Selasa, 30 September 2014

Kearifan Lokal sebagai Model Pendekatan Ekonomi Syari’ah


Tulisan ini telah terbit pada Jurnal Istinbath Fakultas Syariah IAIN Mataram
Volume 12 Nomor 1 Tahun 2013. Hal. 19-48 ISSN: 1828-6505.

Abstract
Indonesia is an archipelago which has a diverse system of cultural customs archipelago. With so many local cultures are closely linked to the economic behavior of the system and the people of Indonesia, both in traditional culture systems in domestic and economic system that is still practiced by the people, which is sometimes associated with the belief kelindan religion which he believed. The next question is whether the economic system is an archipelago indigenous cultures that are relevant to the principles of Islamic economics can be used to explore the approach of the Islamic economic system? Therefore, further exploration and assessment of local knowledge into separate claims not to develop Islamic economic approach, this paper will attempt to discuss more about the concept of Islamic economics, local knowledge and how the relationship 'urf with local knowledge, as well as some examples of local wisdom community and economic model of adaptive approaches Shari'ah and local wisdom and local knowledge and practice of economic change.


Abstrak
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sistem beragam adat budaya nusantara. Dengan demikian banyak kebudayaan lokal yang erat terkait dengan sistem dan perilaku ekonomi masyarakat Indonesia, baik dalam sistem tradisional budaya nusantara maupun dalam sistem ekonomi yang masih dipraktekkan oleh masyarakat, yang terkadang terkait kelindan dengan keyakinan ajaran agama yang diyakininya. Pertanyaan berikutnya adalah apakah sistem ekonomi yang merupakan budaya asli nusantara yang relevan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam dapat dapat dijadikan pendekatan dalam menggali system ekonomi Islam? Karena itu, eksplorasi lebih jauh dan penilaian pengetahuan lokal menjadi tuntutan yang tak terpisah untuk mengembangkan pendekatan ekonomi Islam, tulisan ini akan berusaha untuk membahas lebih lanjut tentang konsep ekonomi Islam, kearifan lokal dan bagaimana keterkaitan ‘urf dengan kearifan lokal, serta beberapa contoh kearifan lokal masyarakat dan model pendekatan adaptif ekonomi syari’ah dan kearifan lokal dan kearifan lokal dan perubahan praktek ekonomi masyarakat

Kata Kunci: Kearifan lokal, pendekatan, ekonomi syariah

Pendahuluan
Tema yang hendak dikaji ini muncul berawal dari kegelisahan penulis tentang mengapa institusi-institusi lokal sebagai kekayaan lokal hampir tidak pernah mendapat perhatian, misalnya dalam proses pembangunan. Kegelisahan ini semakin kuat ketika perilaku ekonomi modern selalu mendominasi proses-proses penguatan kapasitas masyarakat dalam mengembangkan berbagai teknik dan strategi usaha di tataran lokal, juga mengabaikannya, sehingga tidak jarang hal inilah yang menyulut terjadinya konflik.
 
Tentunya kondisi ini tidak terlepas dari perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat yang mengalami perubahan dan peningkatan, seiring dengan berkembangnya budaya dan kebutuhan masyarakat. Peningkatan kebutuhan ini didasarkan pada kemunculan produk-produk yang bersifat nasional maupun lintas negara (global). Dimana kekuatan kapitalisme telah menguasai sendi-sendi kehidupan masayarakat, sehingga memberikan dampak serta turut mempengaruhi perilaku dan pola konsumsi masyarakat.

Disaat kekuatan kapitalisme yang mengusai pasar dengan kemunculan pasar-pasar swalayan modern, metode penjulanan berjaringan, sampai pada penjualan melalui pasar teknologi eletronik  dan sebagainya, ternyata masih terdapat segelintir masyarakat lokal yang mampu mempertahankan eksisitensi aktivitas ekonomi kelokalannya yang bersifat tradisional. Eksistensinya itu diwujudkan dalam bentuk melayani masyarakat untuk memenuhi kebutuhan keseharian. Padahal sesungguhnya praktek-praktek ekonomi kapitalistik saat ini telah mengabaikan nilai-nilai manusia dan hubungan-hubungan antar manusia. Kehandalan mereka untuk tetap survive dalam kancah ekonomi modern dan perubahan arus sosial budaya masyarakat tidaklah terlepas dari kemampuan mereka membangun relasi-relasi sosial dengan para pelanggan yang didasarkan atas kearifan budaya lokal. Dengan tetap mempertimbangan faktor ekonomi dan masa depan keluarga.
 
Dalam konteks hubungan sosial, al-Qur’an memberi dasar kepada manusia tentang sikap saling menghargai hak-hak pribadi satu dengan yang lain terhadap berbagai bentuk peraturan, dan pelarangan yang berlaku dalam masyarakat. Setiap individu memandang dirinya bertanggungjawab dan memiliki kewajiban kepada masyarakatnya dan di atas landasan nilai spiritual mengembangkan sikap saling menghormati satu dengan yang lain.
 
Sistem sosial dan teknologi modern yang diciptakan manusia saat ini dalam aplikasinya disamping mendatangkan manfaat yang besar, ternyata mendatangkan kerugian dan kerusakan yang dalam jangka panjang, justru kerugian yang ditimbulkan tidak sebanding dengan manfaat atau keuntungan yang di dapat. Menyadari akan hal ini, kini kita kembali harus belajar pada masyarakat lokal tradisional tentang berbagai kearifannya memperlakukan lingkungan alam, sosial dan ekonominya sehingga dengannya akan tercipta keharmonisan dalam kehidupan, pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani. Terkait dengan hal itu, dalam dekade terakhir ini, dunia Islam nampaknya sedang mengalami perubahan-perubahan pesat dan penting. Terdapat usaha-usaha serius yang tidak dapat diabaikan menyangkut reaktualisasi pemikiran-pemikiran Islam dalam konteks kekinian masyarakat Muslim. Sementara tema Islamisasi seakan-akan telah menjadi tema konstan dalam perdebatan-perdebatan nasional. Islamisasi ini bukanlah merupakan fenomena baru. Di Indonesia, selama zaman kolonial kaum Muslim telah menanggapi ancaman-ancaman eksternal dengan berusaha menghidupkan kembali komitmen mereka terhadap ideologi dan politik Islam.
 
Islamisasi adalah suatu fenomena sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan yang berupaya menawarkan sebuah alternatif -jika tidak mau dikatakan sebagai solusi- yang koheren terhadap sistem yang dibangun diluar sistem Islami. Upaya-upaya bagi alternatif seperti ini dengan demikian melibatkan usaha-usaha untuk melakukan re-definisi terhadap perspektif-perspektif ideologis, seraya diimbangi dengan upaya melakukan rekonstruksi dalam institusi-institusi kerakyatan. Upaya-upaya ini bukannya tidak meninggalkan tantangan tersendiri, malah terdapat anggapan bahwa pembangunan politik dan perubahan ekonomi hanya dapat dilaksanakan sejauh mengikuti ketentuan yang telah lazim digunakan dalam dunia Barat, dan tetap mengacu pada perspektif-perspektif ideologisnya.
 
Sebaliknya, kebudayaan dan kearifan lokal masih fungsional dan masih menjadi acuan bagi masyarakat dalam berinteraksi, sehingga masyarakat dengan tingkat mobilitas perekonomian yang tinggi masih dapat hidup rukun dan damai. Sebenarnya, hampir semua -kalau tidak bisa dikatakan seluruh- masyarakat memiliki kebijakan lokal (local wisdom) sendiri-sendiri yang bersumber dari kebudayaan masing-masing.
 
Kearifan lokal (local indigenous atau local knowledge) adalah suatu daya upaya yang dilakukan oleh penduduk asli suatu daerah dalam memberlakukan lingkungan alam dan sosial ekonominya sehingga memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat tersebut tanpa merusak kelestarian dan keseimbangan lingkungan dan keharmonisan dalam tata kehidupan tersebut. Istilah kearifan lokal (lokal wisdom) juga memiliki pengertian yang sangat mendalam. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya masyarakat dalam menyikapi berbagai permasalahan hidup. Realita ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu masyarakat memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Premis-premis umum yang selama ini menjadi standar bersama dalam mengurai dan "mengobati" beragam penyakit yang timbul tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang tinggal dalam suatu komunitas tertentu kini dituntut untuk dapat menyelesaikan beragam permasalahan dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus menggunakan standar yang telah berlaku secara umum.
 
Barangkali hal inilah yang perlu digali lebih luas dan mendalam, menyangkut pemahaman akan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat di tanah air, pemahaman akan apa dan bagaimana bentuk kearifan lokal tersebut yang dapat dijadikan sebagai model dalam membangun ekonomi syari’ah dan bagaimana menumbuhkembangkan inisiatif dan kreatifitas masyarakat dengan kearifan lokal yang dimilikinya sebagai model pendekatan dan modal sosial untuk memberdayakan dirinya dalam membangun ekonomi syari’ah sehingga dalam interaksinya melibatkan kearifan budaya lokal dapat bersinergi, harmonis dan menguntungkan manusia dan lingkungn sosial budaya dan ekonominya.
 
Secara substansial, kearifan lokal adalah merupakan perwujudan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Greertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal ini berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.
 
Berdasarkan uraian di atas, ada sejumlah hal yang patut dicatat yakni: pertama, hampir setiap -kalau tidak dapat dikatakan semua- suku di Indonesia memiliki acuan norma-norma dari budaya kearifan lokal masing dalam berinteraksi baik secara individu maupun kelompok dari sesama suku atau dengan suku lain dalam kehidupan sosial, ekonomi dan keagamaan, baik intern (sesama penganut agama yang sama) maupun ekstern (antar penganut agama yang berbeda). Kedua, kearifan lokal masing-masing suku ada yang masih fungsional, ada pula yang sudah tidak fungsional karena perkembangan zaman, adanya pergeseren nilai-nilai yang dipegangi oleh masyarakat, intervensi pemerintah, atau penolakan dari sebagian anggota masyarakat. Ketiga, tetap fungsionalnya kearifan lokal tentu tidak terlepas dari proses sosialisasi yang dilakukan oleh generasi tua kepada generasi penerusnya. Keempat, kearifan lokal itu ada yang fungsional di wilayah budaya aslinya, namun ketika dibawa keluar wilayah aslinya menjadi tidak fungsional. Sebaliknya, ada norma-norma yang bersumber dari kearifan lokal suku tertentu, namun tetap fungsional di mana pun berada, bahkan menjadi acuan bagi suku-suku lain. Kelima, ada kemungkinan munculnya kearifan lokal baru sebagai rekacipta (institutional development) dari kearifan lokal yang sudah tidak fungsional lagi, walaupun kearifan lokal yang baru tidak sama dengan bentuk asli dari kearifan lokal yang lama.

Konsep Ekonomi Syari’ah
Kajian utama dalam studi ekonomi syari’ah adalah hubungan mahluk antara manusia dengan pencipta-Nya, manusia dengan manusia dan manusia terhadap lingkungannya. Kelangsungan hidup suatu mahluk hidup sangat bergantung kepada keberadaan mahluk hidup lainnya dan sumber daya alam yang ada disekitarnya untuk keperluan pangan, perlindungan, pertumbuhan, perkembangbiakan dan sebagainya. Oleh karena itu dalam ilmu ekonomi syari’ah perhatian utama ditujukan pada bagaimana perekonomian dapat berjalan secara adil dan membawa kemaslahatan bagi manusia.
 
Kini manusia telah mencapai suatu fase (titik balik) dimana kepada manusia dihadapkan berbagai pilihan, bagaimana manusia berbuat untuk memecahkan masalah perekonomiannya yang akan datang, apakah akan lebih buruk. Manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus hidup di atas bumi yang daya dukungnya telah banyak berkurang jika dibandingkan dengan daya dukung bumi terhadap masa-masa sebelumnya, ini jika dikaji dalam sisi sumber daya alamnya. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk, penebangan hutan, efek rumah kaca, pencemaran air, tanah dan udara, tentunya hal ini akan berbanding lurus dengan meningkatnya permintaan akan sumber daya alam yang tidak sedikit jumlahnya. Jika manusia tidak menentukan sikap dan sifatnya yang tepat, maka akan terjadi penurunan secara terus menerus kemampuan bumi dalam menyangga kehidupan. Yang jelas generasi yang akan datang akan menerima warisan yang sangat menyedihkan, lahan yang kurang produktif karena pemanfaatan yang kurang memperhatikan azas-azas lingkungan, kurangnya keanekaragaman akibat seleksi tidak terkendali, kurangnya ruang untuk bergerak, pilihan yang lebih sedikit dan penduduk yang semakin banyak, disamping karena faktor pendistribusian kekayaan yang tidak adil lainnya.
 
Di sisi lain perkembangan Islam di Indonesia berlangsung secara evolutif telah berhasil menanamkan akidah Islamiah dan syari’ah shahihah, memunculkan cipta, rasa, dan karsa oleh pemeluk-pemeluknya. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat telah memeluk agama yang berkembang secara evolutif pula, baik dari penduduk asli (yang menganut animisme, dinamisme, veteisme, dan sebagainya) maupun pengaruh dari luar (Hindu-Budha). Yang menarik, unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan tersingkir dengan sendirinya, sedangkan yang baik yang mengandung unsur-unsur kepatutan dan kepantasan, hidup secara berdampingan.
 
Pengaruh Islam terhadap kehidupan (pembinaan moral) bangsa Indonesia berkisar antara tiga kemungkinan. Pertama ialah ajaran Islam berpengaruh sangat kuat terhadap pola hidup masyarakat. Kedua, Islam dan budaya (moral) bangsa berimbang, sehingga merupakan perpaduan yang harmonis. Terakhir, ajaran (moral) Islam kurang berpengaruh, sehingga merupakan perpaduan yang ikut menyempurnakan moral bangsa. Ketiga kemungkinan perpaduan itu dapat terjadi di komunitas-komunitas Muslim di berbagai tempat di Indonesia.
 
Hasil akulturasi budaya tersebut membuahkan suatu modal dasar bangsa Indonesia untuk lebih menggali model pengembangan dalam membangun peradaban masyarakat yang sesuai dengan budaya (moral) bangsa. Dengan demikian terbukti Islam mengajak manusia kepada kesadaran untuk menjunjung tinggi kemanusiaan dan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang sejahtera. Dalam konteks Indonesia, Islam juga teraktualisasi dalam bentuk konsep ekonomi, yang oleh para pendukung dan pengembangnya dikenal dengan ekonomi syari’ah.
 
Selanjutnya, jika kita ibaratkan Islam sebagai sebuah bangunan keagamaan, maka ekonomi syari’ah dapat juga kita ibaratkan sebagai sebuah bangunan ekonomi, karenanya untuk membentuk bangunan, kita membutuhkan adanya landasan, tiang dan atap, kita juga membutuhkan komitmen para pekerja untuk membentuk bangunan itu, dibutuhkan komitmen untuk membangun semua aspek yang terkait dengan bangunan itu, terkait dengan hal tersebut, dalam membangun sistem ekonomi syari’ah juga tidak dapat lepas dari unsur manusia secara keseluruhan, disamping kerangka dan landasannyapun harus kokoh, kuat dan jelas.
 
Umer Chapra, menjelaskan adanya lima dasar filosofis yang melandasi terbentuknya bangunan sistem ekonomi syari’ah yakni: Pertama tauhid, yang akan meletakkan dasar-dasar hubungan antara Allah selaku khaliq (Pencipta) dengan manusia selaku mahluk dan hubungan antara manusia dengan sesamanya. Kedua, rububiyah, yang menyatakan dasar-dasar hukum Allah untuk selanjutnya yang akan mengatur model dan bentuk pembangunan sistem ekonomi syari’ah. Ketiga, khilafah, yang menjelaskan status dan peran manusia, sebagai wakil Allah dimuka bumi. Keempat, tazkiyah yang merupakan misi utama utusan Allah adalah untuk menyucikan manusia dalam hubungannnya dengan Allah, sesama manusia dan alam lingkungan. Terakhir yakni falah yang merupakan hasil dan tazkiyah yakni merupakan kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat.
 
Jika di atas kita telah mengungkap dasar-dasar filosofis sistem ekonomi syari’ah menurut Chapra, selanjutnya kita akan menengok masalah tiangnya. Tiang-tiang sistem perekonomian Islam menurut Mannan ada tiga yakni: Pertama adanya pengakuan akan multiownership. Islam mengakui adanya kepemilikan pribadi, kepemilikan bersama (syirkah) dan kepemilikan negara, hal ini tentu akan sangat berbeda dengan konsep sistem ekonomi kapitalis klasik yang hanya mengakui kepemilikan pribadi atau konsep sistem ekonomi sosialis klasik yang hanya mengakui kepemilikan bersama oleh sekelompok orang (komunal) atau oleh negara.
 
Kedua, yakni kebebasan ber-ekonomi selama tidak melanggar rambu-rambu syari'ah dengan kaedah "al ashlu fi al-muamalah al-ibadah". Ekonomi ialah persoalan manusia yang selalu berkembang seiring dinamika zaman, karenanya dibutuhkan pemikiran baru untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonomi dan ijtihad untuk bidang ekonomi sangat diperlukan, bukankah Rasulullah SAW telah bersabda yang artinya "Kamu lebih tahu urusan duniamu"? dengan demikian, bidang muamalah ini akan selalu berkembang sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Ketiga yakni keadilan sosial (sosial justice) yang berbeda, dengan donasi atau charity dalam ekonomi konvensional, dalam konsep ekonomi syari’ah bahkan rizki halal yang kita dapatkan dengan jerih payahpun diyakini terdapat hak orang lain, dengan lain kata bukan kita yang berbaik hati memberi donasi, namun ia bukan hak kita, ia hak orang lain. Terakhir, atapnya ialah akhlakul karimah atau yang lebih populer disebut dengan etika ekonomi.
 
Sebagai suatu cita (ideals) ajaran Islam telah sempurna disampaikan oleh Nabi kepada umatnya. Namun dalam konteks aplikasi lebih lanjut pokok-pokok ajaran Islam tersebut memerlukan langkah-langkah sistematisasi dan interpretasi-­interpretasi baru guna menyesuaikan dengan tingkat perkembangan kehidupan umat manusia dan aspirasi-aspirasinya yang kian meningkat, sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri.
 
Teks-teks keagamaan (al-Nushush al-Syar’iyyah) memuat banyak sekali pesan yang berkaitan dengan bidang kehidupan perekonomian, baik secara eksplisit (sharih) maupun implisit (ghairu sharih). Hanya saja secara keseluruhan aksentuasi dari nash-nash tersebut lebih pada ajaran-ajaran atau pesan-pesan moral universalnya, sesuai dengan semangat dasar al-Qur’an itu sendiri yaitu semangat moral yang menekankan pada ide-ide keadilan sosial dan ekonomi. Banyak ayat al-Qur'an dan Sunah yang memberikan panduan terhadap umat Islam untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Larangan riba, promosi jual beli, hidup sederhana, tidak bertindak berlebihan atau melampaui batas (no israf), tidak berbuat kerusakan (no fasad), intensifikasi zakat dan shadaqah, serta perintah bekerjasama dalam usaha adalah deretan ajaran Islam yang mengandung nilai ekonomi.
 
Misalnya pandangan Islam tentang dunia kerja, prinsip kebebasan dan kejujuran dalam berusaha, produktifitas kerja, dan sebagainya. Serta pandangan dunia (weltanschaung) Islam yang secara keseluruhan berhubungan erat dengan konsep teologi dan eskatologi. Diantara ajaran-ajaran pokok tersebut misalnya adalah bahwa posisi manusia di bumi ini adalah sebagai khalifah Allah, dengan membawa amanat-Nya, untuk menciptakan kemakmuran dan kesajahteraan. Manusia tidak boleh takut kepada alam. Karena alam ini justru diciptakan untuk “melayani” kepentingan mereka. Mereka tidak boleh duduk pasif, namun harus aktif berusaha dan bekerja. Mereka harus mencari bagian rizki yang halal. Dalam berusaha mereka harus mengindahkan nilai kejujuran,  atas dasar suka rela tanpa paksaan, dan berusaha dan bekerja dalam bidang-bidang yang dibolehkan syariat dan bukan yang bathil.  Meskipun mereka bebas mendapatkan dan memiliki setiap hasil jerih-payahnya, namun mereka juga harus memperhatikan fungsi sosial harta hasil usahanya itu demi kebaikan orang-orang yang nasibnya kurang beruntung. Mereka juga harus hemat dan efesien dalam membelanjakan hartanya, dan sebagainya.
 
Dalam hal ini, Afzalur Rahman dalam “Muhammad Sang Pedagang” juga menekankan bahwa Islam menekankan betul etos ekonomi untuk berusaha dan memperoleh keuntungan. Muslim didorong untuk memperoleh karunia Tuhan (rezeki dari hasil perniagaan) di muka bumi. Beberapa ayat al-Qur’an dan hadis menunjukkan hal tersebut. (misalnya dapat dilihat pada Q.S. 28:7). Kewajiban dalam Islam semacam zakat, shadaqah, waqaf, qurban, dan juga haji secara implisit memerintahkan kaum muslim untuk menjadi “orang kaya”. Karena mereka yang mempunyai kelebihan kekayaan sajalah yang dapat menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut.
 
Terhadap pesan-pesan al-Qur’an tersebut dan juga yang ada dalam hadis atau Sunah rasul, perlu ada interpretasi dan konseptualisasi ke dalam bentuk ajaran yang sistematis sehingga akan lebih mudah untuk dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh siapa saja. Dengan demikian ajaran-ajaran luhur tersebut tidak lagi hanya merupakan himbauan moral tapi menjadi suatu sistem tatanan hidup yang dihayati sebagai way of life dan rule of game yang dipatuhi. Dengan cara itulah ajaran agama akan benar-benar membawa dampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan manusia, lahir dan bathin.

Kearifan Lokal
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (lokal wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (lokal). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily menyatakan bahwa lokal berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka lokal wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
 
Kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang  meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa: (1) tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi-sosial baik antar individu maupun kelompok, yang  berkaitan dengan hierarki dalam kepemerintahan dan adat, aturan  perkawinan  antar  klan,  tata  krama dalam kehidupan  sehari-hari; (2) tata aturan menyangkut hubungan manusia dengan  alam, binatang, tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi alam; (3) tata  aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya Tuhan dan roh-roh gaib. Tidak semua aspek tersebut dijadikan bahan kajian dalam kegiatan penelitian ini, kecuali aspek-aspek yang berkaitan dengan interaksi sosial ekonomi antar individu maupun antar kelompok, khususnya dalam kehidupan sosial-ekonomi-keagamaan.
 
Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata bijak, pepatah, dan di Jawa berupa parian, paribasan, bebasan, saloka. Fokus kajian ini tidak hanya pada kearifan lokal dalam bentuk aslinya, tetapi juga pada upaya masyarakat dalam melakukan rekacipta kearifan lokal baru (institutional development), yaitu “memperbaharui institusi-institusi  lama  yang  pernah  berfungsi  baik”  dan  dalam  upaya  membangun  tradisi,  yaitu “membangun seperangkat institusi adat-istiadat yang pernah berfungsi dengan baik dalam memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi-keagamaan tertentu pada suatu masa tertentu, yang terus menerus direvisi dan direka cipta  ulang  sesuai dengan perubahan kebutuhan sosial-ekonomi-keagamaan dalam masyarakat.”  Pengembangan institusi ini harus dilakukan oleh masyarakat lokal itu sendiri, dengan melibatkan unsur pemerintah dan unsur non-pemerintah, dengan kombinasi pedekatan top-down dan bottom-up. Yang  dimaksud dengan kearifan lokal dalam kajian ini adalah suatu sintesis budaya  yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang berulang-ulang, melalui internalisasi  dan interpretasi ajaran agama (Islam) dan budaya yang disosialisasikan dalam bentuk norma-norma  dan  dijadikan  pedoman  dalam  kehidupan  sehari-hari  bagi masyarakat.
 
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah lokal genius. Lokal genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian lokal genius ini. Antara lain Haryati Soebadio yang mengatakan bahwa lokal genius adalah juga cultural identity, identitas atau kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.
 
I Ketut Gobyah mengatakan bahwa kearifan lokal (lokal genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Selanjutnya S. Swarsi, mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
 
Disini istilah lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang telah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung, yang akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut selanjutnya akan menjadi landasan hubungan dalam interaksi sosial.
 
Dengan demikian beberapa ciri-ciri kearifan lokal yakni: (1) mampu bertahan terhadap budaya luar. (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, (3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, (4) mempunyai kemampuan mengendalikan dan (5) mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
 
Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Yang kebenaran nilai-nilai tersebut juga tidak terlepas dari kebenaran ajaran agama yang dianutnya. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari. Hal inilah yang seolah-olah membenarkan pernyataan Teezzi, Marchettini, dan Rosini yang mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama.
 
Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang panjang, dari satu generasi ke generasi berikutnya (antar generasi). Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif. Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut, misalnya alon­alon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawe-rawe rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiai-ne manfaat ilmu -ne, patuh guru -ne barokah urip-e (masyarakat pesantren), dan sebagainya.

‘Urf dan Kearifan Lokal
Dalam agama, kearifan ini juga disinonimkan dengan ‘urf. Menyangkut ‘urf, ini yang menjelaskan bahwa tentang kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al­‘addah al-ma’rifah), yang dilawankan dengan al-‘addah aljahiliyyah. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan.
 
Tidak  ada  perbedaan  yang  prinsip  antara  adat  dan  ‘urf,  karena  pengertian  keduanya sama, yaitu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan sehingga menjadi dikenal dan diakui orang   banyak.   Jadi   meskipun   asal   kata   keduanya   berbeda, namun   perbedaannya   tidak berarti. ‘urf  adalah  suatu  keadaan,  ucapan,  perbuatan,  atau  ketentuan  yang  sudah  dikenal manusia  dan  telah  menjadi  tradisi  dalam  masyarakat.  Di kalangan masyarakat sering disebut sebagai adat.
 
Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara urf  shahih  yang  ada  di  masyarakat  dan  menetapkannya  sebagai  hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa urf fasid harus dijauhkan dari pengambilan dan penetapan hukum. Pandangan Imam Malik misalnya mendasarkan  sebagian besar  hukumnya pada  amal  ahli Madinah. Sedangkan Imam Syafi’i memiliki dua pendapat (qaul qadim dan qaul jadid). Qaul qadim pendapatnya ketika di Bagdad, sedangkan qaul Jadid ketika di Mesir. Hal ini karena perbedaan úrf. Disamping itu Hanafiyah juga banyak menerapkan úrf dalam menetapkan hukum Islam, seperti bai’ wafa. (jual beli Wafa’).
 
Banyak kaidah fiqh dalam muamalah tentang keharusan urf dalam menetapkan hukum, misalnya “adat itu bisa menjadi hukum syara”, “sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan, sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan Syariat)”, “sesuatu yang ditetapkan oleh kebiasaan (adat),  sama seperti sesuatu yang ditetapkan oleh hukum”, “sesuatu   yang   sudah   dikenal   baik   dan menjadi  tradisi  para  pedagang,  maka  ia  dianggap  sebagai  kewajiban  yang  disepakati  di antara mereka. Seperti uang panjar (‘urbun) dalam jual beli”.
 
Namun demikian, tetap harus diperhatikan bahwa kehujahan ‘urf untuk dijadikan dalil ketika ‘urf tersebut tidak bertentangan dengan Nash, urf itu mengandung maslahah, ‘urf berlaku pada orang banyak, ‘urf itu telah eksis pada masa itu, bukan yang muncul kemudian dan ‘urf tidak bertentangan dengan syarat yang dibuat dalam transaksi ekonomi. Selain itu kehujahan ‘urf akan diakui jika ditujukan untuk memelihara kemaslahatan, ‘urf bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, tetapi senantiasa terkait dengan dalil-dalil yang lain, seperti maslahah dan istihsan dan ‘urf menunjang pembentukan ayau perumusan hukum Islam dalam bidang ekonomi.
 
Sejarah membuktikan adanya dialektika Islam dengan tradisi sebelumnya yang sangat beragam. Apresiasi tersebut, secara umum dapat dibagi menjadi empat katagori: (1) apresiasi negatif, berupa penolakan atas segala bentuk tradisi yang dianggap menyimpang secara prinsip seperti praktek transaksi berbunga, (2) apresiasi duplikat, berupa penerimaan secara utuh atas tradisi atau ajaran sebelumnya, seperti adopsi hukum rajam dari Yahudi, (3) apresiasi modifikatif, dengan mengambil tradisi yang disertai dengan modifikasi, seperti tradisi poligami, (4) apresiasi purifikatif, penerimaan tradisi yang disertai pemumian karena dinilai mengandung unsur menyimpang seperti ibadah haji.
 
Pengakuan atas ‘urf -yang berupa tradisi dan kearifan lokal- dalam sejarah hukum Islam misalnya, juga memperlihatkan penerimaan atas tradisi Arab, Yahudi, dan Nasrani. Berbagai tradisi diakomodir secara kreaktif dan menjadi bagian integral hukum Islam. Itu juga terlihat pada sikap para ulama dalam ijtihadnya. Misalnya imam Malik menjadikan amal ahl al-madinah yang merupakan ‘urf sebagai dasar hukum. Kemudian imam Syafi’i memiliki ‘qaul qodim dan qaul jadid karena perbedaan ‘urf dalam ruang dan waktu yang berbeda, dan lainnya.
 
Sampai-sampai produk fiqih yang ada di Indonesia dan dapat dijumpai formulasinya dalam kitab-kitab fikih klasik banyak dibangun berdasarkan ‘urf Timur Tengah. Atas dasar itulah ada bagian-bagian tertentu dari hukum Islam yang mendapat sambutan kurang hangat dari masyarakat Indonesia, karena dianggap kurang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Hasbi Ash Shiddieqy sebagaimana dikutip Syaukani mengatakan bahwa seharusnya masyarakat Muslim Indonesia mengambil mana yang lebih cocok dengan nusa dan bangsa ini, yaitu fikih atau syariat Islam yang dapat menampung kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama bagi pembangunan hukum di tanah air ini. Maksudnya supaya muslim Indonesia dapat menyusun suatu fiqih yang berkepribadian sendiri.
 
Dengan demikian, gagasan tentang Islam kaffah, universal dan tak mentolerir tradisi lokal disertai dikotomi Islam “tradisi besar" (great tradition) dan “tradisi kecil” (little tradition) menjadi mandul, apalagi anggapan bahwa Islam non Arab sebagai “Islam pinggiran” dan “Islam sinkretik”. Gagasan yang semakin semarak dan hadir dalam bentuk geran radikal yang mengusung “Islam otentik: disegala ruang dan waktu sama sekali mengingkari ‘urf sebagai salah satu sumber hukum yang diakui para mujtahid sejak era al- salaf al-shalih.
 
Pengingkaran terhadap ‘urf dengan Islamisasi yang lebih bercorak Arabisasi sulit dibenarkan dengan pertimbangan antara lain: (1) bertentangan dengan prinsip al-Qur’an dan hadis yang mentolelir perbedaan dan mengakui tradisi lokal, (2) berseberangan dengan sunnatullah bahwa, menjadikan satu umat di seluruh dunia adalah mustahil, dan (3) tidak sejalan dengan “sunah” para ulama sejak awal Islam. Hal ini diperparah oleh keyakinan bahwa Islam yang dianut adalah satu-satunya bentuk Islam yang benar dan yang lain salah, padahal tanpa disadari, Islam yang dibawa sering bercorak kultur Arab yang mengidap lokalitas dan historisitas. Karena berarti gerakan tersebut hendak memaksakan universalisasi kultur lokal tertentu (Arab) ke seluruh penjuru dunia.
 
Keterbukaan Islam yang diwujudkan dalam otoritas ‘urf dalam fiqih muamalah menjadi dasar epistemologi penting, karena bagaimanapun nash tetaplah terbatas dan tidak merinci segala hal, ditambah dengan kehidupan yang terus berkembang dan melahirkan tradisi, berikut persoalan baru. Sementara di sisi lain ‘urf sangat terkait dengan kemaslahatan suatu masyarakat yang memiliki ‘urf tersebut. Tetap memberlakukan ‘urf, dan merupakan bagian memelihara maslahat. Karena salah satu bentuk kemaslahatan adalah merombak tradisi positif yang telah berlaku dan kerab di tengah masyarakat dari generasi ke generasi. Keterbukaan atas perbedaan dan perubahan dengan ‘urf ini justru menguatkan teori adaptasibilitasi hukum Islam seperti dianut kaum reformis semacam Subhi Mahmashani dan peneliti Barat semisal Linant de Bellefonds.
 
Memang tidak semua ‘urf dapat dipertahankan dan diakui oleh para ulama dari dulu sampai kini. Tapi ia tetap merupakan potensi epistemologi yang menjajikan, karena di samping nash tidak menjelaskan rincian segala hal, memelihara ‘urf adalah bagian dari kemaslahatan, ia juga dapat memfungsikan nash dengan lebih baik ketika ‘urf menjadi illat dari suatu nash. Sehingga ketika ‘urf itu berubah, hukum juga berubah dan nash tidak berlaku, -dapat menjadi takhshish atas nash ‘am, sehingga bisa saja berseberangan dengan nash.‘Urf meniscayakan pemahaman yang tidak harfiah atas nash. Pemahaman yang diperlukan adalah pemahaman yang menyeluruh maqasid al-syari’ah. Maka ‘urf yang diakui walaupun berseberangan maka harfiah nash, tapi tidak bertentangan dengan maqashid al-syari’ah -dapat mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kemudaratan. Dengan demikian ekonomi syari’ah akan lebih fleksibel dan dapat menyentuh persoalan yang lebih luas.
 
Dengan demikian diharapkan eksistensi hukum Islam yang tidak hanya berfungsi sebagai “kontrol sosial”, dengan memahaminya secara lebih dalam.  Melalui ‘urf umat Islam dapat memanfaakan potensi tradisi dan kearifan lokal yang sangat kaya dan berakar kuat sebagai wujud ‘pribumisasi’ ekonomi syari’ah. memasukan nafas Islam ke dalam tradisi dan kearifan yang mengandung unsur penyimpangan sebagai wujud “negosiasi”, serta membuang tradisi yang secara prinsip bertentangan dengan “Islamisasi”. Maka upaya memasyarakatkan Islam dapat menghindari “konflik” antara ajaran dan tradisi lokal yang telah mapan, yang justru sangat tidak menguntungkan.

Beberapa Contoh dan Fungsi Kearifan Lokal Masyarakat
Menurut Nyoman Sirtha bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam. Beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu: (1). Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam. (2). Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate. (3) Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara Saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji. (4) Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan. (5) Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat. (6) Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian. (7) Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur. (8) Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client. Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah keraifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis.
 
Elly Burhainy Faizal mencontohkan beberapa kekayaan budaya, kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta kondisinya sekarang dan yang akan datang. Kearifan lokal terdapat di beberapa daerah:
 
Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati.
 
Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak.
 
Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana ‘ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat.
 
Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.
 
Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh, Jawa Barat. Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat.
 
Kearifan lokal dalam hal ekonomi misalnya, di Aceh dikenal dengan adanya mukim, mukim terdiri dari beberapa gampong. Dan ini merupakan suatu potensi bagaiamana memanfaatkan istitusi lokal dalam memberdayakan ekonomi lokal.
 
Bali masyarakat mempunyai awig-awig.
 
Dipulau Lombok banyak dijumpai kearifan lokal dalam mengatur sistem sosial kemasyarakatan, seperti pengaturan pemerintahan desa dengan berbagai lembaga adat (seperti awig-awig yang terdapat di Bali), persubakan, keamanan, ekonomi, dan begitu pula kearifan lokal yang berkaitan dengan perlakuan terhadap lingkungan alam, seperti embung sebagai penyimpan cadangan air, pengaturan sistem tanam, penggunaan pupuk alam dan pemberantasan hama. Seperti misalnya sistem tanam padi Gogo Rancah (Gora) sekitar 1978, oleh karena pada saat masyarakat mengalami kondisi kekurangan bahan makanan berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya kelaparan pada setiap musim dengan tingkat kematian yang begitu besar, maka secara tiba-tiba timbul upaya yang brillian dari masyarakat sendiri untuk mengatasi hal tersebut. Pada masyarakat suku Sasak di pulau Lombok, kearifan lokal merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Karenanya denyut nadi kehidupan masyarakat Sasak memerlukan cara-cara yang arif lagi bijaksana.

Kerifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan.
 
Namun demikian, tidak sedikit kalangan yang mempertanyakan relevansi kearifan lokal di tengah-tengah perjuangan masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim dalam menatap globalisasi dan modernitas. Apakah kearifan lokal sebagai sistem pengetahuan manusia itu logis atau sekadar mitos. Apakah kearifan lokal itu benar-benar berpijak pada realitas empiris atau sekadar spekulasi orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu. Hal inilah yang coba diuraikan pada bagian berikutnya, yakni menyangkut model pendekatan yang relevan dalam mengkaji kearifan lokal masyarakat muslim Indonesia.

Model Pendekatan Adaptif Ekonomi Syari’ah dan Kearifan Lokal
Ekonomi syari’ah sendiri, menurut para pembangun dan pendukungnya, dibangun di atas, atau setidaknya diwarnai, oleh prinsip-prinsip etik-relijius, berorientasi dunia dan akhirat. Dalam tataran paradigma seperti ini, para ekonom Muslim masih dalam satu kata, atau setidaknya, tidak ada perbedaan yang berarti. Mayoritas para ekonom Muslim sepakat mengenai dasar pilar atau fondasi filosofis sistem ekonomi syari’ah: Tauhid, Khilafah, Ibadah, dan Takaful. Khurshid Ahmad menambahkan: Rububiyyah dan Tazkiyah, serta Mas- u­liyyah (accountability) Namun ketika dipertanyakan lebih lanjut: apa dan bagaimana ekonomi syari’ah itu? Di sinilah terjadi perbedaan, sehingga ada yang membagi mazhab ekonomi syari’ah itu menjadi tiga yaitu; mazhab Baqir al-Sadr, mazhab mainstream, dan mazhab alternatif-kritis. Namun sayang pengembangan pemikiran ketiga mazhab ini belum begitu gencar, kecuali mazhab mainstream, dan nampaknya masih menunggu pemikiran cerdas dan kreatif dari para pendukungnya untuk mengembangkan.
 
Namun demikian ekonomi syari’ah tidak lepas dari terpaan kritik yang dilakukan oleh sejumlah ekonom. Pada umumnya kritikan tersebut dikelompokkan oleh Arif, seperti yang dikutip oleh M. Husein Sawit, menjadi tiga kelompok besar. Pertama, aliran yang mengatakan ekonomi syari’ah merupakan penyesuaian sistem kapitalis atau disebut "The Adjusted Capitalism School". Kedua, disebut dengan kelompok konvensional atau "the Conventional School. Ketiga adalah kelompok perbedaan paham atau "the Sectarian Diversity School" Ada juga pernyataan kritis yang sepintas nampak sederhana namun cukup mendasar: apakah ekonomi syari’ah merupakan kapitalisme minus riba atau sosialisme plus Islam? Kemudian ada lagi kritik yang cukup tajam terhadap para ekonom Islam yang selama ini selalu mengkritik sistem ekonomi lain. Pernyataan kritis tersebut:

Secara keseluruhan, ekonomi syari’ah lebih berhasil menjelaskan apa yang bukan ekonomi syari’ah, daripada menentukan apa yang membuat ekonomi syari’ah berbeda sama sekali dengan sistem ekonomi lain. Ekonomi syari’ah juga lebih banyak mengungkap kelemahan sistem lain daripada menunjukkan (bahwa ekonomi syari’ah) secara substansial memang lebih baik.

Semua kritik yang diajukan kepada ekonomi syari’ah tersebut menuntut para pendukungnya untuk memberikan jawaban serius. Ada tiga penafsiran tentang istilah “ekonomi syari’ah”. Pertama, yang dimaksud adalah “ilmu ekonomi” yang berdasarkan nilai-nilai atau ajaran Islam. Kalau ini yang dimaksud, maka akan timbul kesan bahwa ajaran Islam itu mempunyai pengertian yang tersendiri mengenai apa itu “ekonomi”. Hal ini tentu akan diikuti dengan pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan ekonomi itu menurut ajaran Islam? Tepatnya, apakah yang dimaksud dengan “ilmu ekonomi syari’ah” itu?
 
Penafsiran kedua, ekonomi syari’ah itu dalam artian "sistem ekonomi" (Islam). Sistem menyangkut pengaturan, yaitu pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara metode tertentu. Misalnya, bank Islam dapat disebut sebagai unit (terbatas) dari beroperasinya suatu sistem ekonomi syari’ah, bisa dalam ruang lingkup makro atau mikro. Bank Islam disebut unit sistem ekonomi syari’ah, khususnya doktrin larangan riba.
 
Dan ketiga, ekonomi syari’ah itu berarti perekonomian umat Islam atau perekonomian di dunia Islam, maka kita akan mendapat sedikit penjelasan dan gambaran dalam sejarah umat umat Islam baik pada masa Nabi sampai sekarang. Hal ini bisa kita temukan, misalnya, bagaimana keadaan perekonomian umat Islam di Arab Saudi, Mesir, Irak, Iran, Indonesia, dan sebagainya, atau juga perekonomian umat Islam di negara non-Islam seperti Amerika, Cina, Perancis, dan sebagainya.
 
Selanjutnya dalam hal kajian pendekatan ekonomi syari’ah kontemporer, menarik disimak apa yang diutarakan oleh Prof. Volker Nienhaus, dari Jerman, dalam tulisannya “Islamic Economics: Policy Between Pragmatism and Utopia”, ada empat pendekatan utama dalam kajian mengenai ekonomi syari’ah selama ini. Pertama, pragmatis; kecenderungan ini ditandai dengan penolakan ideologi-ideologi ekonomi yang diikuti dengan upaya melakukan sintesis atau ekleksi, yaitu mencampur berbagai gagasan dan teori yang dianggap paling praktis untuk dilaksanakan. Menurut Nienhaus kecenderungan inilah yang banyak diambil. Kedua, resitatif; pendekatan yang mengacu pada teks ajaran Islam, pendekatan ini mengacu pada hukum fikih, teologi, etika ekonomi. Ketiga, pendekatan utopian. Utopia adalah gambaran mengenai dunia yang kita inginkan. Pendekatan ini dikembangkan dengan merumuskan model manusia, misalnya homo economicus, atau manusia altruistis. Pendekatan yang terakhir, keempat, adaptif; berusaha melakukan penyesuaian diri berdasarkan kondisi setempat dan sejarah masing-masing umat Islam, seperti gagasan sosialisme Islam; sosialisme kerakyatan; sosialisme demokrasi.
 
Sedangkan menurut Muchtar Ahmad kajian ekonomi syari’ah selama ini dapat dikategorikan menjadi empat (4) corak. Pertama, kajian ekonomi syari’ah dalam lingkup normatif, dalam arti upaya menjelaskan dasar­dasar filosofis atau normatif suatu kajian ekonomi yang sesuai dengan tuntunan Islam, menurut ajaran baku dalam al-Qur'an dan hadis. Kedua, kajian ekonomi syari’ah hasil pemikiran atau penyelidikan para fukaha, pakar ekonomi, sosiolog, dan sebagainya seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Abu Yusuf, Umer Chapra dan sebagainya yang dilakukan secara kritis, baik melalui pemeriksaan teori dan tesis yang dikemukakan maupun melalui pengujiannya terhadap perilaku ekonomi Muslim. Ketiga, kajian perbandingan antara perilaku ekonomi Muslim dengan konsep sistem ekonomi syari’ah yang teoritis. Atau menghadapkan perilaku ekonomi Muslim kepada nilai-nilai Islam. Keempat, kajian perbandingan antara konsep sistem ekonomi syari’ah dengan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis serta perkembangan ekonomi kontemporer (gejala perkembangan sistem ekonomi dunia).
 
Dari gambaran di atas, maka dengan memperhatikan pendekatan yang keempat, yakni pendekatan adaptif; yang diidentifikasi oleh Prof. Volker Nienhaus dimana pendekatan ini berusaha melakukan penyesuaian diri berdasarkan kondisi setempat dan sejarah masing-masing umat Islam, maka melalui pendekatan ini ekonomi syari’ah diharapkan dapat bersinergi dengan baik dan saling mendukung bagi pengembangannya berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat, yang kita pahami hal tersebut berurat-berakar pada nilai-nilai keagamaan yang arif dan bijaksana lagi diyakini kebenarannya.
 
Adapun nilai ilmiah itu dapat kita jumpai dalam berbagai wacana dengan ruang lingkup serta bahasa yang seluas mungkin sehingga studi kontekstual terhadap kearifan lokal budaya masyarakat memperoleh konsistensi, koherensi dan kompetisi yang akurat. Secara akademis, nilai-nilai ilmiah yang menjadi landasan studi konteks adalah menyangkut unsur-unsur seperti metodologi, sistematika analika dan obyektiva.
 
Setiap pengkajian kontekstual, tentunya akan merujuk kepada landasan tekstual yakni al-Qur’an dan Sunah. Dengan demikian setiap studi konteks (ekonomi syari’ah) harus memenuhi validitas dan reliabilitas ilmiahnya sebagai jawaban atas berbagai persoalan yang menjadi tantangan pengembangan sistem ekonomi syari’ah. Dalam rangka memahami studi kontekstual ekonomi syari’ah yang dikaji ini, maka teks nash (al-Qur’an dan Sunah) yang menjadi landasan studi juga tidak dapat terlepas dari landasan historis Islam baik pada masa Rasulullah SAW, sahabat dan generasi setelahnya. Maka disini, tidak berlebihan jika diutarakan bahwa titik tolak dan prosedur studi kontekstual sistem ekonomi syari’ah haruslah dari permulaan al-Qur’an yakni melalui lima ayat pertama surat al-‘Alaq.
 
Secara tekstual, maka kata Iqra’ yang menjadi kata pertama dalam sejarah turunnya al-Qur’an sangat ilmiah dan secara kontekstual sesuai dan cocok dengan segala dimensi ruang dan waktu, berbagai peristiwa maupun kejadian dan momentum saat ini. Jika persoalan dasar ini kita pahami sebagai poersoalan ekonomi syari’ah, maka tentunya peradaban yang akan terbangun adalah al Islam yalu wala yu la ’alaih. Masyarakat miskin yang akan menjadi pusat peradaban sebagai culture leader bagi peradaban.
 
Selanjutnya jika perhatikan dengan lebih seksama maka ekonomi syari’ah di Indonesia sebenarnya secara riil telah dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat Muslim, baik pada tingkat keluarga maupun komunitas Muslim tertentu telah menjalankan tata cara pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan. Nilai-nilai wisdom (kearifan) tersebut dijadikan acuan di dalam melakukan kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, ekonomi syari’ah dipahami sebagai tata cara pemenuhan kebutuhan hidup yang orientasinya didasarkan pada aturan syari’ah Islam untuk pencapaian keridhaan Allah. Terminologi normatif ini akan dapat diaplikasikan secara riil oleh umat Islam jika ada standar nilai ketaatan kepada aturan yang sudah baku terhadap nash-nash al-Qur'an atau Sunah.
 
Perilaku ekonomi umat Islam mengarah kepada nilai-nilai dasar yang telah digariskan dalam ajaran Islam. Disamping itu, dalam praktek yang terkait dengan riba misalnya, tidak salah, jika masyarakat kita memberikan “gelar” kepada para pengambil riba sebagai "lindah darat". Lintah adalah sejenis binatang yang tinggal di air dengan darah sebagai menu kesukaannya. Jika ada "lindah darat" maka mereka adalah pengambil riba yang menghisab darah masyarakat di darat melalui pengembangbiakan uang dengan sistem bunga.
 
Jalan keluarnya, ajaran Islam menganjurkan jual-beli sebagai salah satu model pengganti praktek riba. Dalam al-Qur'an ditegaskan secara nyata bahwa jual-beli merupakan sesuatu yang halal untuk dipraktekkan dalam mengisi kegiatan ekonomi. Dengan adanya jual-beli berarti meneguhkan kembali nilai keseimbangan ekonomi, karena di dalamnya terjadi interaksi antara pihak pemilik barang (penjual) dan pihak yang memiliki uang (pembeli). Realita ini menguatkan terjadinya sirkulasi barang dan uang secara riil. Seumpamanya, selama dalam kurun waktu satu tahun tidak terjadi transaksi jual-beli akan dapat dipastikan adanya penumpukkan barang dan uang pada satu pihak. Oleh karena itu, ajaran Islam memandu umatnya untuk melakukan jual-beli secara tidak langsung telah memberikan andil dalam proses penyehatan kegiatan ekonomi.
 
Nilai ekonomi syari’ah yang lain dapat berupa peniadaan sikap berlebihan dan berbuat kerusakan dalam menjalankan aktifitas ekonomi. Kedua perilaku ini termasuk ke dalam negative action yang membawa kepada implikasi terjadinya ketidakseimbangan ekonomi atau bahkan ketidakseimbangan kosmos ini sendiri. Adanya pembalakan liar beberapa hutan di kawasan nusantara memberikan konstribusi peningkatan kerusakan di alam. Aturan normatif syari’ah Islam menuntun bagi umatnya untuk selalu menjauhi perbuatan yang mengarah kepada kerusakan lingkungan. Beberapa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan telah menyadari akan pentingnya keseimbangan hidup di lingkungan sekitar. Masyarakat sekitar hutan telah memahami sekaligus telah mempraktekkan pengetahuan tentang ekonomi lingkungan. Bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup dengan bersandar pada hutan yang ada di lingkungannya? Mereka menjadikan hutan dan lingkungan sekelilingnya seperti nyawa yang ada di badannya. Hubungan simbiosis yang saling menguntungan ini tetap terjaga secara harmoni. Karena, jika hutan yang ada di lingkungan sekitarnya mengalami kerusakan secara tidak langsung akan mengancam jiwanya. Begitulah, sikap kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat pinggiran hutan. Perbuatan mereka ini telah mencerminkan pelaksanaan ekonomi syari’ah dalam kehidupan sehari-hari.
 
Lain halnya, dengan perilaku yang di jalani oleh petani yang tinggal di pedesaan. Kesederhaan telah menjadi gaya hidup mereka. Pagi hari, para petani pergi bersama ke sawahnya. Mereka bercocok tanam dengan berharap agar pengelolaan sawahnya dapat memberikan penghasilan yang nantinya bisa dinikmati untuk memenuhi kebutuhan hidup-nya. Mereka adalah sosok pribadi yang terlatih untuk menjalani hidup dengan selalu tawakkal kepada Allah SWT, para petani dapat menikmati hasil panen sawah yang dikelolanya dengan penuh kesabaran. Perilaku kehidupan petani ini telah mencerminkan adanya kearifan lokal (lokal wisdom) yang terus dipertahankan. Dalam skala ekonomi mikro, perilaku berlebihan akan berakibat pada tidak terdistribusikan barang konsumsi secara merata, karena ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya dalam porsi yang tidak wajar, sudah berlebihan, sedang di pihak lain ada yang mengalami kekurangan dalam mengkonsumsi barang yang diperlukan.
 
Dilain pihak, pengkajian terhadap kearifan lokal yang merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya masyarakat juga dapat menggunakan pendekatan etnografi atau juga psikologi. Jika menggunakan pendekatan psikologi maka disini istilah kearifan lokal analog dengan indigenous psychology yang di definisikan sebagai usaha ilmiah mengenai tingkah-laku atau pikiran manusia yang asli (native) yang tidak ditransformasikan dari luar dan didesain untuk orang dalam budaya tersebut. Dan hasil akhir dari indigenous psychology adalah pengetahuan yang menggambarkan tentang kearifan lokal, yaitu gambaran mengenai sikap atau tingkah-laku yang mencerminkan budaya asli.
 
Secara metodologis, pembentukan indigenous psychology masih meminjam metode-metode ilmiah yang lazim digunakan hingga saat ini dengan mengkontekstualisasikan teori-teori yang ada dengan kecenderungan-kecenderungan lokal yang berkembang. Pada tahap ini, kontekstualisasi dan operasionalisasi teori-teori yang ada dikembangkan atau dimodifikasi menurut karakter-karakter masyarakat dan kepentingan lokal. Hal ini penting dipahami karena ketika berbicara tentang keilmuan kita tidak bisa lepas dari teori-teori ekonomi Barat yang secara faktual telah mengembangkan tradisi ilmiah lebih awal. Dengan demikian, sebagai usaha awal masih perlu untuk menggunakan teori-teori ekonomi Barat sebagai pendekatan.
 
Selanjutnya, titik berat metodologis penelitian tidak lagi kuantitatif murni, tetapi lebih mengarah pada penelitian kualitatif atau kombinasi kuantitatif dan kualitatif. Hal ini tentunya dengan menyesuaikan dengan tema kajian. Oleh karena basis teori belum dimiliki dalam khazanah kearifan lokal, maka melalui teori-teori ekonomi Barat kemudian dilakukan pendalaman-pendalaman. Pendalaman ini mengacu dan mengikuti gerak dan kepentingan masyarakat setempat. Ciri pendalaman ini menjadi karakteristik utama dalam penelitian kualitatif. Melalui pendalaman-pendalaman dapat diangkat khazanah keilmuan dari kearifan-kearifan lokal yang berkembang dan bersifat ilmiah.

Kearifan Lokal dan Perubahan Praktek Ekonomi Masyarakat
Pada masa kini kearifan lokal menjadi kecenderungan umum masyarakat Indonesia yang telah menerima otonomi daerah sebagai pilihan politik. Membangkitkan nilai-nilai daerah untuk kepentingan pembangunan menjadi sangat bermakna bagi perjuangan daerah untuk mencapai prestasi terbaik. Selama ini, kearifan lokal tiarap bersama kepentingan pembangunan yang bersifat sentralistik dan top down. Karena itu, sudah saatnya untuk menggali lebih banyak kearifan-kearifan lokal sebagai alat atau cara mendorong pembangunan daerah sesuai daya dukung daerah dalam menyelesaikan masalah-masalah daerahnya secara bermartabat.
 
Sejarah telah mencatat bahwa ajaran Islam telah memberi kontribusi besar: (1) Islam masuk ke Indonesia tidaklah melalui kekerasan melainkan melalui dakwah yang berlangsung secara damai, (hal ini berbeda dengan daerah yang lahir Islam) kalaupun terjadi peperangan dan sebagainya di antara kaum Muslim dan non-Muslim itu merupakan akibat dari perebutan kekuasaan, bukan reaksi dari penyebaran agama Islam. (2) corak pemikiran kontemplatif dan eksoteris mempengaruhi pemikiran Islam Indonesia. (3) pengaruh Islam terhadap pembentukan falsafah negara Indonesia  sangat menonjol. (4) percampuran budaya Islam dengan budaya Indonesia berlangsung secara mesra. Di Jawa, Islam memberikan toleransi kepada budaya asli, sementara di luar Jawa, budaya asli di dasarkan pada Islam. (5) bukti-bukti terjadinya pengaruh Islam terhadap pembinaan moral bangsa Indonesia dilihat dari aspek teologis, munculnya homo-religiosi, dari sisi antropologis, adanya inistitusi agama yang mengakar dalam masyarakat, sedangkan dari aspek kosmologis, tampak adanya keseimbangan hidup antara manusia dengan alam semesta, dan dari sisi eskatalogis, munculnya berbagai rumah ibadah yang memproyeksikan kehidupan kebahagiaan di akhirat. Dengan demikian terbukti Islam mengajak manusia kepada kesadaran untuk menjunjung tinggi kemanusiaan dan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang sejahtera.
 
Dapat pula dikatakan bahwa dengan adanya beranekaragam adat dan budaya yang berakulturasi dengan budaya Islam secara pénétration pacifique. Nilai-nilai Islam yang berlandaskan al-Qurān dan Sunah serta pengembangannya dengan daya ijtihad, ternyata meresap dalam hati sanubari masyarakat Indonesia yang pluralistis secara pénétration pacifique pula, tanpa menimbulkan kegelisahan sosial dengan al-Akhlāq al-Karīmah sebagai payung yang benar-benar memilihara keutuhan bangsa dan kerukunan antar umat sebagai penyempurna, menghimpun moral yang sudah ada, membina kelanjutan moral, jiwa, akal, harta, dan keturunan manusia yang merupakan tujuan dari agama Islam.
 
Dan salah satu bentuk akulturasi Islam dan budaya setempat yakni berupa kearifan lokal yang lebih merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Karena kearifan lokal dipandang sebagai suatu produk budaya sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu berubah dan disesuaikan dengan nilai-nilai yang arif dan bijaksana yang bersumber dari nilai-nilai keagamaan maka kearifan lokal dalam praktek ekonomi tidak luput pula dengan perubahan yang terus disesuaikan dengan praktek perekonomian masyarakat.
 
Kearifan lokal juga merupakan usaha manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari depannya dan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan. Oleh sebab itu dituntut adanya kemampuan, kreativitas, dan penemuan-penemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam mencapai kehidupan yang lebih manusiawi. Dasar dan arah yang dituju dalam perencanaan kebudayaan adalah manusia sendiri sehingga humanisasi menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan.
 
Budaya yang berkembang di Indonesia merupakan akulturasi dari berbagai macam budaya. Hal ini karena Indonesia merupakan lalu lintas perdagangan dan tempat persinggahan mereka yang melakukan penjelajahan, sehingga dapat dikatakan bahwa percampuran budaya di Indonesia itu adalah percampuran budaya yang sangat beranekaragam. Dengan melihat kearifan lokal sebagai bentuk produk kebudayaan maka ia akan mengalami reinforcement secara terus-menerus menjadi yang lebih baik. Ali Moertopo mengatakan bahwa humanisasi merupakan ideal proses dan tujuan kebudayaan. Oleh karena itu maka kearifan lokal sebagai manifestasi kebudayaan yang terjadi dengan penguatan-penguatan dalam kehidupannya menunjukkan sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan. Artinya sebagai manifestasi humanitas manusia, kearifan lokal dianggap baik sehingga ia mengalami penguatan secara terus-menerus. Tetapi, apakah ia akan tetap menjadi dirinya tanpa perubahan, benturan kebudayaan akan menjawabnya. Dinamika kebudayaan merupakan suatu hal yang niscaya. Hal ini tidak lepas dari aktivitas manusia dengan peran akalnya. Dinamika atau perubahan kebudayaan dapat terjadi karena berbagai hal. Secara fisik, bertambahnya penduduk, berpindahnya penduduk, masuknya penduduk asing, masuknya peralatan baru, mudahnya akses masuk ke daerah juga dapat menyebabkan perubahan pada kebudayaan tertentu. Dalam lingkup hubungan antar manusia, hubungan individual dan kelompok dapat juga mempengaruhi perubahan kebudayaan. Satu hal yang tidak bisa dihindari bahwa perkembangan dan perubahan akan selalu terjadi.
 
Dalam kasus Indonesia juga dijelaskan bagaimana Islam yang berkarakter dinamis, elastis, dan akomodatif dengan budaya lokal dapat berjalan bersama dan mengutip Gus Dur, terjadi pribumisasi Islam. Di dalamnya dicontohkan bagaimana konflik budaya material Masjid Demak juga merupakan bentuk adaptasi budaya. Bagaimana tradisi Syi’ah dapat memberikan corak khusus bagi Islam di Ternate juga merupakan hasil pertemuan budaya.
 
Dalam pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan di akomodasikan kedalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, namun justru agar budaya itu tidak hilang. Disini menurut Gus Dur, inti Pribumisasi Islam adalah kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.
 
Ada banyak peluang untuk menggali dan pengembangan wacana kearifan lokal masyarakat nusantara dan menjadikannya sebagai model pendekatan dalam kajian ekonomi syari’ah. Dari beragam bentuk dan fungsinya, seperti yang sedikit di uraikan di atas. Di samping itu kearifan lokal dapat didekati dari nilai-­nilai yang berkembang di dalamnya seperti nilai religius, nilai etis, estetis, intelektual atau bahkan nilai lain seperti ekonomi, teknologi dan lainnya. Maka kekayaan kearifan lokal menjadi lahan yang cukup subur untuk digali, diwacanakan dan dianalisis mengingat faktor perkembangan budaya terjadi dengan begitu pesatnya, disamping semangat untuk menemukan formulasi yang tepat bagi pengembangan ekonomi syari’ah yang memberikan kerangka berpijak yang unik dalam menemukan ciri khas praktek ekonomi di Indonesia sehingga Islam Indonesia dapat berdialog secara kreatif dan produktif dengan system ekonomi masyarakat.

Penutup
Masa depan ekonomi syari’ah tidak dapat kita ketahui dengan pasti, walaupun paling tidak kita dapat melihat tanda-tandanya. Seperti kata Aristoteles, kita dapat mengubah masa depan karena kita tidak mengetahuinya: kalau masa depan sudah diketahui, maka kita tidak dapat mengubahnya, dan itu juga tidak menarik. Masa depan tergantung dari apa yang kita lakukan saat ini, dan semuanya dapat berharap bahwa kita dapat menjumpai hari esok yang lebih baik.
 
Sebagaimana ilmu ekonomi mengajarkan, kita senantiasa dihadapkan pada pilihan­-pilihan. Demikian juga dengan sistem ekonomi syari’ah yang merupakan bagian alternatif maupun solusi dalam pembentukan masa depan perekonomian yang lebih baik. Paling tidak keluar dari krisis yang sudah berkepanjangan dan mampu mendeteksi untuk meminimalkan dampak krisis. Berikutnya kita akan lebih siap dan lebih tahan uji dengan bermacam krisis perekonomian yang melanda. Kita berurusan dengan persoalan besar, yang sangat menentukan kinerja perekonomian yang lebih sustainable tersebut. Sebagaimana yang telah diungkap di atas, pilihannya itu adalah menjalankan system perekonomian yang sudah ada atau menawarkan alternatif baru. Yang digali dalam khazanah kekayaan multikulturalisme bangsa dalam bingkai nilai-nilai keagamaan (Islam) dengan penyesuaian-penyesuaian disana-sini yang -kalau memang perlu- sifatnya fundamental.
 
Sebagai sebuah sistem, sistem ekonomi syari’ah memang belum terujud secara faktual, tapi secara konseptual sangat menjanjikan. Secara imani, tentu kita sangat yakin bahwa ia pasti akan muncul sebagai satu-satunya sistem yang mampu memenuhi semua harapan manusia, karena Islam memang diturunkan untuk seluruh umat manusia, termasuk non-Muslim sekali pun. Maka, mengkaji sistem ekonomi syari’ah secara intens lalu mewujudkannya dalam realitas kehidupan masyarakat merupakan perkara yang amat penting.
 
Namun demikian dalam eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya bangsa sangat perlu untuk dilakukan, karena ia merupakan satu keping mata uang yang tidak dipisahkan dalam arti Islam dengan sistem ekonomi syari’ah diharapkan dapat berinteraksi dan bersinergi dengan kearifan budaya lokal sekaligus juga berupaya untuk mengkritisi eksistensinya terkait dengan keniscayaan adanya perubahan budaya dan dalam upaya pengembangan model pendekatan ekonomi syari’ah ala Indonesia. Ruang eksplorasi dan pengkajian kearifan lokal menjadi tuntutan tersendiri bagi pengembangan pendekatan dan metodologi ekonomi syari’ah disamping bagi eksplorasi khasanah budaya bangsa pada umumnya untuk menemukan formulasi yang tepat bagi pengembangan ekonomi syari’ah yang memberikan kerangka berpijak yang unik dalam menemukan ciri khas praktek ekonomi di Indonesia sehingga Islam Indonesia dapat berdialog secara kreatif dan produktif dengan system ekonomi masyarakat.

Daftar Pustaka
Abdul Hamid. SDM Yang Produktif Pendekatan al-Qur’an dan Sains. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Abdul M Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Syari’ah. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993.
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fikih. Terj. Faiz el Muttaqin. Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Adiwarman A Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi Kedua. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi syari’ah, Edisi Ketiga. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Adiwarman Karim, Ekonomi Syari’ah: Suatu Kajian Ekonomi Makro. Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia, 2002.
Adiwarman Karim. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia, 2002.
Ali Moertopo Strategi Pembangunan Indonesia. Jakarta: CSIS, 1978.
A.M. Saefuddin dkk, dalam Konsep Islam dalam Pembangunan Masyarakat., Islamisasi Ekonomi Suatu Sketsa Evaluasi dan Prosfek Gerakan Perekonomian Islam. Yogyakarta: PLP2M, 1985. 
Depag RI Al Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Diponegoro, 2003.
Elly Burhainy Faizal dalam SP Daily tanggal 31 Oktober 2003 dalam http://www.papuaindependent.com di akses pada 21 November 2009
Faizal Fatawi, Historisitas Syari’ah. Yogyakarta: Pustaka Adief, 2003.
Fazlurrahman, Islam, cet.II, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka, 1994.
Hamka Haq, Al-Syathibi Aspek Teologis Konsep Mashlahah Dalam Kitab al-Muwafaqat. Jakarta. Erlangga 2007.
Husein Sawit, Kata Pengantar pada buku Goenawan Moehammad, Metodologi Ilmu Ekonomi syari’ah: Suatu Pengantar. Yogyakarta: UII-Press, 2000.
I Ketut Gobyah, “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam  http://www.balipos.co.id  di akses pada  21 November 2009
Imam Syaukanie Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Imamudin Yuliadi, Ekonomi syari’ah: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: LPPI-UMY, 2001.
Ismail Yusanto. “Paradigma Sistem Ekonomi syari’ah”. Makalah ditulis pada 01 Juni 2004
Ismail, Wawasan Jati Diri dalam Pembangunan Daerah. Semarang: Effhar dan Dahara Prize, 1990.
James P. Spradley. Metode Etnografi. Terj. Mizbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997.
Javed Ansari., Gerakan Islamisasi Sebuah Pengantar dalam Konsep Islam dalam Pembangunan Masyarakat., Islamisasi Ekonomi Suatu Sketsa Evaluasi dan Prosfek Gerakan Perekonomian Islam. Yogyakarta: PLP2M, 1985.
John L.Esposito dkk (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, jilid. 2. Terj. Eva Y.N. dkk., Entri Ekonomi. Bandung: Mizan, 2001.
M. A. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS, 2007.
M. Abdul Karim. Islam di Asia Tengah. Yogyakarta: Bagaskara, 2006.
M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
M. Amin Abdullah. Re-Strukturisasi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta. Yogyakarta: Suka Press, 2007.
M. Imadadun Rahmat, Islam Pribumi Islam Indonesia, Kata pengatar pada buku Islam Pribumi, Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Erlangga, 2003.
M. Zein Nuhuyanan. “‘Urf dan Apresiasi terhadap Tradisi Lokal”. Jurnal Tahkim Vol. III No. 2 Pebruari Tahun 2008.
M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: Ekonisia, 2003.
M.Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. Jakarta: LSAF, 1999.
Muchtar Ahmad, “Kajian Ekonomi dan Nilai Islami”, Ulumul Qur'an, Vol. II. No.9. 1991.
Muhammad Azhar. “Kajian Terhadap Berbagai Konsepsi Pemikiran Islam di Indonesia”. Jurnal Studi Islam dan Informasi PTAIS Mukaddimah. No. 5 Tahun IV/1998.
Muhammad Iswadi. “Ekonomi Syari’ah: Kajian Konsep dan Model Pendekatan”. Mazahib Vol. IV, No. 1, Juni 2007
Nurma Ali Ridwan. “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal” dalam Ibda` Volume 5 Nomor 1 Januari-Juni 2007.
Nyoman Sirtha.  “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam  http://www.balipos.co.id  di akses pada 21 November 2009
Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003
S. Swarsi Geriya. “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam, http://www.balipos.co.id di akses pada 21 November 2009
Sartini, “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati”. Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37 Nomor 2
Smith Al-Hadar “Sejarah dan Tradisi Syi’ah Ternate” di http://alhuda.or.id/rub_budaya.htm. di akses pada 21 November 2009
Umer M Chapra. The Future Of Economics: An Islamic Perspective. Terj. Amdiar Amir, dkk. Jakarta: Shari’ah Economics & Banking Institute, 2001.
Yudian W Aswin. Maqashid Al-Syaria’ah sebagai Doktrin dan Metode. Dalam buku M. Amin Abdullah. Re-Strukturisasi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta. Yogyakarta: Suka Press, 2007.
Yusdani, Call Of Papers Proposal Penerbitan Millah Jurnal Studi Agama Vol. VIII, No. 2, Februari 2009

Senin, 15 September 2014

Tugas Mata Kuliah Manajemen Zakat dan Wakaf


Tugas Mahasiswa Fakultas Syariah dan Ekonomi Syariah IAIN Mataram
Program Studi Ekonomi Syariah

1.   Silahkan identifikasi tanah wakaf produktif yang ada dalam suatu wilayah kelurahan (perkotaan), kemudian analisa-lah dari aspek:
  1. Latar belakang dan sejarah tanah wakaf tersebut, mengapa dapat diproduktifkan
  2. Aspek pemasaran
  3. Aspek teknis
1). Kebutuhan investasi
2). Sumber modal

  1. Perkiraan benefit (keuntungan)
  2. Sistem kerjasama
  3. Kesimpulan
2.    Tugas merupakan tugas kelompok yang terdiri dari 4 – 5 orang per kelompok (usahakan berimbang jumlah perempuan dan laki-laki).
3.      Tugas dikumpulkan pada pertemuan ke-7
4.  Ketentuan teknis penulisan: laporan yang bagus, print out dengan 1,5 spasi, times new roman 12 font, dengan footnote, kertas A4, margin kiri halaman 4 cm; margin atas, kanan dan bawah 3 cm.

Tugas Mata Kuliah Manajemen Keuangan


Tugas Mahasiswa Fakultas Syariah dan Ekonomi Syariah IAIN Mataram
Program Studi Ekonomi Syariah
Membuat Paper dan Presentasi Pembahasan Kasus Manajemen Keuangan
1.      Sistimatika Pembahasan Kasus Manajemen Keuangan
a.      Diskripsi tentang Perusahaan dalam Kasus Manajemen Keuangan
b.  Identifikasi Permasalahan yang dihadapi Perusahaan dalam kasus Manajemen Keuangan.
c.    Pendekatan teori dan konsep yang digunakan untuk perumusan alternatif solusi terhadap permasalahan yang dihadapi Perusahaan dalam kasus Manajemen Keuangan.
d.   Perumusan Solusi terhadap Permasalahan yang dihadapi Perusahaan dalam Kasus Manajemen Keuangan
e.      Menjawab Pertanyaan Kasus Manajemen Keuangan
2.     Tugas merupakan tugas kelompok yang terdiri dari 4 – 5 orang per kelompok (usahakan berimbang jumlah perempuan dan laki-laki).
3.     Tugas dikumpulkan pada pertemuan ke-7
4.  Ketentuan teknis penulisan: laporan yang bagus, print out dengan 1,5 spasi, times new roman 12 font, dengan footnote, kertas A4, margin kiri halaman 4 cm; margin atas, kanan dan bawah 3 cm.

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id