Selasa, 13 Januari 2009

Pekerja Anak : Kepedulian Setengah Hati

Seorang pejabat daerah, berkopiah hitam. Menenteng lembaran Koran dengan dasi necis melingkar dilehernya pernah menyatakan pada saya, tatakala saya tengah duduk diperempatan Saparua, sebuah kota kecil. Praya di Kabupaten Lombok Tengah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Melihat beberapa orang anak yang menawarkan jasa parkiran untuk kendaraan roda dua yang parkir disekitar areal tersebut.
“Mereka adalah generasi penerus bangsa ini, hingga saat ini mereka harus dipersiapkan untuk menghadapi hari esok” sembari memberikan pecahan uang koin Rp. 500,- Ia menghidupkan mesin motornya, sambil tersenyum dan mengatakan “assalamu’alaikum” yang menyatakan ia akan berlalu dari tempat ini. Serta merta saya bangkit dari tempat saya duduk dan mengatakan “tidak”. Pajabat daerah itu terperanjat sembari menoleh sambil menatap saya penuh selidik atas apa yang saya katakan “jika dengan apa yang telah Bapak lakukan, Bapak juga telah turut andil dalam menguatkan fondasi, turut mempekerjakan mereka, yang semestinya saat ini dimana ia bisa belajar, bermain, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif, dimana semestinya kita mesti ikut mempersiapkan hal tersebut, bukankah demikian? Bagaimana mereka akan dapat menjadi harapan bangsa, tumbuh menjadi anak yang sehat jasmani dan rohani serta menjadi sumber daya yang berkualitas di masa yang akan datang, jika sedini mungkin mereka harus membanting tulang untuk bekerja, sungguh hal tersebut sangat memprihatinkan”. Pejabat daerah tersebut menoleh pada beberapa anak yang ada disana. Terlihat jelas dalam raut mukanya bahwa ia merasa tidak puas atas alasan yang telah saya kemukakan. Ia mengerenyitkan kening.
Saya lanjutkan “seharusnya mereka dijamin hak-haknya, mendapatkan pendidikan, perawatan kesehatan, hingga tempat mereka bermain. Mengingat masa-masa mereka adalah masa tumbuh kembang, baik fisik maupun kejiwaan mereka. Maka idealnya mereka harus terhindar dari berbagai situasi dan kondisi yang tidak kondusif”. Tanpa terlintas keinginan untuk menggurui, menyesali tindakan atau merendahkan saya ucapkan kalimat di atas. Dan saya mengucapkan hal tersebut bukan tanpa pertimbangan. Karenanya izinkan saya menyusun argumen untuk memperkuat apa yang telah saya ucapkan.
Alasan ini juga didasarkan atas pertimbangan keadaan sosial, ekonomi, budaya, politik yang telah mengakibatkan tidak sedikit anak-anak Indonesia yang meski kehilangan hak-haknya. Salah satu bentuknya yakni dimana anak harus terjun kedunia kerja. Hal ini misalnya dialami One, bocah yang masih kelas 4 SD di Tanjung, Bima yang menjalani tugas rutinnya sebagai tukang parkir (NTB Post, 03/03/2006) atau Atin, seorang anak pengamen jalanan yang berlarian memanfaatkan lampu merah yang masih menyala untuk menyanyikan lagu kepada para pengguna jalan diperempatan kawasan industri Pulogadung Jakarta Timur (Kompas 01/04/2006). Atau Riska Amelia (9 Tahun) siswa SDN Kanani 05 Pagi Jakarta yang harus bekerja menjual Koran sepulang sekolah dikawasan Tugu Tani Jakarta Pusat dan penghasilan tersebut ia gunakan untuk membiayai sekolahnya (Kompas, 12 Oktober 2005). Hal serupa tidak terkecuali dialami juga oleh anak-anak yang ada di daerah ini, perempatan Saparua Praya, Pasar Kebon Roek Ampenan-Mataram, Kawasan Mall Mataram, Lebuhan Lembar, Kahyangan, Labuhan Padang Bai, Pelabuhan Ketapang dan beribu tempat lain dinegeri ini.
Seiring dengan kemajuan budaya dan iptek, prilaku manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multikompleks. Prilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada prilaku yang dapat dikatagorikan sesuai dengan norma dan ada yang dapat dikatagorikan tidak sesuai dengan norma. Terhadap prilaku yang sesuai dengan norma (hukum) yang berlaku tentunya tidak dipandang sebagai sebuah penyelewengan, tetapi terhadap prilaku yang tidak sesuai dengan norma dapat menimbulkan permasalahan dibidang hukum. Penyelewengan hukum ini kemudian dianggap sebagai sebuah pelanggaran atau kejahatan terhadap hokum. Kondisi tersebut sungguh memprihatinkan, namun diakui atau tidak, sadar atau tidak mempekerjakan anak bagi sebagian masyarakat merupakan kebutuhan. Hal ini terutama dialami oleh mereka yang tergolong keluarga miskin, dan pada gilirannya hal tersebut sangat sulit untuk dihapuskan, namun setidaknya dibutuhkan upaya dan strategi berkesinambungan yang menyeluruh untuk mengurangi dan menghilangkannya.
Pekerja anak didefinisikan sebagai anak-anak yang bekerja pada usia dini (menurut UU Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah dibawah umur 18 tahun). Yang karena kondisi ekonomi atau kondisi lainnya terpaksa bekerja dengan upah yang sangat buruk, jam kerja melebihi 20 jam per minggu dan belum atau tidak pernah sekolah atau tidak bersekolah lagi atau putus sekolah. Dengan demikian anak secara langsung atau tidak telah memasuki proses permintaan dan penawaran sebagai barang yang digunakan dan dibuang. Pekerja anak ini tidak hanya terjadi dinegara-negara miskin berkembang, namun terjadi juga dinegara maju. Namun motif yang melatarbelakangi pekerja anak inilah yang membedakan. Dinegara maju, anak-anak bekerja untuk uang saku, sedangkan dinegara miskin-berkembang anak-anak bekerja untuk membantu penghasilan keluarga. Dan tingkat perlakuannya dengan demikian berbeda pula. Di negara miskin-berkembang pekerja anak-anak sangat rentan terhadap misalnya eksploitasi dan dipekerjakan dalam lingkungan yang membahayakan.
Contoh untuk keadaan ini misalnya terjadinya ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) yang berdasarkan data UNICEF telah mencapai 40 – 70 ribu menjadi korban prostitusi di Indonesia. Dan menurut data Polda NTB tercatat 25 anak mengalami pelecehan seksual pada tahun 2005 (Lombok Post, 08/04/2006). Hingga tahun 2000 saja berdasarkan data SUSENAS 2000 KOR. Anak-anak usia 10 – 14 tahun sebanyak 20.640.950 jiwa sebagai pekerja. Dan jumlah pekerja anak di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebanyak 1.394.824 jiwa dari jumlah tersebut 82% dipedesaan dan 18% diperkotaan. (Edi Suharto, 2002.).
Selain kemiskinan masih banyak faktor yang menyebabkan anak bekerja, misalnya rendahnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang berpengaruh terhadap adanya pekerja anak, disamping itu pengaruh gaya hidup materialisme dan konsumerisme juga turut andil dalam hal ini (Irwanto, 1999). Adanya pihak-pihak tertentu yang melakukan eksploitasi terhadap anak dengan melihat adanya “peluang” terhadap anak untuk disuruh melakukan apa saja, tidak berdaya. Disamping itu, masalah sosial budaya juga dapat menjadi penyebab mengapa tumbuh pekerja anak. Misalnya hal tersebut diakibatkan karena anak harus ‘nurut’ jika disuruh bekerja oleh orang tuanya, untuk ‘pengalaman’ si anak dimasa depan, atau disebabkan ketidakharmonisan hubungan keluarga yang dialami oleh anak dalam keluarganya.
Dampak dari pekerja anak terhadap anak sendiri dapat berakibat pada terhambatnya proses tumbuh dan berkembangnya, baik secara fisik, kognitif, emosional dan pergaulan anak dalam lingkungannya dan masyarakat. Meskipun dengan telah dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE.12/M/BW/1997 yang memuat tentang peraturan mengenai tugas-tugas yang tidak dapat ditolerir untuk diberikan kepada pekerja anak. Namun surat edaran tersebut ternyata tidak cukup efektif untuk mengurangi eksploitasi terhadap pekerja anak.
Karenanya beberapa langkah seperti pengefektifan dana Bantuan Operasional Siswa (BOS) segera dilakukan oleh sekolah, misalnya dengan merangsang atau mempertahankan anak untuk tetap sekolah, pengaturan waktu sedemikian rupa untuk menumbuhkan minat belajar dan rasa butuh terhadap sekolah bagi anak-anak. Disamping itu ‘pungutan liar’ agar dapat ditiadakan. Disisi lain sekolah juga meski memperhatikan keperluan anak, misalnya dalam hal seragam sekolah, buku-buku pelajaran, alat-alat tulis bahkan bila perlu sekolah menyediakan makanan atau snack untuk anak agar tidak lagi bekerja hanya untuk mencari uang jajan disekolah atau untuk membiayai keperluan sekolah.
Kedua, pendidikan informal pun juga harus diperbanyak, terutama bagi anak yang terlanjur putus sekolah. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja yang dalam hal ini bertanggung jawab dalam tingkatan Propinsi, kabupaten dan kota dalam hal ini hendaknya dapat memberikan kemungkinan-kemungkinan memberikan pendidikan informal dengan bekerja sama dengan lembaga atau instansi terkait melayani dan memberikan suatu metode yang menarik bagi anak, dan tidak hanya diberikan dalam bentuk uang saja misalnya. Sebagaimana yang dilakukan pada 22/23 Januari 2006 lalu. Bentuk-bentuk pendidikan informal yang dapat diberikan misalnya berupa kursus keterampilan, seperti menjahit, montir, elektronik, bahasa dan sebagainya yang siap pakai. Disamping itu anak-anak tersebut juga meski dibekali dengan alat-alat keterampilan tersebut agar dapat langsung mereka terapkan dilingkungan masing-masing.
Ketiga, mengingat pekerja anak tidak dapat dihapuskan, namun demikian dapat dikurangi yang dengannya pemerintah berkewajiban memberdayakan keluarga si anak yang menjadi pekerja anak. Disamping itu pengaturan jam kerja maksimal bagi anak, upah dan jenis pekerjaan mesti diatur dalam peraturan daerah tersendiri. Mengingat situasi dan kondisi dunia kerja yang masing-masing daerah berbeda-beda. Disamping itu hal tersebut juga bertujuan untuk menghilangkan eksploitasi pekerja anak.
Melalui beberapa langkah dan tindakan-tindakan nyata tersebut di atas semoga kesadaran untuk tidak mempekerjakan anak bahkan menghapuskannya sama sekali dapat meningkat disemua kalangan dan semua sektor dalam dunia kerja. Dan anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dalam dunia yang lebih kondusif karena sekali lagi merekalah yang akan memegang tongkat estafet memanej negeri ini.
Islam mengasosiasikan anak sebagai mahluk ciptaan Allah swt yang sangat lemah dan berkedudukn mulia yang keberadaannya melalui proses penciptaan yang berdimensi pada kewenangan Allah swt. Penjelasan mengenai status anak ditegaskan dalam firman Allah swt yang artinya “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak adam, kami angkut mereka didaratan dan dilautan, kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah kami ciptakan”
Untuk bertindak hukum patut dipertimbangkan mengenai cakap atau tidaknya seseorang. Dalam ushul fikih kemampuan bertindak disebut dengan istilah ahliyah (Rahmat Syafi’I, 1999). Secara etimologi berarti kecakapan menangani urusan. Secara terminology merupakan suatu sifat yang dimiliki oleh seseorang yang dijadikan ukuran oelh syar’I untuk menentukan seseorang telah cakap dikenakan tuntutan syara’.
Pembagian ahliyah (Wahbah az-Zuhaili, 1986) :
1. ahliyah al-wujuh : kecakapan seseorang untuk menerima hak dan kewajiban.
a.ahliyah al-wujuh an naqisah : anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin sudah dianggap memiliki ahliyah al wujuh tetapi belum sempurna
b.ahliyah al-wujuh al-kamilah : kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir kedunia dan dibebani berbagai kewajiban.
2. ahliyah al-ada : sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif ataupun negative.
Dalam status ahliyah al-wujuh (baik yang sempurna atau tidak) tidak dibebani tuntutan syara’ baik bersifat ibadah mahdah, seperti sholat, puasa maupun yang sifatnya tindakan-tindakan hukum duniawi, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik. Akan tetapi, menurut kesepakatan ulama, apabila mereka melakukan tindakan hukum yang bersifat merugikan orang lain, maka orang yang telah berstatus ahliyah al-ada’ atau ahliyah al-wujuh al-kamilah wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya. Wajib memberikan hartanya jika tindakan yang dilakukan berkenaan dengan harta orang lain. Pengadilan berhak memerintahkan wali atau washi anak kecil yang masih dalam ahliyah al-wujuh untuk mengeluarkan ganti rugi terhjadap harta orang lain yang dirusak oleh anak tersebut.
Jika tindakan yang dilakukan oleh ahliyah al-wujuh al-kamilah berkaitan dengan hal-hal yang bersifat fisik, seperti melukai seseorang atau bahkan membunuhnya, maka tindakan hukum anak tersebut belum dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Maka hukuman terhadap pembunuha yang dilakukan oleh anak yang berstatus ahliyah al-wujuh al-kamilah tidak dijatuhkan dengan qishas, tetapi dianggap melukai atau pembunuhan semi sengaja, yang hukumannya dikenakan diyat.
Akhirnya mengakhiri argumentasi ini penulis mengutip puisi Rudiawan Triwidodo dalam sajak “Do’a Dibibir Sumur” ketika ia mengharapkan “tetesan Air Mata Tuhan” (Abdurrahman Wahid, 2000)
“Agar tersedu tangis kami dengan wajar
Sebab, hampir terlupa bagaimana kami
Harus menangis
Dengan benar
Mensyukuri berkat dan rahmat-Mu
Yang melimpah
Diluar sadar kami
Agar busah sumur-sumur kami
Tersiram air kasih yang memancar dari
Sumber keMahaanMu
Amin ”.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id