Rabu, 05 Agustus 2009

Agama Orang Berakal

Predikat inhern yang memisahkan manusia dari hewan adalah karena akalnya. Sedangkan predikat inhern yang yang memisahkan manusia dengan benda lainnya (cair, padat atau gas) adalah keberkembangannya, selanjutnya diferensia yang memisahkan manusia dengan tumbuhan adalah karena keinginannya.

Tentang akal, misalnya sekarang kita berandai, dan kita juga mengetahui bahwa orang yang paling dihormati dinegeri ini ialah Bapak Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, namun kemudian kita bayangkan, jika tiba-tiba orang yang kita hormati itu gila, dia keluar rumah dan merobek-robek pakaiannya, sambil berteriak-teriak tidak karuan. Bajunya kusut, kumal dan banyak daki, rambutnya panjang, badannya hitam tidak pernah mandi sambil berjalan ia cengingikan, senyum-senyum dan tertawa tidak karuan.

Jika demikian keadaannya kita lalu bertanya apa iya ada pengawal yang mau mengawalnya, tidak kan? Memang, ia tidak perlu dikawal atau dijaga, terkecuali jikalau ia mengganggu orang lain karena keadaannya itu hal ini disebabkan karena predikat inhern yang saat itu ia miliki tak ubahnya dengan seekor kucing dijalanan. Bukankah ada juga sebagian orang yang mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berfikir? Dengan hilangnya akal manusia, hilang pula harga dirinya sebagai manusia.

Dengan demikian kewajiban (agama) terlepas darinya, karena Nabi SAW pernah mengatakan bahwa bagi mereka yang gila (hingga sembuh) mereka yang mabuk (hingga sadar) dan mereka yang tidur (hingga bangun) serta anak kecil sehingga ia baligh kewajiban (agama) terhapus. Demikian halnya jika anda mengetahui, saya tidak lagi menggunakan akal dengan baik, maka konsekuensinya anda atau saya hanya akan mengikuti kehendak emosi saja, karena bukankah kita juga menyadari bahwa akal dan hawa nafsu itu tidak pernah akur apalagi seiring sejalan, seiya sekata.

Jangan juga salahkan orang jika anda dianggap akalnya kurang atau tidak sempurna, karena anda tidak sanggup mengendalikan emosi, orang tersebut beranggapan demikian karena melihat dan mengetahui ketidakstabilan emosi anda. Marah, tertawa terbahak-bahak tanpa sebab. Dalam konteks pekerjaan kiranya apa yang diutarakan oleh Rahmat Abdullah (2004) bahwa jangan memberi pekerjaan kepada orang yang usia semangatnya sudah larut senja atau kearifannya terlalu pagi, karena kerja atau amanah tersebut harus dihayati dengan semangat pemuda dalam bingkai kearifan orang tua dan tidak sebaliknya.

Mengapa anda harus marah-marah, tertawa keras-keras yang tidak jelas pokok pangkal penyebabnya, mengapa anda harus nongkrong dan minum-minum dipinggir jalan terlebih jika makan dan minum itu dilakukan sambil berjalan, apakah anda tidak malu? Akal menimbulkan dan menentukan segalanya bagi manusia, karena akallah maka rasa malu itu timbul. Dengan akal manusia dapat merasa malu dan dapat menentukan pilihan hidupnya dalam beragama. Tidak heran jika malu itu digolongkan sebagai bagian dari iman.Berbeda halnya dengan kaum ateis materialis yang tidak mengakui agama, tidak memiliki rasa tanggungjawab, menganggap waktu sebagai milik pribadi, tidak mempercayai adanya kehidupan setelah mati (akhirat), atau kebangkitan kembali, karena itulah mereka berbuat sekehendak hatinya.

Pilihan orang terhadap agama akan bergantung pada akalnya, apakah anda berkehendak untuk meluangkan waktu untuk belajar perbandingan agama? Apakah ia sesuai dengan fitrah manusia atau akal manusia? Dengan menggunakan akal anda akan menemukan kebenarannya. Ada juga memang yang berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa dipergunakan secara total untuk meyakini suatu agama, karena akal itu terbatas. Karena ia juga mahluk yang diciptakan. Keterbatasan ini karena mereka beranggapan tentang adanya wilayah tertentu yang tidak dapat ditembus akal, takdir dan pelogikaan Dzat Tuhan misalnya, atau hal-hal gaib yang tidak bisa diungkap secara empirik dengan panca indra manusia. Takdir misalnya, ketentuan takdir ini ada di “tangan” Allah. Ini adalah rukun ke enam dalam Islam, baik yang Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis atau Nahdlatul Wathan, atau yang setuju Khomaini atau tidak, sama mempercayai dan meyakininya.

Untuk pelogikaan Dzat Tuhan tidak akan pernah bisa dilakukan karena akal kita tidak akan pernah sampai kesana, dan logika Tuhan tidak sama dengan manusia. Tuhan tidak terbatas dan manusia terbatas. Lalu apakah sama antara yang menciptakan dengan yang diciptakan? Atau memang sengaja dibuat rumit oleh Tuhan, agar kita dituntut untuk senantiasa berada dalam upaya pencarian hakikat-Nya, walaupun itu tidak akan pernah tercapai. Yang penting kan upayanya bukan main mutlak-mutlakan. Apakah kalian tidak berfikir? Demikian pernyataan Allah dalam firman suci.

Yang mengatakan bahwa ada semacam ketakutan-ketakutan ketika menggunakan akal, karena kekuatan akal tidak bisa dipertanggungjawabkan ketika ia bertemu dengan kepercayaan kolektif masyarakat juga ada. Mereka beralasan bahwa masyarakat kita sekarang cenderung membahasakan diri dengan bahasa plural, kami atau kita dari pada merujuk kepada personal tunggal, aku atau saya. Seakan-akan legitimasi atas kebenaran telah didapatkan, dengan pengakuan atas pendapat kolektif, benarkah demikian?

Untuk hal ini Ibnu Qoyyim (2002) pernah memperingatkan bahwa yang dimaksud kebisaaan (al-adaat) yang harus dihindari ialah sesuatu yang dilakukan terus menerus oleh seseorang hingga pada tahap seseorang mendudukkannya seperti hukum yang harus dilaksanakan. Bahkan tambah Ibnu Qoyyim, sesuatu kebisaaan bisa saja dianggap lebih besar dari hukum-hukum yang ma’ruf bagi mereka ialah sesuatu yang sesuai dengan kebisaaan mereka. Sedangkan kemungkaran adalah apa yang berlawanan dengan kebisaaan mereka.

Pendapat yang mengatakan bahwa selama ini ajaran agama sering didapat melalui proses indoktrinisasi, sehingga sedikit bahkan tidak ada upaya untuk berfikir dan merenung, juga berkembang. Hal inilah yang dalam realita menimbulkan kontradiksi dalam pemahaman akan kitab suci, karena itulah setidaknya dibutuhkan rasionalisasi dalam beragama.

Selanjutnya faktor yang tampaknya sangat dominan dalam pilihan terhadap agama dapat kita sebutkan yakni keluarga sebagai suatu entitas pertama yang mengajarkan tentang bagaimana meyakini dan menjalankan sebuah ajaran atau menjauhi larangan dalam beragama, dan hal tersebut juga dijelaskan dalam kitab suci Al Qur’an. Namun demikian kita juga menyadari bahwa terkadang ada juga ketakutan atau penolakan oleh masyarakat terhadap kebenaran agama yang mungkin ditemukannya. Karena itulah akal dan agama memiliki korelasi yang sangat signifikan, tiada agama bagi orang yang tidak berakal, bukankah Nabi SAW menjelaskan demikian?

Lalu bagaimana dengan orang yang taklid buta? Yang tidak menggunakan akalnya, atau memang akalnya tidak memiliki kualitas untuk itu. Bukankah dalam bertaqlid orang mesti mengetahui dan dapat membuktikan bahwa seseorang itu memang layak untuk diikuti? Layak untuk diimami. Dalam kitab suci juga disebutkan bahwa orang yang berakal adalah orang yang menggunakan mata, telinga dan hatinya yang dikendalikan oleh akal. Itulah sebabnya jika mata tidak dikendalikan ia dapat bertahan lebih lama untuk melihat hal-hal yang tidak bermanfaat, jika dibandingkan dengan perbuatan yang bernuansa ibadah dan taqwa kepada Allah SWT, terlebih telinga dan hati. Bukankah hati dengan jelas digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai gambaran baik atau buruknya akhlaq seorang muslim yang akan berbanding lurus dengan tiap amal perbuatannya?

Meskipun sama-sama memiliki akal, kita tentu juga harus bisa membedakan, mana akal yang sehat dan mana akal yang tidak sehat. Kelinci ditempatkan sebagai kelinci. Kambing ditempatkan sebagai kambing. Burung pipit berbeda dengan burung elang. Pipit tidak akan bisa menjadi elang, meskipun dipinjami sayap elang. Kambing tetaplah kambing, meskipun diberi jaket singa. Dia tetap mengembik, meskipun sudah berjaket dan berlagak menjadi singa. Kita tentu paham, bahwa akal Einstein tentu berbeda dengan akalnya Mr. Bean, akal Prof. Quraish Shihab berbeda jauh kualitasnya dengan akal Sumanto pemakan manusia. Begitu juga akal Imam Bukhari, tentu berbeda dengan akal Tesi. akal Umar bin Khathab sangat berbeda dengan akalnya Hitler. Karena itu, kita tidak sembarangan mengikuti akal seseorang. Akal siapa dulu yang kita ikuti. Jelas, akal setiap manusia memang tidak sama. Dalam soal pemahaman terhadap pasal 33 UUD 1945, misalnya, tentu kita lebih percaya kepada akal Mohammad Hatta ketimbang akalnya Thukul Arwana. Begitu juga, dalam soal syariah dan muamalah, normalnya, tentu kita lebih percaya kepada ahlinya ketimbang yang bukan ahlinya. Karena jika kita lebih percaya kepada yang ukan ahlinya maka kita bersiap-siaplah untuk kehancurannya, bukankah demikian yang dijelaskan Rasulullah saw?

Akhirnya kita tidak dapat memungkiri tentang peran akal dalam menumbuhkembangkan kesadaran diri dalam beragama dan tidak dari hasil doktrin semata. Bukankah penghormatan manusia terhadap manusia lainnya berbanding lurus dengan akal yang sempurna?

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id