Selasa, 13 Januari 2009

Karena Aku Juga Seorang Pemimpi

Malam itu, selesai sholat isya dipondok seorang kerabat, di Desa Jorong dekat Kampung Bermi Pancor Lombok Timur 1977. Sesaat setelah mendengar kabar wafatnya seorang guru, Mujahid Islam, pendiri NW, NWDI, NBDI dan Yayasan Pendidikan Hamzanwadi dialah Maulana Syeikh TGKH M. Zaenuddin Abdul Majid.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, sehabis sholat isya biasanya semua santri beramai-ramai untuk mengaji, mengisi aktivitas sebelum istirahat malam, seperti mengaji Al Qur’an, mengkaji kitab kuning, wiridan atau kegiatan lainnya yang lazim dilakukan di lingkungan pondok pesanteren. Namun tidak untuk malam itu, sayup-sayup suara saling memberitakan, atau seolah memberitahukan dengan keraguan dan ketidakpercayaan bahwa sang ‘Ninik’ telah meninggalkan kita, para santri dimalam itu.
Larut dalam suasana dan keadaan, atau entah memang keadaan alam yang seakan-akan turut merasakan dan turut mengabarkan bahwa malam itu seorang mujahid Islam telah tiada dan kembali kesisi Rabbnya. Taman langit yang awalnya begitu terang benderang oleh gemerlap gemintang secara perlahan menjadi hitam dan makin pekat dalam kegelapan, berderet awan hitam yang makin menggumpal, berarak menyaksikan keadaan tersebut, seolah-oleah hendak mengatakan bahwa kami turut berduka, kami juga merasa sedih dan juga kehilangan. Penulis tidak hendak membawa pembaca kealam hyperial untuk menggambarkan seorang mujahid, namun sekedar mendeskripsikan keadaan pada saat itu, dan bahkan yang mungkin lebih dari keadaan yang penulis gambarkan dalam tulisan ini.
Tanpa memikirkan hal lain aku dan seorang teman yang juga santri berlalu dari kamar untuk bergegas membuktikan apakah berita yang kami dengar benar adanya, apakah benar Allah SWT telah memanggil mahluk yang dicintainya itu. Tidak lebih satu kilometer aku berjalan, rintihan tangis dan lautan jilbab dengan pakaian putih-putih yang berada disekelilingku seakan turut mengatakan bahwa berita itu benar. Inilah kenyataan. Tidak itu saja jalan trotoar yang lebarnya lebih kurang dua meter juga ikut penuh sesak oleh hiruk pikuk tangis dan keadaan malam itu.
Sesaat setelah sampai di Musholla Al Abror, dimana setiap harinya “ninik” memberikan pengajian, barulah terdengar kembali olehku dari seorang syeikh yang ditugaskan untuk memberi informasi kepada para santri bahwa “ninik” telah menghadap Rabbnya. Detak jantungku seakan berhenti berdetak, telah tergambar dalam benakku kemungkinan yang akan terjadi, keadaan para santri, keadaan ummat ini yang telah ditinggal oleh seorang mujahid Islam.
Bagaimana tidak, jika kita membuka kembali lembar sejarah tokoh kharismatik ini yang dulunya sering disalahpahami oleh berbagai kalangan masyarakat saat itu dikarenakan gerakan keagamaan yang dibawanya. Seperti yang dikemukakan oleh Zainal Arifin Munir (seorang murid Beliau yang saat ini mendirikan Yayasan Zainal Arifin Munir di Praya Kabupaten Lombok Tengah), Tokoh ini dikenal sebagai tokoh yang formalistik pada tataran konsep dan tranformatif pada tataran aplikasi. Inilah salah satu aspek pemikiran yang selalu Beliau gagas dalam setiap konsep-konsep pemikiran. Misalnya dalam konsep politik Beliau dengan tegas menyatakan bahwa Al Qur’an dan Al Hadist adalah landasan utama bagi aktivitas politik, namun jika dalam pengaplikasiannya terbentur dengan realitas sosial masyarakat maka politik harus bisa merespon dan mengakomodasikan realitas sosial tersebut yakni dengan menginterpretasikan nash guna mendapatkan pemecahan yang tepat. Fleksibilitas Beliau tidak hanya terbatas konsep atau teori akan tetapi realitas gerakan politik dalam partai Beliau menunjukkan hal tersebut.
Namun sayangnya oleh sebagian kalangan masyarakat Beliau dianggap bukan golongan mereka, berbagai macam tuduhan dan fitnah yang Beliau terima. Diantaranya yakni Beliau dituduh sebagai pengikut Khawarij, Mu’tazilah, bahkan Beliau dituduh tidak bermazhab dan menyebarkan ajaran sesat serta digembar-gemborkan sebagai pengikut Wahabi. Begitulah kira-kira berbagai jalan fikiran yang menentang Beliau.
Dan akhirnya sejarah jualah yang akan membuktikan bahwa sesungguhnya Beliau adalah merupakan salah satu contoh figur muslim tulen. Bahwa kesalahpahaman yang terjadi adalah merupakan sebuah isyarat bahwa pemikiran Beliau mendahului zamannya. Beliau mendobrak kebekuan pemikiran yang menjangkiti ummat islam dimana Beliau hidup waktu itu, meskipun untuk hal tersebut Beliau mesti mendapat cercaan dan diasingkan. Dalam impian dan perjuangannya untuk lebih mencerdaskan ummat, banyak hambatan dan tantangan yang meski Beliau hadapi misalnya pada saat Beliau dihadapkan pada pilihan yakni menjadi imam dan khatib atau meski memilih membangun dan mendirikan sekolah (madrasah). Yang pada akhirnya Beliau menetapkan pilihan untuk mendirikan sekolah dengan konsekuensi berhenti menjadi imam dan khatib. Hal ini tentunya dilandasi oleh alasan Beliau yang menyatakan bahwa menjadi imam dan khatib hukumnya fardhu kifayah karena masih banyak orang yang bisa melakukannya, sedangkan mendirikan madrasah hukumnya fardhu ‘ain karena tidak ada yang mau dan mampu melakukannya. (Dalam Zainal Arifin Munir, seorang murid Beliau yang saat ini mendirikan Yayasan Zainal Arifin Munir di Praya Kabupaten Lombok Tengah)
Kini, dari sejarah bangsa-bangsa dunia kita dapat belajar, bahwa naik dan tenggelamnya suatu peradaban banyak ditentukan oleh pendidikan suatu bangsa, bukankah untuk ini Baginda Rasulullah SAW juga mewajibkan kita untuk berpendidikan, menuntut ilmu, meski kita harus ke negeri Cina, dari lahir hingga keliang lahat?
Oleh karena itu, dalam semangat “Zainuddinistik” ini, saya hendak menggunakan kesempatan ini guna membongkar banyak sekali hal-hal yang secara sadar atau tidak, tertinggal, yang belum bisa atau belum berani kita impikan. Terutama tentang pemahaman kita untuk mewujudkan suatu impian. Sejak kanak-kanak saya hidup dalam lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), beranjak dewasa saya tumbuh dan berkembang dalam lingkungan Nahdlatul Wathan (NW) dan memasuki jenjang kesarjanaan saya banyak berinteraksi dengan lingkungan Muhammadiyah, karena kondisi yang kurang jelas ini, maka saya agak bebas membahas dan berdiskusi tentang apapun. Termasuk tentang NU, NW, Muhammadiyah, Persis, Hizbut Tahrir, yang Pro Khomaini atau bukan atau tentang apapun. Bahwa organisasi NW ini memiliki slogan yang amat fundamental dalam kehidupan individu, berbangsa dan bernegara “Pokoknya NW, Pokok NW Iman Taqwa” namun demikian masih banyak hal-hal yang belum dapat teraktualisasikan dalam perwujudan slogan tersebut dalam hubungannya dengan kesalehan sosial, dalam mewujudkan impian-impian ummat. Dan itu banyak sekali termasuk diantaranya tentang perekonomian, tentang politik, tentang ukhuwah islamiyah dan lainnya. Coba misalnya dapat dirumuskan untuk menciptakan “budaya baru” guna mewujudkan impian itu sendiri.
Dan jika Zanuddin muda dapat bermimpi besar dengan menghadapi masyarakatnya untuk mewujudkan impian tersebut, lalu mengapakah generasi kita tidak mampu bermimpi besar seperti itu? Ataukah hal itu diakibatkan oleh kepulan asap didapur yang tidak menyala sehari, ataukah biaya pendidikan yang tidak semurah harga cabe satu kilo dipasar Mandalika. Itu juga yang merupakan pertanyaan sekaligus impian yang aku belum bisa jawab dan uraikan satu per satu dengan panjang lebar. Karena mungkin diakibatkan oleh keinginan kita untuk memiliki “ke-pribadi-an” dalam hidup atau karena tuntutan dari keluarga yang menghendaki kita, kamu dan aku untuk kaya dulu? Untuk menjadi bangsa yang mampu berhitung berapa jumlah mobil yang terpakir di gedung dewan, berapa jumlah lokalisasi yang telah dibuat dan berapa jumlah taman kota yang telah dipugar, atau berapa ratus kepala keluarga yang telah digusur secara paksa tanpa diberikan hak mereka untuk hanya sekedar membangun sebuah mall?
Atau mungkin kita masih puas dengan banyaknya kalkulasi kuantitatif yang telah kita peroleh secara sektoral yang tetap hanya sepotong. Mungkin sekali. Atau kita terlena oleh kemajuan makin banyaknya para selebritis yang tampak Islami memasuki awal Ramadhan, mungkin saja hal-hal itu bukan merupakan salah satu hal penting dan bukan pula prioritas.
Mengapa kita tidak menjadi seorang pemimpi, tidak bercita-cita tinggi, atau mungkinkah itu diakibatkan oleh cacing pita dalam tubuh kita masih belum gemuk. Mengapa kita tidak bercita-cita bermimpi seperti impian polosnya bocah Palestina yang memimpikan kemerdekaan, atau tuntutan rakyat Teluk Buyat memimpikan dan menuntut keadilan, bahkan mengapa tidak bak impian burung garuda yang hendak mencerdaskan anak-anaknya. Ya melalui pendidikan.
Dan kini aku hanya bisa terdiam, bukan berarti larut, itu busuk pikirku, lalu? Keterdiamanku akarenakan aku tidak bisa menjawab dan menguaraikan satu persatu jawaban dari pertanyaan dengan jawaban yang memuaskan. Seperti ilmu pasti yang satu tambah satu sama dengan dua dan karena aku juga merasa sepi. Sendiri. Terasing. Adakah yang ingin ikut bermimpi dalam kesendirian pikirku.
Menjadi pemimpi saja terkadang takut, berteriak sekeras-kerasnya nanti disangka kriminal, propokator, kemuadian berumah dibui, karena ada pasukan tandingan pikirku. Menyuarakan hak tanah petani nanti dikira suara titipan. Dan kini aku hanya bisa terdiam, walau sebenarnya aku juga seorang pemimpi. Impianku juga besar, sebesar gunung Rinjani, seperti impian Zaenuddin, seperti impian Hasan Al Bana, Al Afghani, Rasyid Ridho, Muhammad Abduh, mungkin juga sebesar impian Nabi dalam mentauhidkan masyarakat Quraisyi yang jahili untuk membebaskan dari belenggu.
Aku terdiam sejenak, bahwa tulisan yang aku buat untuk mengantar ke kedewasaan berfikir, berbeda pendapat, tidak membunuh sesama muslim, untuk para pak tani, para pelajar dan mahasiswa, para pedagang, para nelayan untuk bekal melaut untuk menangkap ikan guna memenuhi kebutuhan nafkah sehari-hari keluarga.
Memimpikan untuk sekedar bertemu muka dan berkeluh kesah dengan para petani, pedagang, ojek, makelar, sopir, buruh, kenek, terasa sangat begitu berarti, seperti berartinya perjanjian Hudaibiyah, pertemuan Jenewa, Swiss, Konfrensi Meja Bundar di Den Haag Belanda dan beragam pertemuan lain yang memimpikan hal senada.
Menjadi seorang pemimpi begitu sulit untuk menjelaskan kepada para pegawai negeri, dosen, tentara, guru, bahkan mahasiswa, terlebih pada mereka yang pro kemapanan, kemungkianan besar dikira pemimpi selebrity.
Dan akhirnya biarlah aku bermimpi dalam kesendirianku, tak perlu terlalu banyak teriakan, atau petunjuk dari yang tak mengerti. Ditemani teman sejati, pena dan kertas, diterangi rembulan dan gemercik bintang, dibawah sinar mentari yang menghangatkan badan dipagi hari dengan udara sejuk dan embun bening menetes, tentu dengan tidak melupakan gerai tikar untuk menyembah. Dan semoga kita juga turut menjadi pemimpi. Dan selamat bermimpi, apapun itu.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id