Kamis, 12 November 2009

"Kami" Lahir, "Aku" Mati

Ada yang menarik dan terungkap dalam acara diskusi dan bedah buku “Kita and Kami : The Basic Modes Of Togetherness” karya Prof. Dr. Fuad Hasan –Guru Besar Fakultas Psikologi UI- (Pada Kompas 1 April 2006). Fuad dalam karyanya tersebut menyatakan bahwa berbagai sengketa yang kita hadapi secara sosial, kolektif ataupun individual seringkali disebabkan karena kegagalan kita menerima orang lain sebagai orang lain tanpa mereduksinya.
Sebagai pembahas dalam diskusi tersebut Dr. Haryatmoko –Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI- menjelaskan bahwa pertentangan antar agama yang terjadi selama ini dapat disoroti dengan mode kebersamaan “kami” itu. Yakni dimana dalam sengketa antar agama orang-orang agama cenderung masuk dalam kebersamaan “kami” bukan pada kebersamaan “kita”. Hubungan kebersamaan dalam mode “kami” dibangun atas pengalaman dimana yang lain tidak termasuk dalam kebersamaan. Hal ini mengakibatkan kebersamaan tersebut selalu dalam potensi konflik.
Adapun dalam hubungan kebersamaan dalam “kita” dibangun atas dasar kesalingan, tidak mengarah kepada komunikasi manipulatif dengan demikian hasilnya adalah kebebasan dan tanggung jawab yang eksistensinya menjadi bermakna lewat dialog dengan yang lain. Dalam “kita”, yang lain dianggap sebagai mitra yang membantu mencapai kebersamaan yang tulus dan saling membantu melampaui konflik kepentingan.
Sedangkan makna kebersamaan dalam “kami” adalah suaka untuk melarikan diri dari situasi yang melingkupi dirinya, yang tidak mampu mengaktualisasi diri, tidak mau menerima tanggung jawab atau eksistensi dirinya dan substitusi bagi ketidakmampuan individu dalam dunia ”kita” dengan yang lain. Hal ini berakibat pada tunduknya secara totalitas terhadap otoritas, konformisme hingga pada destruksi diri.
Dalam “kita” terkandung kebebasan dan tanggung jawab yang mengarah kepada koloni individu muncul secara bertahap kesuatu “diri” dan sadar akan eksistensi dirinya. Wal hasil adalah afirmasi diri yang mengacu kepada keberanian untuk menjadi bagian kebersamaan.
Dari sinilah kita dapat membaca tentang adanya suatu kesulitan-kesulitan pengidentifikasian yang dapat melahirkan kondisi psikologis yang membuat seorang manusia malah dengan berani melenyapkan sang “aku” atau malah melenyapkan orang lain. Hal tersebut oleh Radhar Panca Dhana (2001) diidentifikasi lebih diakibatkan dari hasil warisan tradisi ketimbang sebuah problemasi filsafat. Dimana konsep “aku” hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki kekuatan (sosial, politik, ekonomi dan militer) bahkan akhirnya dianggap supranatural. Oleh sang “aku” ini, manusia lain dianggap hanyalah sahaya, awam, kerumunan, seperti yang sering kita alami. Membahasakan “aku” selalu dengan bahasa plural “kami” padahal ia menunjuk personal tunggal. Sebuah contoh yang memperlihatkan bagaimana kita tidak lagi memiliki perangkat (intelektual atau psikologis) yang cukup untuk melihat kenyataan sang “aku” kecuali melalui refleksi sang “kami” (masa atau orang lain).
Maka sang “aku” pun lahir untuk dilenyapkan dengan sang “kami” habitus baru kita menyatakan bahwa massa atau masyarakat tidak bersalah, maka seluruh kejadian, segala bentuk kekerasan dan kekejaman jikalau ia mengatasnamakan “kami” baik itu atas etnik, ras, agama, partai, organisasi masyarakat, dan lainnya hal tersebut disahkan. Secara sosiologis, massa bermakna kerumunan orang dalam jumlah besar. Dulu, massa merujuk pada mayoritas masyarakat Eropa yang tidak terpelajar, atau kalangan yang sering disebut “kelas menengah kebawah”, “kelas pekerja” atau ”kaum awam”. Dan hal tersebut nampaknya lebih berkonotasi negatif.
Adalah seorang pencetus psikologi massa, Gustav Le Bon, mengidentifikasi massa sebagai kerumunan orang yang tidak dapat dipilah-pilah. Lebur menjadi satu. Lebon dengan demikian menyatakan bahwa massa adalah gerombolan manusia yang tidak lagi mampu perpegang pada norma, nilai, etika, agama atau apapun, ketidakmampuan untuk memegang kepercayaan menguasai semangat massa. Jika ada yang memulai tindak destruktif, maka semua anggota massa akan mengikutinya secara kompak dan akur. Kekaburan akan tanggung jawab orang per orang inilah yang barangkali disebabkan oleh hilangnya identitas ke”aku”an sebagai pribadi, personal tunggal.
Massa kata Jean Baudrillard bagaikan balck hole (lubang hitam) yang senantiasa menyosor lambat laun, mereka menjadi “gembrot” dan tergeletak layu, layaknya orang yang kekenyangan. Hubungan sosial sebagai salah satu daya sosial menjadin sirna. Ibarat laron, disaat cahaya panas memancar, laron akan beterbangan mengitarinya seraya menikmati kehangatannya, namun dalam euphoria kehangatan itu pula laron-laron ini gosong terbakar menemui ajal.
Musa kazim (2001) mengemukakan ciri-ciri kebudayaan massa sebagai berikut : pertama, pelaku kebudayaan hanya menjadi obyek (terobjektivasi). Hal ini berarti manusia ialah mahluk pasif, tidak berfikir dan selalu mengandalkanpetunjuk-petunjuk empiris (eksternal) untuk merumuskan konsep-konsep hidup. Ia akan selalu mengambil kesimpulan tentang dirinya dari prilaku yang nampak. Hal ini seperti kasus seorang pegawai yang merasa tidak bersalah menyelewengkan uang kantor setelah mengetahui peristiwa serupa juga dilakukan oleh atasannya. Wajar. Kedua, pelaku mengalami alienasi yakni merasa asing dari dan dalam lingkungannya. Bukankah untuk hal ini, kita juga menyadari bahwa manusia modern pada umumnya merasakan ada didunia, tapi tidak merasakan menjadi bagian dari ‘dunia’. Dunia disini mencakup orang lain, sanak kerabat, institusi, masyarakat alam dan lingkungan hidup. Terdapat kebingungan mendasar tentang bagaimana menjalani hidup, mengemban amanah. Bahkan kepekaan terhadap amanah apa, bagaimana, mengapa dan siapa, lambat laun menghilang (Q.S. Al Ahzab ayat 72).
Ketiga, pembodohan terjadi karena waktu yang terbatas tanpa ada pengalaman baru yang dapat dipetik sebagai pelajaran hidup yang berguna. Sebagaimana yang dituangkan oleh Zohar dan Ian Marshall (Dalam Musa kazim, 2001) bahwa kita buta pada tataran symbol dan makna yang lebih mendalam. Hal ini diakibatkan oleh kedunguan manusia secara spiritual terhadap nilai-nilai fundamental. Kita memang tidak buta warna, tetapi hampir pasti kita buta makna.
Setelah menanggapi kesimpulan di atas, Sapardi Djoko Darmono menyatakan bahwa, kebudayaan massa diproduksi secara besar-besaran dengan perhitungan dagang, untung-rugi dan cenderung merusak kebudayaan yang lebih edukatif dengan cara meminjam, mencuri, memperalat dan menghisap. Potensi selanjutnya ia menampakkan pengaruh yang sangat buruk yang pada akhirnya hal tersebut akan berpengaruh pada kepasipan dan sensitivitas untuk mempertahankan status quo. Hingga titik ini, kematian sang “aku” semakin terasa dipercepat oleh masuknya alam pikiran rasional Barat, lewat ilmu dan filsafat, lewat modernisasi dari dalam rahim materialisme, humanisme dan kapitalisme modern.
Sejarah bangsa kita memang tidak mengenal proklamasi politik atau etik yang menegaskan eksistensi sang “aku” namun bukan tidak ada sama sekali, perlawanan melawan dominasi diri absolute raja sebagaimana yang dilakukan Ken Arok, hingga Chairil Anwar menyerukan sang “aku” melalui sajaknya. Chairil lah yang satu-satunya mengibarkan bendera sang “aku” untuk sebuah pembebasan dari belenggu yang lebih kuat, massa, sang “kami”. Kitapun diingatkan oleh Descartes dengan cogito ergosumnya, Nietzche dengan uebermansch nya atau sarte lewat eksistensialismenya. (Manjadi Manusia Indonesia, Radhar Pancha Dhana. 2001).
Melalui refleksi itulah kita kembali harus belajar. Setidaknya beberapa hal tersebut di atas juga turut andil dalam menimbulkan kesemerawutan kehidupan sosial, politik, budaya dan sifat arogansi yang kontra produktif. Hal ini setidaknya dilatarbelakangi pula oleh anggapan, pertama, anggapan yang menganggap bahwa kita adalah kerumunan massa dalam sang “kami” yang dapat dibentuk menjadi apa saja sesuai dengan arah (kehendak) program kebijakan. Kedua, anggapan bahwa dengan bebas sang “aku” dan sang “kami” dapat membentuk kehidupan menurut kemauan sang “aku” masing-masing. Karena itu berbagai persoalan yang kita hadapi hanya mungkin di atasi dengan perubahan dalam persfektif sang “aku” untuk masing-masing pribadi.
Kedua kecendrungan tersebut tidak sepenuhnya keliru, tetapi juga terdapat sesuatu yang kurang. Dengan demikian kita dengan sejujurnya dapat menyatakan bahwa sang “aku” kini tidak lagi utuh, ia disempurnakan oleh “kami”, massa. Lalu bagaimana sang “aku” meski menerjemahkan dan mengaktualisasikan eksistensi dalam sang “kami”. Dalam hal ini ketidakharusaan sang “aku” untuk menerima pernyataan-pernyataan politik, kebudayaan, kekuasaan ekonomi, intelektual bahkan tradisi menjadi hal yang tak terbantahkan. Dalam pemahaman ini tiap sang “aku” diberikan kepercayaan untuk menegakkan eksistensi ke”aku”annya, lewat caranya sendiri. Disamping menciptakan ruang dan alat komunikasi yang memadai dari setiap karya kreatif.
Hingga titik ini kita tidak perlu lagi memandang psimis pada bahasa yang mengalami kesulitan serius untuk melakukan diskursus yang mampu mengejawantahkan atau menciptakan kenyataan, sebagaimana diyakini kaum strukturalis bahkan ditingkat spekulatif sekalipun. Menghadapi situasi demikian, alangkah baiknya kita kembali belajar menjadi sang “aku” tanpa teralienasi oleh sang “kami” bukan karena ego, namun lebih kearah penunjukkan eksistensi diri. Diri yang bertanggung jawab, diri yang bebas hirarki, diri yang proporsional dan professional menggunakan bahasa dalam hubungannya dengan interaksi sesama.
Bukan sang “kami” dalam pelarian dan ketidakmampuan, dalam ketidakbertanggungjawaban, atau dalam kekerdilan jiwa yang teralienasi. Melalui proses sang “aku” yang sungguh-sungguh inilah kita dapat mengharapkan hasilnya, walau tentu masih sekian lama. Bisakah proses itu menumbuhkembangkan kesadaran kita, selaku sang “aku” yang sebenarnya, mau tak mau sang “aku” yang harus menentukan.

Kesadaran

Berjalan dipelataran parkir, sebuah bangunan Tuhan, memandang seonggok kemanusiaan yang dikelilingi nafas-nafas berperasaan. Saat ini, sebuah wajah terselimuti kafan dengan lalat-lalat beterbangan menikmati aroma yang menebar, busuk, tak berdetak, kaku, satu hari lalu ia menghadap Penguasa Alam, dengan badan gemetar, tubuh kering kerontang karena tak sebutir nasipun yang dapat ditelan. Siapa yang mengaku bertanggung jawab? Yang hadir menyaksikan? Semua diam, tak satupun menjawab, bisu.
Jika dengan itu kamu, dan semua menghindar, acuh, lalu siapa? Ataukah aku yang akan menjawab sebagian atau seluruh pertanyaan dengan beban yang kian terasa berat dipundak, tanggung jawab, pertanggungjawaban, dengannya untuk hanya bernapaspun aku tak bisa atau hanya untuk rebah melanjutkan istirahat dengan mimpi yang masih tertunda. Tangis dan tetesan air mata menjadi satu jawaban penting untuk hanya mengurangi beban, saat sebuah keberdayaan akan ganasnya melanghkah menuju sebuah peradaban yang dinamakan Zaman Modern yang begitu tinggi dengan tehnologi sebagai aktor utamanya yang hendak bercita-cita menjadi Tuhan dengan menundukkan ruang dan waktu dan juga jarak sebagai derivatnya. Ironi puncak ketinggian itu kini tak terkendali.
Manusia, yang diidentifikasi dalam zaman modern sebagai suatu mahluk yang memiliki perut buncit, berkaca mata tebal dengan kaki dan tangan yang kurus dan kepala yang botak, laki-laki dan perempuan sebagai lakon kebingungan dengan jenis kelamin sendiri, terbuai oleh sayur mayur pupuk dan insektisida buatan, dalam kedamaian dan harmoni, sedikit demi sedikit menghancurkan, mematikan, bagai kanker ganas dijasad tiap insan, di taman, kereta, bus, pesawat dan itu wajar, lumrah dianggap biasa sebagai Dalam Kebersamaan, dan dengan itu apa arti pandangan universal bahwa kebebasan individu bersinggungan atau bahkan dibatasi oleh kebebasan individu yang lain.
Dengan santun dan hangat ucapan mesra terlantun, dari sudut-sudut pinggir taman kota, pojok gelap kamar kos remaja, megah hotel berbintang dan disini disekitar Rumah Suci dekat apartemen sahabat karib lama yang kini terbaring dalam ruang kamar hitam putih disekilingnya, apartemen 53X, apa yang tersimpan kini dalam kotak-kotak sangkar merpati, kotak es, dingin, membeku. Tak peduli.
Melangkah kembali disinari cahaya lampu kelap-kelip kehidupan, hitam putih, biru merah, dengan dikotomi melantunkan sebuah tujuan, kesenangan, kenikmatan dengan pasangan lain, pria atau wanita idaman lain, tanpa terikat tali penyucian, dengan alasan mengagumkan dendam dan penghianatan atau keluh kesah terhadap kekurangan, tanpa peduli perih tangis sang bayi, ikatan suci dalam janji, persetan!, jenuh atas penyelewengan satu kata sakti…. Cinta. Dan kini bagaimana kaum muda mendendangkan rindu dalam sudut-sudut kamar dengan pasangan yang mengayuh jarak 1001 kilo hanya untuk bertemu, melantunkan kerinduan, kangen karena lama tak bersua, mengayuh dayung asmara, ditemani butir-butir pil setan atau seperangkat alat kontrasepsi yang telah dipersiapkan. Tak puas, tak perduli jalan-jalan mengukur kelelahan, bersanding dalam keramaian, dalam kerumunan, dalam tatapan tiap kepala keheranan mempertontonkan kewajaran dalam peradaban modern, berpelukan, berciuman untuk sebuah kata perpisahan, untuk pertemuan kembali disudut halte bis atau stasiun kereta jurusan pasar minggu.
Dengan ihklas siapa yang akan menerima? Sarte kah, Jhon Lenon, Mic Jagger, Madonna atau Jannet Jackson? Dalam bait terlantun Tuhan telah mati, Tuhan telah bosan, ini apa?, sumbangan Netse kah? Ataukah akibat lantunan tembang rahasia tersembunyi perempuan? Ataukah akibat aksi para aktivis Vagina Monolog? Dengan mata keranjang dan pembalasan kaum Adam yang beralasan akibat transparansi kaum Hawa ataukah pembelaan kaum hawa akibat pelecehan terhadap hak asasi kaum hawa terhadap lawan jenisnya, semua mengobok-obok tak perduli tanpa mampu mengganjar setimpal, inikah akibat kita tak belajar dengan benar? Bukankah Tuhan telah menggariskan rambu-rambu, telah ditetapkan ini untukmu dan itu untukku, dan jika itu akibatnya tak ada yang mampu mengganjar setimpal!.
Skularisme tanpa mampu mengartikan maknanya sendiri, menilai dan membenci agama (Islam) dengan sekehendaknya. Kritis, namun sangat ironis, hanya mencari pembenaran atas pandangan Huntington, tak perduli, tanpa melihat konstribusi agama dalam membangun peradaban. Sebagian menyerah kalah, sebagian kontra produktif, tak mampu membendung hidangan kenikmatan yang disuguhkan bumi, kata sakti Iqbal tak menggugah untuk hanya tidak larut dalam kekaguman pada bangsa barat “tempalah tembikarmu dari lempungmu sendiri”.
Sebagian lain larut dalam kedunguan dan kelambanan larut dalam secuil pengetahuan, hanya ketahuan, tak perduli retorika yang memperbudak dengan kehalusan dan tak menerima ajaran Qur’ani memperlakukan manusia bagai hewan, dirajam bagai sais yang otoriter kepada si keledai.
Meta analisa dari dua peradaban, Timur dan Barat dengan daya tahan kuat dalam menghadapi bencana, daya jelajah dan kekuatan laju rendah, sedangkan Barat dengan mengagungkan materialisme telah mampu menciptakan lakon-lakon baru yang hidonistik yang menomorduakan faham-faham langit dengan laju cepat dan daya tahan rendah. Lalu yang menerima? Menyebabkan korupsi tumbuh subur dinegeri sendiri dalam birokrasi dan pelayanan publik, semisal haji, apakah karena sikap “nrima” yang tak ditempatkan secara proporsional, yang ditekan oleh doktrin Q.S. Al Baqarah ayat 197 yang artinya “tidak berkata sembarang, tidak berbuat fasik dan tidak berdebat dalam haji” bukankah amar ma’ruf nahyi munkar meski ditegakkan, dimana keadilan itu?
Dengan label liberalisme, relativasi ajaran dihidangkan atas nama rahmatanlilalamin-nya umat. Jika kesesuaian ajaran langit telah dimodifikasi, interpolasi oleh oknum dengan kepentingan dibaliknya. Apakah nurani dapat tergugah karenanya? Selain mata tajam ketakpercayaan, buruk sangka, iri, dengi. Dan jika angan dibawah telah tak mampu membali “maka berbahagialah mereka yang berkata ‘ikutilah orang-orang yang tidak meminta upah kepada kalian dan mereka mendapat petunjuk” (Q.S. 36:21). Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.
Dan bagi mereka yang membeo, tak ada yang istimewa dan cerah senyum keikhlasan pun tak pernah ada selain mengkambinghitamkan ajaran Nabi Muhammad saw, sebagai agama kebodohan dan kekejaman, kotor dan miskin. Dengan bermuka topeng mereka tampil ditengah masyarakat. Wajah para santri dipedesaan, muka para kuli diperempatan, glodok, pasar malam, atau muka para bang napi dan preman di perkotaan dan ia hanya dapat diidentifikasi dengan satu kata agama yang tak pernah mau melakukan. Murtad. Dan sebuah kata, Magnis Suseno; Busuk.
Jika gajah mati meninggalkan gading, dan singa mati meninggalkan belang, lalu kita? Mengapa meski malu? Akankah kita jadikan Tuhan sebagai tertuduh, ia tak bisa dihujat itu kepastian, ia tak keliru itu kelurusan akal, meminjam lisan Rahmat Abdullah. Ataukah dengan lancang kita meski mengatakan seharusnya begini. Seharusnya begitu dengan sadar atau tidak terus terzalimi.
Karenanya mari bekerjasama! Dalam kebaikan, bukankah Ali r.a. Mewasiatkan bahwa kebaikan yang terorganisir akan hancur oleh kezaliman yang terorganisir. Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan takwa dan tidak sebaliknya, dalam permusuhan dan perpecahan.

Minggu, 08 November 2009

Korupsi dan Agama

Perang media cicak (KPK) versus buaya (Polri), seakan makin membuktikan bahwa gejala korupsi di negeri ini makin hari makin akut. Indonesia sebagai yang Negara mayoritas penduduknya muslim tentu merasa miris membaca laporan bahwa Indonesia adalah salah satu di antara lima Negara terkorup di dunia. Indonesia memang luar biasa, Negara yang disimbolkan dengan kesantunan dan ketaatan beragamanya. Ternyata symbol itupun patut dipertanyakan atau memang Indonesia dipenuhi dengan penghuni yang penduduknya beragama simbolik.
Realitas yang ada menunjukkan demikian, sebuah realitas yang sungguh ironis. Rumah ibadah berdiri megah dan dipadati dengan jamaah, ghirah jamaah haji Indonesia yang terus meningkat secara kuantitatif, walaupun ongkos perjalanannya begitu mahal. Hal ini menunjukkan keberagamaan masyarakat Indonesia tak layak untuk dipertanyakan. Namun ketika disejajarkan dengan fakta lain semisal meningkatnya korupsi, kita pantas menanyakan apakah agama (islam) mengabsahkan korupsi.
Melihat fenomena di Indonesia yang seperti ini, kita tidak bias tinggal diam. Pada pembahasan kali ini, penulis akan membahas mengajak pembaca membahas tema di atas, korupsi dan agama, bagaimana kaitan antara keduanya, dampak yang disebabkan oleh permasalahan korupsi dan sebagainya, dan tentunya dalam pembahasan kita nantinya akan banyak terdapat kekurangan disana-sini karenanya ucapan maaf dari pembaca menyejukkan bagi penulis.
K o r u p s i
Korupsi berasal dari bahasa latin corruption dan kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Tranparency International, korupsi adalah perilaku pejabat public, baik politikus atau politisi1 maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan public yang dipercayakan kepada mereka.2
Sedangkan pengertian korupsi didalam kamus ilmiah popular adalah kecurangan, penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri, pemalsuan.3 Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsure-unsur sebagai berikut yakni perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Selain unsure-unsur di atas terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain yakni member atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara) dan menerima gratifikasi4 (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara)
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah atau pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk member dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, artinya pemerintahan oleh para pencuri, dimana berpura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.5
Korupsi yang muncul dibidang politik dan birokrasi bias berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan criminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mengetahui masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas atau kejahatan.
Tergantung dari nagaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau bukan. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat, namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Menjamurnya Korupsi
Peningkatan jumlah koruptor di Indonesia tidak terlepas dari kondisi sekeliling mereka. Seorang pencuripun pada dasarnya tidak ingin mencuri, namun keadaan yang memaksa mereka untuk mencuri. Namun hal tersebut lebih pada pandangan sepihak, dari sisi lain tindakan amoral seseorang juga dikarenakan diri mereka sendiri. Beberapa kondisi yang mendukung munculnya korupsi di Indonesia diantaranya adalah6: pertama, konsentrasi kekeasaan pada pengambilan keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik, kedua kurangnya transparansi pengambilan keputusan pemerintah, ketiga kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal, keempat, proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar, keenam, lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”, lemahnya ketertiban hukum, lemahnya profesi hukum, kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa, gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil, rakyat yang cuek, tidak tertarik atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum dan tidak adanya control yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”
Hal-hal di atas adalah kondisi di Indonesia yang sangat mendukung meningkatnya tindakan korupsi. Masyarakat yang menyaksikan kadang hanya diam menyaksikan perbuatan amoral mereka, atau bahkan cuek dengan apa yang mereka lakukan. Tidak banyak yang bias dilakukan masyarakat kelas bawah. Suara yang mereka keluarkan tidak memiliki nilai, demokrasi seakan-akan telah lenyap ditelan bumi.
Dampak Korupsi
Ada beberapa dampak negative yang disebabkan oleh korupsi. Sekalipun koruptor merasakan nilai positif dengan apa yang mereka dapat, namun disisi lain mereka tetap merasa takut dengan apa yang telah diperbuat. Berikut ini beberapa dampak dari korupsi yakni pertama, dalam konteks demokratisasi. Korupsi menunjukkan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demikrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi dipemilihan umum dan di badan legislative akan mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan.
Korupsi di system peradilan dapat menghentikan ketertiban hukum dan korupsi di pemerintahan public dapat menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya dan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintah dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Kedua, dampak korupsi dalam konteks perekonomian yakni korupsi dapat mempersulit proses pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidakefesienan yang tinggi. Dalam sector privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran illegal, ongkos managemen dalam negosiasi dengan pejabat korup dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Walaupun ada yang berpendapat bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, consensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan seb agai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efesien.
Korupsi juga dapat menimbulkan distorsi (kekacauan) didalam sector public dengan mengalihkan investasi public keproyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan uapah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur, dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu factor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) keluar negeri, bukannya diinvestasikan kedalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa adanya dictator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan dictator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum dan lain-lain.
Para pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah $187 Triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri (hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalh ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel asset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini member dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, diluar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
Ketiga, dampak korupsi dalam konteks merusak birokrasi sipil hal ini, lebih jauh lagi dapat merusak birokrasi sebagai tulang punggung pemerintahan Negara. Korupsi dalam rezim yang lalu diciptakan untuk membantu kerja kekuasaan dengan mensistematiskan korupsi yang melembaga. Birokrasi, baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang paling rawan terhadap korupsi. Sebab, ditangan mereka terdapat kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga Negara. Oleh karena itu, Tranperency International, lembaga international yang bergerak dalam upaya anti korupsi secara sederhana mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan public untuk kepentingan pribadi.7
Keempat, kesejahteraan umum Negara. Korupsi politisi ada dibanyak Negara dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Kelima, korupsi dapat merusak moral bangsa. Korupsi mempengaruhi semua masyarakat (mau tidak mau). Dan bagaimana mungkin kita dapat memberantas pornografi dan judi jikalau korupsi tetap berjalan. Criminal tinggal “bayar saja” dan kegiatan mereka dapat dilanjutkan lagi.8 Beberapa hari yang lalu di Metro TV ada program mengenai masalah pornografi dan presenter program bertanya kepada salah satu peserta panel, masalah apa yang lebih penting korupsi atau pornografi? Jawaban yang disanmpaikan “sama saja”. Jawaban ini hanya membuktikan bahwa pesertanya panel sendiri kurang mengerti implikasi hal-hal tersebut.
Anak kita belajar moral dari kita, bukan dari yang kita ajarkan tetapi dari yang kita lakukan. Kalau kita sendiri tidak jujur atau menghormati koruptor (pencuri) tidak ada gunanya kalau kita bilang jangan mencuri. Yang merusak moral bangsa kita adalah contoh-contoh buruk yang kita saksikan setiap hari. Misalnya koruptor yang mencuri puluhan milyar rupiah kemudian dilepaskan, namun orang yang mencuri hanya lima ratus ribu rupiah karena lapar langsung digebukin dan dimasukkan penjara. Hal ini mendidik apakah kepada anak-anak kita? Berarti, jikalau anda ingin mencuri, mencuri yang banyak sekalian dan jangan yang kecil-kecil. Akhirnya, korupsi sangant merugikan semua masyarakat termasuk koruptor, karena meskipun mereka kaya raya, mereka juga tetap harus tinggal di lingkungan yang buruk dan tidak aman.
Dari asfek social budaya korupsi lebih mengerikan lagi. Sebvagai dampak negative adanya korupsi maka akan membawa pemahaman baru bagi masyarakat tentang makna pemerintahan, aktivitas bermasyarakat atau proses bersosialisasi dengan sesame. Terkait dengan hal demikian, adalah bagaimana korupsi mampu mengubah pandangan hidup masyarakat yang penuh semangat kekeluargaan menjadi masyarakat yang berfaham kebendaan. Di mana masyarakat kita yang suka menolong berubah sedemikian rupa menjadi masyarakat yang pamrih setiap membantu sesama.9
Kasus-Kasus Korupsi di Indonesia
Untuk kasus korupsi terkini, penulis meyakini bahwa para pembaca juga meng up date pemberitaan media peruhal kasus dugaan korupsi yang dilakukan anggodo dan anggoro cs, beserta dugaan keterlibatan para pejabat dilingkungan peradilan yakni kejaksaan dan kepoilisian RI. Juga kasus dugaan penyelewengan dana Bank Century dan berbagai kasus korupsi yang melibatkan para pejabat dan kepala daerah lainnya.
Pemerintahan Mega Korupsi Rp. 166,5 Trilyun
Dari laporan BPK bahwa pemerintahan Mega melakukan korupsi sebesar Rp. 166 Triliun dan $ 62.7 juta yang pasti hilang dikorupsi. BPK bahkan menyimpulkan, setiap tahun rata-rata penyimpangan anggaran Negara sebesar Rp. 321,8 Trilyun
Temuan BPK itu merupakan temuan atas pemeriksaan lembaga-lembaga yang menggunakan keuangan Negara baik melalui APBN maupun non APBN di pusat maupun daerah, BI, BUMN dan badan-badan lain. Selain audit keuangan, BPK juga melakukan pemeriksaan terhadap kinerja yang dilanjutkan pemeriksaan investigative terhadap lembaga-lembaga pemerintah itu.10
Korupsi APBN 2004 Mencapai Rp. 23 Trilyun
Jumlah kasus korupsi terhadap dana APBN tahun 2004 mencapai Rp. 23 triliun. Meski demikian banyak kasus korupsi itu yang sulit diungkap dari nilai APBN 2004 sebesar Rp.584 triliun, sebanyak Rp. 23 triliun telah dikorupsikan. Jumlah korupsi itu dinilai Rachman sangat besar, apalagi ditengah era reformasi yang salah satunya mengupayakan pemberantasan korupsi.11
Depdiknas Diduga Korupsi Rp. 150 Milyar
TEMPO Interaktif, Jakarta: LSM Peduli Pendidikan Bangsa melaporkan dugaan korupsi di departemen pendidikan nasional kepada penyidik Maber POLRI. Menurut Sahidin kepada wartawan, pasalnya Menteri Pendidikan Malik Fajar bertanggung jawab atas dikeluarkannya SK No.358/C/Kep/DS/2003 tanggal 7 agustus 2003 mengenai buku-buku pelajaran matematika untuk sekolah dasar dan madrasah ibtidakiyah. Pasal yang dikenakan adalah UU No.20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional.12 Masih banyak kasus-kasus korupsi yang lebih besar daripada kasus di atas. Akan tetapi karena keterbatasan maka saya tidak dapat menyebutkannya satu persatu. Diberitakan juga korupsi terbesar terjadi pada DEPAG yang notaene-nya adalah orang-orang yang memiliki nilai agama yang kuat.
Perang Melawan Korupsi di Indonesia
Secara empiris, penelitian Bank Dunia di Negara Asia tentang pemberantasan korupsi juga tidak menggembirakan bagi Indonesia. Dari studi korupsi di empat Negara Korea Selatan, Thailand, Filifina dan Indonesia, hasilnya Korea Selatan dan Thailand termasuk pemberantasan korupsinya lebih baik dari Indonesia dan Filifina.
Korupsi adalah salah satu hambatan terburuk dalam pembangunan suatu bangsa. Korupsi sangat dinikmati oleh orang-orang kaya tetapi sangat menyengsarakan bagi orang-orang miskin. Dari studi kasus korupsi di empat Negara itu, menurut Vinay Bhargava dan Emil Bolengaita, korupsi adalah salah satu hambatan terbesar untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam sebuah Negara dan rentan sekali menambah kemelaratan warganya.13
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi yakni Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga Negara yang bersifat independent yang didalam menjalankan tugas dan kewenangannya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan komisi terdiri dari lima orang yang merangkap sebagai anggota yang semuanya adalah pejabat negara14 selanjutnya kepolisian, kejaksaan, BPKP dan lembaga non pemerintah dalam hal ini media massa organisai massa semisal ICW (Indonesian Coruption Watch)
Sebenarnya pemberantasan korupsi harus dimulai dari masyarakat itu sendiri. Di Indonesia korupsi itu halal, malah terkdang membanggakan. Lihat saja, para koruptor yang diperiksa kejaksaan atau yang sudah resmi masuk penjara (lapas), tidak ada dari mereka yang menutup wajahnya didepan kamera wartawan media massa cetak atau televise. Mereka malah menebar senyum. Sebagaian dari mereka yang muslim malah memakai baju koko ala jamaah solat jumat (mestinya pake kaos panjang loreng hitam putih seperti maling di kartun-kartun). Dengan baju putih itu, mungkin mereka ingin mengatakan bahwa koruposi yang mereka lakukan itu halal, toh masyarakat tidak rebut dan semua kebagian. Bandingkan misalnya dengan maling ayam, jambret, pencopet, PSK (saya lebih suka menyebutnya WTS) dan perampok yang selalu menutup wajah kala menghadap kamera wartawan.
Koruptor itu tidak malu, apa penyebab utamanya? Betulkah mereka dan keluarga koruptor bangga dengan sikap maling suami/bapaknya, setidaknya ada dua factor15 yakni pertama, sikap masyarakat yang tidak kritis pada kalangan birokrat (PNS) plus sikap masyarakat yang terlalu mengagung-agungkan kekayaan dan kemewahan, tak peduli dari mana harta itu berasal dan sebagai akibatnya factor kedua yakni standar harga diri, martabat dan kesuksesan itu terletak pada seberapa kaya seseorang dan seberapa mewah rumah dan mobilnya. Kejujuran dan integritas pribadi tidak lagi menjadi tolak ukur kebanggaan, apa gunanya jujur kalau kere, begitu sebagian orang berfikir.
Korupsi dan Agama
Mungkin menyakitkan melihat praktik keagamaan dan kekuasaan menyumbang pemiskinan (proletarisasi), selain kesenjangan moral pemimpin dengan rakyat. Ketika rakyat jatuh miskin dan mati kelaparan, pemimpin sibuk dengan kuasa dan surganya sendiri. Gejala pembiaran proletarisasi dalam prkatik keagamaan dan kekuasaan memunculkan pertanyaan, apakah agama dan demokrasi bagi pembebasan ummat dari pemiskinan, pembodohan dan penindasan?
Bagaimanapun diperlukan jalan damai melawan terorisme dengan pembebasan rakyat dari jebakan proletarisasi. Melalui tafsir profetis16 praktik ritual difungsikan bagi promosi kesejahteraan seluruh umat manusia. Istitho’ah (kemampuan) berhaji diberi makna social, sinterkelas dan ritual kurban dikelola sebagai aksi konkret melawan terorisme, proletarisasi dan hasrat korup.
Tafsir profetis bias dipenuhi ketika wahyu dan tradisi kenabian tidak diperlakukan sebagai teks mati yang haram ditafsir ulang. Agama yang suci bukan diletakkan sebagai negasi budaya yang menyejarah yang terus berubah. Konstruksi ajaran susunan ulama ribuan tahun lalu tidak diterima secara taken for granted sebagai kesempurnaan suci dengan sendirinya (am sich). Tuhan dengan wahyu-Nya dimaknai berbicara secara on-line (langsung) kepada umat manusia dalam dinamika sejarah yang terus berubah.
Tanpa tafsir profetis mungkin tuhan telah dibunuh pemimpin agama hingga tak lagi menunjukkan kuasa-Nya mengubah kaum proletar seperti kritik Nietzsche. Pemimpin agama dan politik gagal mendengar jeritan jutaan rakyat yang jatuh miskin dan kelaparan, ketika Tuhan yang maha hidup tidak ditafsir dalam aksi profetis. Atau, hari-hari mendatang ditahun 2006 akan tetap dihantui aksi-aksi terror atas nama kesucian agama dan janji surgawi dengan pemimpin yang tak peduli nasib rakyat.17
Kalau korupsi mengandung unsure penyalahgunaan wewenang dan merugikan kepentingan orang banyak, jelas bahwa dampaknya pun cukup signifikan bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat. Bagaimana agama menyikapi persoalan ini?
Karena korupsi selalu melibatkan jarring-jaring kekuasaan atau otoritas Negara, maka perlu dijabarkan bagaimana prinsip islam tentang pengelolaan Negara. Pertama, Negara berkewajiban untuk menegakkan ketertiban umum, melindungi kemanan seluruh warga, dan menegakkan keadilan bagi kemaslahatan tanpa membeda-bedakan. Dalam kaedah ushul fiqh disebutkan bahwa seluruh kebijakan dan tindakan pemimpin terhadap rakyatnya haruslah selalu bersumber pada kepentingan mereka (rakyat).
Kedua, sebagai pembawa amanat, pemerintah harus melakukan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak rakyat yang lemah. Karena itu Negara yang tidak menunjukkan komitmen pada keadilan dan perlindungan bagi rakyat lemah, dalam pandangan islam dianggap mendustakan agama. Lalu bagaima jika dikaitkan dengan korupsi? Sebagaimana diketahui islam tidak hanya menganjurkan pemeluknya untuk senantiasa berhubungan dengan allah, namun juga dengan sesame manusia dan lingkungannya, termasuk memburu harta. Namun demikian, upaya memburu harta itu hendaklah dilakukan dengan penghalalan segala cara (al maqosid tabarriru al wasa’il). Dengan demikian upaya yang dilakukan dengan cara yang tidak tepat seperti pencurian dalam bentuk apapun hukumnya aadalah haram, karena itu termasuk tindakan pencurian atau korupsi atau ghulul.
Jika demikian, bagaimana menyikapinya? Keputusan Munas alim ulama NU dan konfrensi besar NU diputuskan bahwa selayaknya kita meneladani nabi yang enggan menyolati jenazah pencuri. Dengan demikian, koruptor apabila mati hendaknya tidak disholati. Ancaman keras semacam ini didasarkan pada kenyataan bahwa korupsi merupakan penghianatan terhadap ummat, rakyat. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dikatagorikan sebagai pencurian (syariqah) dan perampokan (nahb).18
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/korupsi
Pius, A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Arkola. Surabaya, 1994.
http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi4/4berita_3.html
http://korupsi.org/moral.html
http://korupsi.org/info.html
Kompas September 2003, 2004.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0904/24/0802.htm
www.fatihsyuhud.com
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/06/opini/2342773.htm
1 Politikus ahli kenegaraan, ahli tata Negara, ahli politik. Politisi para tokoh kenegaraan, para pakar politik
2 http://id.wikipedia.org/wiki/korupsi
3 Pius, A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Arkola. Surabaya, 1994. Hal. 375
4 Gratifikasi adalah premi, uang hadiah bagi pegawai diluar gaji, hadiah kerja, ampunan kerja
5 http://id.wikipedia.org/wiki/korupsi
6 http://id.wikipedia.org/wiki/korupsi
7 http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi4/4berita_3.html
8 http://korupsi.org/moral.html
9 http://korupsi.org/moral.html
10 http://korupsi.org/info.html
11 Bandung, Kompas September 2003, 2004. Hal. 13
12 http://korupsi.org/info.html
13 http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0904/24/0802.htm
14 http://korupsi.org/info.html
15 www.fatihsyuhud.com
16 Profetik : kenabian
17 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/06/opini/2342773.htm
18 Pesantren, Respon Pesantren Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam. Edisi XII/th.2/2003.htm. hal.47

Politik Hukum Islam

Syariat merupakan hukum Tuhan yang menempati posisi penting dalam masyarakat islam dan diyakini sebagai hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik secara individual maupun kolektif. Syariat islam (baca: hukum islam) yang terformulasikan dalam Al Qur’an dan as Sunnah Rasulullah saw kemudian diperluas dan dikodifikasi dalam bentuk fiqh oleh para yuri dengan menggunakan interpretasi melalui qiyas, ijma’, maslahah dan lain-lain.
Berpijak pada sumber yang dalam katagori umum dikenal sebagai ijtihad tersebut, syariat islam mengalami perkembangan yang menakjubkan selama periode formatifnya (hingga abad ke-10). Namun syariat lebih merupakan suatu sistem yang bersifat doktrinal yang independen bahkan sering bertabrakan dengan praktek-praktek legal. Hingga pada taraf tertentu dapat dikatakan bahwa syariat islam tidak pernah diterapkan secara konvrehensif. Terlihat dengan penerapan hukum pidana yang merupakan titik terlemah dalam fluktuasi penerapan hukum islam.
Dikotomi antara teori dan praktek ini berlangsung selama berabad-abad dalam kesejarahan islam dan cukup bervariasi dari masa kemasa antara satu bidang syariat dengan bidang syariat lainnya. Seiring dengan terjadinya fluktuasi penerapan hukum islam juga terjadi dekadensi peradaban umat muslim sejak tertutupnya pintu ijtihad. Dari kenyataan tersebut kemudian timbul jastifikasi bahwa dekadensi peradaban umat islam disebabkan oleh tidak dijalankannya syariat islam. Sehingga jalan keluarnya adalah implementasi hukum islam secara komprehensif, yang tentunya dengan menggunakan sebuah negara sebagai aplikasinya. Inilah yang melahirkan paradigma “simbiosis” agama (hukum islam) dan negara (politik). Keduanya berhubungan timbal balik dan saling menguntungkan.
Secara praktis implementasi hukum islam dalam sebuah negara ini melahirkan permasalahan baru, juga mengundang berbagai kritikan dari kalangan oposan islam. Implementasi hukum islam menjadi isu yang berkepanjangan dan terkadang dijadikan tameng untuk mendapat dukungan politik. Sementara kalangan oposan memandang syariat islam sebagai hukum yang diskriminasi dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Berdasarkan atas isu penerapan hukum islam inilah penulis merasa perlu untuk mendiskusikan kajian kali ini untuk dielaborasi lebih mendalam.
Tentang Politik
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politic) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses untuk menentukan tujuan-tujuan dan sistem itu dapat melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik tersebut menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusun skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih.1
Rojer F. Saltao dalam introduction to politic: political science is the study of the state, its aim and purposes…the institusions by which these are going to be realized, its relations with its individual members, and other state2 (Ilmu politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu, hubungan antara negara dengan warga negaranya serta dengan negara-negara lain).
J. Barents dalam Ilmu Politika menyatakan bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, ilmu politik mempelajari negara-negara itu melakukan tugas-tugasnya.3 Sementara Deliar Noer mengatakan bahwa ilmu politik adalah memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. Kehidupan seperti ini tidak terbatas dalam bidang hukum semata-mata, dan tidak pula pada negara yang tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relatif baru. Diluar bidang hukum serta sebelum negara ada, masalah kekuasaan itu pun telah pula ada. Hanya dalam zaman modern ini memanglah kekuasaan itu berhubungan erat dengan negara.4
Tentang Hukum Islam
Dalam al Qur’an dan as Sunnah istilah hukum islam tidak dijumpai. Al Qur’an dan As Sunnah menggunakan istilah asy-syariah yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah al-fiqh. Hukum islam merupakan istilah indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-islamy, atau dalam konteks tertentu disebut al-syari’ah al-islamy. Istilah ini dalam literatur Barat dikenal dengan idiom Islamic Law, secara harfiah diartikan dengan hukum islam.5 Secara terminologis, syariah adalah jalan ke mata air, berasal dari kata “syara’a” berarti “yang ditetapkan atau didekritkan”6
Pada titik inilah bahwa: “hukum islam adalah seperangkat norma hukum dari islam sebagai agama, yang berasal dari wahyu allah, sunnah Rasul-Nya dan ijtihad para ulil amri. Hukum islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash Al Qur’an maupun As Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman. Keuniversalan hukum islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakikat islam sebagai agama universal, yakni agama yang substansi ajarannya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia. Termasuk didalamnya yang juga mengatur hubungan dalam bermu’amalah yakni hubungan antara manusia, benda dan penguasa.7
Korelasi Kausalitas Antara Politik dan Hukum Islam
Seperti yang kita ketahui bahwa hukum islam biasanya diklasifikasikan kedalam ibadah dan mu’amalah. Ibadah mengatur hubungan manusia dengan Allah swt, sedangkan mu’amalah mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, benda dan penguasa. Hukum islam ditujukan untuk melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.8 Dengan demikian hukum islam mengatur seluruh perilaku publik dan privat manusia dan mengemukakan sejumlah hukuman atas pelanggarnya. Secara teoritis, bentuk-bentuk pelanggaran tersebut diadili oleh qadli (hakim) yang tentunya dibawah pengaturan sebuah sistem pemerintahan.
Umumnya para ahli fiqh memandang bahwa membentuk pemerintahan (aqdul imamah) dan mengangkat kepala negara (nahsbul imam) hukumnya wajib kifayah bagi umat islam, atas dasar dalil ijma’ meskipun ada juga yang memandang tidak wajib, seperti pendapat al-A’shom pemikir dari Mu’tazilah dan sebagian dari Khawarij. Alasan yang digunakan disamping dari sumber syara’ agama juga dari konsep rasional (‘aqal) yakni bahwa kehidupan sosial yang kompleks ini memerlukan tatanan dan kekuatan yang mengatur, menertibkan atau melindungi hak-hak, baik hak individu (al-fard) maupun masyarakat (al-mujtama’) juga mengatur kewajiban-kewajiban.9
Allah mengangkat untuk umat seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) Nabi, untuk mengamankan agama disertai mandat politik. Dengan demikian seorang khalifah adalah pemimpin agama dan di lain pihak sebagai pemimpin politik. Dari kedua fungsi khalifah ini sebagai simbiosa hukum islam dan politik yang saling membutuhkan dan harus sinergis. Agama membutuhkan negara untuk mengembangkan dirinya, dan negara meniscayakan agama sebagai pembimbing etika dan moral.
Baik muslim atau non muslim tidak akan pernah tidak akan selalu membutuhkan seorang pemimpin yang berwibawa dan diakui bersama. Khalifah adalah pemimpin agama dan dilain pihak sebagai pemimpin politik.10 Dan hal tersebut tidak mungkin diwujudkan tanpa ada seseorang yang diberikan mandat untuk memegang dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan masyarakat, baik kepentingan agamanya atau kesejahteraan duniawinya (masholih al-ukhrowiyah waddun-yawiyah)
Hukum Islam Dalam Kaca Mata Sejarah
Islam mengalami perkembangan menakjubkan hingga akhir abad ke-10. Selanjutnya dalam bidang keagamaan, umat islam mulai bertaqlid kepada imam-imam besar yang lahir pada masa klasik islam. Kalaupun ada mujtahid, maka ijtihad yang dilakukan adalah ijtihad fi al-madzhab, yakni ijtihad yang masih berada dalam batas-batas madzhab tertentu.11 Tidak ada lagi iktihad mutlak yang mandiri, hasil pemikiran yang bebas dan mandiri.
Hal ini terjadi karena mayoritas ulama pada masa itu memandang bahwa seluruh permasalahan keagamaan yang essensial telah dibahas secara tuntas dank arena itu pelaksanaan ijtihad tidak lagi diijinkan. Tertutupnya pintu ijtihad ini diikuti dengan fluktuasi penerapan hukum islam.
Kemunduran islam ini semakin merebak ketika Negara-negara barat melakukan kolonialisasi dihampir seluruh dunia islam,12 pemerintah jajahan membatasi penerapan syariat islam yang diparaktekkan dalam masyarakat muslim. Kebanyakan colonial barat tidak serta merta mengganti system hukum islam secara menyeluruh, namun secara bertahapmemperkenalkan hukum-hukum baru. Proses itu umumnya diawali dengan memperkenalkan hukum pidana, hukum islam diterapkan dengan sepenuhnya dalam hukum keluarga dan waris. Semntara hukum pidana, perpajakan, konstitusi dan perang merupakan titik terlemah dalam penerapan hukum.
Politik Hukum Islam dan Dinamikanya
Al Qur’an memerintahkan agar hukum-hukum syariat yang terkandung didalamnya ditegakkan dalam kehidupan manusia sebagai peraturan personal ataupun social. Perintah tersebut berimplikasi pemberian otoritas kepada manusia untuk menata kehidupannya dengan mengaplikasikan hukum allah. Implementasi hukum islam itulah yang merupakan perwujudan dari kekuasaan politik atau jkuga dapat diungkapkan bahwa wujud kekuasaan politik tersebut adalah sebuah system politik yang diselenggarakan berdasarkan dan menurut hukum islam yang berasal dari dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi.
Karena itu, dalam system politik islam dikenal dua jenis hukum, yakni hukum syariat yang bersumber dari Al Qur’an dan sunnah, dan hukum Qanuni yang berasal dari keputusan-keputusan lembaga pemerintah.13 Secara hirarki hukum yang tertinggi dalam system ini adalah hukum yang pertama, Al Qur’an menjadi rujukan pokok dan kedaulatan hukum berada dalam Al Qur’an.
Penerapan syariat islam ini merupakan sebuah dilemma berkepanjangan. Antara dukungan dan kecaman terhadap isu ini menuai polemic yang tak terhindarkan. Tarik ulur antara penerapan hukum islam ini melahirkan dua kub u yang masing-masing memiliki alas an tersenndiri
Pendukung Penerapan Hukum Islam
Dikalangan muslim tertentu penegakan syariat dipandang sebagai justifikasi keagamaan,14 dengan kata lain penegakkan syariat merupakan kewajiban yang dibebankan islam kepada pemeluknya. Islam memberikan larangan-larangan dan ketentuan-ketentuan hukum mengenai berbagai segi kehidupan. Karenanya syariat tidak dapat ditegakkan sempurna tanpa otoritas politik untuk menegakkan larangan-larangan agama, menerapkan keputusan-keputusan hukum dan memelihara ketertiban umum. Kepemimpinan dan kekuasaan politik mutlak diperlukan karena manusia pada umumnya memiliki kecendrungan negative mengabaikan ajaran-ajaran agama jika tidak ditopang dengan otoritas dan kepemimpinan.
Oposisi
Dilain pihak, penegakkan syariat merupakan sebuah ancaman. Diberbagai Negara muslim yang menerapkan syariat sebagai satu-satunya hukum yang berlaku sering bertabrakan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan konvensi-konvensi manusia. Tiga aspek hak asasi manusia yang paling banyak terkait dengan penerapan hukum islam adalah pembalasan terhadap umat beragama15 deskriminasi terhadap perempuan16 dan diskriminasi terhadap yang bukan muslim.17
Hukuman yang diterapkan dalam islam merupakan hukuman yang kejam, tidak adil dan melanggar hak-hak asasi manusia, seperti qishash, rajam dan jilid.18 Hukuman ini dipandang sebagai hukuman yang tidak berprikemanusiaan.
Sementara, fakta m,engatakan bahwa hubungan antara islam dan politik belum pernah didasarkan atas apa yang disebut sebgai Negara islam atau aplikasi syariat secara komprehensif.19 Memang benar bahwa elite penguasa biasanya mencari legitimasi islam bagi kekuasaan politiknya, tapi hal tersebut sama sekali tidak mendifinbisikan “Negara islam” sebagai sebuah model yang jelas, yang dapat diimplementasikan pada saat ini. Demikian pula syariat senantiasa memiliki peranannya dalam kehidupan muslim baik individual maupun komunal, tetapi hal tersebut dilakukan dengan cara komitmen pribadi dan tindakan yang ikhlas, dari pada penegakkan yang tegas oleh sebuah lembaga Negara.
Konsolidasi Oposisionis Terhadap Formalisasi Hukum Islam
Konflik mengenai penerapan syariat islam cenderung menjadi sengketa public yang sulit diselesaikan, karena salah satu penyebab timbulnya konflik tersebut bermula dari adanya prinsip yang mendasarinya. Pihak yang menginginkan penerapan hukum islam berpendapat bahwa syariat islam harus menjadi satu-satunya sumber hukum.20 Sedangkan pihak yang menentang mengatakan bahwa syariat islam merupakan hukum yang kejam dan kaku dan hanyalah satu dari beberapa sumber hukum.
Dengan demikian, kontroversi mengenai penerapan hukum islammenjadi sengketa yang tidak meninggalkan ruang bagi kompromi dan fleksibilitas yang mengancam pada sikap dehumanisasi missal. Untuk menghindari hal tersebut maka dibutuhkan pemahaman ulang terhadap hukum islam itu sendiri, terutama dalam hal pidana yang merupakan tyitik terlemah dalam penerapan hukum islam sekaligus yang mendapat penolakan terbesar dari pihak oposan. Reaktualisasi pemikiran ini ditawarkan sebagai upaya poenyegaran atau tindakan untuk menjadikan sesuatu itu baru dan disatu sisi tidak merubah nilai dasar dari sesuatu yang diperbaharui itu.
Reaktualisasi Hukum Pidana Islam
Tudingan terhadap hukum pidana islam seperti yang disebvutkan di atas pada dasarnya berawal pada ketidaksanggupannya menangkap ruh syariat islam.21 Secara teoritis hukum islam bukanlah hukum yang bersifat ortodoks, tetapi juga memberikan ruang gerak bagi akal pikiran manusia untuk melakukan ijtihad. Ijtihad ini diberikan dalam rangka menginterpretasikan teks-teks hukum sehingga mampu merespon kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Hukumam huddud yang dalam hal ini dipandang sinis oleh para oposan, sering diartikan merupakan tindak pidana dan macam dan sanksinya ditetapkan secara mutlak oleh allah. Sehingga manusia tidak berhak untuk menentukan hukuman lain selain hukum yang ditetapkan berdasarkan kitab allah.
Ketetapan ini sesungguhnya merupakan hasil kreasi ijtihad para ulama terdahulu dengan berbagai pertimbangan. Alas an para fuqaha mengklasifikasikan jarimah huddud sebagai hak allah yakni pertama, karena perbuatan yang disebut secara rinci oleh al qur’an sangat mendatangkan kemaslahatan baik perorangan maupun kolektif.22 Kedua, jenis pidana dan sanksinya disebut secara langsung oleh lafal yang ada di dalam al qur’an, sementara tindak pidana lainnya tidak disebut di dalam al qur’an.23
Tetapi pada hakikatnya dalam penentuan hukuman terhadap jharimah huddud terdapat kebebasan untuk menentuykan hukuman, walaupun pada dasarnya hukum allah tetap dijadikan sebagai rambu-rambu dalam menegakkan keadilan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap jarimah huddud harus disikapi sebagai sebuah ijtihad ulama terdahulu, dan pada perkembangnnya tidak mustahil diinterpretasikan kembali sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman dengan tidak merubah nilai-nilai yang terkandung didalam syariah.
Kata Akhir
Hukum islam merupakan hukum yang berorientasi pada penegakkan amar ma’ruf nahi munkar, maka tegaknya maqashid syariah merupakan sebuah keniscayaan untuk tetap selalu melakukan perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Berlandaskan dari pertimbangan-pertimbangan ini dan sebagai justifikasi keagamaan maka muncullah isu penerapan hukum islam dalam sebuah Negara yang berdaulat.
Agama membutuhkan Negara untuk mengembangkan dirinya, dan Negara meniscayakan agama sebagai pembimbing etika dan moral. Namun dalam mengimplementasikan hukum islam ke dalam sebuah Negara bukan merupakan hal yang mudah, karena tidak sedikit pihak yang menentang penerapannya. Pro dan kontra dalam isu penerapan hukum islam menjadi polemic berkepanjangan dan dikhawatirkan mengarah pada tindakan anarkis.
Untuk menghindari hal tersebut maka dibutuhkan pemahaman ulang terhadap hukum islam itu sendiri. Reaktualisasi pemikiran ini ditawarkan sebagai upaya penyegaran atau tindakan untuk menjadikan sesuatu itu baru dan disatu sisi tidak merubah nilai dasar dari sesuatu yang diperbaharui itu.
Daftar Pustaka
Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Politik. Jakarta. PT. gramedia Pustaka. 2002
Rojer F. Saltao, intruduction to politic. London. Longmans. 1961.
J. Barents. Ilmu politika. Suatu Perkenalan Lapangan. Terj. L.M. Sitorus. Jakarta. PT. Pembangunan, 2965.
Deliar Noer. Pengantar ke Pemikiran Politik. Medan. Dwipa. 1965.
Said Agil Husin al-Munawwar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta. Penamadani. 2004.
Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria. Jakarta. Pustaka Alvabet. 2004.
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Mu’amalah Kontekstual. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2002.
Ismail Muhammad Syah. Filsafat Hukum Islam. Jakarta. Bumi Aksara. 1992.
Muhammad Tholhah Hasan, Prosfek Islam Dalam Menggapai Tantangan Zaman. Jakarta. Lantabora Press, 2005.
Faisal Shodik. Sketsa Pemikiran Politik Islam. Yogyakarta. Politeia Press. 2007.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta. Radja Grafindo Persada. 2006.
Dudung Abdurrahman., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta. Jurusan SPI Adab UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan LESFI Yogyakarta. 2002.
Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al Qur’an. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2002.
Hafidh Ibn Hajar al-Abqalani, Bulugh al-Maram:min adillati al-ahkam. Beirut. Dar al-Fikr, tt.
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal. Jakarta. Gema Insani. 2002.
Ira M. lapidus, A History of Islamic Society. Cambridge, England. Canbridge University Press. 1988. Part I
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta. Logung Pustaka. 2004.
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamy. Beirut. Dar al Fikr, tt I
1 Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Politik. Jakarta. PT. gramedia Pustaka. 2002. Hal. 8
2 Rojer F. Saltao, intruduction to politic. London. Longmans. 1961. Hal. 4
3 J. Barents. Ilmu politika. Suatu Perkenalan Lapangan. Terj. L.M. Sitorus. Jakarta. PT. Pembangunan, 2965. Hal. 23
4 Deliar Noer. Pengantar ke Pemikiran Politik. Medan. Dwipa. 1965. Hal. 56
5 Said Agil Husin al-Munawwar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta. Penamadani. 2004. Hal. 7
6 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria. Jakarta. Pustaka Alvabet. 2004. Hal. 2
7 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Mu’amalah Kontekstual. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2002. Hal. 1
8 Ismail Muhammad Syah. Filsafat Hukum Islam. Jakarta. Bumi Aksara. 1992. Hal. 67
9 Muhammad Tholhah Hasan, Prosfek Islam Dalam Menggapai Tantangan Zaman. Jakarta. Lantabora Press, 2005. Hal. 109
10 Faisal Shodik. Sketsa Pemikiran Politik Islam. Yogyakarta. Politeia Press. 2007. Hal. 70
11 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta. Radja Grafindo Persada. 2006. Hal. 15
12 Dudung Abdurrahman., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta. Jurusan SPI Adab UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan LESFI Yogyakarta. 2002. Hal. 136-140
13 Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al Qur’an. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2002. Hal. 291
14 Adnan Amal dan Samsu Rijal Panggabean, Politik Syariat Islam, ibid, hal. 168-172
15 Masalah pematasan terhadap kebebasan beragama dapat timbul dari hukum riddah atau murtad yakni keluar dari agama islam. Adnan Amal danSamsu Rijal Panggabean, ibid hal. 185. Riddah atau murtad dalam hal ini mngacu kepada ketentuan hukum huddud. Lihat Hafidh Ibn Hajar al-Abqalani, Bulugh al-Maram:min adillati al-ahkam. Beirut. Dar al-Fikr, tt. Hal. 211
16 Adnan Amal dan Samsu Rijal Panggabean, op cit. hal. 185
17 Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal. Jakarta. Gema Insani. 2002. Hal. 155-156
18 Jika dilihat dari segi berat ringannya dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis yakni huddud adalah pelanggaran terhadap hukum yang dikenai dengan hukuman had. Qishash dan ta’zir.
19 Ira M. lapidus, A History of Islamic Society. Cambridge, England. Canbridge University Press. 1988. Part I, hal. 120-125.
20 Adnan Amal dan Samsu Rijal Panggabean, op cit., hal. 209
21 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta. Logung Pustaka. 2004. Hal. 93
22 Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamy. Beirut. Dar al Fikr, tt I:79
23 Makhrus Munajat, ibid., hal. 95

Optimalisasi Zakat Dalam Ekonomi Islam

Zakat merupakan salah satu pilar penting dalam islam, sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan umat islam, termasuk di Indonesia. Namun dalam praktek atau kenyataannya hingga saat ini, zakat yang bertujuan mulia ini masih jauh dari harapan, masih gagal menjembatani jarak antara yang kaya dan yang miskin. Demikian juga belum mampu mengangkat taraf hidup orang lemah dan diperlemah (dhuafa wal mustadafhin). Hal inilah yang menjadi alasan mengapa masalah zakat sering muncul kepermukaan dan menjadi bahan kajian diberbagai lapisan masyarakat.
Pemahaman tentang zakat ini sebagian ulama masih bersandar pada pemahaman ulama terdahulu dan para imam mazhab, namun ada juga sebagian kecil yang memiliki pemahaman controversial, yang mengatakan hokum itu harus sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya KH Masdar Farid Mas’udi yang mendefinisikan zakat sama dengan pajak, yang mana semua Negara didunia menarik pajak terhadap warga negaranya. Menurut Masdar, tradisi zakat yang telah mengakar dimasyarakat islam sekarang ini perlu dikaji ulang dengan antara lain meneliti kembali apa yang betul-betul terjadi dalam perjalanan sejarah islam, bahkan mengkritik paham lama (Yusuf Al Qardhawi) yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap kegagalan zakat menyelesaikan persoalan ekonomi dan social ekonomi umat. Ini terjadi karena ushul fiqh (kata Masdar) masyarakat mengajarkan bahwa hanya para tokoh dan para pendiri mazhab yang berhak melakukan ijtihad, bahkan diyakini bahwa setelah abad ke 3 H seluruh persoalan pokok dipandang sudah selesai dan fuqaha berikutnya hanya memahami, mengelaborasi dan mengaplikasikan doktrin-doktrin yang telah dirumuskan oleh mazhab sebelumnya. Upaya ini dilakukan Masdar untuk keluar dari doktrin ini yang dianggap membahayakan umat.
Dalam tulisan kali ini, pembahasannya tidak terlalu panjang lebar berbicara soal teknis zakat, tetapi pemakalah hanya membatasi bagaimana zakat itu bias optimal, dalam artian bias menjadi salah satu alternative pengembangan ekonomi umat islam. Pertama dengan menggunakan pendekatan managemen dalam mengumpulkan zakat. Kedua membuat asumsi atau hipotesa untuk pendayagunaan zakat (untuk membuat perencanaan diperlukan banyak hal seperti survey lapangan, human resource, jenis kerja dan lain-lain) serta esensi distribusi zakat.
Z a k a t
Zakat berarti menumbuhkan, memurnikan (mensucikan), memperbaiki yang berarti perbaikan diri yang didapatkan setelah pelaksanaan kewajiabn membayar zakat. Jadi zakat ini berfungsi untuk mensucikan jiwa manusia dari sifat (memntingkan diri sendiri, kikir dan cinta harta). Dan mampu membuka jalan bagi pertumbuhan dan kemajuan (melalui pembelanjaan untuk orang lain).1
Aspek zakat ini dijelaskan dalam Al Qur’an dalam Q.S. At Taubah ayat 103 yang artinya “ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui” dalam ayat tersebut yang dimaksud dengan membersihkan yakni zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda. Sedangkan mensucikan maksudnya yakni dengan zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda orang yang menunaikan zakat.
Salah satu tujuan zakat yang terpenting adalah mempersempit ketimpangan social didalam masyarakat seminimal mungkin, tujuannya menjadikan perbedaan-perbedaan ekonomi diantara masyarakat secara adil dan seksama, sehingga yang kaya tidak semakin kaya dan miskin makin melarat. Rasulullah saw menjelaskan bahwa zakat merupakan uang yang dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang yang miskin, oleh karena itu tujuannya mendistribusikan harta dari masyarakat sedmikian rupa sehingga tidak seorangpun warga islam yang tinggal dalam keadaan miskin (menderita).
Dengan demikian sudah jelas bahwa zakat ini adalah kewajiban agama yang dibebankan kepada orang kaya agar dapat membantu masyarakat yang miskin, dengan cara ini islam menjaga harta dimasyarakat tetap dalam sirkulasi dan tidak terkonsentrasi ditangan segelintir orang saja. Hal ini dijelaskan dalam Q.S. Al Hasyr ayat 7 yang artinya “apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu tidak hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada allah. Sesungguhnya allah amat keras hukumannya”
Pengumpulan Zakat
Dalam pengumpulan zakat ini, kita menggunakan managemen sebagai suatu alat atau pendekatan. Managemen sering diartikan sebagai suatu proses atau bentuk kerja yang meliputi arahan terhadap suatu kelompok orang menuju tujuan organisasi. Jadi setidaknya ada empat unsure penting yakni badan atau lembaga, proses kerja, orang yang melakukan proses tersebut dan tujuan. Dalam hal pengumpulan zakat jangka pendek ambil contoh misalnya badan atau masyarakat muslim tertentu misalnya masjid, Islamic center atau yang lainnya. Kedua, proses kerja yakni usaha mengumpulkan zakat. Ketiga orang atau lembaga yang melakukan pengumpulan zakat yakni amil zakat dan tujuan yakni terkumpulnya zakat sekurang-kurangnya 25-50 % dari wajib zakat.
Untuk melakukan hal tersebut seorang manager akan melakukan kegiatan-kegiatan yang disebut fungsi managemen yakni : pertma perencanaan, harus ditentukan tujuan yang ingin dicapai dalam waktu tertntu dimasa yang akan dating dan apa yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kedua, pengorganisasian yakni mesti ada pengelompokan kegiatan dan pembagian tugas terhadap apa yang dikerjakan dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Ketiga, staffing yakni harus ada penentuan sumber daya manusia yang diperlukan pemilihan, pemberian training dan pengembangannya. Keempat, pemberian motivasi dan arahan untuk mencapai tujuan. Kelima, pengontrolan atau pengukuran performance untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, penentuan sebab-sebab terjadinya penyimpangan dari tujuan dan sekaligus usaha meluruskan kembali penyimpangan menuju tujuan yang telah ditetapkan. Dengan menggunakan fungsi manajemen tersebut, maka pengumpulan zakat tidak hanya dilakukan ala kadarnya saja dengan kedok lillahi ta’ala.2
Distribusi dan Pendayagunaan Zakat
Pelaksanaan pemungutan zakat secara semestinya, secara ekonomi dapat menghapuskan tingkat perbedaan kekayaan yang mencolok, serta sebaliknya dapat menciptakan redistribusi yang merata, disamping dapat pula membantu mengekang laju inflasi. Zakat merupakan penopang dan tambahan dalam meringankan beban pemerintah dalam menciptakan pemerataan dan pengurangan kemiskinan. Demikian pula zakat tidak menghalangi Negara untuk mengadopsi ukuran-ukuran fiscal dan skema-skema redistribusi pendapatan serta perluasan lapangan pekerjaan dan peluang penciptaan lapangan kerja sendiri melalui bantuan modal ringan dari dana zakat itu sendiri.
Zakat merupakan alat bantu social mandiri yang merupakan kewajiban moral bagi orang kaya untuk membantu mereka yang miskin dan terabaikan yang tak mampu menolong dirinya sendiri meskipun dengan semua skema jaminan social yang ada, sehingga kemelaratan dan kemiskinan dapat terhapus dari masyarakat muslim.3
Mengenai pendayagunaan zakat. Dengan berasumsi bahwa dengan menggunakan manajemen yang baik, kita telah berhasil mengumpulkan harta zakat lebih banyak dari biasanya. Misalnya kita telah berhasil mengumpulkan zakat sebesar Rp. 500.000.000,- dengan terkumpulnya dana ini maka sebagai amil zakat wajib menyalurkan kepada delapan golongan yang disebutkan didalam al Qur’an yakni fakir, miskin, sabilillah, ibn sabil, muallafa kulubuhum dan lainnya. Saya kira perlu diredifinisi sesuai dengan keadaan zaman. Zakat hendaknya menghindari sebisa mungkin yang bersifat konsumtif, maka kita tentukan jenis orang mana saja yang bias menerima uang tunai, misalnya orang miskin yang cacat, anak yatim, kebutuhan pokok yang mendesak bagi si miskin dan lain-lain. Selebihnya kita pikirkan untuk dikelola agar lebih berdaya guna, yakni agar bisa bersifat produktif dengan merencanakan yang diikuti dengan penerapan fungsi manajemen misalnya : pertama, program member bekal ketrampilan kerja bagi orang miskin, contoh ini kita perlu mengerjakan banyak hal seperti survey jumlah orang miskin yang bisa diberi bekal keterampilan, survey jenis keterampilan yang sesuai dengan pasar kerja, penjajagan kerja sama dengan perusahaan yang dapat menampung dan rencana kursus orang-orang miskin hingga pada materi pembelajaran dan lain-laninnya.
Kedua, kita juga bisa juga menjajagi pasaran bebas, sehingga jenis trainingnya adalah untuk mencetak para miskin menjadi pedagang atau pengusaha kecil. Kemudian harta zakatnya disamping untuk training juga digunakan untuk modal usaha, meski dalam permodalan ini harus dihitung hutang oleh karena pengembaliannya akan dapat dimanfaatkan oleh keluarga miskin yang lain. Dalam hal ini saya kira perlu diciptakan suasana kerjasama antara mereka, bukan untuk kompetisi tidak sehat, namun lebih sebagai konsultasi untuk membina usaha yang dijalankan.
Ketiga untuk anak-anak orang miskin, diprioritaskan untuk memberikan beasiswa pendidikan. Keempat, menjajagi untuk menanam saham pada suatu perusahaan (yang penting jenis usahanya memenuhi syarat-syarat tertentu) dan lain-lain.4
Kata Akhir
Dari pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam penerapan teori zakat dimungkinkan adanya pendekatan baru, dalam hal system penarikan dan penyaluran zakat yang sejalan dengan tingkat kompleksitas permasalahan umat yang membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat sasaran.
Dalam penarikan zakat misalnya digunakan metode pendekatan manajemen yang selama ini biasanya digunakan pada sector public (yang sasaran utamanya untuk meningkatkan profit yang sebesar-besarnya) digunakan untuk lembaga non profit yang sasaran utamanya adalah service (pelayanan) bukan profit.
Sedangkan dalam penyalurannya diupayakan diupayakan sebisa mungkin menghindari hal yang bersifat konsumtif dengan memilah-milah orang mana saja yang behak menerima uang tunai dan selebihnya diberdayakan untuk hal-hal yang lebih produktif, misalnya mengadakan pelatihan tenaga kerja siap pakai dan dibutuhkan pasar tenaga kerja, sehingga lambat laun kuantitas penerima zakat bisa berkurang bahkan bisa menjadikan mereka yang tadinya menerima zakat berubah status mereka menjadi muzakki, seiring dengan perkembangan pendapatan mereka akibat dari keberhasilan program tadi, dengan demikian beban Negara akan semakin berkurang.
Daftar Pustaka
Prof A. Qodri Azizy. Membangun Fondasi Ekonomi Ummat.
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional.
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam. Jilid III.
1 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam. Jilid III hal. 237
2 Prof A. Qodri Azizy. Membangun Fondasi Ekonomi Ummat. Hal. 142-144
3 Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional. Hal. 40
4 Prof A. Qodri Azizy. Membangun Fondasi Ekonomi Ummat. Hal. 142-144

Etika Bisnis Perspektif Al Ghazali


Berawal dari moral yang merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan, etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggota-anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan.
Etika didalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Karena untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antar semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sedangkan pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati olrh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bias untuk diwujudkan. Jadi jelas, untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah keapda suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.1
Etika sebagai ajarab baik-buruk, benar-salah atau ajaran tentang moral khususnya dalam prilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dalam ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi barat menunjuk pada kitab injil (bibel) dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al Qur’an. Namun jika etika agama Kristen-protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, jika kapitalisme menonjolkan sifat individualism dari manusia, dan sosialisme pada kolektivisme, maka islam 2 menekankan empat sifat sekaligus, kesatuan, keseimbangan, kebebasan dan tanggung jawab.
Oleh karena itu dari sedikit prakata di atas penulis akan mencoba membahas tentang etika bisnis dalam pandangan Al Ghazali. Beliau seorang ulama besar yang sebagian orang mengenal dirinya sebagai seorang sufi padahal pandangan-pandangannya tentang ekonomi sudah tidak diragukan lagi.
Tentang Etika
Konsep etika bisnis berasal dari bahasa Yunani, yang dalam bentuk tunggal adalah ethos yang artinya kebiasaan, akhlak atau watak. Menurut Issa Rafiq Beekun, etika dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dan buruk.3 Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normative karena ia berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang individu.
Etika (akhlak) menurut Al Ghazali adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan dimana perbuatan itu lahir secara sepontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnyatanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.4
Bisnis adalah sebuah aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (produksi).5 Menurut Skinner yang dikutip dari bukunya Muhammad, bisnis adalah pertukaran barang, jasa atau uang yang saling menguntungkan atau member manfaat.6 Sementara AnoragaSoegiatuti mendefinisikan bisnis sebagai aktivitas jual beli barang dan jasa. Straub&Attner mendefinisikan bisnis adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit
Etika dan bisnis kenyataannya dipahami sebagai dua hal yang terpisah bahkan tidak ada kaitan, karena praktek bisnis merupakan kegiatan yang bertujuan maencapai laba sebesar-besarnya dalam situasi persaingan bebas. Sebaliknya etika bila diterapkan dalam dunia bisnis dianggap akan mengganggu upaya mencapai tujuan bisnis.7
Namun bukanlah dalam pandangan al Qur’an bisnis telah menyatu dengan nilai-nilai etika itu sendiri. Al Qur’an secara jeelas menggambarkan prilaku-prilaku bisnis yang tidak etis, yang dapat ditelusuri dari muara kebathiulan dalam bisnis. Jadi apakah bisnis memerlukan etika? Ketika etika dipahami sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang salah, maka etika diperlukan dalam bisnis. Sebagaimana diketahui, bisnis adalah suatu serangkaian peristiwa yang melibatkan pelaku bisnis yang memiliki kecendrungan untuk tabrakan kepentingan, saling menghalalkan cara dalam rangka memperoleh keuntungan sebanyak mungkin, bahkan saling membunuh, sehingga perilaku bisnis yang kuat kian mendominasi, sementara yang lemah terperosok disudut-sudut ruang bisnis. Jadi etika bisnis adalah refleksi kritis dan rasional dari perilaku bisnis dengan memperhatikan moralitas dan norma untuk mencapai tujuan.
Tentang Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Taus Ahmad al-Tusi al-Syafi’i. ia lahir pada tahun 450 H/1058 M di desa kecil bernama Ghazlah Thabran. Kota Thus wilayah Khurasan (Iran). Ayahnya meninggal ketika ia masih kanak-kanak. Kemudian bersama adiknya Ahmad, ia diasuh oleh teman ayahnya yang kebetulan seorang tasawuf. Sahabat ayahnya ini kemudian menyerahkan mereka kepanti asuhan yang didirikan oleh Perdana Mentri Nizamul Mulk dikota Thus. Disinilah Al Ghazali belajar ilmu fiqh kepada Imam Razaqani. Kemudian Al Gahzali pindah ke Naishabur dan belajar kepada Imam al-Juwaini yang dikenal Imam al-Haramain, seorang teolog Asy’ariyah. Disamping belajar ilmu fiqh kepada guru ini, ia juga belajar ilmu kalam. Dari Naisabur ia pindah ke Mu’askar dan berkenalan dengan Nizamul Mulk, Perdana Mentri Bani Saljuk.
Nizamul Mulk mengangkat Al Ghazali sebagai pengajar pada tahun 1091 M di Madrasah al-Nizamiyah Baghdad yang didirikan oleh Nizamul Mulk sendiri. Di kota Baghdad iniulah ia menjadi terkenal, khalaqah pengajiannya semakin ramai. Ia pun menulis banyuak karya ilmiah. Pada tahun 1095 M Al Ghazali meninggalkan kedudukannya yang terhormat di Baghdad, menuju Makkah. Kemudain untuk beberrapa waktu ia menetap di Damaskus, mengisolir diri untuk beribadat, berkontemplasi sebagai seorang sufi. Di puncak menara masjid Jami’ Damaskus ia memperoleh kesempurnaan tasawufnya. Diperkirakan dua tahun lamanya Al Ghazali tinggal di Damaskus. Disini pula ia mempunyai banyak kesempatan menulis karyanya yang monumental Ihya Ulum al-Din. Al Ghazali wafat pada tahun 1111 M di kota Thus, kota dimana ia dilahirkan.
Pemikiran-Pemikiran Al Ghazali.
Pada umunya orang mengenal Al Ghazali sebagai seorang ahli sufi terbesar, seorang ahli tasawuf yang membenci dunia. Tidak seorangpun menggambarkannya sebagai seorang politikus yang mempunyai konsepsi dalam soal kenegaraan dan pemerintahan. Tidak banyak dikenal bahwa Al Ghazali membicarakan soal-soal ekonomi apalagi menyebutkan soal-soal perbankan.
Namun demikian, Al Ghazali yang hidup abad ke-12 (450-505/1058-1111 M) membicarkan semuanya itu dengan cara-cara yang logis dan modern, yang analisisnya masih up to date untuk zaman ini. Bahkan, beliau membicarakannya dalam bukunya ihya ‘ulum al-din yang menjadi pegangan ahli-ahli tasawuf.
Al Ghazali dalam bukunya ihya ‘ulum al-din juz III hal 219 menyebutkan hakikat dunia yang terdiri dari tiga unsure yakni benda-benda (materi), adanya bagian manusia dan pembangunan. Ia mengatakan “ketahuilah, bahwa dunia ibarat dari adanya benda-benda (meteri), adanya bagian masing-masing manusia dan perlunya masing-masing manusia sibuk membangun. Inilah tiga unsure yang diperlukan. Sebagian orang menduga bahwa dunia dapat berdiri dengan salah satu unsure, padahal bukanlah demikian”8
Unsure utama yang dikemukakan Al Ghazali ialah perlu adanya materi bagi hidup manusia didunia ini. Kemudian disusul unsure yang kedua yakni masing-masing orang memiliki bagian dari segala materi itu. Lalu unsure terakhir yang lebih penting ialah manusia harus sibuk mengadakan pembangunan. Ketiganya tidak boleh dipisahkan harus saling mengisi dan saling berhubungan.
Pada bagian lain diterangkan bahwa manusia sering lalai dan mempermainkan unsur-unsur itu, sehingga diperlukan adanya peraturan untuk memelihara dunia sebaik-baiknya. Al Ghazali mengatakan “akan tetapi, karena kelalaian dan kejahilan manusia, Tuhan menjadikan peraturan dalam Negara dan kepentingan untuk rakyat, bahkan semua urusan dunia diberi peraturan karena kelalaian dan pemikiran yang rendah itu. Kalau semua orang berfikir sadar dan mempunyai kemauan baik tentulah semuanya menjadi orang-orang zuhud, orang-orang suci didunia ini. Kalau tidak demikian, terlantarlah segala jalanperekonomian dan menjadi rusaklah semua manusai, termasuk kaum zuhud yang suci itu”
Al Ghazali mengajukan suatu teori saling ketergantungan yang dizaman kita ini dikenal dengan inter-dependence “setiap manusia dalam kebutuhan hidupnya, saling bergantung satu sama lain. Kaum produsen yang menghasilkan bahan makanan didesa memerlukan alat-alat industry yang dihasilkan oleh pabrik di kota, dan keduanya memerlukan kaum pedagang akan mengusahakan tukar menukar barang-barang yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Para konsumen memerlukan barang-barang dari pihak produsen. Mereka menjadi produsen karena menghasilkan macam-macam barang yang diperlukan, dan sekaligus menjadi konsumen karena memerlukan barang-barang yang dihasilkan oleh orang lain”
Fungsi Uang
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations, Al Ghazali telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelasakan, ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkan dan membutuhkan sesuatu yang dimilikinya. Ya dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi bila kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus. Pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya.
Al Ghazali berpendapat, dalam ekonomi barter sekalipun uang dibutuhkan sebagai ukuran nilai suatu barang. Misalnya, onta senilai 100 dinar dan kain senilai sekian dinar. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai barang, uang akan berfungsi pula sebagai media penukaran. Namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut Al Ghazali uang diibaratkan cermin yang tidak punya warna tetapi dapat merefleksikan semua warna. (ihya, 4:91-93).
Merujuk pada Al Qur’an, Al Ghazali mengecam orang yang menimbun uang. dikatakannya orang tersebut sebagi penjahat. Yang lebih buruk lagi adalah orang yang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka dikatakannya sebagai orang yang tidak bersyukur kepada sang pencipta dan kedudukannya lebih rendah daripada orang yang menimbun uang. karena orang yang menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran, sedangkan meleburnya berarti menarik dari peredaran selamanya.9
Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. ini berarti memperkecil terjadinya transaksi sehingga perekonomian lesu. Adapun peleburan sama saja artinya dengan mengurangi jumlah penawaran uang yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.
Kemudian tentang uang palsu, Al Ghazali mengecam dan beliau mengatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang jenis itu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Alasannya, mencuri adalah dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang-uang tersebut digunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu lama.
Evolusi Pasar
Tidak bias dibayangkan jika aktivitas perdagangan hanya mengandalakn pola barter atau kehidupan ekonomi terlalu banyak diatur penguasa. Kemungkinan etrjadinya berbagai distorsi harga tentu sangat besar. Karena itulah pemikiran tentang perlunya aktivitas perdagangan yang ditentuka oleh hokum permintaan dan penawaran, jauh sebelum munculnya ilmu ekonomi modern telah diungkapkan oleh para pemikir islam. Salah satunya adlah pandangan Al Ghazali, beliau menyajikan penjabaran dengan rinci akan peranan aktivitas perdgangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai permintaan dan penawaran. Bagi Al Ghazali pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci, beliau juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar, “dapat saja pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada, namun secara alami mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah, oleh karena itu secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan hasil pertanian dipihak lain. Tempat inilah kemudian yang didatangi pembeli sesuai dengan kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pandai besi yang tidak dapat melakukan barter juga terdorong pergi kepasar. Bila dipasar tidak ditemukan orang yang akan melakukan barter, ia akan menjual kepada pedagang dengan harga yang relatip murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang” (Ihya, III : 227).
Al Ghazali tidak menolak kenyataan bahwa keuntunganlah yang menjadi motif perdagangan. Lebih lanjut Al Ghazali menjabarkan pentingnya peran pemerintah dalam menjamin keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
Walaupun Al Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminology modern, beberapa paragraph dari tulisannya jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran yang “naik dari kiri bawah ke kanan atas” dinyatakan oleh Al Ghazali sebagai “jikia petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang murah”. Sementara untuk kurva permintaan “yang turun dari kiri atas kekanan bawah” dejelaskan sebagai “harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan” (Ihya, III:87).
Institusi Perbankan
Al Ghazali menyebutkan dalam satu nafas antara keperluan adanya pencetakan uang dengan perlunya usaha perbankan. Al Ghazali menulis selanjutnya “kemudian timbul lagi kebutuhan akan adanya percetakan (mata uang) pelukisan dan perhitungan. Kebutuhan itulah menimbulkan perlunya rumah pembuatan mata uang dan kantor perbankan, dalam Ihya AL Ghazali menyebutnya dengan Sharafa dan Shayrafiy atau Ahayarifah”
R i b a
Karena pekerjaan perbankan selalu menghadapi persoalan tukar menukar keuangan dan senantiasa berada dipinggir kota, Al Ghazali berulang kali memperingatkan agar para banker dan semua orang yang berhubungan dengan bank, berhati-hati terhadap dosa riba, ia menganjurkan agar berhati santun dan tidak kejam, berniat jujur dan memandang usahanya sebagai fardhu kifayah demi keselamatan umat dan kemajuan mereka.10 “dan mereka membenci usaha perbankan karena memelihara diri dari praktik riba sangatlah sukar. Lagi pula dalam sifatnya yang lebih luas, pekerjaan bank bukan menuju barangnya tetapi pada kemajuannya dan kemajuannya itu baru terjadi (sempurna) keuntungannya kalau pihak langganannya tidak mengerti secara mendalam tentang soal uang. oleh sebab itu, sedikit sekali bank yang selamat dari dosa meskipun mereka sangat berhati-hati”11
Sungguhpun ada peringatannya yang tajam, hal ini tidaklah berarti bahwa Al Ghazali mengecilakn peranan yang dimainkan oleh institusi perbankan dalam perekonomian. Al ghazali memasukkan lembaga perbankan dalam usaha-usaha yang bersifat fardhu kifayah, yang harus dicita-citakan sebagai tugas penting bagi masyarakat, seperti disebutkannya lebih lanjut “kalau ditinggalkan, rusaklah ekonomi dan penghidupan umat serta kacaulah keadaan manusia”. Di sini, Al Ghazali tidak membicarakan letak ribanya yang disinyalirnya dalam soal perbankan. Ia hanya memperingatkan agar lembaga penting ini tidak terjerumus kepada larangan allah swt.
Kata Akhir
Berangkat dari moral yang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang baik, etika adalah sebuah sign (rambu-rambu) didalam bertindak yang akan membimbing dan mengingatkan kita untuk melakukan perbuatan yang terpuji yang harsu selalu dipatuhi dan dilaksanakan.
Menimbun uang dari peredaran adalah contoh seseorang yang tidak beretika, bahkan Al Ghazali menyebutnya sebagai penjahat. Karena dengan menimbun jelas akan memperlambatperputaran uang, ini berarti akan memperkecil terjadinya transaksi perekonomian yang lemah, alias bisnispun akan macet.
Sebuah aktivitas perdagangan atau bisnis akan lebih teratur dengan adanya pasar, bagi Al Ghazali parar merupakan bagian dari “keteraturan alami”
Lagi-lagi riba menjadi masalah yang kompleks, Al Ghazali memperingatkan agar kita tidak berhubungan dengan riba. Di dalam berbisnis kita dituntut agar berhati-hati, santun dan tidak kejam. Jelas, ini semua demi kemaslahatan umat dan kemajuan kita semua dalam berbisnis.
Daftar Pustaka
http://hadisugito.fadla.or.id/2005/11/10/etika-bisnis-di-perusahaan/130108
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_4htm.180107
Muhammad, Etika Bisnis Islam. Yogyakarta. UPP-AMP YKPN, tt.
http://health.groups.yahoo.com/group/tamanbintang/message/2441
KH. Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi Dalam Persfektif Islam. Bandung. CV. Pustaka Setia. 2002. Cet I
Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta. Gema Insani. 2001.
Al Ghazali, Ihya Ulumuddin. Darul Fikr. 1414 H/1993 M
Ketut Rinjin, Etika Bisnis dan Implementasinya. Jkarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2004
1 http://hadisugito.fadla.or.id/2005/11/10/etika-bisnis-di-perusahaan/130108
2 http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_4htm.180107
3 Muhammad, Etika Bisnis Islam. Yogyakarta. UPP-AMP YKPN, tt. Hal.38
4 http://health.groups.yahoo.com/group/tamanbintang/message/2441
5 Ibid. hal. 37
6 ibid
7 Muhammd, Etika Bisnis….hal. 15
8 KH. Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi Dalam Persfektif Islam. Bandung. CV. Pustaka Setia. 2002. Cet I hal.190
9 Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta. Gema Insani. 2001. Hal. 54
10 KH. Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi….hal. 202
11 Al Ghazali, Ihya Ulumuddin Juz II hal 85

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id