun kekayaan, mempersyaratkan adanya stabilitas nilai uang.
d)Uang sebagai standar pembayaran yang ditangguhkan (standard for deferred payment)
Fungsi uang sebagai standar pembayaran yang ditangguhkan sering kali disebut pula sebagai standar pencicilan hutang. Artinya uang dapat dipergunakan untuk menentukan nilai hutang piutang baik yang pembayaran dilakukan dengan cara tunai maupun angsuran. Berdasarkan nilai uang dapat ditentukan nilai hutang piutang pada saat pencairannya dan waktu pelunasannya di masa yang akan datang. Sama seperti fungsi uang sebagai alat penimbun kekayaan, untuk memenuhi fungsi ini, stabilitas niali uang menjadi syarat yang diperlukan, terutama stabilitas nilai yang terkait dengan daya beli uang dan nilai mata uang domestik dibandingkan dengan mata uang asing (inflasi dan deflasi).
e)Uang sebagai komoditas (commodity)
Dalam perkembangannya, uang yang semula hanya berfungsi sebagai alat tukar menukar, berfungsi pula sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan. Hal ini nyata dalam perdagangan valuta asing. Kondisi ini muncul karena dalam perekonomian, kurs mata uang suatu negara senantiasa fluktuatif terhadap mata uang atau valuta asing. Uang sebagai barang dagangan diperjual belikan, dengan harapan dapat meraih keuntungan dari naik turunnya kurs yang terjadi setiap waktu.
3.Faktor-faktor yang mempengaruhi peredaran uang
Menurut J.M. Keynes ada tiga alasan, mengapa orang menyukai memegang uang, yaitu :7
a)Motif Transaksi (transaction motive)
Permintaan uang untuk bertransaksi mengacu pada penggunaan uang untuk transaksi sehari-hari dalam pemenuhan kebutuhan seperti pembelian bahan baku, pembayaran upah dan pembayaran listrik.
b)Motif berjaga-jaga (Precantionary Motive)
Permintaan uang untuk ditujukan pada pemenuhan kebutuhan darurat yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya, penambahan uang untuk membayar kenaikan harga yang mendadak.
c)Motif Spekulasi
Permintaan uang untuk ditujukan memperoleh keuntungan secara cepat karena mengetahui peluang ekonomi yang menguntungkan.
4.Time Value of Money
Nilai waktu uang (time value of money) merupakan salah satu konsep sentral dalam manajemen keuangan. Mengapa konsep time value of money ini menjadi penting?. Pertama, resiko pendapatan di masa yang akan datang lebih tinggi dibanding saat ini. Kedua adanya biaya kesempatan (opportunities cost) pendapatan masa mendatang. Konsep inilah yang melahirkan konsep bunga (interest) dalam ekonomi konvensional yang menjadi dasar dunia perbankan konvensioanal.8
Dalam teori ekonomi konvensional uang dipandang sebagai sesuatu yang sangat berharga dan dapat berkembang dalam suatu waktu tertentu. Anggapan demikian melahirkan konsep time value of money. Time value of money adalah nilai waktu dari uang yang bisa bertambah dan berkurang sebagai akibat perjalanan waktu. Dengan memegang uang orang dihadapkan pada resiko menurunnya daya beli dari kekayaannya sebagai akibat dari inflasi. Sedangkan dengan memilih menyimpan uang dalam bentuk surat berharga, pemilik akan memperoleh bunga yang diperkirakan di atas inflasi yang terjadi. Dengan demikian nilai uang saat sekarang – nilai substitusinya terhadap barang – akan lebih tinggi dibandingkan nilainya dimasa yang akan datang.9
Definisi time value of money tersebut tampak tidak akurat, sebab setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan untuk mendapat hal positif, negatif atau bahkan tidak menghasilkan apa-apa. Itulah sebabnya dalam teori keuangan, selalu dikenal risk return relation. Dalam setiap perekonomian selalu ada keadaan inflasi dan keadaan deflasi. Bila keadaan inflasi yang dijadikan dasar munculnya konsep time value of money, seharusnya keberadaan deflasi harus dijadikan alasan munculnya konsep negative time value of money. Kenyataannya, kondisi inflasi sajalah yang dijadikan acuan dalam menentukan konsep time value of money, sementara keadaan deflasi selalu diabaikan.10


5.Uang dan Agama
Sebagai perbandingan dengan teori ekonomi konvensional-kapitalisme-islam membicarakan uang sebagai sarana penukar dan penyimpan nilai, tetapi uang bukanlah barang dagangan. Mengapa uang berfungsi ? uang menjadi berguna hanya jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijual atau dibeli secara kredit. Orang perlu memahami kebijakan Rasulullah SAW, bahwa tidak hanya mengumumkan bunga atas pinjaman sebagai sesuatu yang tidak sah tetapi juga melarang pertukaran uang dan beberapa benda bernilai lainnya untuk pertukaran yang tidak sama jumlahnya, serta menunda pembayaran jika barang dagangan atau mata uangnya adalah sama. Efeknya adalah mencegah bunga uang yang masuk ke sistem ekonomi melalui cara yang tidak diketahui.
Di dalam ekonomi islam uang bukanlah modal. Sementara ini banyak salah kaprah menempatkan uang. Uang disama artikan dengan modal (capital). Uang adalah barang khalayak (masyarakat/public good). Uang bukan barang monopoli seseorang. Jadi semua orang berhak memiliki uang yang berlaku di suatu negara. Sementar modal adalah barang pribadi atau orang per orang. Jika uang sebagai flow concept sementara modal adalah stock concept.
Secara definisi uang adalah benda yang dijadikan sebagai ukuran dan penyimpan nilai semua barang. Dengan adanya uang maka dapat dilakukan proses jual beli hasil produksi. Dengan uang hasil penjualannya itu ia dapat membeli barng-barang keperluannya. Jika dengan sengaja menumpuk uangnya atau tidak dibelanjakan berarti uang tersebut tidak beredar. Hal ini sama artinya dengan menghalngi proses jual beli tidak dapat dipisahkan dengan uang.
Menurut Ibnu Taimiyah, uang merupakan sebagai alat tukar dan alat tukar nilai. Melalui uang suatu barang akan diketahui, dan mereka tidak menggunakannya untuk diri sendiri atau dikonsumsi. Hal serupa dikemukakan oleh muridnya (Ibn Qayyim), uang atau keeping uang tidak dimaksudkan untuk benda itu sendiri, tetapi dimaksudkan untuk memperoleh barang-barang.
Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai menjadi komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic”.
Dampak tersebut sudah diingatkan oleh ibnu Taimiyah yang lahir di zaman pemerintahan Bani Mamluk tahun 1263. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Majmu Fatwa Syaikhul Islam” menyampaikan lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi,11 yakni :
a)Perdagangan uang akan memicu inflasi
b)Hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/karyawan.
c)Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang.
d)Perdagangan internasional akan menurun
e)Logam berharga (emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai intrinsik mata uang akan mengalir ke luar negeri.
Dari sisi lain, kaitannya dengan masalah uang Al-Ghazali mengatakan bahwa : uang bagaikan kaca, kaca tidak memiliki warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Uang tidak memiliki harga, tetapi dapat merefleksikan semua harga.12
Melihat fungsi uang tersebut, menunjukkan bahwa dalam islam adanya uang dapat memberikan fungsi kegunaan/kepuasan pada pemakainya. Oleh karena itu, uang bukanlah suatu komoditas. Uang itu sendiri tidak memberikan kegunaan. Akan tetapi fungsi uanglah yang memberikan kegunaan.
Dengan demikian, secara definitif dapat dijelaskan, bahwa fungsi uang adalah sebagai : (1) media pertukaran (untuk transaksi); (2) jaga-jaga/investasi; (3) satuan hitung untuk pembayaran (bai’ muajjal). Uang merupakan sesuatu yang mengalir (flow concept) dan ia sebagai barang public (public good).
Islam juga tidak mengenal konsep time value of money (yang popular dengan istilah – time is money), tetapi Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktunya itu sendiri. Islam memperbolehkan pendapatan harga tangguh bayar lebih daripada bayar tunai. Yang lebih menarik adalah dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata karena ditahannya aksi penjualan barang. Sebagai contoh, bila barang dijual tunai dengan untung Rp.500,- maka penjualan dapat membeli lagi dan menjualnya kemudian sehingga dalam satu hari itu keuntungannya Rp.1000,- sedangkan bila dijual tangguh bayar maka hak penjual jadi tertahan, sehingga ia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi, akibat lebih jauh itu, hak dari keluarga dan anak penjual untuk makan malam tertahan pada pembeli. Alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajiban (penyerahan barang) maka Islam membolehkan harga tangguh lebih tinggi daripada harga tunai. Adapun motif permintaan akan uang – dalam Islam – adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction).13
Selain itu, dalam konsep Islam, tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperkenankan. Lain halnya dengan sistem konvensional yang tentunya membuka peluang lebar-lebar dengan kebolehan dalam memberikan bunga atas harta. Islam malah menjadikan uang (harta) sebagai objek zakat, uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang di bawah bantal atau dibiarkan tidak produktif dilarang, karena hal itu mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat.14
Kesalahn besar ekonomi konvensional adalah menjadikan uang sebagai komoditas, sehingga keberadaan uang saat ini lebih banyak diperdagangkan daripada digunakan sebagai alat tukar dalam perdagangan. Lembaga perbankan konvensional juga menjadikan uang sebagai komoditas dalam proses pemberian kredit. Instrumen yang digunakan adalah bunga (interest). Uang yang memakai instrumen bunga telah menjadi lahan spekulasi empuk bagi banyak orang di muka bumi ini. Kesalahan konsepsi itu berakibat fatal terhadap krisis hebat dalam perekonomian sepanjang sejarah, khususnya sejak awal abad 20 sampai sekarang. Ekonomi berbagai negara di belahan bumi ini tidak pernah lepas dari terpaan krisis dan ancaman krisis berikutnya pasti akan terjadi lagi.

C.KESIMPULAN
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan uang merupakan alat tukar yang meringankan beban manusia dalam pelaksanaan tukar menukar, sebab uang itu berguna bagi umum dan dapat digunakan oleh umum. Dengan redaksi lain bahwa uang merupakan segala sesuatu yang diterima umum diterima sebagai alat penukar. Dalam ekonomi konvensional uang seolah-olah dijadikan manusia sebagai “Tuhan”, dimana masyarakat memandang uang adalah segalanya, sebagai alat yang penting dan diletakkan sebagai nomor wahid. Manusia kian berpacu dalam mencari uang. Kekayaan diukur dengan banyak sedikitnya uang karena ekonomi konvensional selain memandang uang sebagai medium of exchange juga sebagai store of value / wealth. Lain halnya dimensi ekonomi islam bahwa uang merupakan segala sesuatu yang umum diterima dan dinilai hanya sebagai alat penukar (medium of exchange) bukan sebagai alat penimbun kekayaan (store of wealth / value).
Menurut Islam uang adalah public good, berarti bahwa uang pada dasarnya secara fungsional adalah milik umum, karena itu uang harus beredar di dalam perekonomian. Uang tidak boleh ditimbun (iktinaz); uang tidak boleh idle (menganggur), ia harus diproduktifkan dalam bisnis real, seperti melalui investasi mudharabah atau musyarakah.

DAFTAR PUSTAKA

Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2004.
Muhammad, “Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam”, Salemba Empat, Jakarta, 2002.
Toweula, A. Arifinal Chaniago Christian, dkk. “Ekonomi 2”, Angkasa, Bandung, 2002.
http://www.fatimah.org/artikel/uang.htm.
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=10&dn=20070404183105.
http://www.hupelita.com/baca.php?id=28294.
http://www.ekofeum.or.id/artikel.php?cid=14.
http://www.fai.elcom.umy.ac.id/mod/forum/discuss.php?d=45.
http://www.ekonomisyariah.net/index.php?page=Rubrik:ViewDetailPageDetail&id=3
http://www.halalguide.info/content/view/335/46/

Kamis, 15 Januari 2009

TENTANG KITA

Musuh Utama MANUSIA ADALAH Dirinya Sendiri
Kegagalan TERUTAMA MANUSIA ADALAH Kesombongan
Kebodohan TERUTAMA MANUSIA ADALAH Sifat Menipu
Kesedihan TERUTAMA MANUSIA ADALAH Iri Hati,
Kesalahan TERUTAMA MANUSIA ADALAH Mencampakkan Dirinya Dan Orang Lain.

SIFAT MANUSIA YANG TERKASIH ADALAH RENDAH HATI,
SIFAT MANUSIA YANG PALING DIUJI ADALAH SEMANGAT DAN KEULETANNYA,
KEHANCURAN TERBESAR MANUSIA ADALAH RASA KEPUTUSASAAN.

HARTA TERUTAMA MANUSIA ADALAH KESEHATAN,
HUTANG TERBESAR MANUSIA ADALAH HUTANG BUDI,
HADIAH TERUTAMA MANUSIA ADALAH SIFAT LAPANG DADA DAN MAU MEMAAFKAN,
KEKURANGAN TERBESAR MANUSIA ADALAH SIFAT BERKELUH KESAH DAN TIDAK MEMILIKI KEBIJAKSANAAN,
KETENTERAMAN DAN KEDAMAIAN TERUTAMA MANUSIA ADALAH SUKA BERDANA DAN Beramal
l"SEGALA PEKERJAAN MUDAH UNTUK DILAKUKAN KECUALI SATU HAL ...... MEMAHAMI ORANG LAIN DAN MENERIMA KEBERADAANNYA TANPA MEMPERSOALKAN"KEKURANGANNYA".

"Sebagaimana diri kita, demikian pula makhluh lain, sebagaimana makhluk lain, demikian pula diri kita.
"Kulihat saudaraku dengan MIKROSKOP KRITIK dan kubilang SUNGGUH JAHAT saudaraku itu,
" kulihat lagi ia dengan TELESKOP HINA dan kubilang alangkah KECILNYA IA,

KEMUDIAN KUPANDANG IA DENGAN CERMIN KEBENARAN,ALANGKAH MIRIPNYA IA DENGAN AKU".

Jika Hidup Adalah Permainan, Maka Ini Aturan Mainnya

JIKA HIDUP ADALAH PERMAINAN, INILAH ATURAN MAINNYA.................
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

ENGKAU TURUN KE DUNIA DIBERI TUBUH
Engkau mencintainya atau tidak mencintainya,
ia diperuntukkan bagi hidupmu. Jadi terimalah.
Apa yang berarti adalah apa yang ada di dalam.

ENGKAU AKAN DIHADAPKAN PADA PELAJARAN
Hidup adalah pengalaman belajar yang ajeg,
di mana setiap hari adalah kesempatan untuk belajar lebih banyak.
Semua pelajaran itu, diciptakan khusus hanya untukmu.
Mempelajarinya adalah kunci untuk menemukan arti dan relevansi bagi hidupmu.

TIDAK ADA YANG SALAH
Yang ada hanya pelajaran.
Perjalananmu adalah menuju kebijaksanaan.
Tidak semuanya akan sesuai dengan keinginanmu.
Semangat adalah obat untuk penghakiman pada diri sendiri.
Memaafkan adalah penghapusan beban emosi.
Etika, integritas dan tawa adalah pusatnya.

PELAJARAN AKAN TERUS DIULANG SAMPAI ENGKAU BELAJAR
Masalah dan tantangan, iritasi dan frustrasi adalah pelajaran.
Kesadaran, kesabaran dan penerimaan diri adalah prasyarat.
Menyalahkan selain diri sendiri adalah penghindaran dan penolakan.
Perubahan tidak terjadi dalam satu malam. Maka berilah ia waktu.

BELAJAR TIDAK AKAN PERNAH BERAKHIR
Selama Engkau hidup, akan selalu ada pelajaran.
Menyerahlah pada iramanya. Janganlah berontak atau melawan.
Berkomitmenlah pada proses dan perubahan.
Rendah hatilah Engkau untuk menerima kelemahan diri.
Fleksibel-lah Engkau untuk mengadaptasi.
Kekakuanmu hanya akan menolak kebebasan
untuk menikmati peluang-peluang baru.

"DI SANA" TIDAK LEBIH BAIK DARI "DI SINI"
Bersyukur dan nikmatilah perjalananmu di sini dan hari ini.
Hidup di dalam “sekarang” akan membantumu mencapai kedamaian.



SIAPAPUN YANG BUKAN ENGKAU ADALAH CERMINAN DARI DIRIMU SENDIRI
Apa yang Engkau cintai dan benci tentang orang lain,
adalah cerminan dari apa yang Engkau cintai dan benci tentang diri sendiri.
Bertoleransilah. Pengalaman buruk adalah peluang untuk
menyembuhkan luka yang telah lama Engkau bawa.
Bantulah orang lain, sebab itu berarti Engkau membantu dirimu sendiri.

HIDUPMU TERGANTUNG DIRIMU
Engkau sudah memiliki semua yang diperlukan. Bertanggungjawablah.
Biarkan berlalu sesuatu yang tak bisa Engkau ubah, dan tak perlu marah.
Keberanian ada pada setiap orang. Gunakanlah untuk apa yang Engkau anggap benar.
Kita semua punya kekuatan dan semangat untuk berpetualang.
Raih! Dan peluklah apa yang ada di depan.

SEMUA JAWABAN ADA DALAM DIRIMU
Dengarlah dirimu. Percayalah pada kalbu, insting dan perasaan terdalam.
Sekalipun ia samar-samar atau hanya sekelebat lewat.
Lihat, dengar dan percayailah inspirasi alamiahmu.

ENGKAU LUPA SEMUA INI SAAT ENGKAU LAHIR
Kita lahir dengan segala kemampuan ini.
Kehidupan awal telah menyeret kita ke dalam dunia fisik.
Itulah yang menjadikan kita penuh ragu, sinis, dan kehilangan keyakinan serta percaya diri.
Saat Engkau tersesat,
panggillah mereka kembali.
Karena mereka, tidak punya batas.

SEKEDAR RENUNGAN BERSAMA

SEKEDAR RENUNGAN BERSAMA
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
Manusia BAHAGIA bila ia bisa membuka mata. Untuk menyadari bahwa ia memiliki banyak hal yang berarti.

Manusia BISA BAHAGIA bila ia mau membuka mata hati. Untuk menyadari, betapa ia dicintai.

Manusia BISA BAHAGIA, bila ia mau membuka diri. Agar orang lain bisa mencintainya dengan tulus.

Manusia TIDAK BAHAGIA karena tidak mau membuka hati, berusaha meraih yang tidak dapat diraih, memaksa untuk mendapatkan segala yang diinginkan, tidak mau menerima dan mensyukuri yang ada.

Manusia BUTA, karena egois dan hanya memikirkan diri, tidak sadar bahwa ia begitu dicintai, tidak sadar bahwa saat ini, apa yang ada adalah baik, selalu berusaha meraih lebih, dan tidak mau sadar karena serakah.

Ada teman yang begitu MENCINTAI, namun TIDAK DIINDAHKAN, karena memilih, menilai dan MENGHAKIMI SENDIRI.
MEMILIH TEMAN dan mencari-cari, padahal di depan mata ada teman yang sejati.

Telah memiliki segala yang terbaik, namun SERAKAH, INGIN dirinya yang paling DIPERHATIKAN, paling DISAYANG, selalu menjadi PUSAT PERHATIAN, selalu DINOMORSATUKAN.
Padahal, semua manusia memiliki PERANAN, HEBAT dan NOMOR SATU dalam satu hal, belum tentu dalam hal lain, DICINTAI oleh satu orang belum tentu oleh orang lain.

KEBAHAGIAAN bersumber dari dalam diri sendiri, jikalau BERHARAP dari ORANG LAIN, siaplah ditinggalkan, siaplah dikhianati.

Kita akan BAHAGIA bila bisa MENERIMA DIRI APA ADANYA, mencintai dan menghargai diri sendiri, mau mencintai orang lain, dan mau menerima orang lain.

Alamat Jurnal

ass.wr.wb...
Ini mungkin sedikit membantu mahasiswa Indonesia yang sedang mencari jurnal- jurnal penelitian dalam berbagai bidang dari luar negeri. Beberapa situs database jurnal online sering dijadikan acuan mahasiswa Indonesia antara lain EBSCO dan Proquest. Beberapa universitas seperti UGM dan UII secara legal telah berlangganan jurnal ini sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, jaringan di UGM seringkali lemot karena bnayaknya yang mengunjungi situs tersebut pada jam kerja. Satu- satunya cara biar tidak terjebat kemacetan harus mendownload di luar jam kerja. Kalau yang punya laptop hal itu mungkin sangatlah mudah mengingat di UGM hampir semua sudut kampusnya disediakan hostpot. Nah, kalau yang kere gak punya laptop mau gimana lagi???
Saya baru dapat informasi kalau terdapat banyak seklai pasword gratis untuk mengakses jurnal online tsb. Mau bukti? kunjungi saja http://elfinainsight.blog.com/.
Disitu sispapaun bisa mendapatkan pasword dari EBSCO. Prequest, bahkan Universitas2 ternama seperti Harvard, CAMBRIDE, Oxford, BERKELEY ELECTRONIC PRESS, dan lain- lain. Sebagai cntoh saya tunjukkan silahkan Anda mengunjungi alamat URL berikut :

http://proquest.umi.com/pqdweb?RQT=302&cfc=1

Lalu masukkan username = WDCN996PQ4 dan PAAWORD = WELCOME.

Waktu saya nulis tulisan ini masih bisa. Kalu udah gak bisa berarti udah ada password yang baru. Untuk info tentang password baru silahkan kunjungi situs cina :

http://www.free789.com/free/zhhao/?Page=1

Atau kalu mau yang bahasa Indonesia : http://pascasarjana.blog.com/

Okedeh, Selamat Belajar Yah...
wss.wr.wb..

NW dan Dimensi Ekonominya

Dalam pencitraannya yang lebih hidup, baik dilingkungan akademis maupun masyarakat umum, sebagian masyarakat beranggapan bahwa NW (Nahdlatul Wathan) adalah organisasi yang didukung oleh sebagian besar golongan menengah dan menengah kebawah yang berbasis dikota-kota dan sebagian besar di pedesaan di Propinsi NTB ini. Citra ini setidaknya berangkat dari konsep sosiologi ekonomi tentang organisasi keagamaan terbesar di Propinsi NTB ini, paling tidak menempati urutan ke tiga terbesar secara nasional dalam lingkup Propinsi NTB setelah setelah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Citra tersebut dalam dimensi ekonominya dewasa ini menimbulkan pertanyaan yakni apakah NW dapat menjadi kekuatan ekonomi tersendiri, setidak-tidaknya akan mengandung suatu potensi ekonomi tertentu secara nasional, terlebih dalam konteks lokal kedaerahan?
Berangkat dari hal itulah –tanpa terjebak dengan adanya polarisasi dalam NW sendiri- menyimak dan mempelajari alur perjalanan organisasi keagamaan yang satu ini, karena penulis sendiri juga membayangkan suatu potensi ekonomi tertentu, yang sebenarnya masih terpendam. Kalangan-kalangan tertentu dalam organisasi ini tentunya pernah juga memprakarsai berbagai bentuk model pembangunan ekonomi mulai dari warga hingga simpatisannya, mulai dari model jaringan melalui penghimpunan dana, kredit ataupun pembiayaan, namun sayangnya nampaknya usaha tersebut belum dirasa manfaat dan dampaknya secara lebih maksimal untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
NW, jelasnya belum menjadi kekuatan ekonomi –jika tidak ingin dikatakan tidak dapat menjadi kekuatan ekonomi- jika ukurannya adalah besarnya basis masa yang dimiliki organisasi ini, atau jika kita bandingkan juga dengan etnis yang lain, seperti cina atau arab misalnya, yang sedikit tidak telah berhasil membangun jaringan konglomerasi ekonominya sendiri. Memang ada unit usaha NW yang telah berjalan, namun nilai ekonominya baik bagi warga NW sendiri apalagi bagi ummat Islam di Propinsi NTB ini bisa diabaikan. Mengapa pula ide-ide kreatif untuk mengembangkan “gerakan ekonomi warga NW” meski menimbulkan konflik atau kontroversi karena adanya polarisasi dalam tubuh NW sendiri.
Disisi lain, penulis berharap akan masih banyak warga NW sendiri yang masih terus optimis dengan kegiatan-kegiatan ekonomi. Bukankah dalam bidang pendidikan warga NW telah menunjukkan hasil-hasil yang sangat memuaskan? Dan hal tersebut setidaknya dapat dijadikan pijakan untuk selanjutnya membenahi dimensi ekonominya. Disamping itu pula beranjak dan mulai bergerak dalam kegiatan-kegiatan sosial ekonomi ysng lebih terlembaga, terstruktur dan menyentuh kebutuhan utama warga misalnya dalam bidang keuangan dengan pendirian BMT-BMT, BPRS-BPRS, rumah sakit NW atau pos-pos pelayanan kesehatan. Bukankah amal-amal usaha tersebut memiliki nilai ekonomis. Berbagai kegiatan-kegiatan seperti pengajian, seminar, penerbitan dan lainnya dapat diambilkan dananya sebagian dari sumber-sumber tersebut. Sehingga satu usaha dengan usaha lainnya akan bernilai ibadah di satu sisi dan profit oriented disisi yang lain.
Karena hal tersebut, maka suatu persfektif ekonomi tertentu akan dapat tampak dari kegiatan amal usaha tersebut. Terlebih saat ini telah berkembang konsep-konsep yang lebih maju tentang ekonomi syariah, perbankan syariah, keuangan syariah, bisnis syariah dan lebih berorientasi pada konsep-konsep bisnis dan dengan penekanan-penekanan pada kegiatan-kegiatan bukan proyek-proyek sosial. Jika hal tersebut dapat dilakukan, setidaknya NW telah memiliki profit center, dan malah akan berdampak pada penyejahteraan warganya. Namun meski dicatat juga bahwa kegiatan sosial (jika kita enggan menyebutnya ibadah) dapat juga mengandung unsur bisnis bagi peningkatan kesejahteraan warga NW sendiri.
Pemikiran dan perbuatan yang berorientasi pada kegiatan ekonomi dimasa depan tampaknya akan menjadi suatu keniscayaan. Memang sepintas lalu kita tidak dapat memisahkan antara usaha warga NW dengan dengan amal sholeh dalam organisasi ini. Dalam hal ini pendiri NW sendiri Maulana Syeikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, pernah mewanti-wanti bahwa “semulia-mulianya kamu kepada ku adalah yang paling banyak jasanya kepada NW, dan sejahat-jahatnya kamu kepadaku adalah yang paling banyak berbuat kerusakan untuk NW”. Sekalipun para warga NW adalah kebanyakan golongan masyarakat menengah dan menengah kebawah, tetapi di NW mereka banyak membahas tentang ilmu, iman dan taqwa.
Mengkaji Q.S. Al Ma’un. NW memang digerakkan atas konsep iman dan taqwa. Jika dilihat dalam prosfek ini NW memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Kita lihat misalnya dalam berbagai sector kehidupan ummat mulai dari pejabat pemerintah hingga para buruh dan pedagang adalah warga NW juga. Terhadap warganya ini, hingga taraf ini baru bisa menggugah rasa tanggung jawab sosial mereka dalam ritus-ritus ritual keagamaan, seperti pengajian-pengajian umum. Namun NW belum dapat berbuat banyak untuk lebih memberdayakan warganya. Hal ini dikarenakan apakah NW masih sedikit mengkaji atau dalam memberikan pengajian-pengajian masih sedikit sekali menyentuh konsep-konsep dakwah dalam pembangunan ekonomi yang bernuansa kontemporer dalam kontekstualisasi kedisinian nya ummat dan warga NW ataukah faktor penyebab lain baik itu intern NW sendiri atau ektern NW.
Kini, setelah masa reformasi NW dihadapkan pada persoalan dan tantangan baru. Dalam proses pembangunan ekonomi, kepentingan ekonomi warga NW banyak yang terbelit, sebagian dan mungkin sebagian kecil nya lagi masih bisa bertahan. Namun sebagian besarnya mengalami marginalisasi. Sebagian yang lain warga NW mulai bertanya “apa yang bisa diperbuat NW?” jika tidak ada jawaban, jika tidak ada tindakan, maka NW akan mengalami kesulitan dalam sumber pendanaan. Jika warganya miskin, NW dalam hal ini tentu akan turut merasakannya, selanjutnya keadaan ini akan turut menimbulkan biaya ekonomi, sosial dan politik yang tidak murah.
Namun setidaknya kita masih dapat bersyukur. Jika melihat potensi pendidikan warga NW yang merupakan investasi bagi masa depan. Namun dapatkah hal tersebut diandalkan, dalam arti berapa prosentase warga NW sendiri yang akan konsen terhadap pembangunan ekonomi NW sendiri? Jika keadaannya masih terus berlangsung seperti saat ini? Dari tahun ke tahun, memang berkat jaringan pendidikan, rata-rata tingkat pendidikan warga NW terus meningkat dan sekarang setidaknya NW telah dapat mengklaim memiliki kolega professional muda. Satu lagi, bagi warganya yang mungkin enggan untuk kembali membangun NW, setidaknya NW dapat mengambil keputusan untuk menyerukan agar para profesionalnya kembali guna membangun NW tentunya dengan diimbangi dengan semangat keadilan dalam beragam asfeknya dengan kontribusi yang diberikan.
Saat ini, bagi sebagian warga NW telah timbul pula pandangan bahwa dengan berjama’ah warga NW dapat menghidupi NW sembari berjama’ah dengan warga NW lainnya. Hal ini setidaknya tidak perlu diperdebatkan, bahkan sebagian yang lain beranggapan dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki sudah saatnya warga professional muda NW untuk tampil dengan program-program baru dan strategi-strategi jitu dalam upaya pemberdayaan ummat. Permasalahan ekonomi warga NW tidak lagi dilihat sebagai suatu persoalan, namun lebih kepada peluang, tantangan dan kesempatan untuk lebih bermanfaat bagi ummat.
Jika kita kembali mengkaji dalam konsep sumber daya maka dapat dikatakan bahwa NW memang merupakan ‘basis kekuatan ekonomi’ bahkan bidang lain semisal politik di Propinsi NTB, setidak-tidaknya NW adalah potensi yang patut diperhitungkan. Golongan professional dan cendikiawan muda adalah merupakan salah satu potensi sumber daya manusia yang sangat strategis yang dimiliki NW saat ini. Namun bagi sebagian yang lain yang memiliki kecendrungan kearah modal dan tekhnologi tentu mempertimbangkan akan dapatkah NW mengambil peranan yang lebih konkrit dalam menghantarkan mereka menjadi golongan ekonomi yang diperhitungkan dimasa depan?
Dan keadaan tersebut masih merupakan ide yang disodorkan ke NW karena disadari juga bahwa kiprah warga NW tidak saja akan berdampak pada warga Muhammadiyah, NU tapi juga pada perekonomian nasional tentunya. Impian ini akan dapat terwujud jika NW berhasil berkembang menjadi salah satu kekuatan lobi yang kuat dan disegani. Dengan melihat potensi SDM ini saja, NW dapat menorehkan catatannya sendiri dalam dimensi ekonomi dengan jaringannya, kewirausahaan dan managemen sebagai titik sentralnya. Berbagai sumber daya ekonomi lainnya dapat dimobilisasi, sekali lagi bukan hal yang tidak mungkin dimasa depan NW akan menjadi kekuatan ekonomi tersendiri. Misalnya saja melalui upaya memperkuat sumber daya permodalan, tabungan dan lainnya. Dari sini saja NW dapat mengakses kredit atau pembiayaan untuk lebih mengembangkan unit-unit terkecil ekonominya, baik sebagai perorangan warga NW maupun secara koorporatif.
Jika hal tersebut dapat terwujud. Maka semulia-mulianya kamu kepada ku adalah yang paling banyak jasanya kepada NW, sesuai dengan wasiat sang guru Maulana Syeikh. Meski telah banyak usulan kearah tersebut, dan tulisan ini adalah untuk yang kesekian kalinya. Namun paling tidak hal ini akan menjadi semacam titik balik bagi warga NW dan simpatisannya untuk lebih dapat memberikan kontribusi bagi NW. Semoga.

Pemberdayaan Manusia

Angka pengangguran di Indonesia untuk tahun 2005 ternyata cukup mencengangkan yakni mencapai sekitar 10,8 juta jiwa. Tahun 2006 hingga awal tahun 2007 diperkirakan akan menjadi titik balik pertumbuhan angka pengangguran tersebut. Relativitas jumlah penganggur yang saat itu 10,3 % pada akhir tahun 2009 diharapkan akan dapat ditekan hingga di bawah 6 % oleh pemerintah (Kompas, 28/01/2006).
Jumlah tersebut tentunya mengindikasikan kesenjangan antara jumlah tenaga kerja dengan tersedianya lapangan kerja. Menurut Sekjen Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi jumlah pengangguran tersebut didominasi oleh lulusan SLTP dan SLTA yakni sebesar 61% sedangkan lulusan SD kebawah sebesar 30% dan sisanya sebesar 7% yakni mereka yang mengantongi lulusan Perguruan Tinggi. Sedangkan dari setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya tercipta sekitar 200.000 kesempatan kerja baru. Jika dipridiksikan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 5% per tahun maka terdapat hanya sejitar 1 juta kesempatan kerja baru, ironisnya pertumbuhan tenaga kerja baru tiap tahunnya mencapai 2,5 juta jiwa.
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dewasa ini masih didukung oleh komponen kapital sebesar 70% sedangkan produktivitas hanya menyumbang 11% dan faktor tenaga kerja 19%. Rendahnya dukungan faktor produktivitas tersebut tentu erat terkait dengan rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. (Edi Suharto, 2005). Dengan menggunakan ukuran Human Development Index (HDI), UNDP (2004) melaporkan bahwa dari 175 negara, Indonesia masuk peringkat ke 111. HDI merupakan salah satu ukuran untuk menentukan kualitas SDM yang digunakan UNDP sejak tahun 1990. HDI ini mencerminkan kualitas hidup manusia yang dirangkum dari beberapa indicator yakni umur harapan hidup, pendidikan dan pendapatan perkapita penduduk. Kualitas HDI yang rendah mendekati angka 0 (nol) dan kualitas HDI yang baik mendekati angka 1 (satu). Rendahnya kualitas SDM dapat juga kita lihat dari tingginya angka pengangguran sebagaimana di atas.
Selain karena faktor tidak sebandingnya kesempatan kerja dengan pencari kerja. Pengangguran disebabkan juga oleh ketimpangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja yang antara lain juga diakibatkan oleh kebijakan ketenagakerjaan pemerintah yang terlalu mengandalkan sektor tenaga kerja formal. Padahal sektor informal terutama diperkotaan mampu menyediakan sekitar 83% kesempatan kerja. Sektor inilah yang oleh pemerintah belum mendapat pengakuan dan penanganan yang tepat dan proporsional.
Untuk tingkat pendidikan angkatan kerja diketahui bahwa kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia juga masih rendah. Dari jumlah angkatan kerja tahun 2002 sebesar 94 juta orang, sebagian besar pendidikan tenaga kerja adalah tamat sekolah dasar sebesar 34 juta orang (36,2%) tidak sekolah sebanyak 7 juta (7,4%) tamat SLTP 14 juta orang (14,9%) tamat SLTA 18 juta orang (19,1%) sedangkan yang tamat diploma keatas sama jumlahnya dengan yang tamat SLTP yakni 14 juta orang (14,9%).
Dari kenyataan di atas, ditambah keadaan riil yang saat ini tengah kita alami, tidaklah terlalu berlebihan jika kita mengatakan bahwa pengangguran dapat menimbulkan kemiskinan, dan sebaliknya kemiskinan dapat pula menyebabkan pengangguran yang pada gilirannya kedua hal tersebut (pengangguran dan kemiskinan) akan dapat menimbulkan disintegrasi sosial. Namun demikian disintegrasi sosial ini tentunya tidak melulu dipengaruhi oleh faktor ekonomi, namun faktor sosial dan politik dapat pula berperan Di dalamnya, semisal heterogenitas kultural, institusi-institusi politik dan pemerintahan yang tidak demokratis, tidak transparatif dan akuntabel, rendahnya penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dapat pula menimbulkan disintegrasi sosial.
Data-data tersebut tentunya menggugah kesadaran kita, betapa tidak. Karena ia menunjukkan betapa sulitnya Negara, bangsa kita beralih ketahapan yang lebih baik. Itu baru hanya kita lihat dalam kaca mata kualitas SDM yang pada gilirannya menjadi sesuatu yang fundamental untuk mewujudkan suatu masyarakat Indonesia yang adil, merata dan makmur. Kenyataan ini justru makin diperparah dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah guna merevisi UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang dinilai tidak memihak para pengusaha. Umumnya bagi mereka yang bergerak disektor menengah kebawah (UKM dan sektor Riil). Justru jika ia direvisi akan berbuntut pada perlindungan terhadap perilaku ekonomi monopolistik. Sementara itu perbaikan sistem peradilan yang dirasa masih banyak pungutan liar disana sini juga masih jauh panggang dari api. Sedangkan disisi lain hal tersebut dirasa sangat mendesak guna menciptakan iklim usaha yang kondusif. Deret kesemerawutan juga menambah daftar panjang dengan tingkah polah birokrasi yang enggan berbenah untuk menuju keadaan yang lebih baik.
Solusinya, seyogyanya dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya pemerintah menerapkan kebijakan yang ‘memihak’ pada kelompok yang marginal melalui perlindungan terhadap pengusaha kecil dan menengah darin dominasi perilaku ekonomi monopolistik. Peningkatan perluasan dan mempermudah perkreditan atau pembiayaan di industri permodalan lain yang lebih kondusif perlu ditinjau kembali. Selain itu program penanggulangan pengangguran, keterbelakangan, tingkat pendidikan yang rendah perlu dilengkapi dengan kebijakan-kebijakan “tindakan turun tangan” yang tentunya hal ini memiliki dampak strategis yang luas dan berjangka panjang.
Penegakan hukum dan “pembenahan” birokrasi juga menjadi agenda yang mendesak dan tak kalah pentingnya dilakukan. Hal ini disamping untuk mempercepat laju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi masyarakat juga untuk menciptakan kepastian usaha yang kondusif bagi para investor. Selain itu alih saham, pembiayaan dan kredit dari bank-bank pemerintah dan swasta perlu dikelola secara lebih efektif dan efesien untuk dimobilisasi bagi kepentingan industri kecil dan menengah, sektor informal dan usaha-usaha kecil lainnya agar partisipasi ekonomi masyarakat lebih meluas dan merata. Hal ini misalnya dapat diterapkan melalui implementasi wakaf tunai (cash waqf) sesuai dengan amanat UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Langkah-langkah tersebut di atas juga perlu didukung oleh kalangan industri yakni dengan memberikan perhatian serius terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang tentu saja keadaan ini menurut Depnakertrans dinilai masih minim. Pada tahun 2005 hanya 10% dari 170.000 industri besar Indonesia yang menerapkan sistem managemen K3 dan kenyataan ini lebih memperihatinkan dalam lingkungan UKM.
Pemberdayaan manusia dengan demikian akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan pembangunan manusia tidak dapat bertahan lama. Hal ini sesuai dengan apa yang telah ditunjukkan oleh Orde Baru. Demikian pula hal tersebut sejalan dengan temuan pakar ekonomi peraih Nobel tahun 1998 Amartya Sen yang dengan sempurna membuktikan bahwa antara pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial tidaklah otomatis. Agar berjalan positif dan berkelanjutan meski ditunjang oleh kebijakan sosial pemerintah yang pro pembangunan kesejahteraan sosial. Akhirnya pemberdayaan manusia akan menjadi lebih penting daripada pemberdayaan apapun yang berwujud material.

Membaca Kemiskinan Kita

Selaku manusia kita sadar, kita memiliki kelebihan dari mahluk lain. Dalam hal penciptaan, manusia diciptakan sebaik-baiknya ciptaan (Q.S. Al Isra’ ayat 70). Dengan sendirinya kita dapat membandingkan hal ini baik dengan hewan terlebih tumbuhan. Predikat inheren yang kita miliki memisahkan kita dengan benda lainnya (padat, cair dan gas) yakni keberkembangannya, perbedaan kita dengan tumbuhan yakni pada keinginan kita, dan diferensia yang memisahkan kita dengan hewan yakni keberakalan kita yang tidak diberikan Tuhan pada mahluk yang lain, termasuk malaikat. Dan dengan kelebihan-kelebihan itulah manusia memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin Di dalam kehidupan dijagat raya ini (khalifatullah fil ardhi). Setiap manusia memiliki potensi untuk itu, tinggal bagaimana memproses dan selanjutnya mewujudkan potensi tersebut, hal itulah yang kiranya sangat dibutuhkan.
Demikian besar peran manusia dalam tatanan kehidupan, maka itu dibutuhkan alat bagi manusia untuk mewujudkannya yakni dalam hal ini misalnya dapat diperoleh melalui aktivitas membaca, yang dalam kajian kali ini penulis artikan dalam pengertian yang seluas-luasnya misalnya melakukan penelitian, survey, pengamatan, diskusi, tafakkur, memikirkan pada penciptaan diri manusia, dan seluruh alam ciptaanya.
Membaca merupakan aktivitas yang sangat berharga bagi manusia, bagaimana ia berproses untuk memanusiakan manusia, atau hanya sekedar menjadi manusia dengan predikat inheren yang hanya melekat pada dirinya saja. Membaca merupakan suatu prasyarat dalam peningkatan pradaban dan westelnescauung manusia. Disinilah akan berlaku dengan membaca manusia akan dapat meningkatkan peradaban dan dengan demikian pula sebaliknya.
Dalam kajian kali ini, penulis mencoba untuk mengkolaborasikan membaca dengan kemiskinan dan penulis berharap para pembaca akan dapat membaca kemiskinan dan beberapa dirivat turunan yang melekat padanya, yakni misalnya siapa yang disebut miskin, faktor penyebab kemiskinan, Islam dan kemiskinan dan beberapa hal yang dapat dijadikan cara atau solusi dalam menghadapi kemiskinan, baik itu yang melekat pada diri kita atau lingkungan sekitar.
Dalam terapan nantinya setelah melalui proses membaca, penulis juga berharap para pembaca akan dapat membaca “tingkat kemiskinan” yang berbeda untuk tiap individu, dan masyarakat, yang tentunya keadaan ini tidak dapat terlepas dari predikat inheren yang melingkupinya, keadaan diri, lokasi ataupun situasi dimana kemiskinan itu dibaca, dan bagaimana bentuk penyikapan terhadap kemiskinan itu sendiri, atau cara pengentasannya tentunya akan berpulang kepada para pembaca yang budiman, dalam membaca dan merasakan kemiskinan yang melingkupinya.
Setelah memahami konteks membaca dalam kajian yang kita gunakan, selanjutnya kemiskinan bagi penulis akan dilihat dalam kacamata yang sama, artinya tidak dapat mencakup pengertian yang secara materialnya saja kita pahami selama ini, namun dalam persfektif yang lebih luas, baik itu dalam kandungan kata ataupun pemaknaan katanya.

Pengertian Kata
Dalam pengertian kamusnya, kata miskin diartikan sebagai tidak berharta, serba kekurangan (berpenghasilan rendah), sedangkan kata fakir yang merupakan derivatnya diartikan dari obyeknya sebagai orang yang sangat kekurangan, atau sangat miskin. Setelah melalui imbuhan, kata miskin diartikan dalam KBBI (2001) sebagai hal miskin atau keadaan miskin.
Jika kita perhatikan pada pengertian kamusnya, tampak bahwa ukuran penetapan miskin dilihat hanya dari segi kepemilikan terhadap materi saja (materialisme) dalam arti hanya segi pemenuhan kebutuhan yang bersifat materi, misalnya berpenghasilan rendah, tidak berharta, atau serba kekurangan. Memang jika ditinjau dari aspek kebahasaan akan terlihat bahwa penetapan tolak ukur untuk kemiskinan tidak hanya ditentukan dari sudut pandang ini, terdapat sebagian mereka yang berpendapat bahwa fakir adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya. Ada juga yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si fakir relatif lebih baik dari si miskin. Demikian diantaranya menurut Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al Qur’an. Dalam buku yang sama Yusuf Qardhawi –ulama kontemporer- berpandangan bahwa yang disebut miskin ialah warga (baik muslim maupun non muslim) yang menderita lapar, tidak berpakaian, tidak bertempat tinggal (menggelandang) dan membujang.
Dalam pandangan Yusuf Qardhawi yang telah disebutkan di atas tampak bahwa yang disebut miskin ialah orang yang tidak terpenuhinya kebutuhan pokok berupa kebutuhan akan sandang (pakaian) papan (tempat tinggal), dan pangan (makanan). Namun demikian Beliau masih menambahkan bahwa yang disebut miskin juga termasuk mereka yang membujang. Dalam memahami pernyataan ini, pengertian miskin ternyata lebih meliputi, artinya tidak hanya dilihat dari sisi materinya saja namun lebih pada kurangnya perhatian terhadap diri sendiri atau bahkan pada masyarakat sekitar seperti yang dicontohkan di atas yang dapat disebut sebagai miskin perhatian, cinta, atau dapat juga berupa pengetahuan atau ilmu yang sering diistilahkan miskin ilmu, atau pengertian lain yang meliputi, artinya pengertian lain yang lebih luas dari persfektif yang kita pahami yang tanpa menyentuh aspek dalam sisi lainnya karena tidak terdapatnya pengetahuan dan kecakapan fungsional yang terlibat dalam pemenuhan sisi materialnya.

Siapa Yang Miskin?
Menunjuk pada pengertian di atas, akan tampak dalam persfektif yang lebih luas siapa yang disebut miskin dalam kajian ini, miskin dalam artian yang lebih luas penulis artikan sebagai seseorang, kita atau suatu masyarakat baik itu dalam skala lokal maupun nasional yang sadar atau tidak atas ‘kekurangan’ yang melekat pada dirinya secara inhern dan ekstern, disadari atau tidak. Kekurangan ‘perhatian’ terhadap pribadi, kelompok atau bangsa ini disebut sebagai miskin yang telah mengalami suatu fase perubahan pemahaman menuju pemaknaanya yang lebih luas, yang selanjutnya dapat dipertanyakan dan dikritisi. Akhirnya siapa yang miskin dan disebut miskin akan tergantung pada sudut pandang mana kemiskinan itu dirasakan, secara pribadi, kelompok, agama, berbangsa dan bernegara, yang selanjutnya hal itu tentu saja agar dapat kita kritisi baik secara pribadi, ummat atau secara nasional kebangsaan kita.
Secara harfiah pemaknaan kata miskin dapat diungkapkan dalam persfektif yang lebih luas yakni untuk mempertanyakan kembali eksistensi faktor atau hal apa yang melatarbelakangi terjadinya hal atau faktor yang dapat berlaku secara umum, dalam arti secara kelompok atau secara nasional kebangsaan, misalnya untuk suatu Negara atau bangsa, secara keagamaan misalnya untuk ummat beragama (misalnya Islam), suatu kelompok atau golongan masyarakat dalam unit terkecil misalnya suatu keluarga. Demikian pula hal ini berlaku untuk individu dalam personal tunggal.
Dalam kaitan ini, pernyataan di atas relevan untuk dipertanyakan kembali, setidaknya untuk dapat membahana kembali dan dapat didengar, dan dapat menyentuh seluruh realitas kehidupan, baik itu secara individu, keagamaan, dan secara nasional dan dalam lingkungan sosial kapan dan dimanapun agar dengannya dapat membentuk suatu sinergi, membentuk, mengatasi dan menjawab berbagai persoalan yang timbul semisal adanya dominasi politik dan ekonomi, kejumudan, kemuduran dan keterbelakangan dan teralienasinya (terasing) setiap individu dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Selanjutnya ketiga faktor itulah yang akan diperdalam dalam kajian berikutnya.
Kita dapat merasakan dampak yang diakibatkannya, yang tentunya secara negatif. Jika setiap persoalan yang terkait dengan pertanyaan di atas tidak segera dijawab, hal ini sedikit atau tidak akan berpengaruh pada budaya mentalitas yang akan berkembang, karena bagaimanpun tiap Negara atau bangsa, ummat dan tiap pribadi yang tidak mengetahui, sadar atau tidak dan tidak mengidentifikasi adanya kekurangan (kemiskinan) pada dirinya sendiri dan dengan sendirinya hal itu akan berdampak pada sikap mental yang tidak mengetahui dan acuh tak acuh atau bahkan tidak mau tahu, tidak mau melakukan perubahan, terhadap diri dan masyarakat, bangsa terlebih terhadap peningkatan mentalitas keagamaan. Akibatnya ketergantungan kepada yang lebih mapan, dapat berupa Negara yang lebih maju (super power), sikap statis (terlalu berpegang pada tradisi lama, tanpa mau melakukan kajian atau rekonstruksi) pemikiran misalnya.
Dalam bidang keagamaan misalnya taklid membabibuta, atau cenderung menyalahkan faktor di luar diri dan lingkungannya. Disinilah relevansi dari pertanyaan di atas (jika ia dapat dijawab) akan dapat melahirkan hubungan sinergis dan harmonis antar berbagai faktor yang telah disebut di atas, yakni dengan adanya rasa ‘perhatian’ untuk melakukan perubahan atas kekuarangan (kemiskinan) yang terjadi dan telah dapat teridentifikasi dalam tiap aspek.

Analisa Penyebab Kemiskinan
Kata miskin menurut Quraish Shihab berasal dari bahasa arab yang terambil dari akar kata ‘sakana’ yang berarti diam atau tenang, dalam uraian kebahasaan tampak jelas bahwa penyebab kemiskinan ini yakni adanya sikap berdiam diri, enggan atau tidak mau berusaha, penyebab keadaan ini yakni dapat berasal dari dalam diri atau dapat juga berasal dari faktor luar, lingkungan, baik secara lokal, nasional ataupun internasional. Oleh Quraish Shihab penyebab kemiskinan ini diidentifikasi sebagai penganiayaan oleh manusia lain yang diistilahkannya dengan kemiskinan structural yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan perolehan atau penggunaan sumber daya, salah satu contoh misalnya penggunaan teknologi. Disatu sisi kita dapat menciptakan lapangan kerja, jika dilihat dari tahap pertama proses penciptaannya, dan disisi lain dapat menimbulkan hilangnya kesempatan kerja, karena bagaimanapun menurut Radhar Panca Dhana, teknologi merupakan anak jenius ilmu pengetahuan yang paling berambisi menjadi Tuhan dengan cara menundukkan waktu, memperalatnya, untuk selanjutnya menundukkan ruang juga jarak dan bentuk sebagai derivatnya, disinilah berlaku kemutlakan untuk menguasai teknologi dan untuk itu dibutuhkan tidak saja biaya, waktu tapi juga tenaga dan pemikiran.
Jika kita kembali melihat penyebab kemiskinan yang diuraikan oleh Quraish Shihab, maka akan terlihat bahwa faktor penyebab terletak diluar (adanya penganiayaan oleh manusia lain) disini sekitarnya akan berlaku ketidakadilan dan penghisapan yang hal itu akan mengakibatkan dominasi dalam berbagai aspek, baik itu untuk skala individual, kontek keagamaan dan secara nasional.
Dalam analisa penyebab kemiskinan, selanjutnya penulis akan meminjam pisau analisa Paulo Freire –tokok pendidikan Brazil- dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas. Paulo membagi tingkat kesadaran menjadi tiga yakni kesadaran magis (magical consciousness) yakni jika masyarakat tidak memahami mengapa mereka miskin, serta menyerahkan dengan mengembalikan masalah mereka kepada Tuhan. Tingkat kesadaran ini bersifat fatal dan sering dianggap sebagai biang kemiskinan. Penganut faham ini bisaanya sering disebut kaum pesimis, mereka beranggapan bahwa hidup adalah proses kesengsaraan dan proses pasti menuju tragedy. Tokoh kaum ini yakni Darrow yang menyatakan bahwa hidup ialah sebuah guyon yang mengerikan (awful joke) dan Tolstoy yang melihat hidup sebagai tipuan dungu (stupid fraud). Selain itu juga, jika mereka menerima kebahagian kaum pesimis ini akan mendifinisikannya sebagai keadaan tidak adanya kesengsaraan. Karena kebahagian itu diartikan negatif maka menurut kaum ini kebahagian itu tidak sejati alias palsu maka lebih jauh menurut Nurcholish Majid dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban, tipikal ucapan kaum pesimis ialah “segala yang lalu telah tiada, segala yang akan datang belum terjadi dan segala yang ada sekarang tidak memadai”.
Demikian sekelumit pandangan kaum pesimis tentang kehidupan. Berikutnya apa maksud penulis mengungkapkan kajian pandangn kaum pesimis ini dalam bagian tersebut di atas. Hal ini penulis maksudkan untuk memberikan gambaran bahwa tingkat kesadaran magis ini ternyata hingga saat ini masih berlangsung walau dalam prosesntase yang sangat kecil dan terus berlangsung dilingkungan masyarakat sekitar kita yang oleh Mansour Fakih, dalam buku Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Prof. Harun Nasution, diidentifikasi diakibatkan oleh pengaruh pemikiran ‘sunny’ yang berwatak feodalistik dan predeterminisme, dalam arti tidak memberikan kepada manusia peranan (kehendak) untuk memainkan perannya dalam menciptakan prilaku sendiri, yakni hanya dengan menyerahkannya bulat-bulat kepada kehendak atau takdir Tuhan, demikian lebih jauh menurut Murtadha Muthahhari, dalam bukunya Manusia dan Takdirnya Antara Free Will dan Determinisme.
Tingkat kesadaran kedua yakni kesadaran naïf (naïf consciousness) yakni jika masyarakat percaya bahwa kemiskinan dan keterbelakangan mereka disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri, dan mau menyadari bahwa kemajuan orang (bangsa) dicapai melalui mentalitas dan usaha mereka, namun demikian harus disadari bahwa kesadaran ini disadari atau tidak masyarakat sering mewarisi sikap sebagai seorang penindas, dalam pengertiannya secara luas.
Pada tingkat kesadaran yang kedua ini kita akan menyadari penyebab kemiskinan atau mengetahui adanya kekurangan yang teridentifikasi berasal dari dalam diri kita sendiri. Dengan ini selayaknya kita keluar untuk melihat, mengidentifikasi diri kita, melihat ‘pakaian’ kita mmeriksa ‘otak’ kita, atau ‘makan’ dan ‘tempat’ sebagai ‘batas’ diri kita untuk menganalisa dan mengkritisi kemiskinan (kekurangan) yang ada pada tiap-tiap kita dalam lingkungan tempat kita bereksistensi, baik selaku Negara, dan bangsa dalam lingkungan keagamaan, maupun selaku personal tunggal. Selanjutnya bagaimana melakukan perubahan atau ‘perhatian’ dalam menyadari ‘kekurangan’ yang melekat dan perlu ‘dibersihkan’ pada ‘tubuh’ kita masing-masing. Baik itu yang kita identifikasi sebagai adanya dominasi politik dan ekonomi yang selama ini menyelimuti, kejumudan dan keterbelakangan maupun keadaan terasingnya tiap individu ditiap tengah-tengah persaingan pasar global.
Tingkat kesadaran terakhir yakni kesadaran kritis (critical consciousness) yakni tingkat kesadaran dimana masyarakat memahami bahwa kemiskinan dan keterbelakangan mereka disebabkan oleh suatu struktur yang tidak adil yang mengakibatkan keadaan kemiskinan. Pada tingkat kesadaran ini kita diinginkan untuk kritis dan kembali mempertanyakan penyebab kemiskinan yang secara structural terjadi, baik itu diakibatkan oleh ketidakadilan, kelaliman atau kezaliman, secara lokal atau secara nasional, misalnya untuk kasus ini yakni adanya KKN dalam tiap institusi structural, bencana perpecahan kepentingan, penebangan hutan dan eksploitasi sumber daya, HPH, dan sederet penyebab yang secara structural membelenggu dalam ranah cultural sebagai individu, kelompok, agama, maupun secara nasional tidak bisa dimaafkan.
Pada dataran institusi dan keagamaan, kita dihadapkan pada kenyataan akan adanya Islam inklusif, Islam timur, Islam barat, muslim abangan, muslim pribumi dan sederet deverensia yang turut menentukan sudut pandang dan daya analisa serta pemikiran kita. Disinilah kita seharusnya dapat mempertanyakan kembali status quo yang berlaku bagi tiap golongan, misalnya dalam ranah kultural dan struktural ummat dan masyarakat. Adanya taklid mazhab membabibuta, dengan sudut pandang konvergen dengan satu sudut pandang pemikiran tanpa kajian lebih mendalam dan melakukan study komparatif atas berbagai sudut pandang dan pemikiran yang terkait masalah kekinian ummat. Bukankah Islam yang kita fahami memiliki kebenaran universal? Baik dari sisi keduniaan dan keakhiratan (keagamaan), bukankah Nabi Muhammad SAW sukses dalam dua dunia? Atau haruskah ada label yang membedakan ummat yang ‘sunny’ yang ‘asy-ary’ ataukah pengaruh determinisme yang ala jabariah.
Dan pada dataran individual selaku personal tunggal kita dapat kembali bercermin, mengidentifikasai penyebab kita teralienasi. Kita kerap menempel wajah yang retak dengan tumpukan Koran, komik, vcd porno, atau pengaruh materialisme yang menuntut sikap konsumerisme yang membabibuta dalam pola perilaku keseharian kita, atau kita meski bertanya pada yang namanya institusi iman kita yang telah terkontaminasi oleh pengaruh modernitas dan westernian yang sekuler, hal ini nampaknya harus dipertanyakan kembali, pada diri kita, diri manusia.

Islam dan Kemiskinan
Michael Hart dalam bukunya Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh di Dunia menyatakan bahwa penempatan Nabi Muhammad SAW dalam urutan pertama bukunya tentu akan menimbulkan berbagai pertanyaan, baik yang pro maupun yang kontra, namun dalam argumennya Hart menyatakan bahwa sosok Nabi Muhammad SAW lah yang pantas menyandang gelar itu karena tidak saja Beliau sukses dalam bidang keagamaan namun juga sukses untuk urusan keduniaan dan pengaruh yang ditinggalkan untuk kedua sisi kehidupan tersebut sangat terasa hingga saat ini. Dalam persfektif ini Islam dapat dilihat sebagai agama pembebasan yang membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan, hal ini dapat dirunut dari sejarah munculnya Islam saat itu, Makkah dijadikan sebagai pusat perdagangan dan transaksi komersial internasional selanjutnya hal inilah yang berdampak pada sifat kapitalisme masyarakat arab waktu itu, dan dalam konteks inilah Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW lahir.
Dalam perkembangan selanjutnya dengan doktrin egalitarian, Nabi SAW melawan para kapitalis Makkah dalam segala bentuknya, ekonomi, pemusatan dan monopoli harta, perbudakan. Dan dari sini pula penganiayaan manusia terhadap diri dan lingkungannya dalam persfektif yang lebih luas melahirkan kemiskinan tidak dibenarkan. Demikian pula, seorang mujahid Islam Ibnu Taimiyah (1263-1328) sangat menolak pandangan hidup yang menjauhi keduniaan, baginya kebaikan dan kebajikan itu terletak pada kemampuan seseorang dalam memenuhi kewajibannya, inilah yang menurut Beliau makna sebenarnya dari al-zuhud. Terkait dengan itu menurut Ibnu Taimiyah merupakan kewajiban bagi Negara untuk menghapuskan kemiskinan. Dalam daftar pengeluaran publik dari Negara, Ibnu Taimiyah menulis “merupakan sebuah konsesus umum bahwa siapapun yang tidak mampu memperoleh penghasilan yang mencukupi harus dibantu dengan sejumlah uang, agar mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, tidak ada masalah apakah itu para peminta-minta atau para serdadu, pedagang, tukang ataupun petani pengeluaran untuk kepentingan orang miskin tak hanya berlaku khusus bagi orang-orang tertentu, misalnya tukang yang memiliki kesempatan bekerja, tetapi hasilnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya semuanya berhak atas bantuan sedekah”.
Lebih jauh menurut Ibnu Taimiyah “merupakan perbuatan terbaik bagi para pemegang otoritas untuk membedakan mereka yang patut menerima bantuan dan yang tidak patut dan untuk berlaku adil dalam pendistribusiannya untuk tujuan kehidupan maupun urusan publik, dan merupakan kewajiban pemegang otoritas untuk mengumpulakn uang dari sumber manapun dan membelanjakan secara adil dan layak, dilaksanakan dan tidak pernah meniadakan hak dari mereka-mereka yang memang berhak”
Namun demikian, dalam zaman seperti sekarang ini justru masyarakat kapitalis makin menurutkan sifat konsumtifnya dengan menciptakan berbagai kebutuhan-kebutuhan baru yang artifisial dan dengan publikasi yang sangat memaksa publik untuk menurutkan sifat konsumerismenya. Karena hal itulah menurut Asghar Ali Engineer dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan menyatakan bahwa dibutuhkan beberapa pemahaman ulang terhadap beberapa doktrin Islam yang bersifat normatif agar ummat Islam tidak terjebak atau terpasung dalam pola pikir yang salah, diantaranya yakni antara kepemilikan pribadi yang dapat menyebabkan eksploitasi dan kemiskinan yang diakibatkannya, antara amal atau hak orang miskin.
Dalam perkembangan selanjutnya penulis akan menuangkan pendapat Mansour Fakih, tentang masalah kemiskinan yang dijadikan sebagai dasar dalam menciptakan doktrin pembebasan yang berskala lebih luas dalam pengertian secara individu, ummat atau dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini oleh beberapa tokoh pemikir Islam disebut sebagai teologi pembebasan yakni diperuntukkan bagi kaum fakir miskin (kaum tertindas) diantara beberapa doktrin yang mencirikhaskannya yakni. Pertama, doktrin tauhid yang lebih menekankan pada keesaan ummat manusia, dengan menolak segenap bentuk deskriminasi dalam bentuk kasta, warna kulit maupun kelas atau bentuk lainnya baik yang nyata maupun tersembunyi. Lawan dari tauhid yakni kufur yang berarti mereka yang tidak percaya kepada Tuhan, karena secara aktif mereka melawan setiap bentuk perubahan struktur masyarakat menuju pemusatan harta, eksploitasi dengan segala bentuk ketidakadilan, dengan demikian menurut Mansour Fakih ukuran kufur dan tidaknya seseorang dapat dilihat dari sejauh mana tingkat upaya dan keserakahannya dalam mengumpulkan harta dan menindas si miskin (seperti dalam Q.S. Al Ma’un).
Kedua yakni doktrin keadilan yang menekankan pada perubahan struktur sosial menuju masyarakat ‘bebas’ dari segala bentuk penindasan atau kekurangan dan menciptakan bentuk masyarakat ‘tauhidi’ yakni tanpa kelas, doktrin ini tergambar dalam Al Qur’an dengan penekanan pada penciptaan ekonomi yang tidak eksploitatif, dimana faktor produksi kekayaan terpusat pada beberapa orang saja, dalam keadilan sosial menurut Islam faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja hendaknya dapat menciptakan masyarakat bebas eksploitasi tanpa penindasan dan penghisapan dan prinsip ketenagakerjaan.
Ketiga, doktrin pembebasan yang menekankan pembebasan dalam tiap bentuknya, status quo penindasan terlebih eksploitasi dan penghisapan. Tujuan dari doktrin ini dalam skala mikro dalam lingkungan lokal dapat menciptakan mesyarakat yang berkesadaran kritis akan struktur penindasan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, keagamaan, dan dalam bidang lainnya dan dengan secara sadar dan bertanggungjawab melakukan pembebasan dalam bentuk penciptaan wadah organisasi kemasyarakatan misalnya disinilah berlaku berfikir global bertindak lokal (think globally act lokally). Dan dalam skala makro kesadaran kritis akan adanya hubungan ketidakadilan dalam berbagai bidang akan dapat diputus rantai utamanya dan mengakhiri segala bentuk ketidakadilan itu.

Pengentasan Kemiskinan
Dalam kajian di atas sedikit telah diberikan gambaran untuk sub pertanyaan turunan di atas yang akan muncul jika kita kembali melihat pada akar permasalahan yang terjadi setelah melihat beberapa pisau analisis yang kita gunakan akan tampak bahwa beberapa analisa hasil persoalan tentang kemiskinan banyak kita lihat dari timbulnya persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat yang lebih didasari pada paradigma kritik (critical paradigm).
Paradigma kritik memiliki watak yang tidak netral, subyektif serta terdapat ikatan emosional terhadap si miskin dan memandang perlunya pemihakan dan komitmen kepada si miskin. Paradigma kritik ini bersemboyan bahwa dhalim jika kita bersikap adil, netral dan tidak memihak menghadapi persoalan dan keadaan masyarakat yang tidak adil.
Dalam memandang pernyataan di atas, disinilah peran kita selanjutnya dipertanyakan kembali, apakah kita teralienasi dari segala persoalan sudut kehidupan kita, masyarakat serta terpisah dari masyarakat? Dan sejauh mana kepekaan dan wawasan kita terhadap persoalan-persoalan kita, masyarakat dan berbangsa? Selanjutnya analisa apa yang kita gunakan untuk melihat kemiskinan disekitar kita? Lalu apa yang telah atau yang akan kita lakukan?
Quraish Shihab dalam menjawab beberapa pertanyaan di atas mengajukan tiga hal pokok menyangkut cara pengentasan kemiskinan yakni merupakan kewajiban tiap individu, kewajiban ini akan diwujudkan dengan bekerja dan berusaha, berfikir dan membaca yang merupakan prasyarat utama untuk memperoleh kecukupan dan kelebihan. Bekerja dan berusaha tidak hanya kita artikan sebagaimana yang secara tradisional kita pahami, tetapi lebih pada bagaimana ‘membaca’ diri dalam konteks lokal dan global dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam aktivitas keseharian.
Kewajiban orang lain atau masyarakat akan tercermin pada jaminan suatu rumpun keluarga sebagai unit terkecil kelompok sosial, jaminan sosial dalam bentuk zakat, infak dan shadaqah, disinilah tanggungjawab sosial dapat terlaksana, dan hal ini secara perlahan akan dapat menimbulkan semacam “paksaan” untuk melaksanakannya.
Kewajiban pemerintah dapat tercermin misalnya dalam pernyataan Ibnu Taimiyah di atas, misalnya dapat berupa pajak dalam berbagai bentuknya, memanusiakan manusia dan masih banyak deret lain yang merupakan kewajiban pemegang otoritas.
Demikian kiranya beberapa sudut pandang dan bahasan yang dapat kita kaji untuk mengkaji tentang tema yang diangkat. Disinilah menurut Al Qur’an dituntut partisipasi aktif dari tiap kita dalam aktivitas ‘membaca’ untuk dapat mewujudkannya agar kita tidak tergolong dalam orang-orang yang mendustakan agama seperti dalam Q.S Al Ma’un ayat 1-3 yang artinya “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang-orang miskin” Karena itu Mari Membaca Kemiskinan Kita.

Seorang Penganggur

“Orang yang sibuk dan menyibukkan diri itu berbeda” kata seorang rekan. Yang pertama benar-benar disibukkan oleh aktivitas-aktivitasnya dalam bekerja dan yang kedua orang yang mencari-cari pekerjaan untuk mengisi banyak waktunya yang terbuang alias tidak bekerja atau pengangguran.
“Dulu”, lanjutnya, selepas sekolah menengah atas saya pernah bimbang. Mau bekerja dulu atau melanjutkan kuliah. Alasannya, jika bekerja tentu dapat menabung dari penghasilan, membantu orang tua dan keluarga lainnya, disamping itu juga uangnya dapat digunakan untuk melanjutkan kuliah. Namun sayang masih terdapat kekurangan, yakni pengetahuan saya hanya sebatas itu-itu saja dan sulit dapat berkembang, jabatan juga susah naiknya, jadi dewasa juga susah, ya karena itu tadi ilmu pengetahuan yang tidak bertambah, tentunya dalam berbagai hal” lanjutnya. “Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah disebuah sekolah tinggi swasta di Malang, pada jurusan ekonomi dengan harapan akan mudah mendapatkan pekerjaan setelah kuliah saya selesai, dengan menggunakan gelar kesarjanaan, peningkatan karir disamping pola pikir akan jadi lebih dewasa, kata kakak ku”.
Karikatur ini sebenarnya merupakan penjabaran dari kisah seorang rekan yang ia utarakan dalam waktu yang tidak luang, karena memang ia juga berkeinginan kisahnya ditulis, “untuk bagi-bagi pengalaman” katanya. Dengan menulis kisahnya, selanjutnya membaca tulisan ini, setidaknya sedikit beratnya beban psikologis yang ia rasakan dapat terkurangi. Di samping itu agar para pembaca juga mengetahui, mengerti, memaklumi, syukur-syukur mau menawarkan pekerjaan bagi mereka yang memiliki perusahaan, instansi atau memiliki posisi dan jabatan tinggi, lanjutnya.
Setelah menyelesaikan gelar kesarjanaannya (S1) rekan saya tersebut mencoba menawarkan selembar ijazah dan transkrip nilai yang telah ia peroleh dan dibekali dengan persyaratan melamar pekerjaan lainnya. Kata seorang teman sesama pencari kerja, lanjutnya “lamaran kerja dimasukkan saja keberbagai instansi atau perusahaan, siapa tahu ada yang nyangkut, ibarat memancing, semakin banyak umpan yang kita lepas, kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin besar”. Berselang beberapa bulan, dari salah satu perusahaan yang cukup ternama “high class” di Indonesia rekan saya tersebut memperoleh panggilan, tanpa pikir panjang seluruh tes ia ikuti. Mulai dari tes administratif, tes pengetahuan umum dan psikotes hingga tes wawancara akhir. Dan sayang dalam tes wawancara akhir inilah ia tidak terjaring alias tidak masuk nominasi. “tapi mau bilang apa” lanjutnya, “perusahaan tentu memiliki standar sendiri dalam menentukan kualifikasi calon Sumber Daya Manusianya”.
Setiba dirumah ia kembali berfikir sambil melakukan evaluasi terhadap apa yang telah ia jalani. ‘’saya positif thinking saja” katanya. “Syukur-syukur ijazah S1 saya masuk nominasi, meski tidak berhasil, artinya ia laku ditawarkan, hal ini setidaknya sudah membuat saya bersyukur dan berbesar hati” lanjutnya. Padahal jika dihitung-hitung telah berapa ribu rupiah uang yang telah ia keluarkan untuk meng-copy, melegalisir ijazah dan transkrip, belum lagi persyaratan-persyaratan administratif lainnya dalam mengajukan surat lamaran, itu hanya untuk satu perusahaan saja. Ditambah ongkos kirim dan biaya transportasi yang tidak pernah ia perhitungkan.
Dua bulan berikutnya, panggilan kedua datang dari sebuah bank swasta nasional. “lumayan jika berhasil masuk nominasi dalam industri perbankan nasional, bayangkan namanya juga lembaga perbankan, tempat hilir mudiknya lalu lintas keuangan dinegeri ini” katanya antusias. Namun sayang saat tes pertama untuk pengetahuan umum, rekan saya tidak semangat, padahal ia sangat antusias sekali mengikuti tes tersebut, alasannya yang melakukan tes jumlahnya ribuan orang dan yang akan masuk nominasi hanya lima orang, tidak itu saja jelasnya, para pelamar datang dari beragam kalangan, beragam disiplin ilmu, beragam umur dan beragam profesi. “Terang saja hal tersebut membuatku sedikit agak colleps dalam menjawab soal”, katanya.
Setelah tes wawancara awal dan psikotes, rekan saya tidak mendapat panggilan lagi untuk mengikuti seleksi berikutnya, setelah dua minggu menunggu ternyata benar, panggilan yang ia harapkan tak kunjung tiba, dengan sedikit pasrah ia berkata “yang penting saya sudah berusaha, masalah hasil Tuhan yang nentukan” katanya menerima keadaan.
Sejenak ia terdiam lalu ia kembali menjelaskan, bahwa saat ini terdapat 11,6 juta penduduk menganggur dinegeri ini, angka itu menunjukkan jumlah pengangguran terbuka, 30 juta orang tergolong setengah menganggur. Dan 36 juta penduduk berpendapatan dibawah Rp. 150.000,- perbulan dari jumlah total angkatan kerja sebesar 106,9 juta jiwa dinegeri ini. Separuh angkatan kerja yang ada berpendidikan sebatas sekolah dasar (SD) atau bahkan tidak tamat SD. Dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, sekitar 70% warga terhitung bekerja pun hanya dapat menggeluti sektor informal yang berproduktivitas rendah, antara lain usaha rumah tangga dan pedagang kaki lima.
Pengembangan industri yang tidak mengarah pada padat pekerja antara lain tampak pada rasio pertumbuhan ekonomi dengan penciptaan lapangan kerja. Tahun 2005 hanya terjadi 178.000 kesempatan kerja baru per satu persen pertumbuhan. Padahal hingga pertengahan 1990-an, 300.000 – 400.000 kesempatan kerja baru dapat diciptakan tiap satu persen pertumbuhan. Hal ini tentu menunjukkan jika industri yang dikembangkan lebih padat modal jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Sementara itu penentuan upah menjadi isu perburuhan yang sangat alot, terlebih lagi upah minimum ditetapkan ditingkat Propinsi dan kabupaten. Kemudian ditetapkan pula upah minimum per sektor. Pola pengupahan seperti ini tentunya mengakibatkan distorsi. Terang saja, karena ia menyoroti nasib pencari kerja di Indonesia, segala hal yang terkait dengan kebijakan itu, seputar isu perburuhan, jam kerja, upah minimum dan sejenisnya menjadi semakin nampak menarik untuk dikaji dan dibahas.
Setelah berminggu-minggu rekan saya menunggu panggilan kerja yang tidak kunjung datang, sembari duduk-duduk dibendara rumah. Ia bertanya tentang apa yang dapat ia perbuat ditengah himpitan hidup yang makin hebat, sembari mengevaluasi dan mencoba menangkap peluang, lanjutnya. Secara karakter building, rekan saya mengatakan bahwa ia cukup berprosfek, memiliki kebiasaan yang positif, tamat sarjana, memiliki kompetensi dan kecakapan dalam bekerja dan senang bekerja tim. “jika demikian mengapa saat ini anda masih tetap menganggur?” tanyaku. Jawabannya sederhana, menurutnya karena saat ini ia tidak memiliki uang untuk menyogok, paling tidak untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS), kedua, tidak dapat melakukan nepotisme dikarenakan ia tidak memiliki keluarga yang menduduki jabatan strategis baik secara struktural maupun fungsional dalam jajaran atau instansi pemerintahan atau swasta. Ketiga karena kejujuran. Menurut penjelasannya hal tersebut merugikan, dan menyebabkan banyak orang yang tidak suka, apalagi dalam dunia bisnis. Keempat, karena kita masih harus banyak belajar, terangnya, sambil tersenyum mencibir. Benarkah?
“Jika mempelajari jaringan kerja yang ada, meskinya ia positif, dapat aktif dan efesien”, lanjutnya. “Namun sayang ia hanya diperuntukkan bagi mereka yang berani membayar mahal saja. Bursa kerja juga demikian, terkadang ia sangat tidak nyaman dan dalam lingkup yang terbatas, disamping biaya yang relatif mahal. Bursa kerja hanya banyak dilakukan di kota-kota besar saja, tidak didaerah-daerah, hal tersebut setidaknya juga turut andil dalam proses besar terjadinya urbanisasi besar-besaran ke daerah perkotaan”. Sebenarnya bisa, katanya, sambil menjelaskan bahwa untuk meningkatkan kesempatan kerja tak bisa disangkal adalah melalui UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Data dari Bank Indonesia menunjukkan lebih dari 40 juta jiwa dari 210 juta lebih penduduk Indonesia menggantungkan harapan pada usaha kecil dan menengah. Lebih dari 3 juta UKM yang ada mencerminkan 96% dari total unit bisnis merefleksikan betapa UKM memang bisa menjadi tulang punggung perekonomian negeri ini.
Persoalannya, bagaimana UKM bisa menemukan lahan subur? Selama ini, program pemerintah untuk mewajibkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk menyisihkan 1 hingga 3 % keuntungannya guna pemberdayaan UKM kurang bekerja maksimal. Dari kacamata BUMN, pekerjaan ini mengurangi fokus mereka terhadap core bisnis. Disamping pembinaan UKM menjadi terkapling-kapling menurut kepentingan BUMN yang bersangkutan. Sebenarnya akan lebih berdaya, jika dana tersebut di pool kan oleh, katakanlah semacam badan khusus yang nantinya akan mengelola dana prioritas tertentu. Dengan demikian dana dari 158 lebih BUMN terjamin akan lebih terarah. Porsi UKM yang diberdayakan juga akan jelas, bukan lagi berdasarkan ego sektoral masing-masing BUMN, namun pengembangannya lebih didasarkan pada potensi UKM dengan kekuatan riilnya dalam membuka lahan untuk para pencari kerja.
Dilengangnya suasana malam, rekan saya masih menjelaskan bahwa perhatian terhadap nasib para pencari kerja ternyata hanya masih sebatas lipstick politik saja, hanya di atas kertas. Hingga saat ini jumlah pencari kerja tidak pernah berkurang, malah makin bertambah. Angka pengangguran di Indonesia untuk tahun 2005 ternyata cukup mencengangkan yakni mencapai sekitar 10,8 juta jiwa. Tahun 2006 hingga awal tahun 2007 diperkirakan akan menjadi titik balik pertumbuhan angka pengangguran tersebut. Relativitas jumlah penganggur yang saat itu 10,3 % pada akhir tahun 2009 diharapkan akan dapat ditekan hingga di bawah 6 % oleh pemerintah (Kompas, 28/01/2006).
Jumlah tersebut tentunya mengindikasikan kesenjangan antara jumlah tenaga kerja dengan tersedianya lapangan kerja. Menurut Sekjen Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi jumlah pengangguran tersebut didominasi oleh lulusan SLTP dan SLTA yakni sebesar 61% sedangkan lulusan SD kebawah sebesar 30% dan sisanya sebesar 7% yakni mereka yang mengantongi lulusan Perguruan Tinggi. Sedangkan dari setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya tercipta sekitar 200.000 kesempatan kerja baru. Jika dipridiksikan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 5% per tahun maka terdapat hanya sejitar 1 juta kesempatan kerja baru, ironisnya pertumbuhan tenaga kerja baru tiap tahunnya mencapai 2,5 juta jiwa.
Solusinya, seyogyanya dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya pemerintah menerapkan kebijakan yang ‘memihak’ pada kelompok yang marginal melalui perlindungan terhadap pengusaha kecil dan menengah dari dominasi perilaku ekonomi monopolistic. Peningkatan perluasan dan mempermudah perkreditan atau pembiayaan di industri permodalan lain yang lebih kondusif perlu ditinjau kembali. Selain itu program penanggulangan pengangguran, keterbelakangan, tingkat pendidikan yang rendah perlu dilengkapi dengan kebijakan-kebijakan “tindakan turun tangan” yang tentunya hal ini memiliki dampak strategis yang luas dan berjangka panjang. Jelasnya.
Namun tetap saja kita yang akan memberi arti, pada derap dan langkah kita, ujarnya. Karena menurutnya, ia tidak sendiri selaku pencari kerja, dan sayangnya dikebeliaan usinya, dan dimassa-massa produktivitasnya dalam menggeluti dunia kerja ia tidak dilibatkan. Belum ada kebijakan pemerintah untuk mempercepat proses pensiun bagi pegawai pemerintah yang sudah tidak produktif lagi, katanya. Dan bulan malam hanya tersenyum mendengarkan dialog kami. Malam itu.

Selasa, 13 Januari 2009

Saat Aku Makin Berdaya

Berjalan dipelataran parkir, sebuah bangunan Tuhan, memandang seonggok kemanusiaan yang dikelilingi nafas-nafas berperasaan. Saat ini, sebuah wajah terselimuti kafan dengan lalat-lalat beterbangan menikmati aroma yang menebar, busuk, tak berdetak, kaku, satu hari lalu ia menghadap Penguasa Alam, dengan badan gemetar, tubuh kering kerontang karena tak sebutir nasipun yang dapat ditelan. Siapa yang mengaku bertanggung jawab? Yang hadir menyaksikan? Semua diam, tak satupun menjawab, bisu.
Jika dengan itu kamu, dan semua menghindar, acuh, lalu siapa? Ataukah aku yang akan menjawab sebagian atau seluruh pertanyaan dengan beban yang kian terasa berat dipundak, tanggung jawab, pertanggungjawaban, dengannya untuk hanya bernapaspun aku tak bisa atau hanya untuk rebah melanjutkan istirahat dengan mimpi yang masih tertunda. Tangis dan tetesan air mata menjadi satu jawaban penting untuk hanya mengurangi beban, saat sebuah keberdayaan akan ganasnya melanghkah menuju sebuah peradaban yang dinamakan Zaman Modern yang begitu tinggi dengan tehnologi sebagai aktor utamanya yang hendak bercita-cita menjadi Tuhan dengan menundukkan ruang dan waktu dan juga jarak sebagai derivatnya. Ironi puncak ketinggian itu kini tak terkendali.
Manusia, yang diidentifikasi dalam zaman modern sebagai suatu mahluk yang memiliki perut buncit, berkaca mata tebal dengan kaki dan tangan yang kurus dan kepala yang botak, laki-laki dan perempuan sebagai lakon kebingungan dengan jenis kelamin sendiri, terbuai oleh sayur mayur pupuk dan insektisida buatan, dalam kedamaian dan harmoni, sedikit demi sedikit menghancurkan, mematikan, bagai kanker ganas dijasad tiap insan, di taman, kereta, bus, pesawat dan itu wajar, lumrah dianggap biasa sebagai Dalam Kebersamaan, dan dengan itu apa arti pandangan universal bahwa kebebasan individu bersinggungan atau bahkan dibatasi oleh kebebasan individu yang lain.
Dengan santun dan hangat ucapan mesra terlantun, dari sudut-sudut pinggir taman kota, pojok gelap kamar kos remaja, megah hotel berbintang dan disini disekitar Rumah Suci dekat apartemen sahabat karib lama yang kini terbaring dalam ruang kamar putih disekilingnya, apartemen 53X, apa yang tersimpan kini dalam kotak-kotak sangkar merpati, kotak es, dingin, membeku. Tak peduli.
Melangkah kembali disinari cahaya lampu kelap-kelip kehidupan, hitam putih, biru merah, dengan dikotomi melantunkan sebuah tujuan, kesenangan, kenikmatan dengan pasangan lain, pria atau wanita idaman lain, tanpa terikat tali penyucian, dengan alasan mengagumkan dendam dan penghianatan atau keluh kesah terhadap kekurangan, tanpa peduli perih tangis sang bayi, ikatan suci dalam janji, persetan!, jenuh atas penyelewengan satu kata sakti Cinta. Dan kini bagaimana kaum muda mendendangkan rindu dalam sudut-sudut kamar dengan pasangan yang mengayuh jarak 1001 kilo hanya untuk bertemu, melantunkan kerinduan, kangen karena lama tak sua, mengayuh dayung asamara, ditemani butir-butir pil setan atau seperangkat alat kontrasepsi yang telah dipersiapkan. Tak puas, tak perduli jalan-jalan mengukur kelelahan, bersanding dalam keramaian, dalam kerumunan, dalam tatapan tiap kepala keheranan mempertontonkan kewajaran dalam peradaban modern, berpelukan, berciuman untuk sebuah kata perpisahan, untuk pertemuan kembali disudut halte bis atau stasiun kereta jurusan pasar minggu.

Kambing Hitam Siapa?
Dengan ihklas siapa yang akan menerima? Sarte kah, Jhon Lenon, Mic Jagger, Madonna atau Jannet Jackson? Dalam bait terlantun Tuhan telah mati, Tuhan telah bosan, ini apa?, sumbangan Netse kah? Ataukah akibat lantunan tembang rahasia tersembunyi perempuan? Ataukah akibat aksi para aktivis Vagina Monolog? Dengan mata keranjang dan pembalasan kaum Adam yang beralasan akibat transparansi kaum Hawa ataukah pembelaan kaum hawa akibat pelecehan terhadap hak asasi kaum hawa terhadap lawan jenisnya, semua mengobok-obok tak perduli tanpa mampu mengganjar setimpal, inikah akibat kita tak belajar dengan benar? Bukankah Tuhan telah menggariskan rambu-rambu, telah ditetapkan ini untukmu dan itu untukku, dan jika itu akibatnya tak ada yang mampu mengganjar setimpal!.
Skularisme tanpa mampu mengartikan maknanya sendiri, menilai dan membenci agama (Islam) dengan sekehendaknya. Kritis, namun sangat ironis, hanya mencari pembenaran atas pandangan Huntington, tak perduli, tanpa melihat konstribusi agama dalam membangun peradaban. Sebagian menyerah kalah, sebagian kontra produktif, tak mampu membendung hidangan kenikmatan yang disuguhkan bumi, kata sakti Iqbal tak menggugah untuk hanya tidak larut dalam kekaguman pada bangsa barat “tempalah tembikarmu dari lempungmu sendiri”.
Sebagian lain larut dalam kedunguan dan kelambanan larut dalam secuil pengetahuan, hanya ketahuan, tak perduli retorika yang memperbudak dengan kehalusan dan tak menerima ajaran Qur’ani memperlakukan manusia bagai hewan, dirajam bagai sais yang otoriter kepada si keledai.
Meta analisa dari dua peradaban, Timur dan Barat dengan daya tahan kuat dalam menghadapi bencana, daya jelajah dan kekuatan laju rendah, sedangkan Barat dengan mengagungkan materialisme telah mampu menciptakan lakon-lakon baru yang hidonistik yang menomorduakan faham-faham langit dengan laju cepat dan daya tahan rendah. Lalu yang menerima? Menyebabkan korupsi tumbuh subur dinegeri sendiri dalam birokrasi dan pelayanan publik, semisal haji, apakah karena sikap |nrimo” yang tak ditempatkan secara proporsional, yang ditekan oleh doktrin Q.S. Al Baqarah ayat 197 yang artinya “tidak berkata sembarang, tidak berbuat fasik dan tidak berdebat dalam haji” bukankah amar ma’ruf nahyi munkar meski ditegakkan, dimana keadilan itu?
Dengan label liberalisme, relativasi ajaran dihidangkan atas nama rahmatanlilalamin-nya ummat. Jika kesesuaian ajaran langit telah dimodifikasi, interpolasi oleh oknum dengan kepentingan dibaliknya. Apakah nurani dapat tergugah karenanya? Selain mata tajam ketakpercayaan, buruk sangka, iri, dengi. Dan jika angan dibawah telah tak mampu membali “maka berbahagialah mereka yang berkata ‘ikutilah orang-orang yang tidak meminta upah kepada kalian dan mereka mendapat petunjuk” (Q.S.. 36:21). Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.
Dan bagi mereka yang membeo, tak ada yang istimewa dan cerah senyum keikhlasan pun tak pernah ada selain mengkambinghitamkan ajaran Nabi Muhammad SAW, sebagai agama kebodohan dan kekejaman, kotor dan miskin. Dengan bermuka topeng mereka tampil ditengah masyarakat. Wajah para santri dipedesaan, muka para kuli diperempatan, glodok, pasar malam, atau muka para bang napi dan preman di perkotaan dan ia hanya dapat diidentifikasi dengan satu kata agama yang tak pernah mau melakukan. Murtad. Dan sebuah kata, Magnis Suseno; Busuk.
Jika gajah mati meninggalkan gading, dan singa mati meninggalkan belang, lalu kita? Mengapa meski malu? Akankah kita jadikan Tuhan sebagai tertuduh, ia tak bisa dihujat itu kepastian, ia tak keliru itu kelurusan akal, meminjam lisan Rahmat Abdullah. Ataukah dengan lancang kita meski mengatakan seharusnya begini. Seharusnya begitu dengan sadar atau tidak terus terzalimi.
Karenanya mari bekerjasama! Dalam kebaikan, bukankah Ali r.a. Mewasiatkan bahwa kebaikan yang terorganisir akan hancur oleh kezaliman yang terorganisir. Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan takwa dan tidak sebaliknya, dalam permusuhan dan perpecahan.

Karena Aku Juga Seorang Pemimpi

Malam itu, selesai sholat isya dipondok seorang kerabat, di Desa Jorong dekat Kampung Bermi Pancor Lombok Timur 1977. Sesaat setelah mendengar kabar wafatnya seorang guru, Mujahid Islam, pendiri NW, NWDI, NBDI dan Yayasan Pendidikan Hamzanwadi dialah Maulana Syeikh TGKH M. Zaenuddin Abdul Majid.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, sehabis sholat isya biasanya semua santri beramai-ramai untuk mengaji, mengisi aktivitas sebelum istirahat malam, seperti mengaji Al Qur’an, mengkaji kitab kuning, wiridan atau kegiatan lainnya yang lazim dilakukan di lingkungan pondok pesanteren. Namun tidak untuk malam itu, sayup-sayup suara saling memberitakan, atau seolah memberitahukan dengan keraguan dan ketidakpercayaan bahwa sang ‘Ninik’ telah meninggalkan kita, para santri dimalam itu.
Larut dalam suasana dan keadaan, atau entah memang keadaan alam yang seakan-akan turut merasakan dan turut mengabarkan bahwa malam itu seorang mujahid Islam telah tiada dan kembali kesisi Rabbnya. Taman langit yang awalnya begitu terang benderang oleh gemerlap gemintang secara perlahan menjadi hitam dan makin pekat dalam kegelapan, berderet awan hitam yang makin menggumpal, berarak menyaksikan keadaan tersebut, seolah-oleah hendak mengatakan bahwa kami turut berduka, kami juga merasa sedih dan juga kehilangan. Penulis tidak hendak membawa pembaca kealam hyperial untuk menggambarkan seorang mujahid, namun sekedar mendeskripsikan keadaan pada saat itu, dan bahkan yang mungkin lebih dari keadaan yang penulis gambarkan dalam tulisan ini.
Tanpa memikirkan hal lain aku dan seorang teman yang juga santri berlalu dari kamar untuk bergegas membuktikan apakah berita yang kami dengar benar adanya, apakah benar Allah SWT telah memanggil mahluk yang dicintainya itu. Tidak lebih satu kilometer aku berjalan, rintihan tangis dan lautan jilbab dengan pakaian putih-putih yang berada disekelilingku seakan turut mengatakan bahwa berita itu benar. Inilah kenyataan. Tidak itu saja jalan trotoar yang lebarnya lebih kurang dua meter juga ikut penuh sesak oleh hiruk pikuk tangis dan keadaan malam itu.
Sesaat setelah sampai di Musholla Al Abror, dimana setiap harinya “ninik” memberikan pengajian, barulah terdengar kembali olehku dari seorang syeikh yang ditugaskan untuk memberi informasi kepada para santri bahwa “ninik” telah menghadap Rabbnya. Detak jantungku seakan berhenti berdetak, telah tergambar dalam benakku kemungkinan yang akan terjadi, keadaan para santri, keadaan ummat ini yang telah ditinggal oleh seorang mujahid Islam.
Bagaimana tidak, jika kita membuka kembali lembar sejarah tokoh kharismatik ini yang dulunya sering disalahpahami oleh berbagai kalangan masyarakat saat itu dikarenakan gerakan keagamaan yang dibawanya. Seperti yang dikemukakan oleh Zainal Arifin Munir (seorang murid Beliau yang saat ini mendirikan Yayasan Zainal Arifin Munir di Praya Kabupaten Lombok Tengah), Tokoh ini dikenal sebagai tokoh yang formalistik pada tataran konsep dan tranformatif pada tataran aplikasi. Inilah salah satu aspek pemikiran yang selalu Beliau gagas dalam setiap konsep-konsep pemikiran. Misalnya dalam konsep politik Beliau dengan tegas menyatakan bahwa Al Qur’an dan Al Hadist adalah landasan utama bagi aktivitas politik, namun jika dalam pengaplikasiannya terbentur dengan realitas sosial masyarakat maka politik harus bisa merespon dan mengakomodasikan realitas sosial tersebut yakni dengan menginterpretasikan nash guna mendapatkan pemecahan yang tepat. Fleksibilitas Beliau tidak hanya terbatas konsep atau teori akan tetapi realitas gerakan politik dalam partai Beliau menunjukkan hal tersebut.
Namun sayangnya oleh sebagian kalangan masyarakat Beliau dianggap bukan golongan mereka, berbagai macam tuduhan dan fitnah yang Beliau terima. Diantaranya yakni Beliau dituduh sebagai pengikut Khawarij, Mu’tazilah, bahkan Beliau dituduh tidak bermazhab dan menyebarkan ajaran sesat serta digembar-gemborkan sebagai pengikut Wahabi. Begitulah kira-kira berbagai jalan fikiran yang menentang Beliau.
Dan akhirnya sejarah jualah yang akan membuktikan bahwa sesungguhnya Beliau adalah merupakan salah satu contoh figur muslim tulen. Bahwa kesalahpahaman yang terjadi adalah merupakan sebuah isyarat bahwa pemikiran Beliau mendahului zamannya. Beliau mendobrak kebekuan pemikiran yang menjangkiti ummat islam dimana Beliau hidup waktu itu, meskipun untuk hal tersebut Beliau mesti mendapat cercaan dan diasingkan. Dalam impian dan perjuangannya untuk lebih mencerdaskan ummat, banyak hambatan dan tantangan yang meski Beliau hadapi misalnya pada saat Beliau dihadapkan pada pilihan yakni menjadi imam dan khatib atau meski memilih membangun dan mendirikan sekolah (madrasah). Yang pada akhirnya Beliau menetapkan pilihan untuk mendirikan sekolah dengan konsekuensi berhenti menjadi imam dan khatib. Hal ini tentunya dilandasi oleh alasan Beliau yang menyatakan bahwa menjadi imam dan khatib hukumnya fardhu kifayah karena masih banyak orang yang bisa melakukannya, sedangkan mendirikan madrasah hukumnya fardhu ‘ain karena tidak ada yang mau dan mampu melakukannya. (Dalam Zainal Arifin Munir, seorang murid Beliau yang saat ini mendirikan Yayasan Zainal Arifin Munir di Praya Kabupaten Lombok Tengah)
Kini, dari sejarah bangsa-bangsa dunia kita dapat belajar, bahwa naik dan tenggelamnya suatu peradaban banyak ditentukan oleh pendidikan suatu bangsa, bukankah untuk ini Baginda Rasulullah SAW juga mewajibkan kita untuk berpendidikan, menuntut ilmu, meski kita harus ke negeri Cina, dari lahir hingga keliang lahat?
Oleh karena itu, dalam semangat “Zainuddinistik” ini, saya hendak menggunakan kesempatan ini guna membongkar banyak sekali hal-hal yang secara sadar atau tidak, tertinggal, yang belum bisa atau belum berani kita impikan. Terutama tentang pemahaman kita untuk mewujudkan suatu impian. Sejak kanak-kanak saya hidup dalam lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), beranjak dewasa saya tumbuh dan berkembang dalam lingkungan Nahdlatul Wathan (NW) dan memasuki jenjang kesarjanaan saya banyak berinteraksi dengan lingkungan Muhammadiyah, karena kondisi yang kurang jelas ini, maka saya agak bebas membahas dan berdiskusi tentang apapun. Termasuk tentang NU, NW, Muhammadiyah, Persis, Hizbut Tahrir, yang Pro Khomaini atau bukan atau tentang apapun. Bahwa organisasi NW ini memiliki slogan yang amat fundamental dalam kehidupan individu, berbangsa dan bernegara “Pokoknya NW, Pokok NW Iman Taqwa” namun demikian masih banyak hal-hal yang belum dapat teraktualisasikan dalam perwujudan slogan tersebut dalam hubungannya dengan kesalehan sosial, dalam mewujudkan impian-impian ummat. Dan itu banyak sekali termasuk diantaranya tentang perekonomian, tentang politik, tentang ukhuwah islamiyah dan lainnya. Coba misalnya dapat dirumuskan untuk menciptakan “budaya baru” guna mewujudkan impian itu sendiri.
Dan jika Zanuddin muda dapat bermimpi besar dengan menghadapi masyarakatnya untuk mewujudkan impian tersebut, lalu mengapakah generasi kita tidak mampu bermimpi besar seperti itu? Ataukah hal itu diakibatkan oleh kepulan asap didapur yang tidak menyala sehari, ataukah biaya pendidikan yang tidak semurah harga cabe satu kilo dipasar Mandalika. Itu juga yang merupakan pertanyaan sekaligus impian yang aku belum bisa jawab dan uraikan satu per satu dengan panjang lebar. Karena mungkin diakibatkan oleh keinginan kita untuk memiliki “ke-pribadi-an” dalam hidup atau karena tuntutan dari keluarga yang menghendaki kita, kamu dan aku untuk kaya dulu? Untuk menjadi bangsa yang mampu berhitung berapa jumlah mobil yang terpakir di gedung dewan, berapa jumlah lokalisasi yang telah dibuat dan berapa jumlah taman kota yang telah dipugar, atau berapa ratus kepala keluarga yang telah digusur secara paksa tanpa diberikan hak mereka untuk hanya sekedar membangun sebuah mall?
Atau mungkin kita masih puas dengan banyaknya kalkulasi kuantitatif yang telah kita peroleh secara sektoral yang tetap hanya sepotong. Mungkin sekali. Atau kita terlena oleh kemajuan makin banyaknya para selebritis yang tampak Islami memasuki awal Ramadhan, mungkin saja hal-hal itu bukan merupakan salah satu hal penting dan bukan pula prioritas.
Mengapa kita tidak menjadi seorang pemimpi, tidak bercita-cita tinggi, atau mungkinkah itu diakibatkan oleh cacing pita dalam tubuh kita masih belum gemuk. Mengapa kita tidak bercita-cita bermimpi seperti impian polosnya bocah Palestina yang memimpikan kemerdekaan, atau tuntutan rakyat Teluk Buyat memimpikan dan menuntut keadilan, bahkan mengapa tidak bak impian burung garuda yang hendak mencerdaskan anak-anaknya. Ya melalui pendidikan.
Dan kini aku hanya bisa terdiam, bukan berarti larut, itu busuk pikirku, lalu? Keterdiamanku akarenakan aku tidak bisa menjawab dan menguaraikan satu persatu jawaban dari pertanyaan dengan jawaban yang memuaskan. Seperti ilmu pasti yang satu tambah satu sama dengan dua dan karena aku juga merasa sepi. Sendiri. Terasing. Adakah yang ingin ikut bermimpi dalam kesendirian pikirku.
Menjadi pemimpi saja terkadang takut, berteriak sekeras-kerasnya nanti disangka kriminal, propokator, kemuadian berumah dibui, karena ada pasukan tandingan pikirku. Menyuarakan hak tanah petani nanti dikira suara titipan. Dan kini aku hanya bisa terdiam, walau sebenarnya aku juga seorang pemimpi. Impianku juga besar, sebesar gunung Rinjani, seperti impian Zaenuddin, seperti impian Hasan Al Bana, Al Afghani, Rasyid Ridho, Muhammad Abduh, mungkin juga sebesar impian Nabi dalam mentauhidkan masyarakat Quraisyi yang jahili untuk membebaskan dari belenggu.
Aku terdiam sejenak, bahwa tulisan yang aku buat untuk mengantar ke kedewasaan berfikir, berbeda pendapat, tidak membunuh sesama muslim, untuk para pak tani, para pelajar dan mahasiswa, para pedagang, para nelayan untuk bekal melaut untuk menangkap ikan guna memenuhi kebutuhan nafkah sehari-hari keluarga.
Memimpikan untuk sekedar bertemu muka dan berkeluh kesah dengan para petani, pedagang, ojek, makelar, sopir, buruh, kenek, terasa sangat begitu berarti, seperti berartinya perjanjian Hudaibiyah, pertemuan Jenewa, Swiss, Konfrensi Meja Bundar di Den Haag Belanda dan beragam pertemuan lain yang memimpikan hal senada.
Menjadi seorang pemimpi begitu sulit untuk menjelaskan kepada para pegawai negeri, dosen, tentara, guru, bahkan mahasiswa, terlebih pada mereka yang pro kemapanan, kemungkianan besar dikira pemimpi selebrity.
Dan akhirnya biarlah aku bermimpi dalam kesendirianku, tak perlu terlalu banyak teriakan, atau petunjuk dari yang tak mengerti. Ditemani teman sejati, pena dan kertas, diterangi rembulan dan gemercik bintang, dibawah sinar mentari yang menghangatkan badan dipagi hari dengan udara sejuk dan embun bening menetes, tentu dengan tidak melupakan gerai tikar untuk menyembah. Dan semoga kita juga turut menjadi pemimpi. Dan selamat bermimpi, apapun itu.

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id