Selasa, 27 Oktober 2009

* Saat Aku Makin Berdaya

Berjalan dipelataran parkir, sebuah bangunan Tuhan, memandang seonggok kemanusiaan yang dikelilingi nafas-nafas berperasaan. Saat ini, sebuah wajah terselimuti kafan dengan lalat-lalat beterbangan menikmati aroma yang menebar, busuk, tak berdetak, kaku, satu hari lalu ia menghadap Penguasa Alam, dengan badan gemetar, tubuh kering kerontang karena tak sebutir nasipun yang dapat ditelan. Siapa yang mengaku bertanggung jawab? Yang hadir menyaksikan? Semua diam, tak satupun menjawab, bisu.

Jika dengan itu kamu, dan semua menghindar, acuh, lalu siapa? Ataukah aku yang akan menjawab sebagian atau seluruh pertanyaan dengan beban yang kian terasa berat dipundak, tanggung jawab, pertanggungjawaban, dengannya untuk hanya bernapaspun aku tak bisa atau hanya untuk rebah melanjutkan istirahat dengan mimpi yang masih tertunda. Tangis dan tetesan air mata menjadi satu jawaban penting untuk hanya mengurangi beban, saat sebuah keberdayaan akan ganasnya melanghkah menuju sebuah peradaban yang dinamakan Zaman Modern yang begitu tinggi dengan tehnologi sebagai aktor utamanya yang hendak bercita-cita menjadi Tuhan dengan menundukkan ruang dan waktu dan juga jarak sebagai derivatnya. Ironi puncak ketinggian itu kini tak terkendali.

Manusia, yang diidentifikasi dalam zaman modern sebagai suatu mahluk yang memiliki perut buncit, berkaca mata tebal dengan kaki dan tangan yang kurus dan kepala yang botak, laki-laki dan perempuan sebagai lakon kebingungan dengan jenis kelamin sendiri, terbuai oleh sayur mayur pupuk dan insektisida buatan, dalam kedamaian dan harmoni, sedikit demi sedikit menghancurkan, mematikan, bagai kanker ganas dijasad tiap insan, di taman, kereta, bus, pesawat dan itu wajar, lumrah dianggap biasa sebagai Dalam Kebersamaan, dan dengan itu apa arti pandangan universal bahwa kebebasan individu bersinggungan atau bahkan dibatasi oleh kebebasan individu yang lain.

Dengan santun dan hangat ucapan mesra terlantun, dari sudut-sudut pinggir taman kota, pojok gelap kamar kos remaja, megah hotel berbintang dan disini disekitar Rumah Suci dekat apartemen sahabat karib lama yang kini terbaring dalam ruang kamar hitam putih disekilingnya, apartemen 53X, apa yang tersimpan kini dalam kotak-kotak sangkar merpati, kotak es, dingin, membeku. Tak peduli.

Melangkah kembali disinari cahaya lampu kelap-kelip kehidupan, hitam putih, biru merah, dengan dikotomi melantunkan sebuah tujuan, kesenangan, kenikmatan dengan pasangan lain, pria atau wanita idaman lain, tanpa terikat tali penyucian, dengan alasan mengagumkan dendam dan penghianatan atau keluh kesah terhadap kekurangan, tanpa peduli perih tangis sang bayi, ikatan suci dalam janji, persetan!, jenuh atas penyelewengan satu kata sakti…. Cinta. Dan kini bagaimana kaum muda mendendangkan rindu dalam sudut-sudut kamar dengan pasangan yang mengayuh jarak 1001 kilo hanya untuk bertemu, melantunkan kerinduan, kangen karena lama tak bersua, mengayuh dayung asmara, ditemani butir-butir pil setan atau seperangkat alat kontrasepsi yang telah dipersiapkan. Tak puas, tak perduli jalan-jalan mengukur kelelahan, bersanding dalam keramaian, dalam kerumunan, dalam tatapan tiap kepala keheranan mempertontonkan kewajaran dalam peradaban modern, berpelukan, berciuman untuk sebuah kata perpisahan, untuk pertemuan kembali disudut halte bis atau stasiun kereta jurusan pasar minggu.

Dengan ihklas siapa yang akan menerima? Sarte kah, Jhon Lenon, Mic Jagger, Madonna atau Jannet Jackson? Dalam bait terlantun Tuhan telah mati, Tuhan telah bosan, ini apa?, sumbangan Netse kah? Ataukah akibat lantunan tembang rahasia tersembunyi perempuan? Ataukah akibat aksi para aktivis Vagina Monolog? Dengan mata keranjang dan pembalasan kaum Adam yang beralasan akibat transparansi kaum Hawa ataukah pembelaan kaum hawa akibat pelecehan terhadap hak asasi kaum hawa terhadap lawan jenisnya, semua mengobok-obok tak perduli tanpa mampu mengganjar setimpal, inikah akibat kita tak belajar dengan benar? Bukankah Tuhan telah menggariskan rambu-rambu, telah ditetapkan ini untukmu dan itu untukku, dan jika itu akibatnya tak ada yang mampu mengganjar setimpal!.

Skularisme tanpa mampu mengartikan maknanya sendiri, menilai dan membenci agama (Islam) dengan sekehendaknya. Kritis, namun sangat ironis, hanya mencari pembenaran atas pandangan Huntington, tak perduli, tanpa melihat konstribusi agama dalam membangun peradaban. Sebagian menyerah kalah, sebagian kontra produktif, tak mampu membendung hidangan kenikmatan yang disuguhkan bumi, kata sakti Iqbal tak menggugah untuk hanya tidak larut dalam kekaguman pada bangsa barat “tempalah tembikarmu dari lempungmu sendiri”.

Sebagian lain larut dalam kedunguan dan kelambanan larut dalam secuil pengetahuan, hanya ketahuan, tak perduli retorika yang memperbudak dengan kehalusan dan tak menerima ajaran Qur’ani memperlakukan manusia bagai hewan, dirajam bagai sais yang otoriter kepada si keledai.

Meta analisa dari dua peradaban, Timur dan Barat dengan daya tahan kuat dalam menghadapi bencana, daya jelajah dan kekuatan laju rendah, sedangkan Barat dengan mengagungkan materialisme telah mampu menciptakan lakon-lakon baru yang hidonistik yang menomorduakan faham-faham langit dengan laju cepat dan daya tahan rendah. Lalu yang menerima? Menyebabkan korupsi tumbuh subur dinegeri sendiri dalam birokrasi dan pelayanan publik, semisal haji, apakah karena sikap “nrima” yang tak ditempatkan secara proporsional, yang ditekan oleh doktrin Q.S. Al Baqarah ayat 197 yang artinya “tidak berkata sembarang, tidak berbuat fasik dan tidak berdebat dalam haji” bukankah amar ma’ruf nahyi munkar meski ditegakkan, dimana keadilan itu?

Dengan label liberalisme, relativasi ajaran dihidangkan atas nama rahmatanlilalamin-nya umat. Jika kesesuaian ajaran langit telah dimodifikasi, interpolasi oleh oknum dengan kepentingan dibaliknya. Apakah nurani dapat tergugah karenanya? Selain mata tajam ketakpercayaan, buruk sangka, iri, dengi. Dan jika angan dibawah telah tak mampu membali “maka berbahagialah mereka yang berkata ‘ikutilah orang-orang yang tidak meminta upah kepada kalian dan mereka mendapat petunjuk” (Q.S. 36:21). Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.

Dan bagi mereka yang membeo, tak ada yang istimewa dan cerah senyum keikhlasan pun tak pernah ada selain mengkambinghitamkan ajaran Nabi Muhammad saw, sebagai agama kebodohan dan kekejaman, kotor dan miskin. Dengan bermuka topeng mereka tampil ditengah masyarakat. Wajah para santri dipedesaan, muka para kuli diperempatan, glodok, pasar malam, atau muka para bang napi dan preman di perkotaan dan ia hanya dapat diidentifikasi dengan satu kata agama yang tak pernah mau melakukan. Murtad. Dan sebuah kata, Magnis Suseno; Busuk.

Jika gajah mati meninggalkan gading, dan singa mati meninggalkan belang, lalu kita? Mengapa meski malu? Akankah kita jadikan Tuhan sebagai tertuduh, ia tak bisa dihujat itu kepastian, ia tak keliru itu kelurusan akal, meminjam lisan Rahmat Abdullah. Ataukah dengan lancang kita meski mengatakan seharusnya begini. Seharusnya begitu dengan sadar atau tidak terus terzalimi.

Karenanya mari bekerjasama! Dalam kebaikan, bukankah Ali r.a. Mewasiatkan bahwa kebaikan yang terorganisir akan hancur oleh kezaliman yang terorganisir. Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan takwa dan tidak sebaliknya, dalam permusuhan dan perpecahan.



Seorang Penganggur

Orang yang sibuk dan menyibukkan diri itu berbeda” kata seorang rekan. Yang pertama benar-benar disibukkan oleh aktivitas-aktivitasnya dalam bekerja dan yang kedua orang yang mencari-cari pekerjaan untuk mengisi banyak waktunya yang terbuang alias tidak bekerja atau pengangguran.

Dulu”, lanjutnya, selepas sekolah menengah atas saya pernah bimbang. Mau bekerja dulu atau melanjutkan kuliah. Alasannya, jika bekerja tentu dapat menabung dari penghasilan, membantu orang tua dan keluarga lainnya, disamping itu juga uangnya dapat digunakan untuk melanjutkan kuliah. Namun sayang masih terdapat kekurangan, yakni pengetahuan saya hanya sebatas itu-itu saja dan sulit dapat berkembang, jabatan juga susah naiknya, jadi dewasa juga susah, ya karena itu tadi ilmu pengetahuan yang tidak bertambah, tentunya dalam berbagai hal” lanjutnya. “Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di sebuah sekolah tinggi swasta di Malang, pada jurusan ekonomi dengan harapan akan mudah mendapatkan pekerjaan setelah kuliah saya selesai, dengan menggunakan gelar kesarjanaan, peningkatan karir disamping pola pikir akan jadi lebih dewasa, kata kakak ku”.

Karikatur ini sebenarnya merupakan penjabaran dari kisah seorang rekan yang ia utarakan dalam waktu yang tidak luang, karena memang ia juga berkeinginan kisahnya ditulis, “untuk bagi-bagi pengalaman” katanya. Dengan menulis kisahnya, selanjutnya membaca tulisan ini, setidaknya sedikit beratnya beban psikologis yang ia rasakan dapat terkurangi. Di samping itu agar para pembaca juga mengetahui, mengerti, memaklumi, syukur-syukur mau menawarkan pekerjaan bagi mereka yang memiliki perusahaan, instansi atau memiliki posisi dan jabatan tinggi, lanjutnya.

Setelah menyelesaikan gelar kesarjanaannya (S1) rekan saya tersebut mencoba menawarkan selembar ijazah dan transkrip nilai yang telah ia peroleh dan dibekali dengan persyaratan melamar pekerjaan lainnya. Kata seorang teman sesama pencari kerja, lanjutnya “lamaran kerja dimasukkan saja keberbagai instansi atau perusahaan, siapa tahu ada yang nyangkut, ibarat memancing, semakin banyak umpan yang kita lepas, kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin besar”. Berselang beberapa bulan, dari salah satu perusahaan yang cukup ternama “high class” di Indonesia rekan saya tersebut memperoleh panggilan, tanpa pikir panjang seluruh tes ia ikuti. Mulai dari tes administratif, tes pengetahuan umum dan psikotes hingga tes wawancara akhir. Dan sayang dalam tes wawancara akhir inilah ia tidak terjaring alias tidak masuk nominasi. “tapi mau bilang apa” lanjutnya, “perusahaan tentu memiliki standar sendiri dalam menentukan kualifikasi calon Sumber Daya Manusianya”.

Setiba dirumah ia kembali berfikir sambil melakukan evaluasi terhadap apa yang telah ia jalani. ‘’saya positif thinking saja” katanya. “Syukur-syukur ijazah S1 saya masuk nominasi, meski tidak berhasil, artinya ia laku ditawarkan, hal ini setidaknya sudah membuat saya bersyukur dan berbesar hati” lanjutnya. Padahal jika dihitung-hitung telah berapa ribu rupiah uang yang telah ia keluarkan untuk meng-copy, melegalisir ijazah dan transkrip, belum lagi persyaratan-persyaratan administratif lainnya dalam mengajukan surat lamaran, itu hanya untuk satu perusahaan saja. Ditambah ongkos kirim dan biaya transportasi yang tidak pernah ia perhitungkan.

Dua bulan berikutnya, panggilan kedua datang dari sebuah bank swasta nasional. “lumayan jika berhasil masuk nominasi dalam industri perbankan nasional, bayangkan namanya juga lembaga perbankan, tempat hilir mudiknya lalu lintas keuangan dinegeri ini” katanya antusias. Namun sayang saat tes pertama untuk pengetahuan umum, rekan saya tidak semangat, padahal ia sangat antusias sekali mengikuti tes tersebut, alasannya yang melakukan tes jumlahnya ribuan orang dan yang akan masuk nominasi hanya lima orang, tidak itu saja jelasnya, para pelamar datang dari beragam kalangan, beragam disiplin ilmu, beragam umur dan beragam profesi. “Terang saja hal tersebut membuatku sedikit agak colleps dalam menjawab soal”, katanya.

Setelah tes wawancara awal dan psikotes, rekan saya tidak mendapat panggilan lagi untuk mengikuti seleksi berikutnya, setelah dua minggu menunggu ternyata benar, panggilan yang ia harapkan tak kunjung tiba, dengan sedikit pasrah ia berkata “yang penting saya sudah berusaha, masalah hasil Tuhan yang nentukan” katanya menerima keadaan.

Sejenak ia terdiam lalu ia kembali menjelaskan, bahwa saat ini terdapat 11,6 juta penduduk menganggur dinegeri ini, angka itu menunjukkan jumlah pengangguran terbuka, 30 juta orang tergolong setengah menganggur. Dan 36 juta penduduk berpendapatan dibawah Rp. 150.000,- perbulan dari jumlah total angkatan kerja sebesar 106,9 juta jiwa dinegeri ini. Separuh angkatan kerja yang ada berpendidikan sebatas sekolah dasar (SD) atau bahkan tidak tamat SD. Dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, sekitar 70% warga terhitung bekerja pun hanya dapat menggeluti sektor informal yang berproduktivitas rendah, antara lain usaha rumah tangga dan pedagang kaki lima.

Pengembangan industri yang tidak mengarah pada padat pekerja antara lain tampak pada rasio pertumbuhan ekonomi dengan penciptaan lapangan kerja. Tahun 2005 hanya terjadi 178.000 kesempatan kerja baru per satu persen pertumbuhan. Padahal hingga pertengahan 1990-an, 300.000 – 400.000 kesempatan kerja baru dapat diciptakan tiap satu persen pertumbuhan. Hal ini tentu menunjukkan jika industri yang dikembangkan lebih padat modal jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.

Sementara itu penentuan upah menjadi isu perburuhan yang sangat alot, terlebih lagi upah minimum ditetapkan ditingkat Propinsi dan kabupaten. Kemudian ditetapkan pula upah minimum per sektor. Pola pengupahan seperti ini tentunya mengakibatkan distorsi. Terang saja, karena ia menyoroti nasib pencari kerja di Indonesia, segala hal yang terkait dengan kebijakan itu, seputar isu perburuhan, jam kerja, upah minimum dan sejenisnya menjadi semakin nampak menarik untuk dikaji dan dibahas.

Setelah berminggu-minggu rekan saya menunggu panggilan kerja yang tidak kunjung datang, sembari duduk-duduk dibendara rumah. Ia bertanya tentang apa yang dapat ia perbuat ditengah himpitan hidup yang makin hebat, sembari mengevaluasi dan mencoba menangkap peluang, lanjutnya. Secara karakter building, rekan saya mengatakan bahwa ia cukup berprosfek, memiliki kebiasaan yang positif, tamat sarjana, memiliki kompetensi dan kecakapan dalam bekerja dan senang bekerja tim. “jika demikian mengapa saat ini anda masih tetap menganggur?” tanyaku. Jawabannya sederhana, menurutnya karena saat ini ia tidak memiliki uang untuk menyogok, paling tidak untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS), kedua, tidak dapat melakukan nepotisme dikarenakan ia tidak memiliki keluarga yang menduduki jabatan strategis baik secara struktural maupun fungsional dalam jajaran atau instansi pemerintahan atau swasta. Ketiga karena kejujuran. Menurut penjelasannya hal tersebut merugikan, dan menyebabkan banyak orang yang tidak suka, apalagi dalam dunia bisnis. Keempat, karena kita masih harus banyak belajar, terangnya, sambil tersenyum mencibir. Benarkah?

Jika mempelajari jaringan kerja yang ada, meskinya ia positif, dapat aktif dan efesien”, lanjutnya. “Namun sayang ia hanya diperuntukkan bagi mereka yang berani membayar mahal saja. Bursa kerja juga demikian, terkadang ia sangat tidak nyaman dan dalam lingkup yang terbatas, disamping biaya yang relatif mahal. Bursa kerja hanya banyak dilakukan di kota-kota besar saja, tidak didaerah-daerah, hal tersebut setidaknya juga turut andil dalam proses besar terjadinya urbanisasi besar-besaran ke daerah perkotaan”. Sebenarnya bisa, katanya, sambil menjelaskan bahwa untuk meningkatkan kesempatan kerja tak bisa disangkal adalah melalui UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Data dari Bank Indonesia menunjukkan lebih dari 40 juta jiwa dari 210 juta lebih penduduk Indonesia menggantungkan harapan pada usaha kecil dan menengah. Lebih dari 3 juta UKM yang ada mencerminkan 96% dari total unit bisnis merefleksikan betapa UKM memang bisa menjadi tulang punggung perekonomian negeri ini.

Persoalannya, bagaimana UKM bisa menemukan lahan subur? Selama ini, program pemerintah untuk mewajibkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk menyisihkan 1 hingga 3 % keuntungannya guna pemberdayaan UKM kurang bekerja maksimal. Dari kacamata BUMN, pekerjaan ini mengurangi fokus mereka terhadap core bisnis. Disamping pembinaan UKM menjadi terkapling-kapling menurut kepentingan BUMN yang bersangkutan. Sebenarnya akan lebih berdaya, jika dana tersebut di pool kan oleh, katakanlah semacam badan khusus yang nantinya akan mengelola dana prioritas tertentu. Dengan demikian dana dari 158 lebih BUMN terjamin akan lebih terarah. Porsi UKM yang diberdayakan juga akan jelas, bukan lagi berdasarkan ego sektoral masing-masing BUMN, namun pengembangannya lebih didasarkan pada potensi UKM dengan kekuatan riilnya dalam membuka lahan untuk para pencari kerja.

Dilengangnya suasana malam, rekan saya masih menjelaskan bahwa perhatian terhadap nasib para pencari kerja ternyata hanya masih sebatas lipstick politik saja, hanya di atas kertas. Hingga saat ini jumlah pencari kerja tidak pernah berkurang, malah makin bertambah. Angka pengangguran di Indonesia untuk tahun 2005 ternyata cukup mencengangkan yakni mencapai sekitar 10,8 juta jiwa. Tahun 2006 hingga awal tahun 2007 diperkirakan akan menjadi titik balik pertumbuhan angka pengangguran tersebut. Relativitas jumlah penganggur yang saat itu 10,3 % pada akhir tahun 2009 diharapkan akan dapat ditekan hingga di bawah 6 % oleh pemerintah (Kompas, 28/01/2006).

Jumlah tersebut tentunya mengindikasikan kesenjangan antara jumlah tenaga kerja dengan tersedianya lapangan kerja. Menurut Sekjen Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi jumlah pengangguran tersebut didominasi oleh lulusan SLTP dan SLTA yakni sebesar 61% sedangkan lulusan SD kebawah sebesar 30% dan sisanya sebesar 7% yakni mereka yang mengantongi lulusan Perguruan Tinggi. Sedangkan dari setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya tercipta sekitar 200.000 kesempatan kerja baru. Jika dipridiksikan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 5% per tahun maka terdapat hanya sejitar 1 juta kesempatan kerja baru, ironisnya pertumbuhan tenaga kerja baru tiap tahunnya mencapai 2,5 juta jiwa.

Solusinya, seyogyanya dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya pemerintah menerapkan kebijakan yang ‘memihak’ pada kelompok yang marginal melalui perlindungan terhadap pengusaha kecil dan menengah dari dominasi perilaku ekonomi monopolistic. Peningkatan perluasan dan mempermudah perkreditan atau pembiayaan di industri permodalan lain yang lebih kondusif perlu ditinjau kembali. Selain itu program penanggulangan pengangguran, keterbelakangan, tingkat pendidikan yang rendah perlu dilengkapi dengan kebijakan-kebijakan “tindakan turun tangan” yang tentunya hal ini memiliki dampak strategis yang luas dan berjangka panjang. Jelasnya.

Namun tetap saja kita yang akan memberi arti, pada derap dan langkah kita, ujarnya. Karena menurutnya, ia tidak sendiri selaku pencari kerja, dan sayangnya dikebeliaan usinya, dan dimassa-massa produktivitasnya dalam menggeluti dunia kerja ia tidak dilibatkan. Belum ada kebijakan pemerintah untuk mempercepat proses pensiun bagi pegawai pemerintah yang sudah tidak produktif lagi, katanya. Dan bulan malam hanya tersenyum mendengarkan dialog kami. Malam itu.

Antara Cita-Cita Dan Kenyataan

Suatu hari dalam percakapan hangat dengan seorang kerabat, saya pernah menanyakan, mengapa ia berada ditempat ini, saat ini, selaku seorang staff pengajar disebuah sekolah, tepatnya disebuah madrasah pondok pesantren. Dengan bijak ia menjawab bahwa “kita ialah bagai seorang pengembara yang tidak pernah menemui fajar ditempat yang sama yang selalu bermimpi untuk dapat beristirahat detengah hutan yang lebat, dengan kicau burung kenari, dengan hamparan sawah menghijau dan hijau dedaunan pepohonan dengan udaranya yang bersih dan sejuk, namun kemudian akan kembali tersadar untuk dapat memberikan sepatah atau dua patah kata bijak”. Tiap kita lanjutnya, “dapat memberikan konstribusi apa saja untuk perjalanan panjang dan bekal negeri ini dengan mengukir goresan-goresan kecil meski itu membutuhkan setetes keringat, tetesan air mata penyesalan, atau hanya sekedar goresan luka kecil yang dibalut perban atau yang hal itu sangat tidak kita kehendaki”.

Sebelum kita dilahirkan dari dekapan kasih sayang dan senyum manis seorang ibu dengan perjuangan dan pengorbanan, semua kita merasa hidup sehidup-hidupnya dan itu tak kita sadari, dalam konteks keyakinan dalam keberagamaan, dengan sebuah ikrar untuk menepati, karenanya gunung pun menganggap kita sebagai mahluk, sebagai manusia teramat bodohnya. Dan satu hal tidak dapat disangkal selama itupun kita memiliki sesuatu yang bernama cita-cita, obsesi, keinginan. Itulah yang oleh kebanyakan kita biasa menyebutnya dengan sebuah fitrah insaniah.

Dalam kesempatan ini, saya kembali teringat oleh sobat kecil, ya si Ari kecil yang saat itu sedang asyiknya bermain perang-perangan dengan teman sebayanya, Ardin. Sesaat setelah beristirahat sejenak saya menyempatkan diri untuk dapat bercakap dan bercengkerama sembari menanyakan jika kelak ia telah dewasa ia bercita-cita sebagai apa. “Jendral”. Jawabnya polos dengan penuh kepercayaan diri, dan kembali berlari kecil melanjutkan permainan yang masih belum usai. Atau si Wiwin sang anak tetangga yang gemar bermain boneka panda, saat saya menanyakan cita-cita yang ia inginkan jika kelak ia beranjak dewasa. “Dokter”. Jawabnya. Dan inipun juga berlaku bagi diri anda, dan begitu juga saya atau bahkan kita semua. Saya rasa tidak ada seorangpun yang bercita-cita untuk menjadi seorang pengemis, penganggur, atau kriminal.

Dalam lain waktu, saat perkuliahan akta IV kependidikan di FKIP Universitas Mataram, saya juga pernah menanyakan pada salah seorang kerabat, bagaimana hingga ia bisa duduk saat ini, disamping saya, dengan bercerita panjang lebar dan dengan nada sedikit penyesalan ia menjawab bahwa dalam kamus cita-cita yang ia miliki, tidak pernah ia menggoreskan pena kecilnya untuk dapat duduk saat ini disamping saya untuk menjadi calon seorang guru. Entah hal apa yang membuat kerabat saya merasa seperti itu.

Dalam menjalani kolektivitas komunitas kehidupan yang kian kompleks dengan diiringi globalisasi dan tehnologi yang merupakan anak jenius ilmu pengetahuan yang berambisi untuk menjadi Tuhan dengan menundukkan ruang, waktu juga jarak sebagai derivatnya umur yang makin bertambah dan usia hidup yang makin berkurang. Tanpa kita sadari ternyata cita-cita berjalan bergandengan dengan laju perkembangan intelektualitas, sosialitas dan kejiwaan yang selalu bergerak dinamis mengikuti alur kehidupan kita, hingga pada akhirnya kita dituntut untuk menjawab siapakah yang memilki hak atas cita-cita itu sebenarnya? Selaku individu yang memiliki kebebasan, secara pribadi kita mungkin ingin menjawabnya, dan jawaban itupun tidak ada yang dapat mempersalahkannya karena ia merupakan fitrah itu sendiri.

Namun demikian tetaplah jua kita meski menoleh pada apa yang namanya keterbatasan, selaku pribadi atau secara kolektif. Dan banyak juga kita mendengar, membaca atau menyaksikan bahwa untuk menempatkan keterbatasan itu pun terkadang tidak pada tempatnya. Kita mungkin kecewa, patah hati, iri, dengki, dendam, atau menyalahkan yang menurut kita ia berhak mendapatkan hal itu, atau bahkan ada yang melantunkan takdir tidak berpihak, dewi fortuna tidak mendukung atau bahkan ada yang melantunkan bahwa Tuhan telah bosan. Apakah kita terlalu arogan? Sehingga terlepas dari pengendalian diri (self control). Yang seharusnya hal itu lebih dapat menyemangati kita untuk dapat meraih sesuatu yang belum dapat kita raih dikarenakan usaha yang kita lakukan masih belum optimal. Untuk dapat menggapai cita-cita untuk menjadi sebuah kenyataan yang benar-benar hadir dalam kehidupan, untuk diri kita dan orang lain.

Dan kitapun menyadari bahwa kita adalah mahluk tempatnya khilaf dan lupa, itulah kita, manusia, selaku mahluk yang belum banyak mengetahui, belum banyak mengerti, patutkah kita menyalahkan diri, atau ibu yang telah melahirkan kita, atau takdir yang tidak berfihak, betapa arogannya kita.

Dimana letak kata malu dalam kamus keseharian kita, pada guru yang telah mengajari kita berfikir dan berzikir, pada kasih sayang seorang ibu, pada ketulusan perjuangan seorang ayah. Semoga kita tidak sampai menghujat Tuhan dan mempersalahkan-Nya. Karena dengannya tidak harus kita mengubah atau mendendam atas nama keterbatasan, mengubah jalan hablumminAllah dan hablumminannas dengan kecurigaan dan su’udzon yang dengannya kita harus saling mempersalahkan. Na’udzubillah min dzalik.

Dari Abu Bakar r.a. kita belajar akan arti ketaatan, dari Umar Ibnu Khattab r.a. kita belajar arti kebijaksanaan, dari Ali Bin Abi Thalib r.a. kita belajar berwawasan dan berpengetahuan, dan dari Usman Bin Affan r.a. kita belajar akan arti kedermawanan, dan hal itu merupakan salah satu bagian terkecil dari samudra keluasan hikmah yang dapat kita pelajari dan tauladani. Yang dengannya kita dapat kembali memekarkan cita-cita baru untuk sebuah perjalanan panjang, dalam waktu dan ruang, dalam jarak yang baru. Bukankah dengan keterbatasan dan memahami makna kegagalan itulah hal terbaik yang kita peroleh dari sebuah hikmah kehidupan yang dianugrahkan-Nya pada kita agar kita kembali dapat berfikir, agar kita bahagia dalam dua makna.

Namun jika luka masih membekas, tergores dan menyisakan kepedihan, bukankah bukan hanya kita saja yang memahami, kita banyak belajar dari jatuh dan bangunnya sebuah peradaban, dari kebahagiaan dan kesengsaraan para aktor sejarah. Merekalah orang pilihan yang telah dianugrahkan. Lalu patutkah kita menyamakan antara orang yang buta dan yang melihat? Orang yang berfikir dan orang yang tidak berfikir? Dan semua itu berlaku untuk kita, manusia. Kita yang pada saat ini mungkin menggeleng karena menyaksikan ketidaksamaan antara cita-cita dan kenyataan, namun dalam waktu yang lain boleh jadi kita akan mengangguk bersama, se-iya, bilamana kita mengetahui prediksi dan interpretasi paradigmatik telah sampai pada tangga kebenaran, yang tetap memiliki nilai relativitas, dan dalam kebijakan dalam dimensi yang maha luas.

Dan untuk saat ini, cukuplah kiranya jika kita mampu untuk memahami dan menikmati apa yang kita terima sebagai karunia yang telah ia tetapkan dari apa yang telah kita usahakan. Bukankah telah banyak kebahagiaan, cita-cita lain yang telah terwujud, yang karena tersandungnya langkah kecil untuk melangkah tidak lantas menyebabkan kita untuk berhenti melangkah. Bukankah dengan berhenti sejenak kita kembali diberi kesempatan untuk dapat beristirahat, melanjutkan perjalanan, menyusun strategi baru untuk kembali memenangkan sebuah perjuangan.

Dan bagi yang merasa itu tidak cukup, untuk saat ini mari kembali, kita meluruskan kembali apa yang kita rasa telah menyimpang, ketulusan niat, kesucian hati, penyimpangan yang terjadi. Membenahi langkah dan cita-cita yang tertunda dan ditunda, “berkaca lagi” kata Ari, “introspeksi” diri kata Wiwin, “evaluasi dan analisa kembali” kata Iwan yang mahasiswa. Penulis menyadari tulisan ini tidak mudah implementasinya, namun bukankah kita kembali akan belajar bersama saling menasihati dalam amar ma’ruf nahi munkar, dalam kebaikan dan takwa dan tidak sebaliknya?

Memecahkan Masalah : Analisis Berfikir Sistem

Dalam kehidupan sehari-hari, kita selaku individu tentu tidak akan luput dari beragam permasalahan, seakan-akan kenyataan ini telah menjadi satu kesatuan yang telah ditetapkan. Ketidaksiapan kita selaku individu inilah yang justru cenderung menyebabkan timbulnya ragam permasalahan itu sendiri. Dilatarbelakangi oleh hal tersebut, penulis mencoba menganalisis dari sudut pandang berfikir sistem yakni yang ditujukan untuk pemecahan masalah tersebut. Kecendrungan menggunakan kata pemecahan dalam kajian kali ini karena disadari kata memecahkan lebih dapat mewakili dibanding bentuk akar kata yang lain semisal menghindari. Dalam kenyataannya masalah justru tidak dapat dihindari namun harus dipecahkan. Selain hal tersebut pengertian Kamus (KBBI, 2001) untuk kata ini yakni mengatasi atau menyelesaikan, membuat menjadi tidak bersatu atau menceraiberaikan dan membagi-bagi, karenanya penggunaan padanan kata ini penulis rasa lebih tepat untuk pandangan atau analisis berfikir sistem.

Latar belakang kajian kali ini yakni selain tersebut di atas, juga penulis terinspirasi dari buku karya Purnomisidi Hadjisaroso, yakni Total Manajemen Sunnatullah. Disamping itu mata kuliah berfikir sistem penulis rasa dapat diterapkan walau dalam lingkup yang lebih kecil untuk kajian yang diangkat kali ini, dan terakhir kajian kali ini juga terlahir dari hasil membaca buku yang berjudul Petunjuk Hidup Tentram dan Bahagia oleh Dale Carnegie. Demikian pula disadari penulisan kajian kali ini masih jauh dari sempurna. Berikut uraiannya.

Poernomosidi H. menyamakan arti berfikir sistem dengan menelusuri kerangka berfikir sistem, dan atau tergolong dalam ragam perbuatan berfikir, menurut Beliau menelusuri kerangka berfikir yakni perbuatan berfikir meloncat-loncat yang dilakukan tanpa bantuan sarana, langsung dan hanya mengandalkan perbendaharaan pengetahuan yang dimiliki semata. Ilustrasi untuk pemikiran tipe ini yakni seorang anak yang menaiki tangga, tanpa melalui tahap demi tahap secara berurutan, akan tetapi dengan langsung melewati salah satu atau beberapa tangga sebelumnya. Kedua yakni perbuatan berfikir berurutan, yang dilakukan dengan menelusuri kerangka berfikir sistem -setahap demi setahap- dan dibantu oleh sarana untuk berfikir dan ditunjang oleh panca indera dengan otak sebagai alat berfikir, artinya dalam kerangka berurutan ini seorang pemikir akan kembali menelusuri penyebab secara berurutan sehingga akibat itu terjadi.

Karena hal tersebut di atas maka pengertian kerangka berfikir yang menampung hubungan sebab akibat dapat dijabarkan kedalam dua tindakan yakni: Pertama, mengembalikan atau mengkatagorikan setiap hal yang difikir kedalam bentuk ataupun prosesnya. Kedua, merangkai hal-hal yang difikir dengan menggunakan hubungan masukan-keluaran (input-output).

Dalam tindakan pertama yakni hal-hal yang difikir masih dalam keadaan berdiri sendiri, tidak dihubungkan satu dengan yang lain atau belum terangkai. Dalam tindakan ke dua yakni hubungan masukan-keluaran pada hakikatnya ialah menetapkan status yang dalam hal ini dapat kita katakan sebagai Problem Question (mendalami inti masalah dan datanya) dan Implication Question (potensial masalah yang terjadi sebagai akibat dari masalah sebelumnya) terhadap masing-masing “proses” yang bersangkutan.


Dua Hal Yang Karakteristik

Dikatakan demikian karena keduanya memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lain, yakni sebagai berikut : pertama, kepentingan yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2001) diartikan sebagai keperluan atau kebutuhan yang menampakkan diri dalam bentuk sederhana yakni keinginan, dan apa yang menjadi syarat atau batasan hal tersebut, sehingga antara keinginan dan syarat atau batasan menghendaki agar sesuatu itu terpenuhi, dalam hal ini pemecahan masalah, karena itulah dibutuhkan hal yang kedua, yakni upaya yang diperlukan untuk memenuhi kepentingan yang terus berputar dalam kehidupan dan berlangsung disekitar dan seumur hidup kita.

Sebagai hal yang difikir keinginan atau yang diinginkan dapat dikembalikan kedalam bentuknya yang sederhana yakni Problem Question dan Implication Question dan “proses” maka yang diinginkan dalam hal ini dapat diistilahkan sesbagai “Sasaran Pemecahan”. Jika keinginan atau yang diinginkan termasuk katagori “proses” maka istilah yang tepat untuk digunakan ialah “Tujuan Pemecahan” dalam hal ini yakni sasaran pemecahan masalah dan tujuan pemecahan masalah.

Hubungan sebab akibat antara sasaran pemecahan masalah dan tujuan pemecahan masalah analog dengan yang berlaku antara problem question dan implication question juga dengan proses. Maka dengan dilibatkannya aspek kepentingan atau keinginan, perbedaan status problem dan implication question membawa kepada tingkat kepentingan atau keinginan, sama-sama diperlukan antara problem question dan implication question dan keduanya berstatus output (keluaran) yakni akan berkedudukan lebih penting daripada berstatus input (masukan). Dalam hubungan itu maka pertama, yang termasuk katagori problem question dan implication question berstatus output (keluaran) disebut sasaran pokok atau sasaran utama. Kedua, yang termasuk katagori problem question dan implication question berstatus input (masukan) disebut sasaran penunjang.

Sebagai hal yang difikir upaya yang diperlukan untuk memenuhi kepentingan atau keinginan dapat dikembalikan dalam bentuk problem question dan implication question ataupun proses, karena merupakan kejadian maka upaya itu dapat digambarkan kedalam bentuk-bentuk kumpulan proses yakni kumpulan proses yang terikat pada tujuan dan kumpulan problem question dan implication question yang terikat pada tujuan. Dengan demikian, maka salah satu pusat dari kumpulan proses yang terikat pada tujuan akan berupa proses pokok dengan sasaran pokok dan sasaran penunjang, sehingga jika ditinjau dari aspek kepentingan atau keinginan tujuan pokok akan lebih panjang dan lebih utama dari pada tujuan penunjang.

Dari rumusan di atas maka dapat diketahui tindakan menelusuri kerangka berfikir sistem dari Poernomosidi H. difokuskan pada dua hal yang karakteristik sifatnya dalam kehidupan yang akan memberi hasil berupa “sistem” yang dapat diartikan sebagai suatu petunjuk yakni keinginan atau upaya untuk mencapainya. Karena hal tersebut maka unuk manyatakan keinginan dapat dilakukan dengan istilah tujuan yang mewakili sasaran. Dan untuk menyatakan upaya dapat digunakan istilah masalah dalam hal ini yakni upaya untuk memenuhi keinginan atau kepentingan.

Nampaknya penjabaran berfikir sistem oleh Poernomosidi H. sesuai dengan yang dirumuskan oleh Pritjop Capra dalam bukunya Titik Balik Peradaban yang dirumuskan berfikir sistem sebagai berfikir proses, bentuk dikaitkan dengan proses, interelasi dengan interaksi dan pertentangan-pertentangan disatukan melalui osilasi. Dengan kata lain cara berfikir sistem ini merupakan proses berfikir yang terdiri dari beberapa bagian yang lebih kecil dari bagian tersebut yang secara bersama-sama menjalankan fungsinya untuk merumuskan tujuan dalam hal ini yakni memecahkan masalah.


Pemecahan Masalah

Masalah dalam kerangka berfikir sistem dirumuskan sebagai suatu upaya yang diperlukan untuk memenuhi keinginan dengan kata lain masalah dikenali dalam upaya mengetahui keinginan yang hendak dicapai. Pemecahan masalah dalam kerangka berfikir sistem lebih dikenal dengan istilah metode analisis sistem. Dalam kajian ini kita sebut sebagai analisis berfikir sistem.

Sebenarnya, bentuk analisis berfikir sistem ini telah dirumuskan oleh Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah-nya yang mengambil intisari tentang pembangunan sebuah atap untuk dijadikan sebagai tempat bernaung, selanjutnya dengan menggunakan alat berfikir kita akan berpindah dari pemikiran tentang atap ke dinding yang akan menyangganya, selanjutnya ke pondasi yang akan menjadi dasar bagi dinding itu. Menurut Ibnu Khaldun disinilah fikiran akan berakhir, dan pekerjaan tersebut akan dimulai dengan pembuatan pondasi bangunan tersebut, lalu dinding selanjutnya atap. Atap merupakan pekerjaan terakhir dan pada yang demikian inilah terdapat arti kalimat “permulaan pekerjaan merupakan akhir dari fikiran dan permulaan fikiran merupakan akhir dari pekerjaan”.

Hal inilah yang merupakan hakikat kerangka berfikir sistem yakni pemikiran dimulai dari sesuatu yang datang terakhir di dalam rentetan kausal, sedang pekerjaan dimulai dengan sesuatu yang menjadi permulaan dalam rentetan kausal, dimana pemikiran mencapai puncaknya yang terakhir sekali, tatanan ini diperhitungkan dan tindakan-tindakan manusia berjalan dalam cara yang benar dan teratur.


Analisi Berfikir Sistem

Terdapat beberapa langkah dalam rangka berfikir sistem untuk memecahkan sesuatu masalah yang oleh Dale Carnegie dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yakni apa, mengapa, bilamana, bagaimana, dimana dan siapa. Namun untuk lebih memperjelas penerapan analisis berfikir sistem Di dalam kerangka memecahkan masalah terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan, yakni : Pertama menetapkan tujuan yang merupakan upaya untuk memenuhi kepentingan. Al Qur’an menyebutkan bahwa segala sesuatu harus didahului dengan niat, yang merupakan implementasi dari sebuah upaya yang akan datang, direncanakan dan bersifat abstrak. Dengan demikian pencapaian tujuan merupakan proses yang ditentukan oleh input-input pendukung dan do’a yang merupakan usaha untuk dapat menghadirkan kepentingan yang diharapkan.

Hasil dari upaya untuk memenuhi kepentingan inilah yang lazim disebut pemecahan masalah atau sasaran pemecahan masalah. Kedua, penetapan sasaran, yang merupakan kepentingan yang dalam kerangka berfikir sistem terdiri dari kepentingan utama dan kepentingan penunjang. Dikatakan sebagai kepentingan utama jika berada pada pilihan prioritas tertinggi yang harus diadakan atau dihadirkan. Kepentingan bermuara pada apa dan siapa atau dalam bentuk apa wujudanya untuk memenuhi kebutuhan sehingga sasaran pemecahan yang diinginkan dikatagorikan sebagai “hal” yang diinginkan dan bersifat riil, artinya disifati dengan panca indera, sasaran ini bisaanya disifati waktu dan situasional.

Hal yang diinginkan dapat pula tidak bersifat riil, dalam arti non materiil, dan hal ini tidak disifati dengan menggunakan panca indera. Ketiga, latar belakang masalah, yang merupakan usaha untuk menggali sebab timbulnya masalah yang dihadapi, detail, lengkap, apa adanya tidak ditutup-tutupi, isinya yakni situasional saat terjadi masalah atau setting kejadian masalah. Keempat, rumusan masalah, yang merupakan upaya untuk menghadirkan sasaran pemecahan masalah yakni dengan menjelaskan bagaimana sasaran itu dapat dicapai pada dataran idealnya sehingga dapat dirumuskan dalam sebuah pertanyaan tentang bagaimana caranya menghadirkan sasaran pemecahan masalah utama. Kelima, timbulnya persoalan yang merupakan ketidaksiapan proses mengartikan, menghadirkan sasaran pemecahan masalah utama, proses melibatkan berbagai faktor yang berpengaruh pada upaya pencapaian tujuan. Keenam, penyebab timbulnya persoalan, persoalan tentunya didahului oleh adanya penyebab, dengan kata lain adanya hubungan sebab akibat, penyebab ini dapat lebih dari satu karena itulah untuk mengungkap hal tersebut dibutuhkan referensi dari berbagai literatur, atau yang berupa peristiwa sebelumnya, dapat juga dilakukan dengan menggali pengalaman dari orang lain.

Hal ini diperlukan karena sifat kejadian atau proses merupakan suatu pengulangan dan yang harus dicermati dan difahami ialah hasil pengulangannya tidak akan sama persis dengan yang sebelumnya terjadi. Ketujuh, alternative penyelesaian persoalan yang berupa bentuk pilihan dan dapat memberi kebebasan pada kita tentang bagaimana menyelesaiakn persoalan yang muncul, yakni dengan cara menyiapkan variable-variabel yang tidak atau kurang memadai pada faktor yang terdapat persoalan padanya sehingga upaya pencapaian tujuan peyelesaian persoalan dapat tercapai. Kedelapan, langkah penyelesaian persoalan, hal ini berisi pilihan prioritas dari berbagai alternative yang ditawarkan untuk membuat keputusan yang tepat dan hal ini harus didasari pada dampak keputusan yang berpengaruh pada upaya pencapaian tujuan, berjenjang dan terstruktur yakni dapat menjawab dari persoalan utama kepersoalan yang lebih kecil dan penyelesaian disesuaikan dengan keadaan atau situasional sehingga harus bersifat riil dan tepat waktu. Sembilan, rencana tindak lanjut, yang merupakan rangkuman untuk evaluasi hasil keputusan pemecahan masalah yang diambil.

Mengakhiri kajian kali ini yakni uraian yang penulis tawarkan dalam kaitannya dengan tema yang diangkat, menurut Einsten karena disadari bahwa setiap permasalahan yang timbul tidak dapat diselesaikan pada saat atau bertepatan saat masalah itu terjadi.


Pekerja Anak : Kepedulian Setengah Hati

Seorang pejabat daerah, berkopiah hitam. Menenteng lembaran Koran dengan dasi necis melingkar dilehernya pernah menyatakan pada saya, tatakala saya tengah duduk diperempatan Saparua, sebuah kota kecil. Praya di Kabupaten Lombok Tengah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Melihat beberapa orang anak yang menawarkan jasa parkiran untuk kendaraan roda dua yang parkir disekitar areal tersebut.

Mereka adalah generasi penerus bangsa ini, hingga saat ini mereka harus dipersiapkan untuk menghadapi hari esok” sembari memberikan pecahan uang koin Rp. 500,- Ia menghidupkan mesin motornya, sambil tersenyum dan mengatakan “assalamu’alaikum” yang menyatakan ia akan berlalu dari tempat ini. Serta merta saya bangkit dari tempat saya duduk dan mengatakan “tidak”. Pajabat daerah itu terperanjat sembari menoleh sambil menatap saya penuh selidik atas apa yang saya katakan “jika dengan apa yang telah Bapak lakukan, Bapak juga telah turut andil dalam menguatkan fondasi, turut mempekerjakan mereka, yang semestinya saat ini dimana ia bisa belajar, bermain, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif, dimana semestinya kita mesti ikut mempersiapkan hal tersebut, bukankah demikian? Bagaimana mereka akan dapat menjadi harapan bangsa, tumbuh menjadi anak yang sehat jasmani dan rohani serta menjadi sumber daya yang berkualitas di masa yang akan datang, jika sedini mungkin mereka harus membanting tulang untuk bekerja, sungguh hal tersebut sangat memprihatinkan”. Pejabat daerah tersebut menoleh pada beberapa anak yang ada disana. Terlihat jelas dalam raut mukanya bahwa ia merasa tidak puas atas alasan yang telah saya kemukakan. Ia mengerenyitkan kening.

Saya lanjutkan “seharusnya mereka dijamin hak-haknya, mendapatkan pendidikan, perawatan kesehatan, hingga tempat mereka bermain. Mengingat masa-masa mereka adalah masa tumbuh kembang, baik fisik maupun kejiwaan mereka. Maka idealnya mereka harus terhindar dari berbagai situasi dan kondisi yang tidak kondusif”. Tanpa terlintas keinginan untuk menggurui, menyesali tindakan atau merendahkan saya ucapkan kalimat di atas. Dan saya mengucapkan hal tersebut bukan tanpa pertimbangan. Karenanya izinkan saya menyusun argumen untuk memperkuat apa yang telah saya ucapkan.

Alasan ini juga didasarkan atas pertimbangan keadaan sosial, ekonomi, budaya, politik yang telah mengakibatkan tidak sedikit anak-anak Indonesia yang meski kehilangan hak-haknya. Salah satu bentuknya yakni dimana anak harus terjun kedunia kerja. Hal ini misalnya dialami One, bocah yang masih kelas 4 SD di Tanjung, Bima yang menjalani tugas rutinnya sebagai tukang parkir (NTB Post, 03/03/2006) atau Atin, seorang anak pengamen jalanan yang berlarian memanfaatkan lampu merah yang masih menyala untuk menyanyikan lagu kepada para pengguna jalan diperempatan kawasan industri Pulogadung Jakarta Timur (Kompas 01/04/2006). Atau Riska Amelia (9 Tahun) siswa SDN Kanani 05 Pagi Jakarta yang harus bekerja menjual Koran sepulang sekolah dikawasan Tugu Tani Jakarta Pusat dan penghasilan tersebut ia gunakan untuk membiayai sekolahnya (Kompas, 12 Oktober 2005). Hal serupa tidak terkecuali dialami juga oleh anak-anak yang ada di daerah ini, perempatan Saparua Praya, Pasar Kebon Roek Ampenan-Mataram, Kawasan Mall Mataram, Lebuhan Lembar, Kahyangan, Labuhan Padang Bai, Pelabuhan Ketapang dan beribu tempat lain dinegeri ini.

Seiring dengan kemajuan budaya dan iptek, prilaku manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multikompleks. Prilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada prilaku yang dapat dikatagorikan sesuai dengan norma dan ada yang dapat dikatagorikan tidak sesuai dengan norma. Terhadap prilaku yang sesuai dengan norma (hukum) yang berlaku tentunya tidak dipandang sebagai sebuah penyelewengan, tetapi terhadap prilaku yang tidak sesuai dengan norma dapat menimbulkan permasalahan dibidang hukum. Penyelewengan hukum ini kemudian dianggap sebagai sebuah pelanggaran atau kejahatan terhadap hokum. Kondisi tersebut sungguh memprihatinkan, namun diakui atau tidak, sadar atau tidak mempekerjakan anak bagi sebagian masyarakat merupakan kebutuhan. Hal ini terutama dialami oleh mereka yang tergolong keluarga miskin, dan pada gilirannya hal tersebut sangat sulit untuk dihapuskan, namun setidaknya dibutuhkan upaya dan strategi berkesinambungan yang menyeluruh untuk mengurangi dan menghilangkannya.

Pekerja anak didefinisikan sebagai anak-anak yang bekerja pada usia dini (menurut UU Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah dibawah umur 18 tahun). Yang karena kondisi ekonomi atau kondisi lainnya terpaksa bekerja dengan upah yang sangat buruk, jam kerja melebihi 20 jam per minggu dan belum atau tidak pernah sekolah atau tidak bersekolah lagi atau putus sekolah. Dengan demikian anak secara langsung atau tidak telah memasuki proses permintaan dan penawaran sebagai barang yang digunakan dan dibuang. Pekerja anak ini tidak hanya terjadi dinegara-negara miskin berkembang, namun terjadi juga dinegara maju. Namun motif yang melatarbelakangi pekerja anak inilah yang membedakan. Dinegara maju, anak-anak bekerja untuk uang saku, sedangkan dinegara miskin-berkembang anak-anak bekerja untuk membantu penghasilan keluarga. Dan tingkat perlakuannya dengan demikian berbeda pula. Di negara miskin-berkembang pekerja anak-anak sangat rentan terhadap misalnya eksploitasi dan dipekerjakan dalam lingkungan yang membahayakan.

Contoh untuk keadaan ini misalnya terjadinya ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) yang berdasarkan data UNICEF telah mencapai 40 – 70 ribu menjadi korban prostitusi di Indonesia. Dan menurut data Polda NTB tercatat 25 anak mengalami pelecehan seksual pada tahun 2005 (Lombok Post, 08/04/2006). Hingga tahun 2000 saja berdasarkan data SUSENAS 2000 KOR. Anak-anak usia 10 – 14 tahun sebanyak 20.640.950 jiwa sebagai pekerja. Dan jumlah pekerja anak di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebanyak 1.394.824 jiwa dari jumlah tersebut 82% dipedesaan dan 18% diperkotaan. (Edi Suharto, 2002.).

Selain kemiskinan masih banyak faktor yang menyebabkan anak bekerja, misalnya rendahnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang berpengaruh terhadap adanya pekerja anak, disamping itu pengaruh gaya hidup materialisme dan konsumerisme juga turut andil dalam hal ini (Irwanto, 1999). Adanya pihak-pihak tertentu yang melakukan eksploitasi terhadap anak dengan melihat adanya “peluang” terhadap anak untuk disuruh melakukan apa saja, tidak berdaya. Disamping itu, masalah sosial budaya juga dapat menjadi penyebab mengapa tumbuh pekerja anak. Misalnya hal tersebut diakibatkan karena anak harus ‘nurut’ jika disuruh bekerja oleh orang tuanya, untuk ‘pengalaman’ si anak dimasa depan, atau disebabkan ketidakharmonisan hubungan keluarga yang dialami oleh anak dalam keluarganya.

Dampak dari pekerja anak terhadap anak sendiri dapat berakibat pada terhambatnya proses tumbuh dan berkembangnya, baik secara fisik, kognitif, emosional dan pergaulan anak dalam lingkungannya dan masyarakat. Meskipun dengan telah dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE.12/M/BW/1997 yang memuat tentang peraturan mengenai tugas-tugas yang tidak dapat ditolerir untuk diberikan kepada pekerja anak. Namun surat edaran tersebut ternyata tidak cukup efektif untuk mengurangi eksploitasi terhadap pekerja anak.

Karenanya beberapa langkah seperti pengefektifan dana Bantuan Operasional Siswa (BOS) segera dilakukan oleh sekolah, misalnya dengan merangsang atau mempertahankan anak untuk tetap sekolah, pengaturan waktu sedemikian rupa untuk menumbuhkan minat belajar dan rasa butuh terhadap sekolah bagi anak-anak. Disamping itu ‘pungutan liar’ agar dapat ditiadakan. Disisi lain sekolah juga meski memperhatikan keperluan anak, misalnya dalam hal seragam sekolah, buku-buku pelajaran, alat-alat tulis bahkan bila perlu sekolah menyediakan makanan atau snack untuk anak agar tidak lagi bekerja hanya untuk mencari uang jajan disekolah atau untuk membiayai keperluan sekolah.

Kedua, pendidikan informal pun juga harus diperbanyak, terutama bagi anak yang terlanjur putus sekolah. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja yang dalam hal ini bertanggung jawab dalam tingkatan Propinsi, kabupaten dan kota dalam hal ini hendaknya dapat memberikan kemungkinan-kemungkinan memberikan pendidikan informal dengan bekerja sama dengan lembaga atau instansi terkait melayani dan memberikan suatu metode yang menarik bagi anak, dan tidak hanya diberikan dalam bentuk uang saja misalnya. Sebagaimana yang dilakukan pada 22/23 Januari 2006 lalu. Bentuk-bentuk pendidikan informal yang dapat diberikan misalnya berupa kursus keterampilan, seperti menjahit, montir, elektronik, bahasa dan sebagainya yang siap pakai. Disamping itu anak-anak tersebut juga meski dibekali dengan alat-alat keterampilan tersebut agar dapat langsung mereka terapkan dilingkungan masing-masing.

Ketiga, mengingat pekerja anak tidak dapat dihapuskan, namun demikian dapat dikurangi yang dengannya pemerintah berkewajiban memberdayakan keluarga si anak yang menjadi pekerja anak. Disamping itu pengaturan jam kerja maksimal bagi anak, upah dan jenis pekerjaan mesti diatur dalam peraturan daerah tersendiri. Mengingat situasi dan kondisi dunia kerja yang masing-masing daerah berbeda-beda. Disamping itu hal tersebut juga bertujuan untuk menghilangkan eksploitasi pekerja anak.

Melalui beberapa langkah dan tindakan-tindakan nyata tersebut di atas semoga kesadaran untuk tidak mempekerjakan anak bahkan menghapuskannya sama sekali dapat meningkat disemua kalangan dan semua sektor dalam dunia kerja. Dan anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dalam dunia yang lebih kondusif karena sekali lagi merekalah yang akan memegang tongkat estafet memanej negeri ini.

Islam mengasosiasikan anak sebagai mahluk ciptaan Allah swt yang sangat lemah dan berkedudukn mulia yang keberadaannya melalui proses penciptaan yang berdimensi pada kewenangan Allah swt. Penjelasan mengenai status anak ditegaskan dalam firman Allah swt yang artinya “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak adam, kami angkut mereka didaratan dan dilautan, kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah kami ciptakan”

Untuk bertindak hukum patut dipertimbangkan mengenai cakap atau tidaknya seseorang. Dalam ushul fikih kemampuan bertindak disebut dengan istilah ahliyah (Rahmat Syafi’I, 1999). Secara etimologi berarti kecakapan menangani urusan. Secara terminology merupakan suatu sifat yang dimiliki oleh seseorang yang dijadikan ukuran oelh syar’I untuk menentukan seseorang telah cakap dikenakan tuntutan syara’.

Pembagian ahliyah (Wahbah az-Zuhaili, 1986) :

1. ahliyah al-wujuh : kecakapan seseorang untuk menerima hak dan kewajiban.

    1. ahliyah al-wujuh an naqisah : anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin sudah dianggap memiliki ahliyah al wujuh tetapi belum sempurna

    2. ahliyah al-wujuh al-kamilah : kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir kedunia dan dibebani berbagai kewajiban.

2. ahliyah al-ada : sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif ataupun negative.

Dalam status ahliyah al-wujuh (baik yang sempurna atau tidak) tidak dibebani tuntutan syara’ baik bersifat ibadah mahdah, seperti sholat, puasa maupun yang sifatnya tindakan-tindakan hukum duniawi, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik. Akan tetapi, menurut kesepakatan ulama, apabila mereka melakukan tindakan hukum yang bersifat merugikan orang lain, maka orang yang telah berstatus ahliyah al-ada’ atau ahliyah al-wujuh al-kamilah wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya. Wajib memberikan hartanya jika tindakan yang dilakukan berkenaan dengan harta orang lain. Pengadilan berhak memerintahkan wali atau washi anak kecil yang masih dalam ahliyah al-wujuh untuk mengeluarkan ganti rugi terhjadap harta orang lain yang dirusak oleh anak tersebut.

Jika tindakan yang dilakukan oleh ahliyah al-wujuh al-kamilah berkaitan dengan hal-hal yang bersifat fisik, seperti melukai seseorang atau bahkan membunuhnya, maka tindakan hukum anak tersebut belum dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Maka hukuman terhadap pembunuha yang dilakukan oleh anak yang berstatus ahliyah al-wujuh al-kamilah tidak dijatuhkan dengan qishas, tetapi dianggap melukai atau pembunuhan semi sengaja, yang hukumannya dikenakan diyat.

Akhirnya mengakhiri argumentasi ini penulis mengutip puisi Rudiawan Triwidodo dalam sajak “Do’a Dibibir Sumur” ketika ia mengharapkan “tetesan Air Mata Tuhan” (Abdurrahman Wahid, 2000)

Agar tersedu tangis kami dengan wajar

Sebab, hampir terlupa bagaimana kami

Harus menangis

Dengan benar

Mensyukuri berkat dan rahmat-Mu

Yang melimpah

Diluar sadar kami

Agar busah sumur-sumur kami

Tersiram air kasih yang memancar dari

Sumber keMahaanMu

Amin ”.



© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id