Selasa, 05 April 2011

Ketika Pondok Pesantren Berpolitik


Demokrasi yang merupakan sebuah sistem yang disusun untuk mewadahi pluralitas, karenanya keterbukaan dalam situasi politik untuk menuju sistem politik yang lebih baik sangat kita harapkan. Namun demikian gejala tersebut setidaknya banyak menimbulkan fenomena baru ditengah masyarakat. Semisal banyaknya pondok pesantren (ponpes) yang terjun langsung dalam dunia politik praktis.

Sebab bagaimanapun juga, pada mula sejarahnya ponpes adalah merupakan lembaga atau institusi yang banyak berperan dalam ranah pendidikan-kultural-keagamaan, sehingga pada saat mereka beralih ruang, yakni ke arena politik-struktural-kekuasaan, maka tugas-tugas kultural-pendidikan-keagamaan yang menjadi tanggungjawabnya kerap kali dinomorduakan atau malah terabaikan.

Beragam pandangan yang timbul dari kenyataan ini, baik yang pro atau yang kontra, yang berangkat dari pandangan satu kesatuan agama dan Negara (ad din wa al-daulah), atau sebaliknya yang menolak pandangan tersebut, ini tentunya juga tidak luput dari beragam argumentasi dan indikator perspektif yang menyertainya. Disini, kita juga menyadari bahwa tidak seluruh ponpes juga memiliki anggapan demikian, namun disini kita tidak akan mendiskusikan pandangan tersebut karena dalam tulisan ini, kita akan melihat bilamana ponpes berpolitik praktis.

Dari beragam keadaan tersebut tentunya akan menimbulkan pertanyaan tentang ‘ketahanan' ponpes dalam politik praktis? Pertanyaan ini timbul dan kerap kali merupakan bagian dari hubungan yang ‘tidak wajar' antara ponpes dengan dunia politik praktis, yang dimulai dari kedekataan antara para pengasuh ponpes dengan para pejabat atau tokoh pemerintahan. Ini tampak jelas, dari adanya pendapat yang beredar luas dikalangan masyarakat dan ponpes kita yakni: jika "wakaf" dari orang-orang non-muslim sah, apalagi sumbangan dari pejabat yang pada umumnya sama sekali ‘tidak mengikat'. Untuk sejumlah ponpes, yang memang para pengasuhnya ‘mengikatkan diri' dengan para pejabat dan tokoh di atas, mereka lalu tidak memandang penting ‘kebersihan diri' dari virus politik yang sangat berbahaya itu. Akibatnya banyak tokoh-tokoh ponpes yang ‘tergelincir' secara politis, dan kerap kali tidak dapat mengambil tindakan bagi kepentingan rakyat banyak dan masyarakat luas.

Hal ini sangat berbeda dengan masa KH. A. Wahab Chasbullah yang menjadi Ra'is Aam NU dengan wakilnya, KH. Bisri Syansuri. Dimana, menurut pengakuan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa KH. Wahab Chasbullah habis-habisan menentang gagasan Bung Karno untuk membubarkan semua parpol dan tinggal satu partai saja yang boleh berdiri di Indonesia. Demikian halnya ketika Bung Karno mempersiapkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, KH. Bisri Syansuri menentang habis-habisan DPR-RI, yang menurutnya -pada waktu itu, adalah hasil pemilihan umum tahun 1955. Jika harus diganti maka penggantinya harus dipilih, dan bukannya ditunjuk oleh Bung Karno. Untuk itu, KH. Bisri Syansuri menghadapi semua tekanan termasuk dengan datangnya tiga orang perwira RPKAD (sekarang Kopassus), dengan bersenjata lengkap dan melakukan intimidasi di ponpes KH. Bisri Syansuri.

Dari apa yang dicontohkan oleh KH. A. Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syansuri tersebut, terlihat bahwa para pimpinan ponpes masa lampau mendasarkan pandangan mereka pada aturan-aturan agama, bukannya pada uang dan sejenisnya. Contoh lainnya dalam hal ini, adalah Ra'is Akbar NU KH. M. Hasjim Asy'ari dari Tebuireng Jombang yang ‘membiarkan diri' ditangkap Kempetai (polisi rahasia Jepang), karena ia menolak untuk melakukan seikirai (upacara membungkuk badan untuk mendukung Kaisar Jepang). Menurut KH. M. Hasjim Asy'ari, hal itu sama saja dengan mengakui bahwa Kaisar Jepang adalah keturunan Dewa Matahari (Amaterasu) sesuatu hal yang tidak akan mungkin dilakukan secara keagamaan bagi seorang muslim, yang hanya mengakui kekuasaan Allah SWT. Untuk sikapnya itu, KH. M. Hasjim Asy'ari harus membiarkan tangan kirinya lumpuh karena siksaaan polisi rahasia Jepang.

Dengan demikian telah terjadi perubahan kualitatif dari sikap dan pandangan para pimpinan ponpes dalam kurun waktu sekitar setengah abad ini. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, berapa besarkah perubahan pandangan dan sikap tersebut? Ternyata perubahan-perubahan yang terjadi tidaklah besar. Secara kuantitatif, dari seluruh pimpinan ponpes yang ada di Indonesia, taruhlah ternyata paling tinggi hanya sekian persen pimpinan ponpes yang mengalami perubahan pandangan akibat perkembangan politik (untuk mendapatkan jawaban yang lebih akurat tentunya hal ini perlu kita lakukan penelitian yang lebih mendalam). Itupun dapat dibagi dua adanya perubahan pandangan itu.

Ada yang berpandangan, mereka berubah karena faktor uang dan hal-hal yang sejenis, tetapi lebih banyak faktor pandangan ‘politik'. Contoh perubahan karena pandangan ‘politik’ yakni misalnya bahwa orang-orang non-muslim tidak dapat menjadi pengurus dari partai politik (parpol) Islam –hal ini bilamana ponpes mendukung bahkan bergabung dalam salah satu parpol misalnya. Meskipun banyak pula para pimpinan ponpes yang membolehkannya, berbagai pandangan ini misalnya banyak terjadi dalam tubuh parpol-parpol Islam, semisal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan parpol-parpol berideologi Islam lainnya.

Perbedaan pandangan yang demikian fundamental antar mereka yang membolehkan dan yang melarang adalah merupakan konsekuensi dari pilihan dan kegiatan serta program kerja yang dilakukan. Dilihat dari sudut pandang ini jelas ponpes menempuh strategi yang saling berbeda, dan melalui bidang yang berbeda-beda pula dalam perjuangan. Kalau dilihat prospeknya, ponpes memiliki kemampuan untuk ‘bermain politik' melalui wadah yang saling berbeda. Ini berarti hampir seluruh ponpes mampu bermain politik secara dewasa. Hanya sedikit ponpes yang kehilangan kemampuan bermain politik, karena faktor uang dan kekuasaan, yang dalam jangka panjang akan membunuh kemampuan ponpes itu sendiri.

Politik yang dijalankan mayoritas ponpes di seluruh Indonesia (tak terkecuali di pulau Lombok) adalah mengembangkan sikap ‘melayani kebutuhan' berbagai pihak di luar ponpes. Artinya, ‘peranan agama' dalam penciptaan kemakmuran dan keadilan bagi bangsa dan negara ini ternyata tidak pupus dan bahkan justru menunjuk kepada masa depan yang lebih baik. Dengan kata lain, peranan agama dalam dunia perpolitikan di negeri kita tidaklah pudar, bahkan semakin tumbuh subur dan lebih nyata di masa depan. Meskipun pada titik ini sangat ramai beragam argumentasi terkait dengan peranan agama atau hubungan agama dalam Negara. Namun sedikitnya karena itu marilah, bagi ponpes, kita songsong era ini dengan membenahi ‘sasaran-sasaran politik' yang ingin dicapai.

Setelah era politik parpol-parpol yang berebut kekuasaan, disusul oleh kekuasaan kaum profesional dan kemudian tentara/militer selama tigapuluh tahun lebih, kini datanglah era untuk menyaksikan munculnya peranan lembaga-lembaga keagamaan (seperti ulama, ustad, tuan guru dan sebagainya). Kalau dari pihak-pihak sebelumnya tidak begitu banyak hasil yang diperoleh, maka bagaimana dengan kepemimpinan ulama atau tuan guru atau pimpinan ponpes yang disimbolkan oleh pengaruh ponpes dalam berpolitik? Dapatkah mereka membawakan kemakmuran dan keadilan bagi bangsa dan daerah, dengan menciptakan masyarakat yang kuat, daerah yang maju dan negara yang besar? Seperti halnya faktor-faktor lain dalam pembangunan, ponpes juga harus terlibat dengan pelestarian dan pembuangan jauh-jauh beberapa aspek dari kehidupannya. Karena hal ini adalah hal yang biasa terjadi dalam sejarah manusia.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id