Selasa, 11 Agustus 2009

Tanya Jawab Seputar Tafsir Al Qur'an

1. Posisi Al Qur’an dalam ajaran islam dan memposisikan Al Qur’an sebagai hudan dan furqon dalam kehidupan umat islam.

Allah swt sebagai illah manusia tidak dengan begitu saja membiarkan manusia mewujudkan keyakinannya tentang tauhid, namun allah yang maha mengetahui tentang keterbatasan kemampuan manusia telah memberikan petunjuk-petunjuk yang dapat dipahami oleh manusia dan juga dapat dilaksanakan. Karenanya allah menurunkan kitab suci al qur’an sebagai pedoman hidup dan Muhammad saw sebagai utusannya atas penerapan al qur’an tersebut. Al Qur’an sendiri menempati posisi sentral, jika tidak dikatakan hati dalam keyakinan umat islam, ia merupakan kesatuan rukun dalam islam yang wajib diimani sebagai firman allah swt, merupakan petunjuk mengenai apa yang dikehendaki-Nya (hudan lil an nas). Dengan demikian manusia yang ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan apa yang ditunjuki-Nya itu demi merai kebahagian dunia dan akirat harus dapat memahami maksud petunjuk tersebut.

Jika kita tengok dari sejarah turunnya, setidaknya al qur’an memiliki tiga tujuan pokok yakni sebagai petunjuk akidah dan kepercayaan yang arus di anut manusia yang tersimpul dalam keimanan akan ke-esa-an tuhan dan keyakinan akan adanya hari pembalasan (kiamat). Kedua, petunjuk mengenai akhlak, norma-norma agama dan susila yang harus diikuti manusia dalam kehidupannya secara individu dan kolektif. Ketiga, petunjuk mengenai syariat dan hokum dengan menerangkan dasar-dasar yang harus diikuti manusia dalam hubungannya dengan tuhan, sesame dan lingkungannya.

Hal tersebut juga telah dijelaskan alla swt dalam Qur’an surah Ali Imran ayat 174-175 dan Qur’an sura Az-Zuhruf ayat 43. Karena itu al qur’an akan berfungsi sebagai hudan dan furqon sekaligus sebagai pegangan hidup ummat jika al qur’an disosialisasikan sebagai sumber dari segala sumber hukum tertinggi dalam setiap pengambilan keputusan dan al qur’an selalu di baca, dikaji dan diamalkan, dimana al qur’an memberikan kebebasan kepada akal untuk berfikir dan memahami al qur’an sebagaimana dalam surat pertama yang diturunkan allah swt.

Hal ini juga sesuai dengan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah ditanya oleh sekelompok orang tentang al qur’an, lalu Beliau saw memberikan jawaban : “didalamnya terdapat informasi tentang yang sebelum kalian, penjelasan hal yang terjadi pada kalian, informasi tentang hal yang sesudah kalian, ia merupakan penjelasan yang tidak mengandung suatu yang tidak serius. Pemberi peringatan yang bijaksana, tali allah yang kokoh, jalan yang lurus, orang yang menyia-nyiakannya akan dibinasakan oleh allah swt, orang yang mencari petunjuk pada selainnya akan tersesat, ia merupakan kitab yang dapat membuat lisan fasih berbicara tentang suatu kebenaran dan menjaga akal dari ketergelinciran, tidak menimbulkan banyak kontroversi, tidak pernah menghilangkan kehausan para ilmuwan terhadap kandungannya dan tidak pernah habis terungkap segala keunikannya”

2. Memahami Al Qur’an dalam era sekarang

Seperti telah menjadi pengetahuan ummat secara umum, al qur’an diturunkan secara kronologis sesuai kondisi obyektif ummat saat ia diturunkan. Pola ini dimaksudkan agar informasi yang diembannya mudah diserap dan araan perilaku didalamnya berfungsi sebagai petunjuk hidup bagi manusia. Penggunaan bahasa Arab dan pen-simbol-an wahyu juga mengandung maksud bagi kemudahan pemahaman dan pelaksanaan arahan wahyu tersebut (Q.S. Ibrahim ayat 4).

Karena itu, menurut Fazlur Rahman (Membuka Pintu Ijtihad, 1984) disarankan dua langka integral dan sistematis dalam memahami al qur’an yakni transendensi sunnah (asbab an nuzul) sebagai wilayah obyektif wahyu, hal ini bertujuan untuk memperoleh makna universal yang sifat keberlakuannya makro. Langka kedua yakni objektivikasi guna mencari relevansi makro universal tersebut dalam realitas social yang kasuistis. Namun bagi Malik Bin Nabi (Dunia Baru Islam) fungsi pragmatis adalah dasar kebenaran ayat-ayat al qur’an sehingga secara empiric, formasi hudan benar-benar mampu menyelesaikan masalah obyektif ummat seperti misalnya kemiskinan.

Karena itu diperlukan adanya beragam pendekatan (multi disipliner) baik itu pendekatan sosio-historis dan cultural dalam memahami al qur’an. Cara ini juga dapat dilakukan melalui bidang ilmu yang dikuasai ole seseorang dalam zamannya. Misalnya sebagaimana yang disampaikan oleh Munir Mulkhan (1999) pembacaan ayat kejadian manusia dengan pendekatan ilmu biologi, fisika dan antropologi yang akan melahirkan wacana yang kaya. Demikian halnya dengan disiplin ilmu yang lain seperti sosiologi, politik atau ekonomi.

Quraish Shihab (2007) juga menguraikan tentang hal ini terkait dengan konteks modernitas dalam memahami al qur’an, Quraish Shihab menegaskan bahwa perkembangan masyarakat yang dihasilkan oleh potensi positifnya, hasil-hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertnggungjawabkan, kesemuanya harus menjadi pegangan pokok dalam memaami atau menafsirkan ayat-ayat al qur’an, sehingga bila pada lahirnya teks bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah maka tidak ada jalan lain, kecuali menempuh penta’wilan. Hal demikian tentunya lebih baik daripada mengabaikan teks sebagaimana ia tentunya masih dalam batas-batas yang dibenarkan al qur’an dan ulama.

3. Hal-hal yang semestinya diperhatikan dan dilakukan oleh seorang mufassir, perlunya asbab an nuzul dan ayat-ayat mutasyabihat.

Redaksi ayat-ayat al qur’an, sebagaimana redaksi yang diucapkan atau ditulis tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal inilah yang salah satunya menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam menafsirkan al qur’an selaku seorang mufassir, para sahabat nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta pemahaman akan struktur alamiah bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman allah swt tersebut. Karena itulah seorang penafsir mutlak perlu untuk memperhitungkan penjelasan-penjelasan Rasululla saw terkait dengan ayat-ayat al qur’an karena Rasulullah saw sendiri mendapat tugas untuk member penjelasan tersebut. Meskipun hanya sekedar contoh-contoh konkrit yang beliau angkat dari masyarakat beliau, namun hal tersebut dapat dijabarkan atau dikembangkan oleh masyarakat berikutnya. Namun demikian karena Nabi saw sendiri tidak menafsirkan semua ayat maka dibutuhkan upaya-upaya untuk memahami ayat-ayat al qur’an berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir serta kemampuan masing-masing dalam upaya memenuhi persyaratan tersebut..

Selanjutnya, karena disadari bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, namun juga ole disiplin ilmu yang ditekuninya, pengalaman, penemuan ilmiah, kondisi social, politik dan sebagainya, maka hasil pemikiran tersebut akan berbeda antara yang satu dengan yang lain, karenanya dibutuhkan adanya penafsiran yang dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab yang hal ini oleh Qurais Shihab (1999) dibutuhkan untuk menghindari polusi dalam pemahaman bahkan malapetaka dalam kehidupan. Pembatasan-pembatasan juga dibutuhkan dalam penafsiran al qur’an, pembatasan ini juga setidaknya menyangkut materi ayat-ayat dan menyangkut syarat-syarat penafsir.

Hal selanjutnya yakni karena dewasa ini akibat semakin meluasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dibutuhkan adanya kerjasama para pakar dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat al qur’an.

Untuk lebih memahami kandungan ayat-ayat al qur’an juga sangat dibutukan pengetauan al ikhwal latar belakang turunnya ayat. Dengan pengetahuan tersebut kita akan lebih memahami makna dan kandungan ayat serta akan terlepas dari keragu-raguan dalam menafsirkannya. Banyak ulama menganggap penting pengetahuan ikhwal asbab an nuzul al qur’an. Imam al Wahidi misalnya berpendapat bahwa mengetahui tafsir suatu ayat al qur’an tidak lah mungkin tanpa mengetahui latar belakang peristiwa dan kejadian turunnya ayat tersebut. Sedangkan Ibnu Daqiqil ‘Id berpendapat bawa mengetahui keterangan tentang kejadian turunnya suatu ayat merupakan cara yang paling baik untuk memahami makna ayat tersebut. Pendapat lain diutarakan oleh Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa mengetahui asbab an nuzul suatu ayat dapat mendorong kita memahami makna ayat tersebut.

4. Metode tafsir yang akan digunakan dalam menafsirkan Al Qur’an dan cara mengoperasionalkan metode tersebut

Yakni dengan menggunakan metode maudhu’I atau metode tematik, hal ini disebabkan karena beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh metode ini, jika dibandingkan dengan metode-metode yang lain yakni : Pertama, untuk mengindari problem atau kelemahan metode-metode yang lain. Kedua, menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis nabi merupakan satu cara terbaik dalam menafsirkan al qur’an. Ketiga, kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami dan hal ini lebih membawa kepada petunjuk al qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu.

Juga dengan menggunakan metode ini dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh al qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam keidupan masyarakat, dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat al qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi al qur’an sebagai kitab suci dan dapat membuktikan keistimewaan al qur’an. Selain itu metode tematik juga memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al qur’an. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Cara mengoperasionalkan metode ini yakni : Pertama, memilih atau menetapkan masalah yang akan diteliti atau dikaji secara maudhu’I atau tematik. Kedua, melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang ditetapkan yang meliputi ayat-ayat makkiyah dan madaniya. Ketiga, menyusun ayat-ayat tersebut berdasarkan kronologis masa turunnya disertai dengan pengetahuan mengenai asbab an nuzulnya. Keempat, mengetaui korelasi antar ayat-ayat tersebut. Kelima, menyusun tema bahasan didalam kerangka yang pas, sistematis dan utuh. Keenam, melengkapi uraian tersebut dengan hadis Nabi saw atau pendapat-pendapat ulama jika dipandang perlu. Ketujuh, mempelajari ayat-ayat tersebut secara sistematis dan menyeluruh dengan mengimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dank has antara yang mutlaq dan muqayyad, mengkompromikan ayat-ayat yang kontradiktif dan seterusnya.

5. a. Prinsip umum yang dapat diambil dari ajaran Al Qur’an terkait dengan masala-masalah ekonomi

setidaknya terdapat lima kelompok besar ayat-ayat al qur’an yang dapat diambil atau dipertimbangkan sebagai prinsip-prinsip umum ajaran al qur’an terkait dengan ekonomi yakni : Pertama, Aqidah, yang paling tidak perlu dijabarkan tafsiran ekonomi dari ayat-ayat yang maknanya “kepunyaan allah la kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya” (Q.S. 2:107, 5:17 dan 120 serta Q.S. 24:33). Kedua, Adil, paling tidak perlu dijabarkan ayat-ayat yang bermakna “sesunggunya allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (Q.S. 49:9, 60:8, 5:42). “keserakahan akan mendorong orang berbuat dzalim” (Q.S. 89:20). Ketiga, Nubuwwah, paling tidak perlu dijabarkan ayat-ayat yang bermakna “segala sesuatu berasal dari allah dan rasulnya pasti benar dan kebenaran” (Q.S. 19:56-57, 2:253 dan Q.S. 94:4). Sesuatu yang daaing dari allah dan rasulullah saw yang belum dapat dimengerti oleh logika kita merupakan kewajiban kitalah untuk terus membuktikan bahwa itu adalah benar. Keempat, Khalifah, paling tidak perlu dijabarkan ayat-ayat yang bermakna bahwa pemerintah yang mendapat petunjuk akan selalu mendorong kebaikan dan mencegah kemungkaran. Pemerintah memainkan peran yang kecil namun sangat penting dalam aktivitas perekonomian, dan peran itu salah satunya adalah memastikan bahwa kegiatan perekonomian berjalan tanpa ada kedzaliman. Kelima, Ma’ad, paling tidak perlu dijabarkan ayat-ayat yang bermakna carilah akiratmu dan jangan lupakan duniamu (Q.S. 28:77)

Sumber Jawaban

1. Quraish Shihab M, Wawasan Al Qur’an. Mizan. Bandung. 2001.

2. Quraish Shihab M, Membumikan Al Qur’an. Mizan. Bandung. 2007

3. KH. Q. Saleh, dkk., Asbabun Nuzul Latar Belkang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al Qur’an. CV. Penerbit Diponegoro. Bandung. 2001

4. Mahfud, Moh., dkk., Spiritualitas Al Qur’an Dalam Membangun Kearifan Ummat. Yogyakarta. UII Press. 1997.

5. Mustafa Mahmud. Dialog Dengan Atheis. Mitra Pustaka. Yogyakarta. 2002.

6. Adiwarman A. Karim. Makalah Konsep Sistematis Metodologi Ekonomi Islam Dalam Kerangka Mikro dan Makro.tt

7. Chapra M. Umer, The Future Of Economic An Islamic Persfektive. SEBI Jakarta. 2000.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id