Senin, 31 Agustus 2009

Konsumerisme dalam persfektif Islam

Dalam dunia modern, gaya hidup selalu mendefinisikan sikap, niali-nilai, kelas dan stratifikasi social seseorang. Segalanya melulu dilihat tampak luar. Sebab, image yang ditampilkan atau citra yang direfleksikan selalu dianggap mendefinisikan eksistensi kita. Maka, pada saat ideology gaya hidup semacam ini menjadi terasa lazim dan normal, imagologi bukan lagi suatu yang jauh dari sekedar wacana. Ia telah benar-benar berada di sekeliling kita, bahkan lebih dekat, menjadi suatu yang diam-diam kita anut.

Disinilah embrio dari konsumerisme tersebut terlahir, sebagai anak haram dari popularitas culture yang kian hegemonic dan industry gaya hidup yang mendidik masyarakat menjadi pesolek. Konsumerisme terjadi saat konsumsi tidak lagi diterjemahkan sebagai semata-mata lalu lintas kebudayaan benda, dimana benda itu dinilai berdasarkan nilai dan fungsinya. Tetapi lebih memandang sebagai panggung social yang didalamnya nilai-nilai diperebutkan, makna yang tersembunyi di balik sekedar nilai kebendaan dan perang posisi yang tak henti-henti. Misalnya ketika seseorang hendak berbelanja, dia harus ke mall, padahal dipasar-pasar tradisional mereka lebih bebas dan lebih murah harganya. Ini karena ada sesuatu yang diinginkan diluar barang kebutuhannya, yakni status modernitas dalam image-nya.

Jadi fungsi dari sesuatu itu tidak lagi dijadikan tolak ukur lalu lintas kebudayaan benda, namun telah dipengaruhi oleh nilai-nilai yang lainnya, seperti gengsi, posisi ataupun yang lainnya maka secara sengaja atau tidak orang tersebut sudah terjangkit virus konsumerisme. Dari fenomena ini maka akan terbetik dalam pikiran kita bagaimana hal ini bias terjadi, siapa actor intelektualnya dan bagaimana melepaskan diri dari paham ini yang sudah membudaya? Bagaimana peran nilai dalam islam dalam menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks ini?


1. Pengertian

Konsumerisme adalah suatu paham atau aliran atau ideology dimana seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Jadi ketika seseorang berlaku konsumtif dan menjadikan kekonsumtifan itu sebagai gaya hidup maka sudah tergolong penganut konsumerisme.[1]


2. Proses Terjadinya Konsumerisme

Secara pasti kapan waktu mulainya paham ini dilounching oleh actor intelektualnya tidak jelas, tapi asl mulanya dari persaingan poemasaran diantara para produsen barang suatu industry yang ingin memasarkan produknya dengan membentuk image masyarakat/konsumen terhadap barang hasil produksinya. Jadi disini terjadi proses pencitraan terhadap suatu produk yang dipromosikan, yang dijadikan sebagai stimuli dalam menentukan pola konsumsi. Dalam hal ini praktisi periklanan yang menyerang aspek-aspek psikologis konsumen, dalam strategi periklanan para desainer periklanan menyerang tiga insting manusia yakni[2] memainkan nafsu kepemilikan, memainkan insting previlage dan status, dan memainkan daya tarik romantisme-sensualitas.


3. Teori Konsumsi

Kalangan para penulis banyak memandang ini dalam pengertian keabsahan hokum barang-barang konsumen dan jasa-jasa. Hanya sedikit pencetus teori yang berani menanggulangi issu-issu pokok mengenai teori perilaku konsumen tersebut, namun rasionalisme konsumen dan konsep barang-barang konsumen. Para penulis yang menggunakan kerangka acuan islami tidak menerima formulasi kontemporer mengenai teori perilaku konsumen dengan alas an bahwa ia diselewengkan oleh nilai-nilai ideology dan social bukan muslim dimana ia dikembangkan. Namun mereka biasanya tidak memberikan penggantinya. Keberatan mereka terutama ditujukan pada nilai-nilai konsumen bukan pada alat-alat yang berbeda.[3]

Teori perilaku konsumen dikembangkan dibarat setelah timbulnya kapitalisme terjadi dualitas, yakni “rasionalisme ekonomi” dan “utilitarianisme”. Rasionalisme ekonomi menafsirkan perilaku manusia sebagai suatu yang dilandasi dengan perhitungan cermat, yang diarahkan dengan pandangan kedepan dan persiapan terhadap keberhasilan ekonomi. Keberhasilan ekonomi secara ketat didefinisikan sebagai “membuat uang dari manusia”, memperoleh harta, baik dalam pengertian uang atau berbagai komuditas, adalah tujuan hidup yang terakhir, pada saat yang sama merupakan tongkat pengukuran ekonomik.

Para penulis muslim memandang perkembangan rasionalisasi dan teori konsumen yang ada selama ini dengan penuh kecurigaan dan menuduhnya sebagai aspek perilaku atas “perhitungan-perhitungan cermat yang diarahkan untuk melihat kedepan dan pengawas terhadap keberhasilan ekonomi” sebagaimana yang diungkapkan oleh Max Weber. Namun mereka tidak setuju dengan Max Weber bahwa alternative menuju kepada “tradisionalisme ekonomi” adalah “keberadaan petani yang sangat menderita” atau mengikuti pandangan Max Weber yang menyatakan bahwa rasionalisme merupakan konsep cultural, rasionalisme islam dinyatakan sebagai alternative yang konsisten dengan nilai-nilai islam.

Konsep keberhasilan islam senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai moral. M.N. Siddiqi menyatakan “keberhasilan terletak dalam kebaikan. Dengan perilaku manusia yang semakin sesuai dengan pembakuan-pembakuan moral dan semakin tinggi kebaikannya, maka dia semakin berhasil….selama hidupnya, pada setiap fase keberadaan, pada setiap langkah, individu muslim berusaha berbuat selaras mungkin dengan nilai-nilai moral”

Kebaikan dalam peristilahan islam, berarti sikap positif terhadap kehidupan dan orang lain. Hal paling buruk yang bias dilakukan orang adalah meninggalkan kehidupan dan masyarakat atau melakukan negativism terhadapnya. Hal itu merupakan konsep halus yang ditampilkan secara tidak benar oleh tradisi-tradisi sufi yang ada dalam masyarakat muslim selama enam abad yang lampau maupun dari orang-orang non muslim dari kalangan Kristen yang melihat islam melalui lensa prakonsepsi Kristen sepanjang hidupnya.

Islam mengaitkan kepercayaan terhadap adanya kehidupan akhirat secara ketat dengan kepercayaan terhadap adanya allah. Hal ini memperluas cakrawala setiap muslim mengenai waktu setelah terlampaunya kematian. Kehidupan sebelum kematian dan kehidupan setelah kematian terkait satu sama lain dengan erat sekali dalam urutannya. Hal ini menyangkut dua aspek sejauh menyangkut perilaku konsumen. Pertama, akibat dari pemilihan pembuatan itu terdiri dari dua bagian, yakni efek langsung dari kehidupan didunia sekarang dan efeknya kemudian dalam kehidupan (akhirat) yang akan dating. Beberapa contoh dari manfaat alternative semacam itu adalah pinjaman tanpa bunga (al qordhul hasan), pemberian kepada orang miskin dan terlantar, memelihara binatang-binatang, menyisihkan sebagian harta untuk kesejahteraan generasi-generasi yang akan dating, peningkatan kehidupan masyarakat meskipun pada saat tidak memiliki manfaat langsung bagi individu yang bersangkutan, penyiaran ajaran (dakwah) islam dan peningkatan amal saleh, dan sebagainya. Manfaat-manfaat penghasilan semacam itu tidak dimasukkan dalam rasionalisme Max Weber bila manfaat itu (dianggap) tidak memiliki manfaat langsung. Jadi banyak manfaat alternative dari penghasilan seseorang memiliki kegunaan positif dalam kerangka acuan islam, meskipun manfaat-manfaatnya dalam kerangka acuan kapitalis dan komunis bias tidak ada atau bahkan negative.


4. Teori Konsumsi Perspektif Islam

Didalam islam telah ditegaskan bagaimana pola konsumsi yang mencerminkan nilai yang sesuai dengan yang dicontohkan nabi, seperti yang tercantum di dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Muslim “jika suatu suap diantara kamu sekalian jatuh, maka hendaklah ia membersihkan kotorannya dan (setelah itu) hendaklah memakannya dan tidak membiarkannya untuk setan” Anas berkata “dan beliau memerintahkan kita untuk menghabiskan makanan dari piring” beliau SAW juga bersabda “sesungguhnya kamu tidak mengetahui dimakanan manakah adanya berkah”[4]

Makna dari hadis ini adalah pelarangan terhadap konsumsi yang berlebihan, apalagi menghamburkan harta pada hal yang tidak jelas sasarannya. Jadi hanya dibenarkan berbelanja pada hal-hal yang dibutuhkan.

Monzer Kahf (1981) berusaha mengembangkan pemikiran tentang hal ini, dengan memulai membuat asumsi sebagai berikut yakni: islam dilkaksanakan oleh masyarakat, zakat hukumnya wajib, tidak ada riba dalam perekonomian, mudharabah wujud dalam perekonomian, pelaku ekonomi mempunyai perilaku memaksimalkan. Dalam ekonomi konvensional pendapatan adalah penjumlahan konsumsi dan tabungan, atau secara matematis ditulis Y=C+S dimana Y adalah pendapatan, C adalah konsumsi dan S adalah tabungan.

Dalam konsep islam yang dijelaskan oleh hadis Rasulullah saw yang maknanya adalah “yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang kamu infakkan”. Oleh karena itu persamaan pendapatan menjadi Y=(C+infak) + S, persamaan ini disederhanakan menjadi Y=FS+S dimana FS=C + infak dan FS adalah final spending.

Penyederhanaan ini memungkinkan kita untuk menggunakan alat analisis grafis yang biasa digunakan dalam teori konsumsi, yakni memaksimalkan fungsi (utility function) dengan garis pendapatan tertentu (budget line) atau meminimalkan budget line dengan utility function tertentu.

Dalam pola konsumsi satu periode sumbe X dan Y menunjukkan jumlah barang X dan barang Y, sedangkan dalam pola konsumsi intertemporal (dua periode) sumbe X menunjukkan jumlah pendapatan, konsumsi dan tabungan pada periode pertama. Secara matematis ini disimbolkan sebagai Yt, Ct, St, maka symbol yang digunakan adalah FSt. Pada sumbu Y menunjukkan julah tabungan periode pertama (St) yang digunakan sebagai konsumsi periode kedua (Ct + 1), atau dengan kata lain St = Ct + 1, dalam konsep islam symbol yang digunakan adalah FSt + 1 atau persamaannya menjadi St = FSt + 1.


5. Batasan Islam tentang Pembelanjaan Harta

Dalam pembelanjaan harta, islam meberi batasan, batasan yang terkait dengan criteria sesuatu yang dibelanjakan yakni batasan yang terkait dengan sesuatu yang dibelanjakan, cara dan sifatnya dan batasan yang terkait dengan kuantitas dan ukurannya.


6. Akhir Kata

Budaya konsumerisme merupakan budaya kapitalis global yang sudah mengakar dikalangan masyarakat dunia, khususnya masyarakat dunia ketiga yang notabene adalah Negara-negara miskin, memang merupakan pekerjaan yang teramat sulit Negara kita yang termasuk salah satu Negara yang menjadi korban telah menimbulkan berbagai dampak yang teramat kronis.

Berangkat dari akar masalha yang menyebabkan masuknya paham ini, yakni krisis harga diri, dimana rata-rata penganutnya berpola konsumsi tidak didasarkan pada kebutuhan semata melainkan adanya harapan side effeck terhadap prilakunya itu. Misalnya pengakuan dari orang lain. Jadi orang semacam ini termasuk narcist (pengagum terhadap diri sendiri yang berlebihan).

Untuk mengantisipasi atau mentreatment hal semacam ini diperlukan penyadaran diri akan kekeliruan yang terjadi pada dirinya, disinilah diperlukan pentingnya pengetahuan akan nilai-nilai agama (etika) denbgan agama maka mita (konsumen) akan senantiasa mengontrol diri atau lebih mawas diri.


C. Daftar Pustaka

Dr. Muhammad Muslehuddin, Wacana Baru Manajemen dan Ekonomi Islam

http://www.yogyafree.net

Dr. Habib Nazir & Muh. Hassanuding. Ensiklopedia Ekonomi & Perbankan Syariah.

Dr. Yusuf Qardawy. Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam. Hal. 238

[1] http://www.yogyafree.net

[2] ibid

[3] Dr. Habib Nazir & Muh. Hassanuding. Ensiklopedia Ekonomi & Perbankan Syariah. Hal.318-319

[4] Dr. Yusuf Qardawy. Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam. Hal. 238

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id