Selasa, 25 Juni 2013

Pembangunan Ekologis Kota Berkelanjutan



Dibeberapa daerah Kabupaten/Kota di Provinsi NTB saat ini kita lihat berbagai macam upaya pemerintah daerah dalam pembangunan infrastruktur dan menata kehidupan masyarakat, misalnya apa yang dilakukan pemerintah daerah kabupaten Lombok Tengah, khususnya daerah perkotaan, Kota Praya yang menjadi pusat administrasi dan ibu kota kabupaten/kota, namun demikian pertanyaannya adalah adakah semua itu sudah berada sesuai dalam jalurnya? Dan adakah dampak (baik positif maupun negatif) yang akan ditimbulkan dimasa yang akan datang? Tulisan ini akan mencoba mencermatinya.
Pembangunan ekologis kota ditujukan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur memiliki tingkat kesejahteraan yang dapat dipertahankan dari waktu ke waktu. Pembangunan berkelanjutan dengan demikian merupakan kebijakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi sekarang maupun masa depan secara harmonis. Pembangunan mempunyai makna suatu perubahan besar yang meliputi fisik wilayah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang didukung oleh perubahan dan penerapan teknologi, perubahan struktur perekonomian, konsumsi dan sistem tata nilai dalam kehidupan masyarakat.
Selama tiga dasa warsa terakhir ini, kota-kota di Indonesia mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup yang luar biasa. RTH perkotaan kita berkurang dari rata-rata 35% menjadi kurang dari 10%, lahan-lahan produktif dan persawahan teknis kita mengalami alih fungsi menjadi pabrik-pabrik maupun rumah-rumah hunian dengan laju di atas 50.000 hektar per tahun. Kawasan kumuh yang menempati ruang-ruang yang bersifat lindung seperti bantaran sungai, di bawah SUTET, kolong jembatan dan kawasan resapan, serta ruang-ruang lainnya yang tidak kita alokasikan sebagai ruang hunian, makin berkembang tak terkendali. Di sisi lain desakan pemilik modal juga memaksakan pengembangan kawasan-kawasan hunian pada lokasi-lokasi yang seharusnya kita lindungi seperti sempadan pantai, kawasan rawa, dan kawasan genangan (retention basin). Beberapa Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan jalur hijau yang ada, banyak yang dimanfaatkan untuk keperluan lain yang tidak semestinya seperti SPBU, kios-kios PKL, maupun aktivitas hunian illegal (squatters). Akibat “penganiayaan” yang di luar batas tersebut, sekarang kita mulai merasakan akibatnya, yaitu banjir, longsor, kekeringan, land-subsidence dan ruang kota yang centang perenang dan carut marut.
Sebenarnya dalam upaya implementasi rencana tata ruang harus disertai dengan perangkat peraturan zonasi (zoning code), yang mengatur secara tegas kegiatan apa yang boleh, apa yang bersyarat dan apa yang dilarang pada setiap jenis zona peruntukan. Pelanggaran terhadap peraturan pemanfaatan tersebut akan diancam dengan sanksi. Tanpa peraturan semacam ini, rencana tata ruang hanya akan menjadi macan kertas. Sehingga benar apabila dikatakan: better regulation without planning, than planning without regulation. Peraturan zonasi ini tentu juga harus bersifat pro-lingkungan, terutama terkait dengan upaya perlindungan dan pemulihan terhadap kawasan-kawasan yang berpotensi menurunkan daya dukung kawasan, seperti pengaturan tentang persyaratan RTH di lahan-lahan privat dan kawasan hunian, ketentuan tentang sempadan sungai, dan pantai serta lokasi-lokasi yang diperuntukkan sebagai daerah resapan dan genangan sementara (retention basin). Artinya pengembangan kawasan perkotaan harus mendahulukan kawasan mana yang tidak boleh dibangun, bukan sebaliknya.
Pertanyaannya adalah kearah mana sebetulnya kebijakan pengembangan perkotaan kita? Di negara-negara maju seperti Amerika sekarang ini terdapat dua kubu cara pandang dalam menata ruang kota, yaitu smart growth dan libertarian. Dittmar, Hank dan Ohland, 2004). Kubu pertama adalah kelompok yang sangat mempercayai kekuatan perencanaan dan regulasi (regulatory) dalam mengarahkan dan mengendalikan pembangunan kawasan. Namun pendekatan ini dinilai mengabaikan kekuatan-kekuatan pasar (baca: korporasi) dan trend yang berkembang di masyarakat, yang pada kenyataannya juga banyak mempengaruhi pembentukan ruang-ruang yang ada.
Sebaliknya, kelompok kedua lebih mengedepankan pentingnya kekuatan pasar, dan menafikan upaya-upaya perencanaan terhadap pengembangan ruang. Menurut mereka, pasarlah yang paling berhak memutuskan apakah suatu pengembangan kawasan perlu dilakukan atau tidak. Sehingga kebijakan pengembangan ruang cukup dilakukan secara discretionary, karena menurut mereka rencana yang tidak memihak pasar tidak akan cukup seksi untuk dijual. Belakangan memang muncul konsep-konsep pengembangan kawasan yang cenderung mengambil jalan tengah, seperti konsep Transit Oriented Development yang cenderung mengembangkan kawasan-kawasan terpadu yang kompak, dengan peruntukan yang beragam namun sangat handy dan ramah lingkungan. Karena itulah semua pihak harus menyadari fungsi dan perannya masing-masing, pemerintah, swasta dan masyarakat harus bahu membahu.
Untuk itu, harus dibuat rencana-rencana tata ruang yang lebih peka dan pelibatan masyarakat, baik orang-perseorangan maupun swasta sebagai pemangku kepentingan yang memiliki saham dalam pembentukan ruang-ruang kita di perkotaan. Pada akhirnya tidak dapat dipungkiri bahwa mewujudkan ruang yang aman, nyaman dan layak huni bukanlah sesuatu yang “murah”. Tapi itulah nilai tambah yang selama ini dijual oleh para perencana (baca: pengembang) sehingga masyarakat bersedia membayar lebih mahal untuk dapat tinggal di lingkungan hunian yang lebih nyaman. Jadi persoalannya adalah bahwa ternyata bagi sebagian besar masyarakat kita, tata ruang masih merupakan “barang mewah”. Pemerintah daerah sendiri tentu tidak akan sanggup untuk membiayai seluruh pembangunan kawasan. Yang penting adalah bagaimana kita secara bersama-sama dapat menata ruang secara cermat, memanfaatkan secara tepat dan mengendalikan secara ketat.
Di daerah-daerah perkotaan masalah-masalah yang terkait dengan kualitas lingkungan hidup meliputi aspek fisik seperti kualitas udara, air, tanah; kondisi lingkungan perumahan seperti kekumuhan, kepadatan yang tinggi, lokasi yang tidak memadai serta kualitas dan keselamatan bangunannya; ketersediaan sarana dan prasarana serta pelayanan kota lainnya; aspek sosial budaya dan ekonomi seperti kesenjangan dan ketimpangan kondisi antar golongan atau antar warga, tidak tersedianya wahana atau tempat untuk menyalurkan kebutuhan‐kebutuhan sosial budaya, seperti untuk berinteraksi serta mengapresiasikan aspirasi‐aspirasi sosial budaya; serta jaminan perlindungan hukum dan keamanan dalam melaksanakan kehidupan. Kekumuhan kota disebabkan karena sumberdaya yang ada di kota tidak mampu melayani kebutuhan penduduk kota. Kekumuhan kota bersumber dari kemiskinan kota, yang disebabkan karena kemiskinan warganya dan ketidakmampuan pemerintah kota dalam memberikan pelayanan yang memadai kepada warga masyarakatnya. Kemiskinan warga disebabkan karena tidak memiliki akses kepada mata pencaharian yang memadai untuk hidup layak, serta akses pada modal dan informasi yang terbatas.
Peranan perkotaan, khususnya kota-kota besar dan metropolitan, sangat signifikan sebagai penghela pertumbuhan ekonomi nasional atau dikatakan sebagai engine of growth perekonomian nasional. Kota-kota metropolitan mampu menyumbangkan 23,19 persen dari total PDRB Nasional tahun 2007 saja, demikian pula kota-kota besar yang mampu menyumbangkan 8,83 persen. Sementara itu, kota-kota menengah yang merupakan jenis kota terbanyak di Indonesia hanya mampu menyumbangkan 7,63 persen. Peran kota-kota besar sebagai engine of growth tidak dapat lepas dari keberadaan sektor-sektor perdagangan besar (formal) dan sektor-sektor informal yang ada di kota-kota besar dan metropolitan. Kota menengah yang merupakan kelompok kota terbanyak di Indonesia bersama dengan kota-kota kecil memiliki keterbatasan sumber pendanaan pemerintah daerah dalam pembangunan kota sehingga belum berkembang secara optimal baik dari segi fisik, ekonomi, maupun sosial dan belum dapat menjadi pusat pemasaran bagi produksi kawasan perdesaan. Hal ini pulalah yang semakin memperluas kesenjangan kesejahteraan antara wilayah perkotaan dan perdesaan.
Di lain pihak, tingginya perpindahan penduduk dari desa ke kota menyebabkan pemadatan penduduk dan kegiatan di kota serta meluasnya kawasan pinggiran kota (urban sprawl). Perkembangan perkotaan yang ekstensif juga menyebabkan besarnya persentase perubahan lahan sawah menjadi nonsawah dan perumahan dari tahun 2005 hingga tahun 2007. Di Pulau Jawa, sebesar 58,7% lahan sawah berubah menjadi perumahan dan 21,8% berubah menjadi lahan nonsawah, sedangkan di luar Pulau Jawa, sebesar 16,1% lahan sawah berubah jadi perumahan dan 48,6% berubah menjadi lahan nonsawah (Kementerian PU, 2008).
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah diatur penataan ruang kawasan perkotaan yang terdiri atas perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, dan kerja sama penataan ruang di kawasan perkotaan. Sementara itu, pada PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, telah diatur rencana struktur ruang wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana utama.
Kebijakan untuk menata kembali pembangunan perkotaan telah dimulai melalui beberapa peraturan seperti Permendagri No. 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan. Bahkan, upaya menata infrastruktur telah dilakukan, baik melalui penyusunan Rancangan Permendagri tentang Standar Pelayanan Perkotaan (SPP), maupun yang secara teknis telah diatur, antara lain Permendagri No. 9 tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) Perumahan dan Permukiman di Daerah, Permen PU No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, serta Permendagri No. 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.

Kamis, 06 Juni 2013

Resensi Buku


PENGANTAR BUKU
Gambaran Umum Praktikum Perbankan Syariah
(Yogyakarta: Indie Book Corner, 2013)
Oleh: Hermansyah & Jaya Miharja
ISBN: 978-602-7673-91-5

Lembaga keuangan dan perbankan syari’ah di Indonesia saat ini tengah memasuki tahap early majority in mainstream market, hal ini ditandai dengan kompetisi, permintaan dan pertumbuhan yang tinggi. Demikian halnya dengan fasilitas layanan, memperluas jaringan dan aksesibilitas untuk bersaing dan dapat diterima konsumen.
Dampak yang lebih nyata dengan telah di tetapkannya UU Perbankan Syari’ah No. 21 Tahun 2008 adalah makin kompetitifnya persaingan dalam industry perbankan nasional baik perbankan syari’ah maupun perbankan konvensional. Untuk mengimbangi perkembangan perbankan syari’ah dalam aspek sumber daya insani inilah maka, menjadi penting keberadaan sumber daya insani yang memahami operasional bisnis perbankan syari’ah, yang keadaan tersebut dicoba dijembatani oleh sektor perguruan tinggi dengan penyusunan kurikulum yang bisa menjembatani gap kebutuhan sumber daya insani perbankan syari’ah nasional.
Maka melalui mata kuliah praktikum lembaga keuangan syari’ah atau perbankan syari’ah, yang menekankan aspek praktikum, prinsip dasar fiqh muamalah dan derivasinya dalam praktek lembaga keuangan dan perbankan syari’ah. Tujuan perkuliahan dalam mata kuliah ini yakni agar mahasiswa memahami perbedaan praktek bisnis lembaga keuangan syari’ah dan konvensional, memahami keunggulan/kelemahan praktek lembaga keuangan syari’ah, memahami prinsip dasar produk-produk bisnis lembaga keuangan syari’ah dan praktiknya, memiliki ketrampilan dalam mengaplikasikan produk bisnis lembaga keuangan syari’ah.
Penulis sangat menyadari buku pegangan mahasiswa ini masih sangat jauh dari memuaskan, disamping itu bahwa literature ataupun diktat mengenai praktikum lembaga keuangan dan perbankan syari’ah sangatlah kurang, karena itulah penulis bermaksud untuk memperkaya khazanah literatur untuk praktikum perbankan syari’ah. Buku ini ditulis dari berbagai pengetahuan yang diperoleh penulis, baik dari praktik maupun dari berbagai sumber dan literatur lainnya. Materi buku ini juga diperkaya dari pengalaman penulis mengampu mata kuliah praktikum perbankan syari’ah diberbagai lembaga pendidikan tinggi.
Akhir kata semoga buku ini dapat membantu para mahasiswa untuk mempelajari dan memahami praktikum lembaga keuangan dan perbankan syari’ah dan juga sebagai bekal kepada mereka yang hendak menerjunkan dirinya dalam kegiatan perbankan syari’ah di Indonesia, terima kasih.

**ooo00ooo***

Gambaran Umum Praktikum Perbankan Syari’ah
Copyright @ Hermansyah & Jaya Miharja
Cetakan Pertama      :  April 2013
Desain Sampul         : Puryani
Setting Layout          : Anne Shakka

Diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Indonesia oleh
Penerbit Indie Book Corner Yogyakarta
Perum Buana Asri Village D4
Jl. Griya Taman Asri
Sleman,  Yogyakarta

Facebook.com/inibukuku
Twitter: @IndieBookCorner

0274 – 9207841

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit.

Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Hermansyah & Jaya Miharja
Gambaran Umum Praktikum Perbankan Syari’ah, Hermansyah & Jaya Miharja, Cetakan 1, Yogyakarta: Indie Book Corner, 2013.

ISBN: 978-602-7673-91-5

I.        Gambaran Umum Praktikum Perbankan Syari’ah               II. Judul

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id