Rabu, 05 Agustus 2009

Tamsil Dalam Nash

Dalam menanamkan kesan dan pengaruh dakwah kepada orang lain, metode perumpamaan (tamsil) untuk mendekati apa uang dimaksud dapat dilakukan, bahkan metode ini akan secara langsung dapat tertanam dalam diri sesorang dan berimplikasi pada perubahan pola fikir, membentuk pola perubahan sikap dan tingkah laku dalam aktivitas kesehariannya walaupun hal itu tidak bersifat sekaligus, namun secara berangsur-angsur.

Allah SWT banyak menggunakan perumpamaan ini dalam Al Qur’an misalnya terdapat dalam Q.S. Al A’raaf ayat 176 yang mengumpamakan manusia bagai hewan yakni anjing, jika ia berkecendrungan mengikuti hawa nafsunya, demikian halnya dengan ayat 179, manusia ditamsilkan sebagai binatang ternak, jika ia tidak dapat menggunakan hati, penglihatan dan pendengarannya dengan baik. Q.S. Al Jummu’ah ayat 5 yang mengumpamakan manusia bagai seekor keledai yang membawa buku tebal jika (kaum Yahudi) manusia tidak mau mengamalkan atau melaksanakan kitab suci yang diterimanya (Taurat), ditamsilkan sebagai laba-laba dalam Q.S. Al Ankabut ayat 41 jika manusia mengambil perlindungan selain Allah SWT, dan sebagai kera dalam Q.S. Al Baqarah ayat 65 jika manusia melanggar larangan Allah SWT. Masih banyak lagi perumpamaan yang lain yang dijadikan Allah SWT untuk manusia semisal sebagai kera dan babi dalam Q.S. Al Maaidah ayat 60, sebagai nyamuk, sebagi buih dan perhiasan dalam Q.S. Arra’du ayat 17 dan banyak perumpamaan yang lainnya.

Allah SWT membuat perumpamaan (tamsil) dalam Al Qur’an untuk manusia tentunya memilki maksud yang melatarbelakanginya dan berbagai hikmah perumpamaan yang terkandung didalamnya. Semua perumpamaan itu dibuat untuk manusia agar manusia dapat memahami makna yang terkandung. Misalnya seperti yang terkandung dalam Q.S. Al Ankabut ayat 43. Allah SWT menyatakan bahwa Allah SWT membuat perumpamaan itu untuk manusia, namun demikian sayangnya hanya sedikit manusia yang memahami maknanya.

Demikian, diantaranya yakni orang-orang yang menggunakan akalnya, memiliki ilmu pengetahuan seperti termaktub dalam Q.S. Ibrahim ayat 25 yang menegaskan bahwa Allah SWT membuat perumpamaan ialah dikarenakan agar manusia menggunakan akal pikirnya untuk memahami ayat-ayat yang diciptakan Allah SWT.

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW pernah menapsilkan Islam sebagai sebuah bangunan dengan para Nabi sebagai pekerjanya, mempercantik dan memperindah bangunan tersebut, namun demikian terdapat salah satu batu dalam bangunan tersebut yang belum terpasang, sehingga dengannya seluruh manusia mengelilingi dan mempertanyakan tentang batu yang belum terpasang tersebut, sehingga Rasulullah SAW menjawab “Akulah batu-bata itu dan Akulah penutup para Nabi”

Dalam memahami pengertian yang terkandung dalam hadist Rasulullah SAW tersebut akan tampak terlihat jelas bahwa Islam yang disampaikan oleh para Nabi adalah sama. Bangunan Islam yang dibangun semenjak Nabi Adam As hingga Nabi Muhammad SAW ialah sama dan sempurnanya pembangunan bangunan Islam itu ialah ketika diutusnya Nabi terakhir yakni Rasulullah SAW.

Pada kesempatan lain Rasulullah SAW juga pernah bersabda yang artinya “Islam dibangun di atas lima perkara, bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramdhan” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Nasa’I dan Tarmizi).

Hadist Nabi SWT tersebut di atas secara tegas menamsilkan atau memposisikan Islam sebagai sebuah bangunan. Dengan rukun Islam sebagai pondasinya. Rukun Islam ini merupakan bagian yang sangat inti dan di atas pondasi ini masih terdapat bagian-bagian yang lain yang mesti ditegakkan, seperti misalnya pernyataan sahabat Nabi SAW Ali bin Abi Thalib, bahwa Islam ialah penyerakan diri, penyerahan diri ialah keyakinan, keyakinan ialah pembenaran, pembenaran ialah ikrar, ikrar ialah pelaksanaan dan pelaksanaan ialah amal perbuatan (Lihat Mutiara Nahjul Balaghah : Wacana dan Surat-Surat Imam Ali R.A. 2001)

Maka demikian kita tentu tidak ingin menempati bangunan yang hanya berupa fondasi saja, dibutuhkan bagian lain atau penyempurnaan untuk menjadi sebuah rumah yang kokoh, aman untuk ditempati, nyaman untuk bernaung dan berteduh.

Indahnya Islam dibawah Rasulullah SAW dan para sahabatnya, secara berangsur-angsur mulai makin mengikis dan makin hari makin rapuh. Kehidupan ummat Islam tidak lagi dibawah nilai-nilai dan sistem yang Islami. Sepertinya kenyataan inilah yang sedang kita hadapi. Ummat Islam saat ini tidak menerapkan nilai-nilai dari sistem Islam yang telah dijabarkan dan dicontohkan oleh Nabi SAW dan para sahabat-sahabatnya.

Karena dengannyalah dibutuhkan suatu sudut pandang baru dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Islam yang akan sesuai dengan era insustrialisasi zaman ini. Dan pada kenyataannya dalam keseharian ummat Islam dididik dan ditata dengan sistem nilai-nilai sekuler, entah itu individualisme, konsumerisme, hedonisme, materialisme dan sederet isme-isme lainnya yang makin hari makin berkembang dan tidak sesuai dengan sudut pandang dan nilai-nilai yang Islami.

Perekonomian saja dibayangi oleh sistem ribawi dalam berbagai kegiatannya, kapitalisme sebagai induknya kini makin mendarah daging dalam setiap sendi kehidupan, sistem pemerintahan masih dibayangi oleh kekalutan, trauma sejarah yang terus mewarisi seakan tidak pernah menemukan titik terang dan kemaafan, suri tauladan yang dianjurkan Nabi dan para khulafaurrosyidin, malah keraguan dalam intelektualitas yang tinggi terus membayangi para tokoh politik dan pemimpin negeri ini. Dan pengaruh media yang terus saja membawa berbagai kepentingan dengan memojokkan Islam dengan menyatakan ia membawa arus barbarisme dalam sudut kehidupan yang katanya hal tersebut lebih laku untuk dijual, kekerasan, seksualitas, fornografi yang menghalalkan berbagai sudut pandang dan dengan beragam argumen dan pembenaran, eksploitasi yang tidak kenal batas dalam berbagai sudut kepentingan sangat dominan dan tidak diindahkan.

Pernyataan selanjutnya, bagaimana dengan fondasi bangunan Islam? Kita sendiri kini dapat menghitung dan merumuskan dengan teliti, berapa prosentase warga muslim yang rajin untuk sholat berjamaah, mendirikan sholat, berapa prosentase harta kekayaan yang dizakatkan oleh lembaga-lembaga amil zakat infaq dan shadaqah, berapa banyak warung-warung, klub malam, lokalisasi yang masih buka dan praktek saat kewajiban puasa Ramadhan ditunaikan? Atau sudahkah ummat menyadari dan memahami konsekwensi dari fondasi sahadat yang dibangun dan diikrarkannya, atau sebaliknya justru hanya dijadikan sebagai ucapan pelengkap saat melangsungkan akad nikah atau sunatan masal saja?

Itulah kenyataan, karikatur kehidupan ummat Islam dewasa ini, kita tidak hanya mencermati dari sisi drastis penurunan kualitatif saja, namun demikian inilah yang merupakan realita kehidupan ummat yang makin acuh tak acuh terhadap agamanya, dengan pernyataan lain satu persatu sisi bangunan Islam mulai mengelupas untuk selanjutnya menunggu waktu berjatuhan dan luluh satu persatu. Tentang keadaan ini Rasulullah SAW telah mewanti-wanti dalam sabdanya yang artinya “Sungguh ikatan Islam akan terurai satu per satu, maka setiap terurai satu ikatan orang-orang akan bergantung pada ikatan berikutnya, ikatan pertama ialah menegakkan hukum dan terakhir ialah sholat”. (Lihat Ringkasan Hadist Shahih Al Bukhari, Imam Az Zubaidi, 2002)

Banyak yang merekomendasikan kenyataan ini diakibatkan oleh kecendrungan ummat Islam terhadap kehidupan yang serba materi saja, tanpa mampu menggali lebih jauh makna keberhartaannya yakni untuk mereka yang kurang beruntung dan sangat membutuhkan. Padahal atas hal ini Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a telah mengumpamakan bahwa kehidupan dunia seperti seekor ular, lunak pegangannya namun mengandung bisa yang mematikan, bocah yang bodoh akan tergiur untuk memegangnya, tetapi tidak untuk seorang yang berakal, ia akan menghindarinya. Hal ini sedikitnya memiliki pengertian bahwa kehidupan dunia tidak terlarang selama hal itu diiringi oleh niat dan amal perbuatan yang baik, dibutuhkan kejernihan dalam berfikir, tidak gelap mata dan hati atas segala nikmat yang telah diperoleh, yakni dengan akal, niat dan perbuatan yang tulus.

Hikmah Perumpamaan

Demikian sekelumit, kajian tentang perumpamaan yang dibuat oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW untuk ummat Islam, bukankah hikmah menurut Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a ialah sesuatu yang senantiasa dicari-cari oleh seorang mukmin, maka merupakan kewajiban baginya untuk mengambilnya sekalipun hal itu berasal dari orang munafik. Namun demikian yang perlu disadari yakni apa yang di tamsilkan oleh Allah SWT dan rasul-Nya ternyata hal itu kini menjadi kenyataan pada diri ummat Islam. Disinilah sekiranya firman Allah SWT yang artinya “mengapa kalian tidak berfikir” dapat dijadikan pijakan. Mengapa kondisi tersebut terjadi? Untuk selanjutnya dapatkah kita mengambil hikmah dan pelajaran daripadanya, yang tentunya untuk tiap permasalahan dan pemecahannya akan disesuikan dengan latar belakang historis, geografis yang melingkupinya.

Bangunan Islam yang saat ini telah mulai mengelupas untuk selanjutnya secara perlahan-lahan akan hancur agar setidaknya dapat dipugar dan direnovasi kembali, dipertahankan, setidaknya kembali memugar bangunan-bangunan dan bagian-bagian yang rusak, bukankah hal itu merupakan kewajiban sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. As Syura’ ayat 13.

Tanggungjawab dan kesadaran sebagai ummat Islam merupakan kata kunci dari kenyataan ini, tentang cara, strategi untuk kembali mengerahkan segala daya, tidak menghalalkan segala cara, kemampuan, potensi cipta, rasa dan karsa dalam tiap aspek, politik, sosial ekonomi, budaya dengan masing-masing memberikan kontribusi sesuai bidangnya, hal tersebut semata-mata demi tegaknya bangunan Islam tersebut dan meraih ridha Allah SWT.

Bukankah kondisi dan peradaban manusia silih berganti? Roda kehidupan terus berputar, berproses karena hal tersebut merupakan janji Allah SWT dalam Q.S. Ali Imran ayat 40, namun demikian yang perlu disadari ialah kondisi-kondisi perubahan itu akan terjadi hanya jika ummat Islam mau berusaha untuk mengubahnya karena Allah SWT telah berfirman dalam Q.S. Arra’du ayat 11, karenanya hal itu merupakan kewajiban untuk dilaksanakan.

Perlu juga untuk diperhatikan bahwa dalam hal membangun bangunan Islam ini dibutuhkan adanya kerjasama antar berbagai elemen ummat, agar untuk menghindari kemungkinan bangunan yang dibangun bagaikan sarang laba-laba (Q.S. Al Ankabut ayat 41), semua harus proporsional sesuai tempat, situasi dan kondisinya, partisipasi pemikiran, tenaga, harta, serta sudut pandang dengan pengkoordinasian yang mantap, agar tidak terlihat layaknya seperti binatang ternak (Q.S. Al A’raaf ayat 179)

Maka, demikianlah kesadaran untuk membangun kembali Islam perlu sedini mungkin untuk ditumbuhkembangkan pada tiap pribadi, antar dan intra generasi muslim untuk selanjutnya didengungkan, dipropagandakan dan disebarluaskan, bahu membahu, bekerjasama. Tidak ada yang salah dalam hal ini, semuanya memiliki konstribusi dalam tiap bidang yang digelutinya tinggal bagaimana menegakkan bangunan Islam itu, bukankah hal tersebut yang diinginkan dalam Q.S. Ibrahim ayat 24, atau “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang-orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata “sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. (Q.S. Fushilat ayat 33).

Karenanya untuk mengakhiri kajian ini dengan akhir kalimat dan kata, semoga bangunan Islam yang kita –ummat Islam- bangun dapat kokoh dan tegak kembali walau harus diterjang badai ruang dan waktu, demikian pula jarak sekalipun. Semoga. Karenanya mari berukhuwah Islamiyah. (Q.S. Arra’du ayat 11).

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id