Senin, 31 Agustus 2009

Agama (Islam) Setuju Korupsi?

Indonesia sebagai yang Negara mayoritas penduduknya muslim tentu merasa miris membaca laporan bahwa Indonesia adalah salah satu di antara lima Negara terkorup di dunia. Indonesia memang luar biasa, Negara yang disimbolkan dengan kesantunan dan ketaatan beragamanya. Ternyata symbol itupun patut dipertanyakan atau memang Indonesia dipenuhi dengan penghuni yang penduduknya beragama simbolik.
Realitas yang ada menunjukkan demikian, sebuah realitas yang sungguh ironis. Rumah ibadah berdiri megah dan dipadati dengan jamaah, ghirah jamaah haji Indonesia yang terus meningkat secara kuantitatif, walaupun ongkos perjalanannya begitu mahal. Hal ini menunjukkan keberagamaan masyarakat Indonesia tak layak untuk dipertanyakan. Namun ketika disejajarkan dengan fakta lain semisal meningkatnya korupsi, kita pantas menanyakan apakah agama (islam) mengabsahkan korupsi.
Melihat fenomena di Indonesia yang seperti ini, kita tidak bias tinggal diam. Apa usaha kita untuk mengatasi masalah tersebut. Pada pembahasan kali ini, kita akan membahas masalah korupsi dan agama, bagaimana kaitan antara keduanya, dampak yang disebabkan oleh permasalahan korupsi dan sebagainya, dan tentunya dalam pembahasan kita nantinya akan banyak terdapat kekurangan disana-sini karenanya ucapan maaf dari pembaca menyejukkan bagi penulis.

1. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin corruption dan kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Tranparency International, korupsi adalah perilaku pejabat public, baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan public yang dipercayakan kepada mereka.
Sedangkan pengertian korupsi didalam kamus ilmiah popular adalah kecurangan, penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri, pemalsuan. Dari sudut pandang hokum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsure-unsur sebagai berikut yakni perbuatan melawan hokum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Selain unsure-unsur di atas terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain yakni member atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara) dan menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara)
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah atau pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk member dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, artinya pemerintahan oleh para pencuri, dimana berpura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul dibidang politik dan birokrasi bias berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan criminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mengetahui masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas atau kejahatan.
Tergantung dari nagaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau bukan. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat, namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

2. Kondisi Yang Mendukung Munculnya Korupsi
Peningkatan jumlah koruptor di Indonesia tidak terlepas dari kondisi sekeliling mereka. Seorang pencuripun pada dasarnya tidak ingin mencuri, namun keadaan yang memaksa mereka untuk mencuri. Namun hal tersebut lebih pada pandangan sepihak, dari sisi lain tindakan amoral seseorang juga dikarenakan diri mereka sendiri. Beberapa kondisi yang mendukung munculnya korupsi di Indonesia diantaranya adalah : pertama, konsentrasi kekeasaan pada pengambilan keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik, kedua kurangnya transparansi pengambilan keputusan pemerintah, ketiga kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal, keempat, proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar, keenam, lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”, lemahnya ketertiban hokum, lemahnya profesi hokum, kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa, gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil, rakyat yang cuek, tidak tertarik atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum dan tidak adanya control yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”
Hal-hal di atas adalah kondisi di Indonesia yang sangat mendukung meningkatnya tindakan korupsi. Masyarakat yang menyaksikan kadang hanya diam menyaksikan perbuatan amoral mereka, atau bahkan cuek dengan apa yang mereka lakukan. Tidak banyak yang bias dilakukan masyarakat kelas bawah. Suara yang mereka keluarkan tidak memiliki nilai, demokrasi seakan-akan telah lenyap ditelan bumi.

3. Dampak Korupsi
Ada beberapa dampak negative yang disebabkan oleh korupsi. Sekalipun koruptor merasakan nilai positif dengan apa yang mereka dapat, namun disisi lain mereka tetap merasa takut dengan apa yang telah diperbuat. Berikut ini beberapa dampak dari korupsi yakni pertama, dalam konteks demokratisasi. Korupsi menunjukkan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demikrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi dipemilihan umum dan di badan legislative akan mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan.
Korupsi di system peradilan dapat menghentikan ketertiban hokum dan korupsi di pemerintahan public dapat menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya dan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintah dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Kedua, dampak korupsi dalam konteks perekonomian yakni korupsi dapat mempersulit proses pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidakefesienan yang tinggi. Dalam sector privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran illegal, ongkos managemen dalam negosiasi dengan pejabat korup dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Walaupun ada yang berpendapat bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, consensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan seb agai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efesien.
Korupsi juga dapat menimbulkan distorsi (kekacauan) didalam sector public dengan mengalihkan investasi public keproyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan uapah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur, dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu factor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) keluar negeri, bukannya diinvestasikan kedalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa adanya dictator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan dictator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hokum dan lain-lain.
Para pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah $187 Triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri (hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalh ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel asset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini member dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, diluar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
Ketiga, dampak korupsi dalam konteks merusak birokrasi sipil hal ini, lebih jauh lagi dapat merusak birokrasi sebagai tulang punggung pemerintahan Negara. Korupsi dalam rezim yang lalu diciptakan untuk membantu kerja kekuasaan dengan mensistematiskan korupsi yang melembaga. Birokrasi, baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang paling rawan terhadap korupsi. Sebab, ditangan mereka terdapat kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga Negara. Oleh karena itu, Tranperency International, lembaga international yang bergerak dalam upaya anti korupsi secara sederhana mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan public untuk kepentingan pribadi.
Keempat, kesejahteraan umum Negara. Korupsi politisi ada dibanyak Negara dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Kelima, korupsi dapat merusak moral bangsa. Korupsi mempengaruhi semua masyarakat (mau tidak mau). Dan bagaimana mungkin kita dapat memberantas pornografi dan judi jikalau korupsi tetap berjalan. Criminal tinggal “bayar saja” dan kegiatan mereka dapat dilanjutkan lagi. Beberapa hari yang lalu di Metro TV ada program mengenai masalah pornografi dan presenter program bertanya kepada salah satu peserta panel, masalah apa yang lebih penting korupsi atau pornografi? Jawaban yang disanmpaikan “sama saja”. Jawaban ini hanya membuktikan bahwa pesertanya panel sendiri kurang mengerti implikasi hal-hal tersebut.
Anak kita belajar moral dari kita, bukan dari yang kita ajarkan tetapi dari yang kita lakukan. Kalau kita sendiri tidak jujur atau menghormati koruptor (pencuri) tidak ada gunanya kalau kita bilang jangan mencuri. Yang merusak moral bangsa kita adalah contoh-contoh buruk yang kita saksikan setiap hari. Misalnya koruptor yang mencuri puluhan milyar rupiah kemudian dilepaskan, namun orang yang mencuri hanya lima ratus ribu rupiah karena lapar langsung digebukin dan dimasukkan penjara. Hal ini mendidik apakah kepada anak-anak kita? Berarti, jikalau anda ingin mencuri, mencuri yang banyak sekalian dan jangan yang kecil-kecil. Akhirnya, korupsi sangant merugikan semua masyarakat termasuk koruptor, karena meskipun mereka kaya raya, mereka juga tetap harus tinggal di lingkungan yang buruk dan tidak aman.
Dari asfek social budaya korupsi lebih mengerikan lagi. Sebvagai dampak negative adanya korupsi maka akan membawa pemahaman baru bagi masyarakat tentang makna pemerintahan, aktivitas bermasyarakat atau proses bersosialisasi dengan sesame. Terkait dengan hal demikian, adalah bagaimana korupsi mampu mengubah pandangan hidup masyarakat yang penuh semangat kekeluargaan menjadi masyarakat yang berfaham kebendaan. Di mana masyarakat kita yang suka menolong berubah sedemikian rupa menjadi masyarakat yang pamrih setiap membantu sesama.

4. Korupsi dan Agama
Mungkin menyakitkan melihat praktik keagamaan dan kekuasaan menyumbang pemiskinan (proletarisasi), selain kesenjangan moral pemimpin dengan rakyat. Ketika rakyat jatuh miskin dan mati kelaparan, pemimpin sibuk dengan kuasa dan surganya sendiri. Gejala pembiaran proletarisasi dalam prkatik keagamaan dan kekuasaan memunculkan pertanyaan, apakah agama dan demokrasi bagi pembebasan ummat dari pemiskinan, pembodohan dan penindasan?
Bagaimanapun diperlukan jalan damai melawan terorisme dengan pembebasan rakyat dari jebakan proletarisasi. Melalui tafsir profetis praktik ritual difungsikan bagi promosi kesejahteraan seluruh umat manusia. Istitho’ah (kemampuan) berhaji diberi makna social, sinterkelas dan ritual kurban dikelola sebagai aksi konkret melawan terorisme, proletarisasi dan hasrat korup.
Tafsir profetis bias dipenuhi ketika wahyu dan tradisi kenabian tidak diperlakukan sebagai teks mati yang haram ditafsir ulang. Agama yang suci bukan diletakkan sebagai negasi budaya yang menyejarah yang terus berubah. Konstruksi ajaran susunan ulama ribuan tahun lalu tidak diterima secara taken for granted sebagai kesempurnaan suci dengan sendirinya (am sich). Tuhan dengan wahyu-Nya dimaknai berbicara secara on-line (langsung) kepada umat manusia dalam dinamika sejarah yang terus berubah.
Tanpa tafsir profetis mungkin tuhan telah dibunuh pemimpin agama hingga tak lagi menunjukkan kuasa-Nya mengubah kaum proletar seperti kritik Nietzsche. Pemimpin agama dan politik gagal mendengar jeritan jutaan rakyat yang jatuh miskin dan kelaparan, ketika Tuhan yang maha hidup tidak ditafsir dalam aksi profetis. Atau, hari-hari mendatang ditahun 2006 akan tetap dihantui aksi-aksi terror atas nama kesucian agama dan janji surgawi dengan pemimpin yang tak peduli nasib rakyat.
Kalau korupsi mengandung unsure penyalahgunaan wewenang dan merugikan kepentingan orang banyak, jelas bahwa dampaknya pun cukup signifikan bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat. Bagaimana agama menyikapi persoalan ini?
Karena korupsi selalu melibatkan jarring-jaring kekuasaan atau otoritas Negara, maka perlu dijabarkan bagaimana prinsip islam tentang pengelolaan Negara. Pertama, Negara berkewajiban untuk menegakkan ketertiban umum, melindungi kemanan seluruh warga, dan menegakkan keadilan bagi kemaslahatan tanpa membeda-bedakan. Dalam kaedah ushul fiqh disebutkan bahwa seluruh kebijakan dan tindakan pemimpin terhadap rakyatnya haruslah selalu bersumber pada kepentingan mereka (rakyat).
Kedua, sebagai pembawa amanat, pemerintah harus melakukan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak rakyat yang lemah. Karena itu Negara yang tidak menunjukkan komitmen pada keadilan dan perlindungan bagi rakyat lemah, dalam pandangan islam dianggap mendustakan agama. Lalu bagaima jika dikaitkan dengan korupsi? Sebagaimana diketahui islam tidak hanya menganjurkan pemeluknya untuk senantiasa berhubungan dengan allah, namun juga dengan sesame manusia dan lingkungannya, termasuk memburu harta. Namun demikian, upaya memburu harta itu hendaklah dilakukan dengan penghalalan segala cara (al maqosid tabarriru al wasa’il). Dengan demikian upaya yang dilakukan dengan cara yang tidak tepat seperti pencurian dalam bentuk apapun hukumnya aadalah haram, karena itu termasuk tindakan pencurian atau korupsi atau ghulul.
Jika demikian, bagaimana menyikapinya? Keputusan Munas alim ulama NU dan konfrensi besar NU diputuskan bahwa selayaknya kita meneladani nabi yang enggan menyolati jenazah pencuri. Dengan demikian, koruptor apabila mati hendaknya tidak disholati. Ancaman keras semacam ini didasarkan pada kenyataan bahwa korupsi merupakan penghianatan terhadap ummat, rakyat. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dikatagorikan sebagai pencurian (syariqah) dan perampokan (nahb).

C. Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/korupsi
Pius, A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Arkola. Surabaya, 1994.
http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi4/4berita_3.html
http://korupsi.org/moral.html
http://korupsi.org/info.html
Kompas September 2003, 2004.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0904/24/0802.htm
www.fatihsyuhud.comRata Penuhhttp://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/06/opini/2342773.htm

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id