Sabtu, 14 Agustus 2010

Ramadhan : Esensialisme dan Keberagaman

Marhaban yaa Ramadhan. Ramadhan di Indonesia dari tahun ke tahun memiliki “tema” yang berbeda-beda. Terlebih jika kita perhatikan dan menyimak tema Ramadhan yang diusung oleh beragam media massa di negeri ini.

Suasana menyambut datangnya bulan suci ini acap kali juga dijadikan salah satu tolak ukur dalam menilai ‘kebangkitan ummat Islam’ dinegeri yang mayoritas berpenduduk muslim. Penilaian tersebut juga beragam dari “kemenangan”, “kebangkitan” hingga toleransi dan ketidakberdayaan. Ramadhan juga sering dijadikan salah satu strategi esensialisme dimana symbol-simbol keagamaan (Islam) kembali ditampilkan dalam keberagaman corak dan pemahamannya.

Charles Taylor (1992) –dalam Christine Susanna Tjin (2006)- menjelaskan bahwa dinamika identitas tidak terlepas dari politik pengakuan yang memiliki karakter dialogis. Identitas individu terbentuk melalui proses dialog antar individu itu dengan individu atau kelompok lain. Pada tataran publik, wacana identitas Islam merupakan titik keseimbangan antara politik universalisme Islam, sebuah pemahaman bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin dengan demikian bersifat universal, untuk tiap masa, waktu dan tempat. Kedua, politik beberagaman, dimana keanekaragaman suatu identitas diakui. Hal ini lahir dari peningkatan pemahaman terhadap keberagaman manusia seiring perkembangan zaman.

Saat universalisme menjadi titik tekan maka esensialisme akan menjadi salah satu strategi untuk menolak penyeragaman. Strategi ini kerap menggunakan symbol-simbol lama (historis) atau menciptakan symbol-simbol baru (kekinian) yang dianggap mewakili atau bahkan mengandung esensi. Namun meski juga disadari bahwa esensialisme tidak melulu efektif dijadikan strategi terdepan karena ia memiliki kecendrungan terlalu asik dengan symbol, tanpa memperhatikan substansi. (Kompas, 12/08/2006).

Contoh menarik untuk hal ini yakni, organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) dalam Musyawarah Nasional (Munas) alim ulama di Surabaya beberapa tahun lalu. NU tegas menolak formalisasi syariat, yang harus diamalkan adalah esensinya dalam konteks keberagaman dan kebangsaan. Secara khusus NU menolak peraturan daerah yang secara eksplisit disebut Perda Syariat. Hal tersebut didasari asumsi bahwa pancasila adalah pilihan final yang meniscayakan penghargaan atas keberagaman (Kompas, 12/08/2006). Contoh lain misalnya dalam Kabinet RI pertama yang dikenal dengan sebutan ‘Kabinet Soekarno’ yang berumur pendek, tidak disebut-sebut Kementrian Agama. Namun baru dalam kabinet berikutnya lembaga tersebut dicantumkan. Dan sejak saat itu tidak pernah ‘hilang dari peredaran‘. Kabinet kedua tersebut dikenal dengan Kabinet Sjahrir. Pertanyaannya adalah mengapa Soekarno yang senang bergulat dengan pemikiran-pemikiran Islam justru tidak mau mencantumkan kementrian agama dalam kabinetnya. Sedangkan Sjahrir yang diklasifikasikan ‘tokoh sekuler’ justru menciptakannya? Rasanya mustahil. Sjahrir sendiri tidak pernah percaya bahwa keimanan dapat dikonkretkan kedalam sebuah lembaga, tanpa kehilangan kreativitas dan elannya. Lalu mengapa?

Jawabannya tentu saja kepentingan nasional. Tanpa kementrian agama, ‘golongan Islam’ tidak dapat menerima pemerintahan sah yang dipimpinnya. Dan sebagai pemimpin bangsa ia harus memperhatikan aspirasi kelompok-kelompok lain. Sedangkan Soekarno tidak dihadapkan pada tuntutan itu, ketika membentuk kabinet pertama. Atau setidak-tidaknya tidak menganggap penting aspirasi ‘ummat beragama’ itu (Abdurrahman Wahid, 2000).

Jika kebangkitan ummat (Islam) di negeri ini hanya diukur berdasarkan penyambutan dan ritus Ramadhan, sepertinya kita terlalu menyederhanakan hal tersebut. Simplikasi itu seakan mengenyampingkan prestasi-prestasi yang telah diraih ummat Islam dinegeri ini. Meskipun hal tersebut diperoleh melalui tarik ulur keterlibatan atau tidak, formalisasi atau tidak dan lain sebagainya.

Ernest Renan pernah mengatakan bahwa bangsa bukanlah sesuatu yang kekal, mereka akan muncul dan akan lenyap. Kita tentu tidak menginginkan lenyapnya bangsa ini, karenanya mau tidak mau kita juga harus belajar dari sejarah, jika antar warga bangsa ini bisa saling menghormati dan menghargai keberagaman. Hal ini tentu akan memudahkan sinergi menuju kejayaan bangsa. Karenanya prasyarat awal berupa tingkat pendewasaan ummat dan pemahaman akan substansi dari keberagaman meski terus dipupuk dan ditumbuhkembangkan.

Kita telah memilih demokrasi pancasila untuk kehidupan beragama, termasuk di dalamnya antar etnis dan agama. Dalam demokrasi pancasila semua etnis, semua agama mendapat tempat terhormat. Karena dalam demokrasi pancasila ditetapkan prinsip toleransi sebagai penghormatan keragaman diantara warganya. Jika tidak semacam ‘menyongsong perbedaan’ diantara warganya, dan hal inilah yang setidaknya mulai saat ini kita renungkan.

Jika terdapat konflik, coba diselesaikan dengan cara-cara beradab seperti musyawarah untuk mufakat. Segala fanatisme agama atau rivalitas etnis atau superioritas ras tidak diakui karena keberagaman meski dihargai. Hal tersebut setidaknya juga pernah dipraktekkan Nabi Muhammad SAW saat Beliau memimpin Negara Madinah. Demikian halnya dengan para khulafaurrosyidun. Dengan demikian esensialisme dan keberagaman dalam Ramadhan kali ini tentunya akan memberikan semacam nuansa baru bagi bangsa Negara ini.

Kiranya Ramadhan kali ini dapat dijadikan momentum untuk menyadari dan menyambut keberagaman. Siapa tahu dari sini akan muncul kerinduan untuk makin terpanggil mengimplementasikan semangat keberagaman dan menunjukkan esensialisme Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id