Rabu, 02 Oktober 2013

Konsumen


Apakah dimalam-malam terakhir ini listrik dirumah atau digubuk atau di istana anda mati? Sama, dikampung saya juga mati. Matinya listrik di malam-malam terakhir ini yang secara bergilir membuat orang banyak yang ngomel, marah, jengkel dan terkadang melupakan bahwa ia kreatif, mahluk yang inovatif, ditambah jika malam itu ada PR bagi para pelajar, tugas kantor, kerja lembur bagi usaha kecil apalagi operasi tumor misalnya, upacara kematian, selamatan haji, hingga upacara sunatan dan malam zaffaf bagi para pengantin. Apakah ini dampak dari telah diumumkannya kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik) oleh PLN (Perusahaan Listrik Negara)?
Ngomel juga disertai sumpah serapah, dasar PLN! Dan seterusnya. Akhirnya dengan keadaan ini mari kita berdiskusi saja, gratis, tidak bayar, di depan beranda rumah tentang iuran uang listrik yang tiap bulannya kita bayarkan, kok tidak ada diskon?, tidak ada potongan?, tentang sutet milik PLN yang disesali oleh penduduk, tentang orang mati yang kesetrum karena mencuri listrik dan tentang lain-lain diseputar kelistrikan atau korelasinya dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Begitu listrik mati, tetangga-tetangga saya banyak juga yang mengomel, tidak sedikit yang mengelus dada dan banyak lainnya yang hanya diam. Menunggu listrik menyala, anak-anak kost pada cemberut, malah ada yang teriak-teriak segala. Keliatan sekali jikalau kita sangat tergantung kalau tidak ketergantungan pada yang namanya listrik pada alat yang kita buat sendiri, yang diciptakan sendiri oleh manusia. Kita lupa padahal ada minyak tanah yang dengan itu kita dapat membuat penerangan, buat lampu, dari botol kraktingdaeng atau dari kaleng susu dan lainnya.
Menyebut hal itu salah seorang tetangga saya bertanya. Waktu zaman raja Selaparang dulu, ada minyak tanah tidak ya? Selanjutnya diskusi makin menjadi hangat, soalnya sambil menunggu listrik menyala teman-teman dan para tetangga ikut duduk-duduk diserambi depan rumah. Untung tidak ada Pak Ahmad JD yang ahli sejarah itu, yang mendengar diskusi malam itu yang saya rasa akan menjawabnya dengan sangat persis. Kira-kira apa kata pak Ahmad JD tentang hal ini?
Kita tahu orang-orang bahkan para pangeran dan raja-raja dari berbagai kerajaan datang untuk melamar Putri Mandalika, atau saat Arya Banjar Getas diutus untuk meminang seorang putri idaman raja, kira-kira mereka menggunakan minyak tanah tidak ya? Tetapi yang jelas saat itu listrik belum ada jawab seorang rekan.
Kita juga akrab dengan sumpah Palapa Maha Patih Gadjah Mada, kecemburuan sosial Rangga Lawe atau ulah Raden Wijaya yang menjebak pasukan Cina itu, atau sejarah perang Bubut antara Bali dan Lombok, tetapi diantara itu semua banyak juga yang kita tidak ketahui persis, misalnya bagaimana pakaian prajurit selaparang waktu itu, warna topinya bagaimana, apakah mereka menjahit pakaiannya sendiri atau malah di obras di Hadi Taylor kata tetangga yang berlagak jenaka dan yang terakhir ini jelas tidak mungkin.
Yang jelas dari sejarah Selaparang kita hanya mengetahui tentang hal-hal yang menyangkut kekuasaan, dari buku-buku sejarah juga melulu tentang pergeseran dan perebutan kekuasaan. Jarang bahkan tidak pernah diulas tentang motif pakaian yang mereka gunakan, sandal dan topi yang digunakan bagaimana, semua berisi kekuasaan. Kita isi jiwa anak-anak SD-SMP-SMA dengan melulu ambisi kekuasaan.
Kita mengerti Putri Mandalika karna parasnya ayu lantas mengorbankan diri agar tidak terjadi peperangan, untuk perdamaian, perebutan kekuasaan, yang kuat yang berhak memiliki, yang kuat yang berhak berkuasa. Tapi kita juga kurang paham bahwa bisa jadi sang putri berjiwa Kartini, bisa jadi sama seperti Marsinah, bahkan Margareth Teacher ala Inggris itu.
Lepas dari itu semua kita terkadang jarang berfikir bahwa patih Gadjah Mada melakukan itu tanpa menggunakan motor, tidak juga mobil, tidak ada minyak tanah, bensin bahkan listrik, tanpa pistol, tanpa peluru, tanpa satelit, tidak juga ada handphone, apalagi internet. Waktu itu apa iya di kerajaan Selaparang ada pabrik bola lampu? Atau pabrik pengolahan minyak tanah?
Karena alasan ketergantungan, saat ini kita merasakan listrik mati seperti orang kebakaran jenggot, seperti tidak makan tiga hari, kita lupa bahwa jika tidak ada rotan maka akarpun jadi? Jangan gara-gara listrik mati kearifan kita terganggu, tujuan besar kita gagal, ikan tidak dapat, air keruh dan daun tunjung pun layu. Kalau motor mogok atau pecah bannya kita hampir-hampir malas naik sepeda apatah lagi jalan kaki, malu, gengsi. Mentalitas kita memang begitu, kalau baju robek malu pakai, buat lap saja, kita juga sekarang sudah tidak kuat lagi berlama-lama jalan diatas krikil, atau diaspal tanpa sandal, kecuali untuk alasan kesehatan karena rematik atau saran dokter misalnya.
Ini bukan menggurui tapi memang kenyataannya demikian mentalitas kita telah berubah, kita lupa pepatah bijak orang tua kita : Piliq buku ngawan, semet bulu mauq banteng, empak bau, aik meneng tunjung tilah, saya rasa begitu.
Ada hal lain, kadang saya berfikir, siapakah kita? Dengan keadaan saat ini? Seorang warga Negara atau seorang Konsumen? Seorang warga Negara, dalam gambaran yang ideal tentang civitas akan menerima keadaan dimana PLN sebagai Milik Negara misalnya, ketika menaikkan TDL, tentunya dengan meningkatkan mutu pelayanan, agar Republik ini terang pikir saya, sebagaimana iklan PLN yang di TV itu.
Tapi masalahnya, di Indonesia, kata Goenawan Mohamad (2001) sering kali, kita sebagai warga Negara akhirnya sama dengan kita sebagai konsumen: kita tidak berdaya untuk menolak dan memilih. Juga ketika kita diperlakukan dengan tidak sepatutnya oleh mereka yang punya monopoli kekuasaan dan monopoli usaha. Orang-orang Indonesia tidak menyadari bahwa inilah penindasan yang paling meluas yang sekarang terjadi--penindasan yang tidak pakai bedil atau bui, tetapi efeknya mungkin lebih melumpuhkan. Rekan diskusi lain memberi sebuah diagnosa: inilah penindasan yang menjepit kita dari sebuah kombinasi yang aneh dari sistem ekonomi antara sosialisme dan kapitalisme.
Dari sosialisme kita mendapatkan bayangan tentang pasar sebagai sesuatu yang mencemaskan. Persainganpun harus diatur. Negara harus campur tangan. Tapi, sementara itu, kita sahkan motif mencari laba yang besar dan akumulasi modal yang tanpa batas--dengan kemungkinan bahwa yang tidak mampu akan terjepit. Kita tengah merayakan kapitalisme, juga tengah menginstitusikan semangat mementingkan diri sendiri, sebagai produsen atau sebagai konsumen, sementara juga kita bertopang kepada birokrasi yang merasa tidak perlu melaporkan kerjanya kepada publik!
Kapitalisme dan sosialisme bertaut ala Indonesia, ketika seorang pejabat Negara begitu saja memberikan monopoli kepada bisnis anak segaris turunannya, ketika seorang yang punya wewenang mengeluarkan izin usaha kemudian ikut dalam dunia usaha itu--dan tak seorangpun berani menggugat ini.
Lalu, seorang konsumen, seharusnya punya hak untuk bertanya dan mengetahui data dari barang atau jasa yang dibelinya. Seorang warga Negara seharusnya punya hak untuk bertanya dan mengetahui seluk beluk perusahaan milik Republik –yang di Indonesia celakanya, selalu dikatakan sebagai “Perusahaan Milik Negara” atau “Perusahaan Milik Daerah” dalam berbagai bentuk badan usaha, terlebih yang PT (Perseroan Terbatas) dan dengan demikian memberikan tekanan kepada para pengatur dan tidak kepada res republica.
Akhirnya lampu menyala, malam yang tadinya gelap sekarang agak sedikit terang walau ada juga disudut sana agak remang-remang, akhirnya akankah kita akan kembali ketabiat semula? Ah saya juga tak tahu karena kita dari dulu memang selalu saja begitu.

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id