Kamis, 15 Januari 2009

Pemberdayaan Manusia

Angka pengangguran di Indonesia untuk tahun 2005 ternyata cukup mencengangkan yakni mencapai sekitar 10,8 juta jiwa. Tahun 2006 hingga awal tahun 2007 diperkirakan akan menjadi titik balik pertumbuhan angka pengangguran tersebut. Relativitas jumlah penganggur yang saat itu 10,3 % pada akhir tahun 2009 diharapkan akan dapat ditekan hingga di bawah 6 % oleh pemerintah (Kompas, 28/01/2006).
Jumlah tersebut tentunya mengindikasikan kesenjangan antara jumlah tenaga kerja dengan tersedianya lapangan kerja. Menurut Sekjen Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi jumlah pengangguran tersebut didominasi oleh lulusan SLTP dan SLTA yakni sebesar 61% sedangkan lulusan SD kebawah sebesar 30% dan sisanya sebesar 7% yakni mereka yang mengantongi lulusan Perguruan Tinggi. Sedangkan dari setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya tercipta sekitar 200.000 kesempatan kerja baru. Jika dipridiksikan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 5% per tahun maka terdapat hanya sejitar 1 juta kesempatan kerja baru, ironisnya pertumbuhan tenaga kerja baru tiap tahunnya mencapai 2,5 juta jiwa.
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dewasa ini masih didukung oleh komponen kapital sebesar 70% sedangkan produktivitas hanya menyumbang 11% dan faktor tenaga kerja 19%. Rendahnya dukungan faktor produktivitas tersebut tentu erat terkait dengan rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. (Edi Suharto, 2005). Dengan menggunakan ukuran Human Development Index (HDI), UNDP (2004) melaporkan bahwa dari 175 negara, Indonesia masuk peringkat ke 111. HDI merupakan salah satu ukuran untuk menentukan kualitas SDM yang digunakan UNDP sejak tahun 1990. HDI ini mencerminkan kualitas hidup manusia yang dirangkum dari beberapa indicator yakni umur harapan hidup, pendidikan dan pendapatan perkapita penduduk. Kualitas HDI yang rendah mendekati angka 0 (nol) dan kualitas HDI yang baik mendekati angka 1 (satu). Rendahnya kualitas SDM dapat juga kita lihat dari tingginya angka pengangguran sebagaimana di atas.
Selain karena faktor tidak sebandingnya kesempatan kerja dengan pencari kerja. Pengangguran disebabkan juga oleh ketimpangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja yang antara lain juga diakibatkan oleh kebijakan ketenagakerjaan pemerintah yang terlalu mengandalkan sektor tenaga kerja formal. Padahal sektor informal terutama diperkotaan mampu menyediakan sekitar 83% kesempatan kerja. Sektor inilah yang oleh pemerintah belum mendapat pengakuan dan penanganan yang tepat dan proporsional.
Untuk tingkat pendidikan angkatan kerja diketahui bahwa kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia juga masih rendah. Dari jumlah angkatan kerja tahun 2002 sebesar 94 juta orang, sebagian besar pendidikan tenaga kerja adalah tamat sekolah dasar sebesar 34 juta orang (36,2%) tidak sekolah sebanyak 7 juta (7,4%) tamat SLTP 14 juta orang (14,9%) tamat SLTA 18 juta orang (19,1%) sedangkan yang tamat diploma keatas sama jumlahnya dengan yang tamat SLTP yakni 14 juta orang (14,9%).
Dari kenyataan di atas, ditambah keadaan riil yang saat ini tengah kita alami, tidaklah terlalu berlebihan jika kita mengatakan bahwa pengangguran dapat menimbulkan kemiskinan, dan sebaliknya kemiskinan dapat pula menyebabkan pengangguran yang pada gilirannya kedua hal tersebut (pengangguran dan kemiskinan) akan dapat menimbulkan disintegrasi sosial. Namun demikian disintegrasi sosial ini tentunya tidak melulu dipengaruhi oleh faktor ekonomi, namun faktor sosial dan politik dapat pula berperan Di dalamnya, semisal heterogenitas kultural, institusi-institusi politik dan pemerintahan yang tidak demokratis, tidak transparatif dan akuntabel, rendahnya penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dapat pula menimbulkan disintegrasi sosial.
Data-data tersebut tentunya menggugah kesadaran kita, betapa tidak. Karena ia menunjukkan betapa sulitnya Negara, bangsa kita beralih ketahapan yang lebih baik. Itu baru hanya kita lihat dalam kaca mata kualitas SDM yang pada gilirannya menjadi sesuatu yang fundamental untuk mewujudkan suatu masyarakat Indonesia yang adil, merata dan makmur. Kenyataan ini justru makin diperparah dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah guna merevisi UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang dinilai tidak memihak para pengusaha. Umumnya bagi mereka yang bergerak disektor menengah kebawah (UKM dan sektor Riil). Justru jika ia direvisi akan berbuntut pada perlindungan terhadap perilaku ekonomi monopolistik. Sementara itu perbaikan sistem peradilan yang dirasa masih banyak pungutan liar disana sini juga masih jauh panggang dari api. Sedangkan disisi lain hal tersebut dirasa sangat mendesak guna menciptakan iklim usaha yang kondusif. Deret kesemerawutan juga menambah daftar panjang dengan tingkah polah birokrasi yang enggan berbenah untuk menuju keadaan yang lebih baik.
Solusinya, seyogyanya dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya pemerintah menerapkan kebijakan yang ‘memihak’ pada kelompok yang marginal melalui perlindungan terhadap pengusaha kecil dan menengah darin dominasi perilaku ekonomi monopolistik. Peningkatan perluasan dan mempermudah perkreditan atau pembiayaan di industri permodalan lain yang lebih kondusif perlu ditinjau kembali. Selain itu program penanggulangan pengangguran, keterbelakangan, tingkat pendidikan yang rendah perlu dilengkapi dengan kebijakan-kebijakan “tindakan turun tangan” yang tentunya hal ini memiliki dampak strategis yang luas dan berjangka panjang.
Penegakan hukum dan “pembenahan” birokrasi juga menjadi agenda yang mendesak dan tak kalah pentingnya dilakukan. Hal ini disamping untuk mempercepat laju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi masyarakat juga untuk menciptakan kepastian usaha yang kondusif bagi para investor. Selain itu alih saham, pembiayaan dan kredit dari bank-bank pemerintah dan swasta perlu dikelola secara lebih efektif dan efesien untuk dimobilisasi bagi kepentingan industri kecil dan menengah, sektor informal dan usaha-usaha kecil lainnya agar partisipasi ekonomi masyarakat lebih meluas dan merata. Hal ini misalnya dapat diterapkan melalui implementasi wakaf tunai (cash waqf) sesuai dengan amanat UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Langkah-langkah tersebut di atas juga perlu didukung oleh kalangan industri yakni dengan memberikan perhatian serius terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang tentu saja keadaan ini menurut Depnakertrans dinilai masih minim. Pada tahun 2005 hanya 10% dari 170.000 industri besar Indonesia yang menerapkan sistem managemen K3 dan kenyataan ini lebih memperihatinkan dalam lingkungan UKM.
Pemberdayaan manusia dengan demikian akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan pembangunan manusia tidak dapat bertahan lama. Hal ini sesuai dengan apa yang telah ditunjukkan oleh Orde Baru. Demikian pula hal tersebut sejalan dengan temuan pakar ekonomi peraih Nobel tahun 1998 Amartya Sen yang dengan sempurna membuktikan bahwa antara pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial tidaklah otomatis. Agar berjalan positif dan berkelanjutan meski ditunjang oleh kebijakan sosial pemerintah yang pro pembangunan kesejahteraan sosial. Akhirnya pemberdayaan manusia akan menjadi lebih penting daripada pemberdayaan apapun yang berwujud material.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id