Kamis, 22 September 2011

Mengantarkan Lalu Agus Sarjana Jadi PIMRED

Tulisan Pengantar Lalu Agus Sarjana, S.Psi., MM., Menjadi Pimpinan Redaksi (Pimred) Media Pembaruan

Lalu Agus Sarjana adalah pribadi yang dapat dikatakan lahir dan dibesarkan dalam kultur masyarakat Sasak yang masih berbau feodalis-religius, namun ia sangat kritis dengan dunia dimana ia dibesarkan. Hampir separuh hidupnya ia abdikan untuk menjadi pekerja sosial. Lahir di Sengkol 17 Agustus 1962 dalam kultur generasi yang berada dalam feodalisme pemikiran yang menindas. Sebab feodalisme pemikiran akan menghalangi dia dari kejujuran pemikiran. Melalui tulisan sederhana ini saya mengajak pembaca untuk turut mengantar Lalu Agus Sarjana agar ia tidak terkena polusi dari golongan atau kelompok yang lebih mementingkan kepentingan mereka saja dan tidak masyarakat banyak, masyarakat Lombok Tengah. Mari kita antar Lalu Agus Sarjana dengan memberi restu dan mendoakannya untuk menjadi Pimpinan Redaksi yang dapat mewujudkan idealisme pemikiran yang selama ini ia tularkan pada masyarakat untuk menggali dan menemukan rumusan pemberdayaan masyarakat melalui media informasi yang bertanggungjawab dan melibatkan masyarakat secara cerdas yang bertumpu pada modernitas, keislaman, ke-sasak-an dan keindonesiaan dalam konteks kekinian dan masa depan.


Terimakasih kepada teman-teman di Media Pembahruan atas diterbitkannya tulisan pengantar ini, meskipun agak sedikit terlambat dari tanggal 15 September 2011, dimana Lalu Agus Sarjana menerima mandat untuk menjadi Pimpinan Redaksi, melalui tulisan ini untuk mengantarkan teman, sahabat kita Lalu Agus Sarjana ke mimbar. Sebentar lagi kita akan disuguhkan dengan pola manajemen, pemikiran informasi dan pandangan Lalu agus Sarjana tentang bagaimana memimpin, mengorganisasi, merencanakan, dan mengontrol sebuah media yang tidak terlepas dari beragam kepentingan, visi misi dan tentu juga laba!.


Beberapa waktu lalu saya berbincang dengan seorang rekan pekerja sosial (aktivis). Seperti kita tahu, tentu ada beragam pertimbangan dimana Lalu Agus Sarjana dipilih untuk menjadi seorang Pimred, salah satunya mungkin karena independensi dan komitmen Lalu Agus Sarjana untuk memberdayakan masyarakat, melalui apa yang kita sebut dengan “Kapal Perang” (Media Informasi). “Tapi saya pesimis Lalu Agus Sarjana akan dapat menjalankan dan menuangkan seluruh konsep pemberdayaan masyarakat yang selama ini ia kerjakan” lanjut teman aktivis ini. Selanjutnya ia menguraikan dari beberapa aspek, kepemilikan saham, kepentingan politik, daya jual pemberdayaan, tingkat kekeritisan dan lainnya.

Dari sini, kita ingat, bagaimana sebuah idealisme terbangun dengan susah payah, setelah memasuki sebuah arena perang ia menjadi lapuk karena dihantam ombak dari sana sini, layaknya sebuah alasan teman-teman para dewan, yang makin tidak berdaya karena memiliki satu kepala, dihadapkan dengan puluhan kepala yang memiliki beragam kepentingan di gedung dewan, ini alasan sederhana.

Kepada rekan aktivis ini saya menjelaskan bahwa menurut saya (dengan mempertimbangkan argumen yang disampaikannya), penggambaran tentang membangun masyarakat melalui media didaerah kita ini cenderung terpolarisasi ke dalam dua kutub yang berseberangan. Di satu pihak, pemberdayaan masyarakat melalui media ditanah Sasak ini digambarkan begitu opitimisnya: sangat progresif, kritis, maju dan karenanya dianggap sudah cocok dengan konsep rekayasa sosial masyarakat. Sebaliknya di kutub yang lain, pemberdayaan masyarakat melalui media ditanah Sasak digambarkan begitu pesimistisnya. Banyak kepentingan, asal comot berita/informasi dari internet, tidak kreatif, kurang visioner dari segi pemberdayaan, tidak mendidik, menghabis-habiskan anggaran dan lain-lain.

Tentu saja, kedua kutub itu memiliki argumen yang sahih dan bisa dipertanggungjawabkan secara metodologis. Kutub optimis misalnya menyajikan argumen dan data tentang betapa makin meningkatnya jumlah oplah media cetak dari hari kehari, atau dengan telah makin menjamurnya bisnis media cetak di daerah ini. Kutub optimis ini menganggap perdebatan tentang layak atau tidak layaknya (baik dari isi berita dan lain-lain) media cetak terbit didaerah ini telah selesai dan Media Pembaruan adalah merupakan salah satu sumbangan paling berharga dalam hal ini. Dan satu lagi, media cetak didaerah ini paling mengerti isi berita yang harus ditampilkan untuk masyarakat kita (yang paling menonjol adalah dari aspek politik dan tentunya seputar pilkada, mutasi, partai, kriminal dll).

Sementara kutub pesimistis menganggap bahwa media cetak di daerah ini belum banyak memberi kontribusi pada pemberdayaan masyarakat, idealisme media yang ditonjolkan media cetak didaerah ini adalah bergantung siapa yang memimpin, siapa yang didukung dan dapat apa. Informasi-informasi yang disuguhkan terkadang isinya dangkal dan murahan, asal comot dari internet. Bagi kutub pesimis, media cetak didaerah ini tak lagi memberdayakan, isi berita yang disuguhkan tidak mencerdaskan dan memberdayakan, dan masih banyak lagi argument lainnya. Dan dalam hal ini, terkadang saya hanya bisa mengatakan betapa mereka “astaghfirullah”

Bagi saya penggambaran serupa itu, baik yang optimis maupun yang pesismis, kurang memberi ruang pada eksplorasi pemberdayaan dan pencerdasan masyarakat suku Sasak yang akan dilakukan Lalu Agus Sarjana dengan menawarkan produk pemikiran. Dalam konteks pemberdayaan dan pencerdasan masyarakat suku Sasak tentu saja kita harus menyebut beberapa tokoh penting yang terkait dengan upaya pemberdayaan melalui “Kapal Perang” yang kini menjadi jalan lurus yang dipilih Lalu Agus Sarjana. Mereka diantaranya adalah Pritjof Chapra, Goenawan Muhammad dan Yaqub Utama.

Bagi saya, Lalu Agus Sarjana adalah sebuah contoh produk manusia hasil rekayasa pemikiran yang memadukan model pencaharian pemberdayaan, zaman klasik Islam, kearifan budaya lokal masyarakat dan ketar ketirnya zaman modern dan postmodern. Meski khazanah pemikiran Lalu Agus Sarjana tak berbasis ilmu-ilmu pemberdayaan masyarakat dan media masa, namun Lalu Agus Sarjana mengajak kita untuk berpikir dan merenung tentang pemberdayaan masyarakat, baik dengan langsung menyentuh aspek praktis maupun melalui media cetak.

Saya memberi judul pengantar ini “ Mengantarkan Agus Sarjana Jadi Pimred”. Bagi saya, ini sebuah ungkapan metafora. Kita harus bersama-sama mengantarkan Lalu Agus Sarjana untuk melanjutkan ide-ide rintisan pemberdayaan masyarakat yang mengakar pada keagamaan (Islam) kearifan budaya lokal masyarakat dan tantangan post modernisme melalui beragam pemikiran kritis-membangun sebuah media cetak yang bernama Media Pembaruan. Dan untuk itu, Lalu Agus Sarjana memiliki modal besar yang boleh jadi tak dimiliki para kandidat yang lain yang sudah ditumbangkannya.


Pada akhirnya, mari kita tunjukkan dukungan kita pada Lalu Agus Sarjana dengan membiarkannya tumbuh berkembang sebagai intelektual independen dan tak tinggal di menara gading. Agar apa yang diutarakan teman aktivis di atas tidak menjadi kenyataan. Mari kita tantang dia untuk menjawab persoalan kedaerahan-kebangsaan melalui Media Pembaruan dengan pemikiran keagamaan, pemberdayaan konsep dan metodologis bukan hanya dengan istighasah, dzikir akbar, reuni otak atau hanya sekedar keliling kampung dengan mengasah otak menjelang waktu isya’ hingga tahajjud.

Wawasan Kebangsaan Dalam Bingkai NKRI


Oleh: Lalu Agus Sarjana, S.Psi., MM.

(Disampaikan pada Seminar Sehari Wawasan Kebangsaan NKRI: Kajian Potensi Ancaman Disintegrasi Bangsa di NTB – Praya 21 September 2011)

PENDAHULUAN

Sejarah Bangsa Indonesia pada satu lemping, lahir dari perbauran etnis Melanisia dan Polinesia. Perbauran sebelum masehi terjadi melalui alam pikiran dan budaya yang didominasi oleh kepercayaan “animisme” dan beranggapan bahwa “roh” adalah “Tuhan”. Pada awal Masehi tumbuh kembang kebangsaan ini bertumbukan dengan bangsa “Indo Arya” yang disebut Ras Putih, membawa alam pikiran dan budaya “Hinduisme”. Terjadilah akulturasi proses terhadap etnis dan alam pikiran serta budaya sehingga membentuk kasta dan stratifikasi sosial-budaya menjadi empat tingkat seperti Brahmana, Kesatria, Waisya dan Sudra, bahkan ada lagi kasta Paria. Ketika bangsa “Indo Mongol” datang sebagai Ras Kuning, barangkali kasta Sudra mendapatkan status sosial menjadi lapisan ke-5 dengan alam pikiran dan budaya Shinto atau Budhisme kebangsaan Indonesia. Menyusul kemudian bangsa “Indo Shamith” atau Ras Hitam yang membawa alam pikiran dan budaya “Islamisme” atau “Sarasinisme” yang menjadi lapisan ke-6 bangsa Indonesia. Berikutnya, pada abad ke-17 M datanglah “Indo Eropa” atau Ras Merah membawa Kristenisme atau “Helenisme” dan Science and Technology, sehingga membentuk susunan sosial piramidal sebagaimana yang dikemukakan oleh Mac Iver[1]. Sekarang generasi abad ke-21 dapat menanyakan kembali apakah Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17-8-1945 oleh Soekarno-Hatta sudah merupakan wujud revolusi sebenarnya atau hanya sekedar revolusi balik nama saja oleh diasporanisasi bangsa Yahudi yang menyusup ke urat nadi kehidupan manusia Indonesia?

Kalau dilihat dari kelir kebangsaan kita yang terdiri dari tujuh lapisan sosial budaya di atas yang ditengarai oleh diasporanisasi yang menyusup di dalamnya, maka kemerdekaan bangsa Indonesia adalah kemerdekaan semu, bahkan menjadi ajang penjajahan bangsa-bangsa maju dan modern. Bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan, sampai sekarang perlu dievaluasi dan dicermati kembali. Yang paling berat adalah penjajahan alam pikiran dan budaya yang secara tidak kasat mata adalah penjajahan melalui pendidikan anak bangsa yang memiliki sumberdaya yang tinggi. Inilah “mimpi buruk” bangsa Indonesia saat ini.

Sejarah panjang pergulatan pemikiran dan polemik tentang pembukaan dan batang tubuh UUD ’45 ketika persiapan kemerdekaan Indonesia merupakan luka dalam yang belum sembuh dan menjadi titik api permasalahan bangsa kita sekarang. Apalagi terminology dan peristilahan yang terbangun dari alam pikiran mereka masih berupa idiom dan jargon atas nama adat, agama dan negara. Kemudian dalam penyelenggaraan pemerintahan, hubungan antara pusat dan daerah menjadi demikian antagonis dan kesenjangan dari berbagai faktor, hubungan kota dan desa menjadi tidak kondusif dan proporsional. Pembangunan aparatur dan pembangunan sektor publik juga menjadi problem yang perlu kesetimbangan yang berkesederajatan dan persamaan. Otonomi daerah yang dicanangkan oleh pemerintahan pusat sepertinya berjalan setengah hati dan berdampak pada pembangunan yang tidak riil di perdesaan.

Kalau dicermati secara seksama, pandangan Mr. Soepomo tentang negara-bangsa (nation-state) yang dicita-citakan adalah gambaran tentang pemerintahan desa yang ada dan hidup pada tataran persatuan adat-agama-negara. Seperti juga kita pelajari bahwa pembukaan UUD ’45 tidak boleh lepas dari hubungan manusia dengan keilahian yang meyakini bahwa berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…, secara penuh berhubungan dengan keyakinan keberagamaan bangsa Indonesia yang sejalan dengan batang tubuhnya dimana mengandung model pemerintahan desa adat yang secara heterogen hidup di seluruh suku-suku bangsa yang menjadi landasan dan sendi-sendi hidup berbangsa dan bernegara. Tetapi, dalam orde kebangsaan kita telah terjadi penyimpangan, penyelewengan dan penafsiran yang memihak kepada elit dan kelompok penguasa, sehingga rakyat secara pribadi dan masyarakat yang kebanyakan hidup di perdesaan tidak mendapatkan kue pembangunan dan kesejahteraan yang menjadi tujuan berbangsa dan bernegara.

DESA SEBAGAI VILAGE-STATE

Sebagai warga bangsa Indonesia, lebih-lebih sebagai masyarakat muslim yang merupakan mayoritas penduduk negeri, tentu sangat memahami makna “negara-bangsa” atau nation-state itu sebagai sebuah negara yang dihajatkan untuk seluruh warga bangsa. Negara bangsa yang dikehendaki oleh pendiri bangsa Indonesia bukan negara-bangsa yang didasarkan pada demokrasi indivudalistik, juga bukan negara-bangsa yang didasarkan pada kelas atau golongan yang menjadi demokrasi komunistik, namun pada akhirnya yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa Indonesia adalah negara-bangsa yang didasarkan pada pentingnya maslahat umum untuk seluruh masyarakat. Meskipun konsep tentang pembukaan UUD’45 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta sempat mengecewakan para pendiri bangsa Indonesia yang cenderung ingin melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dan juga ada beberapa pendapat bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia adalah bagian dari kemurahan tentara Jepang, namun perjalanan sejarah bangsa Indonesia seluruhnya merupakan pergolakan pemikiran yang dipengaruhi baik oleh alam pikiran Barat maupun oleh alam pikiran Timur yang tidak bisa dihindari. Tokoh Soepomo dengan warna pemikiran hukum adatnya, Agus Salim dengan warna pemikiran keagamaannya, dan Soekarno dengan pemikiran nasionalisnya adalah bagian yang tak terpisahkan dari bangunan negara-bangsa Indonesia merdeka.

Kalau menilik perjalanan bangsa-bangsa di dunia menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sejak awal pengertian kita tentang negara-kota (city-state) adalah ciri khas negara kota dari semenanjung Balkan yang menjadi pusat peradaban waktu itu. Dalam pertumbuhannya lebih lanjut dikembangkan oleh negara-kota Vatikan di Roma sampai sekarang yang secara khas menempatkan jargon negara dan keagamaan secara penuh dengan tradisi masyarakat Eropa. Sedangkan pada sisi lainnya, setelah terbentuknya dinasti Ummayah, maka sumbangsih bangsa Arab dalam hubungannya dengan negara adalah terbentuknya negara-bangsa Arab pada waktu itu yang merupakan ciri dari negara-bangsa (nation-state) yang terus dikembangkan sampai sekarang menjadi nasionalisme Arab. Sudah tentu model negara-bangsa ini adalah penyempurnaan dan modifikasi bentuk negara-kota (city-state) yang dibawa oleh imperium Romawi ke jazirah Arabia pada waktu itu, yang memahami jargon negara, agama dan adat sesuai dengan lingkungan Arabismenya. Selanjutnya, terakhir yang muncul adalah Negara Israil yang menyatukan ciri khas adat atau tradisi dengan agama dan negara sekaligus menjadi alam pikiran dan budaya Zionisme Yahudi. Berdasarkan hal itu, Millah Ibrahim sebagai tonggak peradaban hanifiyah, berkembang menjadi berbagai bentuk peradaban istiqamah (Torah-Zabur, Injil dan al-Quran) karena secara kalkulus keagamaan, Millah Ibrahim merupakan integrasi dari ajaran Torah- Millah Ibrahim.

Ada penyimpangan ajaran Ibrahim menjadi konsep Brahman (Boleh jadi ajaran Ibrahim yang tidak berhubungan dengan anak cucu Ibrahim) menjadi ajaran Hinduisme dan seterusnya menjadi ajaran Budhisme yang bertumbukan dengan ajaran nenek moyang Babilonia, Mesopotamia, Mesir, Persia, China, sampai ke Asia Timur Jauh. Pada umumnya negara yang terbentuk dari alam pikiran Hinduisme, Budhisme dan ajaran nenek moyang lainnya lebih kental dengan semangat tradisional daripada semangat modern dalam artian mempertahankan tradisi lebih penting dari modernitas. Selanjutnya bangsa-bangsa yang merupakan derivasi dari Indo Mongol yang tersebar dari etnis Polinesia dan etnis Melanisia inilah yang menyatukan diri menjadi cikal bakal bangsa Indonesia mulai awal abad Masehi. Berdasarkan keakraban alam pikiran dan budaya mereka, maka akulturasi proses alam pikiran dan budaya yang datang dari India-Persia, Arab dan China dan sebagainya menjadi lebih mudah diterima akal sehat mereka.

Situasi perdebatan yang sengit pada masa pembicaraan tentang dasar negara, maka pakar hukum adat Soepomo-lah yang mengangkat system pemerintahan desa, dise atau negari menjadi landasan yang lahir dari bangsa Indoensia sendiri. Dengan demikian “modern national community building” yang terpahami oleh para pendiri bangsa adalah konsep wawasan tentang “negara-desa” atau village-state yang menurut sifat tata negara Indonesia yang asli, yang sampai zaman sekarang pun masih dapat terlihat dalam suasana desa di seluruh Indonesia. Juga seperti yang terlihat pada konsep dan system tata kelola Dise Belek yang pernah ada di desa-desa se-Lombok. Sistem Dise Belek adalah konsep dan system ketatanegaraan yang asli yang pernah tumbuh dan berkembang sesuai dengan kearifan tradisional yang bermakna menjunjung tinggi keadilan, kemerdekaan dan demokrasi dan kesejahteraan umum dalam jargon “mawe dise mawe adat, lian dise lian adat”. Dengan demikian sebenarnya Dise Belek sebagai wawasan tradisional yang unik dalam Sasak Adi Lombok Mirah” adalah sebuah konsep dan system village-state yang menjadi jiwa, semangat dan spirit sistem negara-bangsa (nationa-state) yang masih bersifat integrative. Secara umum jargon Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semangat berbangsa dan bernegara yang semangat, spirit dan jiwanya disinari oleh system Negara Madinah yang dapat disebut sebagai negara-wahyu al-Quran Menurut Sunnah Rasul-Nya.[2]

Dengan demikian perdebatan seputar Negara Sekuler, Negara Pancasila dan Negara Islam dapat dihindarkan dan tidak terjadi class-constitution sebagaimana pendapat Hasbullah Bakry yang menyebutkan:

1. Semua Negara adalah SEKULER sebab di-BUMI bukan di-Langit dan diperintah oleh MANUSIA untuk MANUSIA

2. Harus dibedakan antara pengertian SECULAR dan SECULARISME

3. Republik Indonesia di samping bisa disebut NEGARA PANCASILA juga disebut NEGARA ISLAM dan juga disebut NEGARA SEKULER, semua dengan alasan logis obyektif masuk akal

4. Sekarang tidak ada lagi NEGARA THEOKRASI sebab yang tepat disebut NEGARA THEOKRASI itu hanyalah jikalau Kepala Negara-nya itu adalah juga seorang Nabi yang mendapatkan WAHYU daripada THEOS yakni Allah SWT.[3]

Oleh karena umat Islam adalah moyoritas di Negara Pancasila dan Negara Sekuler itu, maka menurut Hasbullah Bakry, setiap muslim sesungguhnya wajib berlaku dalam hidupnya sesuai dengan ajaran Islam yakni hukum Islam dan siapa yang menyalahinya adalah kafir, zalim, dan fasik (Lihat al-Quran surah al-Maidah: 44-45, 47) yang berbunyi, “Siapa yang tidak menghukum dengan al-Quran adalah mereka itu Kafir, Zalim dan Fasik”. Ini berarti setiap orang Islam membangun negaranya wajib mengikuti hukum al-Quran yakni hukum Islam sehingga Pemerintahan Negaranya itu dapat disebut Pemerintahan Islam atau Negara Islam. Kewajiban itu adalah mantap, tidak bisa diubah, dibijaksanakan apalagi diselewengkan. Yang bisa diperdebatkan itu hanyalah soal teknis dan taktis bukan soal target. Dengan kemerdekaan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila itu maka Hukum Islam dan Negara Islam yang dicitakan dan wajib dicapai itu telah tercapai walau masih perlu pemeliharaan dan penyempurnaannya. Setiap dalih bahwa Pancasila adalah bukan Islam atau bertentangan dengan Islam adalah salah tanpa ragu, sebab Pancasila adalah tanpa ragu berakar dari ajaran Islam bukan berakar dari kekafiran Majapahit dan Sriwijaya yang jangkau-nasionalismenya sempit (Jawa-sentris dan Sumatra-sentris) itu. Selanjutnya, mengutip pendapat Duta Besar Pakistan Choudori Khaliquzzaman (1956) tegas menyatakan bahwa setiap negara demokrasi bermayoritas Muslimin itulah yang berhak disebut Negara Islam atau Negara Muslim tanpa mempersoalkan apakah hal itu disebut dalam konstitusi (UUD) atau tidak.[4]

Peta persoalan yang kemudian kita hadapi sebagai negara-bangsa yang modern adalah bahwa system sosial yang sehat dan baik belum dapat diwujudkan secara teknis dan taktis dan memerlukan pemeliharaan dan penyempurnaannya. Hal ini terjadi karena di dalam interkoneksi, non-material values (nilai-nilai moral sebagai fondasi hubungan dan interkoneksi) sangat krusial dalam membangun emergent properties yang melahirkan struktur dan identitas kesatuan dalam system sosial. Berkaitan dengan relational domain, system social umat Islam justru masih belum mengalami kemajuan berarti. Kepatuhan kolektif umat masih menjadi persoalan dan dalam system sosial kita, hampir di semua level, terutama di level mikro belum mampu melahirkan emergent properties, seperti nilai-nilai dasar persaudaraan, persatuan, persamaan dll.[5]

Jika persyaratan system yang akan dibangun bersifat closed network, memang rumit karena kekuatan system akan tergantung pada kemampuan individu-individu yang bergabung dalam system sosial tersebut, apalagi timbul perbenturan nilai-nilai dari system lain yang lebih kuat. Masuknya nilai-nilai lokal, kultural dan atau global yang dianggap non-Islami, sudah pasti saling menghilangkan kekuatan masing-masing sehingga terjadi default values yang dapat menghancurkan bangunan closed network tadi. Sejalan dengan itu, Frans von Magnitz S.J menghadapi tantangan modernitas menyatakan bahwa system-sistem tradisional biasanya hanya dapat bertahan selama lingkungan kebudayaannya sendiri masih tertutup terhadap pengaruh kebudayaan lain, namun pada masa sekarang ini keadaan tertutup itu semakin tidak dapat dipertahankan lagi biarpun barangkali diinginkan oleh karena pengaruh teknologi modern terlalu kuat. Pengaruh teknologi modern itu seringkali menciptakan vacuum moral yang mudah disalahgunakan oleh macam-macam ideology radikal dari kiri dan kanan.[6]

Dalam pertarungan ideologis secara global, pengaruh bangsa Yahudi kepada bangsa-bangsa yang menganut baik agama Kristen maupun agama Islam yang mewujudkan negara, seperti sudah dijelaskan di atas adalah terbentuknya negara-kota Vatikan yang dilekatkan pada ajaran messiah Kristen Katholik (Helenisme) menjadi afiliasi negara-negara Eropa dan Amerika tetap saja menjamin demokrasi individualistic yang bertentangan dengan afiliasi Eropa Timur dan China dengan demokrasi komunistiknya adalah sebuah strategi dan taktik Yahudi Diaspora. Sementara itu hadiah negara-bangsa (nation-state) kepada bangsa Arab menjadi model kelompok nasionalisme sosialistik yang dilekatkan pada Islamisme (Sarasisnisme) berdasarkan tradisi Arab. Berseberangan dengan ideology bangsa Yahudi Diaspora itu, mungkin ajaran Hinduisme di India yang berinteraksi dengan ajaran nenek moyang Persia juga mempunyai pengaruh yang luas sampai ke Indonesia dan seterusnya reformasi ajaran Hinduisme menjadi ajaran Budhisme juga cukup kuat ke Asia Kecil sampai ke dataran China yang bersekutu dengan ajaran Tao dan Kong Fu Tsu dan seterusnya menjadi berpengaruh pada ideology Budhisme Zen yang bersinggungan dengan restorasi Mieji di Jepang dimana pada perang dunia II sangat kuat pengaruhnya. Pada akhirnya, pertarungan ideology yang demikian kompleks pada abad ke-21 ini tampak didominasi oleh dua ideology besar yaitu pertarungan bangsa Yahudi dengan dua system alam pikiran dan pola kebudayaan yang saling mengikat yaitu Yahudi Diaspora dan Yahudi Zionisme dan bangsa China dengan dua system alam pikiran dan pola kebudayaan yang juga saling mengikat yaitu China Perantauan dan China Daratan.

Pertarungan dua kekuatan besar bangsa itulah yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung bagi ideology bangsa Indonesia yaitu Pancasila baik yang berhubungan dengan atas nama agama maupun yang berhubungan dengan atas nama sekuler. Namun ada harapan bagi bangsa Indonesia bahwa fondamen dasar Negara Pancasila adalah system pemerintahan desa yang asli yang masih eksis di seluruh kawasan nusantara ini. Konsep village-state atau konsep negara-desa sampai sekarang tampaknya belum banyak mendapatkan pengaruh yang berarti dibandingkan dengan kondisi negara-kota (city-state) ataupun negara-bangsa (nation-state). Kalau kita lihat misalnya negara-bangsa Indonesia, pergeseran norma dan nilai, kegoncangan nilai-nilai dan kekacauan nilai-nilai yang terjadi lebih banyak di wilayah urban sementara itu pengaruhnya terhadap wilayah perdesaan masih dapat dikatakan stabil dan mampu menanggulangi persoalan masyarakat desanya dengan baik. Memang gagasan modernisasi yang diwujudkan di negara-negara Asia termasuk Indonesia dalam bentuk rencana pembangunan seperti yang dikembangkan Gunar Myrdal dalam Asian Drama menitipkan konsep demokrasi baik dalam bidang politik, demokrasi di kalangan akar rumput, dan perencanaan.[7]

Selanjutnya Gunnar Myrdal kemudian membuat penilaian yang sangat merendahkan kemampuan bangsa Indonesia sebagai negara-bangsa yang kuat, tangguh dan bermartabat, karena menganggap negara kita adalah negara yang lunak (soft-state) dimana pemerintah dan warganya tidak memiliki landasan moral yang kuat terutama dalam bidang sosial politik. Di samping penyakit kelembekan itu, bangsa kita dianggap serba menggampangkan, tidak memiliki kepekaan, dan cenderung membela conflict of interest. Bahkan disebutkan pula oleh ramalan Louis Kraar bahwa Indonesia dalam jangka waktu 20 tahun ke depan akan menjadi halaman belakang (back yard) Negara Asia Timur disebabkan karena etos kerja yang lembek dan korupsi yang gawat.[8] Sudah pasti dan nyata pada satu sisi bangsa kita diajarkan bagaimana membangun bangsa dengan perencanaan demokratis, tetapi dipihak lain pertumbuhan dan perkembangannya diramalkan akan lembek dan menjadi latar belakang negara-negara di Asia, semua pernyataan itu berarti bangsa Indonesia tidak akan pernah dijadikan sebagai bangsa yang mandiri dan maju karena terbukti perencanaan pembangunan lima tahunan yang pernah kita lakukan pada masa orde baru tidak memberikan kemajuan yang berarti, malah sebaliknya sekarang ini negara kita sedang dilanda oleh berbagai keguncangan ideologis, social politik dan ekonomi serta penegakan hukum yang sangat rapuh.

Sampai dengan orde reformasi sekarang ini, seluruh sector riil semuanya ditopang oleh rakyat kecil yang hidupnya penuh kesederhanaan di seluruh perdesaaan Indonesia. Ini menunjukkan kekuatan ekonomi masyarakat desa yang tangguh, mampu bertahan dalam berbagai bentuk krisis yang bersifat sistemik. Terbukti bahwa orang-orang desa memiliki keuatan yang sangat mendasar dan menjadi fondamen pembangunan di segala bidang. Sementara masyarakat urban di kota sangat terpuruk dengan krisis moneter apalagi tingkat ketergantungan terhadap produk luar sangat tinggi. Jadi hanya sebagian kecil masyarakat elit Indonesia yang menguasai perekonomian Indonesia disapu bersih oleh system ekonomi kapitalis yang sedang mengalami krisis dunia. Kekuatan inilah yang menjadi keyakinan bahwa bangsa Indonesia masih mempunyai landasan negara-desa (village-state) yang kuat yang dapat mengintegrasi kekuatan-kekuatan nasional sebagai negara-bangsa sehingga mampu bertahan dalam kondisi bagaimanapun sulitnya. Sudah tentu apabila, negara-bangsa Indonesia mau menyadari bahwa model Negara Madinah adalah sebuah model patron negara yang maju dan modern yang tak pernah terbayangkan sebelumnya sebagai acuan dan rujukan utamanya dalam pembangunan negara-bangsa ini, maka sudah pasti bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdepan mengembangkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia dan membebaskan setiap bangsa dari perbudakan dan penjajahan.

Kekacauan nilai-nilai yang terjadi di Negara-negara yang menyebut dirinya di Barat sebagai Negara avant garde kemajuan, tidak lepas dari pergeseran norma dan nilai dan kegoncangan nilai yang dijadikan tradisi menyangkut persoalan kesatuan dan federasi. Pengalaman Barat dapat menjadi telaahan yang bermanfaat untuk menguatkan model Negara-desa (village strate) yang sedang tumbuh secara integrative di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Laporan tentang gagasan dikotomi kesatuan dengan federal telah kehilangan kemampuan menggambarkan dan mengklasifikasi kompleksitas fenomenologis system multi-level pemerintahan menghadapi sejumlah tantangan dan persoalan diantarannya:

1. Tantangan institusionalisasi regionalisme (Italia, Spanyol, Inggris, Belgia dan Prancis) yakni sebuah bentuk distribusi kekuasaan secara territorial, yang tidak jelas menganut system federal ataukah kesatuan

2. Negara-negara yang menganut system kesatuan menghadapi tantangan devolusi yang kuat. Perkembangan devolusi menjadi bentuk baru distribusi kekuasaan secara territorial merupakan gabungan desentralisasi dengan federalisme asimetris. Pengalaman di banyak Negara kesatuan menunjukkan bahwa sebagian wilayah Negara telah disiapkan menjadi unit federal, tanpa mengubah bentuk Negara dan daerah tidak diubah menjadi Negara bagian yang berdaulat. Sebagai contoh adalah devolusi yang terjadi di Inggris yang menempatkan Skotlandia, Wales, dan Irlandia menjadi unit federal tanpa harus menjadi Negara bagian. Sementara itu China memberikan otonomi khusus terhadap Hongkong. Sedangkan kasus Italia memperlihatkan bahwa klaim federalisme yang dipromosikan oleh partai lokal Lega Nord telah membawa proses inovasi desentralisasi secara berkelanjutan untuk membagi kekuasaan yang lebih besar dari pusat terhadap daerah

3. Evolusi kebijakan publik yang membuat system federal dan kesatuan saling memiliki kesamaan dalam relasi antar pemerintahan. Konsentrasi kekuasaan yang dialami system federal dalam beberapa sector kebijakan memperlihatkan kesamaan dengan dinamika hubungan pusat-pinggiran dalam Negara kesatuan. Salah satu aspek konvergensi kebijakan adalah perkembangan relasi antar pemerintahan yang berbasis pada kerjasama dan pembagian kekuasaan. Tumbuhnya kebutuhan interdepensi telah menembus batas-batas hubungan hirarkis antara pusat dan pinggiran (daerah) dalam system Negara kesatuan yang membuat pusat tidak lagi menjadi “pusat” dan daerah tidak lagi menjadi “pinggiran”

4. Dikhotomi antara kesatuan dan federal mulai ditinggalkan karena menghadapi tantangan pertarungan antara sentralisme-otoriter melawan desentralisasi-demokratis. Isu pertarungan dua system pemerintahan ini lebih menonjol dibanding dengan federal dan kesatuan. Sebagai contoh Uni Sovyet yang menetapkan system federal yang sangat sentralistik-otoriter yang pada akhirnya mengalami kegagalan total setelah munculnya kekuatan desentralisasi-demokrasi.[9]

Gambaran tersebut memberi masukan bagi kita untuk lebih menghargai asal usul budaya yang asli dimana system pemerintahan desa yang asli masih mampu bertahan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu Negara-desa (village-state) yang merupakan derivative Negara-bangsa (nation-state) yang dibangun oleh para pendiri bangsa Indonesia haruslah dipelihara dan disempurnakan lebih lanjut sehingga terjadi interkoneksi yang menghasilkan emergent properties untuk kelangsungan hidup system Negara bangsa kita. Sementara itu bahwa untuk mempertahankan dan memajukan Negara-bangsa (nation-state) menjadi Negara modern dan egaliter partisipatif yang menjadi tumpuan harapan kemanusiaan yang berkeadilan social, maka perlu bagi seluruh rakyat dan masyarakat bangsa Indonesia membangun kekuatan moralnya sebagai landasan perilaku dan kegiatan etik membangun dan memberdayakan seluruh elemen bangsanya. Maka umat Islam dan mayarakat muslim sebagai mayoritas dalam kuantitas penting artinya meningkatkan kualitas pribadi atau individunya dan masyarakat sipilnya menjadi lebih berdaya guna melalui sumber dari segala sumber moral yaitu mengikuti pedoman hidup mulya dengan patron kehidupan indah yaitu ajaran al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Spirit, jiwa dan semangat yang memotivasi seluruh emotioning kedirian pribadi dan masyarakat muslim dalam berbangsa dan bernegara perlu disinari, disegarkan dan dicerahkan oleh model Negara-wahyu (prophet-state) dimana diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw. dalam menjalankan pemerintahan Madinatul-Munawwarah dengan al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya.

Pecahnya kepribadian bangsa oleh infiltrasi alam pikiran asing dan pola kebudayaannya yang masuk dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, perlu daya tangkal yang kuat dan tangguh dan penting artinya menegakkan perjuangan paradigmatic untuk menemukan solusi yang tidak lagi berdimensi particular atau parsial, tetapi secara keseluruhan, komprehensif dan hoslistik memberi penyegaran kembali terhadap jargon yang menstigma alam pikiran dan pola kebudayaan bangsa Indonesia, sehingga menjadi fungsional dalam menjawab tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara secara modern dan maju. Pemberdayaan masyarakat desa melalui jargon adat, agama dan Negara misalnya sampai saat ini masih terkontaminasi alam pikiran dan budaya yang tidak memperhatikan kemajuan dan perkembangan jaman, maka perlu dan penting menunjukkan hubungan keserasian, harmonisasi dan keutuhannya secara penuh dengan jalan menempatkan secara proporsional, adil dan setimbang sesuai dengan kedudukan dan fungsi masing-masing sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab keadilan sosialnya. Desa misalnya dapat diangap sebagai perwakilan Negara-bangsa pada tataran pemerintahan desa sehingga model dan bangun pemerintahan desa identik dengan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dimana desa sebagai village-state sebagai unit Negara-bangsa yang bersifat primordial dan unik. Selanjutnya pemerintahan daerah baik pada skala kabupaten/kota maupun pemerintahan provinsi adalah pemerintahan Negara-bangsa yang menjalankan fungsi dan tanggung jawab pemerintahan pusat yang secara parsial menjadi distributor kebijakan pemerintah pusat di provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan pemerintahan pusat (ibu kota) merupakan sentra pemerintahan Negara-bangsa (nation-state) yang masih bersifat particular tetapi mengarah dengan pendekatan Negara-bangsa universal yang sebangun dengan model Negara-wahyu (prophet-state) dimana suri teladan indah adalah Madinatul-Munawwarah dengan pemerintahan Nabi Muhammad Saw. sebagai symbol kekuatan moral bangsa Indonesia.

Jika aproksimasi pendekatan desa sebagai village-state ini diterima dengan akal sehat, maka secara unik sebenarnya desa adalah wahana interkoneksi dalam rangka menemukan emergent properties yang sesungguhnya dimana komitmen moral dapat dicapai, solidaritas dapat dipenuhi, kesejahteraan sosial dapat diupayakan secara penuh dan maksimal, kemanusiaan yang adil dan beradab dapat berjalan menurut ruang dan waktu spesifik. Dalam hubungan kuantitas, maka unit terkecil yang bersifat unik akan menjadi syarat perlu bagi pencapaian hubungan universalitas Negara-bangsa dan dengan model Madinatul-Munanwwarah sebagai wujud Negara-wahyu (prophet-state) sebagai acuan dan sebagai syarat cukupnya, bangsa Indonesia akan mencapai cita-citanya dimana kemerdekaan ialah hak segala bangsa akan dapat terwujud, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum, ikut melaksanakan perdamaian abadi, dan keadilan social bagi seluruh rakyat dapat kita laksanakan dengan baik. Secara kalkulus lokasi sesungguhnya setiap desa adalah bagian terkecil dari Negara Kesatuan Rapublik Indonesia dan karena itu seluruh interaksi dan hubungan fungsional yang terjadi dalam NKRI muaranya adalah dalam segala aktivitas hidup di tataran perdesaan. Dalam hal inilah pemberdayaan masyarakat desa melalui jargon adat, agama dan Negara dapat menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia yang paling jitu dan akurat. Pendekatan seperti ini tidak dapat dilakukan secara serampangan dan hanya membicarakan mekanisme structural perdesaan saja, tetapi yang lebih utama dan pertama dilakukan adalah perjuangan paradigmatiknya.

Inisiasi dan mengakses kembali persoalan desa sebagai village-state, masalah dari mana mulai dan kemana menuju adalah persoalan yang sangat mendasar. Seterusnya “entry point” yang dijadikan titik awalan dimana secara legal formal sudah tertuang dalam undang-undang Negara menjadi penting sebagai sarana awal menkaji secara mendetail karakteristik masing-masing desa dalam sebuah cakupan wilayah kabupaten atau kota. Akan tetapi perlu disadari bahwa ketika kita mengakses desa sebagai village-state, pelaku pemberdayaan masyarakat desa memahami kalkulus wilayah dimana posisi desa adalah bagian dari kabupaten/kota, provinsi dan juga pemerintahan pusat. Jadi pendekatan mikro dan lokal yang kita sentuh bermaksud menjadi gambaran makro dan global sebab yang menjadi tujuan pemberdayaan masyarakat desa adalah dalam rangka menjawab tantangan Negara-bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis multi cultural. Sekecil apapun dampak dari sebuah proses pemberdayaan masyarakat desa adalah bermakna bagi upaya kita memicu keberdayaan masyarakat bagi kemaslahatan umum dan keadilan sosial.

PROKONOP EVALUS

Trend demokrasi konstitusional sejak era reformasi cenderung menaik. Kondisi Negara Indonesia saat ini sedang berada pada masa “transisi” yang bisa menghasilkan perubahan yang lebih baik atau menimbulkan gejala anomaly kearah degradasi demokrasi bahkan lebih buruk dari itu adalah menghasilkan kegagalan dan kebangkrutan Negara demokrasi. Karena itu landasan teori dan berbagai kegiatan program aksi dalam kenyataan sehari-hari menjadi sangat penting ditinjau dan dikaqji secara kritis sehingga menghasilkan sebuah gagasan, konsep dan teori yang lebih akurat mengelaborasi realitas yang toidak seperti yang diharapkan menjadi sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh Negara Indonesia. Sejalan dengan maksud itu, hubungan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menjadi sangat strategis dalam menumbuh kembangkan model program pemberdayaan masyarakat desa.

Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat desa sebagaimana yang telah dianalisis di atas, maka perlu aproksimasi yang lebih baik dan bukan menerapkan asumsi yang mengedepankan kajian statistic dan kuantitatif saja. Berbagai pertimbangan yang sepantasnya dilakukan dalam rangka megembangkan program pemberdayaan masyarakat itu secara lebih komprehensif sudah pasti melihat realitas permasalahan masyarakat desa secara cermat, tepat dan akurat yang dalam analisisnya mensinkronkan dan mengharmonisasikan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif sekaligus.

Sejak orde baru sampai orde reformasi sekarang ini, kita dihadapkan dengan perencanaan strategis yang sering mengalami kegagalan sebagaimana pengalaman bangsa Indoensia seperti repelita dan juga rencana program jangka panjang dan menengah serta pendek. Karena itu, maka sesuai dengan pola pengembangan individu dan masyarakat dengan berbagai varian pembinaan dan penataan secara organisasinya, perlu dikaithubungkan dengan program kongkrit dan dapat diopersionalisasikan dengan baik dan benar dalam kenyataan sehari-hari. Misalnya, membangun masyarakat sejahtera yang indikatornya adalah mengharmonisasikan dan mensetimbangkan pembangunan nilai-nilai, pembinaan ekonomi masyarakat dan penataan system sosial masyarakat adalah menjadi harapan kita semua sebagai bangsa, sebab masyarakat desa adalah “kaki” Negara yang kalau kaki tersebut sakit dan akut, maka pasti Negara secara keseluruhan tidak dapat berjalan dengan baik menuju cita-cita bangsa. Dari sini perlu sinergi dan kebersamaan semua pranata dan pratata struktur dalam memahami beragam kultur yang ada dalam masyarakat desa. Persoalan politik yang selama ini sangat hiruk pikuk dalam realitas berbangsa dan bernegara di sentra pusat kehidupan bernegara, maka sebaliknya dalam lingkungan masyarakat desa hal itu bukanlah menjadi “menu” makanan kehidupan masyarakat yang paling utama. Karena itu dalam hubungannya dengan nilai, ekonomi dan sosial yang tumbuh dan berkembang di masyarakat desa dalam kehidupan politik negeri kita, perlu dikolaborasikan dengan sebaik-baiknya sehingga nilai-politis, ekonomi-politis, dan sosial-politis dapat berjalan secara setimbang dan harmonis. Politik yang bernilai kebijakan, ekonomi politik yang menghajatkan kesejahteraan dan sosial politik yang menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diharapkan menjadi meanstream utama bagi masyarakat desa.

Politik yang berasal dari bahasa Belanda “politiek” dan bahasa Inggris “politics” dapat diartikan sebagai “acting of judging wisely, prudent” dan secara akademis berarti “the science of the art of government” yang berdampingan dengan pengertian “policy” yang berarti “plan of action, art of government, dan wise conduct”.[10] Pengertian hukum dan politik dengan demikian sangat sinergis dan memiliki arti strategis dalam hubungannya dengan perencanaan, seni berpemerintahan dan juga mengedepankan kebijakan secara adil dan bijaksana. Jika pendapat seperti ini benar adanya sudah pasti gejolak politik dan penegakan hukum dalam berbangsa dan bernegara tidak akan terjadi sebagaimana peristiwa yang sekarang kita alami. Namun demikian bagi masyarakat desa, hiruk pikuk politik dan terganggunya penegakan supremasi hukum tidak begitu kuat pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, karena memang persoalan masyarakat desa lebih kuat mengemuka terhadap persoalan moral dan ekonomi sehingga pilar-pilar kehidupan ini selalu menjadi urusan utama mereka.

Kebijakan pembangunan yang selama ini dari top-down, memang menjadi bagaikan menggarami air laut, sampai pada tetes terakhir air pembangunan itu sangat jauh dari harapan masyarakat desa. Kalau tidak atas usaha dan jerih payah masyarakat desa sendiri mempertahankan mata pencahariannya dan kekuatan spirit dan moral mereka, maka kaki Negara yang disebut desa dan pemerintahannya ini tidak akan lama bertahan hidup, bak kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau. Karena itu kebijakan seperti ini harus diubah bentuknya menjadi pembangunan dari bottom-up sehingga usaha seperti ini membutuhkan keberpihakan semua pihak dalam seluruh komponen masyarakat desa untuk mengusung perencanaan pembangunannya dan meneruskannya kepada pihak yang lebih berhak meneruskannya sampai ke pusat pembangunan. Disinilah pemberdayaan masyarakat desa sangat diperlukan sebagaimana yang secara global teoritis telah disampaikan didepan. Meskipun istilah pemberdayaan ini lebih bersifat partisipatoris, namun jika seluruh masyarakat desa mengembangkannya bagaikan pembangunan dorong gelombang, maka masyarakat desa pasti dapat mengatasi masalahnya sendiri dan akan berusaha untuk terus mengembangkannya sampai mencapai kemandirian, kesejahteraan dan keadilan.

Setiap perencanaan masyarakat desa yang strategis pasti memerlukan program strategis. Tetapi sering kali terjadi bahwa pemerintah banyak sekali mengumbar program kepada masyarakat yang sangat jarang tersampaikan sehingga program pemerintah yang masih menumpuk yang tak kunjung terbukti dalam masyarakat menjadi sampah yang terus menerus mengganggu angan-angan masyarakat kita yang setia pada janji. Karena itu maka diperlukan program yang konkrit (nyata) dan dapat dilaksanakan (operasional). Tidak hanya program konkrit dan operasional tetapi juga harus dapat memberi out-put, hasil dan dampak positif bagi tumbuh kembang masyarakat desa sebagai wujud kebijakan, kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam teori system, maka tidak saja dipersoalkan hasil dan dampak positifnya tetapi lebih jauh program konkrit yang operasional itu setiap hasilnya mampu menjadi “feedback” bagi program konkrit yang operasional selanjutnya. Dalam pengertian manajemen hal ini menjadi penting arti kontrol dan evaluasi secara terus menerus dan berkelanjutan sehingga seluruh system program konkrit yang dapat dilaksanakan itu dapat dinilai baik secara internal maupun secara eksternal. Dari sudut pandang nilai, sirkulasi dan daur tumbuh kembang yang mengikuti hukum alami ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sentra nilai adat, agama dan Negara yang semuanya bersinergi dalam wilayah kerja masyarakat desa. Inilah sebabnya mengapa desa disebut sebagai kaki Negara dan juga desa dapat disebut sebagai “village-state” yang sejak digalinya konstruksi konstitusi bangsa Indonesia oleh Mr. Soepomo telah secara gamblang menyebutkan akar radikal, prinsip yang fundamental bagi bangsa Indonesia. Sejarah demikian ini tidak bisa dilupakan begitu saja sekalipun kita menghadapi berbagai tantangan kemajuan pada masa yang akan datang.

Kesulitan pemerintahan dalam berdasarkan program telah dapat kita saksikan dalam kerangka pembangunan bangsa kita. Secara harfiah menamakan pekerjaan pemerintah memang tidak dapat dipisahkan dengan pengertian program pemerintah. Dalam hubungan kebirokrasian terkadang program pemerintah kurang mampu mengimbangi lajunya mekanisme pasar, apalagi dalam konteks kapitalisme sekarang ini, mekanisme pasar ditentukan dengan prinsip “pasar bersaing sempurna”. Karena itu pengertian program tentu mencakup banyak hal seperti banyaknya program sebenarnya merupakan mekanisme pasar yang bisa saja sebagian besar dan mayoritas merupakan mekanisme administrative, biasanya system birokrasi di lingkungan pegawai negeri yang lebih bersifat organisasi monopolistik yang mengeluarkan sejumlah uang untuk memberikan jasa pelayanan publik. Terdapat kelemahan yang seringkali mengganggu pelayanan publik karena,

1. Program kerja dikendalikan oleh legeslatif, bukan oleh komitmen mereka terhadap masyarakat

2. Dalam arti umum program digerakkan oleh mesin politik yang dominan sehingga jauh dari mpengertian sebagai kebijakan

3. Setiap program seakan-akan merupakan “kaplingan” dari setiap satuan kerja perangkat daerah yang tidak mengindahkan kebutuhan spasial atau wilayah tertentu

4. Program cenderung terfragmentasi

5. Program cenderung tidak mampu membuat “feedback” sehingga berlalu begitu saja

6. Program yang sudah ada sulit ditarik dan tidak bisa dilupakan dalam jangka waktu yang cukup panjang

7. Program jarang mencapai tahapan dampak yang berarti

8. Sering terjadi program lebih mengutamakan perintah daripada kebutuhan manfaat[11].

Program konkrit dan operasional sebenarnya adalah setiap kegiatan nyata dalam kehidupan sehari-hari yang “layak telusur” karena seluruh aliran perencanaan, pengorganisasian, kegiatan dan control dapat dilihat secara transparan dan mengikuti aliran langsung atau “cash-flow”. Sebagai contoh usaha tani kita yang sampai sekarang sangat sulit tumbuh dan berkembang karena salah satu yang kurang diperhatikan adalah analisis layak telusur tersebut atau dikenal dengan “cash flow analysis”. Aliran atau arus kegiatan usaha tani ini akan mampu menganalisis misalnya penerimaan usaha tani yang merupakan penjumlahan berulang (perkalian) antara produksi dengan harga jual, biaya usaha tani misalnya semua pengeluaran yang dipergunakan dalam sebuah usaha tani sehingga pendapatan petani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran.[12] Jadi kalau program usaha tani suatu masyarakat pedesaan maju dan berhasil, dapat dibuktikan secara nyata bahwa para petani secara rutin mempunyai pembukuan dan administrasi yang sangat teliti dan detail. Sebaliknya para petani yang bekerja atas dasar kebiasaan dalam sebuah kegiatan mengerjakan mata pencaharian sebagai petani, tentu perhitungan dan aliran kegiatan yang dilakukan tidan tersusun dengan teliti dan mendetil. Inilah salah satu bentuk kendala dalam pemberdayaan masyarakat desa yang sejak dulu hingga sekarang menjadi persoalan kegiatan ekonomi masyarakat yang sangat berpengaruh pada tumbuh kembang masyarakat desa itu sendiri. Karena itu pemerintah daerah, provinsi maupun pusat yang terus menerus memperhatikan dan mendorong kemajuan dalam usaha tani ini perlu merevisi dan meniliai kembali pola pendekatan masyarakat dan analisi sisial yang tepat dan akurat sesuai dengan spesifik lokasi usaha tani tersebut berada. Dari satu contoh sederhana ini, dalam konteks pemberdayaan yang berkelanjutan dapat disimak dan diupayakan hubungan usaha tani dengan pengembangan para petani baik dalam kehidupan kulturalnya seperti adat, agama maupun bernegara menjadi sebuah system tata ruang baik menyangkut sumber daya alam, sumber daya manusia dan juga sumber daya social yang perlu mendapat kajian dan penelaahan yang serius dan selanjutnya menata ulang pendekatan pemberdayaan yang akan kita sumbangkan pada kehidupan masyarakat desa.

Program konkrit dan operasional yang sesungguhnya adalah baik perjuangan kultural mapun struktural yang berwujud program intensif pembinaan bakti desa kepada Allah Swt. Sehingga setiap gerak dan langkah dalam kehidupan kita bernilai pengabdian hidup baik sesuai dengan adat peradaban, penegakan syariah agama, maupun patuh pada hukum Negara yang berlaku. Dengan pengertian ini, maka pemberdayaan yang selama ini kita pahami sudah sepantasnya ditingkatkan menjadi sebuah ruang dan waktu pengabdian yang tidak hanya bertujuan menyelamatkan kehidupan manusia di bumi dan dunia ini, tetapi lebih jauh bernuansa masa depan sampai kehidupan akherat kelak. Dari titik tolak dan prinsip pemberdayaan ini, maka setiap orang bisa menjadi relawan yang mewarga dengan masyarakat desa sehingga menjadi sebuah teladan yang indah (uswatun hasanatun). Dengan demikian, prokonov (program konkrit operasional) dapat dievaluasi dan menjadi program percontohan (evalus). Sedangkan contoh teladan kehidupan dalam pemberdayaan masyarakat secara universal telah diteladankan oleh setiap pembawa misi risalah (para rasul) terutama bangsa Indonesia sangat kenal dan dekat dengan pola teladan Nabi Muhammad Saw. dalam membangun masyarakat madani di kota Madinah.

TANTANGAN KITA SEKARANG

Beberapa renungan para sastrawan mungkin lebih mudah menghayati berbagai upaya kemanusiaan kita untuk membebaskan dan memerdekakan alam pikiran kita baik sebagai individu maupun masyarakat dalam hubungan berbangsa dan bernegara, sehingga kita mampu mewujudkan wawasan kebangsaan dalam bingkai NKRI. Sudah tentu refleksi dan defleksinya kembali untuk menjadi dinamika dialogis di antara kita semua sejalan dengan fenomena dan realitas keberbangsaan dan kebernegaraan kita hari ini. Sengaja dalam hal ini beberapa pandangan yang dapat dituangkan dalam karya seni yang mungkin bisa menggugah jiwa, spirit dan semangat kita semua, sehingga tantangan yang secara internal kita hadapi dapat kita jawab dengan sebaik-baiknya.

Berhala Baru

Di mana masih ada suku, Negara tidak akan dimenegerti, tapi dibenci seperti pandangan yang jahat dan sebuah dosa melawan hukum dan adat. Semua suku memiliki bahasanya sendiri tentang baik dan buruk yang tidak dimengerti tetangganya. Bahasanya sendiri telah merancang hukum dan adat untuk ditrinya sendiri. Tapi Negara berbohong di dalam semua bahasa tentang baik dan buruk; dan semua yang ia katakan adalah dusta; dan semua yang ia miliki adalah barang curian. Kerancauan bahasa tentang baik dan buruk, inilah tanda yang aku berikan kepadamu sebagai tanda dari sebuah Negara.[13]

Tiga Kejelekan

Pertama, Nafsu hanya bagi yang telah layu ia dianggap racun yang manis; tapi bagi yang berkehendak singa, ia laksana sambutan hangat dan anggur yang paling lama disimpan dari segala anggur. Nafsu, kebahagiaan simbolis dari sebuah kebahagiaan yang lebih tinggi dan harapan yang tertinggi. Sebab, bagi banyak orang, ia adalah pernikahan yang dijanjikan, bahkan lebih dari sekedar sebuah pernikahan.

Kedua, Ambisi, gempa bumi yang menghancurkan semua yang busuk dan melompong, penghancur kuburan-kuburan yang dicat putih yang datang dengan gemuruh; tanda Tanya berkemilau di sebelah jawaban-jawaban yang tidak mantap. Ambisi, pengajar kebencian besar yang mengerikan, yang mengajarkan pada kota-kota dan kekaisaran, yang dengan penuh godaan menunggangi mereka yang murni dan sendiri, dan yang bahkan memanjat sampai ketinggian-ketinggian dari kepuasan diri, berkilau seperti cinta yang melukis kenikmatan-kenikmatan ungu pada langit-langit duniawi.

Ketiga, egoisme adalah jiwa yang kuat yang menikmati dirinya sendiri yang disebutnya kebajikan. Melihat orang yang tidak pernah membela dirinya sendiri, yang menelan semua mata jahat dan ludah beracun, ini membangkitkan kebencian dan kemuakan, dia yang terlalu sabar dan menerima segalanya, yang puas dengan segalanya; sebab itu adalah jalan seorang budak.[14]

Ratapan Setan

Wahai Tuhan dari segala yang baik dan buruk, derajatku telah jatuh oleh manusia! Tidak sekali juga mereka menolak perintahku, lupa akan derajat mereka, tidak pernah memperoleh diri mereka sendiri! Mereka asing akan kebahagiaan untuk berani berkata, “tidak”, tidak terpercik sedikitpun dari merekan kebanggaan diri. Wahai Tuhan, lindungi aku dari bahaya pasrah tidak tahu melawan ini! Bebaskan aku, Rabbi, dari mangsa memalukan seperti ini! Dirinya belum mateng, tekadnya lemah sekali. Inilah lawan yang tidak mampu menahan satu pukulan pun dariku! Anak-anak Adam bagaikan ranting kering belaka, apa gunanya Engkau karuniai aku api dahsyat? Jangan Engkau berikan kaca kepada orang yang mampu melebur bukit batu. Aku letih dengan kemenangan ini, aku datang kepada-Mu mohon ganjaran. Beri aku orang yang tidak sedikitpun mengacuhkanku. Tunujukkan aku hamba-Mu itu. Aku rindu orang yang kuat memilin leherku, yang sorot matanya membuatku gemetar. Orang yang menghardikku, “Enyah engkau dari majelisku!” di hadapannya aku tidak berharga lagi. Wahai Tuhan! Adu aku dengan yang penuh iman, sehingga dapat mencicipi nikmatnya kekalahan![15]

Orang-Orang Sebangsaku

Apakah yang kalian cari, wahai orang-orang sebangsaku? Apakah kalian ingin kudirikan bagi kalian, istana-istana yang indah, yang dihias dengan kata-kata yang kosong maknanya, atau bait-bait yang atapnya terbuat dari mimpi? Atau apakah kalian memerintahkan aku untuk menghancurkan apa yang telah dibangun oleh para pembohong serta tirani? Haruskah kucabut dengan jari-jemariku, apa yang telah ditanam oleh orang-orang munafik dan jahat, hingga ke akar-akarnya? Aku telah kasihan pada kelemahan kalian, wahai orang-orang sebangsaku, tapi belas kasihanku telah meningkatkan kelemahan kalian, meninggikan serta memupuk kemalasan yang sia-sia bagi Kehidupan. Dan sekarang ini kusaksikan kelemahan kalian yang dibenci serta ditakuti jiwaku. Jiwa-jiwa kalian membeku di dalam cengkeraman para imam serta tukang sihir, dan tubuh-tubuh kalian gemetar di antara cakar-cakar tirani serta penumpah darah, dan negeri kalian berderit di bawah barisan kaki musuh yang menjajah. Kemunafikan adalah agama kalian, dan kepalsuan adalah kehidupan kalian, dan kehampaan adalah akhir kalian; lalu mengapakah kalian masih hidup? Bukankah maut satu-satunya penghibur mereka yang sengsara? Kehidupan adalah suatu resolusi yang menyertai masa muda, dan kerajinan yang mengikuti kedewasaan, dan hikmat yang mengejar kepikunan; tapi kalian wahai orang-orang sebangsaku, dilahirkan tua dan lemah. Dan kulit kalian layu dan kepala kalian menciut, dan kalian menjadi seperti anak-anak, lari ke dalam kesulitan dan saling melempar batu.

Pengetahuan adalah terang, yang memperkaya kehangatan kehidupan, dan semua yang mencarinya boleh menikmatinya; tetapi kalian wahai orang-orang sebangsaku, mencari kegelapan dan lari dari terang menantikan datangnya air dari batu, dan kesengsaraan bangsa kalian adalah kejahatan kalian. Manusia adalah sungai yang brilian, yang mengali sambil bernyanyi serta membawakan rahasia-rahasia pegunungan ke hati lautan; tetapi kalian wahai orang-orang sebangsaku, adalah rawa-rawa berlumpur ysng penuh dengan serangga dan ular beludak. Roh adalah obor biru yang sakral, yang membakar serta melahap tanam-tanaman kering, dan tumbuh bersama badai dan menerangi wajah para dewi; tetapi kalian wahai orang-orang sebangsaku… jiwa-jiwa kalian adalah ibarat abu yang disebarkan angin di atas salju dan yang disebarkan badai selamanya di lembah-lembah.[16]

Semua Kita Duduk di Kelas Tuhan

Mungkin ada baiknya kita berhenti sejenak, sesaat yang kita punya. Terlalu jauh pikiran kita yang bagaikan api cinta yang lupa dari mana asal usul genealogisnya sendiri. Tapi mungkin, karena terbatasnya bahasa yang kita gunakan untuk menjelaskan sebuah rahasia pelik kehidupan yang Agung, maka dengan bahasa yang sama, terjagalah sesaat dan berusaha memahami bagaimana rasanya menjadi sebentuk hati. Batu bata yang sudah menjadi tembok pikiran kita, jangan kita tinggalkan begitu saja, tetapi lihatlah sebagai sebuah karya dan sebuah gubahan maestro arsitektur kemanusiaan kita. Bahkan mungkin dengan mengandaikan melalui bahasa, bahwa yang mana yang kita kehendaki dan betapa keindahan citra yang tercipta dari sebuah bangun kemanusiaan kita, sangat mesra rasanya menyaksikan sepasang pengantin yang mencari keniscayaan wujud.

Di Barat, sufisme biasanya dianggap sebagai sebuah bentuk mistisisme Islam. Meskipun demikian, kaum sufi sendiri mengatakan “jalan” mereka telah selalu ada, dengan banyak nama, di banyak wilayah, yang dihubungkan dengan dimensi mistik setiap system spiritual. Di Yunani kuno, misalnya jalan sufi diidentifikasikan dengan ajaran-ajaran kebijakan (Sophia) dari Pythagoras dan Plato. Pada masa Yesus, mereka disebut kaum Eseni (yang menempuh jalan asketik) atau gnostikus. Setelah Muhammad, mereka mengadopsi banyak sekali prinsip dan formulasi Islam dan menjadi terkenal dalam dunia Muslim sebagai “kaum sufi”, sebuah kata dengan beragam makna, termasuk “kearifan”, “kesucian” dan “bulu wol”. Dari tahun 800-1400 M. ajaran-ajaran sufi berkembang di bawah panduan guru-guru sufi seperti Rumi dan Ibnu Arabi. Ketika ajaran-ajaran individual berkembang, metode-metode pengajaran mereka berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan setiap kelompok. Sebagian menekankan meditasi formal, sebagian memfokuskan pada penjauhan diri dari dunia, dan sementara yang lain menekankan praktik-praktik kebaktian diri: kidung, tari dan puisi spiritual yang merayakan cinta kepada Tuhan. Kaum sufi mengagungkan puisi Hafizh sebagai sebuah ekspresi sempurna dari pengalaman manusia terhadap cinta ilahi.[17]

Sesaat: Kita semua telah tiba di tempat yang tepat. Kita semua duduk di kelas Tuhan. Sekarang, satu-satunya yang tersisa bagi kita, kekasihku, adalah berhenti melemparkan gumpalan kertas untuk sesaat. Kosong: Kosong adalah dimana kesenangan sejati bermula. Terlalu banyak perhitungan di lain tempat! Satu-satunya: Di mata manusia, dalam permainan cinta yang rumit ini, mudahlah untuk menjadi bingung, dan menganggap engkaulah sang pelaksana. Tetapi dari kepastian Tuhan yang tanpa batas, Dia selalu Tahu, Dialah satu-satunya yang semestinya diadili. Rahasia Agung: Tuhan penuh anggur tadi malam, begitu penuh anggur, sehingga Dia begitu saja membuka sebuah rahasia agung. Dia berkata,”Tiada manusia di bumi ini yang membutuhkan ampunan dari-Ku. Karena sejatinya tidak ada sama sekali, tidak ada sama sekali sebagai dosa! Sang kekasih benar-benar memabukkan, Dia telah merasukkan Diri-Nya ke dalamku! Ku bahagia dan Mabuk dan melayang. Oh, dunia yang manis, lepaskan hidup dari tubuh manisku. Duhai jiwa-jiwa yang mengembara, datang dan minumlah batu-batu delima cairmu, karena Tuhan telah membuat kalbuku sumber kehidupan abadi!

Setiap Gerak: Hampir tidak pernah kubiarkan kata “tidak”, berlarian dari mulutku. Karena begitu jelas bagi jiwaku, Tuhan berteriak, “ya! Ya! Ya!” Kepada setiap gerak yang berkilauan dalam wujud. Sebuah Jangka Emas: Lupakan setiap gagasan benar dan salah, yang diajarkan setiap ruang belajar kepadamu, karena sebuah kalbu yang hampa, pikiran yang tersiksa, kedengkian, kecemburuan, dan ketakutan, selalu menjadi saksi, engkau sama sekali telah tertipu! Palingkan punggungmu kepada mereka yang akan memenjarakan ruhmu, yang mengembara dengan tipuan dan kebohongan. Datanglah, bergabunglah pada karib-karib yang jujur. Para pengemis raja – para penjudi, bajingan dan badut-badut langit, dan pelacur-pelacur cantik yang menggiurkan, yang membutuhkan cinta ilahi setiap malam. Datang, bergabunglah dengan jiwa-jiwa pemberani, yang tidak memiliki pilihan, kecuali untuk bersumpah, demi seluruh isi dunia mereka, bahwasanya, Tuhan adalah al-Haq. Aku akan membimbingmu ke dalam lingkaran, kaum pencuri licik sang kekasih, begundal mewah yang terampil – orang-orang yang dapat engkau percaya untuk menjadi pembimbing sejati – yang dapat menolongmu dalam malapetaka hidup yang diridhai. Hafizh, lihatlah Dzat yang sempurna di pusat lingkaran: Dia memutar dan berkitaran seperti sebuah jangka emas, di balik semua hal yang rasional, untuk mempersaksikan kepada dunia terkasih ini, bahwa segalanya, segala dalam wujud menunjuk kepada Tuhan. Lingkaran-lingkaran: Paling bahagia bulan, ketika purnama. Dan matahari selalu tampak seperti keping emas yang tercetak sempurna. Ia dikilapkan dan ditempatkan melayang oleh kecupan Tuhan yang lihai. Dan begitu banyak buah bergantungan montok dan bulat, dari dahan-dahan yang tampak seperti tangan pematung. Kulihat lengkung indah sebuah perut yang hamil, dibentuk oleh jiwa di dalam, dan bumi sendiri, dan planet-planet dan benda-benda di angkasa – telah kudapatkan isyarat: Ada yang Tuhan suka dari lingkaran itu. Hafizh, dalam lingkaran Dzat yang sempurna, bersemayam komunitas cahaya tak terbatas. Dan, Bagaimana Rasanya menjadi Sebentuk Hati?: Suatu ketika seorang wanita muda menanyaiku, “bagaimana rasanya menjadi laki-laki?” Dan aku menjawab, “Kekasihku, aku tidak tahu”. Kemudian dia berkata, “baiklah, bukankah engkau seorang laki-laki?” Dan kali ini aku menjawab, “Kulihat jenis bagaikan hewan yang cantik, yang dibawa manusia berjalan-jalan, dengan tali kekang di tangan, dan mungkin mengikuti perlombaan untuk memenangkan hadiah-hadiah yang aneh. Kekasihku, pertanyaan yang lebih bagus bagi Hafizh semestinya, “bagaimana rasanya menjadi sebentuk hati?” Karena yang aku ketahui hanyalah cinta, dan kudapati hatiku tanpa batas, dan ada dimana-mana!”

Puisi-puisi ini merupakan gubahan maestro sastra Persia yang diaransir oleh Hafizh. Ia memberitahu kita, bahwa perjalanan cinta tersingkap melalui setiap proses hidup. Prinsip-prinsip ilahiah secara konstan dipertunjukkan di seputar kita. Kita tidak dapat mempelajarinya melalui kata-kata atau buku-buku atau system-sistem terbatas nilai-nilai manusia. Hafizh berkata, “Tuhan secara penuh dikenal hanya melalui cinta, yang menerima segalanya.” Cinta mengungkapkan semesta sebagai sebuah tempat bermain kosmis dimana segala sesuatu dan wujud berpartiipasi dalam sebuah permainan Tunggal yang maha besar.[18] Sebagai sebuah renungan, at-Taftazani mengungkapkan bahwa, “Hatiku telah mampu menerima segala bentuk dan rupa; ia bagai padang rumput bagi skawanan rusa; Biara bagi rahib-rahib Kristen; Kuil bagi berhala-berhala, Ka’bah bagi peziarah dan lembaran Taurat dan kitab al-Qurān. Kuanut agama cinta, jalan mana saja yang diambil unta-unta, agama dan imanku, inilah agama yang sejati.[19]



[1] Lihat Kamil Natsir, Anatomi Garis Iman, Makalah,2009, Muara Badak, tidak diterbitkan

[2] Lalu Agus sarjana, Qoryah Thoyyibah, Ibid. Halaman 80-82

[3] A.H. Hasanuddin, Agama Islam dan Bekal Langkah Berda’wah, 1988, Al-Ikhlas, Surabaya, hal. 142

[4] Ibid, halaman 148-149

[5] M. Husni Muaz, Problematika Penerapan Nilai-nilai Islam : Sebuah Tinjauan dari Perspektif Sosio-cybernetics, P2BK, Mataram

[6] Lihat, Etik Masyarakat Indonesia, Ibid, halaman 109.

[7] Ada sepuluh ciri yang dikembangkan seperti: rationality, development and planning development, rise of productivity, rise of levels of living, social and economic equalization, improved institutions and attitudes, national consolidation, national independence, political democracy in a narrower sense, democracy at the grassroots, and social discipline and versus democratic planning, dalam Etik Masyarakat Indonesia, halaman 11. Apa hasilnya setelah repelita gagal membuat bangsa Indonesia tinggal landas? Siapakah arsitek yang bercokol dibalik buku Asian Drama yang sangat popiuler itu? Bukankah ini indikasi pertarungan ideologis antara bangsa Yahudi dan bangsa China di Asia? Inilah yang perlu menjadi kesadara anak bangsa Indonesia ke depan.

[8] Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, Universitas Paramadina, Jakarta, 2003

[9] Lihat Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, Abdur Rozaki, dkk, IRE, 2005, Yokyakarta dalam Lalu Agus sarjana, Qoryah Toyyibah, halaman 15.

[10] Lihat Syamsul Hidayat, SH., MH., Pidana Mati di Indonesia, 2010, Genta Press, Yogyakarta, hal. 65

[11] Bandingkan dengan David Osborne dan Ted Gaebler dalam Mewirausahakan Birokrasi, 1999, PPM, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, halaman 316-320

[12] Lihat Soekartawi, Analisis Usahatani, 2002, UIP, Jakarta, halaman 54

[13] Nietzsche, Sabda Zarathustra, 2000, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, halaman 102-103

[14] Ibid, halaman 306-308

[15] Mohammad Iqbal, Javid Namah, 1987, Pustaka Panjimas, Jakarta, halaman 72-73

[16] Kahlil Gibran, Rahasia Hati, 2003, Classic Press, Batam, halaman 9-17

[17] Daniel Ladinsky, Hafizh: “Aku Mendengar Tuhan Tertawa”, 2005, Risalah Gusti, Surabaya, halaman 218

[18] Ibid, Dalam judul yang bertemakan, “kita semua duduk di kelas Tuhan berisi tentang makna sesaat, kosong, satu-satunya, rahasia agung, setiap gerak, sebuah jangka emas dan lingkaran-lingkaran serta bagaimanakah rasanya menjadi sebentuk hati? Puisi-puisi ini sebagai ungkapan yang menggambarkan dunia rasa yang maha luas dan dalam untuk menghayati makna keniscayaan wujud. Sekalipun peristilahan bahasa menjadi demikian semena-mena, namun yang perlu menjadi harapan adalah bagaimana perumahan kemanusiaan mampu dihuni oleh pasangan pengantin pikiran dan perasaan.

[19] Achmad Syahid Ch., Titik Temu Agama dalam Realitas Ketuhanan, dalam Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi, 2001, Risalah Gusti, Surabaya, dalam kata pengantar penterjemah.

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id