Berawal dari moral yang merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan, etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggota-anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan.
Etika didalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Karena untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antar semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sedangkan pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati olrh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bias untuk diwujudkan. Jadi jelas, untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah keapda suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.1
Etika sebagai ajarab baik-buruk, benar-salah atau ajaran tentang moral khususnya dalam prilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dalam ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi barat menunjuk pada kitab injil (bibel) dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al Qur’an. Namun jika etika agama Kristen-protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, jika kapitalisme menonjolkan sifat individualism dari manusia, dan sosialisme pada kolektivisme, maka islam 2 menekankan empat sifat sekaligus, kesatuan, keseimbangan, kebebasan dan tanggung jawab.
Oleh karena itu dari sedikit prakata di atas penulis akan mencoba membahas tentang etika bisnis dalam pandangan Al Ghazali. Beliau seorang ulama besar yang sebagian orang mengenal dirinya sebagai seorang sufi padahal pandangan-pandangannya tentang ekonomi sudah tidak diragukan lagi.
Tentang Etika
Konsep etika bisnis berasal dari bahasa Yunani, yang dalam bentuk tunggal adalah ethos yang artinya kebiasaan, akhlak atau watak. Menurut Issa Rafiq Beekun, etika dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dan buruk.3 Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normative karena ia berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang individu.
Etika (akhlak) menurut Al Ghazali adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan dimana perbuatan itu lahir secara sepontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnyatanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.4
Bisnis adalah sebuah aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (produksi).5 Menurut Skinner yang dikutip dari bukunya Muhammad, bisnis adalah pertukaran barang, jasa atau uang yang saling menguntungkan atau member manfaat.6 Sementara AnoragaSoegiatuti mendefinisikan bisnis sebagai aktivitas jual beli barang dan jasa. Straub&Attner mendefinisikan bisnis adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit
Etika dan bisnis kenyataannya dipahami sebagai dua hal yang terpisah bahkan tidak ada kaitan, karena praktek bisnis merupakan kegiatan yang bertujuan maencapai laba sebesar-besarnya dalam situasi persaingan bebas. Sebaliknya etika bila diterapkan dalam dunia bisnis dianggap akan mengganggu upaya mencapai tujuan bisnis.7
Namun bukanlah dalam pandangan al Qur’an bisnis telah menyatu dengan nilai-nilai etika itu sendiri. Al Qur’an secara jeelas menggambarkan prilaku-prilaku bisnis yang tidak etis, yang dapat ditelusuri dari muara kebathiulan dalam bisnis. Jadi apakah bisnis memerlukan etika? Ketika etika dipahami sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang salah, maka etika diperlukan dalam bisnis. Sebagaimana diketahui, bisnis adalah suatu serangkaian peristiwa yang melibatkan pelaku bisnis yang memiliki kecendrungan untuk tabrakan kepentingan, saling menghalalkan cara dalam rangka memperoleh keuntungan sebanyak mungkin, bahkan saling membunuh, sehingga perilaku bisnis yang kuat kian mendominasi, sementara yang lemah terperosok disudut-sudut ruang bisnis. Jadi etika bisnis adalah refleksi kritis dan rasional dari perilaku bisnis dengan memperhatikan moralitas dan norma untuk mencapai tujuan.
Tentang Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Taus Ahmad al-Tusi al-Syafi’i. ia lahir pada tahun 450 H/1058 M di desa kecil bernama Ghazlah Thabran. Kota Thus wilayah Khurasan (Iran). Ayahnya meninggal ketika ia masih kanak-kanak. Kemudian bersama adiknya Ahmad, ia diasuh oleh teman ayahnya yang kebetulan seorang tasawuf. Sahabat ayahnya ini kemudian menyerahkan mereka kepanti asuhan yang didirikan oleh Perdana Mentri Nizamul Mulk dikota Thus. Disinilah Al Ghazali belajar ilmu fiqh kepada Imam Razaqani. Kemudian Al Gahzali pindah ke Naishabur dan belajar kepada Imam al-Juwaini yang dikenal Imam al-Haramain, seorang teolog Asy’ariyah. Disamping belajar ilmu fiqh kepada guru ini, ia juga belajar ilmu kalam. Dari Naisabur ia pindah ke Mu’askar dan berkenalan dengan Nizamul Mulk, Perdana Mentri Bani Saljuk.
Nizamul Mulk mengangkat Al Ghazali sebagai pengajar pada tahun 1091 M di Madrasah al-Nizamiyah Baghdad yang didirikan oleh Nizamul Mulk sendiri. Di kota Baghdad iniulah ia menjadi terkenal, khalaqah pengajiannya semakin ramai. Ia pun menulis banyuak karya ilmiah. Pada tahun 1095 M Al Ghazali meninggalkan kedudukannya yang terhormat di Baghdad, menuju Makkah. Kemudain untuk beberrapa waktu ia menetap di Damaskus, mengisolir diri untuk beribadat, berkontemplasi sebagai seorang sufi. Di puncak menara masjid Jami’ Damaskus ia memperoleh kesempurnaan tasawufnya. Diperkirakan dua tahun lamanya Al Ghazali tinggal di Damaskus. Disini pula ia mempunyai banyak kesempatan menulis karyanya yang monumental Ihya Ulum al-Din. Al Ghazali wafat pada tahun 1111 M di kota Thus, kota dimana ia dilahirkan.
Pemikiran-Pemikiran Al Ghazali.
Pada umunya orang mengenal Al Ghazali sebagai seorang ahli sufi terbesar, seorang ahli tasawuf yang membenci dunia. Tidak seorangpun menggambarkannya sebagai seorang politikus yang mempunyai konsepsi dalam soal kenegaraan dan pemerintahan. Tidak banyak dikenal bahwa Al Ghazali membicarakan soal-soal ekonomi apalagi menyebutkan soal-soal perbankan.
Namun demikian, Al Ghazali yang hidup abad ke-12 (450-505/1058-1111 M) membicarkan semuanya itu dengan cara-cara yang logis dan modern, yang analisisnya masih up to date untuk zaman ini. Bahkan, beliau membicarakannya dalam bukunya ihya ‘ulum al-din yang menjadi pegangan ahli-ahli tasawuf.
Al Ghazali dalam bukunya ihya ‘ulum al-din juz III hal 219 menyebutkan hakikat dunia yang terdiri dari tiga unsure yakni benda-benda (materi), adanya bagian manusia dan pembangunan. Ia mengatakan “ketahuilah, bahwa dunia ibarat dari adanya benda-benda (meteri), adanya bagian masing-masing manusia dan perlunya masing-masing manusia sibuk membangun. Inilah tiga unsure yang diperlukan. Sebagian orang menduga bahwa dunia dapat berdiri dengan salah satu unsure, padahal bukanlah demikian”8
Unsure utama yang dikemukakan Al Ghazali ialah perlu adanya materi bagi hidup manusia didunia ini. Kemudian disusul unsure yang kedua yakni masing-masing orang memiliki bagian dari segala materi itu. Lalu unsure terakhir yang lebih penting ialah manusia harus sibuk mengadakan pembangunan. Ketiganya tidak boleh dipisahkan harus saling mengisi dan saling berhubungan.
Pada bagian lain diterangkan bahwa manusia sering lalai dan mempermainkan unsur-unsur itu, sehingga diperlukan adanya peraturan untuk memelihara dunia sebaik-baiknya. Al Ghazali mengatakan “akan tetapi, karena kelalaian dan kejahilan manusia, Tuhan menjadikan peraturan dalam Negara dan kepentingan untuk rakyat, bahkan semua urusan dunia diberi peraturan karena kelalaian dan pemikiran yang rendah itu. Kalau semua orang berfikir sadar dan mempunyai kemauan baik tentulah semuanya menjadi orang-orang zuhud, orang-orang suci didunia ini. Kalau tidak demikian, terlantarlah segala jalanperekonomian dan menjadi rusaklah semua manusai, termasuk kaum zuhud yang suci itu”
Al Ghazali mengajukan suatu teori saling ketergantungan yang dizaman kita ini dikenal dengan inter-dependence “setiap manusia dalam kebutuhan hidupnya, saling bergantung satu sama lain. Kaum produsen yang menghasilkan bahan makanan didesa memerlukan alat-alat industry yang dihasilkan oleh pabrik di kota, dan keduanya memerlukan kaum pedagang akan mengusahakan tukar menukar barang-barang yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Para konsumen memerlukan barang-barang dari pihak produsen. Mereka menjadi produsen karena menghasilkan macam-macam barang yang diperlukan, dan sekaligus menjadi konsumen karena memerlukan barang-barang yang dihasilkan oleh orang lain”
Fungsi Uang
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations, Al Ghazali telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelasakan, ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkan dan membutuhkan sesuatu yang dimilikinya. Ya dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi bila kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus. Pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya.
Al Ghazali berpendapat, dalam ekonomi barter sekalipun uang dibutuhkan sebagai ukuran nilai suatu barang. Misalnya, onta senilai 100 dinar dan kain senilai sekian dinar. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai barang, uang akan berfungsi pula sebagai media penukaran. Namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut Al Ghazali uang diibaratkan cermin yang tidak punya warna tetapi dapat merefleksikan semua warna. (ihya, 4:91-93).
Merujuk pada Al Qur’an, Al Ghazali mengecam orang yang menimbun uang. dikatakannya orang tersebut sebagi penjahat. Yang lebih buruk lagi adalah orang yang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka dikatakannya sebagai orang yang tidak bersyukur kepada sang pencipta dan kedudukannya lebih rendah daripada orang yang menimbun uang. karena orang yang menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran, sedangkan meleburnya berarti menarik dari peredaran selamanya.9
Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. ini berarti memperkecil terjadinya transaksi sehingga perekonomian lesu. Adapun peleburan sama saja artinya dengan mengurangi jumlah penawaran uang yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.
Kemudian tentang uang palsu, Al Ghazali mengecam dan beliau mengatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang jenis itu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Alasannya, mencuri adalah dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang-uang tersebut digunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu lama.
Evolusi Pasar
Tidak bias dibayangkan jika aktivitas perdagangan hanya mengandalakn pola barter atau kehidupan ekonomi terlalu banyak diatur penguasa. Kemungkinan etrjadinya berbagai distorsi harga tentu sangat besar. Karena itulah pemikiran tentang perlunya aktivitas perdagangan yang ditentuka oleh hokum permintaan dan penawaran, jauh sebelum munculnya ilmu ekonomi modern telah diungkapkan oleh para pemikir islam. Salah satunya adlah pandangan Al Ghazali, beliau menyajikan penjabaran dengan rinci akan peranan aktivitas perdgangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai permintaan dan penawaran. Bagi Al Ghazali pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci, beliau juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar, “dapat saja pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada, namun secara alami mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah, oleh karena itu secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan hasil pertanian dipihak lain. Tempat inilah kemudian yang didatangi pembeli sesuai dengan kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pandai besi yang tidak dapat melakukan barter juga terdorong pergi kepasar. Bila dipasar tidak ditemukan orang yang akan melakukan barter, ia akan menjual kepada pedagang dengan harga yang relatip murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang” (Ihya, III : 227).
Al Ghazali tidak menolak kenyataan bahwa keuntunganlah yang menjadi motif perdagangan. Lebih lanjut Al Ghazali menjabarkan pentingnya peran pemerintah dalam menjamin keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
Walaupun Al Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminology modern, beberapa paragraph dari tulisannya jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran yang “naik dari kiri bawah ke kanan atas” dinyatakan oleh Al Ghazali sebagai “jikia petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang murah”. Sementara untuk kurva permintaan “yang turun dari kiri atas kekanan bawah” dejelaskan sebagai “harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan” (Ihya, III:87).
Institusi Perbankan
Al Ghazali menyebutkan dalam satu nafas antara keperluan adanya pencetakan uang dengan perlunya usaha perbankan. Al Ghazali menulis selanjutnya “kemudian timbul lagi kebutuhan akan adanya percetakan (mata uang) pelukisan dan perhitungan. Kebutuhan itulah menimbulkan perlunya rumah pembuatan mata uang dan kantor perbankan, dalam Ihya AL Ghazali menyebutnya dengan Sharafa dan Shayrafiy atau Ahayarifah”
R i b a
Karena pekerjaan perbankan selalu menghadapi persoalan tukar menukar keuangan dan senantiasa berada dipinggir kota, Al Ghazali berulang kali memperingatkan agar para banker dan semua orang yang berhubungan dengan bank, berhati-hati terhadap dosa riba, ia menganjurkan agar berhati santun dan tidak kejam, berniat jujur dan memandang usahanya sebagai fardhu kifayah demi keselamatan umat dan kemajuan mereka.10 “dan mereka membenci usaha perbankan karena memelihara diri dari praktik riba sangatlah sukar. Lagi pula dalam sifatnya yang lebih luas, pekerjaan bank bukan menuju barangnya tetapi pada kemajuannya dan kemajuannya itu baru terjadi (sempurna) keuntungannya kalau pihak langganannya tidak mengerti secara mendalam tentang soal uang. oleh sebab itu, sedikit sekali bank yang selamat dari dosa meskipun mereka sangat berhati-hati”11
Sungguhpun ada peringatannya yang tajam, hal ini tidaklah berarti bahwa Al Ghazali mengecilakn peranan yang dimainkan oleh institusi perbankan dalam perekonomian. Al ghazali memasukkan lembaga perbankan dalam usaha-usaha yang bersifat fardhu kifayah, yang harus dicita-citakan sebagai tugas penting bagi masyarakat, seperti disebutkannya lebih lanjut “kalau ditinggalkan, rusaklah ekonomi dan penghidupan umat serta kacaulah keadaan manusia”. Di sini, Al Ghazali tidak membicarakan letak ribanya yang disinyalirnya dalam soal perbankan. Ia hanya memperingatkan agar lembaga penting ini tidak terjerumus kepada larangan allah swt.
Kata Akhir
Berangkat dari moral yang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang baik, etika adalah sebuah sign (rambu-rambu) didalam bertindak yang akan membimbing dan mengingatkan kita untuk melakukan perbuatan yang terpuji yang harsu selalu dipatuhi dan dilaksanakan.
Menimbun uang dari peredaran adalah contoh seseorang yang tidak beretika, bahkan Al Ghazali menyebutnya sebagai penjahat. Karena dengan menimbun jelas akan memperlambatperputaran uang, ini berarti akan memperkecil terjadinya transaksi perekonomian yang lemah, alias bisnispun akan macet.
Sebuah aktivitas perdagangan atau bisnis akan lebih teratur dengan adanya pasar, bagi Al Ghazali parar merupakan bagian dari “keteraturan alami”
Lagi-lagi riba menjadi masalah yang kompleks, Al Ghazali memperingatkan agar kita tidak berhubungan dengan riba. Di dalam berbisnis kita dituntut agar berhati-hati, santun dan tidak kejam. Jelas, ini semua demi kemaslahatan umat dan kemajuan kita semua dalam berbisnis.
Daftar Pustaka
http://hadisugito.fadla.or.id/2005/11/10/etika-bisnis-di-perusahaan/130108
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_4htm.180107
Muhammad, Etika Bisnis Islam. Yogyakarta. UPP-AMP YKPN, tt.
http://health.groups.yahoo.com/group/tamanbintang/message/2441
KH. Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi Dalam Persfektif Islam. Bandung. CV. Pustaka Setia. 2002. Cet I
Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta. Gema Insani. 2001.
Al Ghazali, Ihya Ulumuddin. Darul Fikr. 1414 H/1993 M
Ketut Rinjin, Etika Bisnis dan Implementasinya. Jkarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2004
1 http://hadisugito.fadla.or.id/2005/11/10/etika-bisnis-di-perusahaan/130108
2 http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_4htm.180107
3 Muhammad, Etika Bisnis Islam. Yogyakarta. UPP-AMP YKPN, tt. Hal.38
4 http://health.groups.yahoo.com/group/tamanbintang/message/2441
5 Ibid. hal. 37
6 ibid
7 Muhammd, Etika Bisnis….hal. 15
8 KH. Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi Dalam Persfektif Islam. Bandung. CV. Pustaka Setia. 2002. Cet I hal.190
9 Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta. Gema Insani. 2001. Hal. 54
10 KH. Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi….hal. 202
11 Al Ghazali, Ihya Ulumuddin Juz II hal 85
0 Comments:
Post a Comment