Jumat, 20 Agustus 2010

Antara ke-Tuan Guru-an dan Politik Praktis

Terdapat banyak perbedaan dalam sebuah tatanan hidup bermasyarakat tak perlu disebutkan yang tampak, namun keberagaman gagasan, ideologi, aliran pemikiran, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan, yang hal ini lebih kita kenal dengan produk akal manusia.

Demokrasi yang merupakan sebuah sistem yang disusun untuk mewadahi pluralitas, karenanya keterbukaan dalam situasi politik saat ini untuk menuju sistem politik yang lebih baik sangat kita harapkan. Namun demikian gejala tersebut setidaknya banyak menimbulkan fenomena baru ditengah masyarakat. Semisal banyaknya tokoh yang tergolong sebagai kiyai, ulama, tuan guru, cendikiawan atau akademisi yang terjun langsung dalam dunia politik praktis, sebagai seorang politikus.

Untuk mengambil beberapa contoh yang telah kita kenal seperti Kiyai H. Zainudin MZ., seorang tokoh teras PBR (Partai Bintang Reformasi), Prof. DR. Amin Rais, yang awaInya adalah seorang akademisi (Dosen FISIP UGM Yogyakarta) dan beberapa nama lain yang telah kita kenal. Pertanyaan yang timbul karenanya yakni apakah fenomena ini dapat kita benarkan?

Sebab bagaimanapun juga, pada mula sejarahnya seorang tuan guru adalah merupakan tokoh pada ranah kultural, sehingga pada saat mereka beralih ruang, yakni ke arena struktural, maka tugas-tugas struktural yang menjadi tanggungjawabnya terabaikan atau bahkan sering terisi oleh yang tidak seharusnya dengan beragam kepentingan yang disisipkan.

Beragam pandangan yang timbul dari kenyataan ini, baik yang pro atau yang kontra, diantara beberapa pandangan tersebut yakni pertama, kalangan yang beranggapan bahwa beberapa tokoh -tak terkecuali yang tidak disebutkan disini telah mencapai titik kejenuhannya untuk hanya sekedar menjadi penonton saja, dan mereka beranggapan bahwa telah saatnya untuk menjadi seorang pemimpin, pemegang otoritas, menjalankan pion, bidak, benteng dan kuda untuk maju satu langkah dari posisi semula yakni kursi kekuasaan. Dengan hal ini kita masih diingatkan oleh satu langkah maju yang dilakukan oleh seorang cendikiawan dinegeri ini yang oleh Gus Dur di sebut sebagai Begawan Turun Gunung, ya dialah Cak Nur.

Kedua, kalangan yang beranggapan bahwa kenyataan ini ialah merupakan suatu bentuk penghianatan, mengapa demikian? Karena seharusnya seorang kiyai, tuan guru, seharusnya tidak terlibat dalam politik praktis yang penuh dengan intrik dan seni yang serba mungkin. Seharusnya seorang tuan guru atau apapun gelar yang disandangnya tetap berada "di atas angin" dan hanya turun sesekali waktu untuk mewejangkan suara kenabian. Hal demikian senada dengan pendapat Sang Penyair Si Burung Merak WS. Rendra.

Ketiga, pandangan yang beranggapan bahwa jika para tuan guru tidak terlibat maka, pengetahuannnya akan masalah yang berkembang akan menjadi abstrak, dan kalaupun terlibat hanya akan menyuarakan hal-hal yang bersifat normatif. Pandangan ini menambahkan bahwa jika hal itu didasari dengan adanya suatu kewajiban untuk memperbaiki tatanan kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara maka hal itu dapat dibenarkan. Namun terdapat beberapa prasyarat agar pendapat tersebut dapat diterima yakni adanya pembuktian bahwa sang tuan guru, kiyai bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) baik itu dalam bidang politik atau bidang yang lain dengan penguasa.

Akan tetapi jika hal itu tidak dapat dibuktikan wal hasil dalam keseharian kita dapat menjumpai bahwa suatu pesta apapun Jenisnya, pernikahan, selamatan dan lainnya tidak akan semarak jika tidak dihadiri oleh beberapa tokoh penguasa dan deretan mobil mewah yang parkir disekitar arena perhelatan, atau tingkah seorang tuan guru yang tidak berkenan hadir untuk mengisi majelis ilmu jika tidak dijemput oleh sebuah mobil mewah dan selembar anplop tebal untuk sekedar berkah.

Dalam beragam pandangan memang terdapat sebagian yang membenarkan misalnya adanya anggapan bahwa hanya sedikit orang yang dapat menjadi tuan guru, ulama dan dibutuhkan orang yang dapat mengambil jarak untuk dapat memberikan inspirasi dan mengatakan kebenaran kenabian. Karenanya anggapan ini tetap mempertahankan agar tuan guru, ulama tetap pada posisinya, namun bagi sebagian yang lain seperti pendapat ketiga di atas mencoba menawarkan agar tuan guru tidak hanya berumah di atas angin saja, dan hal itu diikuti dengan adanya prasyarat.

Dari sisi idealisme kita dapat melihat sampai sejauh mana kesetian seorang tuan guru terhadap peran dan posisinya, walau kita menyadari hanya sebagian kecil yang mampu bertahan dan sebagian yang lain ikut larut dalam kepentingan penguasa. Dalam pandangan ini tak peduli para tuan guru akan memposisikan diri, apakah di dalam pemerintahan, diluar pemerintahan, dalam Partai Politik (Parpol) atau diluar Parpol.

Dalam sejarah keislaman kita sering mendengar istilah ulama sultan yakni ulama yang didefinisikan sebagal ulama yang selalu memberikan legitimasi terhadap kebijaksanaan penguasa. Mereka berfatwa dengan berbagai dalil, dengan tidak mengindahkan tanggungjawab insaniyah dan ilahiahnya. Oleh AI Ghazali ulama sultan ini disebut ulama dunia (ulama suk) yang diantara beberapa cirinya yakni sering berkunjung ke penguasa dan keadaan ini akan berkonsekuensi pada diamnya sang ulama, tuan guru meski melihat kemungkaran penguasa, berkomentar namun hanya basa-basi dan menyaksikan beragam kenikmatan duniawi penguasa yang selanjutnya hal tersebut akan dijadikan perbandingan antara dirinya dengan sang penguasa, keadaan ini akan berdampak pada timbulnya rasa rendah diri dan menilai anugrah Tuhan kepadanya amat kecil. Dari hal ini kita dapat menyaksikan bahwa dasar hubungan yang terbangun, didasari atas hubungan demi keuntungan duniawi, pragmatis dan jangka pendek.

Selanjutnya Quraish Shihab mendefinisikan ulama sebagai orang yang mempunyai pengetahuan tentang ayat-ayat Allah baik yang bersifat qaulliyah atau qur'aniyah. Quraish Shihab. (Wawasan Al Qur’an, 2001). Pertanyaan yang timbul selanjutnya dari beragam, pandangan tersebut yakni bagaimana sebenarnya hubungan yang ideal antara tuan guru dan politik praktis (politikus) itu. Untuk tidak menegasikan beragam pendapat yang lain. Menurut hemat penulis untuk dua jenis pekerjaan tersebut tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain artinya disatu sisi bagi orang yang berada dilapangan bergumul dengan lumpur dan berlaga sangat dibutuhkan.

Dalam keadaan ini seorang yang berpolitik praktis tidak dapat lagi berfikir dengan jernih, karena beragam intrik dan strategi yang digunakan tentunya dikarenakan kesibukan dan rutinitasnya, konsekuensinya, segala tindakan tidak lagi didasari oleh pertimbangan yang matang, baik buruk, apalagi dosa pahala yang penting tujuan tercapai. Disisi lain bagi tuan guru yang kerjanya menyuarakan suara kenabian mengambil jarak dari keterlibatannya terhadap soal-soal praktis dan tidak dibebani oleh intrik yang serba mungkin dan terkadang menjengkelkan, karenanya bagi kalangan ini mungkin lebih banyak waktu untuk dapat berfikir lebih jernih.

Berdasarkan pertimbangan tersebut karenanya kedua jenis pekerjaan ini harus dapat saling melengkapi. Tuan guru dengan kewibawaan alamiahnya dan penguasa berdasarkan jabatannya dapat bersama-sama bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat.

Dalam berhubungan dengan pemerintah seorang tuan guru secara teknis tentunya melewati beragam tahap misalnya tahap dialogis, konsultatif, korektif, protes terbuka dan pada akhirnya mungkin saja oposisi. Namun yang perlu diperhatikan yakni political setting yang hanya ingin bertujuan pragmatis dan jangka pendek, sehingga terkadang tahap awal pelaksanaan tugas dilewati begitu saja.

Jika pendapat terakhir yang diikuti karena dirasa terdapat kekurangan satu atas yang lainnya, maka hal tersebut dapat saja saling melengkapi, dengan kata lain agama merupakan landasan dan penguasa pengawalnya, setiap bangunan tanpa landasan akan ambruk. Dan setiap bangunan tanpa landasan akan sirna. Tanpa para ulama, tuan guru masyarakat akan buta dan tanpa aktivis masyarakat akan lumpuh.

Namun yang perlu ditekankan disini adalah bahwa tugas para ulama, tuan guru itu berat sekali, yakni menjadi sumber kekuatan moral, sesuai dengan firman Allah swt dalam Q.S. At Taubah ayat 122 yang artinya “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya kemedan perang. Mengapa tidak pergi sebagian dari masing-masing golongan untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”

Dalam ayat tersebut tampaknya terkandung bahwa tidak semua orang harus belajar agama, atau demikian juga bahwa tidak semua orang meski harus kemedan perang. Hanya sebagian kecil saja. Oleh karena itu, mestinya orang-orang yang mempelajari agama itu adalah orang-orang yang higly selected. Yakni suatu pasukan elit dengan cirri kecerdasan, dan kemampuan yang sangat tinggi. Kecerdasan disini bukan Cuma intelektual, tapi juga emosional. Karena ketika para ulama, tuan guru harus menjalankan fungsinya sebagai kekuatan moral, maka kekuatan itu sendiri adalah otoritas moral dan etik (Nurcholish Madjid, 2001). Seorang ulama, tuan guru, akan kehilangan kredibilitasnya jika menganjurkan sesuatu yang ia sendiri tidak kerjakan, atau sebaliknya, melarang sesuatu yang ia sendiri kerjakan. Karenanya ulama, tuan guru disatu sisi memiliki otoritas intelektual dan pada sisi yang lain juga memiliki otoritas moral. Ulama, tuan guru itu sendiri memang harus pilihan.

Akhirnya yang perlu juga untuk diingat yakni kita membutuhkan para tuan guru yang independen artinya tuan guru yang dapat mengambil jarak dari kekuasaan duniawi. Dan mereka akan selalu memberi inspirasinya bagi pelaksana operasi di lapangan, walau terkadang mereka harus menempuh jalan yang terkadang lebih sunyi dan berduri dalam menyuarakan suara kebenaran kenabian, terutama di saat tarikan keduniawian korupsi yang menggila dari sang tim suksesi untuk penguasa tiran.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id