Salah satu ajaran islam yang mengatur kehidupan manusai adalah aspek ekonomi (mu’amalah iqtishodiyah). Ajaran islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al Qur’an, Sunnah maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al Qur’an justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam Q.S. Al Baqarah yang menurut Ibnu ‘Arabi mengandung 52 hukum masalah ekonomi.1
Tidak dapat dipungkiri lagi kehidupan manusai berkaitan erat dengan masalah ekonomi. Pada saat sekarang ini kita berada dalam situasi kehidupan yang menggelobal dengan segala konsekuensinya Negara-negara yang kuat utamanya Amerika telah menempatkan dirinya sebagai sosok rakswasa yang mau menguasai semuanya. Globalisasi telah menciptakan Negara-negara yang maju dalam posisinya sebagai kerajaan dan imprialisme baru. Tatanan perekonomian telah membawa gap atau jurang yang semakin lebar antara Negara miskin dan Negara kaya.
Yang kaya menjadi lebih kaya dan memiliki kekuasaan, yang miskin menjadi miskin dan terpuruk, termasuk didalamnya Negara Indonesia. Dari hari ke hari perekonomian Indonesia mengalami banyak permasalahan, dan ini memberikan dampak yang negative pada kesejahteraan rakyat. Kemungkinan Indonesia sedang mengalami proses kemunduran, tidak hanya Indonesia akan tetapi semua Negara.
Gaung pembaruan islam terdengar cukup lama di Indonesia, namun persepsi dan penerimaan masyarakat islam terhadap gerakan ini masih belum sepenuhnya positif. Salah satu anggapan yang berkembang baik dalam dunia akademis maupun masyarakat umum adalah pembaruan islam merupakan upaya untuk membawa nilai-nilai barat ke dalam dunia islam atau dengan kata lain memasukkan kerangka berfikir barat kedalam struktur pemikiran dan kehidupan kaum muslimin.
Persepsi semacam ini lahir dari kenyataan bahwa proyek pembaruan islam di Indonesia umumnya ingin membawa sejumlah agenda yang dianggap bersumber dari barat. Agenda ini misalnya purifikasi dan rasionalisasi seperti yang dijalankan oleh Kiai Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, atau modernisasi dan sekularisasi islam sebagaimana yang dianjurkan oleh Nurcholish Madjid.
Karena dianggap mengusung agenda barat, anggapan turunannya adalah pembaruan islam tidak dibangun di atas konstruksi epistemology yang islami, tetapi di atas konstruksi epistemology barat. Anggapan semacam ini sebenarnya ahistoris, karena agenda pembaruan islam itu justru muncul ketika terjadi gejala stagnasi dalam tradisi kesarjanaan muslim yang menghawatirkan. Pembaruan itu juga sebagai respons kalangan muslim terhadap penetrasi modernism barat yang melaju ke dalam struktur pemikiran maupun masyarakat islam secara tak terbendung. Disisi lain pembaruan islam adalah hasil dari persentuhan dengan barat.
Tidak sedikit dari kalanagan intelektual muslim yang berpendapat persentuhan itu sebagai hal yang tak terelakkan. Misalnya pendapat ini dianut oleh Mohammed Arkoun. Bagi Arkoun, persinggungan islam dan barat dalam konteks tradisi akademis tidak bias dihindarkan, bahkan jika ingin mengembalikan kekayaan tradisi keilmuan islam yang dulu pernah dicapainya, persinggungan islam dengan barat adalah keniscayaan. Arkoun (2006) pun menghadirkan sejumlah alasan.2
Pertama, dalam tradisi akademik modernsaat ini penggunaan kosa kata, kerangka piker, pemahaman dan interpretasi, seni argumentasi dan demontrasi, juga ruang dan waktu historis pengetahuan yang berhubungan dengan cara berfikir serta konseptualisasi nilai yang bernuansa Amerika-Eropa sentries menjadi tidak terhindarkan. Islam dan kaum muslimin memang bias menjadi subyek kajian akademis, tetapi kajian-kajian itu tidak akan pernah dianggap sebagai sumber kajian akademis yang memadai manakala tidak memenuhi persyaratan akademis sebagaimana yang dikembangkan dan dikontrol oleh komunitas intelektual barat.
Kedua, bahwa sejak abad ke 18 dan 19 tidak ada model kesarjanaan yang mampu menandingi model pemikiran dan pengetahuan barat. Menurut Arkoun juga sampai hari ini kita belum melihat adanya kemungkinan model lain yang dirancang untuk secara sukses menandingi apa yang terjadi dalam tradisi akademik barat.
Ketiga, adalah fakta sejarah bahwa revolusi intelektual yang dicapai di Eropa tidak memiliki padanan di tradisi pemikiran lainnya dibelahan bumi ini. Faktanya, tidak ada tandingan dari budaya dan system pemikiran lain non barat yang berhasil meniadakan nilai-nilai operatif dari perubahan epistemologis dan intelektual yang dicapai di eropa melalui penggantian supremasi nalar agama dan teologis dengan nalar filsafat dan ilmiah.
Keempat, islam sebagai tradisi pemikiran sepenuhnya telah diabaikan dan sebagian besar kaum muslimin masih menolak proses pembangunan tradisi itu dan juga revolusi saintifik dan intelektual yang dibawa oleh modernitas.
Kelima, karena alasan-alasan ini maka kita perlu menempatkan tampilan epistemology kita agar terjadi sejumlah sintesis islam. Menampilkan sintesis islam tanpa melihat hasil-hasil ilmiah yang telah dicapai barat sama dengan menyenangkan kelompok muslim fundamentalis yang tidak waspada akan perdebatan akademis tentang criteria kesarjanaan yang sahih dan tidak sahih.
Meskipun dalam hal tertentu pendapat Arkoun ini cenderung melebih-lebihkan tradisi akademis barat, anjuran Arkoun untuk secara obyektif mengakui dan kemudian mengadopsi kaidah dan pencapaian saintifik barat perlu dipertimbangkan.
Bahwa barat yang sekarang menjadi acuan, hanyalah factor kesejarahan saja. Artinya sebagai entitas peraqdaban, barat juga akan mengalami proses-peoses seleksi alamiah. Mengikuti teori Ibnu Khaldun, sebuah peradaban pasti akan mengalami masa-masa pertumbuhan, konsolidasi, keemasan, pembusukan dan kemudian keruntuhan. Jika suatu saat barat tidak lagi menjadi kiblat bagi tradisi akademik universal, dan digantikan oleh peradaban baru maka islam semestinya melihat peluang ini.
Pada masa kenabian dan khalifah islam menguasai semua bidang, termasuk didalamnya ekonomi, social budaya dan lainnya. Disisi lain ternyata abad kegelapan yang dialami oleh dunia barat justru berbanding terbalik dengan perkembangan keilmuan pada dunia islam. Pada masa tersebut adalah masa keemasan umat islam, dimana banyak para ilmuan muslim berhasil memberikan karya-karya ilmiah yang signifikan, adalah satu-satunya dalam perkembangan dunia ilmu ekonomi. Banyak ilmuan muslim yang menulis, meneliti dan menghasilkan teori-teori yang hasilnya hingga sekarang masih relevan untuk dipelajari dan diterapkan.3
Beberapa ilmuan muslim yang berhasil menghasilkan karya fenomenal pada teori ekonomi diantaranya Ibnu Taimiyah, Ibnu Rushd, Ibnu Khaldun, Al Ghazali dan masih banyak lagi. Pada tulisan kali ini penulis akan lebih sfesifik membahas pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun dan bagaimana implikasinya terhadap perekonomian sekarang terutama perekonomian Indonesia.
‘Abd-ar-Rahman Abu Zayd ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Khaldun
Ibnu Khaldun mempunyai nama lengkap ‘Abd-ar-Rahman Abu Zayd ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Khaldun. Beliau lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332 atau pada tanggal 1 Ramadhan 732 H. ibnu Khaldun adalah seorang ilmuwan, negarawan, ahli hukumdan seorang sejarawan. Ia keturunan keluarga bangsawan yang dalam beberapa abad terkenal memiliki keunggulan dalam bidang kepemimpinan politik di Moorish, Spanyol. Akhirnya mereka pindah ke Afrika Barat Laut beberapa tahun sebelum jatuhnya Sevilla ke tangan Kristen (Raja Castilla) tahun 1248. Seluruh nenek moyangnya merupakan orang-orang istana yang pandai dan mereka juga seorang ilmuwan yang bekerja di istana Raja Hafsid di Bone dan Tunisia.4
Ibnu Khaldun hidaup pada masa antara 1332-1405 M ketika peradaban islam dalam proses penurunan dan disintegrasi Khaliffah Abbasiyah diambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran dan penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Dinasti Mamluk (1250-1517), selama periode kristalisasi gagasan Ibnu Khaldun, hanya berkontribusi pada percepatan penurunan peradaban akibat korupsi dan inefesiensi yang mendera kekhalifahan, kecuali pada masa awal-awal periode pertama yang singkat dari sejarah kekhalifahan Mamluk (periode pertama Bahri/Turki Mamluk pada 1250-1382) yang benyak mendapat pujian dalam tarikh, periode kedua adalah Burji mamluk (1382-1517) yang dikelilingi krisis ekonomi yang parah.
Sebagai seorang muslim yang sadar, Ibnu Khaldun tekun mengamati bagaimana caranyamembalik atau merevisi gelombang penurunan peradaban islam. Sebagai ilmuwan social Ibnu Khaldun sangat menyadari bahwa reverse tersebut tidak akan tergambarkan tanpa menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan factor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis5
Pendidikan pertama Ibnu Khaldun didapatnya dengan cara-cara tradisional dengan mempelajari Al Qur’an, Al Hadist, fiqh (ilmu hukum), dan seluk beluk puisi dan tata bahasa arab (ilmu nahwu) dan beberapa ilmuan terbaik yang ada pada saat itu, yang kemudian diterapkan pada dirinya untuk mempelajari ilmu kebathinan Arab dan filsafat Moorish Aristotelian.
Ibnu Khaldun meninggal pada tanggal 17 Maret 1406 dan dimakamkan dikomplek pemakaman sufi diluar kota Kairo. Dia memilih dimakamkan di Mesir dengan beberapa alasan yakni pertama : keluarga Ibnu Khaldun bukan penduduk asli Tunisia melainkan imigran dari Tunisia. Kedua, keluarganya meninggal dalam perjalanan dari Tunisia ke Mesir sehingga di Tunisia sudah tidak ada keluarganya lagi. Ketiga, sebenarnya Ibnu Khaldun tidak memilih meninggal di mesir, dia tidak peduli karena sebenarnya dia tidak memiliki kewarganegaraan dan tanah air.6
Karya-karya Ibnu Khaldun. Banyak sekali karya Ibnu Khaldun, dan uraian karya-karya beliau yang masih banyak dibahas para ahli sampai saat ini ialah :
Al-I’bar
Al-I’bar merupakan karya utama Ibnu Khaldun. Lengkapnya buku tersebut berjudul al-I’bar wa Diwan al-Mubtada wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa man ‘Asharahum min Dzawi al-Sultan al-Akbar. Terjemahan bebas kedalam bahasa Indonesia berarti Kitab I’tibar dan catatan Sejarah Terdahulu dan Kemudian Tentang Peristiwa Bangsa Arab, Asing dan Barbar serta Penguasa-Penguasa Besar Yang Semasa Dengan Mereka.
Karena nama kitab tersebut begitu panjang, dalam berbagai referensi pada umumnya disingkat dengan sebutan kitab al-I’bar saja. Kitab ini diselesaikan Ibnu Khaldun ketika bermukim di Qal’ah ibn Salamah, daerah Al-Jazair sekarang. Ditengah kesunyian padang pasir, ia memulai hidup baru, di tempat itu ia menghabiskan waktunya selama empat tahun (776-780 H). ia mengisolasi diri dari dunia politik dan berkonsentrasi menulis Al-I’bar sebagai suatu karya sosio historis yang terkenal.7
Beberapa penjelasan yang berkaitan dengan buku tersebut , baik isi, metode maupun karakteristiknya diutarakan sendiri oleh Ibnu Khaldun. Dalam hal ia beliau menulis “dengan buku ini, aku berusaha menyiongkap tabir keadaan dari berbagai generasi. Aku menyusunnya dengan metode yang teratur. Dalam menyusun dan membagi bab-babnya aku mempergunakan metode yang tak pernah dipergunakan selama ini”
Muqaddimah
Pada awalnya buku Muqaddimah hanyalah merupakan Muqaddimah (pendahuluan) dalam pengertian sesungguhnya, yaitu suatu pendahuluan untuk buku utama Al-I’bar. Namun bagian ini kemudian dipisahkan dari bagian-bagian lain kitab Al-I’bar hingga akhirnya menjadi karya yang berdiri sendiri, sebagaimana yang kita kenal sekarang dengan nama Muqaddimah Ibnu Khaldun.
Muqaddimah, yang diselesaikan pada November 1377 adalah buah karya dan cita-cita besarnya tersebut. Muqaddimah secara harfiah berarti “Pembukaan” atau “Introduksi” dan merupakan jilid pembuka dari tujuh jilid tulisan sejarah, yang secara bebas diterjemahkan kedalam buku “The Book of Lessons ang the Record of Couse and Effect in the History of Arabs, Persians and Berbers and Their Powerful Contemporaries” Muqaddimah mencoba untuk menjelaskan prinsip-prinsip yang menentukan kebangkitan dan keruntuhan dinasti yang berkuasa (daulah) dan peradaban (‘umran). Tetapi bukan hanya itu saja yang dibahas, Muqaddimah juga berisi diskusi ekonomi, sosiologi dan ilmu politik yang merupakan kontribusi orisinil Ibnu Khaldun untuk cabang-cabang ilmu tersebut. Ibnu Khaldun juga layak mendapatkan penghargaan atas formula dan ekspresinya yang lebih jelas dan elegan dari hasil karya pendahulunya atau hasil karya ilmuwan yang sejaman dengannya. Wawasan Ibnu Khaldun terhadap beberapa prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam dan njauh kedepan sehingga sejumlah teori yang dikemukakannya hamper enam abad yang lalu hingga sekarang tidak diragukan merupakan perintis dari beberapa formula teori modern.8
Al-Ta’rif
Al-Ta’rif merupakan buku autobiografi Ibnu Khaldun. Beliau menyelesaikan penulisan buku tersebut pada awal tahun 797 H. semula buku tersebut berjudul Al-Ta’rif bi ibnu Khaldun Mu’allif Hadza al-Kitab. Kitab ini kemudian direvisi Ibnu Khaldun dan dilengkapi dengan hal-hal baru hingga akhir tahun 808 H, beberapa bulan sebelum beliau wafat. Dengan demikian karya itu menjadi lebih tebal dan kemudian ia beri judul Al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun Mu’allif Hadza al-Kitab wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan. Kitab ini oleh Ibnu Khaldun dijadikan lampiran kitab utama Al-I’bar.9
Pemikiran Ibnu Khaldun
Konsep ‘Ashabiyah (Solidaritas Sosial)
Manusia sebagai mahluk social tidak mungkin bias hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal ini dikarenakan kapasitas individunya yang tidak memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi manusia tidak bias hidup bersama dalam situasi konflik, permusuhan dan ketidakadilan. Untuk itulah dibutuhkan solidaritas social (‘ashabiyah) dan wazi’ (pemerintah) yang mengendalikan dan mengatasi konflik dan ketidakadilan yang terjadi.
Secara bahasa terminology ‘ashabiyah digunakan di arab dalam dua pengertian, yang pertama berkonotasi positif dengan konsep persaudaraan dalam islam, inilah yang membuat masyarakat (N) bekerja satu sama lain untuk tujuan bersama, mengekang kepentingan pribadi dan memenuhi kewajiban bersama. Dengan demikian persaudaraan mendorong keselarasan social dan menjadi kekuatan penentu dalam kebangkitan dan kemajuan suatu peradaban. Dalam pengertian persaudaraan ‘ashabiyah dipuji dan dianjurkan oleh syari’ah (S).
Pengertian lain ‘ashabiyah digunakan untuk merujuk pada kesetiaan buta pada kelompok sendiri. Hal ini membawa kecintaan pada kelompok sendiri tanpa memperhatikan benar atau salah, mendorong terjadinya ketimpangan, kebencian dan konflik. Konotasi negative ini tidak sesuai dengan syari’ah dan dibenci Rasulullah saw. Kedua konotasi ini disebutkan dalam Al Qur’an surat Al Maidah ayat 2 dan Ibnu Khaldun menggunakan terminology yang pertama dalam memakai ‘ashabiyah.10
‘Ashabiyah itu sendiri bergantung pada sejumlah variable yang sudah dimasukkan dalam analisis Ibnu Khaldun tentang hubungan sebab akibat sirkular. ‘ashabiyah berkembang dan menjadi kuat jika terdapat keadilan (J) untuk memastikan kesejahteraan tercukupi untuk semua masyarakat melalui pemenuhan kewajiban dan pembagian hasil yang setara. Ketiadaan keadilan akan menyebabkan ketidakpuasan dalam masyarakat dan membawa pengaruh negative pada solidaritas masyarakat. Variable-variabel yang ada dalam analisis Ibnu Khaldun terangkum dalam delapan model nasihat Ibnu Khaldun yakni :
Kekuatan penguasa (Al-mulk) tidak akan terwujud kecuali dengan implementasi syariah.
Syari’ah tidak dapat terimplementasi kecuali dengan penguasa (Al-Mulk)
Penguasa tidak dapat memperoleh kekuatan kecuali melalui rakyat (ar-rijal)
Rakyat tidak dapat dipelihara kecuali dengan kekayaan (al-mal)
Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali melalui pembangunan (al-imarah)
Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui keadilan (al-‘adl)
Keadilan adalah criteria (al-mizan) allh swt menilai hamba-Nya
Penguasa bertanggungjawab mengaktualisasikan keadilan.11
Nasihat ibnu khaldun tersebut Eight Wise Principles (kalimat hikamiyah), atau delapan prinsip kebijakan politik Ibnu Khaldun, masing-masing factor berhubungan satu sama lain secara mutual dalam formula sirkular tersebut, titik awal dan titik akhirnya tidak dapat dibedakan. Kalimat hikamiyah merefleksikan karakter analisa Ibnu Khaldun yang dinamis dan inter disiplin. Interdisiplin karena tidak merujuk penyebab kemunduran peradaban pada satu factor saja, melainkan pada semua variable penting social, ekonomi dan politik termasuk shari’ah (S), pemegang kekuasaan politik atau wazi’ (G), masyarakat atau rijal (N), kekayaan atau cadangan sumberdaya atau maal (W) pembangunan atau ‘imarah (g) dan keadilan atau ‘adl (j) dalam suatu hubungan sirkular dan independen. Masing-masing factor saling mempengaruhi dan pada saat yang sama juga menerima pengaruh dari factor-faktor tersebut. Karena operasi dari siklus ini berlangsung melalui reaksi berantai selama periode yang panjang setidaknya tiga generasi atau sekitar 120 tahun, maka dimensi dinamisme dapat memperlihatkan bagaimana factor-faktor moral, psikologi, politik, social, ekonomi dan demografi berinteraksi satu sama lain sepanjang waktu dan membawa kepada kemajuan dan kemunduran suatu peradaban.
Ibnu Khaldun menekankan bahwa syariah tidak akan tegak jika tidak melalui peran Negara atau penguasa, Negara tidak akan berjalan baik tanpa adanya implementasi hokum syariah. Negara atau pemnerintahan tidak akan berjalan baik tanpa adanya orang (khalifah). Keberlangsungan orang tidak akan berjalan tanpa adanya capital (harta). Harta didapatkan dari pembangunan yang signifikan (imarat) dan pembangunan tidak akan berjalan tanpa adanya keadilan, dan keadilan adalah salah satu criteria dihisab oleh allah swt. Maka menurut Ibnu Khaldun penerapan syariah pada Negara tidak akan tegak tanpa didasari oleh keadilan dibidang social dan ekonomi.12
Teori Produksi
Manusiawi dan Produksi
Prinsip pokok ekonomi harus tercermin dalam system produktif suatu Negara islam. Karena produksi berarti diciptakannya manfaat, seperti juga konsumsi adalah pemakaian (penghabisan) produksi tersebut. Produksi tidak berarti menciptakan secara fisik sesuatu yang ada, karena tidak ada seorangpun yang dapat menciptakan secara fisik sesuatu yang ada, karena tidak ada seorangpun yang dapat menciptakan benda . dalam pengertian ahli ekonomi yang dapat dikerjakan manusia hanyalah membuat barang-barang menjadi berguna, disebut “dihasilkan” prinsip fundamental yang harus slalu diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi.
Konsep islam mengenai kesejahteraan ekonomi terletak pada bahwa hal itu tidak dapat mengabaikan pertimbangan kesejahteraan umum lebih luas yang menyangkut persoalan moral, pendidikan agama dan lain-lain. Dalam ilmu ekonomi modern, kesejahteraan diukur dari segi uang. menurut Mannan kesejahteraan ekonomi islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi mulai dari barang-barang yang berfaedah melalui sumber daya secara maksimum, dan melalui ikut sertanya jumlah maksimum orang dalam proses produksi.13
Karena produksi menyangkut kehidupan orang banyak dan untuk mencapai titik maksimal dibutuhkan suatu manajemen yang mengaturnya. Bagi Ibnu Khaldun, produksi merupakan aktivitas manusia yang diorganisasikan secara nasional dan internasional.
Manusia adalah khalifah fil ardhi yang diciptakan oleh allah sebagai mahluk social dan individu. Pada satu sisi manusia sebagai binatang ekonomi yang memiliki tujuan produksi, dari segi produksi manusia didefinisikan sebagai “manusia dibedakan dari mahluk lainnyadari segi upayanya mencari penghidupan dan perhatiannya pada berbagai jalan untuk mencapai dan memperoleh sarana-sarana kehidupan”14
Factor-faktor produksi diantaranya adalah tanah, tenaga kerja, modal dan organisasi. Manusia merupakan factor produksi yang utama. Karena tanpa ada pekerja, produksi tidak akan berjalan. Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah bagian V “motif ekonomi timbul karena ada hasrat manusia yang tidak terbatas, sedangkan barang yang memuaskan kebutuhannya itu sangat terbatas. Sebab itu pemecahan soal ekonomi haruslah dipandang dari dua sudut, sudut tenaga dan sudut penggunaannya”15 adapun sudut tenaga terbagi menjadi dua yakni : pertama, tenanga untuk mengerjakan barang-barang (obyek) untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subyek) dinamakan ma’asy (penghidupan). Kedua, tenanga untuk mengerjakan barang-barang yang memenuhi kebutuhan orang banyak, dinamakan ta’awwul (perusahaan).
Pembagian seperti ini didasarkan pada beberapa perkataan yang ada dalam kitab suci Al Qur’an. Misalnya perkataan “ma’asyah” dalam Q.S. An Naba’ ayat 11 “ma’isyah” dalam Q.S. Al A’raf ayat 10, Q.S. Al Hajar ayat 20 menggunakan kata “ma’isyah” dan sebagainya. Menurut Ibnu Khaldun “tenaga manusia sangat penting untuk setiap akumulasi laba. Jika sumber produksi adalah kerja, sedemikian rupa seperti misalnya pekerjaan kerajinan tangan, hal ini jelas. Jika sumber pendapatan adalah hewan, tanaman atau mineral seperti kita lihat, tenaga manusia tetaplah penting. Tanpa tenaga manusia tidak ada hasil yang akan dicapai, dan tidak ada hasil yang berguna”16 karena begitu pentingnya factor tenaga kerja dalam proses produksi maka kehidupan buruh (pekerja) harus diperhatikan.
Dalam islam buruh bukan hanya satu jumlah usaha atau jasa abstrakyang ditawarkan untuk dijual pada para pencari tenaga kerja manusia. Mereka yang mempekerjakan buruh memiliki tanggung jawab moral dan social. Ukuran moral dan social buruh sebagai factor produksi tidak jelas terdapat dalam ilmu ekonomi skuler. Dalam islam buruh digunakan dalam arti yang lebih luas namun lebih terbatas. Lebih luas karena hanya memandang pada penggunaan jasa buruh diluar batas-batas pertimbangan keuangan. Terbatas dalam arti bahwa seorang pekerja tidak secara mutlak bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya dengan tenaga kerjanya itu.
Menyangkut organisasi social dan internasional dari produksi. Melakukan produksi juga penting bagi manusia, jika manusia ingin hidup dari mencari nafkah manusia harus makan maka mereka harus memproduksi makanannya. Hanya tenaganya yang mengizinkannya untuk dapat makan “segala sesuatu berasal dari allah swt, tetapi kerja manusia merupakan keharusan didalam setiap keuntungan dan penumpukan modal”17
Setiap individu mampu untuk melakukan kegiatan atau pekerjaannya sendiri, tetapi tidak selamanya mereka bias mengerjakan itu sendiri. Mereka membutuhkan bantuan orang laindan jika pekerjaan mereka dikerjakan secara bersama maka yang dihasilkan juga akan maksimal nilai keuntungannyapun semakin meningkat. Ibnu Khaldun mengungkapkan pernyataan “di kota-kota dengan penduduk sedikit dapat dilihat rezeki dan keuntungan juga sedikit, atau tidak ada sama sekali, karena sedikitnya manusia, inilah sebabnya orang awam mengatakan dengan merosotnya peradaban, rizki suatu kota telah lenyap”18
Tidak hanya individu suatu Negara juga membutuhkan organisasi dan kerjasama dengan Negara yang lain. Tidak semua Negara dapat memenuhi kebutuhan negaranya sendiri, misalkan di Mesir penduduknya tidak ahli dalam membuat ukiran-ukiran, maka Negara mengimpor ukiran-ukiran dari Indonesia begitu juga sebaliknya. Kerja sama antar Negara dalam bidang ekonomi dapat melalui ekspor impor, pengiriman tenaga kerja dan lain sebagainya.
Sebagaimana yang telah diingitkan oleh Ibnu Khaldun (w.808/1406) kekayaan sumber daya yang melimpah cenderung memperangkap bangsa-bangsa untuk bergantung dan tidak produktif. Dalam pemikiran Ibnu Khaldun, bahwa kekayaan dan pembangunan sebuah bangsa tidak bias hanya bergantung pada keberadaan tambang emas dan perak (kekayaan sumber daya). Kekayaan dan pembangunan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh aktivitas ekonomi yang mencakup keluasan jumlah dan pembagian tenaga kerja, luasny a pasar, kecukupan tunjangan dan fasilitas yang disediakan oleh Negara, serta riset dan tekhnologi yang pada gilirannya tergantung pada investasi dari hasil tabungan atau surplus yang dihasilkan setelah memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin banyak aktivitas ekonomi yang dilakukan maka pendapatan Negara akan semakin besar. Pendapatan yang besar akan memberikan kontribusi terhadap tingkat tabungan yang lebih tinggi dan investasi yang lebih besar untuk riset dan teknologi dan dengan demikian aka nada kontribusi yang lebih besar di dalam pembangunan dan kesejahteraan sebuah bangsa.19
Teori Nilai Uang dan Harga
N i l a i
Bagi Ibnu Khaldun nilai suatu produk sama dengan jumlah tenaga kerja yang dikandungnya “sebagian hasil yang diperoleh seseorang melalui usaha dan tenaganya disebut keuntungan”20 Seberapa besar manusia itu berusaha itulah yang akan mereka hasilkan. Demikian juga kekayaan Negara tidak ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki bangsa tersebut, tetapi ditentukan oleh produksi barang dan jasanya dan neraca pembayaran yang sehat. Neraca pembayaran yang sehat adalah konsekuensi alam dari tingkat produksi yang tinggi “suatu pertanyaan dikemukakan : dimana harta kekayaan bangsa-bangsa yang dating sebelum kita, dan dimana kekayaan tersebut dapat ditemukan? Ketahuilah bahwa kekayaan semacam emas, perak, batu permata dan barang-barang lain yang dibuat itu hanyalah barang tambang dan barang produksi yang mempunyai nilai tukar sama seperti besi, tembaga, timah hitam serta logam lainnya. Maka masyarakat dengan perantara kerja manusia yang membawa, menambah atau mengurangi nilainya”21
U a n g
Bagi Ibnu Khaldun emas dan perak adalah ukuran nilai. Logam ini diterima secara alamiah sebagai uang dimana nilainya tidak dipengaruhi fluktuasi subyektif “Allah swt menciptakan dua logam mulia, emas dna peraksebagai ukuran nilai bagi semua akumulasi modal. Demikianlah penduduk dunia sering menganggapnya sebagai harta kekayaan dan hak milik. Jika dalam keadaan tertentu barang-barang lain dicari, hal ini tidak lain demi tujuan untuk memperoleh emas dan perak. Semua barang lain merupakan subyek bagi pergolakan pasar, kecuali emas dan perak. Keduanya merupakan dasar keuntungan, kekayaan dan hak milik”22
Karena itu Ibnu Khaldun mendukung penggunaan emas dan perak sebagai standar moneter. Pembuatan uang logam hanyalah sebagai jaminan yang diberikan penguasa bahwa sekeping uang logam mengandung sejumlah kandungan emas dan perak tertentu. Ibnu Khaldun mendukung standar logam dan harga emas perak yang konstan “Semua barang-barang lainnya terkena fluktuasi pasar, kecuali emas dan perak” jadi uang logam bukan hanya ukuran nilai tetapi juga digunakan sebagai cadangan nilai.23
Ibnu Khaldun hidup pada zaman kedua, yang menurut teori ialah zaman yang sudah menggunakan mata uang sebagai alat penghargaan. Pada masa itu dia juga membicarakan kemungkinan yang akan terjadi tentang kedudukan mata uang. Ibnu Khaldun meramalkan bahwa emas dan perak pada gilirannya akan mengambil tempat yang penting dalam dunia perekonomian yakni sebagai alat tukar dan pengukur harga sebagai nilai usaha, sebagai alat perhubungan dan sebagai alat simpanan dalam bank-bank.
Analisis Ibnu Khaldun, ketika emas dan perak baru merupakan dinar dan dirham dia sudah mengetahui bahwa secepatnya dunia akan meninggalkan zaman natural whiscaft (tukar menukar barang) berpindah pada zaman modern yang lebih terkenal dengan geldwhiscaft (jual beli dengan perantara uang). Mungkin ada waktunya keduanya diganti dengan uang kertas seperti zaman sekarang tetapi tujuan yang sebenarnya tetaplah emas dan perak, dari setiap uang kertas yang dicetak mesti ada jaminan emas dan perak dalam bank.
H a r g a
Harga adalah hasil dari permintaan dan penawaran. Hokum permintaan berbanding sama dengan harga artinya, jika permintaan banyak maka harga akan mahal, jika permintaan sedikit maka harga akan murah. Sedangkan pada hokum penawaran berbanding terbalik dengan harga. Pengecualian dari satu-satunya hokum ini adalah harga emas dan perak, yang merupakan standar moneter. Barang-barang lain terkena fluktuasi harga yang tergantung pada pasar. Bila suatu barang langkadan banyak diminta maka harganya tinggi, jika barang berlimpah maka harganya murah.
Karena itu Ibnu Khaldun menguraikan suatu teori nilai yang berdasarkan tenaga kerja. Sebuah teori tentang uang yang berdasarkan tenaga kerja, sebuah teori tentang uang yang kuantitatif dan sebuah teori tentang harga yang ditentukan oleh hokum permintaan dan penawaran, teori tentang harga yang ditentukan oleh hokum permintaan dan penawaran, teori tentang harga ini mengantarkannya untuk menganalisis fenomena distribusi.24
Teori Distribusi
Teori distribusi hendaknya dapat mengatasi distribusi pendapatan nasional diantara berbagai kelas rakyat. Terutama dia harus bias menjelaskan fenomena sebagian rakyat ada yang miskin dan sebagian lagi ada yang kaya. Teori ekonomi modern mendefinisikan distribusi sebagai sebuah teori yang menetapkan harga jasa produksi, berusaha menemukan nilai jasa dari berbagai factor produksi. Dalam hal ini, teori ini merupakan perpanjangan dari teori penetapan harga.
Harga suatu produk terdiri dari tiga unsure yakni gaji, laba dan pajak. Gaji adalah imbal jasa bagi produsen, laba merupakan imbal jasa bagi pedagang dan pajak imbal jasa bagi pegawai negeri dan penguasa. Karena itu Ibnu Khaldun membagi perekonomian kedalam tiga sector yakni pertukaran, produksi dan layanan masyarakat. Harga imbal jasa dari setiap unsure ini dengan sendirinya ditentukan oleh hokum permintaan dan penawaran.25 Ketiga unsure harga adalah sebagai berikut : Pertama, Gaji. Sebagaimana diterangkan di atas bahwa hasil yang diperoleh seseorang tergantung seberapa besar mereka mengeluarkan tenaga untuk itu. Nilai suatu produk sama dengan jumlah tenaga kerja yang dikandungnya, gaji merupakan unsure utama dari harga-harga barang. Harga tenaga kerja adalah basis harga barang. Namun harga tenaga kerja itu sendiri ditentukan oleh hokum permintaan dan penawaran. Jika gaji terlalu rendah maka pasar akan lesu (pekerja malas bekerja) akibatnya produksi menurun
Kedua, laba. Harga adalah selisih antara harga jual dan harga beli yang diperoleh oleh pedagang. Namun selisih ini juga tergantung pada hokum permintaan dan penawaran yang menentukan harga beli melalui gaji dan menentukan harga jual melalui pasar. Ibnu Khaldun mendefinisikan fungsi utama dari perdagangan yang merupakan terjemahan waktu dan tempat dari suatu produk. “Usaha untuk meningkatkan laba sedemikian dapat dilakukan dnegan menyimpan barang dan menahannya hingga pasar sudah berfluktuasi dari harga rendah menjadi harga tinggi . pedagang dapat memindahkan barangnya kenegeri yang lain dimana permintaan ditempat itu lebih banyak dari pada di kota aslanya.26”
Jika laba sangat rendah maka pedagang terpaksa melikuidasi saham-sahamnya dan tidak dapat memperbaruinya karena tidak ada modal. “Jika harga-harga dari jenis barang manapun tetap rendah pedagang kehilangan modalnya”27 dan jika harga tinggi pedagang juga akan melikuidasi sahamnya karena tekanan inflasi.
Ketiga, pajak. Pajak bermacam-macam jumlahnya, tergantung dari kekayaan penguasa dan penduduknya. Jumlah pajak ditentukan oleh hokum permintaan dan penawaran produk. Karena hal itu yang menentukan pendapatan penduduk. Jika pajak terlalu rendah maka pemerintah tidak dapat menjalankan fungsinya. Dan sebaliknya jika pajak terlalu tinggi maka tekanan fiscal menjadi terlalu kuat sehingga laba para pedagang dan produsen menurun dan mengakibatkan hilangnya insentif untuk kerja.
Akhir Kata
Perekonomian yang semakin maju dan berkembang sangat pesat membutuhkan suatu pemikiran dan pemecahan untuk mengatasi permasalahan-permasalahannya. Ibnu Khaldun merupakan salah satu pemikir islam yang memiliki pemikiran dalam mengatasi permasalahan yang terjadi pada masyarakat tidak hanya dalam bidang ekonomi, akan tetapi politik, social dan budaya juga dibahas. Dengan karya-karyanya seperti Al I’bar, Muqaddimah dan Al-Ta’rif Ibnu Khaldun memberikan sumbangsih pemikiran bahwa kesejahteraan masyarakat atau Negara belum dikatakan tercapai dengan adanya kekuasaan yang baik, solidaritas social, kerjasama dan nilai-nilai social yang ditegakkan.
Daftar pustaka
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?optipon=com_content7task=view&id=1112&itemid=5
http://islamlib.com/id/index.php?page-article&mode=print&id-1243
http://arifperdana.wordpress.com/2007/11/22/kontribusi-ilmuan-muslim-terhadap-ilmu-ekonomi/
http://www.halalguide.info/content/view/432/46/
www.halalguide.info/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=433-8k
Syafiudin. Negara Islam Menurut Konsep Ibnu Khaldun. Yogyakarta. Gama Media. 2007.
Abdul Mannan. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta. Dhana Bakti Wakaf. 1997.
Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta. Raja Wali Press. 2006.
Abdullah Zaki Al Kaaf. Ekonomi Dalam Persfektif Islam. Bandung. Pustaka Setia. 2002.
Ahmadia. Terjemaha Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta. Pustaka Firdaus. 2000.
http://www.mail-archive.com/ekonomi
1 http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?optipon=com_content7task=view&id=1112&itemid=5
2 http://islamlib.com/id/index.php?page-article&mode=print&id-1243
3 http://arifperdana.wordpress.com/2007/11/22/kontribusi-ilmuan-muslim-terhadap-ilmu-ekonomi/
4 http://www.halalguide.info/content/view/432/46/
5 www.halalguide.info/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=433-8k
6 http://www.halalguide.info/content/view/432/46/
7 Syafiudin. Negara Islam Menurut Konsep Ibnu Khaldun. Yogyakarta. Gama Media. 2007. Hal.35
8 www.halalguide.info/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=433-8k
9 Syafiudin. Negara Islam Menurut Konsep Ibnu Khaldun. Yogyakarta. Gama Media. 2007. Hal.35
10 www.halalguide.info/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=433-8k
11 www.halalguide.info/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=433-8k
12 http://arifperdana.wordpress.com/2007/11/22/kontribusi-ilmuan-muslim-terhadap-ilmu-ekonomi/
13 Abdul Mannan. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta. Dhana Bakti Wakaf. 1997. Hal 54
14 Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta. Raja Wali Press. 2006. Hal 394
15 Abdullah Zaki Al Kaaf. Ekonomi Dalam Persfektif Islam. Bandung. Pustaka Setia. 2002. Hal 209
16 Ahmadia. Terjemaha Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta. Pustaka Firdaus. 2000. Hal. 449
17 Ahmadia. Terjemaha Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta. Pustaka Firdaus. 2000. Hal. 449
18 Ahmadia. Terjemaha Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta. Pustaka Firdaus. 2000. Hal. 450
19 http://www.mail-archive.com/ekonomi
20 Ibid, 448
21 Ahmadie. Terjemaha Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta. Pustaka Firdaus. 2000. Hal. 456
22 Ibid, hal. 449
23 Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta. Raja Wali Press. 2006. Hal 402
24 Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta. Raja Wali Press. 2006. Hal 402
25 Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta. Raja Wali Press. 2006. Hal 403
26 Ahmadie. Terjemaha Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta. Pustaka Firdaus. 2000. Hal. 470
27 Ibid. hal.373
0 Comments:
Post a Comment