Minggu, 22 Mei 2011

Antara Ponpes dan Pembangunan Ekonomi Islam: Adakah “N-Ach”



Perpustakaan daerah kota Mataram, memang tidak terlalu tua, dibandingkan dengan perpustakaan lain di negeri ini, namun ada yang menarik, ketika beberapa dokumen yang kita temui akhir tahun 60-an dan selama 70-an media kita sering mengumumkan perlunya penyebaran “virus N-ach” kepada manusia Indonesia. Virus itulah yang di Negara-negara Barat sana merangsang orang untuk mencapai sukses, karena itulah selama tahun 70-an itu media kita merasa perlu untuk menyebarkan virus itu.

Asumsinya begini: tanpa N-ach, perilaku sebagian besar penghuni negeri ini hanya akan mencari kepuasaan kekuasaan atau semacam mengambil keuntungan dari hubungan kekerabatan yang tidak sehat, katakanlah semacam KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dalam berbagai bidang, hipokrit, ABS (Asal Bapak Senang), dan akibat lain yang merugikan bangsa ini, nah akibat-akibat semacam ini, tidak satupun yang hingga saat ini terbukti mendukung upaya transformasi baik dalam intra generasi maupun antar generasi dalam berbagai bidang, budaya, ekonomi, politik dan bidang lainnya dalam masyarakat kita saat ini.

Keinginan untuk menyebarkan virus N-ach ini menarik untuk diungkit lagi, setidaknya dengan menyebarkan virus ini akan dapat merangsang syaraf otak, peredaran darah, dan kekuatan otot untuk bergerak dalam jiwa, yang lazimnya kita beri nama wiraswasta. Meskipun harus jujur diakui bahwa virus N-ach ini bukanlah satu-satunya faktor penentu, disamping faktor yang lain, namun cukuplah dalam tulisan ini virus N-ach inilah yang akan kita bahas.

Agaknya, karena pendapat dan virus inilah yang telah banyak memberikan inspirasi kepada ilmuwan ekonom dan para wiraswastawan semisal Schumpeter dan Bob Sadino bahwa para wiraswasta dan inovator adalah mesin penggerak pembangunan ekonomi, karena mereka adalah “orang-orang aneh” yang “gila” menggerakkan perekonomian, demikian halnya yang banyak dicanamgkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah yang hendak menumbuhkan para wiraswastawan baru, juga sedikit tidak dipengaruhi oleh pandangan ini.

Adalah David McCleland yang banyak memberi inspirasi atas hal ini, melalui karyanya yang berjudul The Achieving Society tahun 1961. Dalam karyanya ini McCleland banyak mengupas masalah pembangunan ekonomi dari aspek sejarah dan besaran-besaran serta sosial, sebagaimana yang banyak dilakukan pemikir lain semisal Rostow, Adelman-Morris atau Gersohkron yang banyak membahas perilaku manusia. Namun bukanlah karya manusia, jikalau ia tidak kebal kritik, kritik buku tersebut yakni ketidakjelasan menyangkut bagaimana sikap serta perilaku manusia yang ingin mencapai sesuatu itu ditentukan.

Meski kegagalan karya ini dalam menjelaskan sesuatu adalah hal yang lumrah dan tidak perlu dirisaukan, karena bagaimanapun ilmu, termasuk ilmu ekonomi, adalah bagian dari ilmu sosial yang kesahihannya masih terus harus diuji dalam dimensi ruang dan waktu. Karena itu, sungguh sangat disayangkan ketidakmampuan menuangkan gejala-gejala sosial tersebut yang pada akhirnya hanya dijelaskan oleh sebuah asumsi yang merendahkan. McCleland dalam karyanya tersebut menyatakan bahwa “orang-orang Arab yang beragama Islam mungkin umumnya lemah dalam N-ach” (silahkan lihat halaman 340).

Pernyataan McCleland tersebut sebenarnya tidak terlalu penting, disebutkan disini, meskipun untuk mendukung pernyataannya itu, McCleland juga menampilkan sekian banyak hasil penelitian. Bagi saya, yang penting adalah, mengkaji hipotesisnya secara ilmiah dan jernih untuk membuktikan bahwa Islam sebenarnya penggerak umat dalam membangun kesejahteraan materil duniawi, bahwa Ponpes (Pondok Pesantren) adalah eksponen pembangun masyarakat sejahtera dan banyak harta, atau sekurang-kurangnya bahwa Islam, Ponpes bukanlah agama dan lembaga yang menghambat pembangunan, menghambat etos kewirausahaan.

Apabila kita mendengar Ponpes, maka yang terlintas dibenak kita adalah sarung dan komunitas pedesaan. Salah satu karakter pedesaan adalah kurang dinamis, sulit melakukan perubahan dan lebih bersifat defensif terhadap modernitas. Ponpes, meskipun seringkali mendapat kritik baik dari segi kultur, sistem pengajaran dan sebagainya, namun harus diakui lembaga ini mempuyai peran yang tidak kecil dalam konteks konservasi keilmuan Islam dan pemberdayaan ekonomi Islam. sebagian orang malah mulai berfikir bahwa banyak ponpes untuk melanjutkan hidupnya selalu mengandalkan proposal, dan hampir identik dengan kemunduran. Konservatif dalam cara berfikir, qona’ah dalam harta dan terbelakang dalam rangsangan untuk hidup berlimpah harta, sebagaian lain berfikir bahwa jangan heran jika mayoritas muslim di Indonesia saat ini hidup sebagaimana kita lihat dan akhir-akhir ini saja berbagai pihak telah mengupayakan merubah wajah ponpes di Indonesia.

Mereka menuduh meskipun ponpes unggul dalam kajian keilmuan Islam klasik, namun tidak pernah berbuat dalam usaha produksi. Sejak awal sejarah pesantren hanya melulu urusan pendidikan, bukannya tidak penting, namun acapkali melupakan aspek ekonominya, karena mengandalkan hidup dari iuran wajib, wakaf, shadaqah, zakat dan infaq jama’ahnya tanpa ada feed back bagi jama’ahnya untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup dalam bidang perekonomiannya.

Potret muram umat Islam dan ponpes seperti adanya sekarang, memudahkan orang menuduh secara keseluruhan bahwa Islam dan ponpes sebagai acuan dan lembaganya semakin tidak relevan, karena itulah dibutuhkan banyak inovasi disana sini, meskipun hal itu tidak dapat kita generalisir. Taruhlah dibutuhkan adanya kurikulum baru dan lain sebagainya karena ponpes dianggap sebagai lembaga yang menumbuhsuburkan terorisme. Dampaknya, tentu saja Islam dan ponpes sering dipecundangi dalam berbagai segi, baik dalam muatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di lain pihak, para ustad, muballig dan pimpinan ponpes kebanyakan masih berasyik masyuk memisahkan bahwa ilmu itu ada dua, yakni ilmu agama dan ilmu keduniawian. Seolah-olah ada ilmu yang menjanjikan tiket masuk ke syurga dan ilmu yang memberikan karcis untuk merambah dunia fana. Padahal secara sederhana saja, ilmu itu hanya ada satu, yakni ilmu Allah. Ilmu yang menjanjikan kebahagiaan didunia dan akhirat. Pandangan seperti yang disebutkan terakhir ini nampaknya, pandangan yang tidak sekuler. Hanya dengan pandangan seperti inilah pepatah Arab bahwa Islam itu lebih tinggi dari yang tinggi dijamin kebenarannya.

Dari pengungkapan yang keliru tersebut di atas, agaknya akan dapat dengan mudah menjerumuskan orang kepandangan streotif yang sesat. Jadi, pembangunan ekonomi itu seperti tidak relevan dengan dunia ponpes. Seolah-olah ponpes itu lesu darah bila berhadapan dengan kata-kata pembangunan ekonomi, benarkah?

Ponpes dan Pembangunan Ekonomi Islam

Ponpes didaerah kita, jelasnya belum menjadi kekuatan ekonomi –jika tidak ingin dikatakan tidak dapat menjadi kekuatan ekonomi- jika ukurannya adalah besarnya basis masa yang dimiliki masing-masing ponpes, atau jika kita bandingkan juga dengan etnis yang lain, seperti cina atau arab misalnya, yang sedikit tidak telah berhasil membangun jaringan konglomerasi ekonominya sendiri. Memang ada unit usaha sebagaian ponpes yang telah berjalan, namun nilai ekonominya baik bagi warga ponpes sendiri apalagi bagi umat muslim di Propinsi NTB ini bisa diabaikan. Mengapa pula ide-ide kreatif untuk mengembangkan “gerakan ekonomi ponpes” meski menimbulkan konflik atau kontroversi karena adanya polarisasi kepentingan dalam tubuh ponpes sendiri.

Disisi lain, penulis berharap akan masih banyak warga ponpes yang masih terus optimis dengan kegiatan-kegiatan ekonomi. Bukankah untuk ukuran yang relatif, dalam bidang pendidikan, ponpes telah menunjukkan hasil-hasil yang sangat memuaskan? Dan hal tersebut setidaknya dapat dijadikan pijakan untuk selanjutnya membenahi dimensi ekonominya. Disamping itu pula beranjak dan mulai bergerak dalam kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang lebih terlembaga, terstruktur dan menyentuh kebutuhan utama warga. Misalnya dalam bidang keuangan dengan pendirian BMT-BMT, BPRS-BPRS, rumah sakit atau pos-pos pelayanan kesehatan. Bukankah amal-amal usaha tersebut memiliki nilai ekonomis? Berbagai kegiatan-kegiatan seperti pengajian, seminar, penerbitan dan lainnya dapat diambilkan dananya sebagian dari sumber-sumber tersebut. Sehingga satu usaha dengan usaha lainnya akan bernilai ibadah di satu sisi dan profit oriented disisi yang lain.

Karena hal tersebut, maka suatu persfektif ekonomi tertentu akan dapat tampak dari kegiatan amal usaha tersebut. Terlebih saat ini telah berkembang konsep-konsep yang lebih maju tentang ekonomi syariah, perbankan syariah, keuangan syariah, bisnis syariah yang lebih berorientasi pada konsep-konsep bisnis dan dengan penekanan-penekanan pada kegiatan-kegiatan bukan proyek-proyek sosial. Jika hal tersebut dapat dilakukan, setidaknya kedepan ponpes dapat memiliki profit center, dan malah akan berdampak pada penyejahteraan warga ponpes. Namun meski dicatat juga bahwa kegiatan sosial (jika kita enggan menyebutnya ibadah) dapat juga mengandung unsur bisnis bagi peningkatan kesejahteraan warga ponpes sendiri.

Pemikiran dan perbuatan yang berorientasi pada kegiatan ekonomi dimasa depan tampaknya akan menjadi suatu keniscayaan. Memang sepintas lalu kita tidak dapat memisahkan antara usaha ponpes dengan amal sholeh dalam ponpes. Sekalipun para warga ponpes adalah kebanyakan golongan masyarakat menengah dan menengah kebawah, tetapi di ponpes mereka banyak membahas tentang ilmu, iman dan taqwa.

Dengan tidak lupa mengkaji Q.S. al-Ma’un, ponpes memang digerakkan atas konsep iman dan taqwa. Jika dilihat dalam prosfek ini ponpes memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Kita lihat misalnya dalam berbagai sektor kehidupan umat mulai dari pejabat pemerintah hingga para buruh dan pedagang adalah warga ponpes juga. Terhadap warganya ini, hingga taraf ini baru bisa menggugah rasa tanggung jawab sosial mereka dalam ritus-ritus ritual keagamaan, seperti pengajian-pengajian umum. Namun ponpes belum dapat berbuat banyak untuk lebih memberdayakan warganya. Hal ini dikarenakan apakah ponpes masih sedikit mengkaji atau dalam memberikan pengajian-pengajian masih sedikit sekali menyentuh konsep-konsep dakwah dalam pembangunan ekonomi yang bernuansa kontemporer dalam kontekstualisasi kedisinian-nya umat dan ataukah faktor penyebab lain baik itu intern ponpes sendiri atau ektern ponpes.

Kini, setelah masa reformasi ponpes dihadapkan pada persoalan dan tantangan baru. Dalam proses pembangunan ekonomi, kepentingan ekonomi ponpes banyak yang terbelit, sebagian dan mungkin sebagian kecil-nya lagi masih bisa bertahan. Namun sebagian besarnya mengalami marginalisasi. Sebagian yang lain warga ponpes mulai bertanya “apa yang bisa diperbuat ponpes?” jika tidak ada jawaban, jika tidak ada tindakan, maka ponpes akan mengalami kesulitan dalam sumber pendanaan. Jika warganya miskin, ponpes dalam hal ini tentu akan turut merasakannya, selanjutnya keadaan ini akan turut menimbulkan biaya ekonomi, sosial dan politik yang tidak murah.

Namun setidaknya kita masih dapat bersyukur. Jika melihat potensi pendidikan dalam ponpes yang merupakan investasi bagi masa depan. Namun dapatkah hal tersebut diandalkan, dalam arti berapa prosentase warga ponpes sendiri yang akan konsen terhadap pembangunan ekonomi ponpes sendiri? Jika keadaannya masih terus berlangsung seperti saat ini? Dari tahun ke tahun, memang berkat jaringan pendidikan, rata-rata tingkat pendidikan warga ponpes terus meningkat dan sekarang setidaknya ponpes telah dapat mengklaim memiliki kolega professional muda. Satu lagi, bagi warganya yang mungkin enggan untuk kembali membangun ponpes, setidaknya ponpes dapat mengambil keputusan untuk menyerukan agar para profesionalnya kembali guna membangun ponpes tentunya dengan diimbangi dengan semangat keadilan dalam beragam aspeknya dengan kontribusi yang diberikan.

Saat ini, bagi sebagian warga ponpes telah timbul pula pandangan bahwa dengan berjama’ah warga ponpes dapat menghidupi ponpes mereka sembari berjama’ah dengan warga ponpes lainnya. Hal ini setidaknya tidak perlu diperdebatkan, bahkan sebagian yang lain beranggapan dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki sudah saatnya warga professional muda ponpes untuk tampil dengan program-program baru dan strategi-strategi jitu dalam upaya pemberdayaan ummat. Permasalahan ekonomi warga ponpes tidak lagi dilihat sebagai suatu persoalan, namun lebih kepada peluang, tantangan dan kesempatan untuk lebih bermanfaat bagi umat.

Jika kita kembali mengkaji dalam konsep sumber daya maka dapat dikatakan bahwa ponpes memang merupakan ‘basis kekuatan ekonomi’ bahkan bidang lain semisal politik di Propinsi NTB, setidak-tidaknya ponpes adalah potensi yang patut diperhitungkan. Golongan professional dan cendikiawan muda adalah merupakan salah satu potensi sumber daya manusia yang sangat strategis yang dimiliki ponpes saat ini. Namun bagi sebagian yang lain yang memiliki kecendrungan kearah modal dan tekhnologi tentu mempertimbangkan akan dapatkah ponpes mengambil peranan yang lebih konkrit dalam menghantarkan mereka menjadi golongan ekonomi yang diperhitungkan dimasa depan?

Dan keadaan tersebut masih merupakan ide yang disodorkan ke ponpes karena disadari juga bahwa kiprah ponpes tidak saja akan berdampak pada warga propinsi NTB tapi juga pada perekonomian nasional tentunya. Impian ini akan dapat terwujud jika ponpes di daerah ini berhasil berkembang menjadi salah satu kekuatan lobi yang kuat dan disegani. Dengan melihat potensi SDM ini saja, ponpes-ponpes dapat menorehkan catatannya sendiri dalam dimensi ekonomi dengan jaringannya, kewirausahaan dan managemen sebagai titik sentralnya. Berbagai sumber daya ekonomi lainnya dapat dimobilisasi, sekali lagi bukan hal yang tidak mungkin dimasa depan ponpes akan menjadi kekuatan ekonomi tersendiri. Misalnya saja melalui upaya memperkuat sumber daya permodalan, tabungan dan lainnya. Dari sini saja ponpes dapat mengakses kredit atau pembiayaan untuk lebih mengembangkan unit-unit terkecil ekonominya, baik sebagai perorangan warga ponpes maupun secara koorporatif.

Peta Baru Ponpes

Jelasnya, kita menginginkan sebuah peta baru ponpes. Peta yang bukan peta proposal, peta kecanggihan teknologi dan kemajuan dalam kajian keilmuan Islam, peta kemajuan dalam pembangunan ekonomi Islam. ponpes sudah lama terpuruk, bukan oleh siapa-siapa, namun terutama oleh dirinya sendiri. Pribadi-pribadi yang kumal, lusuh dan kumuh telah terlalu banyak mengotori ponpes sebagai suatu lembaga yang agung dalam masyarakat kita. Pribadi-pribadi seperti itu sudah saatnya dibersihkan agar kemilau semangat dan gairah hidup umat semakin membinar. Dengan apa gerangan?

Sebenarnya, kita tidak perlu mencari alat pencuci dari pemahaman kita terhadap gaasan atau faham lain. Ponpes itu dapat mencuci sendiri. Dan yang perlu kita sadari sejak awal ialah bahwa pencucian itu adalah suatu proses yang membutuhkan waktu lama. Proses itu diawali dengan pembersihan terhadap iman dan berujung pada submission yang menyeluruh dari setiap karya dan karsa kita bagi pengisian tauhid yang kita yakini.

Betapa kuatnya daya dorong keimanan, karya dan karsa manusia telah dibuktikan oleh sejarah kebudayaan Islam. karya-karya agung umat muslim dapat kita saksikan di muka bumi adalah karya kaum muslim yang “menyerah secara total” terhadap kekuatan yang diagungkannya. Ponpes pun seharusnya demikian, ponpes seyogyaknya menghasilkan karya-karya besar yang akan menambah kenyamanan hidup dan kedamaian dunia.

Berangkat dari situ, kiranya jelas bahwa hakikat keimanan yang sebenarnya dapat melahirkan ilmu keduniawiaan yang sangat bermanfaat karena dengan membersihkan iman, berarti ponpes telah menempatkan dirinya sebagai subordinate terhadap benda atau mahluk lain. Untuk membuktikan hal itu, maka tidak bisa lain, bahwa ponpes harus memunculkan etos kerja, etos wiraswasta dalam dirinya. Mengapa umat Islam miskin? Mengapa jama’ah ponpes kumuh dan terbelakang? Karena ponpes belum belajar berkarya dan berkarsa secara kaffah dalam semua aspek kehidupan, baru bidang pendidikan-nya saja dengan sengaja melupakan pembangnan dan pengembangan ekonomi Islam-nya. Jelasnya, ponpes masih melalaikan tugasnya sebagai salah satu lembaga yang memiliki legitimate dalam pemberdayaan umat Islam. saya piker itulah satu-satunya cara mengatasinya dan itulah tawaran dan peta aktif dan dinamis dari keimanan kita di masa yang akan datang.

Senin, 02 Mei 2011

HANDPHONE, HANDPHONE…..

Komputer, laptop, PDA, handphone, flashdisk, internet, siapa yang tidak kenal dengan itu semua? Bahasa technology telah merubah perilaku masyarakat kita. Konsumerisme, menjadi sebuah gaya hidup baru masyarakat perkotaan. Mereka tidak lagi menjadikan technology sebagai sebuah kebutuhan, tetapi sudah menjadi gaya hidup. Coba bayangkan bagaimana rasanya kalo pada tahun 70-an orang bisa mengirim surat satu menit sampai ke Amerika? Mungkin yang terjadi adalah orang akan memborong dan mengganduli technologi yang bisa melakukan itu. Saat itu technology bisa menjadi sebuah kebutuhan yang mutlak, sebuah jalan keluar yang dicari banyak orang.

Kini keadaan sudah berubah, masyarakat dunia telah terpengaruh arus globalisasi. Yang ada dibenak mereka adalah mengikuti perkembangan jaman kalo tidak ingin disebut ketinggalan jaman. Masyarakat kebanyakan lebih mendengarkan “apa kata orang” bukan lagi berdasarkan”apa yang benar dan apa yang tidak benar”. Orang rela menyewa mobil mewah padahal dirinya tidak punya kapasitas itu. Ini mereka lakukan demi sebuah gengsi, sebuah tuntutan jaman mengikuti arus modernisasi. “apa kata orang” menjadi sebuah symbol, menjadi sebuah barometer bagi kehidupannya, kalo tidak ingin disebut ketinggalan jaman.

Lantas, perkembangan sekarang tidak saja kearah fashion, tapi juga technology telah menjadi sebuah lifestyle. Coba lihat ke sekolah-sekolah, apa yang paling sering dimainin anak-anak? Jawabnya bukan buku atau pulpen, tapi handphone! Mereka ke sekolah tidak lagi sekedar untuk belajar, tetapi untuk gaya-gayaan. Konsumerisme telah merasuki jiwa mereka, tentu hal ini berbahaya bagi perkembangan selanjutnya. Jaman sekarang orang lebih mementingkan penampilan luarnya, bodo amat moralnya, etikanya, sopan-santunnya, tata kramanya. Coba yang handphone nya paling bagus di sekolah pasti dia juga paling sering pamerin HP nya. Tidak peduli feature nya, fungsinya, kegunaannya, yang penting harganya paling mahal. Walau sebenarnya dipakenya cuman buat SMS an doang, (karena ga mampu beli pulsa), tapi kenapa orang rela kredit HP yang mahal? Ini adalah sebuah tuntutan jaman mengikuti “apa kata orang”.

Konsumerisme identik dengan egoisme. Biasanya orang-orang yang seperti ini lebih mementingkan dirinya sendiri. Karana yang dilihat orang pada dirinya dianggap sebagai label. Ini orang kaya, ini orang miskin, ini orang kampung, ini orang kota, dengan gampangnya orang melabeli seseorang dari penampilan luarnya. Lantas, karena tidak mau dilabeli yang buruk-buruk, lalu orang berlomba-lomba untuk mendandani penampilan luarnya saja. Kalo sudah begini, sebenarnya hanya rekayasa belaka, karena dengan gengsi, dengan barang-barang wah, derajat seseorang dianggap naik. Dengan HP mahal seseorang menjadi lebih disegani, dengan mobil BMW, (padahal boleh minjem) seseorang menjadi lebih terpandang. Begitu juga dengan technology, technology yang seharusnya mempermudah pekerjaan manusia, di plesetkan sedikit menjadi barang gengsi. Sony ericsson K300i digenggam oleh orang-orang biasa, tetapi Sony ericsson P990i digenggam oleh para eksekutif kelas atas. Begitu juga dengan laptop, pda, computer, dan perangkat technology lainnya. Makanya jangan heran kalo ponsel berlapis emas dijual dengan harga sangat tinggi dan edisi terbatas (padahal technology nya kalah jauh sama ponsel biasa). Sedangkan ponsel biasa yang feature nya jauh lebih canggih, justru jauh lebih murah harganya. Begitulah, lifestyle sudah menjadi sebuah kebutuhan, barang (technology) sudah berubah fungsinya menjadi pelengkap gaya hidup. Label seseorang adalah barang apa yang dimilikinya….tidak peduli dari mana asalnya.

Apakah manusia benar-benar memerlukan handphone? Di era serba canggih seperti saat ini, rasanya ada yang kurang seandainya kita tak punya handphone. Memang manusia tak akan mati hanya gara-gara tak punya handphone. Tapi benda mati yang satu ini telah menyebabkan demikian banyak manusia mengalami ketergantungan kronis. Jika seorang karyawan pergi ke kantor dan lupa membawa handphonenya, hampir dapat dipastikan ia akan kelabakan sehari penuh.

Apa sebenarnya fungsi utama handphone? Tentu saja, untuk mempermudah komunikasi. Handphone memungkinkan kita menelepon sambil berjalan kaki di trotoar jalan, atau ketika kita berada jauh dari rumah. Handpone adalah sebuah teknologi yang jauh lebih fleksibel daripada telepon rumah, karena ia tanpa kabel dan bisa dibawa ke mana-mana.

Tapi manusia adalah makhluk yang tak pernah puas. Rasanya kok ada yang kurang jika handphone hanya bisa dipakai untuk menelepon dan ber-SMS ria. Tentu asyik jika lewat handphone kita juga bisa mendengarkan siaran radio, memutar MP3, main game, bahkan menonton acara televisi.

Maka, fungsi handphone pun kini bergeser jauh. Ia tidak lagi sekadar mempermudah komunikasi manusia. Handphone masa kini adalah sebuah produk teknologi yang memanjakan gaya hidup dan keinginan manusia yang tak ada habis-habisnya.

Kian hari, kian banyak orang yang memiliki handpone. Handphone bukan lagi barang mewah, tapi telah berubah menjadi benda yang amat dibutuhkan, bahkan oleh tukang ojek dan kuli bangunan sekalipun.

Permintaan terhadap handpone - beserta segala macam aksesorisnya - terus bertambah. Ini - antara lain - menyebabkan toko handphone menjamur di mana-mana. Jika di sebuah ruas jalan ada 10 toko, 4 atau 6 di antaranya adalah toko handphone. Toko handphone tidak hanya terdapat di jalan besar. Ia juga hadir di gang-gang kecil, bahkan di perkampungan yang sepi.

Handphone kini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gaya hidup manusia. Padahal fungsi utamanya hanya untuk mempermudah urusan komunikasi.

Tidak percaya? Lihatlah iklan-iklan handphone di televisi. Yang mereka tonjolkan bukan kecanggihan tertentu di bidang komunikasi, tapi kecanggihan kameranya, fitur Radio FM-nya, MP3 playernya, bahkan desainnya yang stylist dan keren abis.

Lihat pulalah perilaku saudara, tetangga atau teman-teman kita. Mereka rela mengganti handphone hanya dengan alasan, “HP jadul gue udah kuno banget. Gue mau ganti dengan yang lebih canggih gitu loch.”

* * *

Apakah manusia benar-benar memerlukan buku? Buku adalah sahabat sejati manusia sejak zaman dahulu. “Buku adalah guru yang tak pernah marah”. Di dalam buku terkandung demikian banyak pengetahuan, wawasan, dan/atau keterampilan. Ini amat berharga bagi perkembangan kecerdasaran dan pemikiran kita. Tanpa buku, tak mungkin kita menjadi orang sukses seperti saat ini. Tanpa buku, tak mungkin ada internet, saya tak mungkin membuat tulisan ini, Anda pun mungkin tak pernah mengenal saya.

Maka, tak dapat dipungkiri bahwa manusia sangat membutuhkan buku. Memang, manusia tak akan mati hanya gara-gara tidak membaca buku. Tapi tanpa membaca buku, manusia tak ubahnya seperti - maaf - hewan yang hidupnya begitu-begitu saja, tak pernah berkembang dari waktu ke waktu.

Apa sebenarnya fungsi utama buku? Seperti disebutkan di atas, buku adalah jendela pengetahuan. Buku adalah gerbang menuju demikian banyak “harta” karun yang bisa memperkaya hidup kita, membuat hidup kita jauh lebih berkualitas dari sebelumnya. Buku memiliki fungsi dan peran yang amat penting bagi peradaban umat manusia.

Tapi apakah buku telah menjadi gaya hidup kita? Berita buruknya: BELUM! Kita belum bisa memperlakukan buku seperti handphone. Toko handphone ada di mana-mana, bahkan hingga gang kecil sekalipun. Tapi toko buku hanya bisa ditemukan di tempat-tempat tertentu.

Kita rela mengeluarkan uang Rp 2 juta bahkan lebih untuk bergonta-ganti handphone. Tapi kita merasa amat berat untuk mengeluarkan uang Rp 30.000,- atau Rp 50.000,- untuk membeli buku.

Kita bangga memamerkan handphone kita pada orang lain. Tapi kita takut dicap “kutu buku”. Hampir semua media massa, film, sinetron, hingga cerpen dan novel, menggambarkan orang yang gemar membaca buku sebagai manusia yang kaku dalam bergaul, berkaca mata tebal, dan penampilannya kuno. Sebuah pembunuhan karakter yang sangat sadis, tapi kita menikmatinya sambil tertawa-tawa, sebab sosok si kutu buku di sinetron sering terlihat sangat lucu.

Orang yang rajin membaca buku seharusnya pintar, intelek, berwawasan luas sehingga sangat layak untuk dikagumi dan dijadikan panutan, NAMUN secara tragis justru dihadirkan sebagai jenis manusia yang paling memalukan di atas dunia ini.

Benarkah buku akan membuat kita menjadi kuno? SAMA SEKALI TIDAK! Bagaimana caranya sehingga para pakar bisa menciptakan handphone yang serba canggih? Salah satunya, karena mereka rajin membaca buku!

Bagaimana caranya sehingga para pebisnis televisi berhasil membuat acara-acara yang menarik sehingga kita-kita para penonton ini jadi terbius dan memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap televisi? Salah satunya, karena mereka membaca buku tentang “cara memanjakan pemirsa dengan acara-acara yang menarik.”

Maka, buku justru merupakan sarana yang memungkinkan manusia menikmati kehidupan yang jauh lebih modern. Buku adalah sarana yang bisa membawa kita menuju peradaban yang jauh lebih baik.

“Buku bisa melahirkan handpone” tapi “handphone tak bisa melahirkan buku” (kecuali buku panduan yang disertakan pada setiap kardus handphone baru).

Masalahnya, kita begitu mencintai handphone, tapi kita menganaktirikan buku. Kita memperlakukan handphone sebagai bagian dari gaya hidup. Tapi kita memperlakukan buku tak lebih sebagai beban yang dipakai ketika ada hal-hal mendesak yang menyebabkan kita terpaksa membaca buku.

Sekarang, mari kita bertanya pada diri masing-masing; Apakah handphone yang amat kita cintai itu bisa membuat hidup kita jauh lebih berkualitas dari sebelumnya? Apakah handphone kesayangan kita itu mampu membuat kita menjadi manusia yang jauh lebih pintar dari sebelumnya?

Jika jawabannya adalah tidak, lantas kenapa kita masih lebih mencintai handphone ketimbang buku? Entahlah……

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id