Rabu, 29 Juli 2009

Teror Itu........

Jika bom itu tak hanya mengejutkan, tapi membuat kita marah dan sedih, jika beberapa orang bahkan menangis pagi itu, ketika dua ledakan membunuh sembilan orang dan melukai entah berapa lagi di Hotel Ritz-Carlton dan JW Marriott di Jakarta, apa sebenarnya yang terjadi? Saya tak tahu persis jawabnya. Kematian dan luka-luka itu mengerikan, tapi saya dengarkan percakapan, saya baca pesan di HP, dan saya mungkin bisa mengatakan bahwa kita marah, sedih, dan menangis karena tiba-tiba kita menyadari, betapa terkait kita dengan sebuah tanah air: sebuah negeri yang selama ini seakan-akan bisa diabaikan, atau hanya disebut dalam paspor—sebuah Indonesia yang seakan-akan selamanya akan di sana dan utuh tapi kini terancam—Indonesia yang dulu mungkin hanya menempel direkatkan ke kepala karena pelajaran kewarganegaraan di sekolah, karena pidato di televisi.

Ketika bom itu mengguncang kita, pagi tiba-tiba jadi lain. Pagi itu kita merasa secara akut jadi bagian dari tubuh imajiner itu—justru ketika tubuh itu dilukai. Tiba-tiba kita merasa berada di sebuah perjalanan bersama yang dicegat dengan kasar dan seperti hendak direnggutkan dari masa depan yang bisa memberi kita sedikit rasa bangga. Tiba-tiba kita takut kita akan tak bisa mengatakan, ”Saya datang dari sebuah negeri yang pelan-pelan membuat saya tidak malu lagi.”

Teror itu akhirnya memusuhi sesuatu yang lebih berarti ketimbang apa saja yang semula dimusuhinya—jika yang dimusuhi adalah ”Amerika”, atau ”Barat”, atau ”SBY”, atau ”demokrasi”, atau ”kehidupan sekuler”, atau apa pun. Ketika kita merasa seperti kehilangan sebuah republik yang dibangun bersama—dengan segala variasi yang tumbuh dalam bangunan itu—teror itu praktis memusuhi sebuah cita-cita sekian puluh juta manusia yang bebas. Ia memusuhi Indonesia.

Pada momen itu, kita sebenarnya bisa berkata: kita akan melawan. Pada saat itu, kita tahu, teror itu tak akan menang. Memang sejenak ia bisa bikin gugup, menyebabkan reaksi yang berlebihan, juga dari seorang presiden yang biasanya tenang. Tapi bom itu, teror itu, tak akan bisa mendapat lebih dari itu.

Di zaman ini, para teroris memerlukan pentas dan penonton. Ada panggung untuk mempertunjukkan akrobatik mereka. Ada penonton yang menyaksikannya dan merasakan dampaknya ke dalam hidup mereka, sejenak ataupun lama. Kengerian, kebuasan, dan kenekatan itu adalah bagian dari spectacle itu, seperti dalam sirkus. Tapi, apa sesudah itu?

Kita ingat 11 September 2001: sebuah pertunjukan spektakuler dengan pentas yang kolosal: dua pesawat berpenumpang penuh ditabrakkan ke dua gedung pencakar langit di Kota New York, pada sebuah pagi yang cerah. Sekitar 3.000 orang tewas. Teror adalah sebuah show dan sekaligus statemen. Tapi statemen itu tidak pernah jadi jelas, juga bagi jutaan penonton. Efeknya mengharu biru, tapi ia tak menyebabkan sang musuh (”Amerika”) bertobat atau runtuh. Teror akhirnya bukanlah untuk menggerakkan dukungan yang konsisten untuk perubahan. Teror tak punya daya transformatif. Teror bukan sebuah revolusi.

Dan ia juga tak bisa mengelak dari ”the law of diminishing return”. Tiap pertunjukan yang ingin menarik perhatian akan sampai pada suatu titik, di mana ia tidak bisa lagi jadi rutin. Ketika ia jadi rutin, diulang berkali-kali tanpa hasil yang berarti, kecuali membunuh sejumlah orang tak bersalah (bahkan ia tak bisa berpanjang-panjang membuat gentar), ia kehilangan lagi tujuannya.

Bahkan ia bisa kehilangan kejutnya. Dalam film Brazil Terry Gilliam, horor dan komedi bersatu. Adegan dimulai dengan sebuah etalase dan iklan televisi yang menawarkan pipa penghangat ruang. Seorang perempuan lewat dan sejenak, sebelum sebuah bom meledak. Tapi tak ada jerit. Tak ada sirene. Yang terdengar melodi Aquerela do Brasil dari Ary Barroso yang riang dan ringan. Teror telah demikian jadi bagian dari hidup sehari-hari dari sebuah kota yang terletak di sebuah zaman entah berantah. Dalam film tentang kekerasan selama 13 tahun itu (yang disebut oleh seorang pejabat sebagai ”keberuntungan sang pemula”) kita tidak tahu lagi apa sebenarnya yang diperjuangkan Archibald ”Harry” Turtle, sang superteroris, yang dalam film cuma muncul sejenak. Teror telah jadi seperti ”seni untuk seni”.

Kita belum sampai ke tingkat seperti komedi hitam Terry Gilliam, di mana yang seram dan yang sehari-hari membentuk sebuah dunia yang ganjil. Tapi agaknya para teroris akan mulai terbentur pada pertanyaan: apakah yang mereka lakukan sebenarnya—sebuah pertunjukan teror untuk teror? Sebuah pameran kepiawaian menghilangkan jejak, merancang operasi di tengah kesulitan, dan tak lebih dari itu?

Saya kira tak lebih dari itu. Dan ketika pertunjukan buas yang kehilangan tujuan itu berhadapan dengan sesuatu yang lebih berharga—sebuah harapan, sebuah ikhtiar untuk sebuah negeri yang aman dan demokratis—kita tahu siapa yang akan menang. Kita. Indonesia.

oleh :
Goenawam Muhammad

Senin, 20 Juli 2009

ditulis kembali pada 30 Juli 2009

Tentang Rakyat

Tentang rakyat, apakah yang sebenarnya kita ketahui?

Kata itu, seperti bagian penting dari mantra, punya efek yang kuat, tapi tak punya arti yang jelas. Seperti bagian dari mantra, ia diulang untuk membuat orang terkesima, atau tunduk, atau bersemangat. Tapi ia (sebagaimana mantra) akan hilang tuahnya apabila diletakkan sebagai sebuah satuan sintakse yang diurai maknanya. Di hadapan analisis, kata ”rakyat” akan jadi sebuah problem.

Artinya (seperti arti kata umumnya) ternyata bergantung pada bedanya dengan kata lain tempat ia dipasangkan. ”Rakyat” berarti bagian penduduk yang tak sedang berkuasa dari sebuah negeri, bila kata itu disandingkan dengan ”pemerintah”. Tapi kata ”rakyat” bisa berarti sebuah kekuatan tersendiri, juga di dalam pemerintahan, seperti dalam istilah ”Republik Rakyat Cina”. Kata itu juga bisa mengandung makna perlawanan terhadap yang mapan. Tapi ”rakyat” juga bisa berarti suara mayoritas yang, sebagaimana lazimnya mayoritas, berkumpul di bagian tengah kurva lonceng dalam statistik: sebuah tendensi di luar yang ekstrem.

Saya ingat sebuah sajak Hartojo Andangdjaja yang mencoba mengutarakan apa itu ”rakyat”. Tapi seba­gai­mana layaknya puisi, ia tak menawarkan definisi, melainkan imaji:

Rakyat ialah kita

jutaan tangan yang mengayun dalam kerja

di bumi di tanah tercinta

jutaan tangan mengayun bersama

membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga

mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di ko­ta

menaikkan layar menebar jala

meraba kelam di tambang logam dan batubara

Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita

otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka

yang selalu berkata dua adalah dua

yang bergerak di simpang siur garis niaga

Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita

beragam suara di langit tanah tercinta…

Rakyat ialah suara beraneka


Sajak itu agak terlalu panjang bagi selera saya saya potong di bait itu. Tapi saya kira kita bisa menyimpulkan apa yang hendak dikemukakan penyairnya: Rakyat adalah subyek. Tapi subyek itu bukan terbentuk sebagai substansi yang sudah ada dan akan selalu ada; rakyat bukanlah ”kehadiran” yang tegak sebelum dan sesudah ”kemauan” atau ”perbuatan” atau ”keputusan”. Bagi Har­tojo, ”rakyat” lahir dari kerja, berpikir, mencipta. Subyek itu hanya jadi subyek dalam praksis.

Dalam hal ini kata ”rakyat” sejajar dengan pengertian ”proletariat” dalam pengertian Sartre: kaum proletar ”mem­bentuk dirinya sendiri dari aksi hari-ke-hari”. Ia ada hanya melalui aksi. ”Ia adalah aksi. Kalau ia berhenti beraksi, ia buyar”.

Tentu saja ada beda antara gambaran tentang ”rakyat” dalam sajak Hartojo dan asal-usul ”proletariat” dalam definisi Sartre. ”Rakyat” dalam puisi Hartojo lebih ­me­rupakan subyek produksi dan kreasi ketimbang subyek politik. Rakyat sebagai subyek politik diasumsikan seba­gai sesuatu yang tidak ”buyar” (decomposed), dengan kata lain: utuh dan tunggal, sedangkan rakyat dalam ­imaji puisi Hartojo tidak. ”Rakyat adalah suara beraneka”.

Dalam sejarah demokrasi, selalu ada pertemuan, perbenturan dan persilangan antara rakyat sebagai subyek politik dan rakyat sebagai ”suara beraneka”. Menjelang demokrasi modern lahir dari rahim Revolusi Prancis, Rousseau mengatakan bahwa apa yang membuat ”kemau an publik” bukanlah ”jumlah pemilih”, melainkan ”kepentingan bersama yang menyatukan mereka”.

Persoalannya, kemudian, bagaimana ”menyatukan” suara yang ”beraneka” itu. Robespierre, yang selalu cenderung untuk bersikap ekstrem, mengambil kesimpulan­ bahwa ”kita perlu satu kemauan yang tunggal”, une volonté UNE, seperti ditulisnya dalam catatan pribadinya pada tahun 1793. Dari sini kita tahu apa yang dilakukannya: teror terhadap mereka yang tak dianggap menolak jadi tunggal, pembasmian mereka yang ”bukan-rakyat”. Dipim­pin Robespierre, Revolusi Prancis bisa membebaskan, tapi juga bisa dengan bengis menghilangkan kebebasan.

Sebab orang seperti Robespierre merasa tahu betul apa yang disebut ”rakyat” dan akhirnya terjebak: ia sendiri dipenggal oleh mereka yang juga merasa mewakili ”rakyat”. Ia orang berniat baik—sebagaimana banyak intelektual dewasa ini yang karena niat baiknya melihat rakyat sebagai subyek politik yang diberi status ontologis: rakyat tak lagi sesuatu yang dibentuk oleh praksis, melainkan yang membentuk praksis. Pada gilirannya, ”rakyat” jadi bagian dari sebuah mitologi, atau setidaknya bagian dari mantra.

Tapi demokrasi kemudian belajar: jika sistem ini bermula sebagai ”pemerintahan oleh rakyat”, ia berangsur angsur menerima bahwa ”rakyat” adalah sebuah subyek yang tak ”hadir”. Para pendukung demokrasi memang sering terkecoh. Mereka alpa bahwa rakyat adalah subyek­ yang, sebagai subyek, tak sepenuhnya bisa diterjemahkan oleh bahasa. Ia bisa berganti-ganti maknanya sosoknya, suaranya, lakunya.

Maka tak mengherankan bila percakapan dan debat dengan sikap membela rakyat yang kita ikuti di koran dan televisi selama ini bisa tiba-tiba dipergoki oleh kenya­taan bahwa rakyat tak mendengarkan hiruk-pikuk itu.

Jika kita bisa belajar, mungkin sejak ini sebaiknya kita selalu bisa bertanya: tentang rakyat, apa sebenarnya yang kita tahu?

oleh :

Goenawan Muhammad

Senin, 13 Juli 2009

ditulis kembali pada 30 juli 2009

Kebijakan dan Manajemen Pemberdayaan Wilayah Terpadu Melalui Alokasi Dana Zakat, Infaq dan Shadaqah

Dampak krisis ekonomi moneter yang dialami Bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 menghembuskan angin segar bagi proses reformasi disemua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara baik pada tataran berbangsa dan bernegara baik pada tataran ekonomi, social budaya, politik dan hokum, meski reformasi tersebut belum memuaskan atau belum mencapai seperti yang diharapkan masyarakat.
Dari bidang politik yang menyangkut hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah diundangkan undang-undang tentang otonomi daerah. Tema sentral undang-undang ini adalah konsep desentralisasi yang dalam pengertiannya berarti penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonsia (NKRI)
Konsekuensi logis dari penerapan asas desentralisasi ini adalah menuntut pemerintah daerah untuk siap menata keseluruhan perangkat organisasi dan menajemen serta kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap perkembangan dan perubahan lingkungan eksternal agar mampu melaksanakan amanat yang diberikan rakyat. Fleksibilitas terhadap perubahan lingkungan ini merupakan prasyarat bagi kemampuan pemerintah pusat maupun daerah untuk sukses dalam melaksanakan program-program pembangunan yang tepat sasaran dan tepat guna.
Salah satu kebijakan strategis untuk mempercepat pembangunan diera otonomi ini adalah dengan menyusun suatu perencanaan pembangunan untuk pemberdayaan secara terpadu dalam suatu wilayah otonom dengan melibatkan seluruh unsure pelaku pembangunan dan mempertimbangkan potensi serta peluang yang ada didaerah sehingga akan terwujud pembangunan yang multi sekor.
Dalam kerangka mempercepat tujuan pelaksanaan otonomi daerah, secara praktis pemerintah telah menggunakan beberapa pendekatan pembangunan. Berbagai terobosan dan upaya efektif dalam mengembangkan sector riil dan sector lainnya telah dilaksanakan salah satuya yakni melalui optimalisasi manajemen dana zakat, infaq dan shadaqah yang akan diungkap dalam penelitian ini.
Program-program semacam ini sebenarnya telah ada sejak tahun 1980-an yang bertujuan untuk menterpadukan dan menyerasikan program-program pemberdayaan dalam suatu wilayah dengan memperhatikan lingkungan sekitar. Secara prinsip kebijakan ini mensyaratkan suatu mekanisme kerja sama yang harmonis antara berbagai pihak untuk mendesain suatu perencanaan pembangunan yang terpadu yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Program ini dapat berjalan dengan baik apabila ada komitmen seluruh pihak yang terlibat dalam pemberdayaan untuk merumuskan masalah yang dihadapi dan mengatasinya secara efektif.
Kebijakan pemberdayaan wilayah secara terpadu melalui manajemen dasna zakat infaq dan shadaqah di Kabupaten Lombok Timur, berdasarkan informasi dari pejabat yang merumuskan perencanaan pada saat pra studi, sebenarnya telah dilaksanakan sejak disosialisasikannya kebijakan ini. Namun dalam proses terdahulu program ini masih dianggap program personal keagamaan dan bukan institusi yang kurang membutuhkan manajemen pengelolaan secara terpadu sehingga program-program yang bersifat demikian tidak terlalu diperhatikan baik oleh masyarakat dan pemerintah daerah sendiri.
Saat ini, seiring dengan reformasi penyelenggaraan pemerintah daerah melalui otonomi daerah, program pastisifatif merupakan keharusan, meskipun dalam prosesnya masih banyak permasalahan yang harus dihadapi. Dalam kenyataannya program ini sebenarnya dapat berjalan baik manakala ada komitmen seluruh pihak dalam pemberdayaan dengan manajemen dana zakat, infaq dan shadaqah karena program ini akan bermuara pada masyarakat baik untuk para muzakki zakat, amil, mustahiq maupun pemerintah dalam tindakan turun tangannya dalam penentuan kebijakan pemberdayaan dan manajemen dana zakat, indaq dan shadaqah ini.
Kajian ini dimaksudkan untuk mencari jawaban penanganan pemberdayaan masyarakat dengan manajemen dana zakat, infaq dan shadaqah dan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil implementasi

1. Pengertian Kebijakan
Dalam beberapa literature, pengertian kebijakan sangat beragam. Namun secara umum kebijakan publik dapat dikatakan merupakan rumusan keputusan pemerintah yang menjadi pedoman tingkah laku guna mengatasi masalah publik yang mempunyai tujuan, rencana dan program yang akan dilaksanakan secara jelas.
Menurut Anderson (Dalam, Nyimas Dwi Koryati, 2004:7) menyatakan kebijakan publik merupakan pengembangan dari kebijakan yang dilakukan oleh institusi pemerintah dan aparaturnya. Sedangkan William Dunn mengatakan kebijakan publik adalah serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan (termasuk keputusan untuk tidak berbuat) yang dibuat oleh badan-badan atau kantor-kantor pemerintah (Dunn, 2001)
Adanya beberapa konsep kebijakan tersebut menunjukkan bahwa unsure tujuan, sasaran dan cara-cara bagaimana tujuan itu harus dicapai merupakan unsure pokok yang harus ditetapkan oleh pejabat pemerintah dalam membuat kebijakan pemerintah. Suatu keadaan yang diinginkan akan nampak pada tujuan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

2. Pengrtian Implementasi Kebijakan
Sebagaimana diuraikan, mengingat analisis ini adalah merupakan analisis yang memfokuskan pada kajian implementasi program yang mempengaruhi kinerja program pemberdayaan wilayah terpadu di Kabupaen Lombok Timur, sebelum menganalisis apakah implementasi kebijakan berjalan sesuai yang digariskan atau tidak perlu untuk dipahami benar apa yang dimaksud dengan implementasi kebijakan itu sendiri.
Secara sederhana implementasi kebijakan dapat didefinisikan sebagaia suatu proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan, biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif atau instruksi presiden (Wahab, 1991:50)

3. Pengertian Keberhasilan Implementasi Kebijakan
Keberhasilan implementasi kebijakan ini dapat dilihat dari terjadinya kesesuaian antara pelaksanaan/penerapan kebijakan dengan desain, tujuan dan sasaran kebijakan itu sendiri serta memberikan dampak atau hasil yang positif bagi pemecahan permasalahan yang dihadapi.
Asumsi yang dapat dibangun mengenai konsep keberhasilan implementasi kebijakan adalah “semakin tinggi derajat kesesuaiannya maka semakin tinggi pula peluang keberhasilan kinerja implementasi kebijakan untuk menghasilkan out put yang telah digariskan”
Dalam rangka pencapaian kesesuaian antara tujan dan sasaran kebijkan dengan kenyataan dilapangan, salah seorang pakar bernama Jan Merse (Dalam Sunggono, 1994) mengidentifikasi factor-faktor yang dapat menjadi penybab kegagalan dalam implementasi suatu kebijakan yakni informasi, isi kebijakan dan dukungan serta pembagian potensi dalam arti kinerja koordinasi yang intensif.

4. Model Implementasi Kebijakan
Berikut akan diuraikan beberapa model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh para pakar yakni : Perama, model Meter & Horn (1975) dimana model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementator dan kinerja kebijakan publik. Beberapa indicator yang disertakan yakni aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi, karakteristik dan agen pelaksana, kondisi ekonomi, social dan politik, kecendrungan dari pelaksana/implementator.
Kedua, model Mazmanian & Sabatier yang mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variable yakni variable independen, terkait dengan mudah idaknya masalah dikendalikan, variable intervening yakni kemampuan untuk menstrukturkan proses implementasi dan variable dependen yang terkait dengan tahapan dalam proses implementasi kebijakan.
Ketiga, model Hoogwood & Gun yang mempersyaratkan adanya jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar, syarat ketersediaan sumber daya. Syarat ketiga yakni perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada, syarat berikutnya yakni apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang andal dan berapa banyak hubungan kausal yang terjadi. Syarat berikutnya yakni pemahaman mendalam terhadap tujuan dan tugas-tugas dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar, koordinasi dan komunikasi dan adanya pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Keempat. Model Grindle (1980) yang ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan.
Kelima, model Elmore, Lipsky, Hjern & O’Porter. Dimana model ini dimulai dari mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka, tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang mereka miliki.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan dapat dirumuskan sebagai tindakan yang dilakukan individu/kelompok/pejabat pemerintah atau swasta yang diarahkan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan dan sekalipun tindakan kebijakan yang dirancang sedemikian rupa untuk mencapai tujuan-tujuannya, tidak selalu tindakan tersebut dapat diwujudkan semua kehendak kebijakan jika proses implementasi tidak tepat.
Analisis ini secara khusus mengadopsi dan mengadaptasi model implementasi yang dikemukakan oleh Grindle dengan mengedepankan dua variable utama yakni content of policy, context of implementation dan dampakdampak dari kebijakan itu sendiri. Variable yang digunakan untuk mengkaji keberhasilan program adalah variable yang diturunkan dari isi kebijakan yakni kepentingan para pelaku, dukungan lingkungan yang berkaitan dengan pengerahan sumber daya dan karekteristik pelaksana yang diturunkan dari konteks implementasi
Selanjutnya, jika diamati model Grindle, maka isi kebijakan terdiri dari kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa yang menjadi pelaksana program, sumber daya yang dikerahkan. Sedangkan konteks implementasi terdiri dari kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa, kepatuhana dan daya tangap.

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Pendapat Jan Merse (Sunggono, 1994) di atas secara implicit telah mengungkapkan factor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan yakni meliputi isi kebijakan, informasi, dukungan dan pembagian potensi.
Mudah tidaknya masalah dikendalikan sangat mempengaruhi pencapaian tujuan yang diambil untuk diimplementasikan. Kesukaran teknis misalnya merupakan hal yang sulit untuk dihindari dalam implementasi kebijakan. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang mudah dikendalikan untuk memperkecil tingkat kesulitan yang terjadi
Program pemberdayan dengan alokasi dana zakat, infaq dan shadaqah ini merupakan salah satu program yang berupaya untuk menunjang kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat berupa pengentasan kemiskinan dan peningkatan daya saing sector riil.
Menyadari bahwa beragamnya pendapat para ahli mengenai factor-faktor yang mempengaruhi kebrhasilan kinerja implementasi kebijakan sebagai variable dependen dan mengingat implementasi program ini bertumpu pada keterpaduan program dari para pelaksana, maka dalam menganalisa peneliti hanya akan mengadopsi dua variable independen dari Grindle yakni kepentingan pelaksana program dan dukungan lingkungan serta satu dari Meter dan Horn yakni variable karakteristik pelaksana kebijakan.

6. Manajemen Pengalokasian Dana Zakat, Infaq dan Shadaqah Untuk Pemberdayaan Masyarakat
Menurut pendapat Masdar dalam bukunya Agama Keadilan manajemen pengalokasian dana zakat, indaq dan shadaqah ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat (umat muslim). Setidaknya terdapat beberapa pihak terkait yang terlibat didalamnya yakni para pemberi zakat, infaq dan shadaqah, para pengelola, para penerima dan pemerintah sebagai ulil amri.
Hal ini sangat penting mengingat dari data potensi perkembangan dana zakat yang berhasil dikumpulkan dan dipublikasikan oleh beberapa lembaga fhilantropy atau amil zakat memiliki kecendrungan perkembangan jumlah pemberi sumbangan (zakat, infaq dan shadaqah) yang makin bertambah tiap tahunnya.
Dari persfektif di atas dapat diasumsikan bahwa selain pajak, dan pendapatan lainnya negara dapat pula memanaj dan mengalokasikan dana zakat untuk memberdayakan rakyatnya. Memang bukan disini tempatnya menguraikan perihal jenis-jenis zakat dan kadar pengeluarannya. Namun demikian penunaian terhadap zakat, infaq dan shadaqah dengan dibarengi dengan pola kebijakan dan manajemen pemberdayaan yang baik yang melibatkan berbagai pihak setidaknya akan dapat memberdayakan

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id