Rabu, 10 November 2010

Tema Hari Ini

Tema Hari Ini Adalah............

A N D A


Mari Bercermin..................

Kamis, 30 September 2010

Konversi PT. Bank NTB Menjadi Bank Syariah: Tentang Mayoritas dan Minoritas

Pendahuluan

Menanggapi aspirasi yang akhir-akhir ini berkembang, yakni terkait dengan aspirasi konversi PT. Bank NTB menjadi bank syariah, ada baiknya disini saya turut sumbang saran. Hal ini perlu dilakukan, mengingat terdapat anggapan sebagian umat (muslim) dan umat beragama yang lain didaerah ini menyangkut Bank NTB syariah hanya diperuntukkan bagi nasabah muslim saja, bahkan bagi sebagian kalangan ada yang mengaitkannya dengan mayoritas penduduk muslim yang didaerah ini mencapai 96% dan sisanya penganut agama lain yang hanya 4% saja.

Tulisan ini akan mencoba melihat hal tersebut yakni tentang mayoritas dan minoritas dan selanjutnya akan ditanggapi tentang konversi PT. Bank NTB menjadi bank syariah.

Tentang Mayoritas dan Minoritas

Membahas persoalan mayoritas-minoritas, selama ini biasanya hanya terbatas soal populasi. Padahal, terdapat substansi yang lebih penting, yakni mayoritas-minoritas pengelolaan asset, pihak yang diberi peluang dan yang belum diperhatikan. Yang timpang disini adalah, mayoritas itu belum mendapat haknya. Itu terjadi karena penduduk disini tidak diperhatikan, sehingga riak-riak yang ada bisa jadi gelombang. Seharusnya tidak perlu demikian jika semuanya mendapat haknya.

Secara historis, sejak zaman Kolonial kita belajar bahwa terdapat tiga strata penduduk Indonesia. Paling tinggi Kolonial, kemudian Timur Asing (Arab dan Cina) dan terakhir Inlander. Kaum Arab telah terasimilasi secara natural dengan pribumi, yang belum atau masih dalam proses adalah kaum Cina. Mereka mendapat hak-hak khusus, termasuk dalam hak mengambil pajak dari masyarakat, hal inilah yang menjadikan mereka masuk lebih dahulu kejalur ekonomi sejak dini. Selanjutnya kita mengetahui bahwa setelah merdeka, dibawah Orde Baru yang selalu mencoba mengadakan proteksi berlapis secara sistemik.

Menyangkut perkembangan kaum Cina dalam perekonomian yang demikian hebatnya, dalam hal ini terdapat gabungan antara kemampuan individu, ketekunan, kerajinan dengan iklim yang kondusif. Sesungguhnya jika kita kaji, bangsa Indonesia ternyata juga memiliki daya juang bisnis yang sangat tinggi, hal ini misalnya diperlihatkan oleh orang Bugis, Minang, Tegal, Tasik dan lainnya. Banyak contoh para pengusaha, tidak terkecuali didaerah ini yang awalnya mereka berasal dari keluarga miskin yang pas-pasan kemudian berubah menjadi pengusaha sukses.

Mekanisme kebijakan Orde Baru saat itu adalah membesarkan kue pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi. Nah, saat itulah orang-orang Cina mendapat porsi yang luar biasa dengan berbagai fasilitas kemudahan, dan ketika mereka telah besar menjadi sulit untuk dihentikan. Disisi lain, pengaruh solidaritas Cina juga cukup besar hal ini misalnya ditunjukkan oleh pertemuan internasional Chinesse Overseas di Hongkong pada 1999, hal ini setidaknya merupakan bentuk penyatuan langkah diperantauan. Namun demikian tidak dapat dinegasikan juga bahwa orang Cina yang bernasib kurang baik juga masih banyak.

Karena itulah dalam hal ini dibutukah adanya pemberdayaan dan pelurusan terhadap konsep pemahaman akan muamalah, misalnya dalam Islam menyangkut pemahaman filosofis meski diluruskan pemahaman tentang ekonomi, sebagaimana yang diutarakan Syafi’i Antonio (1999) menyangkut doktrin kemiskinan, tentang fardhu kifayah. Bahwa menguasai capital market, industry garmen dan lainnya adalah juga fardhu kifayah. Konsep ini terkait dengan pemahaman akan akidah. Kedua, masalah teknis, seorang mukmin disamping harus memiliki sifat-sikap sebagaimana yang dimiliki Rasulullah SAW (yakni: siddiq, amanah, tablig dan fatonah) juga harus cerdas yang berarti professional. Ketiga, struktur ekonomi yang benar-benar berpihak dalam arti yang minoritas tidak lagi diberikan kail, namun harus ditunjukkan dimana kolamnya dan kolam itu harus dipagari. Ketiga aspek ini tentunya tidak dapat berjalan sendiri-sendiri.

Karena itulah terkait dengan hal ini, tugas utama terletak pada pemerintah, tidak terkecuali pemerintah daerah, hal ini dikarenakan masyarakat telah membayar pajak, restribusi dan lainnya yang tentunya hal ini harus dialokasikan untuk masyarakat. Dengan daerah yang kaya juga harus digunakan untuk kepentingan masyarakat. Selanjutnya disinilah peran swasta harus terlibat (kaum aghniya’) dalam hal social insurance (takaful ijtima’i).

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri juga, bahwa kesenjangan antara mayoritas yang minus dana dengan minoritas yang surplus dana makin hari makin terlihat melebar. Jika semuanya dibaiarkan berjalan apa adanya maka yang besar memiliki daya kapitalisasi yang sangat besar, sementara yang kecil sebaliknya makin termiskinkan. Karena itu, dalam konteks daerah saja, jika kita dapat meletakkan dasar-dasar berekonomi (juga berpolitik) yang baik, etis dan syar’i dampaknya akan terjadi proses kompetisi yang sehat. Disini kita tidak dapat menyalahkan Cina yang memang tekun dan rajin. Sementara saudara sesama muslim saja jika ingin menghalalkan segala cara juga meski ditolak.

Kedepan, jangan adalagi praktek curang dalam bisnis dan birokrat, disamping harus didukung pula dengan aturan persaingan usaha yang sehat dan juga hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Faktor-faktor ini tentu bisa ditegakkan jika ada uswah hasanah dari para pemimpin, baik dari tingkat nasional, propinsi hingga kabupaten kota dan lurah/kepala desa.

Tanggapan Atas Konversi PT. Bank NTB Menjadi Bank Syariah

Jika diatas kita telah uraikan tentang mayoritas-minoritas, maka dalam kesempatan ini pula, penulis hendak menyampaikan aspirasinya terkait dengan konversi PT. Bank NTB menjadi Bank Syariah.

Dalam konteks Propinsi NTB, hal ini sangat penting karena menyangkut mayoritas-minoritas tadi, selain itu mengingat bahwa non muslim di Propinsi NTB selain jumlahnya cukup signifikan juga memiliki potensi ekonomi yang besar. Hal ini diperkuat dengan kenyataan pada beberapa wilayah di kabupaten/kota didaerah ini, penduduk non muslimlah yang memiliki akses ekonomi yang signifikan. Hal ini penting untuk dipertimbangkan, terutama menggagas kemungkinan penerapan strategi pengembangan perbankan syariah melalui peningkatan fokus perhatian pada potensi nasabah non muslim. Argumen pokok dan dasar pemikiran yang ingin dikemukakan berlandaskan pada tiga alasan. Pertama, bahwa larangan pemungutan riba, yang merupakan ciri utama bank syariah, ternyata memiliki akar pada ajaran-ajaran non-Islam. Kedua, ternyata secara keseluruhan kinerja perbankan syariah lebih bagus dibandingkan dengan kinerja perbankan konvensional, demikian halnya yang ditunjukkan dengan kinerja UUS dan kantor cabang syariah PT. Bank NTB.

Dalam kaitannya dengan hal inilah perluasan cakupan pasar dengan juga memberikan perhatian pada pasar rasional dan non muslim menemukan relevansinya. Hal ini juga berarti tidak terdapat kekhawatiran yang signifikan atas aspirasi masyarakat yang menghendaki konversi PT. Bank NTB menjadi Bank Syariah. Sebagaimana kita ketahui, hingga saat ini pengembangan perbankan syariah tidak terkecuali sebagaimana disebutkan di atas, semata-mata masih terfokus pada pasar spiritual, yakni kelompok nasabah yang terutama mempertimbangkan kebersihan dan kemurnian transaksi keuangan, serta mengabaikan pasar non muslim. Padahal, bila menilik kondisi demografis masyarakat NTB akan terlihat persebaran yang kurang merata, dimana terdapat wilayah-wilayah yang didominasi masyarakat non muslim dan juga memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Penetrasi perbankan syariah pada pasar non muslim diharapkan juga akan lebih mudah bila melihat kinerja perbankan syariah yang dalam banyak kategori relatif lebih baik dibandingkan dengan perbankan konvensional. Selama ini, kalangan perbankan syariah, juga kantor cabang syariah PT. Bank NTB umumnya masih membidikkan sasaran pada para loyalis syariah atau pasar yang fanatik terhadap syariah. Masih jarang bank syariah yang mencoba menangkap pasar mengambang (floating market) atau pasar yang tidak terlalu fanatik terhadap satu sistem perbankan, konvensional atau syariah. Pasar ini bisa berpindah-pindah, tergantung sistem mana yang lebih menguntungkan.

Pemerintah daerah selaku pemegang saham mayoritas perlu pula memberikan perhatian terhadap aspirasi ini, disamping bagaimana bank syariah PT. Bank NTB memperhatikan pangsa pasar non muslim. Penetrasi terhadap segmen pasar ini diperkirakan akan lebih mudah bila mengingat bahwa ajaran Hindu, Budha, Yahudi dan Kristen pun juga memiliki akar yang kuat mengenai larangan pemungutan riba. Penggarapan pasar rasional dan non muslim, sambil tetap memberikan perhatian kepada umat muslim sebagai pasar spiritual yang utama, diharapkan akan dapat meningkatkan kinerja dan dukungan atas konversi ini dan dalam memberikan pelayanan kepada para nasabahnya di daerah ini. Semoga.

NTB Syariah dan Peran Warga Muhammadiyah NTB dalam Percepatan Konversinya

Pendahuluan

Setelah terjadinya krisis ekonomi, konsep bank Islam semakin menjadi perhatian. Kondisi perbankan pasca krisis telah menimbulkan inspirasi untuk berfikir bahwa sistem bunga ternyata dirasakan merugikan bank sendiri dan nasabahnya serta membuat bank harus membayar kewajiban yang besar terhadap nasabahnya sekalipun secara riel tidak terdapat pemasukan keuntungan. Hal ini juga berdampak pada nasabah pengguna dana yang dihimpit kewajiban membayar kepada bank meskipun tidak memperoleh pendapatan apapun. Situasi ini akhirnya mendorong banker Indonesia memutuskan mendirikan cabang syariah pada bank-bank mereka seperti yang banyak dipraktekkan akibat adanya kebijakan dual banking sistem.

Secara umum konsep bank syariah (bank Islam) tidak hanya menunjuk kepada pengertian suatu bank bebas bunga, suatu bank yang menghindari jasa-jasa pembiayaan yang dilarang Islam. Para ahli yang telah ikut mendiskusikan bank syariah sebagian besar menyepakati bahwa agar suatu bank dapat disebut sebagai bank Islam harus memenuhi sekurang-kurangnya dua kriteria yakni: diselenggarakan dengan tidak melanggar aturan-aturan syariah dan membantu mencapai tujuan-tujuan sosio-ekonomi umat dan masyarakat dengan berpedoman pada tuntutan agama. Bahkan lebih dari itu, bank syariah diharapkan untuk berfungsi tidak semata-mata dalam aspek ekonomi, namun lebih penting lagi sebagai media memelihara nilai-nilai spiritual, pusat pencerahan dalam berekonomi, tempat pendidikan etis dan suatu metode praktis menuju kehormatan umat.

Tulisan ini dimaksudkan untuk menanggapi maraknya aspirasi yang berkembang diseputar konversi PT. Bank NTB menjadi Bank Syariah, selanjutnya akan dilihat bagaimana peran warga muhammadiyah di Propinsi NTB dalam percepatan konversinya. Namun sebelumnya akan dilihat bagaimana Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama menanggapi awal lahir dan berkembangnya perbankan syariah ini.

Tanggapan Muhammadiyah Terhadap Perbankan Bebas Bunga

Di Indonesia perbincangan mengenai masalah perbankan dari segi hukum syariah dan upaya untuk mencari suatu bentuk penyelenggaraan usaha bank yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam telah cukup lama. Diskusi-diskusi mengenai perbankan dilihat dari aspek syariah sudah berkembang di Indonesia sejak tahun tigapuluhan. Ketua HB (Hoefdbestuur) Muhammadiyah tahun 1937 pernah menulis sebuah artikel berjudul “Kedudukan Bank di Dalam Islam” yang dimuat dalam majalah Siaran (No. 1/1 Maret 1937). Di dalam tulisan itu Ia menguraikan bank dengan sistem bunga secara panjang lebar yang intinya Ia menilai tidak sejalan dengan ketentuan syariah (Syamsul Anwar, 1999; 5). Oleh karena itu, Ia menyarankan agar para cendikiawan dan ulama mencari pemecahan bagaimana menyelenggarakan bank yang tidak bertentangan dengan syariah. Sementara menantikan bank syariah hadir, maka bank konvensional dapat diterima dengan alasan darurat.

Pada tahun 1968 dilingkungan Muhammadiyah juga dilahirkan keputusan tarjih mengenai bunga bank yang intinya bunga bank adalah sama dengan riba yang diharamkan dalam al-Qur’an dan Sunnah dan menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya lembaga keuangan yang sesuai dengan kaidah Islam (Himpunan PutusanTarjih Muhammadiyah, tt; 308-309). Kemudian pada tahun 1972 di Wiradesa, Pekalongan Mukhtamar Tarjih menegaskan hal serupa. Muhammadiyah memang sejak tahun 1968 telah mengusulkan untuk diadakannya konsepsi ekonomi dan khususnya perbankan Islam, belum dapat merealisir gagasan besar tersebut. Namun meskipun agar terlambat, konsep tersebut akhirnya dapat terwujud dengan dioperasionalkannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992.

Di lingkungan NU, masalah bank dikaji dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-12 tanggal 25 Maret 1937 di Malang. Keputusannya menyatakan bahwa “Adapun hukumnya bank dan sebunganya itu sama dengan hukumnya gadai yang telah ditetapkan hukumnya dalam putusan Muktamar ke-2 No.28” Maksudnya disini adalah gadai dimana penerima gadai memanfaatkan barang gadaian selama dalam masa pergadaian. Keputusan Muktamar no. 28 itu menyatakan bahwa “Adapun Muktamar memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama (haram)” Maksudnya gadai dengan ketentuan bahwa penerima gadai memanfaatkan barang yang digadaikan tidak dibenarkan. Karena hukum bunga bank disamakan dengan hukum gadai dengan hak memanfaatkan barang gadaian, maka dengan demikian Muktamar NU menyatakan bahwa bunga bank adalah haram hukumnya.

Peran Warga Muhammadiyah Propinsi NTB Dalam Percepatan Konversi PT. Bank NTB Menjadi Bank Syariah

Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat muslim di Propinsi NTB belum sepenuhnya memahami dan mengapresiasi konsep perbankan syariah, sehingga masih banyak juga yang bersikap skeptis atau paling tidak bersikap “wait and see”. Bagi warga Muhammadiyah, tak terkecuali di Propinsi NTB tuntutannya sudah jelas arahnya seperti tertuang dalam putusan tarjih yakni “mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai kaidah Islam”. Kini dalam ukuran relatif, konsepsi itu telah terwujud, tinggal bagaimana warga Muhammadiyah meningkatkan pemahaman dan apresiasinya terhadap perbankan syariah, serta berpartisipasi dalam memberdayakan lembaga keuangan syariah. KH. Ahmad Basyir MA (Alm.) pernah menegaskan bahwa kita harus mendukung setiap upaya yang mencoba mengimplementasikan tuntunan agama Islam ke dalam kehidupan kontemporer termasuk kegiatan ekonomi dan keuangan.

Namun harus diakui memang bahwa permasalahan perbankan syariah bukan hanya terkait dengan semangat keagamaan yang menggebu-gebu. Bank adalah sebuah lembaga kepercayaan. Untuk mendapat simpati dan kepercayaan masyarakat bank syariah harus menunjukkan performance yang meyakinkan, manajemen yang handal dan terpercaya, maka masyarakat akan merasa aman untuk menitipkan dananya pada bank yang demikian, dan lebih dari itu dapat memberikan pelayanan berkualitas dan memberi kepuasan kepada para nasabahnya, disamping yang paling penting yakni bagaimana bank syariah benar-benar menunjukkan komitmen syariah dalam operasionalnya.

Dengan adanya perpaduan antara semangat umat dalam berpartisipasi mendukung pengembangan dan konversi PT. Bank NTB menjadi Bank syariah sebagai tatbiq asy-syari’ah ‘ala mustawa al-hayah al-amaliyah khususan fi al-majal al-iqtisadi di satu pihak dan adanya penampilan yang lebih meyakinkan dengan adanya konversi ditambah jika terpercaya dan amanah dengan manajemen yang handal, maka saya yakin PT. Bank NTB Syariah akan mengalami perkembangan yang signifikan dimasa mendatang. Setidaknya demikianlah yang menjadi harapan kita warga Propinsi NTB.

NTB Syariah Yang (Masih) Berbasis Floating Market

Sistem ekonomi syariah dengan sistem perbankannya akhir-akhir ini makin berkembang tidak hanya di negara-negara Islam tetapi juga negara-negara Barat, hal ini misalnya ditandai dengan makin suburnya bank-bank yang menerapkan konsep syariah. Kalau boleh dikatakan ‘sebuah tonggak’ sejarah baru kebangkitan ekonomi Islam di Indonesia, tepatnya pada 3 November 1991 untuk pertama kalinya sebuah Bank Islam dilaunching pendiriannya di Istana Bogor yang panitia penyelenggaranya diketuai oleh Prof. Dr. Ir. M. Amin Aziz Bank Islam Indonesia ini selanjutnya diberi nama Bank Muamalat Indonesia (BMI).

Untuk propinsi NTB, Bank Pembangunan Daerah Propinsi NTB mulai resmi melounching kantor cabang syariahnya pada 27 April 2005 dengan menerapkan model dual banking system. Saat itu, kantor cabang syariah PT. Bank NTB menjadi satu-satunya tumpuan dan harapan sekitar 96% penduduk muslim NTB, dari total jumlah penduduk Propinsi NTB secara keseluruhan. Bahkan harapan yang sangat besar untuk kapasitas Bank yang baru seumur jagung. Harapan yang tentunya sangat wajar jika dikaitkan dengan suasana emosional yang menghinggapi umat Islam NTB yang sudah puluhan tahun bercita-cita memiliki lembaga keuangan yang menggunakan prinsip syariah yang sekaligus untuk mewujudkan ‘mimpi’ akan kebangkitan ekonomi umat yang hidup dalam lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan baik di desa-desa maupun di kota-kota ibu kota kabupaten/kota didaerah ini.

Memang untuk saat ini, telah beroperasi beberapa kantor cabang syariah perbankan nasional didaerah ini, namun tentunya sebagai salah satu bank pembangunan daerah, keberadaan kantor cabang syariah Bank NTB akan memiliki nilai lebih. Sangat disayangkan pula jika hingga saat ini Bank NTB baru memiliki 1 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 1 kantor cabang syariah yang berlokasi di Pancor, Lombok Timur. Setelah kantor cabang syariah Bank NTB beroperasi sebagai bank yang menerapkan prinsip syariah, frekuensi kegairahan umat Islam di Propinsi NTB untuk menerapkan dan mempraktekkan sistem keuangan syariah dalam aktivitas sehari-hari menjadi tinggi. Namun karena kuatnya jaringan bank konvensional yang dimiliki para konglomerat dan pemerintah yang tangan-tangannya bahkan sampai masuk ke pelosok-pelosok desa dan kecamatan untuk menyedot dana masyarakat, membuat kantor cabang syariah Bank NTB hampir tidak bisa berbuat banyak. Apalagi untuk menyediakan jasa kepada masyarakat yang jauh dari ibu kota/kecamatan di daerah ini.

Kenyataan tersebut di atas menjadikan kantor cabang syariah Bank NTB belum dapat memenuhi banyak harapan masyarakat muslim lapisan bawah yang selama berpuluh-puluh tahun tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah yang memihak pada mereka. Konsekuensinya, umat Islam yang mayoritas berada di level grass root (akar rumput) tidak mendapatkan tempat yang menjadi faktor ‘pertimbangan’ dalam bisnis perbankan besar, karena masyarakat miskin hampir pasti, tidak memiliki nilai bergaining apa-apa dalam sebuah transaksi bisnis perbankan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan banyak umat Islam masih belum merasakan dimana kantor cabang syariah Bank NTB memberikan sentuhan yang berarti kepada mereka sebagai bank yang mengusung nama daerah, utamanya pengusaha makro dan mikro yang relatif tidak mungkin dapat menjangkau persyaratan normal perbankan.

Walhasil kehadiran kantor cabang syariah Bank NTB sebagai bank pembangunan daerah berdasarkan prinsip syariah di tengah-tengah habitat umat Islam NTB belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan ekonomi masayarakat dalam mengembangkan usaha-usaha mikro yang notabene milik mayoritas umat. Hal ini tentu karena kantor cabang syariah Bank NTB sendiri memiliki keterbatasan-keterbatasan yang cukup berarti misalnya masih kurangnya modal usaha, banyaknya saingan bank konvensional yang memiliki dana unlimited dan kecenderungan pragamatis umat Islam sendiri yang masih berorientasi pada bunga bank sehingga lebih memilih menjadi nasabah bank konvensional dan lain sebagainya serta berbagai kelemahan usaha mikro lainnya. Ditambah kantor cabang syariah dan UUS PT. Bank NTB memang masih hanya satu.

Dengan argumen-argumen di atas, maka tulisan ini akan mencoba menyoroti Bank NTB syariah yang masih berbasis floating market yang dengan hal itu akan dilihat signifikansinya dalam menanggapi adanya usulan dan persepsi masyarakat atas konversi Bank NTB menjadi bank syariah.

UUS PT. Bank NTB dan Perkembangan Perbankan Syariah di NTB

Jika kita kembali melihat latar belakang pendirian Unit Usaha Syariah (UUS) PT. Bank NTB, maka setelah melalui proses panjang diawali dengan peresmian operasional kantor cabang syariah pada 27 April 2005 lalu. Beberapa faktor yang menjadi latar belakang pendiriannya diantaranya yakni karena sebagian masyarakat NTB menginginkan adanya sistem perbankan non ribawi (bunga=riba yang diharamkan), potensi pengembangan usaha syariah di NTB memiliki prosfek yang baik, prinsip, sistem dan produk yang aplikatif dengan kebutuhan masyarakat, pemain pasar syariah masih sedikit dan dukungan yang kuat dari para pemegang saham, seperti yang diamanatkan dalam RUPS tahun 2003, (UUS PT. Bank NTB, 2004). Pada masa-masa awal operasinya, keberadaan bank syariah dan pasar syariah belumlah memperoleh perhatian yang optimal dalam tatanan sektor perbankan di Propinsi NTB.

Dalam aspek legal formal, hal ini juga disesuaikan dengan perkembangan bisnis dan usaha perbankan yang cukup menjanjikan dan berprosfek di masa depan. Di sisi lain dengan telah ditetapkannya UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang memberikan beberapa ketentuan kelembagaan untuk perbankan. Pertama, pendirian bank umum syariah (BUS) atau bank perkreditan rakyat syari’ah (BPRS) baru. Kedua, konversi bank umum atau BPR ke bank umum syariah atau BPR syariah. Ketiga, pembukaan kantor cabang syariah oleh bank umum konvensional. Disamping itu dengan telah berlakunya UU No. 21 Tahun 2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya Pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh pembangunan nasional dan pembangunan daerah (Hermansyah, 2009).

Dari data yang ada, hingga saat ini saja, kantor cabang syariah PT. Bank NTB telah mengalami perkembangan usaha hingga 200% (Lombok Post, 6 september 2010). Selain itu, dalam konteks Propinsi NTB sendiri, Bank Indonesia Mataram mencatat hingga Juni 2010 jumlah asset bank syariah di NTB meningkat sebesar 14,8% dan hingga saat ini asset bank syariah di Propinsi NTB tercatat lebih dari Rp. 568 Miliar (Lombok Post, 4 September 2010). Meskipun angka-angka tersebut menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, namun sesungguhnya peran UUS dan kantor cabang syariah PT. Bank NTB masih amatlah kecil dibandingkan dengan, baik perbankan syariah yang lain yang ada didaerah ini terlebih jika dibandingkan dengan perbankan konvensional, baik itu ditinjau dari total asset maupun pembiayaan yang diberikan.

NTB Syariah dan Pemberdayaan Ekonomi Umat

Menurut UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, disebutkan bahwa Bank Syariah sebagai bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Sedangkan prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Dalam menjalankan aktivitasnya, Bank Syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut: pertama, prinsip keadilan. Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara Bank dengan Nasabah. Kedua, prinsip kesederajatan artinya bank syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, risiko, dan keuntungan yang berimbang antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank. Dan ketiga, prinsip ketentraman, dimana produk-produk bank syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah Muamalah Islam, antara lain tidak adanya unsur riba serta penerapan zakat harta. Dengan demikian, nasabah akan merasakan ketentraman lahir maupun batin. Pelaksanaan prinsip-prinsip di atas lah yang merupakan pembeda utama antara bank syariah dengan bank konvensional. (Karnaeen Perwataadmadja & Syafe’i Antonio, 1992).

Disisi lain, setelah lahirnya kantor cabang syariah PT. Bank NTB pada lima tahun lalu, kini di daerah ini telah pula banyak beroperasi lembaga-lembaga baik syariah terlebih perbankan konvensional. Hal ini sedikit banyak menunjukkan adanya perubahan paradigma dalam memahami konsep riba. Di samping itu, dalam dunia perbankan, para bankir dan pemerintah sendiri telah terjadi perubahan paradigma dalam memandang perbankan Islam di Indonesia yang selama krisis ternyata dapat bertahan. Ujian moneter selama krisis tersebut itulah yang sedikitnya membawa implikasi positif bagi sejarah perkembangan perbankan syariah.

Kendati Bank NTB telah membuka cabang syariah dan sudah tumbuh dengan positif dan diterima oleh masyarakat dengan baik, kaum muslim di daerah ini perlu juga bersikap kritis dalam melihat hal tersebut, jangan hanya terkesan “mengejar momentum”. Karena sebagai bank yang menggunakan sistim yang bersumber dari ajaran wahyu, taruhan konsekuensi nama Islam menjadi cukup berat. Artinya taruhan nama ‘agama’ ini tidak boleh dijadikan permainan ekonomi oleh para pelaku perbankan sekedar mengingatkan awal menjamurnya bank konvensional swasta pada dekade 80-an dan 90-an. Karena jika hal itu terjadi, implikasi yang harus ditanggung sangat besar dan berisiko bagi eksistensi agama Islam, umat dan ajaran-ajarannya.

Oleh sebab itu, kemunculan banyak lembaga perbankan berlabel syariah (Islam), khususnya Bank Pembangunan Daerah berdasarkan prinsip syariah janganlah hanya karena faktor euphoria reformasi sebagaimana perilaku masyarakat umum. Akan tetapi memang harus benar-benar karena faktor demand dan faktor keyakinan masyarakat dalam menjalankan proses berekonomi secara halal dan bermartabat. Di samping itu, lembaga perbankan yang menganut sistim syariah tidak serta-merta hanya berorientasi untuk meraup dana dari segmen masyarakat Islam sebanyak-banyaknya tanpa memberi manfaat, kontribusi dan implikasi positif kepada usaha peningkatan kesejahteraan umat secara menyeluruh, utamanya dalam pengembangan usaha kecil dan menengah yang mayoritasnya dimiliki umat Islam yang mencapai 96% didaerah ini.

Kaum muslim didaearah yang dikenal dengan semangat “religius dan seribu masjid” ini tentu tidak mau menyaksikan bank pembangunan daerah dengan unit syariah-nya hanya jadi lembaga yang pandai meraup uang rakyat tetapi tidak pandai membangun ekonomi rakyat. Dengan kata lain, kalaupun usulan dan aspirasi masyarakat untuk mengkonversi Bank NTB menjadi bank syariah janganlah hanya sekedar mengganti kulit-nya saja. Bagi umat Islam di Propinsi NTB bagaimanapun juga, kantor cabang syariah PT. Bank NTB yang telah beroperasi, meskipun masih hanya 1 UUS dan 1 kantor cabang syariah menjadi harapan bagi upaya memberdayakan kehidupan perekonomian mereka. Jadi jangan hanya mengejar keuntungan semata dengan fokus pembiayaan pada usaha-usaha skala besar dan menengah, atau PNS seperti yang selama ini menjadi tren bisnis Bank NTB. Akan tetapi harus secara serius dan sepenuh hati juga berusaha mendorong bangkitnya kekuatan ekonomi umat yang berbasis pada usaha kecil dan kecil-bawah yang mayoritas muslim.

Harapan dan kecemasan tersebut di atas penting diperhatikan, karena kaum muslim di Propinsi NTB tidak menghendaki bank syariah yang merupakan “milik mereka” sama halnya dengan bank konvensional yang lebih tertarik dan memprioritaskan untuk mengurus pembiayaan kepada pengusaha besar dari pada ke pengusaha kecil karena gambaran keuntungan bisnis belum jelas. Kaum muslim di Propinsi NTB juga tidak ingin mendengar lagi pengusaha kecil mengeluh akibat rumitnya proses pinjaman pembiayaan dan berbagai praktek lempar sana, lempar sini.

Arah Tindakan Masa Mendatang

Uraian sebelumnya di atas setidaknya menunjukkan bahwa perbankan syariah yang bersumber dari wahyu dewasa ini telah menemukan form terbaru dalam kehidupan ekonomi masyarakat NTB. Karena itu, konsep ekonomi syariah yang akhir-akhir ini telah menjadi bagian penting dari sistim perekonomian dan keuangan masyarakat, hendaknya harus dikawal eksistensinya dan harus pula disikapi secara proaktif oleh seluruh umat Islam didaerah ini. Bagaimanapun, ekonomi syariah utamanya sistem keuangan syariah yang dipakai dalam operasionalisasi sistem perbankan oleh PT. Bank NTB telah menjadi bagian yang sangat vital dan strategis bagi denyut gerakan perekonomian masyarakat yang mayoritas menganut agama Islam. Setidaknya, ada hal-hal yang patut membuat umat Islam didaerah ini bergembira yaitu telah terjadinya perubahan besar persepsi para pengambil kebijakan keuangan dan moneter terhadap sistem perbankan Islam dengan telah lahirnya UUS dan kantor cabang syariah PT. Bank NTB yang berhasil memperlihatkan prestasi menggembirakan.

Oleh sebab itu, pada masa-masa mendatang PT. Bank NTB dapat memikirkan dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat terkait dengan konversi Bank NTB menjadi Bank Syariah, diharapkan juga mampu membangun gerakan ekonomi rakyat yang kuat dan handal sesuai prinsip-prinsip yang diyakini umat. Tanpa ada usaha memberdayakan ekonomi rakyat yang serius, utamanya ekonomi umat Islam yang berbasis lokal dan grass root, maka kehadiran bank NTB syariah sebagai bank pembangunan daerah akan sia-sia belaka. Dalam upaya mewujudkan harapan umat tersebut, diperlukan arah kebijakan yang jelas dan usaha sungguh-sungguh dari pemerintah daerah selaku pemegang saham mayoritas dan kalangan manajemen perbankan untuk menyusun langkah-langkah, formasi dan model-model hubungan yang sinergis antara bank syariah milik pemerintah daerah dengan umat Islam sehingga keduanya saling mendapatkan keuntungan yang berarti. Paling tidak, sebagai langkah awal PT Bank NTB diminta dapat memperhatikan aspek empowering umat yang masih sesak dalam kantong-kantong kemiskinan dan keterbelakangan. Tentu saja kepada umat Islam di daerah ini juga diminta untuk tetap dan tergabung menjadi nasabah bank syariah PT. Bank NTB yang dengan susah payah telah hadir di daerah ini.

Pesatnya perkembangan perbankan syariah juga diikuti dengan pesatnya kajian dan publikasi mengenai prinsip-prinsip serta praktek-praktek bank syariah. Namun demikian, berbagai kajian dan terbitan tersebut hampir seluruhnya membahas bagaimana strategi sukses mengelola bank syariah dengan memfokuskan pada nasabah muslim sebagai sasaran utamanya. Apakah bank syariah memang tidak sesuai untuk nasabah non muslim? (Yusdani, 2005). Dalam konteks Propinsi NTB, hal ini sangat penting untuk dipikirkan, mengingat bahwa non muslim di Propinsi NTB selain jumlahnya cukup signifikan juga memiliki potensi ekonomi yang besar. Hal ini diperkuat dengan kenyataan pada beberapa wilayah di kabupaten/kota didaerah ini, penduduk non muslimlah yang memiliki akses ekonomi yang signifikan. Hal ini penting untuk dipertimbangkan, terutama menggagas kemungkinan penerapan strategi pengembangan perbankan syariah melalui peningkatan fokus perhatian pada potensi nasabah non muslim. Argumen pokok dan dasar pemikiran yang ingin dikemukakan berlandaskan pada tiga alasan. Pertama, bahwa larangan pemungutan riba, yang merupakan ciri utama bank syariah, ternyata memiliki akar pada ajaran-ajaran non-Islam. (Sutan Remi S., 1999). Kedua, ternyata secara keseluruhan kinerja perbankan syariah lebih bagus dibandingkan dengan kinerja perbankan konvensional, demikian halnya yang ditunjukkan dengan kinerja UUS dan kantor cabang syariah PT. Bank NTB (BI, Maret 2010). Ketiga, berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh PT Bank NTB bekerjasama dengan Universitas Mataram pada 2004, ternyata tidak terdapat perbedaan preferensi yang signifikan dalam pemilihan bank oleh nasabah muslim maupun nasabah non muslim.

Dalam upaya mengembangkan sistem perbankan syariah yang sehat dan mandiri serta guna menjawab tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh sistem perbankan syariah di daerah Propinsi NTB, dan dalam upaya penciptaan efisiensi operasional dan daya saing bank syariah seperti tersebut di atas, perlu diperhatikan pencapaian economies of scale serta economies of scope dari perbankan syariah. Dalam kaitannya dengan hal inilah perluasan cakupan pasar dengan juga memberikan perhatian pada pasar rasional dan non muslim menemukan relevansinya. Hal ini juga berarti tidak terdapat kekhawatiran yang signifikan atas aspirasi masyarakat yang menghendaki konversi PT. Bank NTB menjadi Bank Syariah.

Sebagaimana kita ketahui, hingga saat ini pengembangan perbankan syariah tidak terkecuali sebagaimana disebutkan di atas, semata-mata masih terfokus pada pasar spiritual, yakni kelompok nasabah yang terutama mempertimbangkan kebersihan dan kemurnian transaksi keuangan, serta mengabaikan pasar non muslim. Padahal, bila menilik kondisi demografis masyarakat NTB akan terlihat persebaran yang kurang merata, dimana terdapat wilayah-wilayah yang didominasi masyarakat non muslim dan juga memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Penetrasi perbankan syariah pada pasar non muslim diharapkan juga akan lebih mudah bila melihat kinerja perbankan syariah yang dalam banyak kategori relatif lebih baik dibandingkan dengan perbankan konvensional. Selama ini, kalangan perbankan syariah, juga kantor cabang syariah PT. Bank NTB umumnya masih membidikkan sasaran pada para loyalis syariah atau pasar yang fanatik terhadap syariah. Masih jarang bank syariah yang mencoba menangkap pasar mengambang (floating market) atau pasar yang tidak terlalu fanatik terhadap satu sistem perbankan, konvensional atau syariah. Pasar ini bisa berpindah-pindah, tergantung sistem mana yang lebih menguntungkan.

Pemerintah daerah selaku pemegang saham mayoritas perlu pula memberikan perhatian terhadap aspirasi ini, disamping bagaimana bank syariah PT. Bank NTB memperhatikan pangsa pasar non muslim. Penetrasi terhadap segmen pasar ini diperkirakan akan lebih mudah bila mengingat bahwa ajaran Hindu, Budha, Yahudi dan Kristen pun juga memiliki akar yang kuat mengenai larangan pemungutan riba. Selain itu, dalam pelbagai kategori penting, kinerja perbankan syariah ternyata relatif lebih baik dibandingkan dengan perbankan konvensional. Apalagi, berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan, ternyata tidak terdapat perbedaan preferensi yang signifikan antara nasabah muslim dan nonmuslim dalam kriteria pemilihan sebuah bank. Penggarapan pasar rasional dan non muslim, sambil tetap memberikan perhatian kepada umat muslim sebagai pasar spiritual yang utama, diharapkan akan dapat meningkatkan kinerja dan dukungan atas konversi ini dan dalam memberikan pelayanan kepada para nasabahnya di daerah ini.

Minggu, 26 September 2010

Perjalanan....

Perjalanan...
Coba renungkan berapa jarak yang telah kau tempuh
Coba pikirkan berapa ribu kilometer yang telah kau jejaki

Kini renungkan kembali
Alasan apa yang membuatmu melakukan ini
Telah berapa harga yang harus terbayar karena ini
Lalu, pantaskan Aku mendapatkan ini

Sebuah perjalanan panjang
Biar jauh sudah
Biar habis arah
Wajah tak pernah menyerah
Menginci tanah
Menjual pasrah
Membeli percaya

Dalam sebuah perjalanan sejarah !!!

Sejarah untuk sebuah KEPERCAYAAN

Jumat, 20 Agustus 2010

Kaum Beragama Negeri Ini

Kaum Beragama Negeri Ini

Tuhan lihatlah betapa baik kaum beragama negeri ini

Mereka tak mau kalah dengan kaum beragama lain di negeri-negeri lain

Demi mendapatkan ridha-Mu mereka rela mengorbankan saudara-saudara mereka

Untuk merebut tempat disisi-Mu mereka bahkan tega menyodok dan menikam hamba-hamba-Mu sendiri

Demi memperoleh rahmat-Mu mereka memaafkan kesalahan dan mendiamkan kemungkaran bahkan mendukung kelaliman

Untuk membuktikan keluhuran budi mereka, terhadap setan-pun mereka tak pernah berburuk sangka

Tuhan lihatlah betapa baik kaum beragama negeri ini

Mereka terus membuatkan-Mu rumah-rumah mewah diantara gedung-gedung kota,

hingga ditengah-tengah sawah dengan kubah-kubah megah dan menara-menara menjulang untuk meneriakkan nama-Mu,

menambah sekat dan keder hamba-hamba kecil-Mu yang ingin sowan kepada-Mu

Nama-Mu mereka nyayikan dalam acara hiburan hingga pesta agung kenegaraan

Mereka merasa begitu dekat dengan-Mu hingga masing-masing merasa berhak mewakili-Mu

Yang memiliki kelebihan harta membuktikan kedekatannya dengan harta yang Engkau berikan

Yang memiliki kelebihan kekuasaan membuktikan kedekatannya dengan kekuasaan yang Engkau limpahkan

Yang memiliki kelebihan ilmu membuktikan kedekatannya dengan ilmu yang Engkau karuniakan

Mereka yang Engkau anugrahi kekuatan sering kali bahkan merasa diri Engkau sendiri

Mereka bukan saja ikut menentukan ibadat tapi juga menetapkan siapa ke surga siapa ke neraka

Mereka sakralkan pendapat mereka dan mereka akbarkan semua yang mereka lakukan

Hingga takbir dan ikrar mereka yang kosong bagai perut beduk

Allahu akbar walillahilhamdu

Oleh: K.H. Mustofa Bisri

Ditulis ulang pada 17 Agustus 2010

S y a h a d a t

Inilah kesaksianku, inilah pernyataanku, inilah ikrarku

Laailahaillallah

Tak ada yang boleh memperhambaku kecuali Allah,

Tapi nafsu terus memperhambaku

Laailahaillallah, tak ada yang boleh menguasaiku kecuali Allah,

Tapi kekuasaan terus menguasaiku

Laailahaillallah, tak ada yang boleh menjajahku kecuali Allah,

Tapi materi terus menjajahku

Laailahaillallah, tak ada yang boleh mengaturku kecuali Allah,

Tapi benda mati terus mengaturku

Laailahaillallah, tak ada yang boleh memaksaku kecuali Allah,

Tapi syahwat terus memaksaku

Laailahaillallah, tak ada yang boleh mengancamku kecuali Allah,

Tapi rasa takut terus mengancamku

Laailahaillallah, tak ada yang boleh merekayasaku kecuali Allah,

Tapi kepentingan terus merekayasaku

Laailahaillallah, hanya kepada Allah aku mengharap,

Tapi kepada siapapun Masya Allah aku mengharap.

Laailahaillallah, hanya kepada Allah aku memohon,

Tapi kepada siapapun Masya Allah aku terus memohon

Laailahaillallah, hanya kepada Allah aku bersimpuh,

Tapi kepada apapun Masya Allah aku terus bersimpuh

Laailahaillallah, hanya kepada Allah aku bersujud,

Tapi kepada apapun aku terus bersujud

Laailahaillallah Masya Allah

Oleh: K.H. Mustofa Bisri

Ditulis ulang pada 17 Agustus 2010

Ketika Para Tuan Guru Berkhianat


Ramadhan, tema dan pertanyaan itu mengemuka dibenakku beberapa hari terakhir ini. Dapatkan ini terjadi? aku teringat sebuah pulau dibagian timur Indonesia yang dikenal dengan Pulau Seribu Masjid, Pulau-nya Para Tuan Guru, Pulau Lombok. Uraian berikut akan mencoba melihat hal itu.

Lalu mengapa hingga saat ini “mencari pemecahan” atas keadaan umat di pulau ini makin terpuruk, belum juga ditemukan? Bukankah hal ini terbukti dengan tingkat nilai IPM (Indeks Pembangunan Manusia/ Human Development Index) yang menempati juru kunci, ketimpangan distribusi pendapatan, busung lapar, tergerusnya kelestarian alam dan deret lain yang tidak sejuk untuk disebutkan? Beberapa pertanyaan lain segera mengemuka. Mengapa umat di pulau ini, yang sudah merdeka sejak 65 tahun silam tak juga mampu keluar dari belenggu keterpurukan, kemiskinan, kebodohan, kemelaratan dan ke mana dan di mana saja peran para Tuan Guru selama ini?

Bukankah keberadaan dan perananan para Tuan Guru menjadi penting lantaran langkahnya punya dasar berpijak yang di dalamnya menyimpan gagasan untuk perbaikan menghadapi masa depan umat, baik dari aspek keduniaan terlebih keakhiratan? Maka, di mana pun di bagian lain pulau Lombok ini, para Tuan Guru kerap bertindak sebagai pioner, perintis, dan pemberi pencerahan atas kehidupan umat.

Tema dan pertanyaan “Ketika Para Tuan Guru Berkhianat” yang penulis uraikan saat ini, bukan semata-mata dimaksudkan untuk menyinggung atau menyindir para Tuan Guru. Namun jika ada yang merasa tersinggung itu akan lebih baik juga.

Lalu bagaimana proses pengkhianatan para Tuan Guru tersebut terjadi? Umumnya pengkhianatan para Tuan Guru terjadi manakala bersinggungan dengan kekuasaan. Dan untuk menampilkan kesan hati-hati dan tidak sembarang tuduh. Kita memang akan sangat hati-hati dan tidak selalu mudah memasukkan seorang Tuan Guru ke dalam kategori pengkhianat ataupun pahlawan.

Dan bagaimana kita menilai para Tuan Guru yang telah berjuang dan turut andil dalam mendirikan bangsa Indonesia serta telah mengabdikan dirinya dalam struktur kekuasaan? Kita tidak akan mengatakan bahwa para Tuan Guru yang telah berjuang dan merintis kemerdekaan sebagai pengkhianat. Namun dalam menilai para Tuan Guru yang telah tiada sikap yang terbaik adalah dengan menghargai kebaikan dan jasa-jasa mereka, dan kemudian menilai secara objektif kelemahan dan kekurangan mereka untuk dijadikan cermin. Betapa pun hebatnya seorang Tuan Guru selaku pemimpin umat, pikiran dan gagasannya pasti terikat dengan ruang dan waktu. Oleh sebab itu, kita wajib mengembangkan sikap kritis, tetapi tulus terhadap pikiran, ide, dan doktrin siapa pun, termasuk tuan Guru yang kita kagumi. Karena, hanya dengan cara inilah kita akan dapat meraih tingkat kedewasaan sprirtual dan intelektual, sebagaimana yang mereka cita-citakan dalam perjuangannya.

Memang kategori siapa Tuan Guru pengkhianat dan siapa Tuan Guru pahlawan tidak dapat dibuat terang-benderang dalam kategori yang sederhana. Sebab mengidentifikasi siapa Tuan Guru pengkhianat bagi kita sama sulitnya dengan memberikan definisi tentang siapa itu Tuan Guru. Kita tidak akan memberi definisi yang jelas tentang hal ini, namun paling tidak beberapa atribut-atribut penting sebagai alat untuk mengenali seorang Tuan Guru atau bukan Tuan Guru.

Atribut lain yang perlu ditambahkan bagi seorang Tuan Guru, di samping terpelajar, dia juga harus punya kepekaan dan komitmen terhadap masalah-masalah besar yang menyangkut manusia dan kemanusiaan, tanpa diskriminasi.

Kalau begitu, siapa saja yang telah menjerembabkan umat ini dalam keterpurukan yang tak jua kunjung usai? Masalah bangsa dan masalah umat di pulau Lombok ini, sejak zaman kemerdekaan adalah soal kepemimpinan yang tidak atau kurang bertanggung jawab dalam mengisi kemerdekaan dan memerdekakan serta memberdayakan umat. Umat di pulau Lombok ini umumnya cukup patuh bila para Tuan Guru-nya dapat diteladani. Keteladanan inilah yang semakin sunyi dari waktu ke waktu.

Karena itu, jika para Tuan Guru memang tidak mampu mengurus pulau Lombok yang elok ini serta umat yang beragam ini, agar tidak malu-malu meminjam tenaga lain untuk membantu, termasuk untuk dijadikan “Tuan Guru” dalam perspektif lain yang lebih luas.

Dan jika kondisi buruk ini masih saja berlanjut, maka kita tidak perlu lagi mencari siapa pengkhianat sebenarnya. Lebih baik kita akui bahwa kita semua pengkhianat, tidak kecuali para Tuan Guru!!

Antara ke-Tuan Guru-an dan Politik Praktis

Terdapat banyak perbedaan dalam sebuah tatanan hidup bermasyarakat tak perlu disebutkan yang tampak, namun keberagaman gagasan, ideologi, aliran pemikiran, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan, yang hal ini lebih kita kenal dengan produk akal manusia.

Demokrasi yang merupakan sebuah sistem yang disusun untuk mewadahi pluralitas, karenanya keterbukaan dalam situasi politik saat ini untuk menuju sistem politik yang lebih baik sangat kita harapkan. Namun demikian gejala tersebut setidaknya banyak menimbulkan fenomena baru ditengah masyarakat. Semisal banyaknya tokoh yang tergolong sebagai kiyai, ulama, tuan guru, cendikiawan atau akademisi yang terjun langsung dalam dunia politik praktis, sebagai seorang politikus.

Untuk mengambil beberapa contoh yang telah kita kenal seperti Kiyai H. Zainudin MZ., seorang tokoh teras PBR (Partai Bintang Reformasi), Prof. DR. Amin Rais, yang awaInya adalah seorang akademisi (Dosen FISIP UGM Yogyakarta) dan beberapa nama lain yang telah kita kenal. Pertanyaan yang timbul karenanya yakni apakah fenomena ini dapat kita benarkan?

Sebab bagaimanapun juga, pada mula sejarahnya seorang tuan guru adalah merupakan tokoh pada ranah kultural, sehingga pada saat mereka beralih ruang, yakni ke arena struktural, maka tugas-tugas struktural yang menjadi tanggungjawabnya terabaikan atau bahkan sering terisi oleh yang tidak seharusnya dengan beragam kepentingan yang disisipkan.

Beragam pandangan yang timbul dari kenyataan ini, baik yang pro atau yang kontra, diantara beberapa pandangan tersebut yakni pertama, kalangan yang beranggapan bahwa beberapa tokoh -tak terkecuali yang tidak disebutkan disini telah mencapai titik kejenuhannya untuk hanya sekedar menjadi penonton saja, dan mereka beranggapan bahwa telah saatnya untuk menjadi seorang pemimpin, pemegang otoritas, menjalankan pion, bidak, benteng dan kuda untuk maju satu langkah dari posisi semula yakni kursi kekuasaan. Dengan hal ini kita masih diingatkan oleh satu langkah maju yang dilakukan oleh seorang cendikiawan dinegeri ini yang oleh Gus Dur di sebut sebagai Begawan Turun Gunung, ya dialah Cak Nur.

Kedua, kalangan yang beranggapan bahwa kenyataan ini ialah merupakan suatu bentuk penghianatan, mengapa demikian? Karena seharusnya seorang kiyai, tuan guru, seharusnya tidak terlibat dalam politik praktis yang penuh dengan intrik dan seni yang serba mungkin. Seharusnya seorang tuan guru atau apapun gelar yang disandangnya tetap berada "di atas angin" dan hanya turun sesekali waktu untuk mewejangkan suara kenabian. Hal demikian senada dengan pendapat Sang Penyair Si Burung Merak WS. Rendra.

Ketiga, pandangan yang beranggapan bahwa jika para tuan guru tidak terlibat maka, pengetahuannnya akan masalah yang berkembang akan menjadi abstrak, dan kalaupun terlibat hanya akan menyuarakan hal-hal yang bersifat normatif. Pandangan ini menambahkan bahwa jika hal itu didasari dengan adanya suatu kewajiban untuk memperbaiki tatanan kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara maka hal itu dapat dibenarkan. Namun terdapat beberapa prasyarat agar pendapat tersebut dapat diterima yakni adanya pembuktian bahwa sang tuan guru, kiyai bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) baik itu dalam bidang politik atau bidang yang lain dengan penguasa.

Akan tetapi jika hal itu tidak dapat dibuktikan wal hasil dalam keseharian kita dapat menjumpai bahwa suatu pesta apapun Jenisnya, pernikahan, selamatan dan lainnya tidak akan semarak jika tidak dihadiri oleh beberapa tokoh penguasa dan deretan mobil mewah yang parkir disekitar arena perhelatan, atau tingkah seorang tuan guru yang tidak berkenan hadir untuk mengisi majelis ilmu jika tidak dijemput oleh sebuah mobil mewah dan selembar anplop tebal untuk sekedar berkah.

Dalam beragam pandangan memang terdapat sebagian yang membenarkan misalnya adanya anggapan bahwa hanya sedikit orang yang dapat menjadi tuan guru, ulama dan dibutuhkan orang yang dapat mengambil jarak untuk dapat memberikan inspirasi dan mengatakan kebenaran kenabian. Karenanya anggapan ini tetap mempertahankan agar tuan guru, ulama tetap pada posisinya, namun bagi sebagian yang lain seperti pendapat ketiga di atas mencoba menawarkan agar tuan guru tidak hanya berumah di atas angin saja, dan hal itu diikuti dengan adanya prasyarat.

Dari sisi idealisme kita dapat melihat sampai sejauh mana kesetian seorang tuan guru terhadap peran dan posisinya, walau kita menyadari hanya sebagian kecil yang mampu bertahan dan sebagian yang lain ikut larut dalam kepentingan penguasa. Dalam pandangan ini tak peduli para tuan guru akan memposisikan diri, apakah di dalam pemerintahan, diluar pemerintahan, dalam Partai Politik (Parpol) atau diluar Parpol.

Dalam sejarah keislaman kita sering mendengar istilah ulama sultan yakni ulama yang didefinisikan sebagal ulama yang selalu memberikan legitimasi terhadap kebijaksanaan penguasa. Mereka berfatwa dengan berbagai dalil, dengan tidak mengindahkan tanggungjawab insaniyah dan ilahiahnya. Oleh AI Ghazali ulama sultan ini disebut ulama dunia (ulama suk) yang diantara beberapa cirinya yakni sering berkunjung ke penguasa dan keadaan ini akan berkonsekuensi pada diamnya sang ulama, tuan guru meski melihat kemungkaran penguasa, berkomentar namun hanya basa-basi dan menyaksikan beragam kenikmatan duniawi penguasa yang selanjutnya hal tersebut akan dijadikan perbandingan antara dirinya dengan sang penguasa, keadaan ini akan berdampak pada timbulnya rasa rendah diri dan menilai anugrah Tuhan kepadanya amat kecil. Dari hal ini kita dapat menyaksikan bahwa dasar hubungan yang terbangun, didasari atas hubungan demi keuntungan duniawi, pragmatis dan jangka pendek.

Selanjutnya Quraish Shihab mendefinisikan ulama sebagai orang yang mempunyai pengetahuan tentang ayat-ayat Allah baik yang bersifat qaulliyah atau qur'aniyah. Quraish Shihab. (Wawasan Al Qur’an, 2001). Pertanyaan yang timbul selanjutnya dari beragam, pandangan tersebut yakni bagaimana sebenarnya hubungan yang ideal antara tuan guru dan politik praktis (politikus) itu. Untuk tidak menegasikan beragam pendapat yang lain. Menurut hemat penulis untuk dua jenis pekerjaan tersebut tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain artinya disatu sisi bagi orang yang berada dilapangan bergumul dengan lumpur dan berlaga sangat dibutuhkan.

Dalam keadaan ini seorang yang berpolitik praktis tidak dapat lagi berfikir dengan jernih, karena beragam intrik dan strategi yang digunakan tentunya dikarenakan kesibukan dan rutinitasnya, konsekuensinya, segala tindakan tidak lagi didasari oleh pertimbangan yang matang, baik buruk, apalagi dosa pahala yang penting tujuan tercapai. Disisi lain bagi tuan guru yang kerjanya menyuarakan suara kenabian mengambil jarak dari keterlibatannya terhadap soal-soal praktis dan tidak dibebani oleh intrik yang serba mungkin dan terkadang menjengkelkan, karenanya bagi kalangan ini mungkin lebih banyak waktu untuk dapat berfikir lebih jernih.

Berdasarkan pertimbangan tersebut karenanya kedua jenis pekerjaan ini harus dapat saling melengkapi. Tuan guru dengan kewibawaan alamiahnya dan penguasa berdasarkan jabatannya dapat bersama-sama bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat.

Dalam berhubungan dengan pemerintah seorang tuan guru secara teknis tentunya melewati beragam tahap misalnya tahap dialogis, konsultatif, korektif, protes terbuka dan pada akhirnya mungkin saja oposisi. Namun yang perlu diperhatikan yakni political setting yang hanya ingin bertujuan pragmatis dan jangka pendek, sehingga terkadang tahap awal pelaksanaan tugas dilewati begitu saja.

Jika pendapat terakhir yang diikuti karena dirasa terdapat kekurangan satu atas yang lainnya, maka hal tersebut dapat saja saling melengkapi, dengan kata lain agama merupakan landasan dan penguasa pengawalnya, setiap bangunan tanpa landasan akan ambruk. Dan setiap bangunan tanpa landasan akan sirna. Tanpa para ulama, tuan guru masyarakat akan buta dan tanpa aktivis masyarakat akan lumpuh.

Namun yang perlu ditekankan disini adalah bahwa tugas para ulama, tuan guru itu berat sekali, yakni menjadi sumber kekuatan moral, sesuai dengan firman Allah swt dalam Q.S. At Taubah ayat 122 yang artinya “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya kemedan perang. Mengapa tidak pergi sebagian dari masing-masing golongan untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”

Dalam ayat tersebut tampaknya terkandung bahwa tidak semua orang harus belajar agama, atau demikian juga bahwa tidak semua orang meski harus kemedan perang. Hanya sebagian kecil saja. Oleh karena itu, mestinya orang-orang yang mempelajari agama itu adalah orang-orang yang higly selected. Yakni suatu pasukan elit dengan cirri kecerdasan, dan kemampuan yang sangat tinggi. Kecerdasan disini bukan Cuma intelektual, tapi juga emosional. Karena ketika para ulama, tuan guru harus menjalankan fungsinya sebagai kekuatan moral, maka kekuatan itu sendiri adalah otoritas moral dan etik (Nurcholish Madjid, 2001). Seorang ulama, tuan guru, akan kehilangan kredibilitasnya jika menganjurkan sesuatu yang ia sendiri tidak kerjakan, atau sebaliknya, melarang sesuatu yang ia sendiri kerjakan. Karenanya ulama, tuan guru disatu sisi memiliki otoritas intelektual dan pada sisi yang lain juga memiliki otoritas moral. Ulama, tuan guru itu sendiri memang harus pilihan.

Akhirnya yang perlu juga untuk diingat yakni kita membutuhkan para tuan guru yang independen artinya tuan guru yang dapat mengambil jarak dari kekuasaan duniawi. Dan mereka akan selalu memberi inspirasinya bagi pelaksana operasi di lapangan, walau terkadang mereka harus menempuh jalan yang terkadang lebih sunyi dan berduri dalam menyuarakan suara kebenaran kenabian, terutama di saat tarikan keduniawian korupsi yang menggila dari sang tim suksesi untuk penguasa tiran.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Ramadhan : Esensialisme dan Keberagaman

Marhaban yaa Ramadhan. Ramadhan di Indonesia dari tahun ke tahun memiliki “tema” yang berbeda-beda. Terlebih jika kita perhatikan dan menyimak tema Ramadhan yang diusung oleh beragam media massa di negeri ini.

Suasana menyambut datangnya bulan suci ini acap kali juga dijadikan salah satu tolak ukur dalam menilai ‘kebangkitan ummat Islam’ dinegeri yang mayoritas berpenduduk muslim. Penilaian tersebut juga beragam dari “kemenangan”, “kebangkitan” hingga toleransi dan ketidakberdayaan. Ramadhan juga sering dijadikan salah satu strategi esensialisme dimana symbol-simbol keagamaan (Islam) kembali ditampilkan dalam keberagaman corak dan pemahamannya.

Charles Taylor (1992) –dalam Christine Susanna Tjin (2006)- menjelaskan bahwa dinamika identitas tidak terlepas dari politik pengakuan yang memiliki karakter dialogis. Identitas individu terbentuk melalui proses dialog antar individu itu dengan individu atau kelompok lain. Pada tataran publik, wacana identitas Islam merupakan titik keseimbangan antara politik universalisme Islam, sebuah pemahaman bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin dengan demikian bersifat universal, untuk tiap masa, waktu dan tempat. Kedua, politik beberagaman, dimana keanekaragaman suatu identitas diakui. Hal ini lahir dari peningkatan pemahaman terhadap keberagaman manusia seiring perkembangan zaman.

Saat universalisme menjadi titik tekan maka esensialisme akan menjadi salah satu strategi untuk menolak penyeragaman. Strategi ini kerap menggunakan symbol-simbol lama (historis) atau menciptakan symbol-simbol baru (kekinian) yang dianggap mewakili atau bahkan mengandung esensi. Namun meski juga disadari bahwa esensialisme tidak melulu efektif dijadikan strategi terdepan karena ia memiliki kecendrungan terlalu asik dengan symbol, tanpa memperhatikan substansi. (Kompas, 12/08/2006).

Contoh menarik untuk hal ini yakni, organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) dalam Musyawarah Nasional (Munas) alim ulama di Surabaya beberapa tahun lalu. NU tegas menolak formalisasi syariat, yang harus diamalkan adalah esensinya dalam konteks keberagaman dan kebangsaan. Secara khusus NU menolak peraturan daerah yang secara eksplisit disebut Perda Syariat. Hal tersebut didasari asumsi bahwa pancasila adalah pilihan final yang meniscayakan penghargaan atas keberagaman (Kompas, 12/08/2006). Contoh lain misalnya dalam Kabinet RI pertama yang dikenal dengan sebutan ‘Kabinet Soekarno’ yang berumur pendek, tidak disebut-sebut Kementrian Agama. Namun baru dalam kabinet berikutnya lembaga tersebut dicantumkan. Dan sejak saat itu tidak pernah ‘hilang dari peredaran‘. Kabinet kedua tersebut dikenal dengan Kabinet Sjahrir. Pertanyaannya adalah mengapa Soekarno yang senang bergulat dengan pemikiran-pemikiran Islam justru tidak mau mencantumkan kementrian agama dalam kabinetnya. Sedangkan Sjahrir yang diklasifikasikan ‘tokoh sekuler’ justru menciptakannya? Rasanya mustahil. Sjahrir sendiri tidak pernah percaya bahwa keimanan dapat dikonkretkan kedalam sebuah lembaga, tanpa kehilangan kreativitas dan elannya. Lalu mengapa?

Jawabannya tentu saja kepentingan nasional. Tanpa kementrian agama, ‘golongan Islam’ tidak dapat menerima pemerintahan sah yang dipimpinnya. Dan sebagai pemimpin bangsa ia harus memperhatikan aspirasi kelompok-kelompok lain. Sedangkan Soekarno tidak dihadapkan pada tuntutan itu, ketika membentuk kabinet pertama. Atau setidak-tidaknya tidak menganggap penting aspirasi ‘ummat beragama’ itu (Abdurrahman Wahid, 2000).

Jika kebangkitan ummat (Islam) di negeri ini hanya diukur berdasarkan penyambutan dan ritus Ramadhan, sepertinya kita terlalu menyederhanakan hal tersebut. Simplikasi itu seakan mengenyampingkan prestasi-prestasi yang telah diraih ummat Islam dinegeri ini. Meskipun hal tersebut diperoleh melalui tarik ulur keterlibatan atau tidak, formalisasi atau tidak dan lain sebagainya.

Ernest Renan pernah mengatakan bahwa bangsa bukanlah sesuatu yang kekal, mereka akan muncul dan akan lenyap. Kita tentu tidak menginginkan lenyapnya bangsa ini, karenanya mau tidak mau kita juga harus belajar dari sejarah, jika antar warga bangsa ini bisa saling menghormati dan menghargai keberagaman. Hal ini tentu akan memudahkan sinergi menuju kejayaan bangsa. Karenanya prasyarat awal berupa tingkat pendewasaan ummat dan pemahaman akan substansi dari keberagaman meski terus dipupuk dan ditumbuhkembangkan.

Kita telah memilih demokrasi pancasila untuk kehidupan beragama, termasuk di dalamnya antar etnis dan agama. Dalam demokrasi pancasila semua etnis, semua agama mendapat tempat terhormat. Karena dalam demokrasi pancasila ditetapkan prinsip toleransi sebagai penghormatan keragaman diantara warganya. Jika tidak semacam ‘menyongsong perbedaan’ diantara warganya, dan hal inilah yang setidaknya mulai saat ini kita renungkan.

Jika terdapat konflik, coba diselesaikan dengan cara-cara beradab seperti musyawarah untuk mufakat. Segala fanatisme agama atau rivalitas etnis atau superioritas ras tidak diakui karena keberagaman meski dihargai. Hal tersebut setidaknya juga pernah dipraktekkan Nabi Muhammad SAW saat Beliau memimpin Negara Madinah. Demikian halnya dengan para khulafaurrosyidun. Dengan demikian esensialisme dan keberagaman dalam Ramadhan kali ini tentunya akan memberikan semacam nuansa baru bagi bangsa Negara ini.

Kiranya Ramadhan kali ini dapat dijadikan momentum untuk menyadari dan menyambut keberagaman. Siapa tahu dari sini akan muncul kerinduan untuk makin terpanggil mengimplementasikan semangat keberagaman dan menunjukkan esensialisme Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id