Senin, 31 Agustus 2009

Politik Fikih Islam

Syariat merupakan hukum Tuhan yang menempati posisi penting dalam masyarakat islam dan diyakini sebagai hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik secara individual maupun kolektif. Syariat islam (baca: hukum islam) yang terformulasikan dalam Al Qur’an dan as Sunnah Rasulullah saw kemudian diperluas dan dikodifikasi dalam bentuk fiqh oleh para yuri dengan menggunakan interpretasi melalui qiyas, ijma’, maslahah dan lain-lain.

Berpijak pada sumber yang dalam katagori umum dikenal sebagai ijtihad tersebut, syariat islam mengalami perkembangan yang menakjubkan selama periode formatifnya (hingga abad ke-10). Namun syariat lebih merupakan suatu sistem yang bersifat doktrinal yang independen bahkan sering bertabrakan dengan praktek-praktek legal. Hingga pada taraf tertentu dapat dikatakan bahwa syariat islam tidak pernah diterapkan secara konvrehensif. Terlihat dengan penerapan hukum pidana yang merupakan titik terlemah dalam fluktuasi penerapan hukum islam.

Dikotomi antara teori dan praktek ini berlangsung selama berabad-abad dalam kesejarahan islam dan cukup bervariasi dari masa kemasa antara satu bidang syariat dengan bidang syariat lainnya. Seiring dengan terjadinya fluktuasi penerapan hukum islam juga terjadi dekadensi peradaban umat muslim sejak tertutupnya pintu ijtihad. Dari kenyataan tersebut kemudian timbul jastifikasi bahwa dekadensi peradaban umat islam disebabkan oleh tidak dijalankannya syariat islam. Sehingga jalan keluarnya adalah implementasi hukum islam secara komprehensif, yang tentunya dengan menggunakan sebuah negara sebagai aplikasinya. Inilah yang melahirkan paradigma “simbiosis” agama (hukum islam) dan negara (politik). Keduanya berhubungan timbal balik dan saling menguntungkan.

Secara praktis implementasi hukum islam dalam sebuah negara ini melahirkan permasalahan baru, juga mengundang berbagai kritikan dari kalangan oposan islam. Implementasi hukum islam menjadi isu yang berkepanjangan dan terkadang dijadikan tameng untuk mendapat dukungan politik. Sementara kalangan oposan memandang syariat islam sebagai hukum yang diskriminasi dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Berdasarkan atas isu penerapan hukum islam inilah penulis merasa perlu untuk mendiskusikan makalah ini untuk dielaborasi lebih mendalam.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politic) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses untuk menentukan tujuan-tujuan dan sistem itu dapat melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik tersebut menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusun skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih.

Rojer F. Saltao dalam introduction to politic: political science is the study of the state, its aim and purposes…the institusions by which these are going to be realized, its relations with its individual members, and other state (Ilmu politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu, hubungan antara negara dengan warga negaranya serta dengan negara-negara lain).

J. Barents dalam Ilmu Politika menyatakan bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, ilmu politik mempelajari negara-negara itu melakukan tugas-tugasnya.Sementara Deliar Noer mengatakan bahwa ilmu politik adalah memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. Kehidupan seperti ini tidak terbatas dalam bidang hukum semata-mata, dan tidak pula pada negara yang tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relatif baru. Diluar bidang hukum serta sebelum negara ada, masalah kekuasaan itu pun telah pula ada. Hanya dalam zaman modern ini memanglah kekuasaan itu berhubungan erat dengan negara.

Dalam al Qur’an dan as Sunnah istilah hukum islam tidak dijumpai. Al Qur’an dan As Sunnah menggunakan istilah asy-syariah yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah al-fiqh. Hukum islam merupakan istilah indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-islamy, atau dalam konteks tertentu disebut al-syari’ah al-islamy. Istilah ini dalam literatur Barat dikenal dengan idiom Islamic Law, secara harfiah diartikan dengan hukum islam. Secara terminologis, syariah adalah jalan ke mata air, berasal dari kata “syara’a” berarti “yang ditetapkan atau didekritkan”

Pada titik inilah bahwa: “hukum islam adalah seperangkat norma hukum dari islam sebagai agama, yang berasal dari wahyu allah, sunnah Rasul-Nya dan ijtihad para ulil amri. Hukum islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash Al Qur’an maupun As Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman. Keuniversalan hukum islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakikat islam sebagai agama universal, yakni agama yang substansi ajarannya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia. Termasuk didalamnya yang juga mengatur hubungan dalam bermu’amalah yakni hubungan antara manusia, benda dan penguasa.

Hubungan Kausalitas Antara Politik dan Hukum Islam

Seperti yang kita ketahui bahwa hukum islam biasanya diklasifikasikan kedalam ibadah dan mu’amalah. Ibadah mengatur hubungan manusia dengan Allah swt, sedangkan mu’amalah mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, benda dan penguasa. Hukum islam ditujukan untuk melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dengan demikian hukum islam mengatur seluruh perilaku publik dan privat manusia dan mengemukakan sejumlah hukuman atas pelanggarnya. Secara teoritis, bentuk-bentuk pelanggaran tersebut diadili oleh qadli (hakim) yang tentunya dibawah pengaturan sebuah sistem pemerintahan.

Umumnya para ahli fiqh memandang bahwa membentuk pemerintahan (aqdul imamah) dan mengangkat kepala negara (nahsbul imam) hukumnya wajib kifayah bagi umat islam, atas dasar dalil ijma’ meskipun ada juga yang memandang tidak wajib, seperti pendapat al-A’shom pemikir dari Mu’tazilah dan sebagian dari Khawarij. Alasan yang digunakan disamping dari sumber syara’ agama juga dari konsep rasional (‘aqal) yakni bahwa kehidupan sosial yang kompleks ini memerlukan tatanan dan kekuatan yang mengatur, menertibkan atau melindungi hak-hak, baik hak individu (al-fard) maupun masyarakat (al-mujtama’) juga mengatur kewajiban-kewajiban.

Allah mengangkat untuk umat seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) Nabi, untuk mengamankan agama disertai mandat politik. Dengan demikian seorang khalifah adalah pemimpin agama dan di lain pihak sebagai pemimpin politik. Dari kedua fungsi khalifah ini sebagai simbiosa hukum islam dan politik yang saling membutuhkan dan harus sinergis. Agama membutuhkan negara untuk mengembangkan dirinya, dan negara meniscayakan agama sebagai pembimbing etika dan moral.

Baik muslim atau non muslim tidak akan pernah tidak akan selalu membutuhkan seorang pemimpin yang berwibawa dan diakui bersama. Khalifah adalah pemimpin agama dan dilain pihak sebagai pemimpin politik. Dan hal tersebut tidak mungkin diwujudkan tanpa ada seseorang yang diberikan mandat untuk memegang dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan masyarakat, baik kepentingan agamanya atau kesejahteraan duniawinya (masholih al-ukhrowiyah waddun-yawiyah)

Hukum Islam Dalam Frem Sejarah

Islam mengalami perkembangan menakjubkan hingga akhir abad ke-10. Selanjutnya dalam bidang keagamaan, umat islam mulai bertaqlid kepada imam-imam besar yang lahir pada masa klasik islam. Kalaupun ada mujtahid, maka ijtihad yang dilakukan adalah ijtihad fi al-madzhab, yakni ijtihad yang masih berada dalam batas-batas madzhab tertentu. Tidak ada lagi iktihad mutlak yang mandiri, hasil pemikiran yang bebas dan mandiri.

Hal ini terjadi karena mayoritas ulama pada masa itu memandang bahwa seluruh permasalahan keagamaan yang essensial telah dibahas secara tuntas dank arena itu pelaksanaan ijtihad tidak lagi diijinkan. Tertutupnya pintu ijtihad ini diikuti dengan fluktuasi penerapan hokum islam.

Kemunduran islam ini semakin merebak ketika Negara-negara barat melakukan kolonialisasi dihampir seluruh dunia islam, pemerintah jajahan membatasi penerapan syariat islam yang diparaktekkan dalam masyarakat muslim. Kebanyakan colonial barat tidak serta merta mengganti system hokum islam secara menyeluruh, namun secara bertahapmemperkenalkan hokum-hukum baru. Proses itu umumnya diawali dengan memperkenalkan hokum pidana, hokum islam diterapkan dengan sepenuhnya dalam hokum keluarga dan waris. Semntara hokum pidana, perpajakan, konstitusi dan perang merupakan titik terlemah dalam penerapan hokum.

Politik Hukum Islam (Praktek dan Persoalannya)

Al Qur’an memerintahkan agar hokum-hukum syariat yang terkandung didalamnya ditegakkan dalam kehidupan manusia sebagai peraturan personal ataupun social. Perintah tersebut berimplikasi pemberian otoritas kepada manusia untuk menata kehidupannya dengan mengaplikasikan hokum allah. Implementasi hukum islam itulah yang merupakan perwujudan dari kekuasaan politik atau jkuga dapat diungkapkan bahwa wujud kekuasaan politik tersebut adalah sebuah system politik yang diselenggarakan berdasarkan dan menurut hokum islam yang berasal dari dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi.

Karena itu, dalam system politik islam dikenal dua jenis hokum, yakni hokum syariat yang bersumber dari Al Qur’an dan sunnah, dan hokum Qanuni yang berasal dari keputusan-keputusan lembaga pemerintah. Secara hirarki hokum yang tertinggi dalam system ini adalah hokum yang pertama, Al Qur’an menjadi rujukan pokok dan kedaulatan hokum berada dalam Al Qur’an.

Penerapan syariat islam ini merupakan sebuah dilemma berkepanjangan. Antara dukungan dan kecaman terhadap isu ini menuai polemic yang tak terhindarkan. Tarik ulur antara penerapan hokum islam ini melahirkan dua kub u yang masing-masing memiliki alas an tersenndiri

1. Pendukung Penerapan Hukum Islam

Dikalangan muslim tertentu penegakan syariat dipandang sebagai justifikasi keagamaan, dengan kata lain penegakkan syariat merupakan kewajiban yang dibebankan islam kepada pemeluknya. Islam memberikan larangan-larangan dan ketentuan-ketentuan hokum mengenai berbagai segi kehidupan. Karenanya syariat tidak dapat ditegakkan sempurna tanpa otoritas politik untuk menegakkan larangan-larangan agama, menerapkan keputusan-keputusan hokum dan memelihara ketertiban umum. Kepemimpinan dan kekuasaan politik mutlak diperlukan karena manusia pada umumnya memiliki kecendrungan negative mengabaikan ajaran-ajaran agama jika tidak ditopang dengan otoritas dan kepemimpinan.

2. Oposisi

Dilain pihak, penegakkan syariat merupakan sebuah ancaman. Diberbagai Negara muslim yang menerapkan syariat sebagai satu-satunya hokum yang berlaku sering bertabrakan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan konvensi-konvensi manusia. Tiga aspek hak asasi manusia yang paling banyak terkait dengan penerapan hokum islam adalah pembalasan terhadap umat beragama deskriminasi terhadap perempuan dan diskriminasi terhadap yang bukan muslim.

Hukuman yang diterapkan dalam islam merupakan hukuman yang kejam, tidak adil dan melanggar hak-hak asasi manusia, seperti qishash, rajam dan jilid. Hukuman ini dipandang sebagai hukuman yang tidak berprikemanusiaan.

Sementara, fakta m,engatakan bahwa hubungan antara islam dan politik belum pernah didasarkan atas apa yang disebut sebgai Negara islam atau aplikasi syariat secara komprehensif. Memang benar bahwa elite penguasa biasanya mencari legitimasi islam bagi kekuasaan politiknya, tapi hal tersebut sama sekali tidak mendifinbisikan “Negara islam” sebagai sebuah model yang jelas, yang dapat diimplementasikan pada saat ini. Demikian pula syariat senantiasa memiliki peranannya dalam kehidupan muslim baik individual maupun komunal, tetapi hal tersebut dilakukan dengan cara komitmen pribadi dan tindakan yang ikhlas, dari pada penegakkan yang tegas oleh sebuah lembaga Negara.

Konsolidasi Antar Oposisionis Terhadap Formalisasi Hukum Islam

Konflik mengenai penerapan syariat islam cenderung menjadi sengketa public yang sulit diselesaikan, karena salah satu penyebab timbulnya konflik tersebut bermula dari adanya prinsip yang mendasarinya. Pihak yang menginginkan penerapan hokum islam berpendapat bahwa syariat islam harus menjadi satu-satunya sumber hokum. Sedangkan pihak yang menentang mengatakan bahwa syariat islam merupakan hokum yang kejam dan kaku dan hanyalah satu dari beberapa sumber hokum.

Dengan demikian, kontroversi mengenai penerapan hokum islammenjadi sengketa yang tidak meninggalkan ruang bagi kompromi dan fleksibilitas yang mengancam pada sikap dehumanisasi missal. Untuk menghindari hal tersebut maka dibutuhkan pemahaman ulang terhadap hokum islam itu sendiri, terutama dalam hal pidana yang merupakan tyitik terlemah dalam penerapan hokum islam sekaligus yang mendapat penolakan terbesar dari pihak oposan. Reaktualisasi pemikiran ini ditawarkan sebagai upaya poenyegaran atau tindakan untuk menjadikan sesuatu itu baru dan disatu sisi tidak merubah nilai dasar dari sesuatu yang diperbaharui itu.

Reaktualisasi Hukum Pidana Islam

Tudingan terhadap hokum pidana islam seperti yang disebvutkan di atas pada dasarnya berawal pada ketidaksanggupannya menangkap ruh syariat islam. Secara teoritis hokum islam bukanlah hokum yang bersifat ortodoks, tetapi juga memberikan ruang gerak bagi akal pikiran manusia untuk melakukan ijtihad. Ijtihad ini diberikan dalam rangka menginterpretasikan teks-teks hokum sehingga mampu merespon kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

Hukumam huddud yang dalam hal ini dipandang sinis oleh para oposan, sering diartikan merupakan tindak pidana dan macam dan sanksinya ditetapkan secara mutlak oleh allah. Sehingga manusia tidak berhak untuk menentukan hukuman lain selain hokum yang ditetapkan berdasarkan kitab allah.

Ketetapan ini sesungguhnya merupakan hasil kreasi ijtihad para ulama terdahulu dengan berbagai pertimbangan. Alas an para fuqaha mengklasifikasikan jarimah huddud sebagai hak allah yakni pertama, karena perbuatan yang disebut secara rinci oleh al qur’an sangat mendatangkan kemaslahatan baik perorangan maupun kolektif. Kedua, jenis pidana dan sanksinya disebut secara langsung oleh lafal yang ada di dalam al qur’an, sementara tindak pidana lainnya tidak disebut di dalam al qur’an.

Tetapi pada hakikatnya dalam penentuan hukuman terhadap jharimah huddud terdapat kebebasan untuk menentuykan hukuman, walaupun pada dasarnya hokum allah tetap dijadikan sebagai rambu-rambu dalam menegakkan keadilan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap jarimah huddud harus disikapi sebagai sebuah ijtihad ulama terdahulu, dan pada perkembangnnya tidak mustahil diinterpretasikan kembali sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman dengan tidak merubah nilai-nilai yang terkandung didalam syariah.

Akhir Kata

Hokum islam merupakan hokum yang berorientasi pada penegakkan amar ma’ruf nahi munkar, maka tegaknya maqashid syariah merupakan sebuah keniscayaan untuk tetap selalu melakukan perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Berlandaskan dari pertimbangan-pertimbangan ini dan sebagai justifikasi keagamaan maka muncullah isu penerapan hokum islam dalam sebuah Negara yang berdaulat.

Agama membutuhkan Negara untuk mengembangkan dirinya, dan Negara meniscayakan agama sebagai pembimbing etika dan moral. Namun dalam mengimplementasikan hokum islam ke dalam sebuah Negara bukan merupakan hal yang mudah, karena tidak sedikit pihak yang menentang penerapannya. Pro dan kontra dalam isu penerapan hokum islam menjadi polemic berkepanjangan dan dikhawatirkan mengarah pada tindakan anarkis.

Untuk menghindari hal tersebut maka dibutuhkan pemahaman ulang terhadap hokum islam itu sendiri. Reaktualisasi pemikiran ini ditawarkan sebagai upaya penyegaran atau tindakan untuk menjadikan sesuatu itu baru dan disatu sisi tidak merubah nilai dasar dari sesuatu yang diperbaharui itu.

Pustaka

Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Politik. Jakarta. PT. gramedia Pustaka. 2002

Rojer F. Saltao, intruduction to politic. London. Longmans. 1961.

J. Barents. Ilmu politika. Suatu Perkenalan Lapangan. Terj. L.M. Sitorus. Jakarta. PT. Pembangunan, 2965.

Deliar Noer. Pengantar ke Pemikiran Politik. Medan. Dwipa. 1965.

Said Agil Husin al-Munawwar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta. Penamadani. 2004.

Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria. Jakarta. Pustaka Alvabet. 2004.

Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Mu’amalah Kontekstual. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2002.

Ismail Muhammad Syah. Filsafat Hukum Islam. Jakarta. Bumi Aksara. 1992.

Muhammad Tholhah Hasan, Prosfek Islam Dalam Menggapai Tantangan Zaman. Jakarta. Lantabora Press, 2005.

Faisal Shodik. Sketsa Pemikiran Politik Islam. Yogyakarta. Politeia Press. 2007.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta. Radja Grafindo Persada. 2006.

Dudung Abdurrahman., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta. Jurusan SPI Adab UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan LESFI Yogyakarta. 2002.

Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al Qur’an. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2002.

Hafidh Ibn Hajar al-Abqalani, Bulugh al-Maram:min adillati al-ahkam. Beirut. Dar al-Fikr, tt.

Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal. Jakarta. Gema Insani. 2002.

Ira M. lapidus, A History of Islamic Society. Cambridge, England. Canbridge University Press. 1988. Part I

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta. Logung Pustaka. 2004.

Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamy. Beirut. Dar al Fikr, tt I




Megatruh

Oleh Rendra & duka cita yang mendalam

O, AKAL SEHAT JAMAN INI !

BAGAIMANA MESTI KUSEBUT KAMU ?

KALAU LELAKI KENAPA SEPERTI KUWE LAPIS ?

KALAU PEREMPUAN KENAPA TIDAK KEIBUAN ?

DAN KALAU BANCI KENAPA TIDAK PUNYA KEULETAN ?

AKU MENAHAN AIR MATA

PUNGGUNGKU DINGIN

TETAPI AKU MESTI MELAWAN

KARENA AKU MENOLAK BERSEKUTU DENGAN KAMU !

KENAPA ANARKI JALANAN

MESTI DITINDAS DENGAN ANARKI KEKUASAAN ?

APAKAH HUKUM TINGGAL MENJADI SYAIR LAGU DISCO ?

TANPA PANCAINDRA UNTUK FAKTA

TANPA KESADARAN UNTUK JIWA

TANPA JENDELA UNTUK CINTA KASIH

SAYUR MAYURLAH KAMU

DIBIUS PUPUK DAN INSEKTISIDA

KAMU HANYA BERMINAT MENGGEMUKKAN BADAN

TIDAK MAMPU BERGERAK MENGHAYATI CAKRAWALA

TERKESIMA

TERBENGONG

TERHIBA-HIBA

BERAKHIR MENJADI HIDANGAN PARA RAKSASA

O, AKAL SEHAT JAMAN INI

KERNA MENOLAK MENJADI EDAN

AKU MELAWAN KAMU !

Sajak Sebatang Lisong - Rendra

Sajak Sebatang Lisong ~ W.S. Rendra

Januari 23, 2008

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak – kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan – pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis – papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak – kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
……………………..
menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana – sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan

dan di langit
para teknokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung – gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes – protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam

aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair – penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan
termangu – mangu di kaki dewi kesenian

bunga – bunga bangsa tahun depan
berkunang – kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta – juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
……………………………

kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing
diktat – diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa – desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

RENDRA
( itb bandung – 19 Agustus 1978
)

Konsumerisme dalam persfektif Islam

Dalam dunia modern, gaya hidup selalu mendefinisikan sikap, niali-nilai, kelas dan stratifikasi social seseorang. Segalanya melulu dilihat tampak luar. Sebab, image yang ditampilkan atau citra yang direfleksikan selalu dianggap mendefinisikan eksistensi kita. Maka, pada saat ideology gaya hidup semacam ini menjadi terasa lazim dan normal, imagologi bukan lagi suatu yang jauh dari sekedar wacana. Ia telah benar-benar berada di sekeliling kita, bahkan lebih dekat, menjadi suatu yang diam-diam kita anut.

Disinilah embrio dari konsumerisme tersebut terlahir, sebagai anak haram dari popularitas culture yang kian hegemonic dan industry gaya hidup yang mendidik masyarakat menjadi pesolek. Konsumerisme terjadi saat konsumsi tidak lagi diterjemahkan sebagai semata-mata lalu lintas kebudayaan benda, dimana benda itu dinilai berdasarkan nilai dan fungsinya. Tetapi lebih memandang sebagai panggung social yang didalamnya nilai-nilai diperebutkan, makna yang tersembunyi di balik sekedar nilai kebendaan dan perang posisi yang tak henti-henti. Misalnya ketika seseorang hendak berbelanja, dia harus ke mall, padahal dipasar-pasar tradisional mereka lebih bebas dan lebih murah harganya. Ini karena ada sesuatu yang diinginkan diluar barang kebutuhannya, yakni status modernitas dalam image-nya.

Jadi fungsi dari sesuatu itu tidak lagi dijadikan tolak ukur lalu lintas kebudayaan benda, namun telah dipengaruhi oleh nilai-nilai yang lainnya, seperti gengsi, posisi ataupun yang lainnya maka secara sengaja atau tidak orang tersebut sudah terjangkit virus konsumerisme. Dari fenomena ini maka akan terbetik dalam pikiran kita bagaimana hal ini bias terjadi, siapa actor intelektualnya dan bagaimana melepaskan diri dari paham ini yang sudah membudaya? Bagaimana peran nilai dalam islam dalam menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks ini?


1. Pengertian

Konsumerisme adalah suatu paham atau aliran atau ideology dimana seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Jadi ketika seseorang berlaku konsumtif dan menjadikan kekonsumtifan itu sebagai gaya hidup maka sudah tergolong penganut konsumerisme.[1]


2. Proses Terjadinya Konsumerisme

Secara pasti kapan waktu mulainya paham ini dilounching oleh actor intelektualnya tidak jelas, tapi asl mulanya dari persaingan poemasaran diantara para produsen barang suatu industry yang ingin memasarkan produknya dengan membentuk image masyarakat/konsumen terhadap barang hasil produksinya. Jadi disini terjadi proses pencitraan terhadap suatu produk yang dipromosikan, yang dijadikan sebagai stimuli dalam menentukan pola konsumsi. Dalam hal ini praktisi periklanan yang menyerang aspek-aspek psikologis konsumen, dalam strategi periklanan para desainer periklanan menyerang tiga insting manusia yakni[2] memainkan nafsu kepemilikan, memainkan insting previlage dan status, dan memainkan daya tarik romantisme-sensualitas.


3. Teori Konsumsi

Kalangan para penulis banyak memandang ini dalam pengertian keabsahan hokum barang-barang konsumen dan jasa-jasa. Hanya sedikit pencetus teori yang berani menanggulangi issu-issu pokok mengenai teori perilaku konsumen tersebut, namun rasionalisme konsumen dan konsep barang-barang konsumen. Para penulis yang menggunakan kerangka acuan islami tidak menerima formulasi kontemporer mengenai teori perilaku konsumen dengan alas an bahwa ia diselewengkan oleh nilai-nilai ideology dan social bukan muslim dimana ia dikembangkan. Namun mereka biasanya tidak memberikan penggantinya. Keberatan mereka terutama ditujukan pada nilai-nilai konsumen bukan pada alat-alat yang berbeda.[3]

Teori perilaku konsumen dikembangkan dibarat setelah timbulnya kapitalisme terjadi dualitas, yakni “rasionalisme ekonomi” dan “utilitarianisme”. Rasionalisme ekonomi menafsirkan perilaku manusia sebagai suatu yang dilandasi dengan perhitungan cermat, yang diarahkan dengan pandangan kedepan dan persiapan terhadap keberhasilan ekonomi. Keberhasilan ekonomi secara ketat didefinisikan sebagai “membuat uang dari manusia”, memperoleh harta, baik dalam pengertian uang atau berbagai komuditas, adalah tujuan hidup yang terakhir, pada saat yang sama merupakan tongkat pengukuran ekonomik.

Para penulis muslim memandang perkembangan rasionalisasi dan teori konsumen yang ada selama ini dengan penuh kecurigaan dan menuduhnya sebagai aspek perilaku atas “perhitungan-perhitungan cermat yang diarahkan untuk melihat kedepan dan pengawas terhadap keberhasilan ekonomi” sebagaimana yang diungkapkan oleh Max Weber. Namun mereka tidak setuju dengan Max Weber bahwa alternative menuju kepada “tradisionalisme ekonomi” adalah “keberadaan petani yang sangat menderita” atau mengikuti pandangan Max Weber yang menyatakan bahwa rasionalisme merupakan konsep cultural, rasionalisme islam dinyatakan sebagai alternative yang konsisten dengan nilai-nilai islam.

Konsep keberhasilan islam senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai moral. M.N. Siddiqi menyatakan “keberhasilan terletak dalam kebaikan. Dengan perilaku manusia yang semakin sesuai dengan pembakuan-pembakuan moral dan semakin tinggi kebaikannya, maka dia semakin berhasil….selama hidupnya, pada setiap fase keberadaan, pada setiap langkah, individu muslim berusaha berbuat selaras mungkin dengan nilai-nilai moral”

Kebaikan dalam peristilahan islam, berarti sikap positif terhadap kehidupan dan orang lain. Hal paling buruk yang bias dilakukan orang adalah meninggalkan kehidupan dan masyarakat atau melakukan negativism terhadapnya. Hal itu merupakan konsep halus yang ditampilkan secara tidak benar oleh tradisi-tradisi sufi yang ada dalam masyarakat muslim selama enam abad yang lampau maupun dari orang-orang non muslim dari kalangan Kristen yang melihat islam melalui lensa prakonsepsi Kristen sepanjang hidupnya.

Islam mengaitkan kepercayaan terhadap adanya kehidupan akhirat secara ketat dengan kepercayaan terhadap adanya allah. Hal ini memperluas cakrawala setiap muslim mengenai waktu setelah terlampaunya kematian. Kehidupan sebelum kematian dan kehidupan setelah kematian terkait satu sama lain dengan erat sekali dalam urutannya. Hal ini menyangkut dua aspek sejauh menyangkut perilaku konsumen. Pertama, akibat dari pemilihan pembuatan itu terdiri dari dua bagian, yakni efek langsung dari kehidupan didunia sekarang dan efeknya kemudian dalam kehidupan (akhirat) yang akan dating. Beberapa contoh dari manfaat alternative semacam itu adalah pinjaman tanpa bunga (al qordhul hasan), pemberian kepada orang miskin dan terlantar, memelihara binatang-binatang, menyisihkan sebagian harta untuk kesejahteraan generasi-generasi yang akan dating, peningkatan kehidupan masyarakat meskipun pada saat tidak memiliki manfaat langsung bagi individu yang bersangkutan, penyiaran ajaran (dakwah) islam dan peningkatan amal saleh, dan sebagainya. Manfaat-manfaat penghasilan semacam itu tidak dimasukkan dalam rasionalisme Max Weber bila manfaat itu (dianggap) tidak memiliki manfaat langsung. Jadi banyak manfaat alternative dari penghasilan seseorang memiliki kegunaan positif dalam kerangka acuan islam, meskipun manfaat-manfaatnya dalam kerangka acuan kapitalis dan komunis bias tidak ada atau bahkan negative.


4. Teori Konsumsi Perspektif Islam

Didalam islam telah ditegaskan bagaimana pola konsumsi yang mencerminkan nilai yang sesuai dengan yang dicontohkan nabi, seperti yang tercantum di dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Muslim “jika suatu suap diantara kamu sekalian jatuh, maka hendaklah ia membersihkan kotorannya dan (setelah itu) hendaklah memakannya dan tidak membiarkannya untuk setan” Anas berkata “dan beliau memerintahkan kita untuk menghabiskan makanan dari piring” beliau SAW juga bersabda “sesungguhnya kamu tidak mengetahui dimakanan manakah adanya berkah”[4]

Makna dari hadis ini adalah pelarangan terhadap konsumsi yang berlebihan, apalagi menghamburkan harta pada hal yang tidak jelas sasarannya. Jadi hanya dibenarkan berbelanja pada hal-hal yang dibutuhkan.

Monzer Kahf (1981) berusaha mengembangkan pemikiran tentang hal ini, dengan memulai membuat asumsi sebagai berikut yakni: islam dilkaksanakan oleh masyarakat, zakat hukumnya wajib, tidak ada riba dalam perekonomian, mudharabah wujud dalam perekonomian, pelaku ekonomi mempunyai perilaku memaksimalkan. Dalam ekonomi konvensional pendapatan adalah penjumlahan konsumsi dan tabungan, atau secara matematis ditulis Y=C+S dimana Y adalah pendapatan, C adalah konsumsi dan S adalah tabungan.

Dalam konsep islam yang dijelaskan oleh hadis Rasulullah saw yang maknanya adalah “yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang kamu infakkan”. Oleh karena itu persamaan pendapatan menjadi Y=(C+infak) + S, persamaan ini disederhanakan menjadi Y=FS+S dimana FS=C + infak dan FS adalah final spending.

Penyederhanaan ini memungkinkan kita untuk menggunakan alat analisis grafis yang biasa digunakan dalam teori konsumsi, yakni memaksimalkan fungsi (utility function) dengan garis pendapatan tertentu (budget line) atau meminimalkan budget line dengan utility function tertentu.

Dalam pola konsumsi satu periode sumbe X dan Y menunjukkan jumlah barang X dan barang Y, sedangkan dalam pola konsumsi intertemporal (dua periode) sumbe X menunjukkan jumlah pendapatan, konsumsi dan tabungan pada periode pertama. Secara matematis ini disimbolkan sebagai Yt, Ct, St, maka symbol yang digunakan adalah FSt. Pada sumbu Y menunjukkan julah tabungan periode pertama (St) yang digunakan sebagai konsumsi periode kedua (Ct + 1), atau dengan kata lain St = Ct + 1, dalam konsep islam symbol yang digunakan adalah FSt + 1 atau persamaannya menjadi St = FSt + 1.


5. Batasan Islam tentang Pembelanjaan Harta

Dalam pembelanjaan harta, islam meberi batasan, batasan yang terkait dengan criteria sesuatu yang dibelanjakan yakni batasan yang terkait dengan sesuatu yang dibelanjakan, cara dan sifatnya dan batasan yang terkait dengan kuantitas dan ukurannya.


6. Akhir Kata

Budaya konsumerisme merupakan budaya kapitalis global yang sudah mengakar dikalangan masyarakat dunia, khususnya masyarakat dunia ketiga yang notabene adalah Negara-negara miskin, memang merupakan pekerjaan yang teramat sulit Negara kita yang termasuk salah satu Negara yang menjadi korban telah menimbulkan berbagai dampak yang teramat kronis.

Berangkat dari akar masalha yang menyebabkan masuknya paham ini, yakni krisis harga diri, dimana rata-rata penganutnya berpola konsumsi tidak didasarkan pada kebutuhan semata melainkan adanya harapan side effeck terhadap prilakunya itu. Misalnya pengakuan dari orang lain. Jadi orang semacam ini termasuk narcist (pengagum terhadap diri sendiri yang berlebihan).

Untuk mengantisipasi atau mentreatment hal semacam ini diperlukan penyadaran diri akan kekeliruan yang terjadi pada dirinya, disinilah diperlukan pentingnya pengetahuan akan nilai-nilai agama (etika) denbgan agama maka mita (konsumen) akan senantiasa mengontrol diri atau lebih mawas diri.


C. Daftar Pustaka

Dr. Muhammad Muslehuddin, Wacana Baru Manajemen dan Ekonomi Islam

http://www.yogyafree.net

Dr. Habib Nazir & Muh. Hassanuding. Ensiklopedia Ekonomi & Perbankan Syariah.

Dr. Yusuf Qardawy. Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam. Hal. 238

[1] http://www.yogyafree.net

[2] ibid

[3] Dr. Habib Nazir & Muh. Hassanuding. Ensiklopedia Ekonomi & Perbankan Syariah. Hal.318-319

[4] Dr. Yusuf Qardawy. Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam. Hal. 238

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id