Pada suatu hari seorang raja mengatakan bahwa jikalau saat ini ia berkedudukan sebagai seorang penguasa maka tidak akan jauh berbeda dengan apa yang akan dialami oleh anak keturunannya yakni melanjutkan perjalanan kepemimpinannya. Demikianlah hal tersebut seolah menyiratkan adanya pergeseran pemikiran seorang ayah terhadap anaknya, yakni berfikir maju, namun di sisi lain hal itu dapat pula berindikasi adanya suatu ambisi dalam arogansi kekuasaan.
Demikian pula untuk mewujudkan apa yang menjadi impiannya, sang raja pun melakukan berbagai upaya agar apa yang yang ia cita-citakan dapat terwujud. Syahdan setelah itu, saat sang anak beranjak dewasa, sang raja mengirim anaknya untuk belajar kepada seorang bijak agar sang anak mengetahui bagaimana dan apa saja yang harus dimiliki untuk menjadi seorang pemimpin yang baik.
Mengetahui maksud sang raja, orang bijak menyetujui agar ia dapat mendidik sang anak menjadi bakal calon pemimpin yang dikehendaki rakyatnya. Pelajaran pun dimulai, saat sang anak diminta untuk belajar di hutan selama satu tahun dan tinggal disana, dengan agak berat sang anak menyanggupi pelajaran pertama tersebut.
Setahun berlalu, kembalilah sang anak menemui orang bijak, orang bijak menanyakan tentang pelajaran apa yang telah sang anak dapatkan selama satu tahun tinggal dihutan tentang kepemimpinan. Sang anak menjawab bahwa yang ia dapatkan di hutan selama satu tahun ialah pelajaran tentang inti kepemimpinan yakni mendengar, seraya menambahkan yang ia dengarkan ialah suara burung berkicau, suara anjing menggonggong, suara srigala melolong pada malam hari, suara angin berhembus, suara terik hujan saat turunnya dan berbagai suara lainnya.
Sembari menyergah, orang bijak mengatakan agar sang anak kembali lagi kehutan dan menetap disana selama satu tahun lagi. Dengan berat hati sang anak menyanggupi apa yang diminta oleh orang bijak, dan ia kembali lagi kehutan untuk kembali mempelajari arti kepemimpinan, ya satu tahun lagi.
Setahun kedua pun berlalu sang anak kembali menemui orang bijak. Kembali orang bijak menanyakan pertanyaan yang sama yakni tentang pelajaran apa yang telah sang anak dapatkan selama satu tahun di hutan, sang anak menjawab bahwa yang ia dapatkan tidak jauh dari jawaban sebelumnya bahwa yang ia dapatkan ialah pelajaran mendengar, dan yang ia dengar kali ini ialah suara matahari menyinari bumi, suara rumput-rumput melambai, suara bunga-bunga yang sedang mekar, suara tetesan embun di pagi hari, suara tiupan angin menyapa dahan. Mendengar jawaban sang anak, orang bijak menyatakan bahwa kali ini sang anak telah siap untuk menjadi seorang pemimpin, untuk menggantikan ayahandanya.
Dari sekelumit kisah di atas, hal apakah yang dapat kita pelajari dari proses untuk menjadi bakal calon (balon) pemimpin yang baik dimasa depan? Ya, jawabannya ialah mendengarkan. Mendengarkan merupakan prasyarat pertama yang harus dimiliki oleh seseorang yang berkeinginan untuk menjadi pemimpin yang baik. Bukankah kita juga mengetahui bahwa selaku manusia kita diciptakan dengan dua telinga dan satu mulut. Apakah arti hal ini?
Hal ini berarti bahwa seorang pemimpin harus dapat mendengarkan dua kali, sebelum ia bicara satu kali, membuka telinga empat kali sebelum membuka mulut dua kali. Setidaknya hal itulah yang merupakan prasyarat bagi seorang pemimpin -pada level manapun- perusahaan, organisasi, rumah tangga, pemerintahan, birokrasi dan lainnya. Bukankah kita juga banyak belajar dari beragam istilah yang dipopulerkan? Atau semacam pribahasa yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita, untuk menyebut beberapa diantaranya semisal tong kosong berbunyi nyaring, NATO (Not Action Talk Only = sedikit kerja banyak omong), atau contoh lain semisal dalam sebuah pertemuan, rapat atau sejenisnya dimana kita terlalu banyak berbicara tentang permasalahan dengan melupakan bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah tersebut, dengan beragam intrupsi yang banyak menyita efesiensi dan efektivitas.
Semua persoalan jika secara sederhana kita simpulkan, akan bersumber dari sana, ya teralu banyak bicara, terlalu banyak statement, terlalu banyak janji, dan sebaliknya sedikit sekali kemauan dan keseriusan untuk mendengarkan pihak lain.
Mendengarkan dengan kedua telinga merupakan prasayarat pertama, cukupkah hal ini, tidak! Sebagaimana kisah diatas untuk menjadi seorang pemimpin yang baik juga dituntut untuk dapat mendengarkan hal-hal yang tidak dapat didengarkan, menangkap hal-hal yang tidak dapat ditangkap dan merasa secara lebih peka sesuatu yang tidak dapat dirasa oleh orang lain.
Disinilah seorang bakal calon pemimpin dituntut untuk dapat mendengarkan dengan mata. Bukankah kita juga dapat belajar dari bahasa isyarat? Dari bahasa tubuh? Orang mungkin menyatakan setuju atas apa yang kita tawarkan dan kita janjikan, namun dalam kenyataan mendengarkan dengan mata bahasa tubuh orang bersangkutan menyatakan ketidaksetujuannya. Seorang bisu tentu saja tidak dapat langsung berbicara, namun dengan menggunakan isyarat kedua tangan dan gerak tubuhnya ia dapat menyatakan sesuatu. Bukankah kita dapat juga belajar dari prilaku seorang yang munafik? Apa yang ia katakan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya, apa yang dijanjikan terkadang ia ingkari atau dalam hal kepercayaan yang ia khianati.
Lalu jika demikian, bagaimana jika membaca dengan mata dan isyarat serta bahasa tubuh tidak dapat dibaca? Hal ini berarti bakal calon tersebut belum dapat memenuhi prasyarat untuk menjadi pemimpin, hal ini berarti ia belum memiliki kepekaan yang menjadi prasyarat untuk menjadi pemimpin.
Prasyarat selanjutnya ialah mendengarkan dengan hati. Saya kembali teringat oleh sahabat saya asal Libanon, saat ia menyatakan bahwa merupakan hal yang baik untuk memberi jika diminta, akan tetapi tambahnya akan jauh lebih baik jika kita memberi tanpa diminta. Hal ini berarti selaku calon pemimpin seseorang harus memiliki kepekaan untuk dapat mendengarkan, mengungkap, merasa apa yang dirasa dan dibutuhkan orang lain.
Namun sayang seribu kali sayang, adakah bakal calon pemimpin yang memiliki ketiga prasyarat tersebut di atas, atau jika tidak memiliki ketiganya, bagaimana jika dua prasyarat saja? Sulit memang, jangankan dua, satu syarat saja amat sulit untuk ditemukan.
Bukankah kita dapat membuktikan kenyataan tersebut, untuk sekedar menyebut beberapa contoh di antaranya untuk daerah kita semisal kasus tanah, demam berdarah, menjamurnya togel (totor gelap), atau himbauan kepada para politisi busuk untuk tidak mencalonkan diri saat pemilihan legislatif beberapa bulan yang lalu dan lainnya yang secara pribadi kita lebih mengetahuinya. Tidak banyak yang ditanggapi sebagaimana mestinya harapan dan keinginan masyarakat.
Akhirnya dalam Pilkada kali ini, kembali kita berharap dan ber do'a, agar bagi bakal calon pemimpin yang akan memimpin bumi Tatas Tuhu Trasna (Tastura) ini untuk lima tahun kedepan tidak tergolong kedalam mereka yang "tuli", "bisu", dan "buta" terlebih bagi mereka yang tidak peka dan "buta hati" nuraninya, yang hanya berorientasi pada kepentingan diri dan kelompoknya. Pragmatis dan jangka pendek.
Menutup tulisan ini, alangkah baiknya kita kembali memperhatikan dan merenungi maksud yang terkandung didalamnya, akan firman Allah SWT dalam QS. An-Nahl ayat 78 yang artinya "Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk memperoleh pengetahuan)".
1 Comment:
blog yang keren....lebih bagus lagi kalo warna backgroundnya cerah....tausiyahnya manteb dech....bermakna.....keep spirit buat blognya!!!!
Post a Comment