Tema-tema pembangunan, seperti pemberantasan kemiskinan, pemberantasan KKN seiring penciptaan good governance kelihatannya menemukan momentum baru. Sekarang kian disadari, penguatan demokrasi, HAM, dan kesetaraan perempuan, misalnya, sulit dicapai dengan baik tanpa melalui pembangunan dalam berbagai aspeknya.
Awal tahun 2011 ini (tulisan ini ditulis pada awal Januari 2011) setidaknya merupakan momen yang paling tepat untuk merenungi ulang rekam jejak dari gerakan reformasi di Tanah Air, khususnya pada arena birokrasi, dan mendudukkannya pada cita-cita mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Dikatakan demikian karena secara esensial konsep good governance bertumpu pada dua isu utama, yaitu adanya perubahan peran dari masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan pada satu sisi dan perubahan kapasitas pemerintah dalam merespons dan memperjuangkan kepentingan kolektif masyarakat berdasarkan koridor institusi yang ada pada sisi yang lain. Ini berarti bahwa lokus dari konsep good governance mencakup dua aspek utama, yakni negara (state) dan masyarakat (society). Aspek yang pertama direpresentasikan oleh dua arena, yaitu birokrasi dan lembaga politik (political office). Sedangkan aspek yang kedua juga direpresentasikan oleh dua arena, yang tidak lain adalah masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat ekonomi (economic society). Dengan demikian, pada tingkat yang lebih mikro, pengertian governance, sebenarnya, berkaitan dengan bagaimana empat arena tersebut berhubungan satu dengan yang lain untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi guna mencapai tujuan-tujuan bernegara.
Kontribusi dari setiap arena dalam menciptakan good governance tentunya sangat ditentukan oleh seberapa jauh prinsip-prinsip good governance itu sendiri ditegakkan. Dalam kaitan ini, Gismar dan Hidayat (2010) merumuskan sedikitnya ada enam prinsip utama dari good governance, yang meliputi partisipasi, keadilan, akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dan efektivitas. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa secara substansial, konsep good governance bertumpu pada dua aspek dan empat arena. Selanjutnya, di dalam setiap empat arena tersebut harus ditegakkan enam prinsip dasar. Pertanyaan selanjutnya yakni apa yang dapat diperbuat masyarakat Islam, dalam hal ini pondok pesantren yang kita jadikan sasaran utama dalam kajian ini?
Terkait dengan hal ini, hemat saya peran pondok pesantren (Ponpes) sangat potensial memainkan peran penting dalam good governance. Karena, dalam perspektif good governance, penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya menjadi dominasi dan fungsi lembaga pemerintahan. Sebaliknya, juga meniscayakan partisipasi organisasi masyarakat, sebagaimana ponpes. Karena itu, ponpes sangat strategis dalam penciptaan dan penguatan good governance dan pemberantasan kemiskinan serta advokasi sosial lainnya.
Posisi ponpes tidak hanya sebagai stakeholders dari berbagai kebijakan publik, tetapi juga terlibat dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan publik (hal ini tentunya tidak hanya mencakup aspek pendidikan dan keagamaan). Tidak mengambil keputusan publik yang merupakan wewenang dan otoritas lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif, ponpes dengan demikian dapat menjadi kekuatan penekan dan kelompok kepentingan yang dapat mempengaruhi proses, hasil, dan pelaksanaan kebijakan publik tersebut.
Di tengah terjadinya proliferasi kabupaten/kota sebagai hasil pemekaran yang telah berlangsung, proses desentralisasi tidak otomatis dapat meningkatkan peran publik pemerintah kota/kabupaten dalam advokasi sosial, khususnya pengentasan masyarakat miskin. Bahkan pemerintah pusat, provinsi, dan kota/kabupaten belum memberikan tanda-tanda yang meyakinkan mereka dapat mengembangkan good governance.
Karena itu, organisasi masyarakat Islam, dalam hal ini ponpes mestilah memberdayakan perannya. Ponpes pada dasarnya adalah lembaga atau institusi atau ormas religious-based civil society organizations, organisasi masyarakat madani (masyarakat sipil/masyarakat kewargaan/masyarakat sosial keagamaan). Ponpes yang (dalam taraf tertentu) adalah self regulating dan self financing, membuatnya independen vis-a-vis pemerintah-negara, mereka seharusnya tidak bisa terkooptasi pemerintah-negara, dan dengan demikian ponpes dapat memainkan peran mediasi di antara pemerintah-negara pada satu pihak dan masyarakat umumnya pada pihak lain.
Dengan posisi distingtif tersebut, ponpes sebagai Islamic-based civil society memiliki potensi besar mendorong penciptaan dan penguatan good governance dan pemberdayaan sosial, khususnya pengentasan kemiskinan dan pemberantasan KKN. Tetapi, ponpes tidak bisa mewujudkan peran tersebut secara maksimal karena, antara lain, kecenderungan tradisional dan konvensional ponpes untuk lebih banyak bergerak dalam bidang dakwah, pendidikan kultural, dan dalam intensitas yang relatif kecil pelayanan sosial (khususnya melalui rumah sakit dan panti asuhan, itupun jika ada) daripada pada bidang-bidang 'baru' seperti penciptaan good governance, pemberantasan kemiskinan dan pemberantasan KKN serta lainnya.
Secara teologis dan fiqhiyyah, ketiga bidang terakhir juga tidak menjadi wacana pokok. Karena itu, sejumlah kalangan mengkritik ponpes, termasuk penulis, sebagai lebih 'peka susila' daripada 'peka sosial', dalam hal ini khususnya kemiskinan, good governance dan pemberantasan KKN.
Karena itu, ponpes sebagai civil society harus mengembangkan wawasan teologis dan fiqhiyyah-nya dan juga merambah orientasi baru pada bidang yang menuntut peran dan partisipasi mereka, semacam penciptaan good governance, pemberantasan kemiskinan dan pemberantasan KKN. Bahkan, ponpes semestinya mengambil bidang seperti ini sebagai prioritas baru.
Ponpes sudah waktunya dan sangat mendesak untuk mengembangkan fiqih sosial yang memberikan landasan doktrinal Islam bagi advokasi sosial yang lebih luas. Dengan tetap berpegang pada fiqih klasik-konvensional, misalnya, tentang distribusi dan pemanfaatan dana ZIS dan wakaf, maka ponpes hanya dapat bergerak pada bidang kepenyantunan sosial yang konvensional, tidak dalam bidang yang sebenarnya juga sangat mendesak seperti pengentasan kemiskinan, penyelamatan kaum dhuafa dari perilaku asusila, pemberantasan narkoba, pemberantasan KKN dan banyak penyakit sosial lainnya.
Sebaliknya, dengan fiqih sosial yang kultural-kontekstual dengan realitas dan tantangan hari ini dan esok, maka umat pun merasa nyaman secara teologis dan doktrinal dengan pemanfaatan dana ZIS dan wakaf (filantropi Islam) untuk advokasi sosial lebih luas. Dalam konteks itu, sudah waktunya ponpes-ponpes merumuskan fiqih filantropi Islam untuk kepentingan advokasi sosial yang sangat mendesak ini. Jika ini dapat segera dilakukan, jelas kontribusinya sangat penting, tidak hanya dalam penggalangan dana filantropi Islam, tetapi juga dalam pemanfaatan dan distribusinya untuk kepentingan advokasi sosial yang lebih luas.
0 Comments:
Post a Comment