Selasa, 05 April 2011

Khutbah Jum’at dan Peradaban Yang Merosot


Kesan saya, ada korelasi yang signifikan antara merosotnya peradaban umat dengan khutbah Jum’at, bagaimana hal ini kita jelaskan? Begini, saya merasakan bahwa telah sekian lama bahkan akhir-akhir ini, seakan makin marak saya dengarkan tiap Jum’at, tampaknya khutbah Jum’at tidak lagi menjadi media bagi umat untuk bisa menambah wawasan keagamaannya dengan cerdas, tapi justru seolah menjadi media dan tempat mempertahankan tradisi dengan demagogi, ceramah yang sarat dengan klise, repetisi materi yang membosankan, dan kadang caci-maki yang menyuburkan rasa benci.

Kalau mendengar khutbah-khutbah yang disiarkan melalui stasiun TV dinegeri ini, setidaknya saya merasa, mutu khutbah lebih memiliki variasi dan menemukan vitalitas materinya, meskipun tidak semua, namun secara umum jauh lebih baik ketimbang mutu khutbah Jum’at di masjid-masjid kita selama pelaksanaan ibadah Jum’at. Selain materi yang menemukan momentumnya yang disesuaikan dengan perkembangan, cara penyampaiannya juga relatif agak lebih menarik. Terkadang saya jadi berfikir, apakah ini ada kaitanya dengan permintaan pasar dengan disiarkannya melalui stasiun TV?

Sedih rasanya melihat, mendengar dan merasakan semangat dan materi khutbah Jum’at yang seperti itu. Namun apakah memang harus seperti itu?

Lalu apa hubungannya dengan peradaban umat? Apa ini juga merupakan cermin dari keadaan peradaban umat saat ini? Saya jadi ingat Prof. Fathi Osman yang suatu ketika berujar, peradaban adalah suatu keseluruhan. Ketika suatu peradaban merosot, maka yang merosot bukan hanya salah satu aspek di dalamnya, tetapi juga merembet ke seluruh aspeknya. Kemerosotan peradaban umat, jika dibaca melalui cara pandang Prof. Fathi itu, juga tampak hingga ke perkara sepele seperti khutbah Jum’at.

Saya tidak bisa seluruhnya sepakat dengan kalangan yang menyebut dirinya “tradisionalis” seperti Prof. Seyyed Hossein Nasr, yang mengatakan bahwa peradaban Barat sudah mengalami kebangkrutan secara spiritual, meski secara material tampak gemerlap dan cemerlang. Pandangan ini, saya kira, diikuti pula oleh banyak kalangan umat Islam.

Saya juga tidak bisa sepakat dengan pandangan seperti ini dengan alasan sangat sederhana: bukankah kecemerlangan lahiriah menandakan suatu vitalitas rohaniah. Jika seseorang mengalami kebangkrutan secara rohani, dengan sendirinya kebangkrutan itu akan tampak pula pada aspek-aspek jasmani.

Peradaban yang memproduksi ratusan pemenang Nobel dalam segala bidang setiap tahunnya, jelas menandakan bahwa peradaban itu sehat jasmaniah dan rohaniah. Peradaban yang menghasilkan ratusan film bermutu dan produk-produk hiburan bermutu lainnya setiap tahun (ada juga yang tidak bermutu), jelas manandakan bahwa peradaban itu subur dan maju, lahir dan batin.

Peradaban yang menghasilkan ribuan judul buku bermutu setiap tahun (sebagaimana bisa dilihat melalui jurnal review buku seperti The New York Review of Books atau Times Literary Supplement), jelas menandakan bahwa ia segar bugar, luar-dalam.

Sebaliknya, peradaban yang di dalamnya terdapat khutbah-khutbah Jum’at yang sarat demagogi dan caci-maki, apa yang bisa kita katakan selain ia sedang merosot? Lihatlah ironi berikut ini. Siapa penulis muslim yang dapat mengarang biografi tentang nabi mereka sendiri sememikat biografi yang ditulis Karen Armstrong, seorang mantan biarawati, tentang Nabi Muhammad? Siapakah sarjana Muslim yang dapat melahirkan karya tentang sejarah sosial umat Islam (sejak masa klasik hingga modern) secemerlang yang ditulis Prof. Ira M. Lapidus, “The History of Islamic Societies”?

Dalam bidang-bidang yang menyangkut agama Islam pun, ”orang lain” bahkan dapat melahirkan karya yang lebih baik daripada umat Islam sendiri. Apakah peradaban Barat yang sakit secara rohaniah, seperti dikatakan kalangan tradisionalis itu, akan dapat menghasilkan karya-karya besar yang terus mengucur setiap tahun dalam setiap bidang ilmu pengetahuan? Bagaimana peradaban yang sakit secara “spiritual” dan rohani bisa melahirkan karya-karya besar seperti “The City in History” karya Lewis Mumford, misalnya?

Belum lagi menyangkut fungsi dan pembeda antara seorang dai (khatib) dengan seorang kadi, dimana posisi seorang khatib dalam melaksanakan khutbah Jum’at lebih sebagai seorang pendakwah (dai), bukan pendakwa (kadi). Bukankah Islam adalah agama dakwah? Dakwah adalah ajakan, sementara dakwa berarti tuduhan. Mengajak dan membagi jalan kebenaran menjadi pekerjaan khatib, yang lahir karena keuletan dia menegakkan misi, bukan hasil audisi, atau kontestasi. Sementara mengurusi kesalahan, tuduhan, hingga penghakiman adalah tugas seorang kadi.

Terkadang dalam materi khutbah Jum’at, Islam sering tergambar dengan wajahnya yang keras, penuh pemaksaan, dan intoleransi. Yang menyedihkan, diskursus akademik yang bersifat “spesialis” dihakimi secara demagogis melalui “mimbar awam” seperti khutbah Jumat ini. Padahal hal ini, dalam era kontemporer saat ini, kekerasan, pemaksaan dan intoleransi tak lagi bisa dipertahankan, yang menuntut keterbukaan, toleransi, dan persamaan hak. Begitu juga, wajah Islam yang lusuh, terbelakang, dan ahistoris sudah tak lagi memiliki tempat dalam kehidupan modern yang semakin menuntut adanya rasionalisasi dan pragmatisme dalam setiap bidang kehidupan.

Khutbah Jum’at yang diperlukan umat untuk kehidupan sekarang dan di masa-masa mendatang adalah khutbah yang mampu memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan umat, baik pada tingkat individu, masyarakat, maupun negara. Persoalan-persoalan yang dihadapi umat dewasa ini, sudah barang tentu, berbeda dengan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslim sepuluh tahun, seratus tahun, atau apalagi seribu empat ratus tahun yang lalu.

Khatib setidaknya diharuskan untuk selalu memiliki perspektif baru dalam melihat berbagai persoalan yang di hadapi umat. Sebagaimana para khatib masa silam melihat segala persoalan dari perspektif mereka, khatib saat ini juga dituntut untuk melihat persoalan yang dihadapi umat dengan perspektif masa kini. Tawaran penyelesaian persoalan-persoalan masa kini dengan solusi-solusi masa silam hanya akan membuat umat makin teralienasi dari dunia di mana mereka hidup. Inilah sebenarnya sumber dari banyak kontradiksi yang akhir-akhir ini sering kita dengarkan melalui khutbah-khutbah Jum’at.

Karenanya sudah saatnya umat bersikap kritis dalam melihat, mendengar dan membaca khutbah-khutbah Jum’at yang disampaikan oleh para khatib, karena bagaimanapun, sebagian dari pesan-pesan yang terkandung dalam khutbah Jum’at tersebut banyak juga yang dibentuk dalam kondisi sosial-budaya tertentu. Dan karenanya, perlu penafsiran dan pemahaman ulang agar lebih menemukan kontektualisasi dan revitalisasinya bagi peningkatan peradaban yang sedang merosot.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id