Selasa, 27 Oktober 2009

* Saat Aku Makin Berdaya

Berjalan dipelataran parkir, sebuah bangunan Tuhan, memandang seonggok kemanusiaan yang dikelilingi nafas-nafas berperasaan. Saat ini, sebuah wajah terselimuti kafan dengan lalat-lalat beterbangan menikmati aroma yang menebar, busuk, tak berdetak, kaku, satu hari lalu ia menghadap Penguasa Alam, dengan badan gemetar, tubuh kering kerontang karena tak sebutir nasipun yang dapat ditelan. Siapa yang mengaku bertanggung jawab? Yang hadir menyaksikan? Semua diam, tak satupun menjawab, bisu.

Jika dengan itu kamu, dan semua menghindar, acuh, lalu siapa? Ataukah aku yang akan menjawab sebagian atau seluruh pertanyaan dengan beban yang kian terasa berat dipundak, tanggung jawab, pertanggungjawaban, dengannya untuk hanya bernapaspun aku tak bisa atau hanya untuk rebah melanjutkan istirahat dengan mimpi yang masih tertunda. Tangis dan tetesan air mata menjadi satu jawaban penting untuk hanya mengurangi beban, saat sebuah keberdayaan akan ganasnya melanghkah menuju sebuah peradaban yang dinamakan Zaman Modern yang begitu tinggi dengan tehnologi sebagai aktor utamanya yang hendak bercita-cita menjadi Tuhan dengan menundukkan ruang dan waktu dan juga jarak sebagai derivatnya. Ironi puncak ketinggian itu kini tak terkendali.

Manusia, yang diidentifikasi dalam zaman modern sebagai suatu mahluk yang memiliki perut buncit, berkaca mata tebal dengan kaki dan tangan yang kurus dan kepala yang botak, laki-laki dan perempuan sebagai lakon kebingungan dengan jenis kelamin sendiri, terbuai oleh sayur mayur pupuk dan insektisida buatan, dalam kedamaian dan harmoni, sedikit demi sedikit menghancurkan, mematikan, bagai kanker ganas dijasad tiap insan, di taman, kereta, bus, pesawat dan itu wajar, lumrah dianggap biasa sebagai Dalam Kebersamaan, dan dengan itu apa arti pandangan universal bahwa kebebasan individu bersinggungan atau bahkan dibatasi oleh kebebasan individu yang lain.

Dengan santun dan hangat ucapan mesra terlantun, dari sudut-sudut pinggir taman kota, pojok gelap kamar kos remaja, megah hotel berbintang dan disini disekitar Rumah Suci dekat apartemen sahabat karib lama yang kini terbaring dalam ruang kamar hitam putih disekilingnya, apartemen 53X, apa yang tersimpan kini dalam kotak-kotak sangkar merpati, kotak es, dingin, membeku. Tak peduli.

Melangkah kembali disinari cahaya lampu kelap-kelip kehidupan, hitam putih, biru merah, dengan dikotomi melantunkan sebuah tujuan, kesenangan, kenikmatan dengan pasangan lain, pria atau wanita idaman lain, tanpa terikat tali penyucian, dengan alasan mengagumkan dendam dan penghianatan atau keluh kesah terhadap kekurangan, tanpa peduli perih tangis sang bayi, ikatan suci dalam janji, persetan!, jenuh atas penyelewengan satu kata sakti…. Cinta. Dan kini bagaimana kaum muda mendendangkan rindu dalam sudut-sudut kamar dengan pasangan yang mengayuh jarak 1001 kilo hanya untuk bertemu, melantunkan kerinduan, kangen karena lama tak bersua, mengayuh dayung asmara, ditemani butir-butir pil setan atau seperangkat alat kontrasepsi yang telah dipersiapkan. Tak puas, tak perduli jalan-jalan mengukur kelelahan, bersanding dalam keramaian, dalam kerumunan, dalam tatapan tiap kepala keheranan mempertontonkan kewajaran dalam peradaban modern, berpelukan, berciuman untuk sebuah kata perpisahan, untuk pertemuan kembali disudut halte bis atau stasiun kereta jurusan pasar minggu.

Dengan ihklas siapa yang akan menerima? Sarte kah, Jhon Lenon, Mic Jagger, Madonna atau Jannet Jackson? Dalam bait terlantun Tuhan telah mati, Tuhan telah bosan, ini apa?, sumbangan Netse kah? Ataukah akibat lantunan tembang rahasia tersembunyi perempuan? Ataukah akibat aksi para aktivis Vagina Monolog? Dengan mata keranjang dan pembalasan kaum Adam yang beralasan akibat transparansi kaum Hawa ataukah pembelaan kaum hawa akibat pelecehan terhadap hak asasi kaum hawa terhadap lawan jenisnya, semua mengobok-obok tak perduli tanpa mampu mengganjar setimpal, inikah akibat kita tak belajar dengan benar? Bukankah Tuhan telah menggariskan rambu-rambu, telah ditetapkan ini untukmu dan itu untukku, dan jika itu akibatnya tak ada yang mampu mengganjar setimpal!.

Skularisme tanpa mampu mengartikan maknanya sendiri, menilai dan membenci agama (Islam) dengan sekehendaknya. Kritis, namun sangat ironis, hanya mencari pembenaran atas pandangan Huntington, tak perduli, tanpa melihat konstribusi agama dalam membangun peradaban. Sebagian menyerah kalah, sebagian kontra produktif, tak mampu membendung hidangan kenikmatan yang disuguhkan bumi, kata sakti Iqbal tak menggugah untuk hanya tidak larut dalam kekaguman pada bangsa barat “tempalah tembikarmu dari lempungmu sendiri”.

Sebagian lain larut dalam kedunguan dan kelambanan larut dalam secuil pengetahuan, hanya ketahuan, tak perduli retorika yang memperbudak dengan kehalusan dan tak menerima ajaran Qur’ani memperlakukan manusia bagai hewan, dirajam bagai sais yang otoriter kepada si keledai.

Meta analisa dari dua peradaban, Timur dan Barat dengan daya tahan kuat dalam menghadapi bencana, daya jelajah dan kekuatan laju rendah, sedangkan Barat dengan mengagungkan materialisme telah mampu menciptakan lakon-lakon baru yang hidonistik yang menomorduakan faham-faham langit dengan laju cepat dan daya tahan rendah. Lalu yang menerima? Menyebabkan korupsi tumbuh subur dinegeri sendiri dalam birokrasi dan pelayanan publik, semisal haji, apakah karena sikap “nrima” yang tak ditempatkan secara proporsional, yang ditekan oleh doktrin Q.S. Al Baqarah ayat 197 yang artinya “tidak berkata sembarang, tidak berbuat fasik dan tidak berdebat dalam haji” bukankah amar ma’ruf nahyi munkar meski ditegakkan, dimana keadilan itu?

Dengan label liberalisme, relativasi ajaran dihidangkan atas nama rahmatanlilalamin-nya umat. Jika kesesuaian ajaran langit telah dimodifikasi, interpolasi oleh oknum dengan kepentingan dibaliknya. Apakah nurani dapat tergugah karenanya? Selain mata tajam ketakpercayaan, buruk sangka, iri, dengi. Dan jika angan dibawah telah tak mampu membali “maka berbahagialah mereka yang berkata ‘ikutilah orang-orang yang tidak meminta upah kepada kalian dan mereka mendapat petunjuk” (Q.S. 36:21). Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.

Dan bagi mereka yang membeo, tak ada yang istimewa dan cerah senyum keikhlasan pun tak pernah ada selain mengkambinghitamkan ajaran Nabi Muhammad saw, sebagai agama kebodohan dan kekejaman, kotor dan miskin. Dengan bermuka topeng mereka tampil ditengah masyarakat. Wajah para santri dipedesaan, muka para kuli diperempatan, glodok, pasar malam, atau muka para bang napi dan preman di perkotaan dan ia hanya dapat diidentifikasi dengan satu kata agama yang tak pernah mau melakukan. Murtad. Dan sebuah kata, Magnis Suseno; Busuk.

Jika gajah mati meninggalkan gading, dan singa mati meninggalkan belang, lalu kita? Mengapa meski malu? Akankah kita jadikan Tuhan sebagai tertuduh, ia tak bisa dihujat itu kepastian, ia tak keliru itu kelurusan akal, meminjam lisan Rahmat Abdullah. Ataukah dengan lancang kita meski mengatakan seharusnya begini. Seharusnya begitu dengan sadar atau tidak terus terzalimi.

Karenanya mari bekerjasama! Dalam kebaikan, bukankah Ali r.a. Mewasiatkan bahwa kebaikan yang terorganisir akan hancur oleh kezaliman yang terorganisir. Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan takwa dan tidak sebaliknya, dalam permusuhan dan perpecahan.



0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id