Sabtu, 09 Mei 2009

Benarkah Kita Mewarisi Psokologi Pecundang?

Di bawah ini akan saya sertakan tulisan Prof. Azra tentang Psikologi Pecundang di Situs pribadi Beliau tertanggal 18 Oktober 2007 dan pernah dimuat di harian Republika, sudah lama memang, namun setidaknya kita dapat memahami mengapa Prof Azra mengambil tema itu, ya karena keadaan kita memang demikian. Jangan pernah kita tidak mau menerima diri sendiri apa adanya, tidak juga melihat dicermin hanya dengan membesar kepala karena ketampanan atau kecantikan, tapi kita lupa bahwa jerawat kecil sering kita lupakan dan terkadang kesalahan, kekeliruan kita tertutupi karenanya.
Kritik artinya membaca apa yang belum sempat kita baca, dan itu sering terjadi tanpa kita sadari, akhirnya orang yang bisa terbang tinggi dapat melihat kebawah, dan sesekali memberitahukan kita tentang semangat kenabian. Pembacaan akan berbeda jika ia turut di bawah maka sesekali jangan takut terbang menikmati indahnya karunia Tuhan.
Apa yang disampaikan Prof Azra memang tepat, namun tidak seluruhnya benar. Nah berikut ini kita akan mencoba mengulasnya per paragraf. Di bawah ini adalah tulisan Prof Azra yang akan kita lihat dalam sudut pandang kita. Mari..
“Indonesia negara besar. Saya tidak ragu tentang hal ini. Dari luas wilayah saja, bentangan Indonesia dari Sabang sampai Merauke kurang lebih sama dengan jarak London ke Istambul. Belum lagi tentang kekayaan alamnya yang hampir mencakup apa saja; keragaman tradisi sosial-budayanya yang memesona; dan tentu saja anak negerinya yang juga beragam-ragam tetapi umumnya hidup dalam harmoni dan rukun”
(hal ini tepat, namun ada yang meski kita kritisi, ini dari persfektif. Begini. Indonesia negara besar namun jiwanya kerdil, karena luas wilayahnya yang sedemikian luas makanya negara lain minta bagian, buktinya sipadan dan ligitan, sebentar lagi mungkin indonesia sendiri akan dibelah oleh negara tetangga misalnya Malaysia dan Singapura, jangan tidak percaya dulu, kalau ingin bukti lihat saja bagaimana Palestina di luluh lantakkan Israel. Sekarang indonesia, tinggal bagaimana masuknya saja, ini bisa terjadi melalui jalur kepentingan ekonomi.
Kekayaan alam indonesia memang luar biasa makanya dijuliki zamrud katulistiwa, namun sayang 32 tahun era pemerintahan Orde baru semua diperuntukkan untuk kepentingan Pusat di Jakarta. Sekarang ada desentralisasi, terkadang ini hanya bualan Jakarta saja karna tangan kasihnya tak pernah sampai ke daerah-daerah. Anda ingin bukti, lihat saja kesenjangan pembangunan antara daerah jawa luar jawa, indonesia bagian barat, tengah dan indonesia bagian timur, kentara ketidakadilan tergambar, belum lagi pemerataan ekonomi, ketidakadilan politik, eksploitasi sumber daya alam untuk menguraikan hal ini kita butuh rimbuan lembar kertas. Demikian juga dengan keragaman tradisi, keseragaman sebenarnya tidak hendak diseragamkan karena ia mengundang konflik, namun jika hal itu telah diklaim maka apa yang akan diperoleh masyarakat sebagai kekayaan khazanah moyangnya. Ambil contoh paten, karena negara tidak mneydiakan saluran yang relatif lebih cepat dijangkau masyarakat karenanya paten sulit dilakukan masyarakat. Anak negeri beragam namun ia dihitung saat pemilu saja sebagai daftar calon pemilih, setelahnya??? Anda mau bukti, tanyakan pada saudara kita yang tinggal diperbatasan negara bagaimana mereka diperlakukan oleh negara mereka sendiri, bagaimana negara tidak menjamin suku asli pedalaman dalam tiap negeri, ini bukan dongeng, namun kenyataan kita. Berikutnya….)
Tak kurang pentingnya, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Indonesia juga terkenal sebagai negara Muslim terbesar di muka bumi ini. Karena itu, tidak heran, banyak harapan dari kalangan masyarakat dunia, agar Indonesia dapat memainkan peran lebih besar dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi Dunia Islam.
(Kenyataan sebagai negara demokratis telah membuai kita, saya buktikan dengan logika sederhana bahwa anda bertiga ke Jakarta melalui Bali, tidak akan lebih aman dibandingkan saya sendiri keJakarta lewat Yogyakarta. Ini memang mengandung kontradiksi, namun ini persfektif ia lahir dari konstruk sosial. Konsep negara demokratis juga belum sepenuhnya dapat diterima oleh mayoritas masyarakat muslim indonesia, karena konsep negara demokratis tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, konsep negara demokratis juga telah terbukti di indonesia dengan korupsi berjamaah, semua dilakukan dengan berjamaah meski ada hal-hal yang dilarang misalnya dalam penyelenggaraan haji, belum lagi adu jotos anggota dewan di gedung DPR RI sebagai perwujudan negara demokratis. Pers juga turut menyumbang dan tidak sepenuhnya terlepas dari kepentingan pasar, artinya para pemilik modal.
Negara muslim terbesar secara kuantitas Iya, dengan tingkat pemahaman atas simbol-simbol keagamaan yang sangat dominan. Belum ada satu pakar pun yang dapat menjelaskan mengapa kuantitas sebagai negara muslim terbesar berbanding lurus dengan korupsi yang meningkat, mengapa banyak gejala fundamentalisme agama terjadi. Mengapa main kafir-mengkafirkan berlaku dan sebagainya. Harapan tersebut tidak didukung oleh dukungan nyata bagaimana isu-isu MDGs diterapkan, bagaiman HAM dan Demokrasi dilakukan dengan baik dan benar dengan spirit dan konteks keindonesiaan dalam bingkai kearifan keagamaan masyarakat indonesia selaku seorang muslim)
Indonesia memang pernah memiliki peran itu. Di masa Presiden Soekarno, Indonesia merupakan salah satu pelopor Gerakan Nonblok, yang terkonsolidasi lewat KTT Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Indonesia di masa Orde Baru juga menjadi ''big brother'' di kawasan Asia Tenggara dengan memainkan peran utama dalam ASEAN.
(Kini, indonesia layaknya singa ompong yang tidak memiliki taring memiliki suara di Dewan Keamanan PBB namun greget-nya kurang diperhitungkan, suara parau perdamaian yang kian tak dihiraukan. Gerakan-gerakan seperti Gerakan Non Blok saat ini pun telah kehilangan relevansinya, KTT Asia Afrika tidak lebih dari ajang silaturrahmi dan fose para pembesar belaka. Dan pada masa Orde Baru itulah kekayaan alam indonesia dikeruk oleh “Big Father” sendiri untuk kepentingan Kennedy-nya Amerika.
Coreng kelam sejarah anak bangsa tak kunjung menemukan kebenarannya, mereka tidak pernah tau menau latar belakang penyebabnya, dibantai dalam pristiwa pembersihan atas nama gerakan partai terlarang PKI, belum lagi klaim kebenaran atas nama HAM yang tidak ditegakkan dan diusut tuntas, sebut misalnya pristiwa Malari, Tanjung Priuk, Aceh hingga lepasnya Timor-Timur dari NKRI dan sederet peristiwa kelam sejarah anak bangsa yang lain yang kita tak dapat lelap tertidur memikirkan yang namany Indonesia, dimana dalam sudut manapu kita lihat akan tampak seperti badut tua dengan kaca mata tebal yang telah mulai rapuh karena digrogoti virus anak bangsanya sendiri)
Kini, di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia berusaha membangkitkan peran dan posisinya yang pernah terhormat di kancah internasional. Pemerintahan SBY-MJK, bukan hanya berusaha mencarikan jalan terbaik bagi perdamaian di Palestina dan Irak; membantu pembebasan beberapa sandera Korea Selatan yang ditahan Taliban di Afghanistan, tapi juga mengambil inisiatif dalam kampanye internasional menghadapi perubahan iklim dengan gejala pemanasan global yang kelihatannya terus meningkat.
(Dan dalam pemerintahan ini pula kita tidak secara optimal mengambil peran itu, lagi kita gagal atas nama kepentingan ekonomi, kita tidak berani dengan tegas menyatakan menolak. Kita berteriak di podium istana kenegaraan, berteriak dijalanan, melakukan aksi anarkis yang tak pernah dihiraukan anak bangsa yang lain. Sebenarnya upaya kecil namun cukup berarti dapat kita lakukan, katakanlah boikot produk yang berbau Israel dengan beragam posisinya atas kepentingan ekonomi korporatokrasi dunia yang ada di indonesia, dengan demikian pengaruh hal tersebut dapat melumpuhkan kepentingan ekonominya secara mendasar, sekarang coba kita hitung berapa produk israel dengan jaringan korporatokrasinya yang kita nikmati di indonesia? Belum lagi hubungan eraqt kerja sama kita dengan negara-negara pendukung serangan zionis itu. Apakah ini tidak hanya lipstik politik menjelang pemilu saja?
Sekarang kita bicara tentang pemanasan global, realistiskah? Sedangkan penebangan pohon, pembalakan liar hingga illegal loging masih terjadi di negara kita. Kita ingin bukti, silahkan anda periksa dampak kerusakan hutan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pemegang HPH. Misalnya PT. Peener di Bima Propinsi NTB atau daerah lain yang kita anggap sebagai hutan paru-paru dunia di negara kita, belum lagi penyebab gejala-gejala yang mengancam kehidupan dibumi secara global yang diantaranya yakni bumi makin panas karena efek rumah kaca, yaitu makin tebalnya lapisan karbondioksida dan gas buangan di atmosfir, lapisan ozon di atmosfir dirusak oleh CFC atau Freon, naiknya permukaan air laut, air tawar bersih makin sukar diperoleh, luas hutan semakin berkurang, musnahnya berbagai spesies organisme secara beruntun hingga pencemaran air laut oleh bahan berbahaya beracun dan gejala-gejala lainnya.
System social dan teknologi modern yang diciptakan manusia saat ini dalam aplikasinya disamping mendatangkan manfaat yang besar, ternyata mendatangkan kerugian dan kerusakan yang dalam jangka panjang, justru kerugian yang ditimbulkan tidak sebanding dengan manfaat atau keuntungan yang didapat. Menyadari akan hal ini, kini kita kembali harus belajar pada masyarakat lokal tradisional tentang berbagai kearifannya memperlakukan lingkungan alam dan sosialnya sehingga yang dengannya akan tercipta keharmonisan dalam kehidupan.
Setidaknya gambaran dibawah ini memberikan bukti akan hal itu yakni :
Hutan hujan tropika ada yang memerlukan proses evolusi hingga enam puluh juta tahun untuk mencapai bentuknya seperti masa kini. Namun, karena ulah manusia dengan tingkat kesadarannya (yang keliru) dapat memusnahkan hutan hujan tropika itu dalam tempo masa hidup kita.
Peningkatan lapisan gas CO2 di atmosfera dan penipisan lapisan Ozon juga akan menyebabkan terjadinya Pemanasan Bumi di abad ke 21 yang kini sudah dijelang.
Perusakan terumbu karang di perairan laut Nusantara hanya untuk menangkap ikan, baik oleh penduduk setempat maupun nelayan asing juga sudah mencapai proporsi yang merisaukan. Sedangkan upaya pengendalian dihadapkan pada berbagai bentuk keterbatasan.
Pencemaran udara dikota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Medan dan kota-kota besar lainnya di Indonesia sudah mulai mengancam kesehatan warga kota.
Krisis air pun sudah mulai menjadi factor pembatas untuk berbagai upaya pembangunan. (Soeriaatmadja, Suraya : Ecology Of Jawa and Bali, 1997 : 6-7)

Inisiatif-inisiatif seperti itu memang belum membuahkan hasil yang nyata. Tetapi setidaknya, inisiatif-inisiatif itu merupakan langkah-langkah signifikan bagi Indonesia yang sejak masa pasca-Soeharto sering disebut sementara pengamat sebagai the sleeping giant of South East Asia. Di tengah berbagai inisiatif dan terobosan diplomasi internasional itu, tidak terlihat apresiasi yang cukup memadai dari publik dalam negeri. Sebaliknya, suasana hati masyarakat Indonesia tetap merasakan bahwa Indonesia masih terpuruk baik secara internal dan eksternal. Mood kebanyakan anak bangsa adalah bahwa negara-bangsa ini tetap belum mampu meraih kembali harkat dan martabatnya yang pernah terhormat di kancah internasional.
(Kini masyarakat seakan telah lelah dan rapuh untuk kembali menyuarakan kekecewaannya pada para pemimpin mereka, bagaimana tidak, jika sedikit saja kita merenungkan betapa dalam antrian panjang pemilu mereka berpanas-panas, merelakan untuk tidak berjualan, berlayar, bertani pada hari itu dengan harapan dengan terlibat secara langsung dalam proses pemilu mereka mengharapkan perubahan hidup kearah yang lebih baik, tentang bagaimana negara bisa menjadi pengayom mereka disaat mereka mengalami himpitan ekonomi dan harga-harga kebutuhan pokok yang makin melambung, tentang harapan dapat melindungi mereka disaat mereka tertanggkap kepolisian pelautan negara lain ditengah aktivitas mereka mencari nafkah, tentang harapan agar dalam menjadi TKI mereka terlindungi dan hak-hak sebagai warga negara dipenuhi.
Masyarakat mungkin kecewa, atas apa yang mereka rasakan dan persaksikan, dimana para pemimpin mereka tengah sibuk dan asik memperebutkan kursi kepresidenan, sedang dalam satu hari mereka harus membanting tulang demi sesuap nasi. Tidakkah selaku orang beragama kita menyadari bahwa Anjing kehausan merupakan tugas pemerintah untuk memberi ia minum? Bukankah keadaan ini menuntut pertanggungjawaban pemimpin? Masyarakat sudah tida mood memikirkan nasib satu dengan yang lain, perlahan keadaan ini akan menimbulkan kesadaran bahwa selama ini mereka merupakan kelas yang digelindingkan kesana kemari, semoga rakyat sadar bahwa mereka membutuhkan perubahan, yang tidak dapat diharapkan dari mereka yang ada di Jakarta, mungkin karena pengaruh polusi dan keadaan hidup mewah yang membuat orang-orang di Jakarta tidak lagi merasakan pahitnya alam desa dimana mereka dulu pernah tumbuh menjadi manusia)
Alasan pokok bagi mood ini secara internal berkaitan terutama dengan kondisi sosial-ekonomi yang kelihatan belum bangkit juga, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang masih tertinggal dibandingkan banyak negara tetangga. Juga terkait dengan situasi sosial yang belum menemukan equilibriumnya. Berita yang selalu kita baca di koran dan saksikan di TV masih didominasi berita tentang korupsi dan berbagai bentuk pelanggaran hukum lainnya; dan demo-demo pelbagai kelompok masyarakat yang tidak jarang berujung dengan kekisruhan, kekacauan, dan anarki.
Lalu pada tingkat internasional, mood tadi terkait dengan kenyataan-kenyataan pahit yang dihadapi TKI di luar negeri, sejak dari Timur Tengah (khususnya Arab Saudi), Asia Tenggara (terutama Malaysia) sampai ke Asia Timur. Pemerintah Indonesia tetap belum mampu melakukan tekanan-tekanan kepada negara-negara penerima TKI agar pemerintah-pemerintah negara bersangkutan dapat menekan masyarakat mereka untuk memperlakukan para pekerja migran Indonesia secara lebih manusiawi dan terlindungi hukum.
Semua inilah yang membuat masyarakat Indonesia merasa terus terpuruk dan tidak berdaya apa-apa. Kita seolah-olah tidak berani berdiri dengan kepala tegak dan mata yang menatap tajam. Sebaliknya, kita selalu menunduk menatap tanah sembari menyalahkan semuanya sejak dari pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, sampai kepada organisasi keagamaan. Kita lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaga untuk berprasangka buruk atau mengecam ke sana-sini. Semuanya seolah-olah serba gelap; seolah tidak ada ujung.
Mood seperti inilah yang saya sebut sebagai ''psikologi pecundang'' (psychology of the losers), psikologi orang-orang yang kalah; yang bahkan kalah sebelum bertarung. Dalam psikologi seperti ini, kita selalu melihat kekurangan dan masalah sendiri; sementara melihat pihak luar, negara lain sebagai serbahebat. Dengan begitu, kita merasa tidak berdaya apa-apa kecuali terus mengeluh, komplain, dan bahkan melakukan tindakan-tindakan merusak, yang melukai diri sendiri (self-affliction).
Prof Azra mungkin sedikit melupakan bahwa kemiskinan, ketidakberdayaan terkadang diakibatkan olek keadaan dimiskinkan, dibuat tidak berdaya oleh suatu sistem struktural yang berlaku di masyarakat. Kita tentu ingat dengan Paulo Preire (seorang tokoh pendidikan Brazil) yang mengungkap hal tersebut, bahwa masyarakat membutuhkan penyadaran dari keadaan yang membelenggu mereka, hingga taraf kesadaran itu dapat memanusiakan mereka dan menyadari apa yang terjadi. Namun terkadang keadaan itu juga butuh stimulus dan respon, daya gerak, daya juang daya pegas, justru jika hal itu dapat terjadi, maka masyarakat tidak akan menoleh kebawah lagi, mempersalahkan orang lain, mempersalahkan negara dan negara lain dan mereka akan dapat bangkit kembali, dapat meraih kembali martabat dan harkatnya, maka itu pertama-tama haruslah dengan tidak melekatkan ''psikologi pecundang kepada mereka''.
Dan, pada saat yang sama menggantinya dengan ''psikologi pemenang'' (psychology of the winners). Dengan psikologi pemenang, kita dapat menumbuhkan kembali rasa percaya diri dan self-respect yang hilang selama ini. Dan seterusnya diikuti dengan kerja keras, disiplin, saling percaya, dan kerja sama mengatasi berbagai masalah secara bertahap
(karena setidaknya dibutuhkan kondisi-kondisi dimana mereka dipersiapkan untuk itu, misalnya pertama mereka harus diberikan landasan berpijak yang kuat dan kokoh oleh para tokoh yang dianggap dapat melakukan itu, kedua bagi mereka yang menyadari keadaan itu, segeralah berbenah diri, mendudukkan diri pada posisi dan bidangnya masing-masing dan terakhir dengan tetap berharap bahwa keadaan perubahan itu akan datang, disini kita akan kembali berharap pada mereka yang terlahir pasca 80an, untuk tidak berharap pada mereka yang trauma akan sejarah perjuangan bangsanya dan bagi mereka yang tidak dapat lepas dari keterasingan bangsanya dan yang bagi mereka yang tidak dapat menjelaskan siapa diri, maswyarakat dan bangsanya secara adekuat, saya rasa kita layak berharap pada generasi ini.
Akhirnya sampai disini, kita kembali harus berdoa pada Tuhan yang maha kuasa.. agar rakyat indonesia mulai saat ini tidak lagi memiliki anggapan bahwa mereka mewarisi psikologi pecundang, namun mereka akan tetap menyadari bahwa mereka adalah umat pilihan dengan psikologi pemenang sebagaimana yang diutarakan Prof Azra).
Dan untuk Prof Azra.. terima kasih telah meletakkan dasar-dasar kesadaran untuk menjadi bangsa dan rakyat yang besar. Semoga bermanfaat.


(Catatan: Tulisan ini saya persembahkan untuk Saudara saya Haerudin (Odenk) dan Deni Arieffiyanto (Deni), semoga tidak layu oleh bergulirnya waktu dan derasnya ombak kehidupan dalam perjuangan hidup menemukan “jalan lurus” bagi masyarakat)

Pra-Ya: Menggugat Negara

Bagaimana sebenarnya gambaran dan persfektif masyarakat Pra-Ya tentang Indonesia dalam benak mereka, pemikiran dan kepala rakyat di Kabupaten Lombok Tengah, yang merupakan bagian dari satu kesatuan pulau Lombok dengan dibingkai oleh Propinsi yang bernama Nusa Tenggara Barat? Praya merupakan kota kecil yang dijadikan ibu kota kabupaten di Pulau Lombok dengan bentang laut dengan ratusan pulau di timur itu? Serupakah ia dengan Indonesia dalam benak, bayangan pemikiran dan kepala para penentu kebijakan di Jakarta? Atau katakanlah sama kah ia dengan apa yang dipersepsi oleh masyarakat Jawa kebanyakan?
Sesungguhnya, sejarah masyarakat Pra-Ya adalah sejarah ke-timur-an. Sejumlah besar anak negeri itu tidak bertemu muka dengan saudara mereka di selatan, utara bahkan di Barat. Namun, mereka -setidaknya hingga saat ini- diikat oleh imajinasi yang sama tentang Indonesia, tentang kesebangsaan, tentang nasionalisme meski cuma dalam satu komunitas yang terbayang, seperti disebut indonesianis, Benedict Anderson. Atau oleh ikatan keagamaan dalam bingkai ukhuwah islamiyah-nya Muhammad Rasulullah

Pra-Ya Selalu Ada Syaratnya
Benak, bayangan, pemikiran dan majinasi itu merupakan konstruksi sosial. Semoga tidak keliru, konstruksi ini buah persinggungan dengan dan secara hidup dibuat lebat oleh kenyataan sosial, realitas sosial. Karena sebelum Ya selalu ada Syaratnya.
Praya yang dihuni oleh mayoritas suku sasak memiliki profile-nya sendiri yang tidak dimiliki oleh bagian yang lain, negeri bahkan negara yang lain. Ia unik dan realistik. Ia terletak di tengah kota sehingga dinamakan ibu kota. Karena di tengah ia diapit oleh yang pinggir, pinggiran yang selalu bergejolak, rawan dan terpencil dari perubahan, pembangunan dan terpencil dari pemberdayaan, karenanya potret kemiskinan, pengangguran, kerawanan sosial berbanding lurus dengan biaya sosial. Namun apa hendak dikata dalam teori dan aplikasi pengamnilan kebijakan dia dicuek-in, ditinggalkan dan tidak penting padahal dalam meramu kebijakan, kondisi-kondisi struktural ini kunci dan penting menurut pendekatan institution economics, tetapi kerap diabaikan ilmu ekonomi positivistik.
Ada yang tidak nyambung terhadap keadaan ini sehingga sebelum Ya selalu ada syarat, lalu mengapa ia terjadi? Yang menyebabkan masyarakat Pra-Ya selalu makin terisolir, terjepit dan bayi-bayi mereka merasakan busung lapar di tengah areal pertanian yang demikian luasnya dan areal ini pernah menjadi ladang luas untuk swasembada beras negara yang bernama Indonesia? Di satu sisi, inilah konsekuensi desentralisasi neoliberal, negara yang tangan kasihnya dibutuhkan malah tak kunjung datang. Satu contoh, tidak hadirnya politik fiskal yang lebih aktif dan efektif dalam memajukan infrastruktur dan kapasitas kawasan miskin terbelakang didaerah pinggiran Pra-Ya. Contoh lain yang tragis, kegiatan pendidikan dan pemajuan bahasa dan kearifan budaya lokal yang makin terpinggirkan dan tergilas roda pesawat terbang, kearifan lokal masyarakat sasak justru digali untuk dijadikan senjata menghancurkan mereka dari dalam justru oleh masyarakat Indonesia yang lain, yang bermodal besar dan memiliki akses pasar..
Di sisi lain, dalam ruang-ruang ekonomi dan potensi kearifan budaya lokal malah disempitkan. Tangan negara yang tidak dikehendaki hadir di mana-mana dalam berbagai bentuk dan rupa. Gerakan pembangunan tinggal landas hingga pangsa pariwisata Timur Tengah yang sama saja! Kini jadi terasa geli pada saat Zeitgeist yang dominan di Jakarta berikut di selusin Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) justru adalah keutamaan liberalisasi perdagangan.
Ketidaknyambungan juga tecermin dalam kebijakan-kebijakan ekonomi-sosial lainnya. BBM dan BLT adalah yang mutakhir. Pencabutan subsidi BBM meningkatkan kemiskinan, sekurangnya dalam jangka pendek. Bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100.000 per bulan dijadikan tali agar satu keluarga miskin tetap bisa diikat pada tingkat kemiskinannya seperti sebelum subsidi dicabut. Alih-alih menjadi pelipur lara bagi keluar- ga miskin, BLT mungkin tak sampai bagi masyarakat Pra-Ya. Ironisnya, Pemerintah hanya tersenyum menyaksikan mereka berebut recehan 100 ribu dengan mempertahankan hidup dan keselamatan kantor desa dan aparatnya. Sungguh benar kenyataan terjadi bagai lalat mengerubungi daging yang telah membusuk!

Bias Pra-Ya
Ada dua catatan layak dipertimbangkan. Pertama, dasar ”ilmiah” pencabutan subsidi BBM dan terkait dengan kemiskinan bersandar pada model ekonomi keseimbangan umum (computable general equilibrium). Dalam model buatan ekonom Pusat (Jakarta) itu, realitas masyarakat diabaikan. Kenyataan keterpencilan, keterbelakangan diperlakukan dengan kikir. Secara kategoris hanya ada Jawa dan luar Jawa. Praya, Pujut, Bonder, Mantang, Puyung ditempatkan sejajar dengan Mataram. Namun tidak itu saja, petani, nelayan, pedagang disamaratakan dengan pegawai negeri sipil.
Kedua, subsidi bantuan langsung seperti BLT -dasar teoretisnya sendiri sangat-sangat bermasalah, dikritik ekonom seperti Kwik Kian Gie, Tibor Scitovsky (1941) dan Amartya Sen (1993), dikritik Politisi sendiri seperti Gus Dur, Megawati, Amin Rais dan lain-lain -disodorkan dengan harapan mampu mengompensasi penurunan kesejahteraan karena kenaikan harga secara umum. Kini harga beras bergerak naik di Pra-Ya dan masyarakat selalu mengajukan syarat kenaikan, bebaskan lahan pertanian, kembalikan era swasembada, makmurkan nasip petani, nelayan dan buruh. Dan pemerintah hanay bisa tersenyum mencibir! Kenaikan biaya transportasi tak kurang dramatis. Ini makin mengunci mobilitas warga yang sudah terpencil makin terpencil, menggenapi keterpencilan dan kian meningkatkan kemiskinan. Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile, penulis Daerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan (2008), menghardik kebijakan-kebijakan macam ini sebagai bias kontinen. Juga bias Pra-Ya-nya masyarakat sasak.
Ada manfaatnya juga mengingatkan kembali, bayangan tentang Indonesia yang hanya sebagai konstruksi sosial masyarakat. Toh konstruksi sosial itu terus berubah-ubah. Pada suatu pagi di Desa Ketare sekelompok petani sedang bertani menanami areal sawah mereka, namun mereka di usir oleh petugas yang tengah mempersiapkan mega proyek pembangunan bandara internasional lombok baru. Katanya distribusi itu mengalir ke bawah. Namun adakah orang yang akan menjamin itu? Bodoh kita memiliki anggapan seperti itu. Karna dalam agama pun tetap di ajarkan bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Lalu akankah Masyarakat Pra-Ya mengibarkan bendera pembebasan dirinya atas nama kesejahteraan! Atas nama keadilan! Atas nama kesetaraan! Yang akan dikibarkan di atas tanah kita oleh tangan-tangan yang peduli keadilan dan kesejahteraan.
Untuk Jakarta yang terus menerus dan pura-pura lupa dan pelupa isi pesan ini tak main-main: persatuan Indonesia itu ringkih. Dan ia mudah lapuk! Karenanya Pra-ya perlu dirawat dengan baik, diperhatikan dengan seksama. Beri dia keadilan dan kesejahteraan, atau Pra-Ya atas nama keadilan dan kesejahteraan itu masyarakat akan mengajarkannya! Karena Pra-Ya berharap Jakarta-Jawa-Mataram-Pra-Ya dirawat sebaik saudara-saudara kami merawat ikatan suci dengan Ilahi.

(Catatan: Tulisan ini saya persembahkan untuk Saudara saya Lalu Sultan Alifin, semoga tidak layu oleh bergulirnya waktu dan derasnya ombak kehidupan dalam perjuangan hidup menemukan “jalan lurus” bagi masyarakat)

Bagaimana Ber-Islam dan Menjadi Orang Sasak Yang Benar

Terkait dengan tema yang diangkat dalam judul tulisan ini, maka akan bersama-sama kita kaji dalam persfektif pemahaman terhadap ajaran keagamaan dan pemahaman atas identifikasi diri selaku komunitas yang memiliki kearifan tersendiri dalam hal ini yang terkait dengan kearifan sebagai bagian suku sasak.

Pemahaman Keagamaan Merupakan Aktualisasi Ajaran Keagamaan Yang Kurang Disadari
Jawaban klise terhadap pertanyaan ini sering kita dengar: ber-Islam dengan benar adalah dengan mengikuti Al Qur’an dan Al’ Hadist, yakni menjalankan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-laranganNya, dengan menggunakan sikap, perilaku, ucapan dan tindakan Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w sebagai contohnya. Berdasarkan pemahaman seperti itulah maka di dalam tradisi ke-Islam-an muncul ahli-ahli fikih yang dengan menggunakan ilmunya merumuskan segala sesuatu yang dinamakan Hukum Islam. Maka barang siapa yang menjalankan petunjuk-petunjuk yang ditetapkan oleh Hukum Islam itu dijamin akan hidup selamat di dunia dan di akhirat masuk Sorga
Orang memahami dan meyakini bahwa menjalankan perintah Tuhan dan meninggalkan larangannya itu merupakan sesuatu yang dapat dikerjakan dengan cara memahami dan mengamalkan Hukum Islam dan sumber-sumber Hukum Islam. Tidak pernah terbersit bahwa sesungguhnya antara perintah dan larangan Tuhan dengan perilaku pemujaNya, ada “pemahaman”. “Pemahaman” manusia, entah “pemahaman” dirinya sendiri ataupun “pemahaman” ahli yang diikuti, adalah hal yang memisahkan sekaligus menghubungkan manusia dengan apa yang diyakini sebagai perintah dan larangan Tuhan.
Karena itu, sesungguhnya orang yang mengatakan telah menjalankan perintah Tuhan dan meninggalkan larangannya telah berdusta tanpa menyadarinya. Sebab sejauh-jauh seseorang berkehendak menjalankan perintah dan larangan Tuhan, yang dapat dilakukan hanyalah menjalankan “pemahaman” dia (atau ahli yang diikuti) tentang perintah dan larangan Tuhan dan bukan perintah dan larangan itu sendiri. Perintah dan larangan itu tidak dapat mengejawantah dalam perilaku tanpa melalui “pemahaman” terlebih dulu. “Pemahaman” atas perintah dan larangan itu tidak sama dengan perintah dan larangan itu sendiri.
“Pemahaman” adalah proses dan karya manusia yang secara alami senantiasa mengadung cacat dan tidak sempurna. Karena itu seyogyanya orang beriman waspada untuk tidak terjebak ke dalam keadaan di mana dia mengagungkan “pemahamannya sendiri” dan mengaku-aku bahwa “pemahaman” itu merupakan perintah dan larangan Tuhan. Mengikuti “pemahaman” orang lain, biarpun orang itu mengantongi segerobak legitimasi sebagai ahli hukum agama, justru lebih jauh lagi memisahkan pingikut itu dari “perintah Tuhan” sebab yang dia ikuti adalah “pemahaman” akan “pemahaman orang lain”.
Apakah saya menganjurkan untuk meninggalkan “pemahaman” dalam menjalani hidup sebagai pengiman Islam? Tentu saja tidak. Selain sebagai “pemisah” antara perintah Tuhan dan contoh-contoh Rasul dengan perilaku Muslim, “pemahaman” juga merupakan “penghubung” yang memungkinkan Muslim mendekatkan perilakunya kepada perintah Tuhan dan perilaku Rasul.
Yang penting di sini adalah bahwa Muslim tidak membutakan diri dengan menuruti hawa-nafsu ingin menjadi hamba Tuhan yang paling soleh, yang paling baik amal dan ibadahnya, dan demi mengejar kehendak nafsunya itu menjadikan “pemahamannya sendiri” sebagai perintah Tuhan, sebab yang demikian tergolong mengadakan Tuhan lain di sisiNya. Menyadari bahwa “pemahaman” tidak sama dengan “subyek yang dipahami” dan merupakan karya manusia yang haruslah memiliki cacat, akan membantu Muslim ber-Islam dengan kerendahan hati yang memungkinkan mengembangkan “pemahaman” Islam tanpa rasa benar sendiri.
Segera sadar dan berhati-hatilah jika selama ini Anda mengamalkan “Islam yang benar” ataupun “Islam yang sesungguhnya” ataupun “Islam menurut Al Qur’an dan Al Hadist”, karena sesungguhnya Anda telah tanpa sadar mengamalkan pemberhalaan terhadap “pemahaman” yang Anda ikuti, entah itu “pemahaman” hasil perasan keringat kening sendiri maupun orang lain atau tradisi.
Bila kita mengkaji catatan-catatan tentang sifat-sifat dan perilaku para sahabat Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w, maka kita akan mendapati bahwa masing-masing sahabat tersebut menghayati dan mempraktekkan Islam menurut “pemahaman” sendiri. Memang mereka memahami dengan melalui dialog dan diskusi serta mengamati perilaku Kanjeng Nabi, tetapi ketika mereka berbuat, perbuatan itu adalah perbuatan mereka sendiri, buah dari “pemahaman” mereka.
Maka kita dapati tokoh semacam Abu Dzar, misalnya, yang ber-Islam dengan sangat menjauhi harta dunia, ada pula Usman yang ber-Islam dengan piawai mengelolanya. Contoh yang lain, jika kita amati Islam yang dikerjakan oleh para pengikut Ali, kita dapati perbedaan-perbedaan dengan Islam yang diamalkan para pengikut sahabat yang lain. Artinya adalah bahwa sejak awal Islam memang memiliki ekspresi yang beragam, tidak sama, bukan keseragaman.
Sejak awal ekspresi Islam adalah beraneka karena keniscayaan adanya “pemahaman” itu. Para sahabat tidak kehilanganan kepribadian saat mereka memeluk Islam dengan iman. Justru kepribadian mereka berkembang dan terpupuk menjadi semakin tumbuh ke arah kebenaran yang bisa didekati semua insan melalui “pemahaman” dari segala arah.
Meninggalkan “pemahaman” akan menjadikan penghayatan Islam mekanis dan kering, dan mengeringkan Islam yang seharusnya laksana sumber berkah yang memancar tanpa batas, tentu merupakan pekerjaan jahat. Sebaliknya mengaku-aku bahwa “pemahaman” adalah kebenaran itu sendiri sama saja dengan menjadikan diri sendiri sebagai Tuhan meskipun malas menyadarinya.

Menjadi Orang Sasak Yang Benar
Etnik sasak yang mendiami pulau Lombok (berasal dari kata sak-sak Lombok. Artinya, hanya jalan lurus satu-satunya jalan sejati yang harus dilalui demi keselamatan dunia dan akhirat). Secara bahasa istilah kesukuan masyarakat Lombok yang disebut “sasak” sesungguhnya berarti juga ragam, corak dan keberbagaian yang niscaya (Agus Sarjana, 2004 : 16). Jumlah komunitas etnik sasak sebagai suku bangsa asli yang mendiami pulau Lombok lebih kurang 90%. Etnik sasak adalah pemeluk agama islam kultural dengan tradisi agama yang sangat kuat dan fanatik. Islam sebagai dasar filosofi hidupnya terlihat kental dalam praktek dan tradisi hidup keseharian yang terekspresi dengan bengunan masjid yang besar dan megah melampaui kemampuan real daya dukung ekonominya (Said Ruhpina, 2005 : 231)
Pada masyarakat sasak, kearifan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Karenanya denyut nadi kehidupan masyarakat sasak memerlukan cara-cara yang arif lagi bijaksana. Karena itu sikap yang etik yang dikembangkan masyarakat sasak setidaknya juga tercermin dari petuah para orang tua yang dapat disimpulkan dalam ungkapan-ungkapan berikut : Solah mum gaweq, solah eam daet, bayoq mum gaweq bayoq eam daet (baik yang dikerjakan maka akan mendapat kebaikan dan buruk yang dikerjakan maka akan mendapatkan keburukan), piliq buku ngawan, semet bulu mauq banteng, empak bau, aik meneng, tunjung tilah. Masyarakat memahami bahwa seluruh alam raya diciptakan untuk digunakan oleh manusia dalam melanjutkan evolusinya, hingga mencapai tujuan penciptaan. Kehidupan mahluk-mahluk Tuhan saling terkait. Bila terjadi gangguan yang luar biasa terhadap salah satunya, maka mahluk yang berada dalam lingkungan hidup akan ikut terganggu pula.
Hubungan antara manusia dan alam atau hubungan manusia dan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan atau antara tuan dan hamba, namun lebih merupakan hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Tuhan. Karena kemampuan manusia dalam mengelola bukanlah akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat anugrah Tuhan. Setelah menyadari pandangan agama tentang makna kekhalifahan manusia yang menjadi tujuan penciptaan di muka bumi.
Berikutnya adalah timbulnya kesadaran manusia bahwa selaku orang sasan pengembangan akal dan pikiran yang acapkali menimbulkan kerusakan itu perlu disertai dengan budi dan bahwa manusia dititahkan untuk mengelola diri dan alam seluruhnya secara bijaksana bagi kepentingan seluruh kehidupan di bumi ini. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pola kehidupan yang relative tetap memiliki aturan dasar yang turun temurun dan menjadi norma hidup dari komunitas masyarakat sasak. Aturan norma ini disimbulkan dengan “”buku-ngawan karena kehidupan itu mesti teratur dan memiliki aturan seperti halnya alam semesta. Dari mana memulai membangun “bale-langgak” (rumah dan kelengkapannya), berugaq-sekepat, alang-sambi, leah-lambur, jebak, pengorong, kemudian menjadi pemukiman dengan istilah “gubug-gempeng” dan seterusnya sehingga terbentuklah “dise-dasan”. Secara harmonis kehidupan “dise-dasan” sangat erat hubungannya dengan lingkungan alam sekitar, khususnya berhubungan dengan istilah “epe-aik” yang menjadi sumber dari segala sumber hidup dan kehidupan komunitas masyarakat sasak.
Berdasarkan aturan adat budaya ini, maka muncul budaya tradisional masyarakat sasak yang tidak lepas dari pola trinitaris dasar yakni : pertama, “epe-aik” sebagai pemilik yang maha kuasa atas segala asal kejadian alam dan manusia. Kedua, “gumi-paer” sebagai tanah tempat berpijak di situ langit dijunjung, karena di “gumi-paer” ini masyarakat sasak dilahirkan. Diberi kehidupan dan selanjutnya diwafatkan. Ketiga, “budi-kaye” yang merupakan kekayaan pribadi dari kesadaran akan “budi-daye” Sang Hyang Sukseme yang menurunkan “akal-budi” pada setiap diri manusia untuk mendapatkan kemuliaan hidup yang akan dibawa sampai meninggal dunia. Ketiga hal inilah yang akan mewarnai setiap pandangan, ucapan dan perbuatan masyarakat sasak menjadi adab budaya yang tidak hanya diukur dengan hasil karya secara material namun yang lebih penting adalah nilai-nilai yang diperoleh selama hidup yang tercermin dari pelaksanaan adat istiadat mereka (Agus Sarjana, 2004 : 14)

(Catatan: Tulisan ini saya persembahkan untuk Saudara saya Lalu Hizzi, semoga tidak layu oleh bergulirnya waktu dan derasnya ombak kehidupan dalam perjuangan hidup menemukan “jalan lurus” bagi masyarakat

Aqli dan Naqli

Pada minggu 14 September 2008 lalu, saya diundang seorang rekan yang memang rutin terlibat dalam kajian-kaijian keislaman (islamic study) tepatnya di sebuah rumah, dimana kami memang sering membahas tentang berbagai persfektif yang kami anggap menarik, mulai keadaan ekonomi, politik, studi sosial, budaya, gender hingga menyangkut regulasi dan kebijakan pemerintah baik dalam tingkat nasional hingga desa. Menurut saya, itu menarik, sekaligus ajang silaturrahmi, bertukar pikiran sambil membedah ide. Saya tertarik untuk menghadiri undangan itu. Temanya tentang Pemikiran Mu’tazilah. Aliran dalam teologi islam yang sebenarnya di darah kami masih “dikafirkan” saya juga tidak mengerti mengapa rekan-rekan tertarik untuk kembali mengkaji arus pemikiran itu, yang notabene sebenarnya masih dianggap “hitam tadi” saya tertarik dengan tema ini, sehingga dengan senang hati saya memenuhi undangan itu. Waktu itu pembicaranya seorang Ustad yang sering dianggap “murtad” dari pemahaman ustad yang lain secara umum. Kajian ini diorganisir rekan-rekan yang bisa dikata cukup berani untuk menjamah hal-hal yang dianggap tabu masyarakat kami. Dan bagi saya mengapa pula rekan-rekan hendak membahas pemikiran Mu’tazilah, saya jadi penasaran padahal kita mengerti mengapa Ghazali tua (istilah saya setelah beliau berhenti jadi seorang filosof di masa mudanya), menganggap pemikiran-pemikiran seperti ini sebagai pemikiran sesat atau menyesatkan. Hal inilah yang meringankan langkah saya menghadiri kajian itu.
Sebelum kajian dimulai sekitar pukul 16.00, ba’da ashar. saya sudah tiba di lokasi. Saya menjumpai beberapa orang rekan yang sudah berada di serambi tempat kami akan berdiskusi. Dua laki-laki separuh baya, tiga perempuan muda berjilbab dan tiga orang lainnya yang belum saya kenal. Mereka ini tampaknya adalah santri, atau mahasiswa pascasarjana di Semarang atau Yogyakarta. Begitu mendekati pukul 16.10 menit, satu persatu rekan-rekan berdatangan dan menempati bagian tempat yang tadinya kosong, penuhn. Ada dua orang ustad sebagai pembicara dan salah seorang rekan sebagai moderator, sepertinya ustad ini sarjana lulusan Mesir, dan seorang peneliti keagamaan yang kebetulan saat ini tengah meneliti tentang kekerasan agama di daerah kami. Saya tidak hendak menyebutnya sebagai fundamentalisme agama, karena riak-riak kecil kekersan yang terjadi lebih karena dipolitisasi dan adanya teguran atas ketidak adilan yang dirasakan masyarakat dalam pembagian jatah kue ekonomi. Kembali ke kajian, selebihnya, dari sekitar belasan rekan-rekan yang hadir, adalah rekan-rekan kajian rutin. Kami duduk melingkar. Perempuan dan laki-laki duduk terpisah namun masih dapat saling berkomunikasi langsung.
Moderator membuka acara kajian dalam bahasa indonesia yang diiringi sesekali dengan bahasa daerah, bahasa sasak, lalu mengatakan bahwa acara kajian rutin dibuka dengan “basmalah” dan akan disampaikan dalam bahasa Indonesia campur sasak. Narasumber sendiri adalah benar seorang mahsiswa jebolan Mesir, penduduk asli suku sasak yang baru saja selesai studi s2 dengan kajian islamic studi yang jago bahasa Inggris dan Arab. Akhirnya, presentasi dimulai dan suasana kajian itu kembali mengingatkan saya enam atau tujuh tahun yang lalu ketika saya harus mempresentsikan makalah dengan tema yang sama di STIS Yogyakarta pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Ada perasaan senang, berbaur jadi satu dengan mencoba mengingat-ingat kembali pemahaman saya yang dulu terkait tema kajian kali ini.
Dalam paparannya yang sangat menarik, narasumber membawa peserta pada abad Hijrah tatkala Washil ibn Atha (w.131 H/ 748 M) memisahkan diri dari jamaah (i’tizal) dan pengajaran Hasan Al-Bashri setelah perbedaan pendapat mengenai status seorang muslim yang menyimpang dari ajaran islam. Washil ibn Atha berpendapat mereka ini tidak bisa disesatkan, dikafirkan. Mereka hanyalah seorang muslim yang fasik (menyimpang jauh dari agama), bukan kafir. Sedang bagi Hasan Bashri dan pengikutnya, mereka ini masuk kategori kafir dan wajib dikucilkan bahkan halal darahnya. Prinsip al-manzilat bayna al-manzilatayn (berada di antara dua kategori), bersama prinsip al-tawhid (keesaan Allah), al-’adl (keadilan Allah), al-wa’du wa al-wa’îd (janji dan ancaman Allah), dan al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar adalah doktrin Kelompok Mu’tazilah. Doktrin Mu’tazilah dirumuskan secara apik oleh Qadi Abdul Jabbâr dalam kitabnya Al-Mughni, hasil khutbahnya di Masjid Raz, di sekitar Teheran Iran sekarang.
Yang menarik bagi saya, Mu’tazilah yang dikenal sebagai kubu rasionalis dalam Islam berhasil merumuskan maklumat dalam pengambilan hukum, berkaitan dengan persoalan akal dan wahyu (naqli). Mana di antara keduanya yang lebih tinggi. Qadi Abdul Jabbar mengatakan bahwa, jika berkaitan dengan persoalan halal dan haram, maka akal harus tunduk pada naqli, wahyu, jika di luar halal dan haram, akal wajib didahulukan daripada wahyu. Sebab dalam kasus ini, teks mempunyai keterbatasan, sedang akal sebagai anugerah Allah dapat menyelesaikan kasus inderawi serumit apapun. Inilah tempat di mana silogisme, penalaran, dan otoritas akal beraksi.
Terlepas dari etatisasi paham Mu’tazilah di masa Khalifah Al-Ma’mûn pada zaman Dinasti Abassiyah yang memunculkan kasus mihnah pada Ahmad ibn Hanbal dalam persoalan status Firman Allah (Kalamullâh), paham rasionalis inilah yang turut mendorong umatnya berpikir maju dan menggapai puncak emas peradaban. Tak ada gading yang tak retak. Kelemahan paham ini terletak ketika ia menjadi paham negara, terjadi pemaksaan akidah. Inilah yang justru menyalahi doktrin rasionalis Mu’tazilah tentang keadilan. Ketika Mu’tazilah yakin bahwa menjadi mukmin atau kafir adalah urusan personal yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, bukan kehendak Allah (takdir) sebagaimana yang dipahami kubu naqli (Jabbariyah, Hanbaliyyah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah), maka seharusnya ia tidak terjebak pada etatisasi pemahaman. Di sini, Mu’tazilah jatuh pada lubang yang sama sebagaimana kelompok naqli, yakni takfir, penyesatan dan pengkafiran.
Perdebatan antara akal dan nakli dalam tradisi Islam berlangsung hingga kini yang mewujud pada perdebatan tentang tradisionalisme (al-ashâlah) dan modernitas (al-hadatsah, al-mu’asharah). Akhirnya dalam kajian tentang islam kontemporer saat ini kajian masih difokuskan pada turats, pandangan terhadap modernitas dan sikap terhadap Barat. Perdebatan ini lalu mengerucut pada fundamentalisme dan liberalisme dalam Islam. Yang pertama mewarisi tradisi naqal, yang kedua tradisi penalaran. Hemat saya, perdebatan dan perbedaan dalam Islam adalah hal yang sangat lumrah. Semuanya punya pendapat yang relatif di mata Tuhan, karena sama-sama berpangkal pada interpretasi, pemahaman terhadap agamanya. Keduanya sama-sama ingin menjadi yang “terbaik”. Di sinilah, kedewasaan masing-masing kubu diuji. Tradisi carut marut politik yang membawa-bawa suatu paham pemikiran untuk mendukung status quo politik tertentu harus kita hindari, lucuti. Sebab, intervensi negara atas pemahaman keagamaan justru berpotensi memecah umat dan memburamkan Islam yang rahmatan lil’alamin.
Kedewasaan umat muslim didaerah saya tak terkecuali di Indonesia dalam soal perbedaan pendapat (al-ikhtilâf), hemat saya lebih matang dibandingkan dengan generasi masa lalu Islam atau negera-negara muslim lainnya. Jika di negeri-negeri gurun, perbedaan madzhab mendorong pengikutnya untuk baku hantam, baku darah, muslim Indonesia paling tidak hingga kini tidak meniru mereka. Tapi bukan berarti, penyakit ashabiyah dan penkafiran itu tidak menular pada kita. Sebagai sebuah akhlak yang buruk, penyakit itu bisa saja menjangkiti ketika kita tidak sadar. Pepatah Arab mengatakan, sûul khulqi yu’dî (akhlak yang buruk itu pasti menular). Gejala buruk ini, akhir-akhir ini, begitu tampak di sekeliling kita. Saya hanya bisa berdoa, masyarakat kita yang heterogen dapat mengelola perbedaan dengan sangat cantik. Heterogenitas inilah yang membedakan masyarakat kita dengan gerakan-gerakan lainnya yang sudah mematok harga mati tentang kebenaran sejati. Main mutlak-mutlakan. Rekan kajian menimpali “emang kehendak Aku (Allah) sama seperti mau-mu (mahluk/manusia), enak aja!”
Di akhir diskusi, saya terkesima manakala seorang rekan membela dengan sekuat pemahamannya Asy’ariyyah dan mencibir doktrin rasionalistik Mu’tazilah. Moderator pun tak mau kalah. Sebelum menutup diskusi, ia mengisahkan cibiran-cibiran humorik dalam perdebatan teologis dari kubu akal menuju kubu naqli. Dan dari beberapa kisah dan kitab Al Ghazali yang tebalal, rumit dan rasional seperti al-Mustasfa menjadi prolifik buku-buku sederhana, praktis seperti Bidâyatul hidâyah, Ihya Ulûmuddîn, Munqidz min al-dhalâl, dan Tahâfut al-Falâsifah yang banyak di kenal di Indonesia. Dari kecintaan dia pada penalaran filosofis menjadi kebencian militannya pada filsafat. Dari Ghazali muda yang maju menjadi Ghazali tua yang makin mengeriput.
Akhirnya sore itu terasa begitu panjang. Saya sadar, betapa masyarakat muslim di daerah kami masih mewarisi tradisi kearifan yang dipandang dapat mereka terima hingga saat ini, dan ini sah-sah saja, meski demikian tak urung hal ini menyebabkan seorang rekan menarik nafas panjang “ini tugas kita selanjutnya menangkap semangat dari kearifan beragama masyarakat dan meneruskan tradisi kearifan dengan pemahaman dalam rentang sejarah yang mengalami perubahan dengan menampilkan islam sebagai rahmatan lil alamin” duh… beratnya meski tidak sedikit juga masyarakat muslim di daerah kami masih saja mewarisi spirit rapuh “pokoknya” yang menyampahkan akal pada tong sampah peradaban..
Tapi itulah pendapat, bukankah perbedaan bisa jadi rahmat? Meski kita dan kami dalam kajian kecil ini tetap harus menghargai…meski dengan rasa perih dan catatan disana sini….

(Catatan: Tulisan ini saya persembahkan untuk Saudara saya Muazzin, semoga tidak layu oleh bergulirnya waktu dan derasnya ombak kehidupan dalam perjuangan hidup menemukan “jalan lurus” bagi masyarakat)

Kamis, 07 Mei 2009

Revolusi, Negara dan Kesejahteraan Sosial

Pendahuluan
Pada 21 Mei 1998 Suharto tumbang hal ini menandakan babak baru perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Gerakan massa yang luar bisa menakjubkan (yang lebih diidentifikasi sebagai gerakan mahasiswa dan buruh pekerja), telah menemukan momentumnya dan meraih kemenangan besar guna mengakhiri satu rangkaian cerita tentang kekuasaan rezim otoriter Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Inilah awal sebuah revolusi, mirip seperti tahun 1931, saat monarki Spanyol diruntuhkan dan berdirinya Republik Spanyol. Sepertinya Indonesia saat itu memasuki jalan yang sama, yakni revolusi. Revolusi seperti banjir, gempa bumi dan gunung meletus tidak seorangpun dapat mengendalikannya. Apapun yang kita lakukan, ia mengikuti jalannya sendiri, tanpa menghiraukan kita yang menciptakannya.(Muchtar Lubis, dalam Anthony J.S. Reid, “Revolusi Nasional Indonesia” 1996:103).
Beragam pemikiran yang mengatakan perubahan yang terjadi di bulan Mei 1998 adalah sebuah perubahan revolusioner. Gerakan massa menumbangkan kekuasaan rezim Suharto berawal dari gerakan mahasiswa yang memprotes terjadinya krisis moneter (Lihat Manan, 2005:71-84). Memang tak ada yang luar biasa dari hal tersebut, namun dari sinilah cikal bakalnya sebuah gerakan revolusioner untuk penggulingan kekuasaan dalam masa kekuasaan yang disebut Suhartonisme. Meskipun diakui bahwa elemen mahasiswa dan para cendekiawan tak dapat memainkan peran independen dalam masyarakat, namun mesti diakui juga bahwa mereka telah dan mampu merepresentasikan barometer yang sangat sensitif yang secara setia merefleksikan animo yang bergerak dalam masyarakat. Hal ini mirip dengan revolusi yang terjadi di Rusia dan revolusi di Spanyol dimana dalam tahap-tahap awalnya, revolusi Rusia dimulai sebagai gerakan revolusioner kaum cendekiawan antara 1860-70an. Revolusi Spanyol di awal 1930-an juga dimulai sebagai gerakan mahasiswa." (Trotsky, dalam C. Wright Mills, 2003:169)
Demikian pula di Indonesia, para mahasiswa merasa bahwa mereka merepresentasikan animo umum dari ketidakpuasan yang dialami masyarakat, mereka membangun kekuatan dan keberanian dari kenyataan ini. Sebegitu cepat protes-protes mahasiswa menyebar ke berbagai sektor di Indonesia, hingga menyeret hampir seluruh elemen yang ada dalam masyarakat. Elemen terpenting adalah keberanian para mahasiswa yang tak mengenal takut, keteguhan mereka berhadapan dengan pemukulan, pemenjaraan, dan kematian dalam perjuangan. Hingga akhirnya gerakan ini menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru.
Dalam konteks ini beberapa pertanyaan muncul; pertama, mengapa di Indonesia gerakan revolusioner selalu muncul dalam setiap gerakan menggusur suatu rezim, padahal Indonesia penduduknya bukanlah komunis seperti Rusia, Kuba, Cina dan negara lainnya? Kedua, bilamana Indonesia punya kecenderungan dan berpotensi melakukan revolusi, namun mengapa setiap gerakan revolusioner khususnya tahun 1998 tidak sampai pada titik revolusi sosial, sebagimana yang diangankan oleh pencetus revolusi?
Akar Historis Gerakan Revolusioner Di Indonesia
Gerakan radikal dan revolusioner di Indonesia bukanlah fenomena yang datang tiba-tiba, bahkan ia telah menjadi bagian tersendiri dari proses sejarah perjuangan bangsa ini. Kelahirannya tentu tidak dapat dielakkan dari situasi politik, ekonomi dan sosial budaya bahkan agama yang menopangnya. Bilamana ditilik kebelakang, pemikiran radikal dan revolusioner muncul di tahun tahun 1914, yang dibawa oleh Sneevliet (lengkapnya, Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet, lahir di Rotterdam, 13 Mei 1883) orang Belanda (Tabloid Pembebasan, 2004:1). Ia dikenal sebagai seorang penyemai virus ideologi komunisme.
Sebelum 1914 ---saat dimana kelas buruh tidak mempunyai organisasi politik seperti negara lain--- tak ada seorang pun dapat mempredikisi bahwa yang beranama Indonesia, sebuah bangsa jajahan dan bangsa terkebelakang, namun beberapa tahun saja akan ada pemikiran radikal, bahkan sebuah partai komunis. Di bumi Indonesia ini pulalah pertama kalinya dalam sejarah dunia kolonial sebuah partai komunis yang berbasis massa berkembang pesat.
Orang Indonesia sebelum tahun 1914 telah mengenal organisasi yakni Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Boedi Oetomo adalah organisasi pertama yang didirikan oleh kaum muda Indonesia kelas ningrat tahun 1908. Organisasi ini yang hampir seluruh anggotanya terdiri atas para administrator dan intelektual Jawa lebih merupakan jembatan antara pejabat pemerintahan kolonial yang sudah maju dan kaum terpelajar Jawa (Audrey, 2005:11). Namun Boedi Oetomo hanya didasarkan pada gagasan idealis gotong royong tanpa adanya kesadaran politis. Program-program Boedi Oetomo sama sekali bukan berorientasi ideolgis dan politis, melainkan bertujuan mengembangkan pendidikan tradisional dan pendidikan barat di kalangan suku Jawa dan Madura, memajukan pertanian, industri dan perdagangan di kalangan mereka serta segala yang memberi mereka jaminan untuk bisa hidup secara terhormat (Kahin, 1995:84). Sedangkan Sarekat Islam (SI) berdiri tahun 1912, sebuah organisasi nasionalis pertama yang berskala Indonesia dan menuntut kemerdekaan Indonesia, akan tetapi tahun 1913 partai ini dilarang karena tuntutan kemerdekaan tersebut. Satu catatan penting bahwa gerakan Sarekat Islam bukan menitik beratkan pada nasionalisme ataupun program politik, melainkan pada agama. Disebabkan oleh 90% penduduk Indonesia menganut Islam, maka otomatis Islam merupakan institusi utama dari masyarakat tradisional. Oleh karena itulah mengapa Sarekat Islam berkembang pesat ke pelosok tanah air dan Islam menjadi ikon satu-satunya pusat perlawanan anti pemerintahan asing, walaupun pada dasarnya oposisi ini tanpa bentuk dan tanpa program politik (Reid, 1996:6).
Sebenarnya Sarekat Islam lahir dari rahim masyarakat pedagang Indoensia. Ia bermula dari Sarekat Dagang Islam yang dibentuk tahun 1909 oleh seorang bangsawan Jawa Raden Mas Tirtaodisoeryo, dan pada tahun 1911 mendapat dukungan yang luas setelah mendapat respon dari pengusaha batik Indonesia Haji Samonhadi yang juga pemimpin agama Islam berpengaruh. Dua tahun kemudian, 1913, di bawah pimpinan Tjokroaminoto, membuang "dagang" dari namanya menjadi Serikat Islam. Meskipun pada kenyataannya Sarekat Islam jauh dari gagasan pejuangan nasionalis dan politis, tidak mempunyai program politik di luar "melayani kepentingan orang Islam", dan keorganisasiannya longgar sekali, namun Sarekat Islam tatap saja dipercaya dan memegang peran perjuangan nasional sehingga keanggotaannya tumbuh dengan dahsyat, sampai ratusan ribu pada tahun 1916, terutama berpusat di kota (Kahin, 1995:86-90). Hal ini secara grafikal mencerminkan pencarian massa buruh menemukan alat perjuangan guna melawan kondisi mereka yang makin memburuk.
Hal apakah yang menyebabkan, hanya beberapa tahun dan di dalam sebuah negeri yang luar biasa terbelakang, munculnya sebuah partai komunis dengan basis massa yang kemudian merubah situasi politik bangsa Indonesia? Tak dapat disangkal, peran kunci dimainkan oleh Hendricus Sneevliet, pemimpin sayap kiri Serikat Buruh Kereta Api dan sebelumnya merupakan tokoh sayap kiri gerakan sosialis, yang terpaksa mengungsi ke Indonesia tahun 1913 sesudah dimasukkan daftar hitam oleh birokrasi reformis dan kaum majikan Belanda.
Ketika ia datang ke Indonesia, situasi dunia pergerakan di Hindia Belanda tengah mengalami musim semi. Sneevliet, yang pada awalnya bekerja sebagai jurnalis di sebuah harian di kota Surabaya, mulai terusik kembali berpolitik, ia kemudian pindah ke Semarang dan menjadi sekretaris di sebuah perusahaan. Pada tahun 1914, ia mendirikan sebuah organisasi politik yang diberi nama Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Awalnya anggotanya hanya 65 orang terdiri dari Belanda dan kalangan Indo-Belanda. Dalam waktu setahun kemudian, organisasi tersebut mengalami perkembangan pesat menjadi ratusan anggotanya. Beberapa tokoh Belanda yang aktif membantu Sneevliet adalah Bersama, Adolf Baars, Van Burink, Brandsteder dan HW Dekker dan di kalangan pemuda Indonesia tersebut nama-nama Semaun, Alimin dan Darsono (Kahin, 1995:92).
Pada waktu yang bersamaan, pergerakan di Hindia Belanda tengah mengalami masa terang. Sarekat Islam, terus membesar dengan jumlah anggota mencapai puluhan ribu yang tersebar di berbagai daerah. Melihat kondisi tersebut, ISDV merubah haluan untuk menitik beratkan pengorganisiran pada anggota-anggota Sarekat Islam, dan inilah cikal bakal generasi pertama perekrutan kader-kader Marxis. Maret 1917 Sneeveliet menulis artikel berjudul Zegepraal (kemenangan) sebagai penghormatan dan memuliakan Revolusi Februari Kerensky di Rusia (Tabloid Pembebasan, 2004:2):
“Telah berabad-abad di sini hidup berjuta-juta rakyat yang menderita dengan penuh kesabaran dan keprihatinan, dan sesudah Diponegoro tiada seorang pemuka yang menggerakkan massa ini untuk menguasai nasibnya sendiri. Wahai rakyat di Jawa, revolusi Rusia juga merupakan pelajaran bagimu. Juga rakyat Rusia berabad-abad mengalami penindasan tanpa perlawanan, miskin dan buta huruf seperti kau. Bangsa Rusia pun memenangkan kejayaan hanya dengan perjuangan terus-menerus melawan pemerintahan paksa yang menyesatkan. Apakah penabur dari benih propaganda untuk politik radikal dan gerakan ekonomi rakyat di Indonesia memperlipat kegiatannya? Dan tetap bekerja dengan tidak henti-hentinya, meskipun banyak benih jatuh di atas batu karang dan hanya nampak sedikit yang tumbuh? Dan tetap bekerja melawan segala usaha penindasan dari gerakan kemerdekaan ini? Maka tidak bisa lain bahwa rakyat di Jawa, diseluruh Indonesia akan menemukan apa yang ditemukan oleh rakyat Rusia: kemenangan yang gilang gemilang”.
Organisasi ISDV bergerak cepat dengan strategi merekrut massa dari Sarekat Islam. Semaun, Darsono dan Alimin, adalah pimpinan-pimpinan Sarekat Islam Semarang yang berhasil direkrut oleh Snevlieet. Mereka punya kesamaan pandangan, prinsip-prinsip ideologi radikal dengan ISDV. Ini pulalah yang pada akhirnya menyebabkan perpecahan di tubuh Sarekat Islam, perpecahan antar sayap moderat dan sayap radikal. Sarekat Islam (Putih/moderat) dipimpin HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim dan Abdul Muis, sedangkan SI (Merah/Radikal) dikepalai oleh Semaun dan teman temannya. Selain dari propaganda ISDV ditambah lagi kemenangan revolusi Rusia yang banyak menjadi bahan perbincangan rakyat membuat pengaruh ISDV cepat meluas di kalangan masyarakat. Pemogokan-pemogokan buruh kian hari makin bertambah kuat dan meluas. Pengaruh ISDV yang kuat ternyata mengkhawatirkan Belanda dan hal ini kemudian membuat berdampak kurang menguntungkan bagi ISDV dimana Sneeliet pada Desember 1918 terpaksa ditangkap dan diusir dari Indonesia oleh Belanda. Ironisnya ISDV juga mulai dijauhi massa akibat prinsip-prinsip radikal mereka yang masih belum bisa dipahami massa. Semaun pun mengambil keputusan, mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia pada 23 Mei 1920. Tujuh bulan kemudian, partai ini mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia, dimana Semaun langsung yang menjadi ketuanya (Kahin, 1995:95).
Pidato pembelaan Snevlieet yang disampaikannya sewaktu ia diproses oleh jaksa dan hakim di depan pengadilan pada bulan November 1917 setebal 366 halaman merupakan sumber referensi mengenai ajaran-ajaran sosialisme secara ilmiah, yang dipakai oleh banyak pemimpin-pemimpin bangsa. Salah satunya adalah Indonesia Menggugat, pidato pembelaan Bung Karno yang dibacakan di muka Pengadilan di Bandung pada tahun 1930. Pledoi setebal 183 halaman itu jelas-jelas menunjukkan pengaruh yang besar sekali dari jalan pikiran Sneevliet yang dikembangkannya di tahun 1917. Sejak saat itulah ajaran-ajaran Marxisme meluas di Indonesia. PKI berdiri di Semarang, pada tahun 1920 dengan Semaun-Darsono yang mempeloporinya. Di Surabaya Tjokroaminoto dari Serikat Islam, mulai juga memakai referensi-referensi kiri dan literatur yang disebut oleh Sneevliet di dalam pembelaannya, seperti: artikel Das Kapital-nya Marx. Berbagai literatur tersebut mulai dicari-cari beberapa aktivis. Ada juga yang berusaha mendapatkannya dengan membeli dan meminjam dari toko buku ISDV, dan dikaji di rumah Tjokroaminoto bersama-sama Surjopranoto, Alimin dan lain-lain. Termasuk salah satunya adalah Bung Karno, yang tahun 1916-1920 indekos pada keluarga Tjokroaminoto, seorang tokoh pergerakan di Surabaya. Bung Karno mengakuinya dalam sebuah surat yang ditulisnya saat dia menjalani masa pembuangan di Bengkulu, tahun 1941 (Tabloid Pembebasan, 2004:4):
“Sejak saya sebagai seorang anak plonco, untuk pertama kalinya saya belajar kenal dengan teori Marxisme dari mulut seorang guru HBS yang berhaluan sosial demokrat (C. Hartough namanya) sampai memahamkan sendiri teori itu dengan membaca banyak-banyak buku Marxisme dari semua corak, sampai bekerja di dalam aktivitas politik, sampai sekarang, maka teori Marxisme bagiku adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan.”
Menurut Kahin (1995:96) kesuksesan usaha Sneevliet terutama bukan karena kualitas pribadinya melainkan akibat pengertiaannya atas pembelajaran Marxisme dan cara mengorganisir kaum buruh dan kepemimpinan organisasi kelas buruh. Pengalamannya dalam gerakan buruh yang termaju dan terorganisir di Eropa Barat suatu hal yang penting sekali dalam usahanya menjadi katalis, menyatukan ide-ide Marxisme dan pengalaman itu dengan gerakan kaum buruh Indonesia. Pikiran dan metode sayap kiri yang dibawa oleh Sneevliet ke Indonesia, bukan pemahaman Leninis mengenai pembangunan kader. Kontribusi Sneevliet terutama terletak pada orientasi kelas yang konsisten yang ia bawa ke dalam perjuangan bangsa Indonesia, mengaitkan antara perjuangan kemerdekaan nasional dan perjuangan kelas buruh.
Usaha Sneevliet di Indonesia, yang meletakkan pondasi bagi PKI, ada tiga segi: membentuk nukleus kaum sosialis (dimulai dari para pekerja asing berkebangsaan Belanda); membangun gerakan serikat buruh, dan melakukan intervensi ke dalam gerakan nasionalis. Dan atas prakarsa Sneevliet lah pada tahun 1914 didirikan Persatuan Sosial Demokrat Indonesia (ISDV), yang merupakan cikal bakal Partai Komunis. Sejak mulanya tendensi revolusioner mengendalikan ISDV, sikapnya militan terhadap isu-isu lokal dan selain itu ISDV juga melibatkan diri dalam pergerakan nasional.
Revolusi dan Perubahan Sosial di Indonesia
Gerakan massa oleh mahasiswa, cendekiawan dan buruh pekerja di tahun 1998 menggulingkan rezim Suharto telah berhasil melumpuhkan kekuatan rezim berkuasa, namun cita-cita revolusi tak kunjung menemukan sosoknya. Penyerahan kekuasaan Suharto kepada wakilnya BJ Habibie, yang dijustifikasi oleh MPR merupakan pembelokan dari cita-cita revolusi. Sesungguhnya, "legitimasi" Habibie ada pada kenyataan bahwa secara personal ia ditunjuk oleh Soeharto dan disetujui oleh majelis nasional. Dukungan para pimpinan oposisi kaum boujuasi dan kawan-kawan bahwa pemerintahan Habibie adalah “pemerintahan Indonesia yang sah” kian mengaburkan perjuangan revolusi.
Para petinggi ABRI juga mendukung Habibie. Segera setelah Habibie diambil sumpahnya, Pangab Jenderal Wiranto menyatakan bahwa “pihak militer memberi dukungan kepada presiden baru dan mengatakan bahwa militer akan mencegah kekacauan di masa datang. Ia juga berjanji untuk melindungi Soeharto dan keluarganya yang sama sekali tidak populer bagi rakyat" (Manan, 2005:101). Meskipun terjadi resistensi yang luar biasa terhadap pemerintahan Habibie seperti yang dilakukan oleh para mahasiswa yang telah dan terus menuntut agar Soeharto dan kroni-kroninya diseret ke pengadilan: "Kami menolak pemilihan Habibie ke kursi kepresidenan karena ia adalah bagian dari rezim yang sama," kata Rama Pratama, ketua Senat Mahasiswa UI Jakarta, (Lihat Manan, 2005:179-184), namun bagaimanapun semua itu tidak memberi arti signifikan terhadap perjuangan mewujudkan revolusi.
Dalam situasi transisi yang acak dan tak menentu ---setelah penyerahan kekuasaan dari Suharto ke Habibie--- bermacam alternatif solusi muncul dari berbagai pihak, mulai yang paling moderat hingga yang radikal: Revolusi adalah kata yang paling sering muncul dan kata revolusi menjadi ikon dalam jargon politik dan gerakan massa. Misalnya pada minggu kedua bulan Juni 1998 masyarakat Indonesia dikejutkan dengan jargon politik "Revolusi dari Surabaya" yang diangkat bertepatan dengan kunjungan Habibie ke Surabaya. Beberapa orang juga sudah menyamakan konsep "Reformasi Total" dengan "Revolusi". Alternatif solusi tersebut timbul karena kegagalan Habibie dalam memimpin negara. Setidaknya dua tokoh dengan massa besar sudah menyatakan hal itu: K.H. Abdurrahman Wahid dengan 30 juta massa NU-nya sudah menyatakan bahwa pemerintahan Habibie gagal. Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia, Megawati Soekarno Putri juga sudah mengeluarkan statement yang menyatakan bahwa pemerintahan Habibie tidak dipercaya oleh rakyat. Dalam bentuk yang lain, Amien Rais, ketua umum Partai Amanat Nasional sudah mengancam akan mengerahkan massa jika Habibie tidak serius mengusut kekayaan Soeharto. Walau bagaimana pun usaha Gus Dur mencanangkan dan mengkampanyekan revolusi sosial yang kemudian diiukuti secara latah oleh beberapa pemimpin lainnya, ditambah lagi dengan gejolak kekacauan dan kekerasan yang kian mengalami chaos, toh pada akhirnya revolusi yang diangankan tidak juga terwujud.
Apa yang dapat dipahami dari peristiwa 1998 tersebut; adakah memang perubahan yang terjadi adalah sebuah revolusi ataukah hanya reformasi atau replacment. Bila ditilik lebih seksama senyatanyalah terma revolusi merupakan sebuah persepektif dalam teori perubahan sosial dalam kajian sosiologi. Revolusi adalah puncak dari perubahan sosial itu sendiri. Revolusi merupakan wujud perubahan sosial paling spektakuler. Ia dapat dimaknai sebagai tanda perpecahan mendasar dalam proses historis; revolusi melakukan pembentukan ulang masyarakat dari dalam dan pembentukan ulang manusia. Revolusi tak menyisakan apa pun seperti keadaan sebelumnya. Revolusi menutup epos lama dan membuka epos baru.
Menurut Piotr Sztompka, (2005:357) yang membedakan revolusi dengan teori perubahan sosial lainnya seperti evolusi dan gerakan sosial adalah; pertama, revolusi menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat; ekonomi, politik, kultur, organisasi sosial, kehidupan sehari-hari, dan kepribadian manusia. Kedua, revolusi melakukan perubahan secara radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan fungsi sosial. Ketiga, perubahan yang terjadi sangat cepat, tiba-tiba di tegah aliran lembat proses historis. Keempat, revolusi adalah pertunjukan perubahan paling menonjol; waktunya luar biasa cepat. Kelima, revolusi membangkitkan emosional khusus dan reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa, antusiasme, kegemparan, kegirangan, kegembiraan, optimisme, dan harapan; perasaan hebat dan perkasa, keriangan aktivisme dan menggapai kembali makna kehidupan, melambungkan aspirasi dan pandangan utopia ke masa depan. Ted Grant dan Alan Woods, (1998:13) mengatakan bahwa revolusi terjadi apabila; pertama, terbelahnya kelas berkuasa. Kedua, berbalik arahnya kaum bourjuasi kecil dari status qou ke revolusi. Ketiga, persiapan kelas pekerja untuk melakukan perubahan radikal. Keempat, adanya sebuah partai revolusioner.
Merujuk Ted Grant dan Alan Woods di atas, benarlah bahwa kelas yang berkuasa di Indonesia terbelah, sebagian ingin membuang Soeharto secepatnya, bahkan ketua MPR Harmoko --kroni lama presiden- menyarankan Suharto mundur; sebagian yang lain menolak langkah yang tersebut karena takut bahwa dalam pemerintahan akan timbul gerakan yang tak dapat dikontrol oleh siapapun (Lihat Manan, 2005:85-88). Pernyataan-pernyataan yang kontradiktif dari jenderal Wiranto misalnya jelas mengindikasikan bahwa telah terjadi perpecahan-perpecahan dan keterombang-ambingan kelas penguasa. Syarat kedua terjadinya revolusi adalah bahwa kaum borjuis kecil, lapisan menengah dari masyarakat, harus berganti arus dari status quo ke revolusi. Nyatanya di Indonesia, mayoritas kelas menengah telah berbalik dari rezim atau secara aktif memeranginya sebagaimana diperlihatkan oleh gerakan mahasiswa. Syarat ketiga adalah bahwa kelas pekerja harus disiapkan untuk berjuang bagi perubahan radikal dalam masyarakat (Lihat Manan, 2005:190-196). Dan memang kelas pekerja Indonesia, telah memasuki kancah perjuangan. Namun ada faktor menentukan yang masih belum ada yaitu faktor subjektif --sebuah partai revolusioner dan kepemimpinan yang mampu menyediakan organisasi yang diperlukan, program dan perspektif untuk menyatukan gerakan dan mengarahkannya untuk merebut kekuasaan.
Walaupun telah terjadi perubahan tahun 1998 dengan tumbangnya Suharto namun tidak cukup alasan mengatakan bahwa tragedi itu adalah sebuah revolusi karena revolusi secara hakiki adalah sebuah krisis politik yang diakibatkan tindakan-tindakan ilegal dan inkonstitusional yang bermaksud mengganti lembaga-lembaga politik, merombak struktur sosial atau menggulingkan pemerintahan. Selain itu, Piotr Sztompka, (2005:361) mengikhtisarkan bahwa pertama, revolusi mengacu pada perubahan fundamental, menyeluruh dan multidimensional, menyentuh inti tatanan sosial. Oleh karena itu perombakan sebagian hukum dan administrasi, penggantian pemerintah dan sebagainya bukanlah dikategorikan kepada revolusi. Kedua, revolusi melibatakan massa rakyat yang besar jumlahnya yang dimobilisasi dan bertindak dalam suatu gerakan revolusioner. Dan revolusi dalam banyak kasus melibatkan pemberontakan petani dan pemberontakan urban. Dengan demikian, meski suatu gerakan dapat menimbulkan perubahan paling dalam dan fundamental tetapi jika dipaksa oleh penguasa dari atas, maka ia tidak termasuk pada kategori revolusi, juga tidak termasuk kedalam kategori revolusi bila terjadi perubahan fundamental yang ditimbulkan oleh kecenderungan sosial spontan.
Gagalnya Revolusi Sosial Di Indonesia
Kegagalan revolusi tahun 1998 bukanlah hal yang pertama kali terjadi di Indonesia, malah jauh sebelumnya misalnya pada tahun 1945, ketika kelompok pergerakan yang dikomandoi oleh Syahrir dalam merebut kekuasaan dari Jepang juga mengalami kegagalan, dan pada tahun 1926 gerakan revolusioner yang dimotori oleh PKI melawan Belanda juga mengalami kegagalan (Lihat Audrey, 2005, Kahin,1995 dan Reid, 1996).
Dalam membantu menelaah dan memahami mengapa revolusi di Indonesia sering mengalami kegagalan, agaknya tepat merujuk pada apa yang disinyalir oleh Theda Skockpol. Dalam bukunya Sosial Revolution in the Modern World, (1995:260), Theda Skockpol mengajukan pertanyaan menarik; "begitu banyak negara-negara miskin di Dunia Ketiga, namun revolusi-revolusi hanya terjadi di sebagian kecil negara, dan tidak benar-benar dibutuhkan di negara paling miskin. Mengapa revolusi sosial terjadi di Cina dan Vietnam, tetapi tidak terjadi di India dan Indonesia?" Skockpol menjawab sendiri pertanyaan itu dengan mengutip Leon Trotsky: "The mere existence of privation is not enough to cause an insurrection; if it were, the masses would be always in revolt!".
Indra J. Piliang (dalam Manan, 2005:219) menjelaskan hambatan besar terjadi revolusi di Indonesia adalah; pertama, substansi teori atau bahkan ide revolusioner telah menjadi milik intelektual dan kelas menengah kota. Kedua, terputusnya rantai gagasan antara "juru bicara" revolusi sosial dengan massa di pedesaan. Ketiga, adanya dua elemen bangsa yang antipati kepada gagasan atau aksi revolusi, yaitu militer dan mayoritas penduduk beragama Islam.
Apa yang dikemukakan oleh Indra J Piliang di atas merupakan kenyataan historis yang terjadi di Indonesia. Dalam terminologi klasik misalnya ide atau terma revolusioner selalu dihubungkan dengan dan menjadi milik sah dari intelektual dan kelas menengah kota, mereka adalah bagian dari kelas borjuasi, bukan pemilik kekuasaan. Mayoritas kelas menengah Indonesia adalah kelas yang tidak memiliki basis yang cukup kuat, bahkan sebagian dari mereka malah hanya perpanjangan tangan dari kelompok elite dominan. Hal ini mengakibatkan gagasan revolusi tak punya pengaruh banyak.
Ketiadaan mediator yang akan mengkomunikasikan gagasan revolusi antara pemegang ide revolusioner dengan massa di pedesaan menjadi faktor yang menyebabkan gagalnya revolusi, sebab merujuk pada sejarah revolusi sosial Indonesia, barisan kaum tani miskin adalah penggerak utama revolusi sosial. Sebenarnya Indonesia cukup kaya dengan literatur revolusi petani, juga kalangan pedesaan (para menak dan jawara) juga pemuda dan ulama, dalam mendekonstuksi stratifikasi sosial. Studi yang dilakukan oleh Antony Reid, Anton Lucas, Sartono Kartodidjo, Benedict Anderson, Robert Brison Cribb, dan lain-lain misalnya, telah menunjukkan bagaimana revolusi sosial terjadi di tingkat lokal, baik desa maupun kota, namun hal ini, sekali lagi, tidak berlangsung secara nasional.
Sekalipun Skocpol percaya bahwa kekuatan-kekuatan revolusioner petani hanya bisa berhasil apabila dibantu oleh kelompok-kelompok profesional yang membangun organisasi revolusioner, tetapi tetap saja di Indonesia terhalang oleh tembok besar hyper-modernisme yang memperkokoh pilar individualisme. Modernisme telah melahirkan ambigu kebudayaan, ketika individualitas membelah masyarakat, bahkan melahirkan kultus individu. Dan disinilah kekuatan rasionalitas justru terkubur. Yang terjadi bukan lagi solidaritas sesama warga miskin, melainkan lebih banyak warga miskin yang menjadi pengikut fanatik pemimpin A, akan mudah untuk menyerang warga miskin pemimpin B misalnya. Oleh karena demikian "benturan sosial" yang sempat terjadi selama proses perubahan sosial/reformasi di Indonesia lebih pada rebutan antar pemimpin yang didukung massa rakyat tertentu, ketimbang melihatnya dari perspektif Marxis: perbenturan antar kelas. Elite yang terbelah, diikuti massa yang terbelah, akan menyulitkan masuknya pikiran-pikiran revolusi kelas/struktural
Antipatinya milter dan mayoritas orang Islam terhadap gagasan atau aksi revolusi, ikut menjadi faktor penghambat terjadinya revolusi di Indonesia. Sekalipun ulama Aceh pernah bergabung dengan kelompok pemuda sosialis dalam revolusi sosial tahun 1946, namun tetap saja kepentingan utamanya adalah menggeser peranan kelompok uleebalang. Oleh karena itu, dalam berbagai kasus revolusi sosial yang digerakkan oleh kelompok Marxis, kedua elemen itu nyaris bersatu. Memang, revolusi Islam Iran tahun 1979 menunjukkan betapa berbagai kalangan intelektual kota, mahasiswa, usahawan, pekerja, kaum miskin kota, dan para mullah bergabung menjadi kekuatan revolusioner, tetapi ciri kekuasaan yang ditumbangkan adalah rezim aristokrasi-diktatorial yang disokong oleh kapitalisme global Amerika.
Tentunya agak sulit menemukan kondisi pra-revolusi Iran di Indonesia, mengingat sejumlah daerah justru hidup dengan tradisi warisan aristokrasi etnik. Unsur etnik boleh jadi lebih menonjol, ketimbang unsur kesamaan agama. Seperti ditulis Skockpol (1995:262), bahwa revolusi lebih dari sekadar perjuangan ideologi, apakah di kalangan agamawan ataupun di kalangan kaum Marxis. Kaum Marxis lebih banyak berhasil dalam revolusi, ketika menggabungkan nasionalisme dan perjuangan kelas, seperti di Cuba, Nigaragua dan Vietnam. Dan sepertinya tradisi ahlul sunah wal jamaah yang lebih dominan di Indonesia relatif kering dari ide-ide revolusi. Selain hal di atas, alasan lain mengapa tidak terjadi revolusi sosial di Indonesia menurut Umaruddin Masdar (Kedaulatan Rakyat, 13/2/2004) adalah bahwa masyarakat Indonesia cenderung menolak perubahan yang bersifat revolusioner, mereka lebih memilih perubahan secara damai.
Potret Kesejahteraan di Indonesia
Selanjutnya kita akan melihat keterkaiatan antara revolusi sosial yang dikehendaki masyarakat dengan masalah-masalah kesejahteraan sosial yang salah satunya merupakn faktor penunjang terciptanya revolusi sosial yang dikehendaki masyarakat itu
Belum lama ini, Media Indonesia menyajikan hasil survei Litbang Media Group, terhadap 480 responden yang diambil secara acak dari daftar pemilik telefon enam kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Makassar) (Halida, 2008). Responden ditanya bagaimana pendapatannya sekarang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apakah dirasakan semakin berat atau ringan? Mayoritas responden (73%) merasakan bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari semakin berat; sebanyak 21% responden merasakan sama saja; dan hanya 6% yang merasakan semakin ringan. Ketika ditanyakan apakah sekarang ini mendapatkan pekerjaan baru dirasakan semakin sulit atau semakin mudah, sebagian besar responden (89%) merasakan sekarang makin sulit mencari pekerjaan baru; sebanyak 5% responden merasakan sama saja; 4% merasakan makin mudah; dan 2% tidak tahu.
Hasil survei ini tidak berbeda dengan laporan mengenai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk tahun 2007/2008 dari United Nations Development Programme (UNDP). Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di peringkat 109. Tanpa perbaikan strategi pembangunan ekonomi dan sosial secara mendasar, peringkat IPM Indonesia tidak menutup kemungkinan segera disusul oleh Laos (130), Kamboja (131) dan Myanmar (132) di tahun-tahun mendatang (Suharto, 2007; UNDP, 2007).
Capaian yang tergambar melalui IPM tersebut berkorelasi dengan dimensi kesejahteraan. Indikator pokok IPM menggambarkan tingkat kualitas hidup sekaligus kemampuan (capabilitas) manusia Indonesia. Indikator angka harapan hidup menunjukkan dimensi umur panjang dan sehat; indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah memperlihatkan keluaran dari dimensi pengetahuan; dan indikator kemampuan daya beli mempresentasikan dimensi hidup layak. Dengan demikian, rendahnya peringkat IPM Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan manusia Indonesia masih berada di tingkat bawah. Bahkan, karena indikator IPM pada hakekatnya merujuk pada konsep basic human capabilities, dapat dikatakan bahwa kemampuan masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar saja ternyata masih ketar-ketir. Dengan kata lain, alih-alih hidup berkecukupan, masyarakat Indonesia masih belum bisa terbebas dari lilitan kemiskinan.
Hingga saat ini, jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat mencemaskan (Suharto, 2007). Pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut (TKPK, 2007). Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Meskipun terjadi penurunan, secara absolut angka ini tetap saja besar dan melampaui keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan Malaysia (25 juta). Angka kemiskinan ini menggunakan poverty line dari BPS sekitar Rp.5.500 per kapita per hari.3 Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar US$2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 50-60% dari total penduduk.
Meski terkadang tumpang tindih, potret kesejahteraan ini akan lebih buram lagi jika dimasukkan para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) yang oleh Departemen Sosial diberi label Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Di dalam kelompok ini berbaris jutaan gelandangan; pengemis; Wanita Tuna Susila; Orang Dengan Kecacatan; Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA); Komunitas Adat Terpencil (KAT); Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus atau Children in Need of Special Protection (CNSP) (anak jalanan, buruh anak, anak yang dilacurkan, anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang terlibat konflik bersenjata); jompo telantar dan seterusnya. Mereka seringkali bukan saja mengalami kesulitan secara ekonomi, melainkan pula mengalami social exlusion – pengucilan sosial akibat diskriminasi, stigma, dan eksploitasi.
Negara dan Kebijakan Sosial
Francis Fukuyama (2005) dalam bukunya State-Building: Governance and World Order in the 21st Century, menunjukkan bahwa pengurangan peran negara dalam hal-hal yang memang merupakan fungsinya hanya akan menimbulkan problematika baru. Bukan hanya memperparah kemiskinan dan kesenjangan sosial, melainkan pula menyulut konflik sosial dan perang sipil yang meminta korban jutaan jiwa. Keruntuhan atau kelemahan negara telah menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan dan hak azasi manusia selama tahun 1990-an di Somalia, Haiti, Kamboja, Bosnia, Kosovo, dan Timor Timur (Fukuyama, 2005; lihat Suharto, 2007).
Selain memperlihatkan kejujuran ilmiah Fukuyama, buku State-Building sekaligus menjelaskan bahwa dia telah “insyaf” dari “kekeliruan” pemikiran sebelumnya. Dalam bukunya yang terdahulu, The End of History and The Last Men (1992), Fukuyama dengan yakin menyatakan bahwa sejarah peradaban manusia (seakan) telah berakhir. Pertarungan antara komunisme dan kapitalisme juga telah usai dengan kemenangan kapitalisme (neoliberalisme). Mengapa kapitalisme menang. Jawabanya adalah karena sistem ini dianggap paling cocok untuk manusia abad ini. Dan kita tahu semua, kapitalisme sangat menganjurkan peran negara yang sangat minimal dalam pembangunan ekonomi, apalagi pembangunan sosial.
Sekarang, dalam bukunya State-Building dengan lantang Fukuyama berkata bahwa “negara harus diperkuat!”. Kesejahteraan, kata Fukuyama, tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang kuat; yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan warganya.
Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat significant dalam konteks kebijakan sosial. Negara adalah institusi paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan karenanya paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Dalam masyarakat yang beradab, negara tidak boleh membiarkan satu orang pun yang berada dalam posisi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Globalisasi dan kegagalan pasar sering dicatat sebagai faktor penyebab mencuatnya persaingan yang tidak sehat, monopoli dan oligopoli, kesenjangan ekonomi di tingkat global dan nasional, kemiskinan dan keterbelakangan di negara berkembang, serta ketidakmampuan dan keengganan perusahaan swasta mencukupi kebutuhan publik, seperti jaminan sosial, pelayanan kesehatan dan pendidikan. Mishra (2000) dalam bukunya Globalization and Welfare State menyatakan bahwa globalisasi telah membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menjual kebijakan ekonomi dan sosial kepada negara-negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar memperkecil pengeluaran pemerintah, memberikan pelayanan sosial yang selektif dan terbatas, serta menyerahkan jaminan sosial kepada pihak swasta.
Benar, negara bukan lah satu-satunya aktor yang dapat menyelenggarakan pelayanan sosial. Masyarakat, dunia usaha, dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial. Namun, sebagai salah satu bentuk kebijakan sosial dan public goods, pelayanan sosial tidak dapat dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak swasta. Sebagai lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, negara memiliki kewajiban (obligation) dalam memenuhi (to fulfill), melindungi (to protect) dan menghargai (to respect) hak-hak dasar, ekonomi dan budaya warganya. Mandat negara untuk melaksanakan pelayanan sosial lebih kuat daripada masyarakat atau dunia usaha. Berdasarkan konvensi internasional, mandat negara dalam pelayanan sosial bersifat “wajib”. Sedangkan, mandat masyarakat dan dunia usaha dalam pelayanan sosial bersifat “tanggungjawab” (responsibility).
Oleh karena itu, dalam konteks kebijakan sosial yang berkeadilan, peran negara dan masyarakat tidak dalam posisi yang paradoksal. Melainkan, dua posisi yang bersinergi. Bahkan di Indonesia, komitmen dan peran negara dalam pelayanan sosial seharusnya diperkuat dan bukannya diperlemah, seperti diusulkan kaum neoliberalisme pemuja pasar bebas. Pada era desentralisasi sekarang ini, penguatan negara mencakup juga pembagian peran yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah Daerah (Pemda) diharapkan memiliki agenda kebijakan sosial yang sesuai dengan kondisi daerahnya. Pemberian wewenang yang lebih luas kepada Pemda tidak hanya dimaknakan sekadar peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) secara ekonomi, tanpa kepedulian terhadap penanganan “PAD” (Permasalahan Asli Daerah) secara sosial.
Menggugat kapitalisme
Setelah kapitalisme memonopoli hampir seluruh sistem ekonomi, kini semakin banyak pengamat yang menggugat apakah sistem yang didasari persaingan pasar bebas ini mampu menjawab berbagai permasalahan nasional maupun global. Masalah seperti perusakan lingkungan, meningkatnya kemiskinan, melebarnya kesenjangan sosial, meroketnya pengangguran, dan merebaknya pelanggaran HAM serta berbagai masalah degradasi moral lainnya ditengarai sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari beroperasinya sistem ekonomi kapitalistis.
Sinyalemen tersebut bukan tanpa bukti. Berdasarkan studinya di negara-negara berkembang, Haque dalam Restructuring Development Theories and Policies (1999) menunjukkan bahwa kapitalisme bukan saja telah gagal mengatasi krisis pembangunan, melainkan justeru lebih memperburuk kondisi sosial-ekonomi di Dunia Ketiga. Menurutnya, compared to the socioeconomic situation under the statist governmentts during the 1960s and 1970s, under the pro-market regimes of the 1980s and 1990s, the condition of poverty has worsened in many African and Latin American countries in terms of an increase in the number of people in poverty, and a decline in economic-growth rate, per capita income, and living standards (Haque, 1999:xi).
Menurut Rudolf Hickel, setelah kapitalisme mengalahkan semua lawannya, ia akan cenderung menjadi lupa diri karena tiadanya "tangan pengatur keadilan". Pemikir sosialis Jerman Robert Heilbroner kemudian mengajukan strategi bahwa perlawanan terhadap kapitalisme di masa depan seharusnya tidak diarahkan untuk membongkar total sistem ini, melainkan lebih diarahkan agar sistem yang "unggul" ini lebih berwajah manusiawi (compassionate capitalism). Contoh paling mirip dengan gagasan Heilbroner ini adalah diterapkannya sistem negara kesejahteraan (welfare state) khususnya di negara-negara Barat yang dikenal selama ini pendukung loyal kapitalisme. Di Eropa dan AS negara kesejahteraan diwujudkan dalam bentuk perlindungan negara terhadap masyarakat, terutama kelompok lemah seperti orang miskin, cacat, penganggur agar terhindar dari gilasan mesin kapitalisme.
Bapak-bapak pemikir besar dunia tentang konsep terjadinya sebuah negara: Thomas Hobbes, John Locke, Rosseau, ataupun Montesqieu bersependapat bahwa negara terlahir dari adanya sebuah ‘ikatan’. Ikatan yang dalam istilah Thomas Hobbes ataupun Locke dikatakan sebagai “Perjanjian masyarakat atau social contract”.
Konvensi Montevideo tahun 1933, lebih mengkonkretkan arti dari sebuah negara yang telah menjadi wacana pada tahun-tahun sebelumnya. Dimana perlunya pemenuhan syarat-syarat adanya sebuah negara, yaitu: (a) mempunyai penduduk yang tetap; (b) mempunyai wilayah tertentu; (c) adanya kekuasaan yang berdaulat.
Di lain pihak dalam perjalanannya, negara akan berinteraksi dengan negara-negara lain, seperti kita ketahui bahwa negara merupakan subjek hukum internasional yang paling kuat, hal tersebut terjadi karena adanya : “kedaulatan” atau sovereignty. Menurut Max Huber, kedaulatan teritorial digambarkan sebagai berikut: “Kedaulatan dalam hubungan antara negara-negara menandakan kemerdekaan. Kemerdekaan berkenaan dengan suatu bagian dari muka bumi ini adalah hak untuk melaksanakan didalamnya, tanpa campur tangan negara lain, fungsi-fungsi suatu negara.”
Begitu pula seperti apa yang terjadi dengan Negara kita, Indonesia. Dimana telah terjadi sebuah ‘kontrak sosial’ pada aras nasional pada 19 Agustus 1945, saat pembacaan proklamasi kemerdekaan diucapkan oleh Soekarno atas nama bangsa Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 menggungkapkan banyak hal mengenai hal tersebut diatas, terutama pada bagian Pembukaan (preambule).
Kesadaran akan pembentukan sebuah negara didasarkan kepada hak setiap bangsa serta berkat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan suatu pemerintahan Negara Indonesia yang berbentuk republik, dimana kedaulatan ada di tangan rakyat serta menjunjung tinggi hukum?
Revolusi Melalui Kertas Suara?
Banyak ketakutan yang bermunculan sehubungan dengan pemilu legislatif beberapa saat yang lalu dan salah satunya adalah ketakutan akan tidak terselenggaranya pemilu, termasuk pemilu Presiden dan wakil presiden mendatang sebagai akibat satu atau beberapa hal, akankah Negara Indonesia ini dapat dipertahankan? Atau dalam arti lain kita akan bubar sebagai negara kesatuan dan kemudian menentukan arahnya sendiri-sendiri.
Mengingat bahwa Pemilihan Umum adalah instrumen politik yang sangat stategis untuk menegakkan demokrasi pada setiap negara dan bukan saja sebuah acara seremonial belaka untuk memilih para wakil, tapi juga merupakan manifestasi dan memainkan peranan yang sangat signifikan bagi kehidupan politik masyarakat dan penegakan hak asasi manusia.
Dimana tujuan dari pemilu adalah sebagai berikut: (a) Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin dan alternatif dari kebijakan umum; (b) Sebagai mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui wakil-wakil rakyat terpilih atau melalui partai-partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi rakyat tetap terjamin; (c) Sebagai sarana memobilisasi dan atau mengalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.
Masih ingatkah kita semua ketika Negara Indonesia ini belum ada (sebelum 1945)? Benih-benih kesadaran akan arti berbangsa dan bernegara sangat dipegang dengan baik, peristiwa 28 Oktober 1928, mungkin menyegarkan bayangan kita semua bahwa sebelum Negara Indonesia lahir sebenarnya kita telah hidup dalam kesadaran akan bernegara.
Kesadaran-kesadaran yang mulai tumbuh juga seiring dengan tumbuhnya lembaga/institusi dimana lembaga tersebut berfungsi sebagai wadah dalam memayungi gerakan tersebut, ambil contoh, seperti yang telah diuraikan di atas semisal pergerakan Budi Utomo. Ada lagi Sarekat Islam, Indies Partai, Taman Siswa, Pasantren-pesantren di daerah-daerah (mungkin lebih spesifik kepada Nadhatul Ulama dan Muhammadyah), ataupun yang lainnya.
Mereka menenpatkan posisi mereka sebagai pilar-pilar dalam upaya pencapaian akan arti pentingnya kebangsaan dan kenegaraan, hal tersebut dapat berlangsung dengan baik karena mereka lebih dekat/menyentuh dengan masyarakat tanpa ada birokrasi yang harus dilalui. Namun sangat sayang, kondisi yang kondusif bagi lembaga/institusi tersebut diatas tidak berlangsung lama. Hal tersebut menurut Nick , dikarenakan oleh (1) krisis politik; (2) kebangkrutan ekonomi; (3) berubahnya haluan mereka kepada politik aliran dan pertarungan berbagai ideologi; serta diperparah dengan (4) Penguatan akan posisi negara yang terus melakukan intervensinya yang sangat mendalam.
Negara terlihat mempunyai rasa resistensi/mereduksi terhadap gerakan-gerakan tersebut, yang menurut penulis disalah artikan negara sebagai upaya untuk menyaingi posisi negara itu sendiri, sehingga tidak diperlukan lagi gerakan-gerakan seperti itu.
Sejatinya, negara harus memelihara keberadaan dari institusi/lembaga-lembaga tersebut, mengapa? Karena dengan terwujudnya keberagaman, kemandirian, dan kapasitas politik di dalam gerakan-gerakan (dapat muncul dalam sosok, misalnya, Lembaga Swadaya Masyarakat/Organisasi non-Pemerintah, organisasi sosial/keagamaaan, paguyuban-paguyuban, serta kelompok-kelompok kepentigan lainnya) tersebut, maka warga negara akan mampu mengimbangi serta mengontrol kekuatan negara.
Negara Kesejahteraan
Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith dalam Suharto (2008), ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak negara kesejahteraan” (father of welfare states).
Tokoh lain yang turut mempopulerkan sistem negara kesejahteraan adalah Sir William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963). Di Inggris, dalam laporannya mengenai Social Insurance and Allied Services, yang terkenal dengan nama Beveridge Report, Beveridge menyebut want, squalor, ignorance, disease dan idleness sebagai ‘the five giant evils’ yang harus diperangi (Spicker, 1995; Bessant, et al, 2006). Dalam laporan itu, Beveridge mengusulkan sebuah sistem asuransi sosial komprehensif yang dipandangnya mampu melindungi orang dari buaian hingga liang lahat (from cradle to grave). Pengaruh laporan Beveridge tidak hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke negaranegara lain di Eropa dan bahkan hingga ke AS dan kemudian menjadi dasar bagi pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara tersebut. Sayangnya, sistem ini memiliki kekurangan. Karena berpijak pada prinsip dan skema asuransi, ia tidak dapat mencakup resiko-resiko yang dihadapi manusia terutama jika mereka tidak mampu membayar kontribusi (premi).
Pengertian negara kesejahteraan mengacu pada peran pemerintah yang responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya (lihat Suharto,2008). Konsep ini dipandang sebagai bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat setelah mencuatnya bukti-bukti empirik mengenai kegagalan pasar (market failure) pada masyarakat kapitalis dan kegagalan negara (state failure) pada masyarakat sosialis (lihat Husodo, 2006).
Menurt Suharto (2007), sedikitnya ada empat model negara kesejahteraan yang hingga kini masih beroperasi
Model Universal. Pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik kaya maupun miskin. Model ini sering disebut sebagai the Scandinavian Welfare States yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Sebagai contoh, Negara kesejahteraan di Swedia sering dijadikan rujukan sebagai model ideal yang memberikan pelayanan sosial komprehensif kepada seluruh penduduknya. Negara kesejahteraan di Swedia sering dipandang sebagai model yang paling berkembang dan lebih maju daripada model di Inggris, AS dan Australia.
Model Korporasi atau Work Merit Welfare States. Seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Model yang dianut oleh Jerman dan Austria ini sering disebut sebagai Model Bismarck, karena idenya pertama kali dikembangkan oleh Otto von Bismarck dari Jerman.
Model Residual. Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Ada tiga elemen yang menandai model ini di Inggris: (a) jaminan standar minimum, termasuk pendapatan minimum; (b) perlindungan sosial pada saat munculnya resiko-resiko; dan (c) pemberian pelayanan sebaik mungkin. Model ini mirip model universal yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas. Namun, seperti yang dipraktekkan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan relatif lebih kecil dan berjangka pendek daripada model universal. Perlindungan sosial dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien.
Model Minimal. Model ini umumnya diterapkan di gugus negara-negara latin (seperti Spanyol, Italia, Chile, Brazil) dan Asia (antara lain Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Model ini ditandai oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta yang mampu membayar premi. Di lihat dari landasan konstitusional seperti UUD 1945, UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang masih kecil, maka Indonesia dapat dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan model ini.
Pertemuan Negara dan Pemerintah
Perkembangan lebih lanjut mengenai pemaknaan atas negara menjadi pembicaraan lebih mendalam dari Hagel, Karl Marx, Gramsci, Woodrow Wilson, Hans Kelsen, ataupun pemikir-pemikir lainnya. Menurut Hagel sendiri, negara merupakan semacam roh kemuliaan yang besar yang akan membawa manusia ke arah kemakmuran. Hal tersebut dapat diartikan bahwa manusia baik secara individu maupun berkelompok harus tunduk kepada negara yang merupakan representasi dari roh kemuliaan besar tersebut agar tercipta apa yang diiginkan, yaitu kemakmuran. Hal tersebut dapat kita lihat menjadi dasar utama bagi kaum Hegelian (pengikut ajaran Hagel) dalam penekanan mereka tentang arti pentingnya sebuah negara.
Kritik keras akan keberadaan negara sekaligus mengkontra apa yang menjadi pemikiran Hegel dilontarkan oleh Karl Marx. Dimana Marx mengungkapkan bahwa masyarakat tidak perlu tunduk kepada negara, karena negara tidak berposisi diatas masyarakat tapi lebih kepada alat belaka yang digunakan oleh penguasa untuk menindas yang dikuasainya .
Dalam perkembangan kemudian perihal Negara dan Pemerintah diatas menurut penulis akhirnya menjadi lebih mengerucut pada satu konsep pemikiran dari Hans Kelsen mengenai Negara Kesejahteraan. Yang dimaksud dengan negara kesejahteraan menurut ide dari Hans Kelsen adalah negara yang banyak mencampuri dan menyelenggarakan kepentingan masyarakat (negara administrative).
Lebih lanjut dipaparkan bahwa tindakan administrative tersebut harus dilakukan dengan sebuah hukum, atau dalam istilah kerennya konstitusi, dimana dalam memuat segala tetek bengek masalah ketatanegaraan (fungsi, wewenang, tanggungjawab,…) serta mengatur juga perihal negara dan warga negaranya. Yang dalam bahasa penulis dapat dikatakan sebagai aturan main baku/birokrasi, yang menjadi batasan-batasan bagi keduanya, baik bagi negara dan pemerintah juga warga negaranya.
Namun pada kondisi seperti inilah, dimana mayarakat memberikan kewenangan/kekuasaan kepada pemerintah (yang merupakan pengejawantahan dari negara), tercipta suatu ketakutan yang disampaikan oleh Marx. Dalam hal tersebut, hukum (konstitusi) dapat berubah menjadi alat kekuasaan politik dalam upaya mengontrol masyarakat yang kemudian akan berpotensi disalah artiakan oleh pemerintah sebagai bentuk klaim atas pembenaran terhadap semua tindakannya .
Ketakutan Marx yang menurut penulis sangat beralasan dan masuk akal, karena kekuasaan yang diberikan masyarakat kepada negara dalam rangka mengatur masyarakat tersebut kerap kali tidak mampu memenuhi keinginan masyarakat sebagai akibat dari peyelewengan kekuasaan oleh negara. Namun mampukah masyarakat yang notabene sebagai pemberi kekuasaan kepada negara tersebut mencabut kembali mandatnya? Menurut teori yang dikemukakan oleh John Locke mengenai pertanyaan tersebut dia berpendapat bahwa masyarakat mempunyai hak untuk menumbangkan negara jika negara tidak mampu lagi menyelenggarakan kekuasaan tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan yang sangat kritis dapat dilayangkan sehubungan dengan pernyataan dari John Locke tersebut, seperti: (1) Apa yang akan terjadi terhadap negara jika masyarakat bersepakat untuk mencabut kekuasaan negara? (2) Bisakah masyarakat hidup tanpa adanya negara? Ataupun (3) Adakah bentuk/varian lain yang mampu mengimbangi peran dari sebuah negara? Serta kita dapat mengumpulkan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang berhubungan dengan hal tersebut.
Islam dan Negara Kesejahteraan
Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa :
”Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan. zakat, orang-orang yang menpati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” QS, Al-Baqarah: 177
Islam, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Al-Baqarah di atas, sejatinya memiliki nilai mengenai pentingnya kesejahteraan masyarakat ketimbang sekadar menghadapkan wajah kita ke barat atau timur dalam shalat. Tanpa memarginalkan pentingnya shalat, Al-Qur’an mengintegrasikan makna dan tujuan shalat dengan kebijakan dan perhatian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain memberi pesan tentang keimanan, Al-Qur’an mengingatkan penganutnya bahwa pernyataan keimanan kepada Allah, KitabNya, dan Hari Kiamat saja tidaklah cukup jika tidak disertai dengan kepedulian dan pelayanan kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan musafir serta menjamin kesejahteraan mereka yang membutuhkan pertolongan.
Pada puncaknya, Islam bertujuan menciptakan sebuah sistem dimana prinsip keadilan berada di atas keuntungan segelintir atau sekelompok orang. Sistem ekonomi Islam, misalnya, memiliki dua tujuan: memerangi kemiskinan dan menciptakan distribusi kekayaan yang adil secara ekonomi dan sosial. Negara melakukan hal ini melalui berbagai mekanisme sukarela maupun wajib. Diantaranya melalui :
1. Zakat
Zakat adalah sumber dana pembangunan dalam Islam dan memiliki kedudukan istimewa. Bukan saja diwajibkan, melainkan merupakan salah satu Rukun Islam. Zakat adalah instrumen penting kesejahteraan dalam Islam. Diwajibkannya zakat mencerminkan kebijakan (sosial) negara. Sebagai kebijakan negara, alokasi pajak harus mengacu pada hajat hidup orang banyak. Negara harus adil, tegas dan transparan dalam mengelola Zakat. Peruntukan zakat sejatinya untuk rakyat banyak, terutama yang lemah dan mengalami kesulitan.
Negara harus berpihak pada kelompok ini, bukan pada segelintir kelompok kuat. Kaum elit biasanya jumlahnya sedikit, namun kuat dan kaya. Negara tidak perlu berpihak kepada mereka, karena mereka mampu mengurus dirinya sendiri.Istilah zakat memiliki kesamaan dengan sedekah yang oleh sebagian ulama didefinisikan sebagai ”pajak negara terhadap muslim”, karena mencakup ”kontribusi” yang harus dibayar oleh muslim kepada pemerintah terkait dengan usaha pertanian, peternakan, pertambangan, perdagangan, industri, tabungan, dan profesi (lihat Ali, 2007).
2. Jaminan sosial
Sementara negara-negara Eropa belum memiliki asuransi pengangguran (unemployment insurance) hingga akhir Abad ke-19, Dunia Islam telah memilikinya sejak awal. Ketika seseorang terluka atau kehilangan kemampuannya untuk bekerja, mereka kemudian menjadi tanggungan negara untuk memastikan bahwa kebutuhan dasarnya terpenuhi. Dia dan keluarganya memperoleh tunjangan dari dana publik (Hamid, 2008).
Hanya resiko-resiko yang berat saja yang menjadi objek asuransi dan inipun berbeda sesuai dengan waktu dan kondisi sosial. Semasa Islam mulai masuk di masyarakat Arab, penyakit-penyakit keseharian belum dikenal dan biaya perawatan medis hampir tidak pernah menjadi persoalan. Kebanyakan keluarga membangun rumahnya tanpa bantuan orang lain dan tidak memerlukan biaya bahkan untuk sebagian besar bahan bangunan. Karenanya, mudah dimengerti mengapa saat itu belum ada kebutuhan akan asuransi kesehatan, kebakaran dst.
Sementara itu, asuransi untuk penawanan dan pembunuhan merupakan kebutuhan bahkan semenjak pemerintahan Rasulullah SAW. Berbagai skema jaminan sosial juga sudah mulai dibuat, meskipun masih bersifat fleksibel dan terbuka bagi perkembangan dan penyesuaian. Dalam konstitusi Kota Madinah pada tahun awal hijrah, asuransi seperti ini dinamakan ma’aqil mekanismenya adalah : jika seseorang menjadi tawanan perang, tebusan diperlukan untuk memperoleh kebebasannya. Serupa dengan itu, semua bentuk penyiksaan badan atau pembunuhan harus ditebus dengan pembayaran kerusakan/kerugian atau uang darah (Ali, 2008).
Nabi sendiri mengorganisasi asuransi ini berdasarkan prinsip saling tolong-menolong.Para anggota suku dapat menunjuk kepala bendahara dari sukunya sendiri dan setiap orang harus memberikan kontribusi sesuai kemampuannya. Jika bendahara dari suatu suku dianggap kurang cakap, suku-suku yang bersaudara atau berdekatan memiliki kewajiban memberi bantuan. Hirarki juga disusun untuk mengatur unit-unit sehingga berjalan secara sinergis.
Kemudian pada masa Khalifah Umar bin Khatab, mutualitas dan unit-unit asuransi diatur berdasarkan profesi, administrasi sipil atau militer, serta wilayah. Pemerintah pusat atau provinsi memberi bantuan dan dukungan dana terhadap unit-unit tersebut berdasarkan peraturan anggaran belanja negara yang telah ditetapkan. Asuransi pada masa itu sudah mencerminkan prinsip gotong-royong dalam meringankan resiko-resiko yang dihadapi anggota masyarakat seperti prinsip asuransi modern saat ini. Tetapi, berbeda dengan perusahaan asuransi kapitalistik, asuransi Islam mengatur mekanismenya berdasarkan prinsip kebersamaan dan kerja sama yang saling menguntungkan yang ditopang oleh gradasi piramida unit-unit asuransi yang kemudian memuncak di pemerintahan pusat.
Pada masa Pemerintahan Umar, lembaga sosial berhasil membentuk skema asuransi pensiun (Ali, 2008). Asuransi ini mencakup semua penduduk termasuk non-muslim. Semenjak seorang bayi dilahirkan, dia sudah memiliki hak untuk memperoleh asuransi pensiun. Orang dewasa memperoleh tunjangan minimum yang cukup untuk hidup. Selain asuransi, jaminan sosial juga dapat berbentuk bantuan sosial, terutama bagi mereka yang dikategorikan miskin dan cacat yang tidak potensial.
Khalifah Umar melakukan ini dengan menentukan standar hidup minimum yang kelak menjadi rujukan dalam membuat garis kemiskinan (poverty line). Saat itu, selain menerima tunjangan uang, orang miskin menerima sekitar 50 kg terigu setiap bulannya. Untuk menghindari ketergantungan, mengemis dan bermalas-malasan tidak diberi toleransi. Mereka yang menerima bantuan sosial pemerintah diupayakan untuk dapat memberi kontribusi kepada masyarakat.
Daftar Pustaka
Ali, Syed Mumtaz (2008), Social Welfare: A Basic Islamic Value, http://muslimcanada.org/welfare.htm (diakses 10 Januari 2008)
Hamid, Shahid (2008), An Islamic Alternative? Equality, Redistributive Justice, and The Welfare State in the Caliphate of Umar (Rta), www.renaissance.com.pk/ (diakses12 Januari 2008)
Harris, John (1999), “State Social Work and Social Citizenship in Britain: From Clientelism to Consumerism” dalam The British Journal of Social Work, Vol.29,No.6, halaman 915-937
Husodo, Siswono Yudo (2006), “Membangun Negara Kesejahteraan”, makalah disampaikan pada Seminar Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan melalui Desentralisasi-Otonomi di Indonesia, Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta, Wisma MM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25 Juli 2006.
Spicker, Paul (1995), Social Policy: Themes and Approaches, London: Prentice Hall
------------------(2002), Poverty and the Welfare State: Dispelling the Myths, London: Catalyst
Sudewo, Erie (2008), Politik Ziswaf: Kumpulan Essay, Jakarta: Circle of Information and Development
Suharto, Edi (2007), Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik: Peran Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan di Indonesia, Bandung: Alfabeta
----------------(2006), Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (cetakan ketiga), Bandung: Alfabeta
-----------------, (2008), Islam dan Negara Kesejahteraan, Makalah yang disampaikan pada Pengkaderan Darul Arqam (DAP), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Jakarta 8 Januari 2008
Anthony.J.S. Reid, 1996, “Revolusi Nasional Indonesia”, Pustaka Sinar Harapan, Indonesia.
Audrey Kahin, 2005, “Dari Pemberontakan Ke Integrasi; Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998”, Yayasan Obor Indoensia Jakarta.
C. Wright Mills, 2003, “Kaum Marxis; Ide-ide Dasar dan Sejarah Perkembangan”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Douglas Kellner, 2003, “Teori Sosial Radikal”, Syarikat Indonesia, Yogyakarta.
Francois Furet & Denis Richet, 1989, “Revolusi Prancis” Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
George Mc Turnan Kahin, 1995, “Nasionalisme dan Revolusi Di Indonesia”, Sebelas Maret University Press & Pustaka Sinar Harapan, Jakrata.
Munafrizal Manan, 2005, “Gerakan Rakyat Melawan Elit”, Resist Book, Yogyakarta.
Piotr Sztompka, 2005, “Sosiologi Perubahan Sosial”, Prenada Media, Jakarta.
Roger Eatwell & Anthony Wright (ed) 2001, “Contemporary Political Ideologies”, Continuum, London dan New York.
Ted Grant dan Alan Woods, 1998. “Indonesia: Revolusi Asia Telah Dimulai” Indomarxis.Net.
Theda Skockpol, 1995 “Social Revolution in the Modern World”, New York; Cambridge University Press
Tabloid Pembebasan, 2004, “Sneevliet: Dari Belanda Menebar Benih Radikalisme di Indonesia”, Indomarxist.Net.
Umaruddin Masdar, “Pemilu 2004 dan Revolusi Sosial”, Kedaulatan Rakyat, 13 Februari 2004
Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002
Wiiliam F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff: Sociology, edisi ke-4, A. Feffer dan Simons International University Edition, 1964, bagian 7.
H. Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, Rineka Cipta, Semarang, 1997
Revolusi dikutip dari Nurus Shalihin Djamra dalam jurnal Ijtihad, Vol. XI, No.1, 2007
Potret Kesejahteraan di Indonesia dan Negara dan Kebijakan Sosial dikutip dari artikel Islam dan Negara Kesejahteraan. Edi Suharto Disampaikan pada Perkaderan Darul Arqom Paripurna (DAP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Tahun 2008, Jakarta 18 Januari 2008.
Menggugat Kapitalisme dikutip dari Edi Suharto Tuesday, 22 January 2008 http://www.pmb.or.id

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id