Jumat, 11 Juni 2010

Pasar Uang Syariah

Pendahuluan

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997 telah mengakibatkan penurunan tajam kegiatan ekonomi serta melemahnya daya beli masyarakat. Sebagian besar bank di Indonesia harus mengalami negative spread serta menanggung kredit macet dalam jumlah besar. Akibat penarikan dana dalam jumlah besar, untuk menghindarkan diri dari likuiditas yang makin buruk, tidak sedikit bank konvensional yang tidak punya pilihan lain selain menawarkan bunga simpanan tinggi pada tingkat 50 persen hingga 70 persen. Akibatnya, puluhan bank menjadi sekarat dan banyak usaha gulung tikar karena tidak mampu membayar kewajibannya.1 Kondisi ini tidak terjadi dengan bank syariah yang menerapkan sistem bagi hasil dan terbebas dari pengaruh fluktuasi bunga yang terjadi.

Sejak saat itu, jumlah bank syariah berkembang pesat karena sistem bagi hasil yang ditawarkan dan dalam kenyataannya tak kalah menguntungkan dibandingkan sistem bank konvensional yang menerapkan bunga. Sehingga tidak mengherankan jika sampai saat sekarang ini banyak di antara bank-bank konvensional juga membuka unit-unit atau window syariah-nya melihat prospek yang cukup menjanjikan dari sistem perbankan alternatif ini.2

Perkembangan sektor perbankan syariah ini sudah selayaknya berjalan berdampingan dengan sektor riil dan sektor finansial sebagai lahan investasi syariah. Karenanya pembentukan infrastruktur yang sesuai mulai dari perangkat hukum yang mengaturnya, kelengkapan instrumen moneter dan pasar keuangan hingga pada pembentukan ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengannya mutlak diperlukan.

Komponen-kompenen dari sistem dan instrumen keuangan yang ada paling tidak dapat memberikan jaminan kepuasan terhadap masyarakat dalam mekanisme operasionalnya, sehingga harapan-harapan yang muncul terkait dengan sistem keuangan yang sesuai dengan nilai syariah dapat diwujudkan dan hal ini dapat menjadi alternatif pilihan bagi investor muslim untuk menggalakkan dananya dalam berinvestasi.

Pemicu utama kebangkrutan yang dialami oleh bank, baik yang besar maupun yang kecil, pada dasarnya bukanlah karena kerugian yang dideritanya, melainkan karena lebih kepada ketidakmampuan bank tersebut untuk memenuhi likuiditasnya.3 Oleh karena itu dalam rangka pengelolaan dana bank, baik yang berupa kelebihan maupun kekurangan dana, maka keberadaan Pasar Uang Antar Bank menjadi sangat penting bagi dunia perbankkan (PUAK bagi perbankkan konvensional dan PUAS bagi perbankkan Syariah) sebagai sarana memobilisasi pengumpulan dana masyarakat dan untuk memenuhi atau mempertahankan likuiditasnya. Oleh karena itu pada makalah ini akan dibahas tentang Pasar Uang Antar Bank Syariah.


Pengertian dan Tujuan

Pasar uang (money market) adalah pasar di mana di dalamnya diperdagangkan surat-surat berharga jangka pendek.4 Artikel-artikel yang diperdagangkan di pasar uang adalah uang (money) dan uang kuasi (near money). Uang dan uang kuasi tersebut yang dimaksud tidak lain adalah adalah surat-surat berharga (financial paper) yang mewakili uang dimana seseorang (atau perusahaan) mempunyai kewajiban kepada orang (atau perusahaan) lain.

Dalam hal pasar uang ini, yang ditransaksikan adalah hak untuk menggunakan uang dalam jangka waktu tertentu. Jadi di pasar tersebut terjadi transaksi pinjam-meminjam dana, yang selanjutnya menimbulkan hutang-piutang. Adapun barang yang ditransaksikan dalam pasar ini adalah secarik kertas berupa surat hutang atau janji untuk membayar sejumlah uang tertentu pada waktu tertentu pula.5

Surat-surat berharga yang diperdagangkan di dalam pasar uang dapat bervariasi, bisa surat berharga yang berjangka kurang dari satu tahun sampai dengan surat berharga yang berjangka lima tahun, akan tetapi pada kenyataanya sebagian besar aktiva keuangan yang diperdagangkan di pasar uang adalah surat berharga yang berjangka kurang dari satu tahun. Hal ini dikarenakan surat berharga yang berjangka lebih panjang biasanya lebih banyak dimiliki oleh investor di pasar modal.

Tujuan pasar uang adalah untuk memberikan alternatif, baik bagi lembaga keuangan bank maupun bukan bank untuk memperoleh sumber dana atau menanamkan dananya.6


Latar Belakang

Keberadaan pasar uang ini sebenarnya sangat terkait erat dengan permasalahan likuiditas. Pasar uang pada prinsipnya merupakan sarana alternatif khusunya bagi lembaga-lembaga keuangan, perusahaan-perusahaan non-keuangan dan peserta-peserta lainnya baik dalam memenuhi kebutuhan dana jangka pendek maupun dalam rangka melakukan penempatan dana atas kelebihan likuiditasnya.7 Karenanya keberadaan pasar uang dalam sistem perekonomian sangat mutlak dibutuhkan, diakibatkan banyaknya lembaga atau perusahaan serta individu yang mengalami arus kas yang tidak sesuai antara inflows dan outflows.

Dengan demikian, dalam rangka peningkatan efisiensi pengelolaan dana bank jika permasalahan ini dihubungkan dengan kondisi likuiditas sebuah perbankan syariah, maka tentunya dibutuhkan suatu pasar uang antar bank yang berdasarkan prinsip-prinsip ajaran syariah yang ada. Oleh karenanya piranti PUAS dalam kancah perbankan syariah di Indonesia ini dapat memenuhi kebutuhan akan pasar uang tersebut.


Pandangan Islam Terhadap Uang

Islam memandang uang hanyalah sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditas atau barang dagangan. Maka motif permintaan terhadap uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demad for transaction), bukan untuk spekulasi atau trading. Islam tidak mengenal spekulasi (money demand for speculation). Karena pada hakikatnya uang adalah milik Allah SWT yang diamanahkan kepada manusia untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat. Dalam pandangan Islam uang adalah flow concept, karenanya harus selalu berputar dalam perekonomian, sebab semakin cepat uang itu berputar dalam perekonomian, akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan akan semakin baik perekonomian.8


Prinsip Syariah Dalam Pasar Uang

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa tugas utama manejemen bank, adalah memaksimalkan laba, meminimalkan resiko dan menjamin selalu tersedianya likuiditas yang cukup, tidak kurang dan tidak lebih.

Dengan adanya fasilitas pasar uang antar bank, maka bank-bank syari’ah, akan mendapatkan kemudahan-kemudahan, untuk memanfaatkan dana yang sementara idle (nganggur), bank dapat melakukan investasi jangka pendek di Pasar Uang, dan begitu sebaliknya, untuk memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendek, bank juga dapat memperolehnya dari Pasar Uang.

Namun, karena surat-surat berharga yang beredar di pasar uang konvensional merupakan surat-sura berharga yang berbasis bunga, maka bank-bank syari’ah tidak dapat memanfaatkan pasar uang yang ada, karena perbankkan syari’ah tidak diperbolehkan menjadi bagian dari aktiva maupun pasiva yang berbasis bunga, dan hal ini merupakan kendala bagi kalangan perbankkan syari’ah dalam melakukan pengelolaan likuiditas. Oleh karena itu untuk mendukung kelancaran perbankkan syari’ah dalam mengelola likuiditasnya, maka perlu adanya instrumen-instrumen pasar uang yang berbasis syari’ah, sehingga perbankkan syariah dapat melakukan fungsinya secara penuh, tidak saja dalam memfasilitasi kegiatan perdagangan jangka pendek akan tetapi juga berperan dalam mendukung Investasi jangka panjang.

Adapun landasan atau dalil yang dijadikan dasar atas diperbolehkanya pelaksanaan pasar uang antar bank dengan prinsip syari’ah adalah:

  1. Adanya firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah ayat 275, yang artinya: “orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”

  2. Hadits Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf yakni: "Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram"

  3. Hadits Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, an-Nasa'i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari abu Hurairah "Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar"

  4. Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dari 'Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu 'Abbas dan riwayat Imam Malik dari Yahya "Tidak boleh membahayakan orang lain dan menolak bahaya dengan bahaya"

  5. Adanya kaidah ushul fiqih yang menyatakan bahwa adalah mubah hukumnya segala sesuatu selama tidak ada ketentuan hukum yang melarangnya. Dari ketentuan ini dapat dikatakan bahwa penyelenggaraan pasar uang antar bank yang berlandaskan prinsip syariah ini adalah boleh hukumnya selama tidak bertentangan dengan prinsip hukum Islam.9

  6. Adanya hadis Nabi yang menyatakan pembolehan melakukan kegiatan investasi melalui mekanisme mudharabah.10

  7. Adanya kaidah ushul yang menyatakan bahwa jika salah seorang dari mereka yang melakukan kerjasama membeli bagian dalam kemitraan tersebut, hukumnya adalah boleh karena ia membeli hak milik orang lain. Dengan demikian kaidah ini dapat dijadikan rujukan untuk diperkenankannya penerbitan sertifikat IMA sebagai salah satu instrument dalam pasar uang yang berlandaskan prinsip syariah ini.

  8. Adanya kaidah ushul yang menyatakan bahwa tindakan seorang pemegang ooritas harus mengikuti perkembangan maslahat yang berlaku, ataupun kaidah yang menyatakan pencegahan dari kerusakan lebih diutamakan dari menolak suatu mafsadah. Karenanya Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas perbankan di Indonesia memiliki kewenangan untuk membatasi jual beli instrumen sertifikat IMA di pasar skunder untuk mencegah kesan terjadinya jual beli yang dapat mengarah pada tindakan spekulatif.11


Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syariah

Latar belakang dikeluarkannya fatwa Dewan Syariah Nasional No: 37/DSN-MUI/X/2002, tentang pasar uang antar bank berdasar prinsip syariah adalah atas pertimbangan sebagai berikut:12

  1. Bahwa bank syariah dapat mengalami kekurangan likuiditas disebabkan oleh perbedaan jangka waktu antara penerimaan dan penanaman dana atau kelebihan likuiditas yang dapat terjadi karena dana yang terhimpun belum dapat disalurkan kepada pihak yang memerlukan;

  2. Bahwa dalam rangka peningkatan efisiensi pengelolaan dana, bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah memerlukan adanya pasar uang antar bank;

  3. Bahwa untuk memenuhi keperluan itu, maka dipandang perlu penetapan fatwa tentang pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah.

Diantara keputusan fatwa Dewan Syariah Nasional No: 37/DSN-MUI/X/2002, tentang pasar uang antar bank berdasar prinsip syariah adalah sebagai berikut:13

Pertama : Ketentuan Umum

  1. Pasar uang antar bank yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu pasar uang antar bank yang berdasarkan bunga.

  2. Pasar uang antar bank yang dibenarkan menurut syariah yaitu pasar uang antar bank yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

  3. Pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antar peserta pasar berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

  4. Peserta pasar uang sebagaimana tersebut dalam butir 3 adalah:

    1. bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana.

    2. bank konvensional hanya sabagai pemilik dana.

Kedua : Ketentuan Khusus

      1. Akad yang dapat digunakan dalam pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah adalah: mudharabah (muqadharah)/Qiradh; musyarakah; qard; wadi'ah; al-Sharaf.

      2. Pemindahan kepemilikan instrumen pasar uang (sebagaimana tersebut dalam butir 1) menggunakan akad-akad syariah yang digunakan dan hanya boleh dipindahtangankan sekali.


Dari segi keputusan-keputusan yang tertuang dalam dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa pasar uang antar bank yang dibenarkan adalah yang tidak menggunakan bunga, dan akad-akad yang dianjurkan adalah mudharabah, musyarakah, qard, wadiah, maupun sharf, dan kepemilikan atas instrumen pasar hanya dapat dipindahtangankan satu kali saja. Namun dalam realitanya akad akad yang sering digunakan adalah mudharabah dan wadi’ah. Sedangkan untuk akad-akad seperti qard dan sharf jarang digunakan. Hal ini terjadi karena pada bank syariah instrumen yang disediakan dalam pasar uang ini berupa IMA (Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank), SBPU (Surat Berharga Pasar Uang) Mudharabah dan SWBI (Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia).

Sedangkan mengenai instrumen apa yang dipakai dalam pasar uang berprinsip syariah, di dalam fatwa itu juga tidak diberikan penjelasan bagaimana mekanismenya jika dilakukan dalam pasar uang. Namun dalam Islam, sebuah instrumen merupakan perwakilan dari kepemilikan atau harta. Oleh karena itu instrumen dapat diperjualbelikan jika terdapat asset atau transaksi yang mendasarinya. Ada dua metode dalam penerbitan instrumen oleh bank syariah, pertama, satu prinsip untuk berbagai transaksi. Prinsip yang digunakan adalah bagi hasil (mudharabah/musyarakah) untuk berbagai transaksi, seperti jual-beli, sewa, dan lain-lain; kedua, satu prinsip untuk satu transaksi.14

Adapun dalam prinsip bagi hasil (mudharabah/musyarakah) mengakibatkan kepemilikan usaha pada sisi pemilik dana, ketika aset-aset bank syariah disekuritisasi dan instrumennya dijual ke pasar, maka pembeli instrument tersebut menjadi pemilik modal baru yang menggantikan pemilik modal yang lama. Aset-aset tersebut apabila dikumpulkan akan menjadi harta gabungan (mal musytarak) yang bisa didenominasi dalam bentuk pecahan dan dijual kepada pembeli. Penetapan harga dari instrument tersebut mengikuti hukum Islam, artinya; harga instrumen bisa dinegosiasikan antara penjual dan pembeli, sehingga dapat menyebabkan naik turunnya harga harga instrumen tersebut. Instrumen-instrumen ini pun bisa menjadi alternatif investasi bagi bank syariah di Indonesia, terutama ketika mengalami kelebihan likuiditas.

Sementara itu, melalui transaksi pasar uang antarbank syariah, semua bank umum tak terkecuali syariah bisa menempatkan dana dalam bentuk Sertifikat Investasi Antarbank (IMA) yang diterbitkan bank syariah yang mengalami kesulitan likuiditas. Dengan membeli IMA, pengembalian investasi atau pinjaman akan dibayarkan ketika IMA jatuh tempo. Jadi bank yang membeli profit sharing pembagian hasil dan bukannya bunga. Yang perlu menjadi catatan dalam pasar uang ini, bahwa dalam Islam, yang dibolehkan adalah penjualan bukti kepemilikan, bukan jual-beli sertifikat atas bukti kepemilikan.

Walaupun dalam fatwa ini masalah pasar uang berdasar prinsip syariah dengan berbagai akad yang diperbolehkan seakan-akan telah menjadi salah satu solusi dalam transaksi pasar uang, namun dalam masalah pasar uang ini muncul kembali permasalahan, yaitu dalam hal perjanjian pembelian kembali(repurchase agreement). Sebab dalam hal ini terdapat kontroversi di kalangan ulama tentang perjanjian pembelian kembali (repurchase agreement). Karena transaksi pasar uang syariah menggunakan perjanjian tersebut ketika melakukan penjualan, artinya; penjual akan membeli kembali asset yang ia jual dalam jangka waktu tertentu. Termasuk dalam kategori ini adalah jaminan pembelian kembali (redemption guarantee) jika dijanjikan oleh si penjual sendiri. Mayoritas ulama tidak memperkenankan perjanjian bersyarat ini. Hanya sebagian kecil dari mazhab Hanafi yang membolehkannya dengan nama bai' al wafa. Maka untuk mensiasati ini bank penerbit menugaskan perusahaan lain untuk menjadi pembeli atas instrument yang diterbitkannya.15

Adapun implikasi dari adanya fatwa Dewan Syariah Nasional No. 37 tentang pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah ini adalah, bahwa karena dalam pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah tidak dibenarkan mengunakan bunga, maka bisa diganti dengan menggunakan alternatif akad-akad lain seperti: Pertama: Mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (malik, shahib al-maal) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Kedua: Musyarakah, yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, dimana masing-masing pihak menberikan kontribusi dana (modal) dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Ketiga: al-Qardh, yaitu suatu akad pembiayaan kepada nasabah tertentu dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada lembaga keuangan syariah pada waktu yang telah disepakati oleh lembaga keuangan syariah dan nasabah. Keempat: Wadiah (titipan uang, barang dan surat-surat berharga), yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan). Kelima: al-Sharf (jual beli valuta asing).


Instrumen Yang Ditawarkan

Instrumen yang digunakan dalam PUAS ini adalah apa yang disebut dengan SIMA atau Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank yang digunakan sebagai sarana investasi bagi bank yang memiliki kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan, dan di lain pihak dapat digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dana jangka pendek bagi bank syariah yang mengalami defisit dana. Di Indonesia masalah ini telah diatur oleh Bank Indonesia dengan PBI No.2/8/PBI/2000. dan Fatwa DSN Nomor: 37/DSNMUI/X.2002.

Adapun persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam menerbitkan sertifikat ini adalah:16

  • Harus mencantumkan:

  • Kata-kata “Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank”

  • Tempat dan tanggal penerbitan SIMA

  • Nomor seri sertifikat SIMA

  • Nilai nominal investasi

  • Nisbah bagai hasil

  • Jangka waktu investasi

  • Tingkat indikasi imbalan

  • Tanggal pembayaran nominal atau imbalan

  • Tempat pembayaran.

  • Nama bank penenam dana

  • Nama bank penerbit dan tanda tangan pejabat yang berwenang.

  • Berjangka waktu paling lama 90 hari

  • Diterbitkan oleh kantor pusat bank syariah atau unit usaha syariah lainnya.

  • Format yang harus diikuti oleh sertifikat IMA tersebut dapat mengikuti format yang dikeluarkanoleh Bank Indonesia, dan kualitas kertas yang akan digunakan diserahkan kepada masing-masing bank untuk melakukannya tanpa harus mengikuti ketentuan yang berlaku.


Bagi bank Syariah yang telah menerbitkan Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) wajib melaporkan kepada Bank Indonesia pada hari penerbitan Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) tersebut mengenai hal-hal: (1) Nilai Nominal Investasi; (2) Nisbah Bagi Hasil; (3) Jangka waktu Investasi dan; (4) Tingkat indikasi imbalan sertifikat IMA.

Adapun peserta yang terlibat dalam transaksi PUAS ini adalah bank-bank yang secara langsung menerbitkan SIMA ini dan bank-bank yang ikut menanamkan dananya pada sertifikat tersebut.

Sementara itu bank-bank yang boleh melakukan penerbitan atas sertifikat IMA ini adalah: (1) Kantor pusat bank syariah, yaitu bank yang seluruh kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. (2) Unit usaha syariah (UUS), yaitu kantor pusat dari kantor-kantor cabang syariah dari bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.

Dan adapun bank-bank yang diperbolehkan untuk menjadi penanam modal pada sertifikat IMA ini adalah kantor pusat bank syariah, yaitu bank yang seluruh kegiatann usahanya berdasarkan prinsip syariah. Di samping itu adalah kantor pusat unit usaha syariah ataupun kantor pusat bank umum yang menjalankan kegiatan usaha perbankan secara konvensional.


Mekanisme Transaksi Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syariah

Mekanisme pasar uang hanya dapat berfungsi dengan baik apabila dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut:17

  1. Cukup banyak instrumen sebagai pengganti uang yang dapat diperdagangkan. Uang yang diperdagangkan harus mempunyai bentuk (instrument) tertentu, antara lain: Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), sertifikat deposito, dan call money.

  2. Ada lembaga keuangan yang bersedia menjadi pencipta pasar (market maker), lembaga inilah yang akan menyimpan instrumen-instrumen pasar uang dan akan menjualnya kepada unit yang mempunyai kelebihan dana jangka pendek, atau membelinya dari unit yang kekurangan dana jangka pendek. Di Indonesia fungsi ini dijalankan oleh Ficorinvest yang sering disebut security house.

  3. Prasarana komunikasi yang memadai.

  4. Informasi keuangan yang dapat dipercaya, yaitu data keuangan perusahaan yang mengeluarkan SBPU, agar setiap peminat dapat membuat penelitian mengenai keadaan perusahaan.


Penjelasan mekanisme tersebut sebagai berikut: Pertama, mekanisme Call money; bisa diperdagangkan secara langsung antar bank, dan biasanya dilakukan melalui telepon. Hal ini dilakukan karena kebutuhan liquiditas bank biasanya mendesak, baik karena kekurangan dalam kliring maupun untuk memenuhi kebutuhan kewajiban likuiditas. Kedua, sedangkan SBI dan SBPU harus diperdagangkan melaui security house (Ficorinvest) sebagai perantara antara pemilik dan pemakai, melalui jual beli surat-surat berharga dengan mekanisme; BI menjual SBI kepada Ficorinvest, barulah kemudian kepada lembaga-lembaga keuangan. Ketiga, mekanisme untuk SBPU; nasabah, baik badan usaha maupun perorangan mengeluarkan surat aksep atau wesel untuk mendapatkan dana dari bank atau lembaga keuangan non-bank, kemudian surat-surat berharga ini diperjualbelikan oleh bank atau lembaga keuangan non-bank melalui security house yang akan memperjualbelikan dengan BI.18

Adapun mekanisme dan penyelesaian transaksi Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) dalam pasar uang adalah sebagai berikut:

  1. Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) yang diterbitkan oleh Bank Pengelola dana dalam rangkap tiga, lembar pertama dan kedua tersebut wajib diserahkan kepada bank penanam dana sebagai bukti penanaman dana, sedangkan lembar ketiga digunakan sebagai arsip bagai bank penerbit dana.

  2. Bank penanam dana pada Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) melakukan pembayaran kepada bank penerbit sertifikat IMA dengan mengunakan nota kredit melalui kliring, atau Bilyet Giro Bank Indonesia dengan melampiri lembar kedua Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) atau dengan transfer dana elektronik yang disertai dengan penyampaian lembar kedua Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) kepada Bank Indonesia.

  3. Pemindahtanganan Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) hanya dapat dilakukan oleh pihak bank penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak diperkenankan untuk memindah tangankan kepada bank lain sampai berahirnya jangka waktu, artinya sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) hanya sekali dapat dipindahtangankan. Hal ini dimaksudkan agar Bank Penerbit sertifikat IMA dapat melakukan pembayaran kepada bank yang berhak, oleh karena itu bank pemegang sertifikat terakhir wajib memberitahukan kepemilikan sertifikat tersebut kepada bank penerbit Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) IMA.

  4. Kemudian pada saat sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) jatuh tempo, penyelesaian transaksi dilakukan oleh bank Penerbit Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) dengan melakukan pembayaran kepada pemegang sertifikat terakhir sebesar nilai nominal Investasi (face Value) dengan menggunakan nota kredit melalui kliring,menggunakan Bilyet Giro BI atau menggunakan transfer dana secara elektronik. Sedangkan imbalan Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) akan dibayar pada hari kerja pertama bulan berikutnya.


Selanjutnya penghitungan imbalan Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) dihitung berdasarkan tingkat realisasi imbalan Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA) mangacu pada tingkat imbalan Deposito Investasi Mudharabah pada bank penerbit sesuai dengan jagka waktu penanaman.


Teknik Perhitungan Imbalan

Adapun besarnya imbalan dari sertifkat IMA ini yang dibayarkan pada awal bulan dihitung berdasarkan tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah pada bank penerbit sebelum didistribusikan sesuai dengan jangka waktu penanaman. Misalkan untuk jangka waktu sertifikat IMA dari batasan 1 hingga 30 hari, maka tingkat imbalan yang digunakan adalah nilai pengembalian deposito investasi mudharabah 1 bulan. Begitu juga dengan jangka waktu yang ditentukan dalam waktu antara 31-90 hari, maka tingkat imbalannya adalah deposito investasi mudharabah selam 3 bulan.

Rumus perhitungan besarnya imbalan Sertifikat IMA adalah sebagai berikut:19


X = P x R x t/360 x k


Keterangan:

X = Besarnya imbalan yang diberikan kepada bank penanam dana

P = Nilai nominal investasi

R = Tingkat realisasi imbalan Deposito Investasi Mudharabah

t = Jangka waktu investasi

K = Nisbah bagi hasil untuk bank penanam dana


Pasar Uang Syariah dan Konvensional

Pada dasarnya pasar uang syariah dan pasar uang konvensional memiliki beberapa fungsi yang sama yaitu: (1) Keduanya merupakan instrumen likuiditas yang fungsinya memudahkan perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas, baik berupa kekurangan maupun kelebihan likuiditas. Jika bank memiliki kelebihan likuiditas ia dapat menggunakan instrumen pasar uang untuk menginvestasikan dananya, dan apabila kekurangan likuiditas ia dapat menerbitkan instrumen yang dapat dijual untuk mendapatkan dana tunai (2) Keduanya memiliki jangka waktu paling lama 90 hari atau merupakan jenis investasi jangka pendek; (3) Pembayaran dapat dilakukan dengan nota kredit melalui kliring atau bilyet giro Bank Indonesia atau transfer dana secara elektronis

Namun perbedaan mendasar diantara keduanya yaitu: (1) PUAS tidak mendasarkan transaksinya pada suku bunga melainkan pada pola bagi hasil, sedangkan PUAB seluruhnya mendasarkan transaksinya pada suku bunga; (2) Peserta PUAS meliputi bank syariah dan Bank Konvensional, sedangkan peserta PUAB hanya Bank Konvensional; (3) Peranti yang digunakan dalam PUAS adalah sertifikat IMA, sedangkan peranti yang umum digunakan dalam PUAB adalah promes atau promisary notes; (4) Sertifikat IMA sebagai piranti utama PUAS hanya dapat dialihkan 1 kali, sedangkan terhadap promes dapat dipindahtangankan berulang kali selama belum jatuh tempo; (5) Dalam perhitungan imbalan peranti utama PUAS tidak mengikutkan sama sekali komponen bunga. Di lain pihak bunga merupakan komponen utama perhitungan imbalan dalam PUAB; (6) Risiko yang timbul dari aktivitas transaksi pada PUAS relatif jauh lebih kecil daripada risiko transaksi PUAB; (7) Sertifikat IMA sebagai peranti utama PUAS diterbitkan sebagai tanda bukti penyertaan dalam suatu proyek investasi, oleh karena itu hanya dapat dipindahtangankan satu kali, sedangkan promes merupakan suatu negotiable instrument dimana para pihak tidak dibatasi dalam menegosiasikannya hingga waktu jatuh tempo berakhir.20


P e n u t u p

Dari semua uraian tersebut maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (1) Pasar uang merupakan sarana yang mutlak dibutuhkan bagi dunia perbankkan, tak terkecuali perbankkan syariah, untuk mengamankan dan mempertahankan likuiditasnya. Oleh karena itu bank-bank syariah harus mempunyai pasar uang yang berbasis syariah (PUAS). (2) Piranti pasar uang antar bank syariah (PUAS) adalah Sertifikat Investasi Mudharabah Antar bank syariah (IMA) yang pembayaran imbalannya dengan sistim bagi hasil. Sertifikat ini hanya boleh diterbitkan oleh bank yang menggunakan prinsip syariah.


Kepustakaan

Muhammad. 2002. Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UUP AMP YKPN.

Zainul Arifin. 2005. Dasar-Dasar Manajeman Bank Syari’ah, Jakarta: Pustaka Alvabet.

Muhammad Syafi'I Antonio, 2001. Bank syariah dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani.

Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen (jilid 2), 1992. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka.

Dahlan Siamat, 1999. Manajemen Lembaga Keuanagan, Jakarta: FE UII.

Adiwarman A. Karim. 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Awalil Rizky dan Nasyith Majidi. 2008. Indonesia: Undercover Economy bank Bersubsidi Yang Membebani. Yogyakarta: E-Publishing.

Asmuni Mth. Menyorot Beberapa Legal Maxims Dalam Bidang Ekonomi. Tulisan yang bersumber dari Hasanuzzaman. Makalah Bahan Kuliah Mahasiswa MSI UII Konsentrasi Ekonomi Islam Tahun 2010

Tim Penulis Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Edisi Kedua, Jakarta: Kerjasama DSN-MUI-BI.


I n t e r n e t

Statistik Perbankan Syariah Hingga Maret 2010 dalam www.bi.go.id diakses pada 15 April 2010

Wahyu Purwandari. Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syariah. Pada www.MSI-UII.Net diakses pada 3 Juni 2010

Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah diakses pada http://www.fe.umy.ac.id/eei/index.php?option=page&id=146&item=328 pada 3 Juni 2010

1 Lihat Awalil Rizky dan Nasyith Majidi. Indonesia: Undercover Economy bank Bersubsidi Yang Membebani. (Yogyakarta: E-Publishing, 2008), hal. 43-52

2 Lihat Statistik Perbankan Syariah Hingga Maret 2010 dalam www.bi.go.id diakses pada 15 April 2010

3 Lihat Muhammad. Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UUP AMP YKPN, 2002), hal. 311.

4 Zainul Arifin. Dasar-Dasar Manajeman Bank Syari’ah, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), hal.169.

5 Pasar uang adalah pasar di mana diperdagangkan surat-surat berharga jangka pendek. Muhammad Syafi'I Antonio, Bank syariah dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 183.

6 Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen (jilid 2), (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1992), hal. 24

7 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuanagan, (Jakarta: FE UII , 1999), hal. 136

8 Muhammad Syafi'I Antonio, Bank… hal. 185

9 Adiwarman A. Karim. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 9

10 Asmuni Mth. Menyorot Beberapa Legal Maxims Dalam Bidang Ekonomi. Tulisan yang bersumber dari Hasanuzzaman. Makalah Bahan Kuliah Mahasiswa MSI UII Konsentrasi Ekonomi Islam Tahun 2010

11 Untuk lebih jelasnya beberapa landasan dan prinsip syariah yang digunakan silahkan lihat pada Fatwa DSN MUI NO: 37/DSN-MUI/X/2002 Tentang PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARI’AH. Tim Penulis Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Edisi kedua, (Jakarta: Kerjasama DSN-MUI-BI, 2003), hal. 238.

12 ibid

13 Ibid. hal. 243-244

14 Wahyu Purwandari. Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syariah. Pada www.MSI-UII.Net diakses pada 3 Juni 2010

15 Ibid

16 Muhammad, Manajemen......hal. 337

17 Ensiklopedi Ekonomi…hal. 24

18 Ibid. hal. 24-25

19 Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah diakses pada http://www.fe.umy.ac.id/eei/index.php?option=page&id=146&item=328 pada 3 Juni 2010

20 Ibid

Konsep Syari’ah Lembaga Keuangan (Bagian II)

Pendahuluan

Indonesia saat ini tengah berusaha memulihkan sistem perekonomian untuk selanjutnya bangkit dari gejolak krisis ekonomi yang berkepanjangan, dari krisis moneter hingga krisis global. Salah satu solusi yang dilirik oleh pemerintah yakni dengan jalan mengembangkan sistem perekonomian syariah.

Langkah ini ternyata cukup teruji dan tangguh dalam menghadapi krisis-krisis ekonomi yang berkepanjangan, ini setidaknya disebabkan oleh sistem perekonomian yang digunakan tidak terpengaruh dengan tingkat suku bunga perbankan yang mendorong timbulnya inflasi (cost push inflation). Rencana jangka panjang pemerintah dalam mengembangkan perbankan dan perekonomian syariah di sambut dengan antusias oleh kalangan bisnis di Indonesia, terbukti dengan banyaknya bank-bank umum syariah, BPRS dan kantor-kantor cabang syariah dari bank-bank konvensional. Menjamurnya transaksi-transaksi syariah di Indonesia merupakan tolak ukur keberhasilan dari nilai-nilai Islam dalam manajemen terinstruktur secara baik dan profesioanl terutama transaksi-transaki perbankan syariah.

Di Indonesia, saat ini kita patut bersyukur bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dengan semua ketentuan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Edaran Bank Indonesia, Pemerintah telah memberi peluang berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah berdasarkan sistem bagi hasil. Selanjutnya perkembangan perbankan syariah mulai marak ditanah air setelah disahkannya UU No. 10 tahun 1998 yang sekaligus menghapus pasal 6 pada PP No.72/1992 yang melarang dual sistem. Dengan tegas dalam UU ini memperbolehkan bank umum yang melaksanakan kegiatan secara konvensional agar dapat pula melakukan kegiatan atau usaha berdasarkan prinsip syariah, dengan mendirikan kantor cabang atau di bawah kantor cabang baru dan dengan melalui peng-ubah-an kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Disamping itu dengan telah berlakunya UU No. 21 Tahun 2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya Pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh pembangunan nasional.1

Hasilnya, sebagian umat Islam di Indonesia mulai memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah, asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham, menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan sebagainya. Lebih dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide untuk mendirikan lembaga-lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti: modal ventura, leasing, dan pegadaian.

Karena itu, untuk mengetahui konsep syariah lembaga keuangan, khususnya perbankan syariah maka agar pembahasan yang dilakukan dalam makalah ini bisa lebih terfokus, maka pemakalah akan memberikan batasan dalam menguraikan beberapa permasalahan yang akan dikaji yakni mengenai pengertian lembaga keuangan syariah (perbankan syariah), identifikasi transaksi terlarang, dan perbedaan antara bank konvensional dengan bank syariah. Selanjutnya pembahasan pada makalah ini akan ditutup dengan hidangan penutup.


Pengertian Perbankan Syariah

Bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan bank tanpa bunga, adalah lembaga keuangan atau perbankan yang operasioanal dan produknya dikembangkan berlandaskan pada al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokok-nya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan perinsip syariat Islam. Antonio dan Perwataatmadja membedakan menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam. Bank Syariah adalah (1). Bank yang beroperasi sesuai dengan perinsip-perinsip syariah Islam, (2). Bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan hadis.2

Sebagaimana bank konvensional, bank syariah juga memiliki fungsi intermediasi. Perbedaan hanya terletak pada instrumen yang digunakan, jika bank konvensional menggunakan bunga, maka perbankan syariah menarik dan mengharamkan diri dari bunga dan sebagai alternatif lebih menekankan pada prinsip bagi untung dan sharing rugi. Disamping fungsi intermediasi, perbankan syariah juga melakukan fungsi ta’awwun (sosial).3

Sedangkan menurut UU No. 21 tahun 2008, bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Sedangkan Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.


Identifikasi Transaksi Terlarang

Syariah adalah kata bahasa Arab yang secara harfiah berarti jalan yang ditempuh atau garis yang mestinya dilalui. Sedangkan secara terminologi syariah berartiperaturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin, agar mematuhinya.4 Namun demikan fakta menunjukkan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi manusia terus berkembang, karena itulah para ulama merumuskan suatu kaidah dasar dalam syariat yang disebut dengan dua hukum asal, yakni hukum asal ibdah dan hukum asal muamalah.

Hukum asal ibadah menyatakan bahwa segala sesuatunya dilarang dikerjakan, kecuali yang ada petunjukknya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena itu, masalah-masalah ibadah telah diatur dengan rinci tata caranya, sehingga tidak dibolehkan lagi melakukan penambahan dan/atau perubahan (bid’ah). Singkatnya, tidak ada kreatifitas dalam masalah-masalah ibadah. Sedangkan hukum asal muamalat menyatakan bahwa segala sesuatunya dibolehkan, kecuali ada larangan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian terdapat lapangan yang luas dalam bidang muamalah. Yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang (haram),kemudian menghindarinya. Selain yang haram, dapat dilakukan kreatifitas (ijtihad) dan terus-menerus mengakomodasikannya dalam berbagai bidang yang terjadi di masyarakat.5

Terkait dengan transaksi, mka hal ini berarti ketika suatu transaksi baru muncul yang sebelumnya belum dikenal dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalal al-Qur’an dan Hadis yang melarangnya secara eksplisit maupun implisit. Penyebab dilarangnya suatu transaksi adalah disebabkan karena faktor-faktor: (1) haram zatnya (haram li-dzatuhi); (2) haram selain zatnya (haram li ghairihi); dan (3) tidak sah atau tidak lengkap akadnya.

Transaksi yang tergolong ke dalam transaksi yang haram zatnya adalah transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang. Misalnya minuman keras, bangkai (selain bangkai ikan dan belalang), daging babi dan lainnya. Jadi transaksi minuman keras adalah haram, meskipun akad jual-belinya sah.

Sedangkan transaksi yang tergolong ke dalam transaksi yang haram selain zatnya yakni karena transaksi tersebut melanggar prinsip ”an taraddin minkum” yakni tadlis dan prinsip ”la tazhlimuna wa la tuzlamun” yakni ikhtikar, bai’ najasy, gharar dan riba. Transaksi yang melanggar kedua prinsip tersebut yakni:


  1. Tadlis

Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus memiliki informasi yang sama (complate information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi/ditipu karena ada satu pihak yang tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain hal inilah yang disebut sebagai tadlis. Tadlis ini dapat terjadi pada empat hal yakni: kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan.

Contoh tadlis dalam kuantitas adalah pedagang yang mengurangi takaran (timbangan) barang yang dijualnya. Dalam kualitas contohnya adalah penjual yang menyembunyikan cacat barang yang ditawarkannya. Tadlis dalam harga contohnya adalah memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga pasar dengan menaikkan harga produk di atas harga pasar. Sedangkan bentuk tadlis dalam hal waktu penyerahan adalah petani buah yang menjual buah diluar musimnya padahal si petani mengetahui bahwa ia tidak dapat menyerahkan buah yang dijanjikannya itu pada waktunya.6


  1. Rekayasan Pasar dalam Supply (ikhtikar)

Rekayasa pasar dalam supply terjadi bila seorang produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar biasanya dilakukan dengan menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar, agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli). Karena itulah ada yang menyamakan ikhtikar ini dengan monopoli dan penimbunan, padahal tidak selalu seorang monopolis melakukan ikhtikar. Demikian pula tidak setiap penimbunan adalah ikhtikar, misalnya BULOG yang melakukan penimbunan beras bertujuan untuk menjaga kestabilan harga dan pasokan.7

Ikhtikar terjadi jiak memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar; (b) menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sebelum munculnya kelangkaan; (c) mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum komponen a dan b dilakukan.8


  1. Rekayasa Pasar dalam Demand (bai’ najasy)

Rekayasa pasar dalam demand terjadi bila seorang produsen/pembeli menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk, sehingga harga jual produk itu akan naik. Hal ini terjadi, misalnya dalam bursa saham, bursa valas dan lain-lain. Cara ayng ditempuh dapat bermacam-macam, mulai dari menyebarkan isu, melakukan order pembelian, hingga benar-benar melakukan pembelian pancingan agar tercipta sentimen pasar untuk ramai-ramai membeli saham atau mata uang tertentu. Jika harga telah naik hingga level yang diinginkan, maka pelaku akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali saham atau mata uang yang sudah dibeli, sehingga ia akan mendapatkan untung besar. Rekayasa pasar inilah yang dikenal dengan bai’ najasy.9


  1. Taghrir (gharar)

Dalam ilmu fiqih gharar adalah suatu akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak ada kepastian, baik ada atau tidaknya objek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan menyerahkan objek yang disebutkan dalam akad tersebut.10 Taghrir atau disebut juga gharar adalah situasi dimana terjadi incomplate information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi.

Dalam tadlis yang terjadi adalah pihak A tidak mengetahui apa yang diketahui pihak B. Sedangkan dalam taghrir, baik pihak A maupun pihak B sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang ditransaksikan. Gharar terjadi jika kita mengubah sesuatu yang seharusnya bersifat pasti (certain) menjadi tidak pasti (uncertain).

Sebagaimana dalam tadlis, maka gharar dapat juga terjadi dalam empat hal yakni: kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan. Dalam dalam kuantitas terjadi dalam kasus ijon. Dalam hal ini terjadi ketidakpastian mengenai berapa kuantitas buah yang dijual. Contoh gharar dalam kualitas adalah peternak yang menjual anak hewan yang masih dalam kandungan induknya. Dalam hal ini terjadi ketidakpastian dalam hal kualitas objek transaksi, karena tidak ada jaminan anak hewan tersebut akan lahir dengans ehat tanpa cacat dan dengan spesifikasi kualitas tertentu. Gharar dalam harga terjadi bila harga yang tidak disepakati dengan jelas. Sedangkan contoh gharar dalam waktu penyerahan adalah bila seseorang menjual barangnya yang hilang, dalam kasus ini terjadi ketidakpastian mengenai waktu penyerahan, karena si penjual dan pembeli sama-sama tidak mengetahui kapan barang tersebut akan ditemukan kembali.11


  1. Riba

Dalam perkembangan kontemporer dewasa ini, para ulama memetakan riba ke dalam beberapa klasifikasi untuk lebih mudah mengidentifikasinya, yakni: riba fadl, riba nasiah dan riba atau jahiliyah.12


  1. Riba Fadl

Riba fadl sering disebut riba buyu’ yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mitslin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran semacam ini mengandung gharar, yakni ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak dan pihak-pihaklain.13

Dalam konteks perbankan riba fadl sering terjadi dalam transaksi jual beli valas (valuta asing) yang tidak dilakukan secara tunai (spot).


  1. Riba Nasiah

Riba nasiah sering juga disebut riba duyun yakni riba yang timbul akibat hutang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Transaksi semisal inimengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu.

Riba nasiah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi untung (al ghunmu) muncul tanpa adanya resiko (al ghurmi), hasil usaha (al kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman). Untung dan hasil usaha muncul hanya dengan berjalannya waktu. Padahal dalam setiap bisnis selalu dihadapkan kepada dua pilihan, yakni kemungkinan untung dan rugi. Memastikan sesuatu yang belum pasti inilah yang terjadi dalam riba nasiah,14 yakni terjadi perubahan sesuatu yang seharusnya bersifat tidakpasti (uncertain) menjadi pasti (certain).

Dalam mekanisme bunga yang dipraktekkan oleh perbankan konvensional selalu terintegrasi dengan masalah waktu, yang dikenal dengan time value of money dimana uang yang diinvestasikan pada saat ini harus menghasilkan dan bertambah pada waktu yang akan datang dari waktu sebelumnya. Teori tersebut tentu tidak tepat, karena dalam investasi dihadapkan pada probability risk and return.15 Dalam perbankan konvensional, riba nasiah ini dapat ditemui dalampembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro dan lainnya. Dengan demikian mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidakpasti, karena itulah diharamkan.


  1. Riba Jahiliyah

Riba jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman dari waktu yang telah ditetapkan. Riba jahiliyah dilarang karena melanggar kaidah ”Kullu Qardin Jarra Manfa’ah Fahuwa Riba (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Member pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabarru’), sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis (tijarah). Jadi, transaksi yang dari awal diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh diubah menjadi trnasaksi yang bermotif bisnis. Dalam perbankan konvensional, riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.


Dari ketiga jenis riba ini, dapat diidentifikasi bahwa praktek bunga yang ada dalam perbankan konvensional yang tergolong riba. Riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai, riba nasiah dapat ditemui dalam transaksi pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabuangan, deposito dan giro. Sedangkan riba jahiliyah dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.

Dari klasifikasi riba di atas terdapat beberapa alternative ikhtiar yang diharapkan dapat mengantisipasi umat Islam, khususnya para praktisi bisnis tidak terjerumus pada riba. Dan sejumlah sintesa anti riba berikut mencoba mengungkap tipe riba serta faktor penyebabnya dan akad-akad yang dapat diterapkan sebagai antisipasi.

  1. Riba Fadl (riba buyu’). Disebabkan oleh Gharar (uncertain to both parties). Cara mengatasinya adalah Kedua belah pihak harus memastikan faktor berikut: (1) kuantitas (2) kualitas (3) harga, dan (4) waktu penyerahan.

  2. Riba Nasi’ah (riba duyun). Disebabkan oleh Al ghunmu bi la ghurmi, al kharaj bi la dhaman (return tanpa resiko, pendapatan tanpa biaya). Cara mengatasinya adalah kedua belah pihak membuat kontrak yang merinci hak dan kewajiban masing-masing untuk menjamin tidak adanya pihak manapun yang mendapatkan return tanpa menanggung resiko, atau menikmati pendapatan tanpa menanggung biaya.

  3. Riba Jahiliyah. Penyebabanya adalah Kullu qardin jarra manfa’ah fahuwa riba (memberi pinjaman sukarela secara komersil, karena setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Cara mengatasinya adalah angan mengambil manfaat apapun dari akad/transaksi kebaikan (tabarru’). Kalaupun ingin mengambil manfaat maka gunakan akad bisnis (tijarah) bukan akad kebaikan (tabarru’).16


  1. Risywah (Suap)

Risywah berasal dari bahasa Arab yang berarti sogokan, bujukan, suap atau kadang disebut uang pelicin. Suap ini merupakan penyakit sosial yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat, meskipun diketahui bahwa hal ini tidak dibenarkan oleh ajaran islam.

Larangan risywah antara lain karena dua alasan yakni: (1) dari segi pelaksanaannya, pemberian dan penerimaan suap tidak mengandung unsur ikhlas karena dilakukan dnegan alasan-alasan tertentu yang tidak dibenarkan. Penyuap menghendaki agar keinginannya dipenuhi, sedangkan penerima suap secara diam-diam atau terang-terangan menunjukkan niatnya untuk meluluskan keinginan menyuap, atau paling tidak, tidak mampu lagi menerapkan amar ma’ruf nahyi munkar karena terikat pemberian dari penyuap; (2) dari segi tujuannya, pemberian suap dilakukan untuk tujuan yang melanggar aturan agama, sebab membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Yang dikehendaki dalam suap adalah perbuatan yang bertentangan dengan agama. Islam mengajarkan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Syarak melarang risywah sebagaimana melarang pengambilan sesuatu dengan cara yang bathil.17


Selanjutnya faktor yang lain yang menyebabkan keharaman dalam bertransaksi adalah disebabkan karena ketidakabsahan atau kurang lengkapnya akad. Suatu transaksi dapat dikatakan tidak sah dan/atau tidak lengkapa akdnya, bila terjadi salah satu (atau lebih) faktor-faktor berikut ini, yakni: (1) rukun dan syarat tidak terpenuhi; (2) terjadi ta’alluq; dan (3) terjadi ”two in one


  1. Rukun dan syarat tidak terpenuhi;

Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi, misalnya ada penjual dan ada pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli maka jual beli tidak akan ada. Pada umumnya, rukun dalammuamalah dalam bidang ekonomi ada tiga yakni:18 pelaku, objek dan ijab-kabul.

Pelaku bisa berupa penjual-pembeli (dalam akad jual beli), penyewa-pemberi sewa (dalam akad sewa-menyewa), atau penerima upah-pemberi upah (dalam akad upah-mengupah), dan lain-lain. Tanpa pelaku maka transaksi dipastikan tidak ada.

Objek transaksi dari semua akad di atas dapat berupa barang atau jasa. Dalam akad jual beli motor, maka objek transaksinya adalah motor, demikian dalam akad-akad yang lain. Ijab-kabul atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan akad atau bertransaksi. Tanpa ijab-kabul mustahilpula transaksi akan terjadi.

Terkait dengan kesepakatan ini, maka akad dapat menjadi batal jika terdapat kesalahan/kekeliruan objek, adanya paksaan (ikrah) dan adanya penipuan (tadlis). Dan jika ketiga rukun tersebut di atas terpenuhi, maka transaksi yang dilakukan sah. Namun jika rukun tersebut di atas tidak terpenuhi (baik satu rukun atau lebih) maka transaksi menjadi batal.

Selain rukun, faktor yang harus ada agar akad menjadi sah/lengkap adalah syarat. Syarat adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun. Misalnya orang yang bertransaksi harus cakap hukum (mukallaf). Menurut Mazhab Hanafi jika rukun sudah terpebuhi, namun syarat tidak terpenuhi maka rukun menjadi tidaklengkap dan transaksi tersebut menjadi rusak (fasid).

Syarat bukanlah rukun, jadi tidak boleh dicampuradukkan. Dilain pihak, keberadaan syarat tidak boleh menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, menggugurkan rukun, bertentangan dengan rukun dan mencegah berlakunya rukun.


  1. Terjadi ta’alluq;

Ta’alluq terjadi jika kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, dimana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua.

Misalnya A menjual barang X seharga Rp. 100 juta secara cicilan kepada B, dengan syarat bahwa B harus kembali menjual barang X tersebut kepada A secara tunai Rp. 90 juta. Transaksi ini haram, karena terdapat persyaratan bahwa A bersedia menjual barang X ke B asalkan B kembali menjual barang tersebut kepada A. Dalam kasus ini, disyaratkan bahwa akad pertama berlaku efektif bila akad kedua dilakukan. Penerapan syarat ini mencegah terpenuhinya rukun.19


  1. Terjadi ”two in one

Two in one adalah kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan atau akad mana yang berlaku.

Two in one terjadi jika semua dari ketiga faktor berikut terpenuhi, yakni: objek sama, pelaku sama da jangka waktu sama.

Jika satu saja dari faktor di atas tidak terpenuhi, maka two in one tidak terjadi, dengan demikian akad menjadi sah. Contoh dari two in one adalah transaksi sewa-beli. Dalam transaksi ini, terjadi gharar dalam akad, karena ada ketidakjelasan akad mana yang berlaku. Akad beli atau akad sewa. Karena itulah akad sewa-beli ini diharamkan.20


Uraian di atas setidaknya dapat memberikan gambaran mengenai identifikasi transaksi yang dilarang dalam lembaga keuangan Islam, dan gambaran bahwa perbankan konvensional dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya memperkenalkan praktek keuangan syariah dalam hal ini perbankan berdasarkan prinsip syariah.


Penutup

Sebagai penutup uraian-uraian terdahulu dari tulisan ini, perlu dikemukakan hal-hal sebagai berikut: pertama, bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah yakni prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

Kedua, para ulama merumuskan suatu kaidah dasar dalam syariat yang disebut dengan dua hukum asal, yakni hukum asal ibdah dan hukum asal muamalah. Hukum asal ibadah menyatakan bahwa segala sesuatunya dilarang dikerjakan, kecuali yang ada petunjukknya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena itu, masalah-masalah ibadah telah diatur dengan rinci tata caranya, sehingga tidak dibolehkan lagi melakukan penambahan dan/atau perubahan (bid’ah). Sedangkan hukum asal muamalat menyatakan bahwa segala sesuatunya dibolehkan, kecuali ada larangan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian terdapat lapangan yang luas dalam bidang muamalah. Yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang (haram), kemudian menghindarinya. Selain yang haram, dapat dilakukan kreatifitas (ijtihad) dan terus-menerus mengakomodasikannya dalam berbagai bidang yang terjadi di masyarakat.

Ketiga, penyebab dilarangnya suatu transaksi adalah disebabkan karena: (1) haram zatnya (haram li-dzatuhi); (2) haram selain zatnya (haram li ghairihi); dan (3) tidak sah atau tidak lengkap akadnya. Transaksi yang tergolong ke dalam transaksi yang haram zatnya adalah transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang. Sedangkan transaksi yang tergolong ke dalam transaksi yang haram selain zatnya yakni karena transaksi tersebut melanggar prinsip ”an taraddin minkum” yakni tadlis dan prinsip ”la tazhlimuna wa la tuzlamun” yakni ikhtikar, bai’ najasy, gharar dan riba.

Keempat, faktor lain yang menyebabkan keharaman dalam bertransaksi adalah disebabkan karena ketidakabsahan atau kurang lengkapnya akad. Yang diakibatkan oleh tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah satu (atau lebih) faktor-faktor: (1) rukun dan syarat tidak terpenuhi; (2) terjadi ta’alluq; dan (3) terjadi ”two in one.


Kepustakaan

Muhamad. 2005. Manajemen Dana Bank Syariah. Yogyakarta: EKONISIA.

Nasrun Haroen. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Muhamad. 2005. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Adiwarman A. Karim. 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Edy Suandi Hamid Makalah. Ekonomi Islam di Indonesia: Kontribusi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangannya, disampaikan Dalam Studium Generale Program Pasca Sarjana FIAI MSI UII di Yogyakarta, 13 September 2008

Sutan Remy Sjahdeini. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Habib Nazir dan Muhammad Hasanudin. 2008. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah. Bandung: Kafa Publishing.

Ibrahim Warde 2009. Islamic Finance Keuangan Islam Dalam Perekonomian Global. Terj. Andriyadi Ramli. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Gemala Dewi, 2005. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Peransuransian Syariah Di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Badan Penerbit FH UI





1 Edy Suandi Hamid. Makalah. Ekonomi Islam di Indonesia: Kontribusi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangannya, disampaikan Dalam Studium Generale Program Pasca Sarjana FIAI MSI UII di Yogyakarta, 13 September 2008

2 Muhamad. Manajemen Dana Bank Syariah, (Yogyakarta: EKONISIA, 2005), hal. 1

3 Hal ini misalnya seperti yang diungkapkan oleh Solihin Hasan (pejabat bank Islam Jeddah) dan Mohamad Ariff (Universitas Malaya) mengemukakan bahwa kegiatan bank Islam meliputi semua kegiatan bank konvensional namun tidak pada transaksi berdasarkan bunga dan bank syariah boleh melayani masyarakat non muslim ataupun dimiliki dan dikelola oleh mereka yang non muslim. Lihat Sutan Remy Sjahdeini. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), hal. 3

4 Adiwarman A. Karim. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 6-7

5 Ibid. hal. 9

6 Ibid. hal. 29

7 Lihat juga Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal. 164-165

8 Adiwarman A. Karim. Bank…hal. 30

9 Ibid.

10 Habib Nazir dan Muhammad Hasanudin. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah (Bandung: Kafa Publishing, 2008), hal. 245

11 Adiwarman A. Karim. Bank…hal. 31-32. Lihat juga Habib Nazir dan Muhammad Hasanudin. Ensiklopedi…hal. 245-246

12 Ibid. hal. 32. Lihat juga Muhamad. Manajemen Bank Syariah. (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005)

13 Adiwarman A. Karim. Bank…hal. 33.

14 Lihat Q.S. al-Hasyr ayat 18 dan Q.S. Luqman ayat 34 “dan seseorang itu tidak mengetahui apa yang dihasilkannya esok”

15 Habib Nazir dan Muhammad Hasanudin. Ensiklopedi…hal. 564-565

16 Adiwarman Karim. Bank...hal. 38

17 Lihat Q.S. al-Baqarah ayat 188 yang artinya “dan janganlah sebagaian kamu memakan harta sebagaian yang lain diantara kamu dengan jalan b\yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan sebagaian harta itu dengan (jalan berbuat) dosa,padahal kamu mengetahui”

18 Selain rukun yang umum yang tiga di atas, ada lagi rukun khusus untuk akad-akad tertentu. Misalnya dalam akad syirkah, tiga rukun umum tersebut ditambah dengan nisbah. Demikian pula dengan akad lainnya

19 Adiwarman A. Karim. Bank…hal. 40

20 Ibid. hal. 41

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id