Dalam cerita fabel tentang dunia binatang, sejak kecil mungkin kita terlanjur memitoskan kancil sebagai binatang yang cerdik, nakal dan suka menipu serta mencuri, itulah fabel yang dibuat manusia untuk mengeksploitasi sang kancil, meski mungkin tabiat kancil sesungguhnya tidaklah demikian. Ia mungkin sangat pemalu kepada sesama binatangnya. Namun hal tersebut oleh kebanyakan orang dapat dijadikan suatu kesan tersendiri terhadap hewan tersebut. Selanjutnya kesan tersebut singgah dikepala kita dan akibatnya sang kancil bukan lagi sosok binatang yang lucu atau imut, namun binatang yang penuh dengan taktik, intrik dan strategi yang licik, otaknya penuh dengan improvisasi dalam upaya mengalahkan lawan-lawannya. Hal itulah yang sering kali timbul saat kita mendengar atau menonton kisah tentang sang kancil. Si kancil anak nakal suka mencuri ketimun, ayo lekas dikejar jangan diberi ampun. Demikian bait sebuah lagu anak tentang sang kancil.
Dalam perjalanan kisah sang kancil sementara orang banyak berargumen dengan berdecak kagum akan kepiawaian si kancil dalam adu strategi mengecoh lawan-lawannya (macan, ular dan buaya) walau tidak dapat dipungkiri pula bahwa sang kawan tak urung juga menjadi mangsanya (gajah dan anjing) korban strategi dan kelicikannya.
Lalu, apakah dengan demikian setiap anak yang akan mendengar dan menonton carita fabel sang kancil akan merasa berkeinginan untuk menjadi bak kancil? Terkadang jika kita pelajari dengan seksama kisah sang kancil dengan sahabatnya, kita mungkin merasa sedih saat menyaksikan anjing dipukuli oleh pak tani, atau sang gajah yang masuk kedalam lubang. Sedangkan sang kancil dengan seenaknya bergembira ria, berloncatan kian kemari, menyaksikan kedua sahabatnya terkena hukuman. Karenanya pertanyaan yang dapat timbul yakni mengapa justru kedua sahabatnya itu yang kemudian diperdayanya, dirugikan sang kancil?
Dalam mmenyimak kisah selanjutnya kita mungkin akan dapat bernafas lega karena sang kancil dapat terkecoh oleh si siput yang kecil, dan akibatnya sang kancil terjerumus kedalam lubang sebagai hukumannya. Terkadang memang dari sinilah kita dapat membenarkan bahwa dengan batu kerikil yang kecil orang dapat jatuh dan tersingkir. Dengan demikian maksud apa sebenarnya yang dikehendaki oleh penulis fabel tentang sang kancil tersebut?
Jika kita perhatikan kisah sang kancil maka kita setidaknya akan menjumpai bahwa sang kancil lebih condong menggunakan otaknya dalam menghadapi masalah yang dihadapinya, penyelesaian masalah dengan fisik merupakan jalan keluar kedua setelah langkah pertama tak dapat ditempuhnya. Jika demikian mungkin kita akan terusik dengan pertanyaan, karena cerita tersebut dikhususkan untuk dunia anak-anak sebagai dunia yang homoluden (bermain, bersuka ria) lalu mengapa ia meski dicemari dengan contoh dan teladan yang berbau penipuan, pencurian, taktik dan tipu muslihat?
Sementara di lain pihak sikap kemanusiaan, rasa iba, kegotongroyongan terlebih sikap keagamaan dinomorduakan, dan tidak sedikitpun disentuh oleh fabel tersebut. Selanjutnya jika kita perhatikan beragam acara televisi keseharian atau dalam hari minggu kita akan dihadapkan pada seabrek acara stasiun TV swasta yang ditayangkan bukannya mendidik anak-anak dengan sikap dan sifat terpuji, malah justru sebaliknya, kisah krayon Sinchan yang kontroversial misalnya yang dipenuhi oleh sifat konsumerisme. Dunia anak kalau tidak keseluruhan atau sebagian dijadikan sebagai lahan eksploitasi, terlebih makin maraknya informasi tentang dunia kriminal, maka disadari atau tidak dampak dari keadaan ini akan makin meningkatkan sebut misalnya sikap kekerasan terhadap anak, pencabulan, pemerkosaan dibawah umur, karena bagaimanapun masyarakat seakan disuguhkan tentang bagaimana cara atau katakanlah metode melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut.
Dengan ini sudah semestinyalah dampak negatif dari keadaan ini dapat ditekan sejak dini, hal ini misalnya dapat dilakukan oleh para orang tua dengan menemani putra-putrinya saat menonton tayangan TV dengan memberi penjelasan terhadap acara yang berlangsung. Dan sebaliknya jika hal tersebut tetap dibiarkan saja dan bahkan makin merajalela maka kelak anak-anak kita akan jadi apa? Inilah sebenarnya pertanyaan mendasar yang harus diajukan dan meski dijawab oleh para orang tua.
Kembali ke persoalan kancil. Kendati sang kancil mampu terlepas dari berbagai persoalan yang menghimpitnya, dan jika kita mengambil pelajaran darinya tetap saja cerita fabel itu merupakan penonjolan dari sikap manusia yang merasa berkuasa, merampas dan mengeksploitasi mereka yang tak berkuasa, kalangan yang “pintar” berkompetisi mengelabui kalangan yang bodoh dan melarat. Dari kenyataan ini ternyata benar dan terbukti apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes, bahwa manusia adalah serigala bagi manusia yang lainnya, disinilah selanjutnya mulai berlaku hukum rimba, bagi siapa saja atau mereka yang kuat, cerdik, licik, pandai ia akan berkuasa, sikap barbar akan muncul kembali dalam wujudnya yang amat sangat halus. Hal ini diakibatkan oleh penghambaan manusia terhadap materi.
Didunia Barat, penghargaan terhadap hak-hak individu dijunjung tinggi. Hal ini tentu akan berdampak tidak saja mengakibatkan kompetisi tidak sehat namun lebih jauh akan mendorong akal menusia untuk mendapatkan apa yang ditujunya termasuk dalam hal menghalalkan segala cara ala Machiavellian, akibanya nilai-nilai dan norma-norma yang dianggap luhur dibiarkan membusuk tercampakkan begitu saja.
Potong Kompas
Tidak salah kiranya jika para founding father kita menanamkan sikap gotong-royong dan kekeluargaan dalam merumuskan nilai yang dimiliki bangsa. Dahulu, dimana pengaruh westernisasi tidak begitu dirasakan, sikap dan sifat kebersamaan terpupuk dengan suburnya karena setiap masyarakat merasa sebagai bagian dari anggota masyarakat lainnya. Tidak heran jika para seniman melukiskan Nusantara bagai zamrud dikhatulistiwa.
Kini, pembangunan didengungkan, Orde Baru bergulir, Reformasi didengungkan, lahan-lahan sedikit demi sedikit berubah menjadi pabrik-pabrik industri, penghasil polusi dengan tembok-tembok raksasa dan hutan beton sebagai pembatasnya, mengikis sistem kekeluargaan, menguras semangat kegotongroyongan, semua diukur dengan uang, desa yang dulunya asri kini penduduknya berubah menjadi badut-badut tidak berbaju dikitari oleh beton-beton belantara dan pendingin udara karena kepanasan, jalan-jalan beraspal, jalan tol, dan bergunung-gunung sampah dihasilkan.
Rumah dijadikan penjara bagi penghuninya, para satpam dengan tegar berdiri dibalik tembok berjeruji besi tajam, runcing dan kokoh, anjing-anjing herder terpelihara dengan gemuknya, menutup bagian lain dari sisi kehidupan kota dibawah kolong-kolong jambatan dengan tubuh tak terurus, kering kerontangnya tubuh manusia yang terbalut kulit penderitaan dan kepapaan.
Dari kenyataan ini, kembali kita teringat oleh kisah sang kancil, sebagai cerminan sikap manusia. Mereka tidak saja kaya, tetapi juga dibekali dengan taktik dan tipu muslihat dalam menyikapi hidup, jika dituduh asosial mereka dengan amat sangat tegas akan membantah dengan kata ampuh Alfred Alder, bukankah manusia berorientasi kembar pada keakuan dan kemasyarakatan? Manusia dapat mencapai kesempurnaan jika dapat mencukupi kebutuhan dan keinginan (kepentingannya), disinilah akan berlaku Elu, Elu. Dan Gue, Gue. Terserah, tak mau tahu akan menjelma dalam keseharian, untuk apa bersosialisasi jika kepentingan pribadi belum terpenuhi dan dampak selanjutnya pembaca yang budiman dapat menerka sendiri tentunya.
Disadari atau tidak inilah sebenarnya dampak modernisasi, bukan karena kalah, namun hal itu akan tetap terpengaruh pada pola tingkah laku manusia, pada pergeseran tata nilai dan relativitas sudut kehidupan. Persoalan belum lagi usai, kita dihadapkan kembali pada krisis identitas diri pasca reformasi. Teralienasi. Yang berpengaruh pada daya fikir dan pola prilaku manusia. Yang diakibatkan oleh modernisasi yang melihat segala hal dapat diselesaikan dengan melihat seberapa besar sisi material yang terkandung di dalamnya. Tanpa peduli ucapan Karen Amstrong, bahwa terdapat sisi lain dari kehidupan manusia yang terabaikan, yang tertutup oleh materialisme. Atau pertanyaan mendasar Radhar bahwa bagaimanapun iman dan religiusitas tak akan lenyap dari diri kita, diri manusia.
Inilah potong kompas yang secara perlahan namun pasti telah dapat mengalahkan seluruh kalau tidak sebagian identitas yang dibangun manusia dan hal ini membuktikan ketimpangan pribadi manusia yang tak mampu mengimplementasikan nilai-nilai moral (agama) dalam prilaku riil keseharian yang diakibatkan oleh kelaliman dan kebodohannya (Q.S. Al Ahzab : 72).
Menghalalkan Segala Cara
Dari sub topik ini kita tentu telah dapat merasakan mal praktek apa yang terkandung di dalamnya, hal ini akan ditunjang oleh ketaksetujuan para pembaca tentunya. Menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan acap kali tidak dapat lepas dari aktivitas keseharian, baik itu rekan kerja, karib kerabat atau bahkan diri kita sendiri turut andil baik secara sadar atau tidak.
Kebanyakan orang sering berorientasi pada hasil dan tidak merasa begitu peduli dengan yang namanya moralitas atau etika, adat yang dianggap sebagai suatu pedoman atau petunjuk. Kita mungkin dalam hal ini membungkam mulit jika bicara soal agama dan hal lain yang dianggap sebagian orang sebagai bentuk pelarian terhadap keinginan, atau candu bagi satu golongan lain. Tidak ada wahyu yang turun atau mukjizat yang hadir, masa lalu ialah masa lalu dan kini ialah saat ini, dimana kita bertahan untuk hidup (struggle for live) menyerah dan tunduk pada agama, bagi sebagian lainnya berarti kalah dan hanyut dalam dinamika, alasan untuk ini ialah karena bagaimanapun manusia memiliki kecendrungan untuk berharta, bertahta atau berlebih dalah hal pasangan, yang dengan segala daya dan upayanya akan selalu ia perebutkan.
Jangan kaget jika misalnya seorang David Coverfield akan melakukan hubungan dengan para jin untuk mewujudkan impiannya menjadi pesulap kesohor dunia, atau bagaimana si Udin dengan Mbah Dukunnya untuk mendapatkan Intan misalnya, atau raja Nero yang membunuh keluarganya demi mewjudkan impiannya untuk menjadi seorang raja yang berkuasa atas segalanya. Atau semisal kisah dalam film layar lebar yang berjudul Gladiator, hal itu merupakan perwujudan kecendrungan manusia akan hal-hal yang berbau materialisme dalam arti luas.
Orientasi hasil pada hakikatnya tidak terlalu buruk, namun demikian merupakan suatu keniscayaan jika kita memilih cara yang secara moral, atau agama dianggap baik, memperhatikan proses yang terangkai mesti diutamakan, karena disadari bahwa hidup merupakan proses yang panjang, hal ini akan berlaku untuk jenis kehidupan dan yang manapun. Karena perlu diperhatikan bahwa perbuatan yang hakikatnya buruk tidak dapat menjadi baik oleh motif yang baik sekalipun, hal ini karena pada hakikatnya perbuatan tersebut secara intrinsik sudah buruk.
Dengan demikian tidak ada seorangpun yang diperbolehkan untuk melakukan perbuatan yang dalam nilai instrinsiknya terkandung keburukan walaupun dalam motif dan keadaan apapun. Jika hal tersebut berlaku untuk apa kita diajarkan untuk berkata jujur walau keadaannya memang pahit. Inilah sebabnya orang harus membuang jauh-jauh prinsip atau pernyataan yang menyatakan “mencari yang haram saja susah apalagi yang halal”.
0 Comments:
Post a Comment