Selasa, 27 Oktober 2009

Antara Cita-Cita Dan Kenyataan

Suatu hari dalam percakapan hangat dengan seorang kerabat, saya pernah menanyakan, mengapa ia berada ditempat ini, saat ini, selaku seorang staff pengajar disebuah sekolah, tepatnya disebuah madrasah pondok pesantren. Dengan bijak ia menjawab bahwa “kita ialah bagai seorang pengembara yang tidak pernah menemui fajar ditempat yang sama yang selalu bermimpi untuk dapat beristirahat detengah hutan yang lebat, dengan kicau burung kenari, dengan hamparan sawah menghijau dan hijau dedaunan pepohonan dengan udaranya yang bersih dan sejuk, namun kemudian akan kembali tersadar untuk dapat memberikan sepatah atau dua patah kata bijak”. Tiap kita lanjutnya, “dapat memberikan konstribusi apa saja untuk perjalanan panjang dan bekal negeri ini dengan mengukir goresan-goresan kecil meski itu membutuhkan setetes keringat, tetesan air mata penyesalan, atau hanya sekedar goresan luka kecil yang dibalut perban atau yang hal itu sangat tidak kita kehendaki”.

Sebelum kita dilahirkan dari dekapan kasih sayang dan senyum manis seorang ibu dengan perjuangan dan pengorbanan, semua kita merasa hidup sehidup-hidupnya dan itu tak kita sadari, dalam konteks keyakinan dalam keberagamaan, dengan sebuah ikrar untuk menepati, karenanya gunung pun menganggap kita sebagai mahluk, sebagai manusia teramat bodohnya. Dan satu hal tidak dapat disangkal selama itupun kita memiliki sesuatu yang bernama cita-cita, obsesi, keinginan. Itulah yang oleh kebanyakan kita biasa menyebutnya dengan sebuah fitrah insaniah.

Dalam kesempatan ini, saya kembali teringat oleh sobat kecil, ya si Ari kecil yang saat itu sedang asyiknya bermain perang-perangan dengan teman sebayanya, Ardin. Sesaat setelah beristirahat sejenak saya menyempatkan diri untuk dapat bercakap dan bercengkerama sembari menanyakan jika kelak ia telah dewasa ia bercita-cita sebagai apa. “Jendral”. Jawabnya polos dengan penuh kepercayaan diri, dan kembali berlari kecil melanjutkan permainan yang masih belum usai. Atau si Wiwin sang anak tetangga yang gemar bermain boneka panda, saat saya menanyakan cita-cita yang ia inginkan jika kelak ia beranjak dewasa. “Dokter”. Jawabnya. Dan inipun juga berlaku bagi diri anda, dan begitu juga saya atau bahkan kita semua. Saya rasa tidak ada seorangpun yang bercita-cita untuk menjadi seorang pengemis, penganggur, atau kriminal.

Dalam lain waktu, saat perkuliahan akta IV kependidikan di FKIP Universitas Mataram, saya juga pernah menanyakan pada salah seorang kerabat, bagaimana hingga ia bisa duduk saat ini, disamping saya, dengan bercerita panjang lebar dan dengan nada sedikit penyesalan ia menjawab bahwa dalam kamus cita-cita yang ia miliki, tidak pernah ia menggoreskan pena kecilnya untuk dapat duduk saat ini disamping saya untuk menjadi calon seorang guru. Entah hal apa yang membuat kerabat saya merasa seperti itu.

Dalam menjalani kolektivitas komunitas kehidupan yang kian kompleks dengan diiringi globalisasi dan tehnologi yang merupakan anak jenius ilmu pengetahuan yang berambisi untuk menjadi Tuhan dengan menundukkan ruang, waktu juga jarak sebagai derivatnya umur yang makin bertambah dan usia hidup yang makin berkurang. Tanpa kita sadari ternyata cita-cita berjalan bergandengan dengan laju perkembangan intelektualitas, sosialitas dan kejiwaan yang selalu bergerak dinamis mengikuti alur kehidupan kita, hingga pada akhirnya kita dituntut untuk menjawab siapakah yang memilki hak atas cita-cita itu sebenarnya? Selaku individu yang memiliki kebebasan, secara pribadi kita mungkin ingin menjawabnya, dan jawaban itupun tidak ada yang dapat mempersalahkannya karena ia merupakan fitrah itu sendiri.

Namun demikian tetaplah jua kita meski menoleh pada apa yang namanya keterbatasan, selaku pribadi atau secara kolektif. Dan banyak juga kita mendengar, membaca atau menyaksikan bahwa untuk menempatkan keterbatasan itu pun terkadang tidak pada tempatnya. Kita mungkin kecewa, patah hati, iri, dengki, dendam, atau menyalahkan yang menurut kita ia berhak mendapatkan hal itu, atau bahkan ada yang melantunkan takdir tidak berpihak, dewi fortuna tidak mendukung atau bahkan ada yang melantunkan bahwa Tuhan telah bosan. Apakah kita terlalu arogan? Sehingga terlepas dari pengendalian diri (self control). Yang seharusnya hal itu lebih dapat menyemangati kita untuk dapat meraih sesuatu yang belum dapat kita raih dikarenakan usaha yang kita lakukan masih belum optimal. Untuk dapat menggapai cita-cita untuk menjadi sebuah kenyataan yang benar-benar hadir dalam kehidupan, untuk diri kita dan orang lain.

Dan kitapun menyadari bahwa kita adalah mahluk tempatnya khilaf dan lupa, itulah kita, manusia, selaku mahluk yang belum banyak mengetahui, belum banyak mengerti, patutkah kita menyalahkan diri, atau ibu yang telah melahirkan kita, atau takdir yang tidak berfihak, betapa arogannya kita.

Dimana letak kata malu dalam kamus keseharian kita, pada guru yang telah mengajari kita berfikir dan berzikir, pada kasih sayang seorang ibu, pada ketulusan perjuangan seorang ayah. Semoga kita tidak sampai menghujat Tuhan dan mempersalahkan-Nya. Karena dengannya tidak harus kita mengubah atau mendendam atas nama keterbatasan, mengubah jalan hablumminAllah dan hablumminannas dengan kecurigaan dan su’udzon yang dengannya kita harus saling mempersalahkan. Na’udzubillah min dzalik.

Dari Abu Bakar r.a. kita belajar akan arti ketaatan, dari Umar Ibnu Khattab r.a. kita belajar arti kebijaksanaan, dari Ali Bin Abi Thalib r.a. kita belajar berwawasan dan berpengetahuan, dan dari Usman Bin Affan r.a. kita belajar akan arti kedermawanan, dan hal itu merupakan salah satu bagian terkecil dari samudra keluasan hikmah yang dapat kita pelajari dan tauladani. Yang dengannya kita dapat kembali memekarkan cita-cita baru untuk sebuah perjalanan panjang, dalam waktu dan ruang, dalam jarak yang baru. Bukankah dengan keterbatasan dan memahami makna kegagalan itulah hal terbaik yang kita peroleh dari sebuah hikmah kehidupan yang dianugrahkan-Nya pada kita agar kita kembali dapat berfikir, agar kita bahagia dalam dua makna.

Namun jika luka masih membekas, tergores dan menyisakan kepedihan, bukankah bukan hanya kita saja yang memahami, kita banyak belajar dari jatuh dan bangunnya sebuah peradaban, dari kebahagiaan dan kesengsaraan para aktor sejarah. Merekalah orang pilihan yang telah dianugrahkan. Lalu patutkah kita menyamakan antara orang yang buta dan yang melihat? Orang yang berfikir dan orang yang tidak berfikir? Dan semua itu berlaku untuk kita, manusia. Kita yang pada saat ini mungkin menggeleng karena menyaksikan ketidaksamaan antara cita-cita dan kenyataan, namun dalam waktu yang lain boleh jadi kita akan mengangguk bersama, se-iya, bilamana kita mengetahui prediksi dan interpretasi paradigmatik telah sampai pada tangga kebenaran, yang tetap memiliki nilai relativitas, dan dalam kebijakan dalam dimensi yang maha luas.

Dan untuk saat ini, cukuplah kiranya jika kita mampu untuk memahami dan menikmati apa yang kita terima sebagai karunia yang telah ia tetapkan dari apa yang telah kita usahakan. Bukankah telah banyak kebahagiaan, cita-cita lain yang telah terwujud, yang karena tersandungnya langkah kecil untuk melangkah tidak lantas menyebabkan kita untuk berhenti melangkah. Bukankah dengan berhenti sejenak kita kembali diberi kesempatan untuk dapat beristirahat, melanjutkan perjalanan, menyusun strategi baru untuk kembali memenangkan sebuah perjuangan.

Dan bagi yang merasa itu tidak cukup, untuk saat ini mari kembali, kita meluruskan kembali apa yang kita rasa telah menyimpang, ketulusan niat, kesucian hati, penyimpangan yang terjadi. Membenahi langkah dan cita-cita yang tertunda dan ditunda, “berkaca lagi” kata Ari, “introspeksi” diri kata Wiwin, “evaluasi dan analisa kembali” kata Iwan yang mahasiswa. Penulis menyadari tulisan ini tidak mudah implementasinya, namun bukankah kita kembali akan belajar bersama saling menasihati dalam amar ma’ruf nahi munkar, dalam kebaikan dan takwa dan tidak sebaliknya?

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id