Rabu, 24 Februari 2010

Islam Pribumi: Mendialokan Agama Membaca Realitas

  1. Pendahuluan

Berbicara tentang pemikiran dan gerakan Islam, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari amatan terhadap pemikiran dan gerakan pendahulunya, dalam arti dimana pemikiran dan gerakan itu bermetafosa dan menemukan momentuk sistesa kehadirannya.

Tema ini merupakan salah tema yang sangat seksis dan kontroversi karena di dalam wacana pemikiran Arab kontemporer misalnya istilah tafkir itu bertukar kata dengan takfir. Jika tafkir berarti pemikiran, maka takfir artinya pengkafiran. Nashr Hamir Abu Zaid adalah satu contoh orang yang selalu berfikir yang kemudian dikafirkan karena pemikirannya itu. Ia menulis buku dengan titel Al-tafkir fi Zaman al-Takfir (Pemikiran pada Zaman Pengkafiran). Menurut Zaid, zaman pengkafiran terhadap orang yang menggerakkan pemikiran demikian kuat.

Sebenarnya fenomena pengkafiran ini merupakan sebuah fenomena belakangan, persisnya tahun 1930-an yang terjadi setelah gagalnya era liberal. Hourani misalnya dalam bukunya “Pemikiran Liberal di Dunia Arab” membagi tiga zaman. Pertama, awal abad 19 sampai tahun 1920-an. Kedua, dari tahun 1920-an sampai tahun 1930-an. Ketiga, dari tahun 1930-an sampai tahun 1940-an. Memasuki tahun 1940-an muncul berbagai isu politik yang melanda dunia Arab, terciptanya negara Israel, banyaknya tuntutan kemerdekaan. Di situ terjadi distraksi pemikiran Islam yang bernuansa liberal dan sejak saat itulah fenomena pengkafiran itu mulai marak dan puncaknya adalah dua puluh tahun belakangan. Begitu banyak kasus pengkafiran di dunia Arab dan sudah banyak memakan korban.1 Di Indonesia ini dalam taraf tertentu Cak Nur, Gus Dur, Ulil Abshar Abdalla dan pengusung “berani-bebas” lainnya merupakan orang yang terkena korban pengkafiran, karena dia banyak berfikir maka dia masuk dalam perangkap kafir.

Dan dalam resensi buku yang saat ini akan kita ulas yakni “Islam Pribumi, Mendialogkan Agama Membaca Realitas”, demikian M. Imdadun Rahmat melabeli buku ini. Tentunya dengan harapan bahwa buku ini akan menjadi alternatif, bahkan mungkin rekomendasi bagi para intelektual Indonesia. Sebagaimana yang ia namakan dengan sebuah komunitas cendekia yang santun, radikal dan kritis. Buku ini disusun berdasarkan hasil dialog interaktif di bulan Ramadhan. Dialog tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) di tiga radio Swasta di Jakarata (Radio Asy-Syafi’iyyah, Jakarta News FM, dan Elshinta) dari tanggal 16 November sampai 11 Desember 2001. Dialog interaktif itu merupakan impelmentasi dari program pengembangan Islam Pluralis, yaitu sebuah program yang diperkenalkan oleh lambaga yang bernaung di bawah payung Nahdlatul Ulama (NU). Demikian pula gagasan-gagasan dalam buku ini sebuah kumpulan tulisan dengan beragam tema, dan diskusi yang panjang mengenai keadaan sosial masyarakat, bangsa negara dan bahkan tatanan dunia sekalipun.2

Perbincangan tentang lokalitas Islam dan Islam Pribumi belakangan ini belum kunjung selesai dan barangkali tak akan menemukan titik akhirnya. Sebab, gagasan Islam Pribumi dalam hubungannya dengan lokalitas Islam adalah sebuah discourse yang multiinterpretasi dan debatable. Karena sifat yang demikian itulah, gagasan ini selalu menarik untuk didiskusikan dan senantiasa menemukan signifikannya dalam realitas apapun.

Pelbagai pemikiran yang muncul tentang Islam pribumi dari pemikir keislaman di Indonesia belum menunjukkan kata sepakat, dan kesemuanya itu saling melengkapi untuk memperkuat gagasan tersebut. Kendatipun demikian, kesemuanya hampir sepakat akan adanya persenyawaan unsur lokalitas Islam dengan autentisitas Islam. Dengan demikian, Islam Pribumi pada dasarnya merupakan upaya kontekstualisasi Islam. Akan tetapi ada beberapa hal penting yang sangat berkaitan yang hendak saya diskusikan pada review tugas kali ini.


  1. Sense of Academic Crisis

Secara akademis, kegelisahan yang dapat terungkap dalam memahami isi buku ini adalah dimana para penulis dalam buku ini nemiliki perspektif yang sama bahwa sebagai golongan intelektual, tugas para cendikiawan saat ini adalah tidak sekedar ‘memberi makna’ terhadap realitas sosial dan globalisasi, menguatnya neo-liberalisme apalagi meratapinya. Selanjutnya mereka juga mempertanyakan bahwa apakah yang dimaksud sebagai otentik tersebut harus kearab-araban, apakah Islam yang benar tersebut dapat bersikap bijaksana terhadap konteks kemanusiaan dan persoalan kebudayaan. Seandainya agama pernah merupakan satu kenyataan hidup di masa yang lampau, adakah ia masih tetap merupakan kenyataan hidup di zaman moden ini, di mana sains telah mengubah seluruh bidang hidup dan di mana tiada tempat lagi untuk sesuatu yang lain melainkan sains dan hakikat-hakikat yang diakui sains saja. Apakah agama merupakan satu keperluan umat manusia atau agama hanya merupakan satu kecenderungan pribadi semata-mata dengan arti siapa suka boleh beragama dan siapa tidak suka boleh jadi atheis saja kerana kedua-dua pendirian itu sama saja?3

Kaum intelek menurut mereka saat ini juga menghadapi krisis yang sama apabila mereka berhadapan dengan agama Islam. Para pendakwah tentang Islam selalu mengatakan kepada orang ramai bahwa agama Islam adalah satu agama yang unik. Islam bukan semata-mata sistem kepercayaan, bukan semata-mata sistem untuk meluhurkan jiwa dan mengasuh manusia dengan perangai-perangai yang tinggi, malah di samping itu semua, Islam adalah satu sistem ekonomi yang adil, satu sistem sosial yang seimbang, satu kumpulan undang-undang civil, undang-undang jinayah dan undang-undang antara bangsa. Islam satu pimpinan pikiran dan satu didikan jasmani dan seluruhnya di dasarkan di atas kepercayaan, pembimbingan akhlak dan pembersihan jiwa. Apa yang dikatakan itu telah membingungkan kaum intelek, kerana selama ini mereka menyangka Islam sudah mati dan tujuan-tujuannya telah tamat.


  1. Kajian Terdahulu

Dalam kajian akademis, Islam umumnya dipelajari sebagai kenyataan social historis dengan menggunakan berbagai pendekatan dan teori yang berkembang dalam ilmu-ilmu social dan humaniora. Secara umum, terdapat dua kecendrungan yang berkembang dalam kajian keIslaman selama ini, pertama, kajian yang memfokuskan pada seorang tokoh, terutama biografi dan pemikirannya dan kedua, kajian yang memfokuskan pada dinamika yang terjadi dalam masyarakat muslim berkaitan dengan isu-isu social, budaya, ekonomi dan politik.4

Berbeda dengan kajian tokoh, kajian yang memfokuskan pada dinamika yang terjadi dalam masyarakat muslim berkaitan dengan isu-isu social, budaya, ekonomi dan politik dapat memberikan kepada kita gambaran yang kompleks dari realitas social kaum muslim. Kajian social akan membantu kita memahami dinamika yang tengah terjadi dengan mencoba mencari solusi yang lebih realistik bagi persoalan-persoalan yang tengah dihadapi.

Namun, sebelum melangkah lebih jauh, akan diuraikan hasil pengamatan Fazlur Rahman menyangkut tipologi pemikiran Islam secara global. Disamping hasil pengamatan Fachry Ali-Bachtiar Effendi tentang tipologi pemikiran Islam Indonesia, karena hasil pengamatan tersebut sangat relevan untuk dikemukakan.

Menurut Rahman, paling tidak terdapat empat tipologi pemikiran keIslaman yang pernah berkembang di dunia Islam, yakni:5 pertama, gerakan pemikiran revivalisme pra modernis yang muncul pada abad ke-18 dan ke-19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan yang tidak terkena sentuhan Barat ini memperlihatkan ciri-ciri umum yakni: a) keperihatinan yang mendalam menyangkut degradari sosio-moral umat Islam dan usaha untuk mengubahnya; b) imbauan untuk kembali kepada Islam sejati dan mengenyahkan tahyul-tahyul yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme popular, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berusaha untuk melaksanakan ijtihad; c) imbauan untuk mengenyahkan corak predeterministik; d) imbauan untuk melaksanakan pembaharuan melalui kekuatan bersenjata (jihat) jika perlu.

Menurut Rahman, bahwa dasar pembaruan revivalisme pra-modernis ini kemudian diambuil alih oleh gerakan kedua, yakni modernism klasik, yang muncul pada pertenahan abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide Barat. Yang baru pada gerakan ini adalah perluasannya terhadap ‘isi’ ijtihad, seperti hubungan antara akal dengan wahyu, pembaruan social, khususnya dalam bidang pendidikan dan status wanita serta pembaruan politik dan bentuk-bentuk pemerintahan yang representative serta konstitusional lantaran kontaknya dengan pemikiran dan masyarakat Barat. Usaha modernism klasik dalam menciptakan yang baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui sumber al-Qur’an dan Sunnah Nabi, menurut Rahman, merupakan suatu prestasi besar yang tidak bersifat artificial atau terpaksa. Hakikat penafsiran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ‘Sunnah Historis’ yakni (biografi nabi) sebagaimana dibedakan dengan ‘Sunnah Teknis’ (yakni yang terdapat dalam hadis-hadis). Mereka umumnya skeptic terhadap hadis, namun skeptisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah.

Modernism klasik ini selanjutnya memberi pengaruh pada gerakan ketiga, yakni neo-revivalisme6 atau revivalisme pasca modernis, seperti dalam mendukung gagasan demokrasi dan percaya serta mempraktekkan bentuk pendidikan Islam yang relative telah dimodernisir. Bahkan gerakan ini telah mendasari dirinya pada basis pemikiran modernism klasik bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individu maupun kolektif. Namun karena usahanya untuk membedakan diri dari Barat, maka neo-revivalisme merupakan reaksi terhadap modernism klasik. Mereka tidak menerima metode atau semangat modernisasi klasik, namun sayangnya, mereka tidak mampu mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan psosisinya, selain upaya membedakan Islam dengan Barat.

Dibawah pengaruh neo-revivalisme, dan sebagai tantangan terhadapnya, neomodernisme Islam muncul.7 Dan Rahman termasuk di dalamnya. Dengan tegas Rahman menyatakan bahwa neomodernisme Islam harus mengembangkan sikap kritis terhadap Barat maupun warisan-warisan kesejarahannya sendiri. Kaum muslim harus mengkaji dunia Barat serta gagasan-gagasan maupun ajaran-ajaran dalam sejarah keagamaannya sendiri. Bila hal ini tidak dikaji secara obyektif, maka keberhasilannya dalam menghadapi dunia modern merupakan kemustahilan, bahkan keberlangsungan hidup sebagai muslim patut dipertanyakan.8

Selanjutnya Facry Ali dan Bachtiar Effendi secara historis membagi empat tahapan perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, yakni:9 pertama tahap pemikiran Islam tradisional (Islam Sinkretis), kedua, tahap pemikiran Islam modern (Islam Puritan), ketiga, tahap pemikiran Islam politik (Islam Nasionalis) dan keempat tahap pemikiran intelektual (Islam Intelektual).

Sebagaimana yang dikutip Ahmad Suaedy,10 Mark Woodward (2001), mengelompokkan respon Islam atas perubahan pasca Orde Baru ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.

Pertama, indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam, tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan ritual lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang disebut Clifford Geertz sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Dalam hubungan politik dan agama, secara given mereka mengikuti cara berpikir sekuler dan enggan membawa masalah agama ke ranah negara dan sebaliknya.

Kedua, kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya tidak berusaha untuk memaksakan “Arabisme” ke dalam kehidupan keIslaman sehari-hari.

Ketiga, Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama. Ia berbasis pada pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Ia misalnya, dalam arus utamanya, menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi puritanisme yang lebih menonjolkan “ke-Arab-an”.

Keempat, Islamisme atau Islamis. Gerakan yang disebut terakhir ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme, tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau Jihad dan penerapan Syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini. Kelompok ini juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagai musuh Islam yang mereka definisikan.

Kelima, neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Ia berasal dari berbagai kelompok, termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Mereka biasanya tergabung dalam berbagai NGO dan institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam tradisional tertentu. Mereka juga melakukan pencarian tafsir baru terhadap berbagai doktrin Islam berlandaskan pada realitas masyarakat dan penggunaan filsafat dan metode-metode baru seperti hermeneutika.

Sementara itu, Peter G Riddel (2002) membagi menjadi empat kekuatan Islam Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru; yaitu modernis, tradisionalis, neomodernis dan Islamis. Secara umum, Riddel sepaham dari definisi masing-masing kategori dengan mengabaikan satu kategori dari Woodward, yaitu indigenized Islam. Bagi Riddel, masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri dalam menanggapi berbagai isu krusial di tahun-tahun periode pertama pasca Pemilu pertama runtuhnya Orde Baru, yaitu tahun 1999. Isu-isu tersebut antara lain, kembali ke Piagam Jakarta, krisis Maluku, membuka hubungan dagang dengan Israel, negara Indonesia federal, tempat kaum minoritas dalam sistem negara Indonesia, preisden perempuan, dan partai politik yang baru dibuka kran-nya setelah Orde Baru runtuh.

Istilah Islam pribumi ini sebenarnya dimotori oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai penegasan hubungan yang erat antara keIslaman dan keindonesiaan. Sebenarnya gagasan Pribumisasi Islam yang ditawarkan Gus Dur dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai sesuatu yang normative dan praktek keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual. Dalam Pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normative berasal dari tuhan di akomodasikan kedalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpakehilangan identitasnya masing-masing. Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, namun justru agar budaya itu tidak hilang.11 Disini menurut Gus Dur, inti Pribumisasi Islam adalah kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.

Gus Dur juga pernah memberikan rincian pribumisasi Islam, berupa asas-asas pemahaman ajaran Islam secara kontekstual. Menurut gus Dur, paling tidak ada delapan asas yang harus dikembangkan umat Islam-khususnya Indonesia saat ini, yakni pertama, asas keterbukaan, dalam arti kemampuan menerima warisan kesejarahan umat manusia secara utuh (keseluruhan) dan memberikan penghargaan yang tulus kepadanya, yakni kemauan untuk menerima warisan tersebut secara wajar. Kedua, asas kontinuitas sejarah, dalam arti Islam mengambil dari kelompok dan paham lain, sama banyak dengan yang diberikan kepada mereka. Jadi sumbangan tiap kelompok manusia atau paham seluruhnya mengalami naik turun dalam pentas sejarah serta memiliki saling hubungan interaktif antara satu dengan lainnya.

Ketiga, asas delegalisasi ajaran, dalam arti diperlukan pemikiran dan upaya untuk menekan porsi aspek legal dari kehidupan kaum muslim hingga ketitik terkecil yang dapat diterima oleh norma-norma Islam sendiri. Keempat, asas diinstitusionalisasi Islam, sejauh yang dapat diterima oleh inti ajaran Islam, dan menyerahkan fungsi institusi-institusi Islam yang terkena asas ini kepada lembaga-lembaga kemasyarakat yang tidak bersimbolkan keIslaman. Kelima, asas depolitisasi Islam, dalam arti Islam tidak disajikan sebagai kekuatan politik, melainkan sebagai sumber moral bagi perjuangan manusia untuk memperbaiki kehidupan secara utuh. Islam harus mengambil jarak dari lembaga-lembaga politik. Keenam, asas kesejarahan (historisitas) dalam arti Islam harus hidup dalam kekinian dengan segala permasalahannya, jadi tidak menggunakan rekonstruksi keIslaman secara utopis. Ketujuh, asas pluralitas, klaim Islam tidak dimungkinkan atas nama satu orang, paham atau kelompok saja, namun harus terbuka untuk semua orang. Jadi, tidak ada monopoli “kebenaran” dalam Islam. Kedelapan, asas konvergensi, yakni adanya konvergensi begitu aneka ragam pemikiran dikalangan kaum muslim.12


  1. Topik Pembahasan

Terdapat tiga topik penting yang diulas dalam buku ini dan diuraikan dalam sub pembahasan tema, diantara ketiga topik tersebut yakni: pertama, melampaui teks, menemukan kembali visi humanis al-Qur’an, melampaui ritual, dari kesalehan individual menuju kesalehan social dan melampaui identitas, menjadi muslim dalam masyarakat yang plural. Namun demikian dari ketiga rumusan pokok bahasan tersebut, terdapat beberapa hal yang sebenarnya hendak diangkat.

Pertama, tentang autentisitas Islam. Diakui atau tidak, Islam adalah agama yang tidak akan lepas dari faktor eksternal agama dan berjalan di atas logika kemanusiaan. Karena itulah, mencari autentisitas Islam menjadi sangat sulit dan bahkan tidak mungkin. Sebab, al-Qur’an sebagai kitab suci Islam turun untuk menjawab problem kemanusiaan saat itu dan kemungkinan dimasa yang akan datang. al-Qur’an dengan visi liberatif-emansipatifnya mengusung nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, tak ada ayat satupun dalam al-Qur’an yang tidak memiliki asbabun nuzul.13

Ayat-ayat al-Qur’an yang selama ini dipandang oleh sebagian ulama klasik tidak memiliki asbabun nuzul, sebenarnya hadir ke bumi dengan beberapa peristiwa dan berdialog dengan fundamental values saat itu. Tak ada satu ayatpun yang tidak mengenal konteks.14

Kedua, Islam datang bukan untuk menghapus agama sebelumnya seperti Nasrani, Yahudi, melainkan untuk mengajarkan tauhid (keesaaan) sebagaimana yang telah diajarkan oleh agama sebelum Islam. Abu Zahro dalam Ushul fiqh-nya (1958) mengatakan bahwa sesungguhnya semua agama (agama semit/abrahamic religion) pada dasarnya adalah satu (inna al-syarai’a al-samawiyah wahidatun fiy ashliha). Semua agama sama-sama mengejar. Akh Muzakki15 pernah mengatakan, autentisitas Islam tidak bisa dibatasi sejak masa Muhammad, tetapi sudah ada semasa Adam. Adalah sangat tidak cukup memahami Islam tanpa memahami agama, budaya, sosial sebelum Islam turun. Max Mullër, seorang tokoh perbandingan agama, pernah mengatakan bahwa He who knows one, knows none, orang yang hanya tahu satu agama, tidak tahu apa-apa tentang agama, termasuk agamanya sendiri.

Dengan demikian, Islam harus bisa memposisikan dan menerjemahkan diri ditengah pluralitas agama. Cyril Glassë menulis Concise Ensyclopedia of Islam mengatakan…..the fact one revelation should name others as authentic is an extraordinary event in the history of religions all (…..kenyataan bahwa sebuah wahyu [Islam] menyebut wahyu-wahyu lain sebagai hal yang absah adalah kejadian luas biasa dalam sejarah agama-agama). Karena itulah, Farid Esack dengan karyanya, Qur’an Liberation and pluralisme; an Islamic Perspective Interreligious Solidarity agains Oppression (1997) mengajak untuk menjalin solidaritas antar agama untuk pembebasan (li al-taharrur). Pluralisme dimaknai sebagai modal awal bagi tumbuhnya gerakan inter-religius yang meneriakkan semangat pembebasan (al-hurriyah) bagi kaum yang tertindas (al-mustadh’afiyn)16

Ketiga, Islam yang kita anut sekarang ini bukanlah Islam sebagaimana pada masa Muhammad. Artinya, Islam pada masa Muhammad sudah berbeda jauh dengan Islam sekarang. Konteks sosial, budaya, politik, ekonomi yang dihadapi masa sekarang jauh lebih kompleks daripada Islam pada saat Nabi. Karena itulah, Islam Pribumi harus bisa memahami konteks sosial dimana Islam berada. Upaya untuk kembali ke masa nabi dengan mengesampingkan konteks sosial saat itu berarti mereduksi bahkan mendistorsi Islam secara besar-besaran. Jika demikian, maka Islam tidak akan pernah mampu menjawab tantangan zaman dan kegelisahaan umatnya. Islam akan statis dan diam ditempat. Dan pada gilirannya, Islam hanya akan menjadi kenangan romantis masa lalu dan kini telah ditinggalkan oleh pemeluknya.

Terkait dengan hal tersebut, maka faktor selanjutnya juga sangat terkait dengan beberapa faktor sebelumnya yakni.17 Faktor keempat penolakan terhadap Islam-Arabis. Terkait dengan stabilitas sosial. Pertanyaannya, apakah dengan gejala intensifikasi Islam yang dirujukkan pada arabisme akan dapat menyelesaikan persoalan yang ada? Islamisasi baik di tingkat pusat daerah maupun pusat dan mengidentikkan diri dengan segala sesuatu yang berasal dari arab sekaligus mengeliminasi kebijakan budaya lokal, bagi penulis, adalah mimpi panjang yang harus segera disudahi. Karena ada beberapa hal yang harus diperhatikan, Islamisasi yang diartikulasikan dengan berbagai sistem kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya tidak dapat memenuhi harapan dalam menciptakan hubungan-hubungan yang harmonis antar pemeluk agama maupun antar faksi-faksi paham dalam agama tertentu.

Kelima, dalam banyak kasus, Islamisasi justru meningkatkan polarisasi. Perbedaan yang ada di bumi nusantara dengan jutaan karakter budayanya tidaklah mungkin ditaklukan dengan sebuah sistem budaya tunggal tanpa memperhatikan stabilitas sosial. Manusia seharusnya mencari sintesis dan equilibrium baru yang seimbang, bukannya menciptakan konflik-konflik yang mengganggu hubungan antar sesama.

Keenam, metode kaum Islamis yang eksklusif, doktriner, dan menekankan fanatisme bahkan radikalistik pada dasarnya tidak membantu manusia untuk hidup tenteram dalam masyarakat yang pluralistik. Oleh karenanya, kekayaan budaya akulturasi yang selama ini menjadi pijakan kita dalam menjalani kehidupan di bumi nusantara haruslah kita jaga sedemikian rupa agar karakteristik Islam yang sangat menghargai lokalitas dan lokalitas yang mendukung keislaman dapat selalu bercampur menjadi bahan bakar untuk menjalankan roda kehidupan yang tenteram.

Autentisitas Islam sebenarnya bukanlah berada pada teks keagamaan (secara literal) yang sudah berdialektika dengan lokalitas tertentu. Sebab, teks agama hadir ditengah lokus kemanusiaan dan meniscayakan adanya campur tangan manusia. Autentisitas Islam adalah kumpulan doktrin universal-kemanusiaan yang berada dalam teks keagamaan. Karena itulah, autentisitas Islam merupakan nilai-nilai universal seperti keadilan, persamaan, toleransi, hak asasi dan lain sebagainya. Dan kesemua nilai-nilai itu inhern dalam diri manusia (hati nurani), sehingga tanpa panduan agama sekalipun, manusia bisa menentukan mana jalan yang terbaik, baik, buruk dan terburuk. Agama (Islam) hanya menjadi legitimasi dan afirmasi terhadap hati nurani. Semua manusia menginginkan adanya keadilan, persamaan, maslahat. Karena itulah jika ajaran Islam bertentangan dengan dengan hal di atas (nilai-nilai universal dan hati nurani), harus ditinjau ulang.

Karena itulah, Islam bukanlah daerah anti tafsir. Ia bisa saja dan harus ditafsirkan dalam setiap konteks tertentu. Karena ia ciptaan manusia yang bisa salah (fallible), dapat berubah-rubah sesuai dengan semangat zaman. Dalam kaidah Ushul fiqh disebutkan bahwa, hukum berubah tergantung pada konteks tertentu.

Dengan logika ini dapat dipahami bahwa lokalitas adalah salah unsur pembentuk dari ajaran Islam. Untuk mengetahui autentisitas Islam meniscayakan adanya pengetahuan tentang lokalitas. Lokalitas disini tidak hanya terbatas pada konteks saat Islam turun, tetapi jauh sebelum Islam hadir kepermukaan ini dalam mana terdiri dari pelbagai agama, budaya, bahasa dan lain sebagainya.

Hubungan antara keduanya dan diwujudkan dalam Islam Pribumi tidak harus mengambil posisi berhadap-hadapan dan bersifat dikotomis. Sebab, keduanya ibarat sebuah koin (mata uang) dengan dua permukaan. Islam dan lokalitas dengan demikian hampir tidak dapat dibedakan. Keduanya berhubungan secara dialektis, terkait secara timbal balik. Karena itulah autentisitas Islam sebenarnya ajaran-ajaran universal yang berlaku disepanjang zaman sejak Adam sampai kapanpun dan dimanapun.


  1. Pendekatan

M. Imdadun Rahmat dan kawan-kawan, dalam buku ini mencoba melakukan dekonstruksi terhadap wacana pemikiran yang dominan dan secara social saat ini tengah berlangsung. Menurut Rahmat, landasan paradigmatik dan teoretik apa yang melatarbelakangi menyangkut analisis tentang perubahan sosial yang muncul adalah kebanyakan diwarnai oleh dua aliran teori sosial yang sesungguhnya saling bertentangan yakni antara ‘teori modernisasi’ yang berakar pada ‘paradigma sosial positivisme’, dan paham ‘teori sosial kritik’ atau yang juga dikenal dengan ‘ilmu sosial emansipatoris’ seperti teori kritis mazhab Frankfrut, neo Marxisme, juga paham posmodernisme. Secara panjang lebar Rahmat menguraikan tentang perubahan sosial yang tengah dilakukan oleh kaum liberal. Perubahan sosial yang tengah terjadi saat ini tengah diuji dalam usaha transformasi relasi sosial politik menuju suatu relasi yang lebih adil yang berwatak emansipatoris dengan berpijak pada dekonstruksi dan reformasi sosial. Seharusnyalah perubahan sosial yang terjadi memiliki perspekrif transformatif, dan memiliki jangkauan yang luas baik dari segi metodologi, agenda maupun motivasi. Perubahan sosial yang berperspektif transformatif juga menyangkut hal-hal untuk memenuhi kebutuhan praktis dan strategis golongan miskin. Hanya dengan cara yang luas itulah perubahan sosial dapat menyumbangkan trasnformasi sosial ke arah yang lebih adil.


  1. Kesimpulan

Beberapa konsepsi pemikiran yang hendak diutarakan dalam mengkaji buku ini yakni keterkaiatan antara gagasan pemikiran Islam Pribumi dengan konsep kenegaraan dimana reformasi yang mendorong perkembangan demokrasi di Indonesia telah melahirkan relatif banyak varian pemikiran. Berbagai pemikiran itu lebih sebagai pasar raya pemikiran. Munculnya berbagai pemikiran termasuk tentang Islam itu sebagai ujian bagi pemikiran dasar tentang politik moral yang oleh para ulama dan pendiri bangsa telah diletakkan dasarnya. Namun Pancasila dan NKRI tetap merupakan keputusan final bagi bangsa ini.

NKRI dengan dasar Pancasila merupakan konsensus seluruh elemen bangsa pada masa lalu. Konsensus itu, menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara Islam meski penduduknya mayoritas beragama Islam. Demikian pula bahwa elemen-elemen yang terlibat dalam pembentukan NKRI berasal dari ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, kalangan Arab, Non-Arab. Ormas-Islam tersebut tidak alergi dengan istilah kebangsaan (Nation-State). Dengan demikian konsep NKRI bersama Pancasila, UUD 1945, dan demokrasi merupakan prinsip yang wajib dipertahankan.

Inilah warisan yang tak ternilai dari para pendiri bangsa, khususnya tokoh dan ormas Islam. Bukan berlebihan kalau dikatakan bahwa Indonesia adalah ‘anak sah’ yang dilahirkan dari ormas-ormas Islam. Sebagai sebuah kekayaan pemikiran berbagai paham, pemikiran, dan aliran telah mengisi ruang publik pada era reformasi sejak 1998, bahkan aliran fundamentalis muncul karena keterbukaan pada era reformasi, sehingga terjadi tarik menarik paham, aliran, dan pikiran. Namun saat ini, dibutuhkan kesadaran bersama termasuk kalangan pemuda untuk melakukan perlawanan baik secara kultural maupun intelektual terhadap gerakan tertentu yang ingin mengancam keutuhan NKRI dan dasar negara Pancasila. Selain itu, untuk menjaga kelangsungan Islam yang ramah dan menjadi rahmat bagi semua di Indonesia. Akan menjadi hal yang sangat krusial, manakala masyarakat mendapatkan pendidikan politik dasar tentang kedaulatan rakyat melalui berbagai kesempatan. Rakyat, dengan demikian dapat memilih bupati, gubernur, presiden tetapi rakyat juga bisa menurunkan atau mengganti mereka.


  1. Kontribusi Untuk Ilmu Pengetahuan

Berbagai macam gagasan yang timbul ini tentu tidak dapat kita lepaskan dari keinginan umat muslim untuk selalu hidup sesuai atau menyesuaikan diri secara total dengan ajaran Islam dan hidup sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman. Tanpa didera oleh trauma psikologis yang tidak produktif dan konstruktif dalam menatap masa depan.

Dalam buku ini setidaknya pama penulis ingin menunjukkan bahwa, latar belakang konsepsi pemikiran yang dibangun merupakan respon atas perubahan dan aktualisasi Islam sebagai agama rahmat yang sesuai untuk waktu dan tempat secara universal, dengan demikian akan salah jika islam hanya melulu dilihat dalam konteks ke-Arab-an, dan visi-visi para islamis akan menegasikan keinginan umat islam untuk menyesuaikan Islam dalam konteks keindonesiaan, dan para titik inilah gerakan dan gagasan pemikiran Islam Pribumi menemukan momentumnya dan memberikan sumbangsih pemikiran dalam dialektika Islam nusantara.


  1. Kritik Buku

Diantara beberapa kritik yang dilontarkan terhadap gagasan pemikiran Islam pribumi ini yakni menyangkut penafsiran al-Qur’an. Berbeda dengan ulama pada umumnya, yang biasanya menekankan otoritas, para pemikir Islam Pribumi yang kebanyakan Anak muda ini bisa digolongkan “pembrontak”. Mereka yang menganggapnya sebagai “kegelisahan intelektual” selalu mempertanyakan mengapa Islam yang normatif dan skriptual tidak lagi mengalirkan pesannya yang mendasar pada zaman yang baru dan dalam konteks kelokalan. Mereka menyatakan dengan berfikir demikian Islam akan mampu melakukan transformasi dan trensendensi dalam memajukan peradaban, khususnya dalam konteks Indonesia.

Relatifitas penafsiran mereka terhadap teks keagamaan, baik al-Qur’an maupun Hadist sangat kentara. Salah satu contoh penafsiran mereka yang berbeda dengan kebanyakan Mufassir pada umumnya adalah ketika merefesentasikan surat al-Baqarah ayat 20, ayat ini mereka anggap tidak berlaku universal, apalagi untuk konteks sekarang. Ayat tersebut terkurung dalam tradisi kearaban dan dijadikan alat bagi kepentingan Nabi Muhammad untuk memperkuat kekuasaan dan panatisme ke-Islaman dengan memunculkan sikap apriori umat terhadap pihak non muslim yang dalam hal ini Yahudi dan Nasrani. Untuk itu, saat ini hukum tersebut tidak lagi berlaku. Seperti yang dikatakan Ahmad Baso:

Kalau kita mengambil penafsiran yang situasional dalam situasi Madinah, ayat itu tidak lagi berlaku secara universal. Kalau soal kebencian, setiap manusia memiliki kebencian. Akan tetapi, tidak kemudian melembaga menjadi hukum teologis bahwa orang itu benci kepada orang Islam. Tidak ada sifat manusia yang abadi18

Dan berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Syahrudin Hidayat,19 akhirnya ia menyimpulkan bahwa word view dalam menginterpretasi al-Qur’an atau teks agama yang lainnya dalam Islam Pribumi dengan terlebih dahulu melihat historisitas teks tersebut, kemudian dicari sebab atau illat yang melatarbelakangi munculnya teks, dan dari situlah kemudian bisa dilihat maqasid-nya. Apabila teks tersebut masih sesuai dengan konteks masa kini, maka konsekuensi hukum yang menjadi substansi teks tersebut masih bisa berlaku. Akan tetapi jika tidak demikian, maka teks tersebut harus ditundukkan untuk mengikuti tuntutan konteks, kalau tidak dihapuskan status hukumnya, maka diberikan penafsiran lain yang sesuai dengan realitas. Untuk itu hukum bisa berlaku elastis sesuai dengan situasi dan kondisi mahkum. Penafsiran model ini yang kemudian dikenal dengan istilah relatifitas hukum. Sementara maqasid yang dibangun adalah berdasarkan pikiran pribadi atau belandaskan ’Urf (kebiasaan) pola pandang manusia terhadap sebuah objek, tanpa melihat dan mempertimbangkan aspek yang lain.

Kasus penafsiran Surat Al-Baqarah ayat 20 sebagai ayat yang menurut mereka bersifat eksklusif, tidak lagi relevan untuk menjawab kondisi dan situasi masa kini. Realitas masyarakat plural yang menuntut setiap individu saling berinteraksi dengan pihak lain secara bebas, tanpa memandang ras, etnik maupun agama. Maka ayat yang substansinya deskriminatif terhadap Yahudi dan Nasrani ini dikatakan mereka sebagai misi memperkuat eksistensi kekuasaan Rosulullah sebagai pimpinan Madinah, tidak lagi bisa berlaku untuk kelompok Yahudi maupun Nasrani saat ini.

Hasil ijtihad mereka yang semacam itu jauh bertolak belakang dengan metode penafsiran para ulama pada umumnya. Ungkapan yang menyatakan sebuah ayat sebagai bentuk kepentingan Rosulullah saw. akan bertentangan dengan ayat lain yang menyatakan bahwasannya segala sesuatu yang ucapkan beliau tidaklah keluar dari keinginan hawa nafsunya, melainkan wahyu dari Allah. Artinya penafsiran mereka bertentangan dengan metodologi tafsir bi al-ma’tsur yang menafsirkan ayat dengan ayat lain, hadist atau qaul sahabat. Padahal ini merupakan kaidah pokok penafsiran dan hampir seluruh ulama tidak menyelisihinya

Selain dalam aspek penafsiran ayat, penggunaan terminilogi kemaslahatan (maslahah) juga kurang begitu jelas, hal ini disebabkan karena dalam Islam Pribumi, tidak membuat ketentuan menyangkut kemaslahatan tidak tegas dan jelas yang dikembalikan kepada “rasa keadilan”, “pendapat/penilaian umum”, “kepantasan”, dan sejenisnya, jelas akan sangat bersifat subyektif.20


  1. Penutup

Demikian akhir dari pembahasan dalam buku ini. Sekalipun bidang bahasannya berbeda-beda, tetapi kita dapat menarik benang merah dari apa yang ingin disampaikan penulis yakni suatu upaya untuk membuka ruang kritis dan perenungan yang dalam bagi kita semua mengenai permasalahan yang tengah terjadi di Indonesia saat ini. Bahwa segala yang terjadi merupakan sebuah konstruk dan rekayasa dari sebuah kekuatan yang perlu kita waspadai dan kita kritisi bersama, yaitu kekuatan kapitalisme global. Dengan pasar bebas sebagai lokomotifnya. Buku ini menjadi penting untuk dibaca, karena mengandung informasi yang luas dan merupakan hasil kajian pustaka yang mendalam. Terutama untuk bagian ‘bunga rampai pemikiran para penulisnya’, tulisan ini dapat menjadi pengantar yang memadai dan mungkin sekilas yang dilahirkan oleh prinsip dan nilai Islam dalam konteks keindonesiaan.

Berbagai macam gagasan yang timbul itu tentu tidak dapat kita lepaskan dari keinginan umat muslim untuk selalu hidup sesuai atau menyesuaikan diri secara total dengan ajaran islam dan hidup sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman. Tanpa didera oleh trauma psikologis yang tidak produktif dan konstruktif dalam menatap masa depan Indonesia dalam nuansa kebhinekaan untuk kesatuan.

  1. Daftar Pustaka

Abdullah Saeed, 2006. Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis (Terj. Arif AMftuhin). Jakarta: Paramadina.

Akh Muzakki. Autentisitas, Problem Dasar Islam dalam Media Indonesia, 2/5/2008.

Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al Qur’an. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro. 2001

Fachry Ali dan Bactiar Effendi. 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Orde Baru. Bandung: Mizan

Fazlur Rahman, 1982. Islam and Modernity: Transformation of an Intelektual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press

Hidayat, Komarudin, 1996. Memahami Agama, Sebuah Kajian Hermeneutika, Jakarta: Paramadina.

Imam Mustofa. Ijtihad Jaringan Islam Liberal dalam Jurnal al-Mawarid Edisi XV Tahun 2006

M. Imdadun Rahmat. 2003. Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Erlangga.

Muhammad Arkoun. 2005. Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama. (Terj. Ruslani). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Muhammad Azhar. Kajian Terhadap Berbagai Konsepsi Pemikiran Islam di Indonesia. Jurnal Studi Islam dan Informasi PTAIS Mukaddimah. No. 5 Tahun IV/1998.

Mujiburrahman. 2008. Mengindonesiakan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Qardhawi, Yusuf. 1997. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Cet. 1. (Terj. Didin Hafidudin, dkk). Jakarta: Robbani Press.

Rahman, Fazlur. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid 4, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996

Taufik Adnan Amal. 1987. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman. Bandung: Mizan


I n t e r n e t

Ahmad Suaedy Selasa, Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia:
Masa Depan Islam Indonesia
. Makalah disampaikan pada Pelatihan Kader Lanjutan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKL-PMII) di Pondok Cabe, Cireundeu Tangerang Banten, Ahad, 13 Juli 2008. Diakses pada http://www.gusdur.net/pemikiran diakses pada 22 Januari 2010

Hatim Gazali. Autentisitas dan Lokalitas Islam dalam http://crsejogja.wordpress.com diakses pada 22 Januari 2010

Syahrudin Hidayat. Studi Kritis Islam Pribumi Dalam Kajian Tafsir. Ditulis pada http://fokammsi.com akses pada 23 Desember 2009

Teater Utan Kayu. Masa Depan Pemikiran Islam, 5 Maret 2005. Diakses pada www.Islamlib.com pada 22 Januari 2010

Zaki Mubarok. Meneguhkan Keberagamaan ala Indonesia dalam www.wawasandigital.com. di akses pada 22 Januari 2010


1 Teater Utan Kayu. Masa Depan Pemikiran Islam, 5 Maret 2005. Diakses pada www.Islamlib.com pada 22 Januari 2010

2 M. Imdadun Rahmat. Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas (Jakarta: Erlangga, 2003), hal. vi dalam Pengatar Penerbit

3 Ibid. hal. xvii

4 Lihat Mujiburrahman. Mengindonesiakan Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. x

5 Lihat Taufik Adnan Amal. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1987), hal. 18-19

6 Gerakan neo-revivalis tumbuh tepatnya mulai paruh pertama abad XX M, yang merupakan kelanjutan dari gerakan kebangkitan Islam (Islamic revitalism) yang muncul pada abad XIX dan permulaan abad XX M. munculnya gerakan neo-rivivalis sebagai reaksi terhadap gelombang sekularisasi yang melanda dunia Islam. Gerakan ini memfokuskan perhatiannya untuk menghadapi berbagai permasalahan penting yang sedang menggerogoti kehidupan umat Islam, khususnya mengenai sikap perlawanan terhadap “westernisasi” yang sedang melanda komunitas muslim mereka membentengi diri dengan menempatkan Islam sebagai way of life dan menolak upaya menginterpretasikan al qur’an atau sunnah. Lihat Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis (Terj. Arif AMftuhin) (Jakarta: Paramadina, 2006), hal. 4.

7 Gerakan modernis muncul pada paruh abad XIX M. Fokus utama gerakan ini ialah menekankan akan pentingnya melakukan peyegaran pemikiran Islamdengan cara membangkitkan kembali gelombang ijtihad yang digunakan sebagai sarana untuk memperoleh ide-ide yang relevan dari al Qur’an dan sunnah. Dan juga berusaha memformulasikan kebutuhan hukum berdasarkan pada prinsip-prinsip ini. Para modernis mengkritisi apa yang disebut “otomistic”. Hal ini dilakukan bertujuan untuk memperoleh aturan-aturan hukum secara langsung dari Al Qur’an dengan mengesampiongkan keputusan dari ulama klasik, dalam pengertian secara umum. Al Qur’an menurut mereka merupakan sebuah fenomena yang berada dalam lintas sorotan sejarah dan juga melatarbelakangi setting sosial historis tertentu. Para medernis dalam memahami setiap fenomena tertentu selalu memperhatikan situasi dan kondisi yang melatar belakangi munculnya fenomena tersebut, baik itu dari segi moral, agama, maupun setting social histories dalam menjawab berbagai problematika kehidupan. Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelektual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hal. 2-19. Lihat juga Abdullah Saeed, Menyoal Bank…hal. 2

8 Taufik Adnan Amal. Metode..hal. 18-19

9 Lihat Fachry Ali dan Bactiar Effendi. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986)

10 Ahmad Suaedy Selasa, Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia:
Masa Depan Islam Indonesia
. Makalah disampaikan pada Pelatihan Kader Lanjutan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKL-PMII) di Pondok Cabe, Cireundeu Tangerang Banten, Ahad, 13 Juli 2008. Diakses pada http://www.gusdur.net/pemikiran diakses pada 22 Januari 2010

11 M. Imadadun Rahmat, Islam ….hal. xx

12 Muhammad Azhar. Kajian Terhadap Berbagai Konsepsi Pemikiran Islam di Indonesia. Jurnal Studi Islam dan Informasi PTAIS Mukaddimah. No. 5 Tahun IV/1998, hal. 67.

13 Lihat Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al Qur’an. (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro. 2001)

14 Lihat Muhammad Arkoun. Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)

15 Lihat Akh Muzakki. Autentisitas, Problem Dasar Islam dalam Media Indonesia, 2/5/2008.

16 Lihat Hatim Gazali. Autentisitas dan Lokalitas Islam dalam http://crsejogja.wordpress.com diakses pada 22 Januari 2010

17 Lihat Zaki Mubarok. Meneguhkan Keberagamaan ala Indonesia dalam www.wawasandigital.com. di akses pada 22 Januari 2010

18 Ungkapan ini ditulis Ahmad Baso pada pembahasan “Islam dan Dialog Peradaban (1)”. Lihat Imdadun Rahmat, Islam.. hal. 2.

19 Lihat Syahrudin Hidayat. Studi Kritis Islam Pribumi Dalam Kajian Tafsir. Ditulis pada http://fokammsi.com akses pada 23 Desember 2009

20 Lihat Imam Mustofa. Ijtihad Jaringan Islam Liberal dalam Jurnal al-Mawarid Edisi XV Tahun 2006, hal. 76.

Bangsa Yang Belum Kelar

Pendahuluan.

Perjalanan sebuah negeri bernama Indonesia memang penuh dinamika, sesuai dengan apa yang Soekarno katakan dalam pidatonya pada Hari Pancasila 1950. Bung Karno bercerita, di dalam kitab Ramayana disebutkan adanya sebuah negeri bernama Utarakuru disebelah utara Ramayana, kehidupan disana sangat statis, tidak ada dingin yang terlalu, tidak ada panas yang terlalu, tidak ada sedih yang terlalu, tidak ada senang yang terlalu, tidak ada gelap yang terlalu, tidak ada terang yang terlalu, tidak ada up and down. Apakah kita akan menjadi bangsa seperti itu? Tidak, kita harus menjadi bangsa yang terus menerus di-gembleng sampai hancur lebur lalu bangkit lagi, di-gembleng sampai hancur lebur lalu bangkit lagi, dan seterusnya hingga kita menjadu bangsa yang sekuat otot kawat balung wesi (otot kawat tulang besi).

Dan hampir seperti itulah Indonesia selama kurang lebih 65 tahun setelah Proklamasi, hanya saja fakta yang ada kurang sesuai, karena kita selalu saja berada dibawah, keluar dari satu rezim ke rezim lain yang tidak mampu mewujudkan cita-cita bangsa; menciptakan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap tanah air Indonesia, dan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Semua itu hingga kini masih menjadi angan-angan bagi sebagian besar rakyat Indonesia.

Konsep NKRI tetap menjadi perdebatan hangat di Indonesia. Pembentangan Benang Raja, bendera RMS dan Bintang Kejora, Bendera Papua, serta pembentukan parpol lokal di Aceh yang mirip GAM, ini semua mencemaskan mereka yang mendukung NKRI dan alergi separatisme. Max Lane, dalam bukunya terbaru "Bangsa Yang Belum Selesai", menyerukan perlunya menimba kembali kekuatan dan pertarungan ide dan pikiran, dalam menyelesaikan pembangunan bangsa Indonesia. Kedaulatan politik sudah di tangan bangsa sejak merdeka, tapi nation building memerlukan dinamika baru. Menurut Max Lane, mantan diplomat Australia yang memilih menjadi aktivis selama 15 tahun belakangan itu, ide ini sejalan dengan gagasan Bung Karno dan Pramudya Ananta Tur.1

Secara khusus buku ini mencoba memotret dinamika Indonesia dari angel ide revolusi kaum Kiri dari zaman kolonial Belanda hingga kini setelah 65 tahun kita menyatakan merdeka. Soekarno yang digambarkan Lane sebagai pembawa dan pengemban ide, sebagai agen revolusi rakyat, dan dikatakan sendiri oleh Bung Karno bahwa dirinya adalah Pemimpin Besar Revolusi. Namun meski Bung Karno menduduki kursi Presiden 20 tahun lamanya, proses yang dikatakan sebagai revolusi tak dapat diwujudkan2, karena ia dikelilingi oleh orang-orang yang tidak mendukungnya, paling dekat adalah Bung Hatta yang justru ingin mempertahankan enklave kolonial. Ia menjanjikan pada Belanda untuk mengembalikan seluruh kekayaan kolonial, perkebunan-perkebunan yang mereka rampok, pertambangan yang dikerjakan para buruh rodi, izin dagang dan jalur pelayaran mereka. Bahkan berjanji untuk melucuti kelompok yang terlalu revolusioner, sehinga meletusklah bentrokan pemberontakan Madiun 1948, ribuan aktifis dan pejuang kiri dibunuh dan dipenjara.3 Barangkali dari sini kita bisa memahami mengapa Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tahun 1945, namun Bung Hatta menyetujui sejumlah syarat pengakuan Belanda atas ‘kemerdekaan’ Indonesia antara lain, negara Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), meneruskan hutang Belanda dimasa kolonial, Indonesia masuk menjadi anggota Bank Dunia, serta dibolehkannya Belanda memberikan masukan dalam pembangunan dan perekonomian Indonesia. Dari sini pula kita dapat memahami mengapa KUHP Belanda diadopsi dalam sistem hukum kita, dapat pula kita pahami mengapa Bung Hatta mengundurkan diri ketika Indonesia memutuskan secara sepihak dari Perjanjian Meja Bundar4.

Selain daripada itu, gagasan revulosi juga ditentang oleh satu kekuatan lagi yang tidak bisa dikendalikan oleh Bung Kerno yang akhirnya membawa Soeharto pada tampuk kekuasaan pada awal tahun 1966 hingga masa kejatuhannya 10 tahun lalu (hal 23-32). Periode Soeharto merupakan periode pemberangusan gagasan-gagasan dasar revolusi nasional; mobilisasi, revolusi, aksi, mogok, rapat akbar, berontak, rakyat, sama rasa sama rata, berdaulat. Dimasa ini Soeharto melakukan pembersihan secara sistematis seluruh potensi lawan politiknya dengan cara apapun, dimana dalam 33 tahun kediktatorannya lebih dari satu juta orang dibunuh, puluhan ribu dipenjara lebih dari setahun, hampir 20.000 orang lainnya dipenjara 10-14 tahun.5

Pada Mei 1998, masa kediktatoran tersebut ditumbangkan oleh kekuatan puluhan ribu massa yang digerakkan entah oleh siapa, yang memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri. Protes massa yang mulai muncul sejak akhir 1980-an baru dapat menuntaskan pekerjaannya setelah 18 tahun. Para menteri Kabinet Pembangunan bikinannya, para politisi di perlemen dan jenderal yang selama ini mengabdi kepadanya dihadapkan pada dua dilema: menghadapi situasi yang kian tak terkendali serta radikalisasi dikalangan rakyat atau menghentikan dukungan kepada Soeharto. Dan mereka memilih yang terakhir.


  1. Sense of Academic Crisis

Ketika Soekarno masih berkuasa, ia menekankan bahwa revolusi belum selesai, namun G30S bukannya menyelesaikan revolusi ini. Orde Baru pimpinan Soeharto justru memblokir revolusi ini. Salah satu aset revolusi Indonesia adalah pengerahan massa, namun peran massa dalam revolusi dihapus oleh Orde Baru dengan konsep massa mengambang.

Gerakan reformasi pada tahun 1990an merebut kembali aset revolusi yang belum selesai ini dengan gerakan massa. Selama ini metode perjuangan sudah diterapkan namun di bidang ideologi belum terjadi perebutan kembali. Padahal ini adalah dua persyaratan penting untuk kemajuan, demikian Max Lane, aktivis kiri dan pengamat Indonesia asal Australia.

Menonjol memang tidak hadirnya ideologi dalam era reformasi saat ini. Ideologi Demokrasi Terpimpin gagasan Soekarno sudah dilupakan, Demokrasi Pancasila buatan Orde Baru tercoreng karena menjadi dasar sistim otoriter yang ditumbangkan massa selama reformasi. Lalu ideologi apa yang bisa mengisi kehampaan ini atau memang masyarakat Indonesia pasca Orde Baru tidak membutuhkan ideologi lagi? Menjadi pertanyaan pasca reformasi, selanjutnya apa? Buku ini berupaya menjawab pertanyaan tersebut.


  1. Kajian Terdahulu

Potret sebuah negara yang bernama Indonesia telah banyak kita baca dari sebuah teks. Misalnya Thomas Stamford Raffles, seorang tokoh kebangsaan Inggris yang gemar mengumpulkan manuskrip lokal indonesia, mulai dari berbagai babat dan kesusastraan Jawa. Bersama ahli arkeologi Belanda, ia dibantu menerjemahkan lontar-lontar tersebut. Dan pada akhirnya lahirlah buku The History of Java, yang mengupas romantisme Jawa.6

Atau kita masih diingatkan juga dengan Eduard Douwes Dekker, dengan karangan buku Max Havelaar, tidak lain adalah buku pegangan Mohammad Hatta dalam perjuangannya mendirikan negara ini. Buku pemikiran para pejuang bangsa juga tidak lepas disorot, Dibawah Bendera Revolusi yang melegenda hasil pemikiran Soekarno, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional oleh Adnan Buyung, Massa Aksi dan Madilog oleh Tan Malaka, artikel di sebuah surat kabar ‘Seandainya Aku Seorang Belanda’ yang menyebabkan, si penulis, Ki Hajar Dewantara dibuang ke pulau Bangka.

Sebagai bagian dari hasil sebuah karya sastra kita juga diingatkan kembali dengan buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ karangan RA Kartini dan ‘Catatan Seorang Demonstran’ yang ditulis sejak usia 15 tahun oleh Soe Hok Gie. Atau Wiji Thukul ikon demonstrasi melawan penguasa orde baru, yang ‘sengaja dihilangkan’ negara tapi masih terus hidup berjuang dalam puisi-puisinya dan satu kata Wiji Thukul yang terkenal dikalangan para demonstran sampai sekarang, “Lawan”.

Ada juga Siti Nurbaya, karangan Marah Rusli atau Layar Terkembang yang ingin menyampaikan identitas bangsa pada saat itu, atau Salah Asuhan karya Abdoel Muis. Dan tentu saja, Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Pulau Buru menjadi salah satu daftar pula dalam sastra Indonesia, Radhar Panca Dhana dengan Menjadi Manusia Indonesia.7 Dan masih banyak lagi karya-karya yang lainnya (belum lagi yang ditulis oleh para tokoh dan pemikir muslim di negeri ini dalam menggambarkan sejarah, saat ini dan prediksi bangsa ini di masa depan)

Indonesia memang proyek yang belum selesai. Kita menjadi bagiannya. Entah jadi pelaku atau objek dari proyek tersebut. Tapi banyak diantara kita yang tidak mau tahu dengan proyek bersama ini.


  1. Topik Pembahasan

Tujuan penulisan ini adalah menjelaskan apa yang Lane anggap sebagai proses sesungguhnya terjadi sejak tahun 1990-an hingga masa reformasi tahun 1998. Di dalam analisis ini, Lane memposisikan diri sebagai partisan dalam proses tersebut (disaat yang sama ia bekerja di Departemen Luar Negeri Australia bidang pembangunan), yang ia mulai dengan keterlibatannya dalam berbagai inisiasi kekuatan politik dan budaya yang berseberangan dengan kekuasaann sejak pertengahan dekade 1970. Tahun 1981 ia mendirikan jurnal Inside Indonesia dan menjadi editornya. Selama tahun 1980-an ia kampanye di luar Indonesia untuk membela Pramoedya Ananta Toer yang ditahan sebagai tapol dan mendukung penerbit Hasta Mitra, penerbit buku-buku para tapol. Selama dekade 1990-an ia bersama sejumlah mahasiswa dan pemuda menerbitkan majalah dan melahirkan partai politik baru, Partai Rakyat Demokratik (PRD) tahun 1994.

Max Lane membagi Indonesia ke dalam dua karakter, Indonesia antara tahun 1945-1956 dan Indonesianya Soeharto, 1965-1998. Dengan jatuhnya Soeharto, akankah muncul Indonesia baru? Ia mulai dengan mencari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat dan politik Indonesia, kekuatan-kekuatan apa yang sedang berkembang, gagasan-gagasan politik apa yang sedang terbentuk, faktor-faktor apa yang mendorong kekuatan-kekuatan tersebut?8

Analisis buku ini berstruktur gabungan antara tematis-kronologis, sehingga narasinya sering bolak balik antar periode waktu mengikuti temanya. Bab 5-8 menganalisis proses kejatuhan Soeharto, dimana Lane berpendapat bahwa sebab utama kejatuhan Soeharto bukanlah kekuatan asing yang bermain dibalik massa. Ia mulai dari sekelompok kecil aktifis tahun 1980-an yang berusaha membangkitkan kembali politik aksi massa sebagai metode tunggal mengakhiri kediktatoran. Bab-bab ini menguraikan argumen bahwa politik aksi massa yang secara sadar didorong oleh kelompok politik terorganisir, pada akhirnya merupakan kekuatan yang menghentikan kediktatoran Soeharto.

Bab 1-4 membahas dinamika sejarah Indonesia dari pergerakan anti kolonialisme Belanda, dimana mobilisasi politik memegang peran penting dalam perjuangan hingga proklamasi 1945, dan dalam menuntaskan proses revolusi yang berkembang hingga 1965. Semua gagasan, gerakan dan ingatan dalam masa tersebutlah yang menjadi titik sentral dalam proses kontra-revolusi yang dilancarkan Soeharto, dimana ia ingin menghilangkan budaya pergerakan politik yang membangun pilar inti sistem politik Soeharto yakni “massa mengambang’, dimana rakyat tidak boleh dimobilisasi dan dipolitisasi

Bab 9 merupakan rangkuman kondisi sosio-ekonomi Indonesia sejak didesakkannya resep-resep ekonomi neo-liberal yang memperkuat proses politik sepanjang tahun 1990-an hingga menjadi periode pasca reformasi. Sedangkan bab 10 memberikan penjelasan utuh atas puzzle berupa protes-protes sosial yang terus muncul pasca jatuhnya Bung Harto. Lane menyimpulkan bahwa walaupun gerakan massa menentang kediktatoran telah berhasil merebut kembali budaya politik Indonesia yang dibutuhkan bagi revolusi nasional –mobilisasi, aksi- namun proses untuk merebut kembali ideologi dan budaya (komunisme,red) yang dibutuhkan bagi revolusi nasional baru saja dimulai.

Bagi Max Lane Indonesia sebagai sebuah nasion baru ada setelah abad XX. Untuk menjelaskan itu Lane memulainya dengan mendefinisikan pengertian nasion (nation). Untuk menjelaskan itu Lane mengajukan beberapa hal menyangkut pembentukan nasion. Pertama-tama yang dimaksud nasion menurutnya adalah gejala baru dalam sejarah umat manusia. Nasion sebenarnya hanya muncul di atas bumi manusia sejalan dengan berkembangnya kapitalisme. Sebelum ada kapitalisme tidak ada yang namanya bangsa atau nasion. Pada masa sebelum perkembangan kapitalisme yang ada hanyalah kelompok-kelompok etnis, kesukuan, kerajaan dan sebagainya -bukan nasion, bukan Negara. Nasion memiliki beberapa sifat konkret, yang menurut Lane -yang jika semua sifat itu tidak ada, kalau tidak lengkap- tidak bisa disebut nasion, atau belum nasion.

Bagi Lane nasion merupakan sebuah komunitas yang terbentuk dalam proses perkembangan sejarah yang stabil. Artinya, ada (eksis), sudah mampu bertahan cukup lama dan cukup stabil. Jadi, sesuatu fenomena yang eksis 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun terus hilang, itu belum stabil. Jadi, nasion itu menurut Lane harus yang sudah stabil, sudah eksis cukup lama. Komunitas orang-orang yang terbentuk dalam proses sejarah yang stabil itu, pertama, harus memiliki wilayah yang dihuni bersama (common territory). Kedua, ada bahasa yang dipakai bersama (common language). Ketiga, kehidupan ekonomi bersama -semua orang yang tinggal di suatu wilayah memiliki satu kehidupan ekonomi bersama. Biasanya dalam proses kemunculan kapitalisme terbentuk suatu pasar yang terintegrasi, tersatukan di dalam wilayah itu. Cerminan fenomenanya adalah adanya mata uang yang sama, hukum pajak yang sama, peredaran barang di seluruh wilayah, termasuk tenaga kerja manusia tersatukan dalam satu proses ekonomi di suatu wilayah. Keempat, ada watak psikologis bersama yang tercerminkan dalam satu kebudayaan bersama.9

Menurut Lane sifat-sifat di atas tidak mendadak jatuh dari langit. Di setiap negara, kemunculan sifat tersebut berbeda-beda dan dengan pasang surut yang berbeda-beda pula. Ada yang bisa berkembang cepat, sementara yang lainnya lama, dan seterusnya. Keempat sifat di atas -sebagaimana analisis dari kaum kiri- tidak diperoleh dari langit, melainkan merupakan hasil dari pengamatan terhadap proses. Orang yang pertama kali menulis soal untuk pertama kalinya mengamati proses sejarah masyarakat Eropa, dan kemudian Amerika. Di jaman Eropa feodal misalnya, menurut Lane kerajaan-kerajaan yang ada adalah kerajaan-kerajaan kecil. Kalaupun ada raja besar, itu adalah kerajaan yang memperoleh upeti dari berbagai raja-raja kecil. Di masing-masing kerjaan Eropa itu bahasanya berbeda-beda -itu yang sering dilupakan orang. Misalnya di Prancis ketika terjadi Revolusi Prancis, jumlah orang yang saat ini disebut sebagai orang Prancis dan berbahasa Prancis hanya 30%, sedangkan 70% lainnya sebelum Revolusi Prancis berbicara dalam bahasa-bahasa suku. Demikian pula di Jerman dan Itali. Sebelumnya tidak ada bahasa Italia yang menyatukan seluruh Italia. Di Inggris, bahasa Skotlandia yang asli, bahasa Wales yang asli tidak dimiliki oleh orang Inggris. Di Eropa pada awalnya batas-batas geografis kerajaan itu sangat cair. Tetapi dalam proses penyatuan, misalnya Napoleon menyatukan Prancis, Bismark menyatukan Jerman dan sebagainya, setelah melalui berbagai peperangan, lama kelamaan wilayahnya menjadi jelas.10

Salah satu faktor yang menggerakan kaum borjuasi di Prancis untuk menjatuhkan feodalisme adalah karena adanya “kemumetan” dalam mengatur perekonomian. Itu karena masing-masing wilayah di Prancis, pertama-tama bahasanya, isi perjanjian ekonomi, pajak dan lain-lain di setiap daerah memiliki bahasa yang berbeda-beda. Berdasarkan kenyataan itu kaum borujuasi menginginkan satu pengaturan ekonomi yang meliputi seluruh wilayah dengan mata uang yang sama, aturan pajak dan pungutan yang sama. Mereka menginginkan satu ekonomi nasional, pasar nasional dengan aturan nasional yang bersatu, yang terintegrasi, di mana semua orang bisa terlibat. Itu merupakan salah satu sebab -bukan satu-satunya- mengapa kaum borjuasi Prancis menggulingkan kekuasaan feodal. Mereka menginginkan sebuah bentuk republik untuk seluruh Prancis. Jadi orang-orang bukan lagi abdi raja, tapi menjadi warga suatu republik, suatu nasion. Termasuk tenaga kerja masuk ke pasar nasional, di mana harga tenaga kerja dalam bentuk gaji itu menjadi relatif merata di semua sektor ekonomi. Membeli buruh di suatu daerah dan daerah lainnya kurang lebih sama. Kalaupun tidak sama, ada aturan nasional yang bisa memastikannya (memberi kepastian), sehingga terbentuklah pasar nasional.

Selanjutnya Lane mempertanyakan bahwa apakah memang bangsa-bangsa itu memiliki watak psikologis yang berbeda-beda? Watak psikologis ini datang dari mana? Kebudayaan yang dialami, dijalankan bersama-sama dalam wilayah tersebut (nasion) berasal dari mana? Faktor itu penting, apalagi di negara-negara pasca kolonial seperti Indonesia.

Munculnya nasion dengan sifat di atas menurut Lane merupakan proses sejarah. Artinya, ada awalnya, ada proses berkembangnya, dan ada proses selesainya. Jadi kalau ada pertanyaan apakah bisa selesai, menurut saya proses menyelesaikan atau mewujudkan keempat sifat nasion di atas seharusnya bisa. Hal yang perlu dicatat dan penting adalah bahwa terbangunnya nasion tidak menjamin apa-apa bagi masyarakat yang menjadi warganya. Adanya nasion tidak menjamin kemakmuran masyarakat. Adanya nasion hanya menjamin kemampuan untuk satu nasion berhubungan/berususan dengan nasion-nasion lain. Suka tidak suka, dunia sekarang terdiri dari nasion-nasion. Dalam kerangka itu, jika proses pembentukkan nasion belum mantap, maka dalam berurusan dengan nasion lain nasion yang bersangkutan akan berada dalam posisi lemah. Sebaliknya, jika sudah berkembang posisinya bisa tidak lemah lagi atau tidak selemah seperti sebelum berkembang. Faktor lain yang dapat menjadi imbangan kekuatan adalah potensi. Tinggal persoalannya apakah potensi yang ada itu bisa direalisasikan atau tidak.11

Perihal batasan wilayah Indonesia menurut Lane berasal dari batasan yang dibuat pada jaman Hindia Belanda. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa batas wilayah Indonesia merupakan hasil dari proses kolonialisme- tetapi bukan bentukan Hindia Belanda. Oleh sebab itu, keliru jika mengatakan bahwa Indonesia merupakan ciptaan Belanda, sebagaimana pendapat beberapa kalangan sejarawan Barat. Secara kewilayahan, Indonesia merupakan hasil pertempuran pihak-pihak kolonial (Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris).

Pandangan yang mengatakan bahwa Indonesia dipersatukan oleh Belanda menurut Lane adalah tidak benar. Kaum kolonial justru memecah belah setiap usaha membentuk nasion Indonesia. Wilayah Indonesia menjadi jelas terjadi dalam proses sejarah kolonialisme. Sedangkan aspek-aspek lain yang menjadi ciri nasion Indonesia dibangun oleh orang Indonesia sendiri -hasil dari proses perjuangan orang Indonesia sendiri. Dan Bahasa Indonesia, menurut Lane menjadi bahasa bersama diresmikan oleh gerakan Indonesia: Sumpah Pemuda. Hal itu merupakan hasil dari sebuah proses. Dalam hal itu, Pramoedya Ananta Toer memiliki jasa besar dalam menunjukkan bahwa orang Indo dan orang Tionghoalah yang sebenarnya membangun landasan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional.12

Menurut Lane sebuah bahasa hanya bisa berkembang menjadi sebuah bahasa nasional jika sudah mampu dipakai untuk sastra. Sebelum muncul sastra bahasa Melayu, bahasa Melayu hanya dipakai untuk sastra kraton -dengan bahasa yang sangat sempit- dan bahasa perdagangan. Sebagai lingua franca, bahasa yang dipakai di seluruh kepulauan Nusantara hanya untuk kepentingan perdagangan, seperti isi kontrak, harga, tawar-menawar di pasar dan pelabuhan. Kalangan yang mulai membangun bahasa Melayu sebagai bahasa yang bisa dipakai untuk membicarakan atau membahas masalah kehidupan modern adalah orang-orang Indo yang menulis novel-novel tentang kehidupan Hindia Belanda waktu itu, kemudian orang Tionghoa yang menulis cerpen dan novel-novel dalam bahasa Melayu. Dengan begitu bahasa Melayu pun berkembang. Kalangan yang mengambil langkah berikutnya -yang membawa bahasa Melayu benar-benar menjadi bahasa nasional- adalah aktivis-aktivis gerakan nasionalis. Mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk menjelaskan visi dan perjuangannya ke masa depan. Sebaliknya, menurut Lane Belanda sendiri menggunakan bahasa Melayu hanya sebagai bahasa administrasi-bahasa larangan dan alat pengaturan terhadap masyarakat jajahannya- bukan bahasa yang akan mampu menjadi bahasa untuk membentuk suatu- bahasa yang mampu membahas segala aspek kehidupan, terutama politik. Di jaman penjajahan Belanda bahasa Melayu selalu disempitkan menjadi bahasa yang sangat kaku. Bahasa Melayu menjadi bahasa yang hidup diwujudkan melalui gerakan nasionalisme, yang pada tahun 1928 diresmikan sebagai bahasa nasional. Dari situlah bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa Indonesia yang aktif dipakai untuk membahas masa depan Indonesia: bagaimana mencapainya dan apa yang harus dilakukan untuk mencapainya.13

Lebih jauh menurut Lane, jika membaca karya tulis pengamat Belanda di jaman kolonial, ciri yang paling berlaku tentang kehidupan ekonomi di Hindia Belanda adalah dual economy: di satu sisi ada ekonomi yang dijalankan oleh orang-orang Eropa, sebagian kecil orang Tionghoa; dan di sisi lain ekonomi yang dijalankan oleh orang Hindia Belanda- dari semua etnis. Orang-orang Eropa berada di sektor ekonomi yang sangat produktif dan menghasilkan kekayaan besar, sedangkan di luar masyarakat Eropa produktivitas ekonominya sangat rendah, serta disertai kemiskinan dan kemelaratan. Pada jaman Hindia Belanda kehidupan ekonomi bersama tidak ada. Orang-orang yang tinggal di pedesaan dunia ekonominya berbeda dengan orang-orang di perkotaan. Pada waktu itu menuju pada kehidupan bersama sebenarnya mulai ada- mata uang yang sama, dan mulai ada undang-undang ekonomi yang berlaku di seluruh Hindia Belanda. Dual economy melahirkan jurang (ketimpangan) yang besar. Bukan saja jurang kaya dan miskin, tetapi juga jurang bahasa, kehidupan sehari-hari, kebudayaan sehari-hari, dan terutama produktivitas.

Menyangkut kebudayaan, Lane menyatakan bahwa apakah ada yang disebut kebudayaan Indonesia? Itu merupakan persoalan besar. Kebudayaan sebuah nasion datang dari mana? Ali Murtopo tahun 1970-an mengemukakan tentang “kebudayaan nusantara”, “kebudayaan kepulauan”. Menurutnya kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan kepulauan. Apa yang dimaksud dengan kebudayaan kepulauan? Maksudnya adalah: berbagai kebudayaan yang ada di pulau nusantara, dan kebudayaan Indonesia adalah penggabungan dari semua kebudayaan etnis-etnis yang ada. Itu adalah ide baru. Sebelum Orde Baru tidak ada ide itu. Memang ada slogan “bhineka tunggal ika”, tetapi asumsi- pada tahun 1930-an, 1940-an, 1950-an, 1960-an, semua pikiran tentang bhineka tunggal ika dan lain-lain- yang hidup di masyarakat yaitu ada kebudayaan yang sama sekali baru yang sedang berkembang.14 Selanjutnya Lane menyatakan bahwa jika kita melihat sejarah Prancis, Jerman, Inggris, Amerika, Australia, dan Jepang, ketika mereka berkembang menjadi nasion memang tampak sekali ada suatu kebudayaan yang sama sekali baru yang lain dari kebudayaan sebelumnya. Kebudayaan Prancis setelah Revolusi Prancis tidak ada hubungannya dengan kebudayaan Prancis yang sebenarnya juga tidak ada- karena yang ada adalah kebudayaan berbagai bahasa yang ada di Prancis di jaman feodal. Demikian pula dengan Jepang, apakah ada hubungan kebudayaan Jepang sekarang dengan kebudayaan Jepang pada abad 18 dan 19. Sedikit sekali sisa-sisanya.15

Lantas pertanyaannya, datang dari mana kebudayaan baru itu? Sebenarnya sumber utama dari kebudayaan baru adalah perjuangan yang dilakukan dangan sadar untuk mencapai perubahan. Di Eropa, pembangunan nasion dilakukan melalui perjuangan menghancurkan feodalisme. Di Amerika, perjuangan membangun nasion dilakukan dengan menghancurkan pengaruh kolonialisme Inggris dan perbudakan- karena tidak akan bisa mewujudkan suatu kehidupan ekonomi bersama jika masih ada masyarakat budak. Perjuangan untuk mencapai perubahan -penghancuran feodalisme dan kolonialisme- di kebanyakan negara-negara bekas kolonial bukan hanya menghancurkan feodalisme -karena kolonialisme sendiri yang sebenarnya sudah menghancurkan feodalisme sebagai kekuatan- tetapi juga feodalisme sebagai pengaruh mental. Sultan-sultan, raja-raja di nusantara sudah kalah tiga ratus tahun sebelumnya oleh Belanda, dan yang tersisa tinggal symbol -dalam mental dan kebudayaan masih ada- tetapi sebagai kekuatan sudah hilang. Jadi, perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan mengalahkan kolonialisme. Perjuangan itulah yang kemudian melahirkan kebudayaan baru, dan semua perjuangan itu berbuntut revolusi.

Revolusi itu menurut Lane pertama-tama adalah memutarbalikkan susunan kekuasaan yang ada- yang dominan sebelumnya, yang tadinya berkuasa menjadi tidak berkuasa lagi, dan yang tadinya dikuasai menjadi berkuasa. Aspek kedua -merupakan syarat mutlak- dari revolusi adalah bahwa dalam proses memutarbalikkan kekuasaan tersebut terjadi proses menciptakan sesuatu yang sama sekali 100% baru atau yang sama sekali 100% tidak ada sebelumnya. Revolusi itu merupakan proses yang sangat kreatif, sekaligus juga destruktif. Dikatakan destruktif karena revolusi menghancurkan kekuasaan yang ada sebelumnya; dan dikatakan kreatif karena melahirkan sesuatu yang sama sekali baru.16

Menurut Max Lane dalam kasus-kasus revolusi anti-fedodal maupun kasus-kasus revolusi anti-kolonial yang terjadi di Asia seperti di Indonesia -yang dihancurkan oleh nasionalisme- adalah penghancuran struktur kekuasaan kolonial, yang dikreasikan sebagai gejala yang 100% sama sekali baru di atas muka bumi. Itu adalah sebuah nasion yang tidak ada sebelumnya, yaitu Indonesia. Kita bisa melihat itu dalam keempat buku Pramoedya Ananta Toer—dari Bumi Manusia hingga Rumah Kaca—yang diakui oleh hampir semua orang sebagai buku kebangkitan Indonesia, walaupun dalam keempat buku tersebut kata Indonesia sama sekali tidak dipakai. Mengapa, sebab waktu itu kata Indonesia belum ada di benak siapapun, kecuali seorang sosiolog Inggris. Mengapa tidak ada sama sekali, karena waktu itu baru dimulai, belum bisa dibayangkan. Orang-orang Indonesia waktu baru mulai membayangkan Indonesia seperti tercermin dalam gerakan nasionalisme tahun 1920-an. PKI adalah yang pertama kali menggunakan kata Indonesia, kemudian diikuti gerakan nasionalisme lainnya. Mengapa dibayangkan, karena waktu itu mulai eksis, sudah mulai berkembang: wilayahnya sudah ada, bahasanya -berkat orang Indo dan Tionghoa mulai menyebar sebagai bahasa yang berguna. Terwujud di mana? Pertama-tama dalam sastra Indonesia. Jangan meremehkan sastra.

Menurut Lane banyak pengamat dan akademisi menulis bahwa dalam pembangunan nasion yang penting adalah bahasa. Memang, ada bahasa bersama itu betul. Tetapi bahasa bersama itu tidak berkembang sebagai national language. Bahasa nasional baru bisa berkembang jika sastranya berkembang. Apa yang menjadi basis kebudayaan Prancis? Sastranya. Apa yang menjadi basis kebudayaan Inggris? Sastranya. Kalau tidak ada Shakesphere, tidak ada Charles Dickens. Atau jika di Amerika tidak ada Jack London, kebudayaan Amerika dan Inggris datang dari mana? Nilai-nilai budayanya datang dari mana? Apakah datang dari gereja? Sudah tidak. Dari agama? Sudah tidak. Hanya sebagian kecil saja yang masih kuat agamanya, sementara orang-orang yang beragama dengan yang sudah lemah agamanya pun nilai-nilainya sering sama. Nilai-nilainya datang dari mana? Sastra, karena lama kelamaan sastra menjadi sesuatu yang dinikmati seluruh masyarakat, dan sastra diajarkan di sekolah mulai dari SMP secara serius. Sampai sekarang Indonesia adalah satu-satunya negeri di seluruh dunia yang tidak mengajarkan sastra Indonesia di SMP dan SMA- yang memiliki kewajiban membaca sekian banyak novel, sekian drama, sekian syair, ramai-ramai membedahnya di kelas, pekerjaan rumahnya menulis essay. Hal itu di Indonesia tidak ada, satu-satunya negeri di seluruh dunia.17

Di Indonesia menurut Lane, sastra hanya diselipkan dalam pelajaran bahasa, padahal nilai-nilai budaya sastra Indonesia kaya. Melalui sastra, drama, syair, lagu muncul kebudayaan baru. Tetapi, harus dicatat bahwa kelahiran kebudayaan baru tidak hanya lewat sastra, tetapi juga lewat politik. Dalam kebudayaan Prancis ada slogan liberty, fraternity, equality atau di Amerika ada slogan by the people, of the people, for the people. Pidato-pidato politik besar dan pemikiran politik yang berkembang dalam proses pembentukkan meraih nasionnya (kemerdekaan) itulah yang menjadi nilai-nilai budaya. Mengapa di Amerika pidato-pidato George Washington dan Thomas Jefferson menjadi bacaan wajib? Apakah tulisan-tulisan Soekarno, seperti Indonesia Menggugat menjadi bacaan wajib di sekolah Indonesia? Tidak. Padahal pada awal gerakan kemerdekaan -tahun 1920-an, 1930-an, 1940-an, 1950-an hingga 1965- sastra dan pemikiran politik menjadi sesuatu yang sangat hidup di masyarakat. Melalui proses pertarungan ini penyebaran sastra, Indonesia melancarkan gerakan kebudayaan seperti melalui Lekra, gerakan nasinoal dan gerakan Islam waktu itu sungguh luar biasa. Jumlah cerpennya, syairnya, kegiatan kebudayaan sampai ke desa-desa secara luar biasa.18

Dalam hal berorganisasi sebenarnya Indonesia melampaui banyak negara di Asia. Pada waktu Sarekat Islam sampai puncaknya, sebagai organisasi modern -memiliki AD/ART-nya, cabang-cabang, buletin, pedebayan, dan traning-traning-nya- merupakan organisasi massa modern terbesar di dunia waktu itu. Di Eropa, Amerika dan Asia tidak ada organisasi sebesar Sarekat Islam, apalagi partai-partai yang menyusul setelahnya. Jadi, tidak benar orang Indonesia dianggap tidak suka berorganisasi, kecuali jaman Orde Baru yang memang dilarang berorganisasi. Nah, melalui organisasi itu sastra, pidato politik membentuk kehidupan kebudayaan bersama.19

Menurut Lane harus diingat bahwa sejarah Indonesia setelah kemerdekaan adalah 62 tahun (sampai 2007). Tetapi selama 62 tahun, kurang lebih 32 tahunnya berada di bawah kekuasaan Orde Baru. Itu artinya, lebih dari separuh usia kemerdekaan Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru. Di bawah Orde Baru itulah Indonesia banyak mengalami kemunduran. Jadi, kalau para sejarawan membahas sejarah Orde Baru, salah satu hal yang harus dikaji adalah soal perkembangan dan kemunduran -sampai sejauh mana berkembang dan mundur- usaha membangun nasion Indonesia. Wilayah masih sama, tapi Aceh hampir hilang, karena memperlakukan Aceh sebagai bangsa asing. Itu merupakan warisan dari Belanda yang diterima setelah kemerdekaan, karena semua kepulauan di sebelah Utara menerima dengan sukarela masuk Indonesia, tidak ada paksaan. Hampir tidak ada penyatuan suatu nasion di seluruh dunia yang terjadi tanpa satu etnis memaksa etnis lain. Di Inggris Raya, Great Britain, perang orang Inggris melawan Scotlandia dan orang Inggris menjajah Wales berkali-kali perang dan puluhan ribu orang mati. Demikian pula di Jerman dan Amerika. Hanya Indonesia yang bisa bersatu dengan sedikit sekali darah. Itu kesukarelaan. Jadi kalau prinsip kesukarelaan dilanggar, seperti yang terjadi di Aceh pada tahun 1980-an, belum tentu orang mau menerima lagi.20

Bagaimana dengan bahasa bersama? Apakah bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa yang dipakai oleh semua lapisan rakyat dan semua daerah untuk membicarakan masa depan Indonesia? Itu berkaitan dengan politik. Sebab, jika membicarakan masa depan dengan politik dilarang, lalu bagaimana bahasa bisa berkembang. Pergilah ke desa, sampai sejauh mana orang desa sekarang mampu membicarakan, menjelaskan pikiran mereka tentang masa depan Indonesia dalam bahasa Indonesia. Jika itu tidak berkembang, maka bahasanya pun terhambat. Di Indonesia menurut Lane hal itu masih menjadi persoalan besar. Memang, sebagian penyatuan kehidupan ekonomi Indonesia ada perubahan, penyatuannya semakin ada, tetapi masih sedikit. Sebagian kehidupan ekonomi Indonesia masih bersifat dual economy. Lebih dari itu, dual economy yang ada di jaman Hindia Belanda sekarang muncul lagi. Jaman Hindia Belanda kehidupan ekonomi di lapisan atas bahasanya adalah bahsa Belanda, sekarang mereka yang dilapisan atas mengirim anaknya ke sekolah berbahasa Inggris -international school. Sehingga di bidang kebudayaan pun ada bahaya, karena kehidupan ekonomi bersama -bukan hanya soal kaya dan miskin- semakin tidak terintegrasi, sehingga nasion pun semakin lemah karena itu.

Pertanyaannya sekarang, apa itu nilai-nilai budaya Indonesia. Pancasila itu menarik. Pancasila selama Orde Baru dikampanyekan besar-besaran. Pelajar harus lulus, setiap kali upacara diucapkan, tetapi setelah Soeharto jatuh hanya dalam waktu singkat Pancasila sudah hilang dari wacana public -bahkan sudah terjadi sebelum Soeharto jatuh. Padahal selama kurang lebih 30 tahun Pancasila digembar-gemborkan oleh Orde Baru tetapi sama sekali tidak mengakar. Demikian pula dengan kata pembangunan. Setelah Soeharto jatuh berapa banyak orang yang berbicara tentang pembangunan. Seperti halnya Pancasila, pembangunan hilang juga sebagai suatu nilai. Selama Orde Baru masyarakat tidak mengetahui sejarahnya, karena ditutup-tutupi- kecuali diwajibkan menghapal tanggal dan tempat peristiwa. Di sekolah menengah tidak ada pelajaran sastra, sehingga berjuta-juta lulusannya tidak pernah membaca satu novel serius. Demikian pula dalam kehidupan politik, sehingga bahasanya bisa menjelaskan segala hal tidak ada.21

Apakah sekarang ini ada watak psikologis bersama, suatu cara pandang dunia yang sama di Indonesia? Menurut Lane menjawab pertanyaan itu tidak cukup hanya melihat sejauh mana ya dan tidak, karena yang penting sekali adalah kekuatan masyarakat mana yang menggerakkan proses pembentukkan nasion dan kekuatan masyarakat mana yang menghambatnya. Agency-nya apa? Pelakunya siapa, kekuatannya siapa? Siapa yang menggerakkan? Semua itu diciptakan oleh gerakan itu sendiri: gerakan nasioanalisme dan anti-kolonialisme itu sendiri. Siapa penggerak tersebut? Di Indonesia khas, karena tidak ada kelas pengusaha. Penggeraknya adalah segelintir intelektual yang hebat dan rakyat (massa) itu sendiri. Jadi, agency-nya, kekuatan pelaku di dalam sejarah sampai kemerdekaan adalah intelektual-intelektual, aktivis-aktivis muda dengan massa.22

Namun demikian, setelah kemerdekaan muncul persoalan. Sebelum 1949 sudah terjadi pertarungan antara mereka yang menganggap bahwa dengan diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional berarti revolusi Indonesia sudah selesai. Sementara di pihak lainnya berpikir sebaliknya: revolusi Indonesia belum selesai. Mengapa dianggap belum selesai, karena kehidupan ekonominya belum bersatu dan masih dikuasai perusahaan-perusahaan Belanda. Tiga ratus tahun Belanda merampok Indonesia, mendirikan perkebunan, pertambangan, perkapalan, itu semua hasil perampokan selama kolonialisme. Hal yang tidak masuk akal adalah pemerintah Hatta menyetujui pengembalian hasil rampokan Belanda tersebut. Itu benar-benar tidak masuk akal. Bukan hanya itu, sejumlah uang yang senilai dengan biaya yang dikeluarkan Belanda untuk memerangi Indonesia juga dijanjikan akan dibayar kepada Belanda, meskipun sampai tahun 1956 dihentikan.

Seperti disebutkan Lane, setelah kemerdekaan ada pertarungan antara mereka yang menganggap revolusi sudah selesai dengan mereka yang menganggap belum selesai. Mereka yang menganggap selesai berpandangan stabil saja dan berorientasi pada pembangunan dengan cara menginintegrasikan ekonomi Indonesia dengan Barat. Sebagian intelektual kemudian bergabung dengan penguasaha-pengusaha dalam negeri yang selanjutnya menjadi pengusaha nasional. Lane membedakan dalam negeri dan nasional, karena dalam negeri itu dikuasai tokoh-tokoh yang tersebar di banyak kota, tetapi jaringan usahanya sendiri belum nasional dan baru mulai atau baru sedikit-sedikit saja berwawasan nasional. Pengusaha dalam negeri yang berusaha menjadi pengusaha besar nasional bekerjasama dengan kaum intelektual. Mereka menganggap revolusi sudah selesai, tetapi perusahaan-perusahaan hasil perampokkan kolonial masih di tangan kolonial, hutang di Belanda masih diakui. Terjadi usaha untuk menyelesaikan itu dimana tahun 1956-57 perusahaan kolonial diambilalih oleh rakyat dan langsung diduduki dan orang-orang Belanda diusir secara fisik dari perusahaan-perusahaan tersebut. Setelah itu baru parlemen menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Belanda.23

Dalam periodisasi sejarah Indonesia di banyak buku kita mengenal ada demokrasi parlementer, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin. Semua itu omong kosong, karena yang terjadi pada tahun 1948-49 adalah pertarungan. Tidak ada satu sistem yang berhasil diterapkan dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga semua orang bisa menilai keberhasilan dan kegagalannya. Sepanjang periode itu yang terjadi adalah pertarungan, karena tidak ada satu pun kekuasaan politik yang sempat menjalankan misi dan konsepsnya secara stabil dalam jangka panjang. Apalagi demokrasi terpimpin.24 Lane menilai demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin tidak sempat dijalankan sama sekali. Itu hanya mungkin dijalankan kalau ada pemerintah yang dikuasai Soekarno, PKI, PNI kiri dan Partindo. Padahal sampai 1965 pun PKI tidak masuk di kabinet secara berarti. Partindo tidak secara berarti, PNI kiri tidak secara berarti. Belum ada kekuatan kiri yang mampu memenangkan demokrasi terpimpin. Justru tahun 1965 (peristiwa G30S-ed) terjadi untuk mencegahnya.25

Nah, dalam proses pertarungan sampai 1965 pun harus dilihat siapa yang menggerakkan? Siapa yang meluaskan sastra ke masyarakat? Kekuatan sosial apa? Kekuatan sosial yang beroposisi dan berontak adalah di buruh dan tani. Intelektual dan mahasiswa bersolidaritas dengan buruh dan tani. Kalangan itulah yang menurut Lane terutama menerapkannya. Siapa yangg mau menuju kepada sebuah pasar nasional, dan setelah 1965, siapa yang memimpin proses itu mundur? Kekuatan sosial mana? Di Indonesia kekuatan sosial terdiri dari mereka yang bemodal -kapitalis dan penguasaha- dan masyarakat lainnya -buruh dan tani. Namun, pemodal dalam negeri itu ternyata -sejak awal abad XX sampai sekarang- tidak mampu untuk menggerakkan proses nation building. Sampai sekarang pun tidak mampu. Kekuatan sosial yang mampu menggerakkan perubahan sejak tahun 1930-an sampai 1960-an adalah gerakan rakyat miskin. Ketika itu dihancurkan, maka semua usaha nation bulting pun mengalami kemunduran


  1. Kesimpulan

Perjuangan melawan penjajahan kolonial Belanda telah berhasil menghantarkan bangsa Indonesia untuk mengembangkan model peradabannya sendiri. Ibarat rumah, mau dibentuk seperti apa Indonesia ini diserahkan kepada rakyat, yang manifestasinya adalah penguasa. Periode pertama kekuasaan negeri ini membangun gagasan revolusi yang mengacu pada ide NASAKOM (ide yang berupaya mencampur tiga ideologi besar Kapitalisme, Sosialisme dan Islam). Karena gagasan tersebut makin condong ke arah Kiri maka muncullah perlawanan dari kelompok yang disebut kontra-revolusi yang berhasil melengserkan rezim ‘revolusi’.

Namun kontra-revolusi 1965 membalikkan politik pembebasan nasional dan membuka diri terhadap penetrasi ekonomi dan budaya neokolonial. Kebudayaan nasional diredefinisi menjauh dari nilai-nilai revolusioner dan diarahkan pada nilai-nilai pra-tradisional yang feodal. Secara ideologis, rezim orde baru perlahan demi perlahan menampakkan wajah politik otoriternya sekaligus ekonomi kapitalistik. Sistem yang rusak itu diperburuk oleh tingkah laku penguasa yang korup, dipicu oleh gelombang krisis ekonomi yang menggugah kesadaran banyak orang untuk bangkit melawan dan menurunkan rezim. Berakhirlah periode Orde Baru.

Sayang, pasca kejatuhan Soeharto, Indonesia justru makin jatuh dengan menyerah pada IMF yang mendesakkan ekonomi neo-liberal meliputi penghapusan subsidi, privatisasi BUMN, liberalisasi keuangan, dll dalam 24 Letter of Intent (LoI). Meski bantuan IMF berakhir pada 2003, namun 24 kesepakatan harus terus dijalankan dengan pengendalian ketat oleh agen-agen neolib yang bertebaran. Kalau Bung Karno makin berkiblat pada Peking dan Moskow, kini SBY makin terang-terangan membebek pada neolib Amerika Serikat. Sejauh manakah rezim ini akan bertahan? Yang pasti intensitas mobilisasi aksi semakin tinggi, dibumbui dengan skandal Century, kriminalisasi KPK, dan beberapa kasus kecil. Apakah situasi politik mampu menggugah raksasa tidur rakyat untuk kembali menggugat?


  1. Metodologi Penulisan

Buku yang diterbitkan langsung oleh Reform Institute dengan tebal 339 halaman ini banyak membongkar dan menceritakan kondisi Indonesia pra dan pasca kejatuhan Suoharto melalui prosfektif sejarah dan kajian langsung melalui forum-forum diskusi dengan para aktifis yang pernah dijumpai oleh Max Lane sendiri bahkan menurut informasi dalam buku tersebut ia juga sering terlibat dalam beberapa aktifitas gerakan di Indonesia. Sehingga memang diakuinya dalam menulis buku ini keterlibatan emisonal dan subjektifitas penulis tidak dapat dihindari.

Diantara tokoh yang pernah disebut-disebut Max Lane dan sekaligus pernah menterjemahkan karangannya adalah Pramoedya Ananta Toer, W.S Rendra, Vedi P.Hadiz, Daniel Dhakidae, Faiza Mardzoeki serta kontak via aktivis dengan Joesoef Isak, Daniel Indrakusuma, Dita Sari, Agus Jobo Prijono, Hilmar Farid, Kelik Ismunanto, Zely Ariane, Nico Warouw, Webi Waraouw dan Hariman Sireger. Sepintas apa yang ditulis Max Lane juga tidak bisa dipandang sebelah mata karena demikian banyak referensi/leteratur dan kumparan pengalaman yang telah dilakukan sehingga "pisau analisis" yang dilakukan akan tajam dan siap dijadikan alat untuk melakukan gerakan sosial.

Tidaklah gampang memang dalam menganalisa secara detail tentang Indonesia karena demikian luas dan beragamnya potensi yang berada dalam negara Indonesia. Tapi setidaknya dalam persfektif sejarah dan pengalaman massa lalu bangsa Indonesia dibangun dalam pondasi yang sangat lemah sehingga hampir mimpi-mimpi tentang Indoesia belum ditemukan secara utuh, mau apa dan dikemanakan bangsa Indonesia ini. Pertarungan pemikrian tersebut terlihat dari berbagai polemik para tokoh-tokoh sejarah yang sering jatuh dan bangun, keluar dan masuk bui oleh bangsa sendiri.


  1. Kontribusi Untuk Ilmu Pengetahuan

Berbagai persfektif tentang Indonesia banyak dilatar belakangi oleh kondisi dan situasi dunia pada massa sejarah dan modern sekarang ini. Karena Indonesia adalah bagian dari gerakan bangsa-bangsa di dunia yang satu sama lain juga memiliki berbagai kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu sering dalam sejarahnya Indoesia telah menjadi bagian dari konflik dan kepentingan ideologi dunia lain seperti halnya kepentingan Barat dan Timur dalam perang dingin lalu. Tidak sedikit yang kemudian juga bagian dari antek-antek penjajah massa lalu atau bagian dari gerakan ideologi kapitalis atau sosialis bahkan fundamentalis dunia.

Maka dari itu sudah sepantasnya indonesia berkaca pada sejarah dan massa lalu sehingga dapat memperkirakan apa yang akan terjadi di massa yang akan datang. Intinya seperti kata Max Lane Indonesia sebagai bangsa yang kalah harus belajar dari kekalahan dan keluar dari kepentingan-kepentingan dunia lain atau global saat ini. Sudah saatnya bangsa Indonesia kembali menggali identitas diri dan memberdayakan identitas asli milik bangsa sendiri yang kemudian menjadi mimipi-mimpi sendiri akhirnya Indonesia memiliki frame tersendiri dalam membangun dan menata dunianya. Dengan potensi yang luar biasa dan tidak dimiliki oleh bangsa lain maka Indonesia akan menjadi bangsa yang besar bahkan akan menjadi salah satu bangsa "adi daya" yang juga tidak tertandingi sebagaimana negara maju lainnya.


  1. Tanggapan Atas Buku

Sebagai buku sejarah yang sebagiannya bersifat kronologis, buku ini dapat menjadi bahan bacaan yang menuntun kita pada apa yang terjadi dari zaman kolonial hingga pasca kolonial. Meskipun tetap perlu diuji kebenaran bagian per bagian. Buku ini juga menunjukkan bahwa bangsa Indonesia benar-benar belum selesai.

Namun sebagai buku analisis, ada hal yang mendasar yang perlu diperhatikan dari buku ini: pertama, Max Lane bukanlah analis akademis biasa, namun sebagaimana ia tulis ia merupakan pegawai Departemen Luar Negeri Australia. Apakah wajar jika rakyat Indonesia menginginkan adanya perpecahan atau pemisahan, termasuk Timor Timur? Meski dengan kedok menentukan nasib sendiri. Ia menangkal bahwa asing berada dibalik proses reformasi tentu juga diperdebatkan. Kedua, kiri yang dianggap sebagai sentral dari babak-babak pergerakan bangsa Indonesia pun terlalu berlebihan. Bahkan peran kaum sekuler (meski juga tidak dapat dibenarkan) melebihi peran Kiri dalam perjalanan bangsa ini. Sebagai bagian dari pertarungan ideologi (Kapitalisme-Sosialisme-Islam), pergerakan kaum Kiri memang tidak bisa dipungkiri. Namun menganggapnya sebagai tujuan dan sentral dari pergerakan bangsa tidak ada bedanya dengan keluar dari mulut serigala masuk ke mulut buaya.


  1. Kepustakaan

HOS. Cokroaminoto, 2003. Islam & Sosialisme. Jakarta:TrideDE.

Lane, Max, 2007. Bangsa yang Belum Selesai, Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto. Jakarta: Reform Institute.

Suseno, Franz Magnis, 2001. Pemikiran Karl Marx. Cetakan kelima. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Revrisound Baswir, dalam satu diskusi di halaman bawah Masjid Kampus UGM tahun 2009.

Radhar Panca Dhana. 2001. Manjadi Manusia Indonesia, Yogyakarta: LKiS.

Michael Hart. 1986. Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Jimly Asshiddiqie. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. Yogyakart: FH UII Press.


I n t e r n e t

Aboeprijadi Santoso. Indonesia Belum Selesai Membangun Bangsa Perlu Pertarungan Ideologi dalam http://www.mw.nl. Di akses pada 17 Februari 2010

Indonesia Yang Kuimpikan dalam Tempo 100 Tahun Kebangkitan Nasional dalam www.tempointeraktif.com di akses pada 17 Februari 2010

Max Lane. Nasionalisme Indonesia Belum Selesai dalam http://www.mediabersama.com di akses pada 17 Februari 2010.

1 Lihat Aboeprijadi Santoso Indonesia Belum Selesai Membangun Bangsa Perlu Pertarungan Ideologi dalam http://www.mw.nl. Di akses pada 17 Februari 2010

2 Max Lane. Bangsa Yang Belum Selesai. Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto. Jakarta: Reform Institute, 2007), hal xxvi

3 Ibid. hal 15

4 Revrisound Baswir, dalam satu diskusi di halaman bawah Masjid Kampus UGM tahun 2009.

5 Max Lane, Bangsa,..hal. xviii

6 Lihat Indonesia Yang Kuimpikan dalam Tempo 100 Tahun Kebangkitan Nasional dalam www.tempointeraktif.com di akses pada 17 Februari 2010

7 Lihat Radhar Panca Dhana. Manjadi Manusia Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2001)

8 Ibid. hal. xvii

9 Max Lane, Bangsa,..hal. 9.

10 Lihat juga Michael Hart. Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1986).

11 Lihat Max Lane. Nasionalisme Indonesia Belum Selesai dalam http://www.mediabersama.com di akses pada 17 Februari 2010

12 Max Lane, Bangsa,..hal.15.

13 Max Lane Nasionalisme Indonesia…

14 Max Lane Bangsa,..hal hal.37

15 Bandingkan dengan Kuntowijoyo dalam Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2006) khususnya pada Bab I dan Bab III.

16 Max Lane Nasionalisme Indonesia…

17 ibid

18 Ibid

19 Ibid

20 Ibid

21 Ibid

22 Ibid

23 Ibid

24 Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. Yogyakart: FH UII Press, 2005).

25 Lihat HOS. Cokroaminoto, Islam & Sosialisme. (Jakarta:TrideDE, 2003). Lihat juga Suseno, Franz Magnis, Pemikiran Karl Marx. Cetakan kelima. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2001).

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id