Senin, 07 Februari 2011

Ponpes dan Mendesaknya Fiqih Sosial


Tema-tema pembangunan, seperti pemberantasan kemiskinan, pemberantasan KKN seiring penciptaan good governance kelihatannya menemukan momentum baru. Sekarang kian disadari, penguatan demokrasi, HAM, dan kesetaraan perempuan, misalnya, sulit dicapai dengan baik tanpa melalui pembangunan dalam berbagai aspeknya.

Awal tahun 2011 ini (tulisan ini ditulis pada awal Januari 2011) setidaknya merupakan momen yang paling tepat untuk merenungi ulang rekam jejak dari gerakan reformasi di Tanah Air, khususnya pada arena birokrasi, dan mendudukkannya pada cita-cita mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Dikatakan demikian karena secara esensial konsep good governance bertumpu pada dua isu utama, yaitu adanya perubahan peran dari masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan pada satu sisi dan perubahan kapasitas pemerintah dalam merespons dan memperjuangkan kepentingan kolektif masyarakat berdasarkan koridor institusi yang ada pada sisi yang lain. Ini berarti bahwa lokus dari konsep good governance mencakup dua aspek utama, yakni negara (state) dan masyarakat (society). Aspek yang pertama direpresentasikan oleh dua arena, yaitu birokrasi dan lembaga politik (political office). Sedangkan aspek yang kedua juga direpresentasikan oleh dua arena, yang tidak lain adalah masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat ekonomi (economic society). Dengan demikian, pada tingkat yang lebih mikro, pengertian governance, sebenarnya, berkaitan dengan bagaimana empat arena tersebut berhubungan satu dengan yang lain untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi guna mencapai tujuan-tujuan bernegara.

Kontribusi dari setiap arena dalam menciptakan good governance tentunya sangat ditentukan oleh seberapa jauh prinsip-prinsip good governance itu sendiri ditegakkan. Dalam kaitan ini, Gismar dan Hidayat (2010) merumuskan sedikitnya ada enam prinsip utama dari good governance, yang meliputi partisipasi, keadilan, akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dan efektivitas. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa secara substansial, konsep good governance bertumpu pada dua aspek dan empat arena. Selanjutnya, di dalam setiap empat arena tersebut harus ditegakkan enam prinsip dasar. Pertanyaan selanjutnya yakni apa yang dapat diperbuat masyarakat Islam, dalam hal ini pondok pesantren yang kita jadikan sasaran utama dalam kajian ini?

Terkait dengan hal ini, hemat saya peran pondok pesantren (Ponpes) sangat potensial memainkan peran penting dalam good governance. Karena, dalam perspektif good governance, penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya menjadi dominasi dan fungsi lembaga pemerintahan. Sebaliknya, juga meniscayakan partisipasi organisasi masyarakat, sebagaimana ponpes. Karena itu, ponpes sangat strategis dalam penciptaan dan penguatan good governance dan pemberantasan kemiskinan serta advokasi sosial lainnya.

Posisi ponpes tidak hanya sebagai stakeholders dari berbagai kebijakan publik, tetapi juga terlibat dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan publik (hal ini tentunya tidak hanya mencakup aspek pendidikan dan keagamaan). Tidak mengambil keputusan publik yang merupakan wewenang dan otoritas lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif, ponpes dengan demikian dapat menjadi kekuatan penekan dan kelompok kepentingan yang dapat mempengaruhi proses, hasil, dan pelaksanaan kebijakan publik tersebut.

Di tengah terjadinya proliferasi kabupaten/kota sebagai hasil pemekaran yang telah berlangsung, proses desentralisasi tidak otomatis dapat meningkatkan peran publik pemerintah kota/kabupaten dalam advokasi sosial, khususnya pengentasan masyarakat miskin. Bahkan pemerintah pusat, provinsi, dan kota/kabupaten belum memberikan tanda-tanda yang meyakinkan mereka dapat mengembangkan good governance.

Karena itu, organisasi masyarakat Islam, dalam hal ini ponpes mestilah memberdayakan perannya. Ponpes pada dasarnya adalah lembaga atau institusi atau ormas religious-based civil society organizations, organisasi masyarakat madani (masyarakat sipil/masyarakat kewargaan/masyarakat sosial keagamaan). Ponpes yang (dalam taraf tertentu) adalah self regulating dan self financing, membuatnya independen vis-a-vis pemerintah-negara, mereka seharusnya tidak bisa terkooptasi pemerintah-negara, dan dengan demikian ponpes dapat memainkan peran mediasi di antara pemerintah-negara pada satu pihak dan masyarakat umumnya pada pihak lain.

Dengan posisi distingtif tersebut, ponpes sebagai Islamic-based civil society memiliki potensi besar mendorong penciptaan dan penguatan good governance dan pemberdayaan sosial, khususnya pengentasan kemiskinan dan pemberantasan KKN. Tetapi, ponpes tidak bisa mewujudkan peran tersebut secara maksimal karena, antara lain, kecenderungan tradisional dan konvensional ponpes untuk lebih banyak bergerak dalam bidang dakwah, pendidikan kultural, dan dalam intensitas yang relatif kecil pelayanan sosial (khususnya melalui rumah sakit dan panti asuhan, itupun jika ada) daripada pada bidang-bidang 'baru' seperti penciptaan good governance, pemberantasan kemiskinan dan pemberantasan KKN serta lainnya.

Secara teologis dan fiqhiyyah, ketiga bidang terakhir juga tidak menjadi wacana pokok. Karena itu, sejumlah kalangan mengkritik ponpes, termasuk penulis, sebagai lebih 'peka susila' daripada 'peka sosial', dalam hal ini khususnya kemiskinan, good governance dan pemberantasan KKN.

Karena itu, ponpes sebagai civil society harus mengembangkan wawasan teologis dan fiqhiyyah-nya dan juga merambah orientasi baru pada bidang yang menuntut peran dan partisipasi mereka, semacam penciptaan good governance, pemberantasan kemiskinan dan pemberantasan KKN. Bahkan, ponpes semestinya mengambil bidang seperti ini sebagai prioritas baru.

Ponpes sudah waktunya dan sangat mendesak untuk mengembangkan fiqih sosial yang memberikan landasan doktrinal Islam bagi advokasi sosial yang lebih luas. Dengan tetap berpegang pada fiqih klasik-konvensional, misalnya, tentang distribusi dan pemanfaatan dana ZIS dan wakaf, maka ponpes hanya dapat bergerak pada bidang kepenyantunan sosial yang konvensional, tidak dalam bidang yang sebenarnya juga sangat mendesak seperti pengentasan kemiskinan, penyelamatan kaum dhuafa dari perilaku asusila, pemberantasan narkoba, pemberantasan KKN dan banyak penyakit sosial lainnya.

Sebaliknya, dengan fiqih sosial yang kultural-kontekstual dengan realitas dan tantangan hari ini dan esok, maka umat pun merasa nyaman secara teologis dan doktrinal dengan pemanfaatan dana ZIS dan wakaf (filantropi Islam) untuk advokasi sosial lebih luas. Dalam konteks itu, sudah waktunya ponpes-ponpes merumuskan fiqih filantropi Islam untuk kepentingan advokasi sosial yang sangat mendesak ini. Jika ini dapat segera dilakukan, jelas kontribusinya sangat penting, tidak hanya dalam penggalangan dana filantropi Islam, tetapi juga dalam pemanfaatan dan distribusinya untuk kepentingan advokasi sosial yang lebih luas.

Khutbah Jum’at dan Peradaban Yang Merosot


Kesan saya, ada korelasi yang signifikan antara merosotnya peradaban umat dengan khutbah Jum’at, bagaimana hal ini kita jelaskan? Begini, saya merasakan bahwa telah sekian lama bahkan akhir-akhir ini, seakan makin marak saya dengarkan tiap Jum’at, tampaknya khutbah Jum’at tidak lagi menjadi media bagi umat untuk bisa menambah wawasan keagamaannya dengan cerdas, tapi justru seolah menjadi media dan tempat mempertahankan tradisi dengan demagogi, ceramah yang sarat dengan klise, repetisi materi yang membosankan, dan kadang caci-maki yang menyuburkan rasa benci.

Kalau mendengar khutbah-khutbah yang disiarkan melalui stasiun TV dinegeri ini, setidaknya saya merasa, mutu khutbah lebih memiliki variasi dan menemukan vitalitas materinya, meskipun tidak semua, namun secara umum jauh lebih baik ketimbang mutu khutbah Jum’at di masjid-masjid kita selama pelaksanaan ibadah Jum’at. Selain materi yang menemukan momentumnya yang disesuaikan dengan perkembangan, cara penyampaiannya juga relatif agak lebih menarik. Terkadang saya jadi berfikir, apakah ini ada kaitanya dengan permintaan pasar dengan disiarkannya melalui stasiun TV?

Sedih rasanya melihat, mendengar dan merasakan semangat dan materi khutbah Jum’at yang seperti itu. Namun apakah memang harus seperti itu?

Lalu apa hubungannya dengan peradaban umat? Apa ini juga merupakan cermin dari keadaan peradaban umat saat ini? Saya jadi ingat Prof. Fathi Osman yang suatu ketika berujar, peradaban adalah suatu keseluruhan. Ketika suatu peradaban merosot, maka yang merosot bukan hanya salah satu aspek di dalamnya, tetapi juga merembet ke seluruh aspeknya. Kemerosotan peradaban umat, jika dibaca melalui cara pandang Prof. Fathi itu, juga tampak hingga ke perkara sepele seperti khutbah Jum’at.

Saya tidak bisa seluruhnya sepakat dengan kalangan yang menyebut dirinya “tradisionalis” seperti Prof. Seyyed Hossein Nasr, yang mengatakan bahwa peradaban Barat sudah mengalami kebangkrutan secara spiritual, meski secara material tampak gemerlap dan cemerlang. Pandangan ini, saya kira, diikuti pula oleh banyak kalangan umat Islam.

Saya juga tidak bisa sepakat dengan pandangan seperti ini dengan alasan sangat sederhana: bukankah kecemerlangan lahiriah menandakan suatu vitalitas rohaniah. Jika seseorang mengalami kebangkrutan secara rohani, dengan sendirinya kebangkrutan itu akan tampak pula pada aspek-aspek jasmani.

Peradaban yang memproduksi ratusan pemenang Nobel dalam segala bidang setiap tahunnya, jelas menandakan bahwa peradaban itu sehat jasmaniah dan rohaniah. Peradaban yang menghasilkan ratusan film bermutu dan produk-produk hiburan bermutu lainnya setiap tahun (ada juga yang tidak bermutu), jelas manandakan bahwa peradaban itu subur dan maju, lahir dan batin.

Peradaban yang menghasilkan ribuan judul buku bermutu setiap tahun (sebagaimana bisa dilihat melalui jurnal review buku seperti The New York Review of Books atau Times Literary Supplement), jelas menandakan bahwa ia segar bugar, luar-dalam.

Sebaliknya, peradaban yang di dalamnya terdapat khutbah-khutbah Jum’at yang sarat demagogi dan caci-maki, apa yang bisa kita katakan selain ia sedang merosot? Lihatlah ironi berikut ini. Siapa penulis muslim yang dapat mengarang biografi tentang nabi mereka sendiri sememikat biografi yang ditulis Karen Armstrong, seorang mantan biarawati, tentang Nabi Muhammad? Siapakah sarjana Muslim yang dapat melahirkan karya tentang sejarah sosial umat Islam (sejak masa klasik hingga modern) secemerlang yang ditulis Prof. Ira M. Lapidus, “The History of Islamic Societies”?

Dalam bidang-bidang yang menyangkut agama Islam pun, ”orang lain” bahkan dapat melahirkan karya yang lebih baik daripada umat Islam sendiri. Apakah peradaban Barat yang sakit secara rohaniah, seperti dikatakan kalangan tradisionalis itu, akan dapat menghasilkan karya-karya besar yang terus mengucur setiap tahun dalam setiap bidang ilmu pengetahuan? Bagaimana peradaban yang sakit secara “spiritual” dan rohani bisa melahirkan karya-karya besar seperti “The City in History” karya Lewis Mumford, misalnya?

Belum lagi menyangkut fungsi dan pembeda antara seorang dai (khatib) dengan seorang kadi, dimana posisi seorang khatib dalam melaksanakan khutbah Jum’at lebih sebagai seorang pendakwah (dai), bukan pendakwa (kadi). Bukankah Islam adalah agama dakwah? Dakwah adalah ajakan, sementara dakwa berarti tuduhan. Mengajak dan membagi jalan kebenaran menjadi pekerjaan khatib, yang lahir karena keuletan dia menegakkan misi, bukan hasil audisi, atau kontestasi. Sementara mengurusi kesalahan, tuduhan, hingga penghakiman adalah tugas seorang kadi.

Terkadang dalam materi khutbah Jum’at, Islam sering tergambar dengan wajahnya yang keras, penuh pemaksaan, dan intoleransi. Yang menyedihkan, diskursus akademik yang bersifat “spesialis” dihakimi secara demagogis melalui “mimbar awam” seperti khutbah Jumat ini. Padahal hal ini, dalam era kontemporer saat ini, kekerasan, pemaksaan dan intoleransi tak lagi bisa dipertahankan, yang menuntut keterbukaan, toleransi, dan persamaan hak. Begitu juga, wajah Islam yang lusuh, terbelakang, dan ahistoris sudah tak lagi memiliki tempat dalam kehidupan modern yang semakin menuntut adanya rasionalisasi dan pragmatisme dalam setiap bidang kehidupan.

Khutbah Jum’at yang diperlukan umat untuk kehidupan sekarang dan di masa-masa mendatang adalah khutbah yang mampu memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan umat, baik pada tingkat individu, masyarakat, maupun negara. Persoalan-persoalan yang dihadapi umat dewasa ini, sudah barang tentu, berbeda dengan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslim sepuluh tahun, seratus tahun, atau apalagi seribu empat ratus tahun yang lalu.

Khatib setidaknya diharuskan untuk selalu memiliki perspektif baru dalam melihat berbagai persoalan yang di hadapi umat. Sebagaimana para khatib masa silam melihat segala persoalan dari perspektif mereka, khatib saat ini juga dituntut untuk melihat persoalan yang dihadapi umat dengan perspektif masa kini. Tawaran penyelesaian persoalan-persoalan masa kini dengan solusi-solusi masa silam hanya akan membuat umat makin teralienasi dari dunia di mana mereka hidup. Inilah sebenarnya sumber dari banyak kontradiksi yang akhir-akhir ini sering kita dengarkan melalui khutbah-khutbah Jum’at.

Karenanya sudah saatnya umat bersikap kritis dalam melihat, mendengar dan membaca khutbah-khutbah Jum’at yang disampaikan oleh para khatib, karena bagaimanapun, sebagian dari pesan-pesan yang terkandung dalam khutbah Jum’at tersebut banyak juga yang dibentuk dalam kondisi sosial-budaya tertentu. Dan karenanya, perlu penafsiran dan pemahaman ulang agar lebih menemukan kontektualisasi dan revitalisasinya bagi peningkatan peradaban yang sedang merosot.

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id