Kamis, 15 Januari 2009

Membaca Kemiskinan Kita

Selaku manusia kita sadar, kita memiliki kelebihan dari mahluk lain. Dalam hal penciptaan, manusia diciptakan sebaik-baiknya ciptaan (Q.S. Al Isra’ ayat 70). Dengan sendirinya kita dapat membandingkan hal ini baik dengan hewan terlebih tumbuhan. Predikat inheren yang kita miliki memisahkan kita dengan benda lainnya (padat, cair dan gas) yakni keberkembangannya, perbedaan kita dengan tumbuhan yakni pada keinginan kita, dan diferensia yang memisahkan kita dengan hewan yakni keberakalan kita yang tidak diberikan Tuhan pada mahluk yang lain, termasuk malaikat. Dan dengan kelebihan-kelebihan itulah manusia memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin Di dalam kehidupan dijagat raya ini (khalifatullah fil ardhi). Setiap manusia memiliki potensi untuk itu, tinggal bagaimana memproses dan selanjutnya mewujudkan potensi tersebut, hal itulah yang kiranya sangat dibutuhkan.
Demikian besar peran manusia dalam tatanan kehidupan, maka itu dibutuhkan alat bagi manusia untuk mewujudkannya yakni dalam hal ini misalnya dapat diperoleh melalui aktivitas membaca, yang dalam kajian kali ini penulis artikan dalam pengertian yang seluas-luasnya misalnya melakukan penelitian, survey, pengamatan, diskusi, tafakkur, memikirkan pada penciptaan diri manusia, dan seluruh alam ciptaanya.
Membaca merupakan aktivitas yang sangat berharga bagi manusia, bagaimana ia berproses untuk memanusiakan manusia, atau hanya sekedar menjadi manusia dengan predikat inheren yang hanya melekat pada dirinya saja. Membaca merupakan suatu prasyarat dalam peningkatan pradaban dan westelnescauung manusia. Disinilah akan berlaku dengan membaca manusia akan dapat meningkatkan peradaban dan dengan demikian pula sebaliknya.
Dalam kajian kali ini, penulis mencoba untuk mengkolaborasikan membaca dengan kemiskinan dan penulis berharap para pembaca akan dapat membaca kemiskinan dan beberapa dirivat turunan yang melekat padanya, yakni misalnya siapa yang disebut miskin, faktor penyebab kemiskinan, Islam dan kemiskinan dan beberapa hal yang dapat dijadikan cara atau solusi dalam menghadapi kemiskinan, baik itu yang melekat pada diri kita atau lingkungan sekitar.
Dalam terapan nantinya setelah melalui proses membaca, penulis juga berharap para pembaca akan dapat membaca “tingkat kemiskinan” yang berbeda untuk tiap individu, dan masyarakat, yang tentunya keadaan ini tidak dapat terlepas dari predikat inheren yang melingkupinya, keadaan diri, lokasi ataupun situasi dimana kemiskinan itu dibaca, dan bagaimana bentuk penyikapan terhadap kemiskinan itu sendiri, atau cara pengentasannya tentunya akan berpulang kepada para pembaca yang budiman, dalam membaca dan merasakan kemiskinan yang melingkupinya.
Setelah memahami konteks membaca dalam kajian yang kita gunakan, selanjutnya kemiskinan bagi penulis akan dilihat dalam kacamata yang sama, artinya tidak dapat mencakup pengertian yang secara materialnya saja kita pahami selama ini, namun dalam persfektif yang lebih luas, baik itu dalam kandungan kata ataupun pemaknaan katanya.

Pengertian Kata
Dalam pengertian kamusnya, kata miskin diartikan sebagai tidak berharta, serba kekurangan (berpenghasilan rendah), sedangkan kata fakir yang merupakan derivatnya diartikan dari obyeknya sebagai orang yang sangat kekurangan, atau sangat miskin. Setelah melalui imbuhan, kata miskin diartikan dalam KBBI (2001) sebagai hal miskin atau keadaan miskin.
Jika kita perhatikan pada pengertian kamusnya, tampak bahwa ukuran penetapan miskin dilihat hanya dari segi kepemilikan terhadap materi saja (materialisme) dalam arti hanya segi pemenuhan kebutuhan yang bersifat materi, misalnya berpenghasilan rendah, tidak berharta, atau serba kekurangan. Memang jika ditinjau dari aspek kebahasaan akan terlihat bahwa penetapan tolak ukur untuk kemiskinan tidak hanya ditentukan dari sudut pandang ini, terdapat sebagian mereka yang berpendapat bahwa fakir adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya. Ada juga yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si fakir relatif lebih baik dari si miskin. Demikian diantaranya menurut Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al Qur’an. Dalam buku yang sama Yusuf Qardhawi –ulama kontemporer- berpandangan bahwa yang disebut miskin ialah warga (baik muslim maupun non muslim) yang menderita lapar, tidak berpakaian, tidak bertempat tinggal (menggelandang) dan membujang.
Dalam pandangan Yusuf Qardhawi yang telah disebutkan di atas tampak bahwa yang disebut miskin ialah orang yang tidak terpenuhinya kebutuhan pokok berupa kebutuhan akan sandang (pakaian) papan (tempat tinggal), dan pangan (makanan). Namun demikian Beliau masih menambahkan bahwa yang disebut miskin juga termasuk mereka yang membujang. Dalam memahami pernyataan ini, pengertian miskin ternyata lebih meliputi, artinya tidak hanya dilihat dari sisi materinya saja namun lebih pada kurangnya perhatian terhadap diri sendiri atau bahkan pada masyarakat sekitar seperti yang dicontohkan di atas yang dapat disebut sebagai miskin perhatian, cinta, atau dapat juga berupa pengetahuan atau ilmu yang sering diistilahkan miskin ilmu, atau pengertian lain yang meliputi, artinya pengertian lain yang lebih luas dari persfektif yang kita pahami yang tanpa menyentuh aspek dalam sisi lainnya karena tidak terdapatnya pengetahuan dan kecakapan fungsional yang terlibat dalam pemenuhan sisi materialnya.

Siapa Yang Miskin?
Menunjuk pada pengertian di atas, akan tampak dalam persfektif yang lebih luas siapa yang disebut miskin dalam kajian ini, miskin dalam artian yang lebih luas penulis artikan sebagai seseorang, kita atau suatu masyarakat baik itu dalam skala lokal maupun nasional yang sadar atau tidak atas ‘kekurangan’ yang melekat pada dirinya secara inhern dan ekstern, disadari atau tidak. Kekurangan ‘perhatian’ terhadap pribadi, kelompok atau bangsa ini disebut sebagai miskin yang telah mengalami suatu fase perubahan pemahaman menuju pemaknaanya yang lebih luas, yang selanjutnya dapat dipertanyakan dan dikritisi. Akhirnya siapa yang miskin dan disebut miskin akan tergantung pada sudut pandang mana kemiskinan itu dirasakan, secara pribadi, kelompok, agama, berbangsa dan bernegara, yang selanjutnya hal itu tentu saja agar dapat kita kritisi baik secara pribadi, ummat atau secara nasional kebangsaan kita.
Secara harfiah pemaknaan kata miskin dapat diungkapkan dalam persfektif yang lebih luas yakni untuk mempertanyakan kembali eksistensi faktor atau hal apa yang melatarbelakangi terjadinya hal atau faktor yang dapat berlaku secara umum, dalam arti secara kelompok atau secara nasional kebangsaan, misalnya untuk suatu Negara atau bangsa, secara keagamaan misalnya untuk ummat beragama (misalnya Islam), suatu kelompok atau golongan masyarakat dalam unit terkecil misalnya suatu keluarga. Demikian pula hal ini berlaku untuk individu dalam personal tunggal.
Dalam kaitan ini, pernyataan di atas relevan untuk dipertanyakan kembali, setidaknya untuk dapat membahana kembali dan dapat didengar, dan dapat menyentuh seluruh realitas kehidupan, baik itu secara individu, keagamaan, dan secara nasional dan dalam lingkungan sosial kapan dan dimanapun agar dengannya dapat membentuk suatu sinergi, membentuk, mengatasi dan menjawab berbagai persoalan yang timbul semisal adanya dominasi politik dan ekonomi, kejumudan, kemuduran dan keterbelakangan dan teralienasinya (terasing) setiap individu dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Selanjutnya ketiga faktor itulah yang akan diperdalam dalam kajian berikutnya.
Kita dapat merasakan dampak yang diakibatkannya, yang tentunya secara negatif. Jika setiap persoalan yang terkait dengan pertanyaan di atas tidak segera dijawab, hal ini sedikit atau tidak akan berpengaruh pada budaya mentalitas yang akan berkembang, karena bagaimanpun tiap Negara atau bangsa, ummat dan tiap pribadi yang tidak mengetahui, sadar atau tidak dan tidak mengidentifikasi adanya kekurangan (kemiskinan) pada dirinya sendiri dan dengan sendirinya hal itu akan berdampak pada sikap mental yang tidak mengetahui dan acuh tak acuh atau bahkan tidak mau tahu, tidak mau melakukan perubahan, terhadap diri dan masyarakat, bangsa terlebih terhadap peningkatan mentalitas keagamaan. Akibatnya ketergantungan kepada yang lebih mapan, dapat berupa Negara yang lebih maju (super power), sikap statis (terlalu berpegang pada tradisi lama, tanpa mau melakukan kajian atau rekonstruksi) pemikiran misalnya.
Dalam bidang keagamaan misalnya taklid membabibuta, atau cenderung menyalahkan faktor di luar diri dan lingkungannya. Disinilah relevansi dari pertanyaan di atas (jika ia dapat dijawab) akan dapat melahirkan hubungan sinergis dan harmonis antar berbagai faktor yang telah disebut di atas, yakni dengan adanya rasa ‘perhatian’ untuk melakukan perubahan atas kekuarangan (kemiskinan) yang terjadi dan telah dapat teridentifikasi dalam tiap aspek.

Analisa Penyebab Kemiskinan
Kata miskin menurut Quraish Shihab berasal dari bahasa arab yang terambil dari akar kata ‘sakana’ yang berarti diam atau tenang, dalam uraian kebahasaan tampak jelas bahwa penyebab kemiskinan ini yakni adanya sikap berdiam diri, enggan atau tidak mau berusaha, penyebab keadaan ini yakni dapat berasal dari dalam diri atau dapat juga berasal dari faktor luar, lingkungan, baik secara lokal, nasional ataupun internasional. Oleh Quraish Shihab penyebab kemiskinan ini diidentifikasi sebagai penganiayaan oleh manusia lain yang diistilahkannya dengan kemiskinan structural yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan perolehan atau penggunaan sumber daya, salah satu contoh misalnya penggunaan teknologi. Disatu sisi kita dapat menciptakan lapangan kerja, jika dilihat dari tahap pertama proses penciptaannya, dan disisi lain dapat menimbulkan hilangnya kesempatan kerja, karena bagaimanapun menurut Radhar Panca Dhana, teknologi merupakan anak jenius ilmu pengetahuan yang paling berambisi menjadi Tuhan dengan cara menundukkan waktu, memperalatnya, untuk selanjutnya menundukkan ruang juga jarak dan bentuk sebagai derivatnya, disinilah berlaku kemutlakan untuk menguasai teknologi dan untuk itu dibutuhkan tidak saja biaya, waktu tapi juga tenaga dan pemikiran.
Jika kita kembali melihat penyebab kemiskinan yang diuraikan oleh Quraish Shihab, maka akan terlihat bahwa faktor penyebab terletak diluar (adanya penganiayaan oleh manusia lain) disini sekitarnya akan berlaku ketidakadilan dan penghisapan yang hal itu akan mengakibatkan dominasi dalam berbagai aspek, baik itu untuk skala individual, kontek keagamaan dan secara nasional.
Dalam analisa penyebab kemiskinan, selanjutnya penulis akan meminjam pisau analisa Paulo Freire –tokok pendidikan Brazil- dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas. Paulo membagi tingkat kesadaran menjadi tiga yakni kesadaran magis (magical consciousness) yakni jika masyarakat tidak memahami mengapa mereka miskin, serta menyerahkan dengan mengembalikan masalah mereka kepada Tuhan. Tingkat kesadaran ini bersifat fatal dan sering dianggap sebagai biang kemiskinan. Penganut faham ini bisaanya sering disebut kaum pesimis, mereka beranggapan bahwa hidup adalah proses kesengsaraan dan proses pasti menuju tragedy. Tokoh kaum ini yakni Darrow yang menyatakan bahwa hidup ialah sebuah guyon yang mengerikan (awful joke) dan Tolstoy yang melihat hidup sebagai tipuan dungu (stupid fraud). Selain itu juga, jika mereka menerima kebahagian kaum pesimis ini akan mendifinisikannya sebagai keadaan tidak adanya kesengsaraan. Karena kebahagian itu diartikan negatif maka menurut kaum ini kebahagian itu tidak sejati alias palsu maka lebih jauh menurut Nurcholish Majid dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban, tipikal ucapan kaum pesimis ialah “segala yang lalu telah tiada, segala yang akan datang belum terjadi dan segala yang ada sekarang tidak memadai”.
Demikian sekelumit pandangan kaum pesimis tentang kehidupan. Berikutnya apa maksud penulis mengungkapkan kajian pandangn kaum pesimis ini dalam bagian tersebut di atas. Hal ini penulis maksudkan untuk memberikan gambaran bahwa tingkat kesadaran magis ini ternyata hingga saat ini masih berlangsung walau dalam prosesntase yang sangat kecil dan terus berlangsung dilingkungan masyarakat sekitar kita yang oleh Mansour Fakih, dalam buku Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Prof. Harun Nasution, diidentifikasi diakibatkan oleh pengaruh pemikiran ‘sunny’ yang berwatak feodalistik dan predeterminisme, dalam arti tidak memberikan kepada manusia peranan (kehendak) untuk memainkan perannya dalam menciptakan prilaku sendiri, yakni hanya dengan menyerahkannya bulat-bulat kepada kehendak atau takdir Tuhan, demikian lebih jauh menurut Murtadha Muthahhari, dalam bukunya Manusia dan Takdirnya Antara Free Will dan Determinisme.
Tingkat kesadaran kedua yakni kesadaran naïf (naïf consciousness) yakni jika masyarakat percaya bahwa kemiskinan dan keterbelakangan mereka disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri, dan mau menyadari bahwa kemajuan orang (bangsa) dicapai melalui mentalitas dan usaha mereka, namun demikian harus disadari bahwa kesadaran ini disadari atau tidak masyarakat sering mewarisi sikap sebagai seorang penindas, dalam pengertiannya secara luas.
Pada tingkat kesadaran yang kedua ini kita akan menyadari penyebab kemiskinan atau mengetahui adanya kekurangan yang teridentifikasi berasal dari dalam diri kita sendiri. Dengan ini selayaknya kita keluar untuk melihat, mengidentifikasi diri kita, melihat ‘pakaian’ kita mmeriksa ‘otak’ kita, atau ‘makan’ dan ‘tempat’ sebagai ‘batas’ diri kita untuk menganalisa dan mengkritisi kemiskinan (kekurangan) yang ada pada tiap-tiap kita dalam lingkungan tempat kita bereksistensi, baik selaku Negara, dan bangsa dalam lingkungan keagamaan, maupun selaku personal tunggal. Selanjutnya bagaimana melakukan perubahan atau ‘perhatian’ dalam menyadari ‘kekurangan’ yang melekat dan perlu ‘dibersihkan’ pada ‘tubuh’ kita masing-masing. Baik itu yang kita identifikasi sebagai adanya dominasi politik dan ekonomi yang selama ini menyelimuti, kejumudan dan keterbelakangan maupun keadaan terasingnya tiap individu ditiap tengah-tengah persaingan pasar global.
Tingkat kesadaran terakhir yakni kesadaran kritis (critical consciousness) yakni tingkat kesadaran dimana masyarakat memahami bahwa kemiskinan dan keterbelakangan mereka disebabkan oleh suatu struktur yang tidak adil yang mengakibatkan keadaan kemiskinan. Pada tingkat kesadaran ini kita diinginkan untuk kritis dan kembali mempertanyakan penyebab kemiskinan yang secara structural terjadi, baik itu diakibatkan oleh ketidakadilan, kelaliman atau kezaliman, secara lokal atau secara nasional, misalnya untuk kasus ini yakni adanya KKN dalam tiap institusi structural, bencana perpecahan kepentingan, penebangan hutan dan eksploitasi sumber daya, HPH, dan sederet penyebab yang secara structural membelenggu dalam ranah cultural sebagai individu, kelompok, agama, maupun secara nasional tidak bisa dimaafkan.
Pada dataran institusi dan keagamaan, kita dihadapkan pada kenyataan akan adanya Islam inklusif, Islam timur, Islam barat, muslim abangan, muslim pribumi dan sederet deverensia yang turut menentukan sudut pandang dan daya analisa serta pemikiran kita. Disinilah kita seharusnya dapat mempertanyakan kembali status quo yang berlaku bagi tiap golongan, misalnya dalam ranah kultural dan struktural ummat dan masyarakat. Adanya taklid mazhab membabibuta, dengan sudut pandang konvergen dengan satu sudut pandang pemikiran tanpa kajian lebih mendalam dan melakukan study komparatif atas berbagai sudut pandang dan pemikiran yang terkait masalah kekinian ummat. Bukankah Islam yang kita fahami memiliki kebenaran universal? Baik dari sisi keduniaan dan keakhiratan (keagamaan), bukankah Nabi Muhammad SAW sukses dalam dua dunia? Atau haruskah ada label yang membedakan ummat yang ‘sunny’ yang ‘asy-ary’ ataukah pengaruh determinisme yang ala jabariah.
Dan pada dataran individual selaku personal tunggal kita dapat kembali bercermin, mengidentifikasai penyebab kita teralienasi. Kita kerap menempel wajah yang retak dengan tumpukan Koran, komik, vcd porno, atau pengaruh materialisme yang menuntut sikap konsumerisme yang membabibuta dalam pola perilaku keseharian kita, atau kita meski bertanya pada yang namanya institusi iman kita yang telah terkontaminasi oleh pengaruh modernitas dan westernian yang sekuler, hal ini nampaknya harus dipertanyakan kembali, pada diri kita, diri manusia.

Islam dan Kemiskinan
Michael Hart dalam bukunya Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh di Dunia menyatakan bahwa penempatan Nabi Muhammad SAW dalam urutan pertama bukunya tentu akan menimbulkan berbagai pertanyaan, baik yang pro maupun yang kontra, namun dalam argumennya Hart menyatakan bahwa sosok Nabi Muhammad SAW lah yang pantas menyandang gelar itu karena tidak saja Beliau sukses dalam bidang keagamaan namun juga sukses untuk urusan keduniaan dan pengaruh yang ditinggalkan untuk kedua sisi kehidupan tersebut sangat terasa hingga saat ini. Dalam persfektif ini Islam dapat dilihat sebagai agama pembebasan yang membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan, hal ini dapat dirunut dari sejarah munculnya Islam saat itu, Makkah dijadikan sebagai pusat perdagangan dan transaksi komersial internasional selanjutnya hal inilah yang berdampak pada sifat kapitalisme masyarakat arab waktu itu, dan dalam konteks inilah Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW lahir.
Dalam perkembangan selanjutnya dengan doktrin egalitarian, Nabi SAW melawan para kapitalis Makkah dalam segala bentuknya, ekonomi, pemusatan dan monopoli harta, perbudakan. Dan dari sini pula penganiayaan manusia terhadap diri dan lingkungannya dalam persfektif yang lebih luas melahirkan kemiskinan tidak dibenarkan. Demikian pula, seorang mujahid Islam Ibnu Taimiyah (1263-1328) sangat menolak pandangan hidup yang menjauhi keduniaan, baginya kebaikan dan kebajikan itu terletak pada kemampuan seseorang dalam memenuhi kewajibannya, inilah yang menurut Beliau makna sebenarnya dari al-zuhud. Terkait dengan itu menurut Ibnu Taimiyah merupakan kewajiban bagi Negara untuk menghapuskan kemiskinan. Dalam daftar pengeluaran publik dari Negara, Ibnu Taimiyah menulis “merupakan sebuah konsesus umum bahwa siapapun yang tidak mampu memperoleh penghasilan yang mencukupi harus dibantu dengan sejumlah uang, agar mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, tidak ada masalah apakah itu para peminta-minta atau para serdadu, pedagang, tukang ataupun petani pengeluaran untuk kepentingan orang miskin tak hanya berlaku khusus bagi orang-orang tertentu, misalnya tukang yang memiliki kesempatan bekerja, tetapi hasilnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya semuanya berhak atas bantuan sedekah”.
Lebih jauh menurut Ibnu Taimiyah “merupakan perbuatan terbaik bagi para pemegang otoritas untuk membedakan mereka yang patut menerima bantuan dan yang tidak patut dan untuk berlaku adil dalam pendistribusiannya untuk tujuan kehidupan maupun urusan publik, dan merupakan kewajiban pemegang otoritas untuk mengumpulakn uang dari sumber manapun dan membelanjakan secara adil dan layak, dilaksanakan dan tidak pernah meniadakan hak dari mereka-mereka yang memang berhak”
Namun demikian, dalam zaman seperti sekarang ini justru masyarakat kapitalis makin menurutkan sifat konsumtifnya dengan menciptakan berbagai kebutuhan-kebutuhan baru yang artifisial dan dengan publikasi yang sangat memaksa publik untuk menurutkan sifat konsumerismenya. Karena hal itulah menurut Asghar Ali Engineer dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan menyatakan bahwa dibutuhkan beberapa pemahaman ulang terhadap beberapa doktrin Islam yang bersifat normatif agar ummat Islam tidak terjebak atau terpasung dalam pola pikir yang salah, diantaranya yakni antara kepemilikan pribadi yang dapat menyebabkan eksploitasi dan kemiskinan yang diakibatkannya, antara amal atau hak orang miskin.
Dalam perkembangan selanjutnya penulis akan menuangkan pendapat Mansour Fakih, tentang masalah kemiskinan yang dijadikan sebagai dasar dalam menciptakan doktrin pembebasan yang berskala lebih luas dalam pengertian secara individu, ummat atau dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini oleh beberapa tokoh pemikir Islam disebut sebagai teologi pembebasan yakni diperuntukkan bagi kaum fakir miskin (kaum tertindas) diantara beberapa doktrin yang mencirikhaskannya yakni. Pertama, doktrin tauhid yang lebih menekankan pada keesaan ummat manusia, dengan menolak segenap bentuk deskriminasi dalam bentuk kasta, warna kulit maupun kelas atau bentuk lainnya baik yang nyata maupun tersembunyi. Lawan dari tauhid yakni kufur yang berarti mereka yang tidak percaya kepada Tuhan, karena secara aktif mereka melawan setiap bentuk perubahan struktur masyarakat menuju pemusatan harta, eksploitasi dengan segala bentuk ketidakadilan, dengan demikian menurut Mansour Fakih ukuran kufur dan tidaknya seseorang dapat dilihat dari sejauh mana tingkat upaya dan keserakahannya dalam mengumpulkan harta dan menindas si miskin (seperti dalam Q.S. Al Ma’un).
Kedua yakni doktrin keadilan yang menekankan pada perubahan struktur sosial menuju masyarakat ‘bebas’ dari segala bentuk penindasan atau kekurangan dan menciptakan bentuk masyarakat ‘tauhidi’ yakni tanpa kelas, doktrin ini tergambar dalam Al Qur’an dengan penekanan pada penciptaan ekonomi yang tidak eksploitatif, dimana faktor produksi kekayaan terpusat pada beberapa orang saja, dalam keadilan sosial menurut Islam faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja hendaknya dapat menciptakan masyarakat bebas eksploitasi tanpa penindasan dan penghisapan dan prinsip ketenagakerjaan.
Ketiga, doktrin pembebasan yang menekankan pembebasan dalam tiap bentuknya, status quo penindasan terlebih eksploitasi dan penghisapan. Tujuan dari doktrin ini dalam skala mikro dalam lingkungan lokal dapat menciptakan mesyarakat yang berkesadaran kritis akan struktur penindasan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, keagamaan, dan dalam bidang lainnya dan dengan secara sadar dan bertanggungjawab melakukan pembebasan dalam bentuk penciptaan wadah organisasi kemasyarakatan misalnya disinilah berlaku berfikir global bertindak lokal (think globally act lokally). Dan dalam skala makro kesadaran kritis akan adanya hubungan ketidakadilan dalam berbagai bidang akan dapat diputus rantai utamanya dan mengakhiri segala bentuk ketidakadilan itu.

Pengentasan Kemiskinan
Dalam kajian di atas sedikit telah diberikan gambaran untuk sub pertanyaan turunan di atas yang akan muncul jika kita kembali melihat pada akar permasalahan yang terjadi setelah melihat beberapa pisau analisis yang kita gunakan akan tampak bahwa beberapa analisa hasil persoalan tentang kemiskinan banyak kita lihat dari timbulnya persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat yang lebih didasari pada paradigma kritik (critical paradigm).
Paradigma kritik memiliki watak yang tidak netral, subyektif serta terdapat ikatan emosional terhadap si miskin dan memandang perlunya pemihakan dan komitmen kepada si miskin. Paradigma kritik ini bersemboyan bahwa dhalim jika kita bersikap adil, netral dan tidak memihak menghadapi persoalan dan keadaan masyarakat yang tidak adil.
Dalam memandang pernyataan di atas, disinilah peran kita selanjutnya dipertanyakan kembali, apakah kita teralienasi dari segala persoalan sudut kehidupan kita, masyarakat serta terpisah dari masyarakat? Dan sejauh mana kepekaan dan wawasan kita terhadap persoalan-persoalan kita, masyarakat dan berbangsa? Selanjutnya analisa apa yang kita gunakan untuk melihat kemiskinan disekitar kita? Lalu apa yang telah atau yang akan kita lakukan?
Quraish Shihab dalam menjawab beberapa pertanyaan di atas mengajukan tiga hal pokok menyangkut cara pengentasan kemiskinan yakni merupakan kewajiban tiap individu, kewajiban ini akan diwujudkan dengan bekerja dan berusaha, berfikir dan membaca yang merupakan prasyarat utama untuk memperoleh kecukupan dan kelebihan. Bekerja dan berusaha tidak hanya kita artikan sebagaimana yang secara tradisional kita pahami, tetapi lebih pada bagaimana ‘membaca’ diri dalam konteks lokal dan global dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam aktivitas keseharian.
Kewajiban orang lain atau masyarakat akan tercermin pada jaminan suatu rumpun keluarga sebagai unit terkecil kelompok sosial, jaminan sosial dalam bentuk zakat, infak dan shadaqah, disinilah tanggungjawab sosial dapat terlaksana, dan hal ini secara perlahan akan dapat menimbulkan semacam “paksaan” untuk melaksanakannya.
Kewajiban pemerintah dapat tercermin misalnya dalam pernyataan Ibnu Taimiyah di atas, misalnya dapat berupa pajak dalam berbagai bentuknya, memanusiakan manusia dan masih banyak deret lain yang merupakan kewajiban pemegang otoritas.
Demikian kiranya beberapa sudut pandang dan bahasan yang dapat kita kaji untuk mengkaji tentang tema yang diangkat. Disinilah menurut Al Qur’an dituntut partisipasi aktif dari tiap kita dalam aktivitas ‘membaca’ untuk dapat mewujudkannya agar kita tidak tergolong dalam orang-orang yang mendustakan agama seperti dalam Q.S Al Ma’un ayat 1-3 yang artinya “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang-orang miskin” Karena itu Mari Membaca Kemiskinan Kita.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id