Senin, 02 Februari 2015

Konsepsi Pemikiran Ekonomi Profetik



Tulisan ini telah terbit pada Jurnal El Hikam IAI Nurul Hakim.
Volume VII Nomor 2 Tahun 2014. Hal. 217-240. ISSN: 1978-2152


Abstract
Develop each main disciplines that social -science- is heavily influenced by the basic concept of man. So even economic studies as a social science developed rests on his view of man. This view of humans as economic actors, needs, including behavioral economics and behavioral choice behavior in particular impetus to the development of science and the impact the current economic system. Different views of human thinking has spawned a variety of economic problems and proposed solutions. One is the conception of economic thought prophetic. Although still in the conceptual level, but it should be appreciated. Here the author will elaborate on the concept of economic thought prophetic departing from the basic social sciences offered prophetic Kuntowijoyo, which will begin the discussion regarding the prophetic social sciences and Islamization of knowledge project, the idea of ​​a social science subject prophetic, prophetic toward economic system, economic system or economic system of prophetic Islamic economics and the study of prophetic approach.

Keywords; Economy, prophetic, humanization, liberation, transcendence


A.    Pendahuluan
Pengembangan setiap disiplin ilmu -utamanya yang sosial science- sangat dipengaruhi oleh konsep dasar tentang manusia. Kajian-kajian ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi ataupun psikologi selalu menjadikan manusia menjadi faktor utama. Karenanya konsep manusia akan menjadi arahan utama dalam membangun seluruh konsep dan teori, disiplin dan aliran ilmu yang bersangkutan. Begitu pun kajian ekonomi sebagai ilmu sosial berkembang dengan berpijak terhadap pandangannya tentang manusia. Pandangan tentang manusia sebagai pelaku ekonomi, kebutuhan, perilaku ekonomi termasuk pilihan perilaku maupun dorongan perilaku yang secara khusus berpengaruh kepada perkembangan ilmu dan sistem ekonomi dewasa ini. Perbedaan pandangan tentang manusia telah melahirkan berbagai pemikiran tentang masalah ekonomi serta solusi yang ditawarkan.
Kini, persoalan yang dihadapi umat manusia adalah munculnya suatu pandangan yang menempatkan aspek material yang bebas dari dimensi nilai pada posisi yang dominan. Pandangan hidup yang berpijak pada ideologi materialisme inilah yang kemudian mendorong perilaku manusia menjadi pelaku ekonomi yang hedonistik, sekularistik dan materialistik.[1] Dampak yang ditimbulkan dari cara pandang inilah yang kemudian membawa malapetaka dan bencana dalam kehidupan sosial masyarakat seperti eksploitasi dan perusakan lingkungan hidup, disparitas pendapatan dan kekayaan antar golongan dalam masyarakat dan antar negara di dunia, lunturnya sikap kebersamaan dan persaudaraan, timbulnya penyakit-penyakit sosial, timbulnya revolusi sosial yang anarkhis dan sebagainya.[2]
Solusi dari semua permasalahan sosial ekonomi pasti diinginkan oleh semua sistem ekonomi, baik itu sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi sosialis, dan sistem ekonomi Islam. Jalan masing-masing dari ketiga sistem itu tentu akan sangat berbeda satu dengan yang lain, pertanyaan selanjutnya, sejauh manakah konsistensi dan efektivitas dari masing-masing sistem ekonomi tersebut berjalan? Jika ia sistem sosialis, seberapa efektivitaskah sistem ini menuju perekonomian yang sejahtera? jika disatu sisi kita masih merasakan terkekangnya jiwa enterpreneuship? Jika itu sistem kapitalis, seberapa besar konsistensi sistem ini memperjuangkan sistem ekonomi berkeadilan jika disatu sisi kita melihat adanya mekanisme yang menjembatani terbentuknya sistem konglomerasi dan monopoli dalam segelintir orang yang bermodal? Sistem ekonomi kapitalis telah gagal menyelesaikan persoalan kemanusiaan, sosial ekonomi. Memang kapitalis mampu mensejahterakan individu atau negara tertentu secara materi. Namun perlu diingat kesejahteraan dan kemakmuran tersebut dibangun di atas penderitaan orang atau negara lain.[3] Kapitalis tidak mampu menyelesaikan ketimpangan dan kesenjangan sosial ekonomi bahkan sebaliknya ia menciptakan dan melanggengkan kesenjangan tersebut untuk mempertahankan eksisitensinya.
Ruh sistem ekonomi Islam adalah keseimbangan (pertengahan) yang adil. Ciri khas keseimbangan ini tercermin antara individu dan masyarakat sebagaimana ditegakkannya dalam berbagai pasangan lainnya, yaitu dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani, akal dan nurani, idealisme dan fakta, dan pasangan-pasangan lainnya yang disebutkan di dalam kitab al-Qur’an. Sistem ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat, terutama masyarakat lemah, seperti yang dilakukan oleh sistem kapitalis. Juga tidak menganiaya hak-hak kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh komunis, terutama Marxisme. Akan tetapi, keseimbangan di antara keduanya, tidak menyia-nyiakan, dan tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan.[4]
Guna mencapai keseimbangan tersebut, dibutuhkan adanya lingkungan yang baik dan sadar secara moral yang dapat membantu reformasi unsur manusia di pasar berlandaskan sebuah keimanan. Dengan demikian akan melengkapi sistem harga dan distribusi kekayaan di dalam memaksimalkan efisiensi maupun keadilan pada penggunaan sumber daya manusia dan sumber daya materi lainnya. Namun, sangat sulit, untuk mengasumsikan bahwa semua individu akan sadar secara moral kepada masyarakat, dan keimanan saja tidak akan mampu menghilangkan ketidakadilan sistem pasar, sehingga negara juga harus memainkan peran komplementer.[5]
Negara harus melakukannya dengan cara-cara yang tidak mengekang kebebasan dan inisiatif sektor swasta, berlandaskan kerangka hukum yang dipikirkan dengan baik, bersama dengan insentif dan hukuman yang tepat, check and balance untuk memperkuat basis moral masyarakat dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif. Karena itu, telah dirasakan bahwa sistem ekonomi kapitalis sekuler yang membedakan antara kesejahteraan material dengan masalah ruhaniah banyak membawa masalah dalam distribusi kesejahteraan yang adil dan seimbang di antara masyarakat.
Disinilah Islam melontarkan kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis yang bertanggung jawab terhadap perubahan arah, pola dan struktur perekonomian dunia sekarang ini. Perlu ada suatu kajian yang intensif dalam memberikan alternatif pandangan, rumusan dan strategi pembangunan ekonomi yang lebih profetik dengan menggali inspirasi nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an, Hadis dan Sunnah, serta khasanah pemikiran para cendekiawan Muslim.

B.     ISP dan Proyek Islamisasi Pengetahuan
Ilmu sosial, selama ini telah terlanjur dikembangkan dengan satu asumsi yang sangat kuat mempengaruhi perkembangannya, bahwa ilmu dan agama adalah dua hal yang terpisah. Ilmu berada di satu wilayah, agama di wilayah yang lain. Asumsi inilah yang hingga saat ini masih dengan begitu fanatik dipegang oleh para ilmuwan sosial, terutama yang berhaluan positivis. Walaupun tentu saja di sana-sini terdengar gugatan terhadapnya, yang tidak saja berasal dari para ilmuwan sosial Muslim tapi juga dari para ilmuwan sosial Barat yang menyadari arti penting integrasi agama dan ilmu sosial.
Tentu saja, perkembangan peradaban modern dengan kapitalisme sebagai lokomotifnya kemudian memunculkan situasi perkembangan ilmu sosial semacam ini. Akibat kemunculan peradaban modern yang diawali dengan konflik hebat antara ilmu pengetahuan dan Gereja, ilmu sosial yang terlahir dari perhelatan ini kemudian menolak agama sebagai bagian dari ilmu. Itu sebabnya, modernisme juga bisa kita artikan defferentiation (pemisahan).[6] Paradigma defferentiation inilah yang kemudian mewarnai perkembangan ilmu sosial sampai hari ini. Setidaknya ada tiga pengandaian dalam ilmu-ilmu sosial positivis.[7] Pertama, prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni, netral dan bebas nilai.
Ketiga dasar positivisme itu pun kemudian terbukti rapuh. Fenomena sosial tidak sama dengan fenomena alam sehingga pemakaian metode ilmu alam untuk mengkaji fenomena sosial adalah salah arah. Teori-teori yang tercipta juga tidak universal sebagaimana klaim positivis, tapi sangat terkait dengan dimensi lokal dan temporal di mana teori itu muncul. Demikian pula, dalam kenyataannya, ilmu sosial ternyata tidak pernah mampu melepaskan diri dari keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu. Klaim bebas nilai tak lebih dari sebentuk hipokrasi intelektual. Suatu ilmu sosial yang value free tidak pernah ada. Bahkan David J. Gray menyatakan dengan sangat lugas, bahwa ilmu sosial yang bebas nilai adalah “doktrin kemunafikan dan ketakbertanggungjawaban” (a doctrine of hypocrisy and irresponsibility).[8] Inilah gugatan-gugatan yang dilontarkan sebagian ilmuwan sosial, baik Barat maupun Timur, terhadap positivisme.
Klaim bebas nilai menyebabkan ilmu-ilmu sosial hanya berusaha menjelaskan realitas (erklaren) secara apa adanya tanpa melakukan pemihakan, atau memahami realitas (verstehen) kemudian memaafkannya. Teori-teori sosial melulu ingin menyalin fakta masa kini. Dengan cara itu, ilmu sosial diam-diam melestarikan masa kini, sehingga, dengan kedok tidak memihak, netral, bebas nilai, teori-teori itu menutupi kemungkinan perubahan ke masa depan.[9] Karena itu teori yang mengklaim dirinya bebas nilai pada hakekatnya juga memihak, memihak kemapanan. Salah satu perlawanan sengit terhadap logika positivisme datang dari para penganut teori ktiris. Teori Kritis hendak mengkritik keadaan-keadaan aktual dengan referensi pada tujuannya. Karenanya, di dalam teori kritis, terkandung muatan utopia tertentu yang menyebabkan pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya tidak netral.
Dengan semangat inilah, Kuntowijoyo lalu melontarkan ide tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). ISP tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positivisme tapi lebih jauh mengharuskan ilmu sosial untuk secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya. ISP tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami realitas apa adanya tapi lebih dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita yang diidamkan masyarakatnya. ISP kemudian merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang akan membentuk karakter paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam surat Ali Imran, ayat 110.[10] Kunto membaca ayat ini sebagai perintah untuk meperjuangkan humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (beriman kepada Tuhan). Tanpa melakukan kajian lebih jauh, tampaknya tak sulit menemukan cita-cita profetik yang serupa dalam agama-agama lain. Namun ide ini bukannya tidak menimbulkan kecurigaan, Kuntowijoyo dicurigai hendak menjadikan ilmu kembali terpenjara dalam kekuasaan dogma-dogma agama seperti yang pernah terjadi di masa lalu (Abad Pertengahan). Kekhawatiran seperti ini tentu saja sangat beralasan. Fakta menunjukkan bahwa sebagian penganut ide integrasi agama dengan ilmu sosial cenderung berpikir secara normatif. Cara berpikir seperti ini jelas tidak konstruktif, bahkan akan mematikan perkembangan ilmu sosial itu sendiri. Ilmu sosial akan muncul dengan wajahnya yang absolut.
Kita dapat mengambil contoh ide islamisasi ilmu sosial. Ide ini sejak awal membedakan secara tegas antara ilmu sosial sekuler dan ilmu sosial Islam, seolah-olah ada ilmu sosial yang ahli surga dan ilmu sosial lain yang penuh dosa. Kita tidak memungkiri bahwa ilmu sosial memang berideologi atau kita boleh menyebutnya “beragama”. Teori Marxis misalnya, “agamanya” adalah materialisme. Tapi dengan melakukan pembedaan antara ilmu sosial Islam dengan ilmu sosial non-Islam atau sekuler akan berakibat pada klaim kebenaran yang berlebihan dan menyebabkan sikap eksklusif yang tidak berguna. Padahal kebenaran ilmu itu harus bersifat terbuka. Adanya kemungkinan Islamisasi ilmu pengetahuan, menurut Mulyadi Kartanegara, dapat dilakukan jika kita mampu menunjukkan adanya perbedaan teoritis yang fundamental antara teori ilmu (epistemology) modern dan Islam.[11]
Bagi Kunto, ia tidak lagi menggunakan istilah Islamisasi pengetahuan, namun lebih mendorong agar gerakan intelektual umat me­langkah lebih jauh, dan mengganti Islamisasi pengetahuan menjadi pengilmuan Islam. Dari reaktif menjadi proaktif. Pengilmuan Islam menurut Kunto adalah proses, sedangkan paradigma Islam adalah hasil, dan Islam sebagai ilmu adalah proses dan hasil sekaligus.[12] Dalam konteks yang berbeda, Kunto membandingkan pengilmuan Islam dengan kodifikasi Islam dan Islamisasi ilmu.[13] Pengilmuan Islam (yang dalam konteks ini disebut Kunto sebagai demistifikasi Islam) adalah gerakan dari teks ke konteks, Islamisasi adalah sebaliknya, dari konteks ke teks, sementara kodifikasi berkutat di sekitar eksplorasi teks, nyaris tanpa memperhatikan konteks. Ketiga gerakan ini adalah ragam perwujudan dari keinginan untuk kembali kepada teks (al-Qur’an dan Sunnah).
Dalam beberapa pembahasan Kunto, pengilmuan Islam terkadang sulit dibedakan dari Islamisasi ilmu, dan tampaknya di tulisan-tulisan awalnya Kunto tak secara ketat membedakan keduanya. Atau, penjelasan yang lebih memuaskan adalah bahwa Kunto sesungguhnya telah mengubah posisinya mengenai gagasan Islamisasi ilmu, yang di tahun 80-an dan 90-an merupakan gagasan yang amat populer di dunia Muslim. Perubahan posisi Kuntowijoyo tampak cukup jelas dalam buku Islam Sebagai Ilmu yang mengandung bab-bab yang ditulis pada 1991 hingga 2004. Sebagai contoh, di bukunya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi[14] ia menyebutkan secara positif (dan eksplisit) upaya Islamisasi ilmu yang dipahami sebagai upaya perumusan teori yang didasarkan pada paradigma al-Qur’an.[15] Kunto juga tak bersepakat dengan Ziauddin Sardar[16] yang mengkritik upaya Islamisasi ilmu pengetahuan.[17] Namun dalam tulisannya yang terbit pada 2002, ia menghadapkan pengilmuan Islam sebagai alternatif bagi Islamisasi ilmu. Di pengantar buku itu, Kunto bahkan secara tegas mengatakan, “… gerakan intelektual Islam harus melangkah ke arah ‘pengilmuan Islam'. Kita harus meninggalkan ‘Islamisasi pengetahuan'….”[18]
Di tulisan-tulisan Kunto yang belakangan, tampak setidaknya ada dua pembedaan pengislaman ilmu dengan pengilmuan Islam. Perbedaan pertama adalah dalam hal metodologinya. Yang pertama tampaknya lebih bersikap reaktif, yaitu reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah wujud, yang dipandang tak sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan ingin dikembalikan kepada Islam yang lebih dipahami sebagai teks. Pengilmuan Islam memiliki sikap yang lebih terbuka. Gerakan ini dengan rendah hati mengakui bahwa penggagasnya lahir di alam ilmu-ilmu sekular, yang terkadang tampak bermusuhan dengan agama. Sementara umat beriman mungkin memiliki keberatan terhadap sebagian bangunan ilmu kontemporer, namun mereka tak ingin menggantikan ilmu-ilmu sekular.[19] Berangkat dari keyakinan akan misi profetik agama (transendensi, emansipasi dan humanisasi), yang diinginkannya adalah memastikan bahwa agama dapat memainkan peran yang cukup besar dalam memastikan keberlangsungan hidup dan masa depan umat manusia. Salah satu kritik gerakan ini terhadap ilmu-ilmu sekular adalah bahwa yang belakangan sedang terjangkiti krisis, dalam artian tak dapat memecahkan persoalan.
Di sinilah terletak perbedaan kedua dengan Islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam sesungguhnya bukan hanya persoalan keilmuan saja, salah satu tujuan utamanya adalah mengkontekskan tek-teks agama, dengan kata lain, menghubungkan agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan di sini adalah “membumikan Islam”. Kenyataan hidup adalah konteks bagi keberagamaan. Ketika berbicara tentang ISP, ia bahkan lebih jauh menyebut bahwa ilmu sosial ini bersifat transformatif. Jadi, di satu sisi, yang diinginkan adalah justru melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekular, dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekular tak dinafikan, tapi diintegrasikan dalam suatu kerangka teoretis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi atau emansipasi, liberasi, dan transendensi.[20]
Secara umum, bagi Kunto, modal utama untuk memperbaiki ilmu-ilmu modern adalah agama. Agama penting dilibatkan di sini justru karena keberpihakannya cukup jelas, yaitu kepada kepentingan kemanusiaan. Namun, sekali lagi, ini mensyaratkan bahwa agama lebih dulu diobjektifikasi, agar benar-benar bermanfaat untuk seluruh umat manusia, tak hanya absah bagi pemeluknya. Dari pemaparan sejauh ini, perlu diperhatikan bahwa meski Kuntowijoyo menyebut pengilmuan Islam sebagai alternatif Islamisasi ilmu, gagasan ini tak bisa semata-mata ditempatkan dalam rubrik “ilmu dan agama”. “Ilmu dan agama” biasanya berbicara tentang hubungan ilmu dan agama (misalnya, pertanyaan mengenai apakah keduanya dalam konflik atau harmoni? Bagaimana mengintegrasikan keduanya? Perlukah ilmu menjadikan agama sebagai salah satu sumbernya?) Pengilmuan Islam sedikit banyak memang berbicara tentang hubungan ilmu dan agama, tapi juga tentang bagaimana Islam sebagai sebuah agama mesti dihayati muslim kontemporer. Untuk yang belakangan ini, contoh-contoh terbaiknya justru berada dalam wilayah pembicaraan tentang posisi muslim dalam ranah sosial-ekonomi Indonesia.
Pertama, melalui analisis tiga periode yang diajukannya, pengilmuan Islam berusaha menjelaskan posisi umat Islam dalam panggung sosial-ekonomi. Kedua, tak berhenti pada memberikan penjelasan, pengilmuan Islam juga merupakan saran kemana umat Islam mesti bergerak. Ketiga, secara lebih umum, pengilmuan Islam dapat dianggap sebagai suatu teori sosial mengenai gerak sejarah umat Islam. Di sinilah tampaknya kedua makna pengilmuan Islam bertemu yakni karakter ilmu sosial yang digagas Kunto tak sekadar berhenti sebagai ilmu (yang fungsi utamanya adalah menjelaskan fenomena/peristiwa), tapi punya ‘ambisi' melakukan transformasi.
Di pihak lain, penolakan sebagian besar ilmuwan sosial-ekonomi terhadap ide untuk memasukkan agama sebagai bagian integral dalam ilmu sosial-ekonomi sesungguhnya diam-diam bersifat normatif juga. Mereka ini yakin benar bahwa satu-satunya kebenaran yang sah dalam ilmu sosial-ekonomi adalah kebenaran empiris, kebenaran yang berasal dari fakta-fakta yang dapat terindera. Sikap seperti ini sama artinya dengan sikap normatif eksklusif, menolak kemungkinan kebenaran lain. Karena itu menjadi penting bagi kita untuk meredakan ketegangan di antara dua pihak yang saling berhadap-hadapan ini. Di satu sisi kita ingin tetap membawa agama sebagai bagian integral dari ilmu sosial, mengingat pentingnya hal ini bagi masa depan kemanusiaan. Di sisi lain kita tidak ingin membawa-bawa pendekatan normatif yang selama ini terbukti tidak bisa berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan realitas.[21]
Kita tidak sepakat dengan positivisme karena keinginannya mengabsolutkan kebenaran empiris dan sifatnya yang kuantitatif. Kita juga tidak sepakat dengan ilmu sosial interpretatif dalam semangatnya yang bebas nilai, memahami realitas lalu membiarkannya apa adanya, tidak berpihak, walaupun kita setuju dengan sifat interpretatifnya. Kita ingin ilmu sosial yang memiliki keberpihakan dengan tujuan kemanusiaan sebagaimana teori kritis, sehingga ilmu sosial tidak hanya mengabdi pada kepentingan status quo sosial di balik klaim bebas nilainya. Tapi kita ingin sesuatu yang lebih dari itu. Ilmu sosial kritis tidak pernah berbicara tentang nilai-nilai agama sebagai bagian penting dari kerja-kerja ilmiah theory building. Seolah-olah agama tidak dapat memberikan kontribusi apapun dalam mengkonstruk bangunan teoritis ilmu sosial yang bercorak emansipatoris.
Dari pemaparan di atas, tampak bahwa ISP secara tegas menyebut landasan nilainya yaitu berupa nilai-nilai Islam: humanisasi, liberasi, transendensi. Melalui pemihakan terhadap ilmu sosial yang perfeksionis, communitarian, yaitu ilmu sosial yang memperhatikan nilai-nilai pada sebuah obyek penelitian, komunitas dan penolakan terhadap ilmu sosial empiris analitis yang menghasilkan ilmu-ilmu yang nomologis[22] ISP dengan demikian, tidak bermaksud mengkonstruksikan hukum-hukum yang diasumsikan bersifat universal. Karenanya, ISP juga bersifat historis.
Inilah salah satu perbedaan ide ISP dengan sebagian penganut ide Islamisasi ilmu sosial yang sering didengungkan. Islamisasi ilmu sosial walaupun menolak klaim positivis dalam hal netralitasnya, namun para penganjur Islamisasi ilmu sosial sering terjebak dalam upaya untuk mengkonstruksi hukum-hukum sosial yang diakui universal. Para penganut ide Islamisasi ilmu sosial meyakini ayat-ayat Tuhan yang dijadikan landasan bagi konstruksi teori-teori sosial pasti benar dan bersifat universal, karenanya teori yang dihasilkannya juga bersifat universal. Dalam pengertian ini Islamisasi ilmu sosial sesungguhnya juga bersifat positivis. Sikap seperti ini tentu saja kontradiktif. Di satu sisi para penganjur Islamisasi ilmu sosial menolak klaim universal dari ilmu sosial barat (positivisme) beserta motif-motif ideologisnya. Di sisi lain penolakan ini justru diikuti dengan anjuran untuk merumuskan teori-teori sosial Islam yang bersifat universal. Penolakan atas klaim universalitas teori-teori sosial positivis dinegasikan sendiri oleh klaim universalitas teori sosial Islam.[23] Artinya baik ilmu sosial positivis maupun ide Islamisasi ilmu sosial, melalui klaim universalitasnya, keduanya jatuh dalam sikap ideologis. Ini berbeda dengan ISP. Ekonomi profetik meletakkan ayat-ayat Tuhan dalam konteks yang historis (berada dalam pusaran ruang dan waktu) sehingga teori yang dihasilkan bersifat historis juga.
Melalui humanisasi, liberasi dan transendensi, ISP hendak menegaskan posisinya, bahwa pengetahuan tidak terpisah dari kepentingan, teori tidak perlu dipisahkan dari praksis. Kepentingan praksis ISP adalah humanisasi, liberasi dan transendensi. Ekonomi profetik, dengan demikian sejak awal memang tidak hanya dimaksudkan untuk menjelaskan atau memahami realitas sosial apa adanya, tapi lebih dari itu, ISP diusulkan untuk kepentingan transformasi sosial menuju cita-cita profetis. Yang menjadikan posisi paradigmatik ISP unik adalah bahwa ISP juga menjadikan transendensi sebagai bagian penting dari unsur pembentuknya. Karena itu, nilai-nilai etik-relijiusitas menjadi penting sebagai bagian penting dari proses membangun ekonomi dan peradaban manusia. Transendensi menjadi dasar dari humanisasi dan liberasi, ini artinya proses-proses emansipatoris diletakkan dalam konteks transendensi.

C.    Beberapa Gagasan Pokok ISP
Almarhum Kuntowijoyo pernah membawakan kisah yang dikutipnya dari Bakdi Sumanto. Alkisah, Pak Fulan bin al-Jawi, seorang pensiunan, duduk di kursi goyang sambil memutar tasbihnya. Ia gelisah, “Apa yang kurang ya?” Pajak … sudah, zakat … sudah, premi asuransi sudah, Takaful sudah…. Tiba-tiba ia teringat: Tuhan menyuruhnya masuk Islam secara total. Padahal, mobil Kijangnya yang baru belum masuk Islam. Ia pun mengambil gergaji dan jongkok di samping mobilnya. Ketika ditanya istrinya, ia menjawab, “ternyata mobil kita belum masuk Islam. Maka saya sedang menyunat, memotong ujung knalpotnya”[24]
Tak sembarangan kiranya jika Kunto mengambil kisah ini untuk menggemakan peringatannya. Kisah ini adalah satu sisi krusial dari beberapa persoalan besar yang ingin dipecahkannya. Kunto ingin menemukan bagaimana janji Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dapat dijadikan kenyataan (rahmatan lilalamin). Haruskah untuk itu Islam dijadikan ideologi? Atau paradigma keilmuan? Haruskah hermeneutika diterapkan untuk memahami pesan al-Qur’an? Atau strukturalisme? Kisah ini memang terkesan amat sinis, juga merupakan ilustrasi amat kuat tentang bagaimana menjadikan Islam sebagai rahmat alam semesta dapat dipahami sebagai gerakan “Islamisasi semua bidang kehidupan demi menjalankan Islam kaafah” dalam wujudnya yang naif. Sebagai seorang ilmuwan, Kuntowijoyo menggali pandangan-pandangan alternatif yang berputar di sekitar beberapa konsep kunci: objektifikasi, pengilmuan Islam (atau Islam sebagai ilmu), dan cita-cita profetik.

1.      Pilar-Pilar Ilmu Ekonomi Profetik
Pilar-pilar Ilmu ekonomi profetik yang dimaksudkan disini adalah pilar-pilar yang diderifasikan dari rumusan Kunto dalam ISP. Kunto merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang akan membentuk karakter paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam al-Qur’an surat Ali Imran, ayat 110.
Unsur humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amar ma’ruf yang makna asalnya adalah menganjurkan atau menegakkan kebajikan. Dengan demikian dalam ilmu ekonomi profetik, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia[25] Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme Kunto berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya. Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja yang bersifat dogmatis pada abad Pertengahan. Pandangan antroposentris beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Etosnya adalah semangat menghargai nilai-nilai yang dibangun oleh manusia sendiri. Peradaban antroposentris menjadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran dan kepalsuan, untuk memakai manusia sebagai kriteria keindahan dan untuk memberikan nilai penting pada bagian kehidupan yang menjanjikan kekuasaan dan kesenangan manusia. Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak terkendali.
Dengan rasio sebagai senjatanya, manusia antroposentris memulai sejarah kekuasaan dan eksploitasi atas alam tanpa batas. Modernisme dengan panji-panji rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan alam tak terperikan terhadap alam dan manusia. Ilmu akal adalah ilmu perang yang metode dan taktik perangnya telah ditulis dengan amat cerdas oleh Rene Descartes melalui “Cogito Ergo Sum”. Melalui ilmu perang Descartes, peradaban modern menciptakan mesin-mesin perang terhadap alam berupa teknologi canggih untuk menaklukkan dan mengeksploitasi alam tanpa batas, juga mesin-mesin perang terhadap manusia berupa senjata-senjata canggih supermodern, bom, bahkan juga senjata pemusnah masal. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi.[26]
Kuntowijoyo lalu mengusulkan humanisme teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia.[27] Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi).[28]
Dalam konsep Islam, semua sistem kehidupan termasuk sistem ekonomi harus dibangun dengan sebuah kebenaran, diambil dari sumber yang benar, dikaji dengan benar dan diterapkan secara benar pula. Aqidah Islam menuntut seorang muslim untuk berupaya mencari kebenaran hakiki. Melalui metode rasional (metode aqliyah), seorang muslim akan menemukan tentang kebenaran adanya Allah Swt. Begitu pula ia akan mendapatkan bukti-bukti kebenaran bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan selanjutnya akan terbukti bahwa al-Qur’an adalah kalamullah. Sebagai kalamullah, akal manusia akan mengatakan bahwa segala sesuatu yang tercantum dalam al-Qur’an pasti mengandung kebenaran mutlak.
Dengan gambaran tegas humanisme teosentris Kuntowijoyo dan berbekal informasi yang disampaikan dalam al-Qur’an, pandangan manusia dapat diluruskan. Keterbatasan akal pikiran manusia kemudian dituntun oleh kebenaran wahyu Allah. Allah menjelaskan berbagai potensi kehidupan manusia berupa akal, kebutuhan jasmani dan naluri. Bingkai inilah yang semestinya digunakan untuk dasar pengkajian tentang manusia. Jika demikian, perlukah untuk beralih dari pandangan Barat dan menjadikan pandangan Islam tentang manusia sebagai landasan pengembangan ilmu sosial dan ilmu ekonomi? A. M. Saefuddin menilai bahwa pandangan ilmu ekonomi tentang manusia sekarang ini sarat dengan kultur Barat sehingga perlu diganti dengan homo Islamicus. Barat menetapkan manusia sebagai “homo economicus[29] (makhluk ekonomi), yang dalam hidupnya hanya memperhatikan kepada materi belaka, tidak peduli soal moral maupun agama. Mereka hanya memperhatikan keuntungan materi dengan prinsip “mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan biaya seminimal mungkin”. Ini merupakan pandangan yang materialistik sekuleristik. Meski demikian, ada saja golongan yang keberatan terhadap gagasan implementasi pandangan Islam mengenai manusia dalam penelitian sosial dengan mengemukakan alasan bahwa pandangan yang diajarkan oleh agama atau budaya tertentu merupakan value-judgement yang tidak berlaku universal.
Unsur kedua adalah liberasi. Liberasi adalah pemaknaan kreatif dari nahi munkar. Liberasi dalam ilmu ekonomi profetik sesuai dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan). Hanya saja ilmu ekonomi profetik tidak hendak menjadikan liberasinya sebagai ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi ekonomi profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam ilmu ekonomi profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Lebih jauh, jika Marxisme dengan semangat liberatifnya jutru menolak agama yang dipandangnya konservatif, ilmu ekonomi profetik justru mencari sandaran semangat liberatifnya pada nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif-faktual.[30]
Bidikan liberasi ada pada realitas empiris, sehingga liberasi sangat peka dengan persoalan penindasan atau dominasi struktural. Fenomena kemiskinan yang lahir dari ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi. Liberasi menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan empiris, bersifat kongkrit. Kuntowijoyo bahkan menganggap sikap menghindar dari yang kongkrit menuju abstrak adalah salah satu ciri berpikir berdasarkan mitos. Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran liberasi, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.
Unsur ketiga ilmu ekonomi profetik adalah transendensi. Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi diderivasikan dari tu’minuna bi Allah (beriman kepada Allah). Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral, dalam ilmu ekonomi profetik. Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi mendorong terjadinya gairah untuk menangkap kembali alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh agama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Manusia produk renaissance adalah manusia antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia, cukup dengan dirinya sendiri. Melalui proyek rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Rasio mengajari cara berpikir bukan cara hidup. Rasio menciptakan alat-alat bukan kesadaran. Rasio mengajari manusia untuk menguasai hidup, bukan memaknainya. Akhirnya manusia menjalani kehidupannya tanpa makna.
Di sinilah transendensi dapat berperan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam dapat membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan karena kurang alat atau teknik, akan tetapi karena kekurangan maksud, arti dari masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai transendental keTuhanan inilah yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan. Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Transendensi memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam ilmu ekonomi profetik di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran materialistik menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.

2.      Ketegangan Dialektis Antara Structure dan Superstructure
Surat Ali Imran (3): 110 selain menjadi landasan Kuntowijoyo dalam merumuskan tiga unsur ISP juga menginspirasikan akan pentingnya kesadaran dalam proses-proses sejarah. Nilai-nilai ilahiah (amar ma’ruf, nahi munkar) menjadi tumpuan aktifisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etika Islam dari etika materialistis. Pandangan kaum Marxis bahwa superstructure (kesadaran) ditentukan oleh structure (basis material) bertentangan dengan pandangan Islam tentang independensi kesadaran.[31] Dengan ini ilmu ekonomi profetik berniat untuk menjadi paradigma baru. Marxisme menawarkan paradigma baru dengan kaidahnya mengenai structure (basis material) dan superstructure (kesadaran) dengan menyatakan bahwa structure menentukan superstructure.[32] Feminisme menyatakan bahwa seks (jenis kelamin) menentukan kesadaran.[33] Ilmu ekonomi profetik membalikkan rumusan ini dengan meletakkan kesadaran (superstructure) di atas basis material (structure). Kuntowijoyo yakin bahwa pandangan ini akan begitu banyak pengaruhnya dalam lapangan ilmu sosial dan humaniora.
Dari sini, ada juga sebagian kalangan yang menyebutnya sebagai Hegellianisme Relijius. Mereka beranggapan bahwa pandangan Kuntowijoyo ini tidak jauh beda dengan paham idealisme para penganut Hegel. Namun ada perbedaan mendasar yaitu bahwa dalam idealisme Hegellian, kesadaran rasional (ruh absolut) merupakan motor penggerak sejarah umat manusia, sedang dalam paradigma ilmu ekonomi profetik, kesadaran yang menggerakkan sejarah adalah kesadaran yang didasarkan pada nilai-nilai ilahiah.[34] Jika demikian apakah ini berarti Kuntowijoyo menganut konsep determinisme? Ilmu ekonomi selama ini terombang-ambing di antara dua kutub ekstrem determinisme. Marxisme-Sosialisme menganut determinisme materi dengan konsepnya bahwa structure menentukan superstructure, sedangkan para pendukung Weberian-Kapitalisme menganut determinisme kesadaran. Weber meyakini bahwa kesadaran independen dari basis material, karenanya ide bisa menggerakkan perubahan.[35] Sepintas kita melihat bahwa ilmu ekonomi profetik dekat dengan konsep Weber ini. Tapi tampaknya kesan ini keliru karena Kuntowijoyo sesungguhnya juga mengakui adanya kesadaran material. Kesadaran material adalah kesadaran yang ditentukan oleh basis materialnya.[36]
Pandangan deterministis, baik determinisme material maupun determinisme kesadaran, sama-sama ahistoris dan bersikap apriori terhadap realitas. Dalam logika Marxis, structure itu bersifat obyektif, dalam arti independen dari kehendak (subyektifitas, kesadaran) manusia. Karena itu kesadaran, kehendak, dan subyektifitas manusia (superstructure) menjadi tidak bermakna karena structure menentukan superstructure. Subyektifitas manusia ditundukkan di bawah obyektifitas-obyektifitas material. Dalam kenyataannya, tidak pernah ada sebuah penundukan yang berlangsung secara total. Obyektifitas material memang seringkali sangat hegemonik, tapi subyektifitas tidak pernah benar-benar mampu ditundukkan secara total. Selalu ada ruang-ruang emansipatoris bagi subyektifitas kesadaran manusia untuk keluar dari hegemoni materi. Sebaliknya, logika determinisme kesadaran akan menyatakan bahwa subyektifitas, ide, dan kesadaran itulah yang akan menentukan structure (basis material) karena superstructure menentukan structure. Pandangan ini menafikan realitas bahwa terdapat orang-orang yang kesadarannya bersifat sangat materialistis. Kesadaran material adalah kesadaran yang sangat kuat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi materialnya. Karena itu, kedua bentuk determinisme itu sama-sama bermasalah, karena realitas sesungguhnya bersifat dialektis, tidak deterministik. Realitas sosial berjalan di atas ketegangan dialektis antara structure dan superstructure, antara basis material dan kesadaran, antara obyektifitas material dan subyektifitas manusiawi.
Ilmu ekonomi profetik tidak boleh terjebak dalam logika deterministik yang bersikap apriori terhadap realitas. Artinya untuk menentukan apakah dimensi material ataukah kesadaran yang saat itu lebih berperan, ilmu ekonomi profetik hendaknya mendasarkan diri pada pengamatan empiris atas realitas. Karena realitas itu terlalu kompleks untuk dijelaskan melalui konsep deterministik. Pandangan deterministik justru akan memaksa realitas untuk mengikuti teori, sedang teori seharusnya berdasar realitas, bukan sebaliknya. Walaupun demikian, penting bagi ilmu ekonomi profetik untuk tetap memiliki keberpihakan etis sehingga dapat tetap memainkan fungsi kritisnya dalam menghadapi realitas. Dalam konteks inilah kita dapat menyetujui pernyataan Kuntowijoyo bahwa kesadaran diletakkan di atas basis material, karena Islam mengidealkan fungsi kritis kesadaran dalam proses transformasi sosial.[37]

D.    Menuju Sistem Ekonomi Profetik
Ekonomi profetik disini kita maksudkan sebagai ekonomi dengan berparadigma ISP. Dengan demikian kita dapat menggariskan beberapa hal. Pertama, bahwa ekonomi profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga akan memberi arah, bidang atau lapangan penelitian. Kedua, secara epistemologis, ekonomi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos. Ketiga, secara metodologis ekonomi profetik jelas berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan positivisme. Ekonomi profetik menolak klaim-klaim positivis seperti klaim bebas nilai dan klaim bahwa yang sah sebagai sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera. Ekonomi profetik juga menolak kecenderungan ilmu sosial yang hanya menjelaskan atau memahami realitas lalu memaafkannya. Ekonomi profetik tidak hanya memahami tapi juga punya cita-cita transformatif (liberasi, humanisasi dan transendensi). Keempat, ekonomi profetik memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran (superstructure) menentukan basis material (structure).
Barangkali yang menyebabkan ekonomi profetik menjadi problematis dan kontroversial adalah posisi epistemologisnya yang juga mengakui wahyu sebagai bagian sah dari sumber pengetahuan. Kontroversial, karena ilmu ekonomi modern sudah terlanjur mencampakkan wahyu dalam kategori mitos atau metafisika yang tidak mempunyai dasar empiris. Problematis, karena ide ini dapat saja serta merta dipahami oleh para penganutnya dalam perspektif teologis-normatif, sehingga kita akan susah membedakan mana teologi, mana empiris, mana normatif. Dalam konteks ini, ekonomi profetik memiliki sebuah agenda besar yakni rekonstruksi epistemologis.
Rekonstruksi epistemologis tersebut harus mampu membongkar akar-akar pemisahan wahyu dari wilayah ilmu pengetahuan dan selanjutnya membuktikan bahwa wahyu sesungguhnya dapat secara sah menjadi bagian dari epistemologi ilmu ekonomi. Dalam hal ini, tulisan Louay Safi,[38] mampu membuktikan melalui penelaahan terhadap sifat-sifat wahyu, rasionalitas, dan kualitas bukti yang diajukannya, bahwa penolakan terhadap wahyu sebagai sumber pengetahuan sesungguhnya didasarkan pada alasan-alasan absurd dan artifisial, dibuat-buat dan bahwa konflik wahyu versus ilmu pengetahuan bukanlah konflik imperatif ataupun universal, tapi khas Barat. Karenanya, Safi menyatakan bahwa berbagai upaya untuk mereproduksi konflik ini dalam kebudayaan muslim adalah artifisial belaka dan didorong oleh keinginan irrasional untuk berjalan di atas landasan kebudayaan lain. Disamping itu, rekonstruksi epistemologis juga harus mampu menyediakan dasar-dasar metodologis untuk dapat membawa masuk wahyu ke dalam kancah ilmu ekonomi. Untuk keperluan ini, pendekatan teologis-normatif yang selama ini telah begitu hegemonik di benak kita harus dirubah ke arah pendekatan empiris-faktual.[39] Orientasi teks harus diubah ke arah orientasi realitas. Gagasan Kuntowijoyo tentang methodological objectivism atau obyektifikasi dapat dipahami dalam konteks ini.
Yang agak mengherankan dari pemikiran Kuntowijoyo adalah gagasannya tentang paradigma al-Qur’an untuk perumusan teori. Dalam banyak tulisan mengenai ISP, gagasan ini dapat dipandang sebagai salah satu dasar dari ide ilmu ekonomi profetik. Yang kita permasalahkan adalah posisi Kuntowijoyo dalam merumuskan gagasannya ini tampaknya belum beranjak dari pendekatan teologis. Kuntowijoyo menyatakan, apa yang disebutnya sebagai paradigma al-Qur’an itu tak lain adalah mengakui adanya struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas. Maksudnya adalah pengakuan mengenai adanya ide murni yang bersifat adimanusiawi atau bangunan ide transendental yang bersifat otonom dan sempurna. Persis di sinilah gagasan ini menjadi teologis karena masih mengasumsikan kesempurnaan ide dan sifatnya yang dari Tuhan. Konsekuensinya adalah wahyu itu dalam ilmu ekonomi profetik diposisikan lebih tinggi daripada realitas atau rasio. Dengan demikian ilmu ekonomi profetik jatuh ke dalam sikap teologis atau dogmatis.[40]
Dalam teologi, asal-muasal wahyu serta kesempurnaan ide Tuhan itu menjadi bagian yang sangat penting bagi iman. Demikian juga perdebatan mengenai posisi wahyu terhadap rasio menjadi bagian penting dari wacana teologis. Dalam ilmu ekonomi, ini semua tidak relevan. Ilmu ekonomi tidak mempermasalahkan dari mana wahyu itu berasal tapi apa yang dikatakan wahyu itu tentang realitas. Klaim kesempurnaan ide transendental itu, walaupun dalam teologi penting, dalam ilmu ekonomi tidak lagi relevan, karena apa yang kita sebut sebagai ide Tuhan itu sesungguhnya telah melalui proses pemahaman yang sepenuhnya bersifat manusiawi. Karena itu, ilmu ekonomi tidak berbicara tentang kebenaran ide Tuhan yang ada di benak Tuhan itu sendiri tapi berbicara tentang penafsiran relatif manusia atas ide Tuhan yang dapat saja direkonstruksi, direvisi, difalsifikasi atau bahkan ditolak tanpa harus takut dianggap menolak Tuhan karena yang sedang kita permasalahkan adalah penafsiran manusia yang sifatnya relatif. Ilmu sosial juga tidak perlu menganut hierarkhi antara wahyu, realitas dan rasio. Karena itu ilmu ekonomi tidak mempermasalahkan hierarkhi epistemologis tapi apa yang dinyatakan oleh wahyu, realitas dan rasio.[41]
Ketiga sumber pengetahuan ini (wahyu, realitas empiris dan rasio) dalam ekonomi profetik harus diletakkan secara dialektis, karena itu wahyu tidak dapat dilepaskan dari realitas. Wahyu yang lepas dari realitas hanya akan menjadi ide abstrak yang tidak berhubungan dengan realitas kemanusiaan. Wahyu haruslah senantiasa dipahami dalam relasinya dengan realitas empiris. Karena keterkaitan yang tak terpisahkan dengan realitas maka teori-teori ekonomi yang tercipta menjadi bersifat temporal. Ide-ide dalam kitab suci, secara teologis, memang diyakini bersifat universal dan abadi, tapi sepanjang dalam kaitannya dengan konteks sosio-ekonomis-historis yang khusus maka makna yang terbentuk darinya menjadi temporal. Pemahaman seperti ini tidak berurusan dengan masa lalu atau masa yang akan datang, tapi dikaitkan dengan realitas kontemporer di mana ia muncul.[42] Memang kadang ia berhubungan dengan masa lalu melalui analisis-analisis historis tapi dalam konteks ini masa lalu hanya penting dalam rangka memperjelas realitas kekinian. Jika berbicara tentang masa depan, itupun sebatas pada mempersiapkannya sebagai bentuk muatan utopis dalam teori ekonomi yang berfungsi kritis.
Dari sini lalu muncul persoalan lain, dari manakah kita mesti memulai, dari realitas atau dari ide? Para ekonom positivistik meyakini dengan sepenuh hati bahwa kita harus memulai dari realitas karena realitaslah yang merupakan sumber valid dari aktivitas ekonomi. Tapi benarkah kita dapat sepenuhnya berangkat dari realitas? Karena dalam kenyataannya, kita tidak bisa melakukan aktifitas ilmiah dalam ruang hampa tanpa ide. Seorang peneliti tidak dapat masuk dalam realitas dalam kondisi vacuum tanpa konsep apapun. Walaupun konsep itu tidak dinyatakan secara eksplisit, tapi disadari atau tidak, otak manusia adalah konstruksi dari berbagai macam ide yang membentuk cara berpikirnya. Karena itu ide tidak bisa dilepaskan begitu saja. Jadi ide dan realitas adalah dialektis. Realitas mempengaruhi ide, ide juga ikut berperan dalam mengkonstruk realitas. Kita tidak perlu bersikukuh untuk berangkat dari realitas karena pada dasarnya otak kita tidak pernah sepi dari ide. Ide dan realitas harus didialektikakan dalam proses penelitian ekonomi.

1.      Dari Mana Memulai?
Satu hal yang kemudian perlu kita sadari adalah bahwa kita tidak bisa mengembangkan ilmu atau peradaban apapun di dalam kondisi vacuum. Artinya, keinginan kita untuk mengembangkan sebuah alternatif pemikiran tidak bisa dilakukan dengan jalan memencilkan diri dan memisahkan diri dari konstelasi besar ide, gagasan dan peradaban dunia. Keinginan untuk mengembangkan ekonomi lepas dari paradigma-paradigma yang selama ini telah berkembang adalah sebuah sikap yang ahistoris dan irrasional yang hanya akan menjadi kontraproduktif. Baik kapitalisme maupun sosialisme adalah khazanah yang terlalu berharga untuk kita tinggalkan begitu saja. Dalam konteks ini, Barat dan Timur, Islam dan di luar Islam, adalah kategori-kategori yang tidak relevan.
Sikap paling bijak adalah menjadikan gagasan-gagasan yang berkembang dalam ekonomi modern sebagai sarana untuk memperkaya dan kemudian mencari sintesis-sintesis alternatif yang lebih sesuai dengan konteks keIndonesiaan dengan seperangkat kekhasan sosial budayanya, sebagaimana yang dilakukan Kuntowijoyo selama ini. Bahkan, kita juga dapat menjadikan beberapa gagasan dalam ilmu ekonomi yang berkembang sebagai pijakan awal dalam mengembangkan ekonomi profetik. Teori kritis misalnya, telah berbicara tentang banyak hal. Misalnya saja, kita bisa belajar dari teori kritis bahwa untuk mengembangkan ilmu ekonomi yang tidak membedakan antara teori dan praksis, antara ilmu dengan kepentingan kemanusiaan, kita perlu merumuskan konsep praksis seperti apa yang pas. Jika Marxisme mendasarkan praksisnya pada konsep kerja, teori kritis (generasi kedua, Habermas) mendasarkannya pada konsep komunikasi, maka ekonomi profetik sebagai ilmu sosial yang berorientasi praksis pun harus merumuskan konsep praksisnya, apakah akan mengambil gagasan Habermas atau akan menawarkan sesuatu yang lain? Transendensi misalnya, dapat kita jadikan sebagai salah satu alternatif konsep praksis itu.
Singkatnya, kita ingin menjadikan ekonomi profetik sebagai bagian dari perkembangan paradigma ekonomi modern dan bukan lepas darinya, tentu saja dengan kekhasan alternatif dan solusi yang hendak kita tawarkan. Untuk itulah, kita perlu merumuskan agenda apa yang akan kita lakukan. Pada prinsipnya ekonomi profetik memiliki beberapa urutan agenda sebagaimana terlihat pada bagan di bawah ini: Paradigma –> Konstruk Teori –> Praxis –> Transformasi Ekonomi.
Jika kita mengacu pada agenda tersebut tampaknya konsep ekonomi profetik masih berkutat pada wilayah paradigma. Karena itu setidaknya ada tiga agenda penting yang harus kita lakukan untuk mengembangkan ekonomi profetik yaitu teorisasi, praxis dan transformasi sosial ekonomi. Kita perlu menekankan teorisasi karena selama ini, umat Islam ini miskin teori. Kita lebih banyak berkutat pada masalah-masalah normatif-teologis. Akibatnya kita tidak paham realitas karena kita tidak memiliki perangkat teoritis untuk memahaminya. Konsepsi normatif-teologis seringkali berbeda, bahkan tak jarang berseberangan dengan realitas. Itu sebabnya, umat Islam kerap kebingungan ketika berhadapan dengan realitas yang ternyata tidak selalu sesuai dengan apa yang dikonsepkan secara normatif.
Selanjutnya adalah praxis. Untuk keperluan ini, kita memerlukan sebuah konsep praxis. Praxis adalah konsep sentral bagi teori-teori yang mencari pertautannya dengan kehidupan sosial karena pemahaman tentang praxis menentukan bagaimana suatu teori dengan maksud praktis dilaksanakan.[43] Ini adalah salah satu agenda besar yang harus dikaji lebih lanjut oleh ekonomi profetik. Ekonomi profetik untuk dapat mewujudkan cita-cita humanisasi, liberasi dan transendensi perlu merumuskan konsep praxis seperti apa yang hendak ia gunakan. Terakhir, sebagai konsekwensi teoritis ilmu ekonomi profetik, kita juga perlu transformasi sosial-ekonomi. Umat Islam selama ini tidak memiliki kesadaran historis, sehingga selalu mengulang persoalan-persoalan lama. Cara berpikir ideologis misalnya, sampai saat ini masih kental di kalangan umat Islam, bahkan masih ada yang tenggelam dalam cara berpikir mitis dan magis, padahal kita sudah sampai pada zaman ilmu (mengikuti periodesasi sejarah Indonesia versi Kuntowijoyo: mitos, ideologi dan ilmu). Untuk itu ilmu ekonomi profetik harus terlibat aktif dalam aktifisme sejarah untuk melakukan proses transformasi dan arah ekonomi Indonesia menuju tatanan masyarakat yang lebih humanis, liberatif dan transenden.
Untuk keperluan transformasi, ekonomi profetik perlu merumuskan kelompok sasarannya. Pada Marxisme, teorinya dialamatkan kepada kaum proletariat sebagai ‘jantung hati revolusi’. Generasi pertama teori kritis mengalamatkan teorinya pada cendekiawan dan mahasiswa karena mereka tak lagi menaruh harapan pada kaum proletar. Habermas mengalamatkan teorinya pada rasio manusia yang berpihak. Habermas memang tidak menunjuk suatu golongan tertentu dalam masyarakat sebagai kelompok sasarannya, tapi rasio yang memihak itu akan menunjukkan siapa yang harus dibebaskan.[44] Ekonomi profetik, juga perlu merumuskan sasarannya. praksis, liberasi, humanisasi, dan transendensi memerlukan identifikasi sasaran untuk dapat menjadi praktis. Konsep praxis dan kelompok sasaran ekonomi profetik adalah dua hal yang penting untuk dapat mewujudkan teori ekonomi profetik ke dalam kenyataan ekonomi.

2.      Posisi Paradigmatik Ilmu Ekonomi Profetik
Agak susah untuk mendefinisikan posisi paradigmatik ekonomi profetik, karena ekonomi profetik sendiri sesungguhnya masih merupakan sebuah tawaran yang akan dilihat kemungkinannya di masa depan. Dengan demikian bangunan ekonomi profetik itu sendiri masih tampak sangat kabur. Meskipun demikian kiranya penting untuk mencoba menentukan ke mana arah gerak dari ekonomi profetik ini di masa depan.
Jika kita mengikuti pembagian Ritzer, ekonomi profetik tampaknya bergerak diantara dua kutub: kutub paradigma fakta sosial dan kutub paradigma definisi sosial. Melalui pandangan dialektis antara structure dan superstructure ekonomi profetik agaknya sesuai dengan tiga prinsip dialektika masyarakat yang dikemukakan Peter L. Berger yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.[45] Berger dalam konteks ini ingin menggambarkan proses yang melalui tindakan dan interaksinya manusia menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki bersama, yang dialami secara faktual objektif dan penuh arti secara subjektif. Realitas sosial yang dialami manusia sehari-hari, dengan demikian, dikonstruksikan secara sosial (socially constructed). Menurut Berger, masyarakat itu sendiri, dengan berbagai institusinya, diciptakan dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia.[46]
Dengan eksternalisasi, dimensi internal subyektif terus-menerus dicurahkan keluar kedirian manusia dalam bentuk perilaku sosial untuk membentuk kebudayaan. Kebudayan terbentuk ketika dimensi internal subyektif telah menjelma menjadi faktisitas yang bersifat eksternal dan obyektif. Inilah yang disebut dengan obyektivasi. Kesadaran (superstructure) adalah bagian dari dimensi internal subyektif. Karena itu, melalui eksternalisasi, kesadaran ikut menentukan kebudayaan dan menggerakkan perubahan. Dengan internalisasi, manusia menyerap kembali dimensi eksternal obyektif yang ada di sekitarnya ke dalam struktur kesadaran subyektifnya. Basis material (structure) adalah bagian dari dimensi eksternal obyektif. Karena itu, melalui internalisasi, basis material ikut menentukan kesadaran. Dengan demikian structure dan superstructure, dalam proses-proses ekonomi, berdialektika melalui proses eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Dengan cara pandang ekonomi profetik mengakui bahwa makna subyektif atau kesadaran (paradigma definisi sosial) dan fakta-fakta obyektif -termasuk diantaranya basis material-(paradigma fakta sosial), adalah dua hal yang menyebabkan munculnya realitas sebagaimana diungkap Berger dan Thomas Luckmann.[47] Dialektika antara kesadaran dan basis material ini menunjukkan bahwa ekonomi profetik mengakui adanya fakta-fakta sosial ekonomi yang bersifat eksternal dan koersif (paradigma fakta sosial), sekaligus mengakui adanya makna-makna subyektif (kesadaran) yang dibangun individu dalam proses-proses sosialnya (paradigma definisi sosial).
Ekonomi profetik juga dekat dengan paradigma teori kritis mazhab Frankfurt. Max Horkheimer mencirikan teori kritis dengan pertama, teori kritis bersifat historis, artinya dikembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang konkret dan berpijak di atasnya. Teori kritis tidak bermaksud menentukan hukum-hukum universal yang berlaku di segala masa dan tempat. Kedua, teori kritis bersifat kritis terhadap dirinya sendiri. Teori kritis mempertahankan kesahihannya melalui evaluasi, kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri, bukan pada sikap netral. Ketiga, teori kritis memiliki kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual. Keempat, teori kritis itu merupakan teori dengan maksud praktis. Ketidaknetralan teori kritis itu terletak pada pemihakannya pada praksis sejarah tertentu. Pemihakan itu terdapat dalam tujuan teori kritis yaitu pembebasan manusia dari perbudakan, membangun masyarakat atas dasar hubungan antar pribadi yang merdeka dan pemulihan kedudukan manusia sebagai subyek yang mengolah sendiri kenyataan sosialnya. Dengan demikian, teori kritis hendak mengkritik keadaan-keadaan aktual dengan referensi pada tujuannya. Jadi teori kritis mengandung muatan utopia tertentu sehingga tidak netral. Teori kritis adalah teori dengan maksud praksis emansipatoris.
Melalui humanisasi, liberasi dan transendensi, ekonomi profetik hendak menegaskan posisinya. Sebagaimana teori kritis, ekonomi profetik juga dimaksudkan untuk kepentingan praksis emansipatoris. Dengan sendirinya, dapat disimpulkan, ekonomi profetik berpendapat bahwa pengetahuan tidak terpisah dari kepentingan, teori tidak perlu dipisahkan dari praksis. Kepentingan praksis ekonomi profetik adalah humanisasi, liberasi dan transendensi. Ekonomi profetik sejak awal memang tidak hanya dimaksudkan untuk menjelaskan atau memahami realitas sosial-ekonomi apa adanya, tapi lebih dari itu, ekonomi profetik diusulkan untuk kepentingan transformasi sosial-ekonomi menuju cita-cita profetis. Yang menjadikan posisi paradigmatik ekonomi profetik menjadi unik adalah bahwa ekonomi profetik juga menjadikan transendensi sebagai bagian penting dari unsur pembentuknya. Karena itu, dalam ekonomi profetik, nilai-nilai etik-relijius menjadi penting sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban manusia. Transendensi menjadi dasar dari humanisasi dan liberasi, ini artinya proses-proses emansipatoris dalam ekonomi profetik diletakkan dalam konteks transendensi

E.     Sistem Ekonomi Profetik atau Sistem Ekonomi Islam
Sebagai sebuah disiplin baru, ekonomi Islam hingga saat ini masih dalam suatu proses pencarian body of science-nya. Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka pencarian tersebut, salah satunya adalah dengan mengkaji ulang sejarah perekonomian dan umat Islam masa lalu, merekonstruksi pemikiran para tokoh (ekonomi) Islam dan kemudian memberikan interpretasi-interpretasi kritis terhadap sejarah dan pemikiran tersebut.
Proses interpretasi sejarah dan pemikiran ekonomi Islam di Indonesia mengalami pergumulan yang cukup dinamis, dimana muncul pro dan kontra terhadap terminologi ekonomi Islam itu sendiri, instrumen-instrumen teoritisnya maupun perdebatan yang bersifat metodologis. Perdebatan-perdebatan itu juga melahirkan berbagai macam corak pemikiran di bidang ekonomi Islam, dari yang bersifat liberal hingga radikal.
Lazimnya sebuah pemikiran, ide dan gagasan Islamisasi ekonomi ternyata tidak sepenuhnya di-amini semua pihak, bahkan tidak sedikit pula yang menolak, terutama dari kalangan yang cenderung pada ide sekularisasi, seperti misalnya Kuntowijoyo. Jika kita petakan, penolakan terhadap ide Islamisasi ekonomi dikarenakan oleh beberapa alasan, antara lain:[48] pertama, Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan (termasuk ilmu ekonomi) selalu sarat dengan nuansa ideologis-keagamaan (Islam). Dalam hal ini terkesan adanya pemaksaan untuk menurunkan prinsip-prinsip agama merasuk ke dalam ranah ilmu pengetahuan. Di sini muncul problem "obyektifitas", "empirik", "kritis" dan "sekular" yang menjadi ciri khas ilmu berhadapan dengan "ketundukan", taken for granted, dan "imani" yang menjadi syarat dalam agama.[49] Jelas sekali bahwa bagi para penolak ide Islamisasi ekonomi, integrasi kedua paradigma yang berbeda tersebut tidak dimungkinkan, bahkan cenderung berseberangan. Kedua, pada dasarnya Islam adalah sebuah sistem norma universal, di mana teks-teks keagamaan mempunyai cakupan menyeluruh tanpa mengalami sekat-sekat budaya, waktu, geografis bahkan ilmu. Karena itu Islamisasi ekonomi dinilai bertentangan dengan prinsip universal tersebut.
Ketiga, sudah menjadi tradisi di kalangan pemikir ekonomi Islam bahwa aspek historis menjadi pertimbangan penting ketika hendak membangun pondasi ilmu ekonomi Islam. Dalam hal ini, praktek mu’amalah yang berlangsung pada era Islam klasik (periode Nabi dan Sahabat) dijadikan rujukan untuk menunjukkan bahwa ekonomi Islam sudah ada dan mempunyai landasan empirik sejak zaman Rasulullah. Akan tetapi, ini pula yang menjadi keberatan pihak yang menolak Islamisasi ekonomi.[50] Sikap "retrospeksi" para "ekonom Islam" dinilai terlalu berlebihan dan cenderung pada "romantisme sejarah" karena terlalu mengidealkan sejarah masa lalu tetapi tidak diikuti upaya rekonstruksi yang memadai. Terbukti bahwa sampai saat ini belum ditemukan tulisan yang secara obyektif dan komprehensif memberikan gambaran utuh tentang sejarah ekonomi umat Islam klasik. Selain itu, keberatan terhadap idealisasi sejarah ekonomi umat Islam klasik juga dikarenakan adanya perbedaan konteks budaya, peradaban dan sistem sosial-ekonomi ketika itu (praktek ekonomi Islam klasik dianggap sebagai refleksi budaya dan sistem sosial-ekonomi masyarakat Arab pra Islam), dengan budaya dan sistem sosial-ekonomi sekarang ini.
Sedangkan dalam konsep ekonomi profetik, Kuntowijoyo merumuskannya melalui tiga pilar yakni humanisasi sebagai ontologi, liberasi sebagai epistemologi dan transendensi sebagai aksiologi. Melalui tiga pilar ilmu ekonomi profetik ini, kita dapat mengetahui bahwa suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagai rukhul Islam atau the spirit of Islam sebagaimana terkandung dalam surat Ali Imran, ayat 110. Ayat ini harus dibaca sebagai perintah untuk meperjuangkan humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (beriman kepada Tuhan). Hal ini tampak sangat jelas merupakan abstraksi pemahaman ajaran agama Islam Kunto secara menyeluruh dan mendalam. Semangat ini juga mencerminkan cara hidup atau way of life kaum Muslimin yang telah diatur dengan aturan yang telah baku, terutama dari al-Qur’an maupun Sunah.
Berangkat dari keprihatinannya atas gagasan Islamisasi pengetahuan yang cenderung reaktif inilah, Kuntowijoyo menawarkan suatu penyikapan baru perihal hubungan antara agama (Islam) dan ilmu. Dan meskipun Kunto tidak menggunakan istilah Islamisasi pengetahuan, namun lebih mendorong agar gerakan intelektual umat me­langkah lebih jauh, dan mengganti Islamisasi pengetahuan menjadi pengilmuan Islam. Dari reaktif menjadi proaktif.[51] Ikhtiar keilmuan ini memiliki tiga sendi, yakni (1) pengilmuan Islam sebagai proses keilmuan yang bergerak dari teks al-Qur’an menuju konteks sosial dan ekologis manusia, (2) paradigma Islam adalah hasil keilmuan (yakni paradigma baru tentang ilmu-ilmu integralistik, sebagai hasil penyatuan agama dan wahyu), dan (3) Islam sebagai ilmu yang merupakan proses sekaligus sebagai hasil. Atas gagasan yang dilontarkannya ini, Kuntowijoyo pun mengajak intelektual Islam untuk mengganti Islamisasi pengetahuan menjadi pengilmuan Islam.
Dengan modal dasar rukhul Islam dan postulat dari al-Qur’an maupun Sunah itulah kita selanjutnya membangun ilmu ekonomi profetik. Yang pada akhirnya mengantarkan kita sampai pada kesimpulan bahwa perbedaan pengilmuan Islam dengan Islamisasi ilmu -mengikuti Kunto- terletak dalam beberapa hal. Pertama, pengilmuan Islam lebih terbuka terhadap ilmu-ilmu sekular. Kedua, Islamisasi ilmu lebih bersifat reaktif dan normatif (mengembalikan konteks ke teks) dan memberikan perhatian lebih rendah pada kondisi aktual empiris. Ketiga, pengilmuan Islam (dalam wujudnya sebagai ISP) lebih menekankan pada berkeinginan untuk memberikan arah etis bagi transformasi kondisi empiris itu.

F.     Kajian Pendekatan Ilmu Ekonomi Profetik
Membaca tulisan-tulisan Kuntowijoyo, setidaknya terdapat pandangan bahwa ekonomi profetik juga harus dibangun di atas, atau setidaknya diwarnai oleh prinsip-prinsip etika relijius, dan berorientasi pada ketiga pilar penyangganya, humanisasi, liberasi dan transendensi. Dalam tataran paradigma seperti ini, para ekonom pendukung ekonomi profetik belum satu kata, atau bahkan masih menawarkan yang akan dilihat kemungkinannya di masa depan. Mayoritas para pendukung ekonomi profetik sepakat mengenai dasar pilar atau fondasi filosofis sistem ekonomi profetik ini, namun ketika dipertanyakan lebih lanjut: apa dan bagaimana ekonomi profetik itu? Di sinilah terjadi perbedaan, sehingga ada yang menggolongkan ekonomi profetik juga merupakan bagian integral dari sistem ekonomi Islam, karena ia dibangun atas dasar filosofis dan paradigma sistem al-Qur’an dan Sunnah, atau nama lain ekonomi Islam.
Bagi Kunto, penelitian-penelitian sosial berdasarkan ilmu profetik hendaknya memiliki prioritas sendiri, yakni guna memecahkan persoalan umat menghadapi masyarakat industri (masyarakat kota, masyarakat global, masyarakat pengetahuan, masyarakat abstrak). Dalam format penelitiannya dapat mengambil bentuk penelitian teoritis-analitis yakni dengan menghadapkan al-Qur’an dengan realitas sosial, misalnya Islam dengan industrialisasi ekonomi, Islam dan kelas sosial ekonomi, dan Islam dengan industrialisasi budaya. Selanjutnya penelitain historis dan penelitian kasus yang partisipatoris (participant observation, grounded research, action research) dengan mengambil lokasi kota, desa, jamaah, pabrik dan lainnya.[52]
Dan jika ditilik lebih jauh, maka pendekatan sejarah inilah yang sangat kental dalam berbagai tulisan Kuntowijoyo. Sebagai seorang sejarawan, Kunto sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah mengajarkan kearifan itu. Bagi Kunto, belajar sejarah adalah proses belajar kearifan. Dalam setiap tulisannya (terutama buku) seperti Paradigma Islam dan Politik Islam, Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Identitas Politik Umat Islam, Radikalisasi Petani, Pasar, Dinamika Internal Umat Islam Indonesia, Demokrasi dan Budaya Birokrasi, Islam Dalam Pertunjukan Rakyat Jawa, Budaya dan Masyarakat, Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Metodologi Sejarah, Wasripin Dan Satinah, Penjelasan Sejarah, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi , Identitas Politik Umat Islam  menunjukkan hal tersebut.[53]
Di sisi lain, menurut sebagian kalangan Kuntowijoyo juga berusaha melakukan -meminjam istilah Dawam Rahardjo- “pribumisasi ilmu-ilmu sosial” (indigenization of social sciences), dalam hal ini “pribumisasi ilmu ekonomi”. Gagasan ini merupakan strategi counter idea terhadap dominasi dan hegemoni ilmu ekonomi mainstream yang telah lama “menghinggap” di kepala ilmuwan ekonomi Indonesia. Modus kerjanya mencoba membongkar teori-teori yang mapan dan kemudian mencari sintesa kreatif yang bercorak lokal dengan rumusan live in dengan realitas konkret masyarakat. Namun ide ini bukannya tidak menimbulkan kecurigaan, Kuntowijoyo dicurigai hendak menjadikan ilmu kembali terpenjara dalam kekuasaan dogma-dogma agama seperti yang pernah terjadi di masa lalu (Abad Pertengahan). Kekhawatiran seperti ini tentu saja sangat beralasan. Fakta menunjukkan bahwa sebagian penganut ide integrasi agama dengan ilmu sosial cenderung berpikir secara normatif, idealistik, bahkan sering diwarnai corak apologis. Cara berpikir seperti ini jelas tidak konstruktif, bahkan akan mematikan perkembangan ilmu sosial itu sendiri. Ilmu sosial akan muncul dengan wajahnya yang absolut.[54]
Selain pendekatan sejarah, Kuntowijoyo juga menggunakan pendekatan ilmu sosial dalam melakukan pembacaan terhadap masyarakat, menentukan variabel sosial dan proses kategorisasi terhadap masyarakat tersebut. Artinya, perkembangan suatu masyarakat ditentukan oleh kerangka ilmu sosial dan direfleksikan dalam bangunan sebuah teori. Teori-teori modernisme, misalnya dalam rezim orde baru, berperan sebagai alat analisa realitas sosial yang mempengaruhi mindset kita tentang tradisi, perubahan sosial dan kondisi sosiologis masyarakat. Penggunaan ilmu sosial yang dipaksakan terhadap basis material yang berbeda menyebabkan disorientasi pengetahuan. Sehingga persoalan mendasar sebuah realitas sosial tidak ditemukan karena kita hanya menjelaskan fenomena dengan kerangka teori yang bersifat distortif. Dalam kedudukannya, ilmu sosial memiliki variabel independen dan dependen. Dikatakan sebagai variabel independen ketika ilmu sosial mempunyai kekuatan konstitutif dan dapat berperan besar dalam rekayasa sosial untuk transformasi sosial. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai variabel dependen, ilmu sosial mempunyai kekuatan reflektif dan dengan itu berperan untuk melakukan legitimasi sosial.
Dalam konteks Indonesia, upaya untuk membuat ilmuan sosial yang berangkat dari akar tradisi dan realitas historis masyarakat inilah yang dipikirkan Kuntowijoyo. Dalam kaitannya dengan penyusunan pendekatan ilmu ekonomi profetik, yang bagi kita, ide Kuntowijoyo ini memang masih kabur. Namun disini yang hendak ditegaskan adalah perlunya memperhatikan wawasan yang jernih dari Kunto yakni menyangkut bagimana ketiga pilar ISP dapat menerangkan mekanisme-mekanisme kegiatan perekonomian, baik mikro maupun makro termasuk ke dalam bidang pengetahuan rasional-universal yang bisa dimanfaatkan oleh kaum Muslim secara selektif dan tunduk pada humanisasi, liberasi dan transendensi.[55] Sementara itu, ekonomi profetik merupakan ilmu sosial dalam klasifikasi epistemologi Islam, yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan dan oleh karenanya mengandung pertimbangan-pertimbangan serta batasan-batasan ideologisnya sendiri sesuai dengan tujuan-tujuan dan pilar-pilar yang inheren dalam usaha pembangunan ekonomi profetik. Dengan demikian dalam ekonomi profetik, meski dikembangkan suatu paradigma tersendiri yang berkenaan dengan pilar-pilar profetik dan etos-etos keadilan ekonomi. Disinilah konsep Islam mengenai kekhalifahan dan amar ma’ruh dan nahi munkar akan memberikan dorongan untuk menempa faktor-faktor alam dan sosio kultural.[56]

G.    Penutup
Kuntowijoyo adalah suatu sosok multidimensional -seorang ilmuwan sosial, sejarawan, sastrawan, juga ekonom- Dengan mengangkat gagasan pengilmuan, ia ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan. Ini dicoba diatasinya dengan mengintegrasikan ilmu modern dengan cita-cita profetik yang bersumber dari agama. Dengan ini kita bisa memahami cita-cita Kunto untuk melakukan outreach ke sebanyak mungkin orang, tanpa mengenal batasan-batasan identitas. Perhatian utamanya adalah kemanusiaan, dan semua aktifitas, termasuk aktifitas perekonomian dan beragama, mesti ditujukan untuk melayani kepentingan umat manusia. Salah satu kisah Nabi Muhammad yang tampaknya menjadi favorit Kunto dan kerap disampaikannya adalah kisah yang disampaikan penyair-filosof Muhammad Iqbal mengenai penolakan Nabi untuk tetap tinggal di langit dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Ia ingin kembali ke bumi untuk melaksanakan cita-cita profetiknya. Solidaritas kemanusiaan universal inilah kiranya yang menjadi pesan utama dakwah Kunto, dan yang sulit ditolak bahkan oleh kaum pasca-modernis yang mencurigai setiap klaim universalitas.[57]
Demikianlah yang dalam tulisan ini tidak bermaksud untuk menjawab atau menyimpulkan, namun hanya mencoba memberi gambaran awal tentang apa itu ekonomi profetik menurut Kuntowijoyo, paling tidak dari sini kita dapat memahami -dalam perspektif ekonomi- bahwa kita perlu mencoba untuk keluar dari batasan-batasan paradigmatik yang telah tersedia dalam ekonomi untuk menciptakan alternatif-alternatif paradigmatik yang lebih sesuai dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia. Ekonomi profetik kiranya merupakan tawaran alternatif semacam itu. Dengan mencoba keluar dari batasan paradigmatik yang sudah tersedia, kita dapat melihat keterbatasan paradigma yang sudah ada sehingga mampu menawarkan sebuah alternatif. Tentu saja ini perlu keberanian, bisa jadi dengan resiko yang tidak ringan.

Daftar Pustaka
A. Dimyati. “Redefinisi Keilmuan Ekonomi Islam Indonesia Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman Azwar Karim”. Dalam Http://multiply.com/info/about/redefinisi-keilmuan-ekonomi-Islam-indonesia di akses pada 09 Desember 2009
Abdul Manan. 1993. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Adiwarman Karim, 2002. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro. Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia
Adiwarman Karim. 2002. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia.
A.                E. Priyono. 1985. Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan Prosfek Gerakan Perekonomian Islam. Yogyakarta: PLP2M.
Akh Minhaji. tt. Strategies For Sosial research: The Methodological Imagination In Islamic Studies. Bahan Kuliah untuk Penelitian Dalam Bidang Studi Islam. Yogyakarta: Suka Press.
David J. Gray, Value Free Sociology: A Doctrine of Hypocrisy and Irresponsibility, dalam Morris L. Medley dan James E. Conyers (Ed.), 1968. Sociology for The Seventies. New York: John Wiley.
Erich Fromm. 2001. Konsep Manusia Menurut Marx. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
F. Budi Hardiman, 1990. Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, cet. 2, Yogyakarta: Kanisius
F. Budi Hardiman. 2004. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
George Ritzer, 1985. Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Sociology: A Multiple Paradigm Science), Terj. Alimandan. Jakarta: Rajawali Press
Heru Nugroho, “Mencari Legitimasi Akademik Ilmu Sosial Profetik”, Kedaulatan Rakyat, (13 Desember 1997).
Husein Sawit, Kata Pengantar pada buku Goenawan Moehammad, 2000. Metodologi Ilmu Ekonomi Islam: Suatu Pengantar. Yogyakarta: UII-Press.
Husnul Muttaqin. “Menuju Sosiologi Profetik” diakses pada http://id.wordpress pada 19 November 2009.
Imamudin Yuliadi, 2001. Ekonomi Islam: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: LPPI-UMY.
Irfan Noor. “Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah-Empiris: Kajian Filsafat Ilmu Atas Pemikiran Peter L. Berger”. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, Volume 7 Nomor 2 Juli 2008.
Ismail Raji Al Faruqi, MengIslamkan Ilmu-Ilmu Sosial’ dalam Abubakar Bagader (ed.), 1985. Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial (Islam And Sociological Perspective), Terj. Muchtar Effendi Harahap. Yogyakarta: PLP2M
John Parkins, 2007. Pengakuan Bandit Ekonomi Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga. Terj. Wawan Eko Yulianto & Meda Satrio. Jakarta: Ufuk Pree
Kuntowijoyo dalam makalahnya untuk Seminar dan Lokarya IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 18-19 September 2002
Kuntowijoyo, 2004. Islam Sebagai Ilmu, Jakarta: Teraju-Mizan
Kuntowijoyo, 2001. Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo, 1991. Paradigma. Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo. Ilmu Sosial Profetik: Etika Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial. Dalam buku M. Amin Abdullah 2007. Re-Strukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta. Yogyakarta: Suka Press.
Louay Safi, 2001. Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat. Yogyakarta: Tiara Wacana
M. Aunul Abied Shah. 2001. Malak Hifni Nashif Bek, Sosok Kartini Lembah Nil: Menggali Akar Feminisme di Dunia Islam dalam buku Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung: Mizan.
M. Dawam Rahardjo. 1999. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. Jakarta: LSAF
M. Umar Chafra. 2001. The Future Of Economic an Islamic Persfectif. Jakarta: SEBI
M. Yudi Haryono. Kuntowijoyo dan Ilmu Sosial Profetik. Dalam www.yudhieharyono.com di akses pada 09 Desember 2009
M.B. Hendrie Anto, 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: Ekonisia.
Max Weber. Sekte-Sekte Protestan dan Semangat Kapitalisme dalam buku Taufik Abdullah, (ed) 1982. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES dan Yayasan Obor dan LEKNAS-LIPI
Muhammad Iswadi. “Ekonomi Islam: Kajian Konsep dan Model Pendekatan”. Mazahib Vol. IV, No. 1, Juni 2007
Mulyadi Kartanegara, 2007. MengIslamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, Jakarta: Erlangga.
Mulyadi Kartanegara. 2003. Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam Bandung: Mizan
Peter Berger dan Thomas Luckmann, 1967. The Sosial Construction of Reality, Garden City, NY.: Anchor Books
Peter L. Berger, 1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial (The Sacred Canopy), Terj. Hartono, cet. 1. Jakarta: LP3S
Pritjof Chapra. 2002. Titik Balik Peradaban. Yogyakarta: Bentang
Saefuddin, A.M. 1987. Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam. Jakarta: Rajawali.
Syed Farid Alatas, Agama dan Ilmu-ilmu Sosial, dalam jurnal Ulumul Qur’an Nomor 2, Volume 5 Tahun 1994.
The International Forum On Globalization. 2003. Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan. Jakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Yusuf A. Hasan. “Ilmu Sosial Profetik dan Sejumlah Agenda ke Depan”. Jurnal Mukaddimah No. 6 Tahun 1998.
Zainal Abidin Bagir, “Pengilmuan Islam dan Integrasi Ilmu Dengan Etika: Gagasan Kuntowijoyo”. Makalah Dipresentasikan dalam Diskusi Sehari tentang Pemikiran Kuntowijoyo, Diselenggarakan Masyarakat Yogyakarta untuk Ilmu dan Agama (MYIA) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Sejarah (BKMS) UGM, 26 Mei 2005.
Ziauddin Sardar. 2005. Kembali ke Masa Depan Syariat Sebagai Metodologi Pemecahan Masalah. Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Helmi Mustofa. Jakarta: Serambi.




[1] Muhammad Iswadi. “Ekonomi Islam: Kajian Konsep dan Model Pendekatan”. Mazahib Vol. IV, No. 1, Juni 2007
[2] The International Forum On Globalization. Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan. (Jakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. 2003), 25-32
[3] John Parkins, Pengakuan Bandit Ekonomi Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga. Terj. Wawan Eko Yulianto & Meda Satrio (Jakarta; Ufuk Pree, 2007)
[4] Abdul Manan. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1993)
[5] M. Umar Chafra. The Future Of Economic an Islamic Persfectif. (Jakarta: SEBI. 2001)
[6] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), 362
[7] F. Budi Hardiman. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), 204
[8] David J. Gray, Value Free Sociology: A Doctrine of Hypocrisy and Irresponsibility, dalam Morris L. Medley dan James E. Conyers (Ed.), Sociology for The Seventies, (New York: John Wiley, 1968), 14.
[9] F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, cet. 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 58.
[10] Zainal Abidin Bagir, Pengilmuan Islam dan Integrasi Ilmu Dengan Etika: Gagasan Kuntowijoyo. Makalah Dipresentasikan dalam Diskusi Sehari tentang Pemikiran Kuntowijoyo, Diselenggarakan Masyarakat Yogyakarta untuk Ilmu dan Agama (MYIA) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Sejarah (BKMS) UGM, 26 Mei 2005.
[11] Mulyadi Kartanegara, MengIslamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, (Jakarta: Erlangga, 2007), 2. Lihat juga Mulyadi Kartanegara. Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003)
[12] Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Jakarta: Teraju-Mizan 2004)
[13] Ibid. 6-11
[14] Lihat Kuntowijoyo, Paradigma. Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991)
[15] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu…26
[16] Lihat Ziauddin Sardar. Kembali ke Masa Depan Syariat Sebagai Metodologi Pemecahan Masalah. Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Helmi Mustofa (Jakarta: Serambin, 2005)
[17] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu…93
[18] Ibid. hal. 1
[19] Ibid. hal. 53
[20] Ibid. hal. 57
[21] Husnul Muttaqin. “Menuju Sosiologi Profetik” diakses pada http://id.wordpress pada 19 November 2009.
[22] Kuntowijoyo, Muslim 360-361
[23] Kita dapat menemukan sikap-sikap seperti ini, baik secara eksplisit maupun implisit. Misalnya kita temukan pada tulisan Syed Farid Alatas, Agama dan Ilmu-ilmu Sosial, dalam jurnal Ulumul Qur’an (Nomor 2, Volume 5 Tahun 1994), 47. Lihat juga Ismail Raji Al Faruqi, MengIslamkan Ilmu-Ilmu Sosial’ dalam Abubakar Bagader (ed.), Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial (Islam And Sociological Perspective), Terj. Muchtar Effendi Harahap (Yogyakarta: PLP2M, 1985), 16-17. Lihat juga Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 11. Lihat juga Ziauddin Sardar. Kembali ke Masa Depan. Syariat Sebagai Metodologi Pemecahan Masalah Terj. R. Cecep Lukman Yasin & Helmi Mustofa (Jakarta: Serambi, 2005)
[24] Diungkap Kuntowijoyo dalam makalahnya untuk Seminar dan Lokarya IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 18-19 September 2002
[25] Kuntowijoyo, Muslim 364-365
[26] Lihat Pritjof Chapra. Titik Balik Peradaban. (Yogyakarta: Bentang. 2002)
[27] Menyangkut humanisme teosentris ini lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam 228-230
[28] Kuntowijoyo, Muslim 366-369.
[29] Lihat Saefuddin, A.M. Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam. (Jakarta: Rajawali, 1987)
[30] Lihat juga http://id.wikipedia.org/wiki/kataegori:ilmu_sosial di akses pada 02 Desember 2009
[31] Kuntowijoyo, Muslim…. 358.
[32] Lihat Erich Fromm. Konsep Manusia Menurut Marx. Terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
[33] M. Aunul Abied Shah. Malak Hifni Nashif Bek, Sosok Kartini Lembah Nil: Menggali Akar Feminisme di Dunia Islam dalam buku Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), 151-165
[34] Hal tersebut misalnya diungkap oleh Heru Nugroho, “Mencari Legitimasi Akademik Ilmu Sosial Profetik”, Kedaulatan Rakyat, (13 Desember 1997).
[35] Lihat Max Weber. Sekte-Sekte Protestan dan Semangat Kapitalisme dalam buku Taufik Abdullah, (ed) Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (Jakarta: LP3ES dan Yayasan Obor dan LEKNAS-LIPI, 1982).
[36] Kuntowijoyo, Identitas….224
[37] Ibid
[38] Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif…214
[39] Akh Minhaji. Strategies For Sosial research: The Methodological Imagination In Islamic Studies. Bahan Kuliah untuk Penelitian Dalam Bidang Studi Islam (Yogyakarta: Suka Press, tt), 55
[40] Husnul Muttaqin. Menuju Sosiologi Profetik diakses pada http://id.wordpress pada 19 November 2009
[41] Ibid
[42] Ibid
[43] Lihat F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi….. 86
[44] Ibid. hal. 82-84
[45] Berger membahasnya secara panjang lebar dalam Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial (The Sacred Canopy), Terj. Hartono, cet. 1 (Jakarta: LP3S, 1991), 4-23.
[46] Peter Berger dan Thomas Luckmann, The Sosial Construction of Reality, (Garden City, NY.: Anchor Books, 1967), 93. Lihat juga Irfan Noor. “Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah-Empiris: Kajian Filsafat Ilmu Atas Pemikiran Peter L. Berger”. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, Volume 7 Nomor 2 Juli 2008, 148.
[47] George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Sociology: A Multiple Paradigm Science), Terj. Alimandan (Jakarta: Rajawali Press, 1985), 115.
[48] A. Dimyati. “Redefinisi Keilmuan Ekonomi Islam Indonesia Studi atas Pemikiran Ekonomi Islam Adiwarman Azwar Karim”. Dalam Http://multiply.com/info/about/redefinisi-keilmuan-ekonomi-Islam-indonesia di akses pada 09 Desember 2009
[49] Keterangan lebih lanjut misalnya dapat dilihat pada Adiwarman Karim. Ekonomi Mikro Islami (Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia, 2002), lihat juga Adiwarman Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro (Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia, 2002) dan lihat juga M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami (Yogyakarta: Ekonisia, 2003) disamping juga Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: LPPI-UMY, 2001), terutama Bab II: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
[50] Pada umumnya kritikan tersebut dikelompokkan oleh Arif, seperti yang dikutip oleh M.Husein Sawit, menjadi tiga kelompok besar. Pertama, aliran yang mengatakan Ekonomi Islam merupakan penyesuaian sistem kapitalis atau disebut "the Adjusted Capitalism School". Kedua, disebut dengan kelompok konvensional atau "the Conventional School. Ketiga adalah kelompok perbedaan paham atau "the Sectarian Diversity School"[50] Ada juga pernyataan kritis yang sepintas nampak sederhana namun cukup mendasar: apakah ekonomi Islam merupakan kapitalisme minus riba atau sosialisme plus Islam. Lihat Husein Sawit, Kata Pengantar pada buku Goenawan Moehammad, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam: Suatu Pengantar (Yogyakarta: UII-Press, 2000). xi
[51] Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Jakarta: Teraju-Mizan 2004)
[52] Kuntowijoyo. Ilmu Sosial Profetik: Etika Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial. Dalam buku M. Amin Abdullah Re-Strukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta. (Yogyakarta: Suka Press, 2007), 104
[53] M. Yudi Haryono. “Kuntowijoyo dan Ilmu Sosial Profetik”. Dalam www.yudhieharyono.com di akses pada 09 Desember 2009
[54] Lihat M. Dawam Rahardjo. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: LSAF, 1999)
[55] Lihat misalnya Yusuf A. Hasan. “Ilmu Sosial Profetik dan Sejumlah Agenda ke Depan”. Jurnal Mukaddimah No. 6 Tahun 1998.
[56] AE. Priyono. Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan Prosfek Gerakan Perekonomian Islam. (Yogyakarta: PLP2M, 1985), 5
[57] M. Yudi Haryono. “Kuntowijoyo dan Ilmu Sosial Profetik”. Dalam www.yudhieharyono.com di akses pada 09 Desember 2009

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id