Senin, 29 Juni 2009

Tentang Narkoba

Masyarakat Indonesia terus-menerus dicekam oleh permasalahan yang amat sangat serius, betapa tidak skandal Bank Bali, kasus Bullogate I dan II yang mengguncang perpolitikan Nasional belum juga teratasi, masalah Tim-Tim yang masih menyimpan teka-teki, belum lagi masalah kebijakan pemerintah terhadap Tarif Dasar Listrik (TDL), dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang banyak mengundang kontroversi, masalah narkotika dan obat-obat terlarang (Narkoba), kini telah benar-benar membahayakan malah semakin muncul ke permukaan terlebih di daerah kita ini pulau Lombok, pulau yang dikenal dengan sebutan pulau seribu masjid, ironis sekali.
Perdagangan narkoba akhir-akhir ini makin meluas, sasarannyapun tidak tanggung-tanggung dan menembus hampir seluruh lapisan. Peredarannya malah sudah sedemikian parahnya kepulau seribu masjid ini, betapa tidak kenyataan tersebut begitu mencemaskan dan memprihatinkan bagi seluruh masyarakat dan pemerintah tentunya. Seperti pernyataan mantan Mensesneg/Menkeh Muladi pada harian Republika (19/8/99) “Masalah Narkotika”, kata Muladi “Sudah sangat berbahaya bahkan telah menjangkau murid-murid Sekolah Dasar sehingga saya perlu membawanya ke Rakor Polkam”, menurut Muladi Indonesia kini telah menjadi tujuan bisnis bagi peredaran global narkotika, dan bukan hanya sebegai tempat transit. Demikian pula dalam sarasehan dengan tema “Malapetaka Korban Ketergantungan Narkotika dan Obat Terlarang” yang diselenggarakan oleh Kompas (13/0/99) disebutkan, bahwa setiap tahun terdapat lebih dari 130.000 pecandu narkoba dan kebanyakan dari pecandu itu adalah anak-anak muda (Info Aktual, 18/9/99). Sering dengan itu korban tewas akibat over dosis (kelebihan dosis). Di ibu kota Jakarta pada tahun 1999 menunjukkan peningkatan 2-3 kali lipat dari tahun sebelumnya dan diperkirakan setiap harinya terdapat dua orang korban tewas (Republika, 14/9/99), kenyataan masalah narkotika seperti yang terjadi itulah setidaknya dapat menimbulkan kekhawatiran untuk kita semua, kemana generasi kita akan diarahkan jika tidak ada yang peduli, dan mengapa, haruskah hal itu akan terjadi?.
Narkoba melalui jenis dan berbagai mereknya beredar melalui jaringan yang sangat rapi dan tentu terkait dengan jaringan pengedar Narkoba Internasional, kerapihan itupun dapat ditunjukkan dengan terlibatnya oknum aparat (setidaknya terbukti adanya indikasi hal tersebut dengan adanya bukti penangkapan seorang perwira TNI). Adapun bukti-bukti hubungannya dengan sindikat pengedar Internasional kita dapat melihat dan menontonnya langsung kasus serupa yang diliput oleh Fakta dengan para pelakunya di Bandara Soekarno Hatta beberapa minggu lalu.
Sebenarnya masalah narkoba ini sudah berkembang cukup lama, tapi tidak mendapatkan perhatian yang cukup serius, misalnya pada tahun 1995-1999, ganja, obat bius, alkohol makin marak dan menjadi-jadi. Jadi dengan kata lain penyebab utama meluasnya peredaran narkoba dengan segala aksesnya yang ditimbulkannya ialah tidak adanya keseriusan dan ketegasan pemerintah dan aparat dalam menangani persoalan narkoba, minimnya peran para alim ulama dalam mencermati masalah ini. Dan jika hal ini terus berlangsung mau dibawa kemana amanah Allah itu, generasi muda dan anak-anak kita, mengapa tidak dari sekarang kita peduli dan membuka mata kita untuk Ganyang Narkoba, Ibu kota Jakarta bisa, Mengapa Lombok tidak? Apakah kita harus menunggu jatuhnya korban yang lebih banyak.
Ganyang narkoba demi menyelamatkan masyarakat adalah amanah Allah SWT seharusnya tidak perlu tunggu dan tawar-tawar lagi dan hal tersebut termasuk ibadah karena merupakan perintah kebaikan karena bagaimanapun juga narkoba adalah barang haram yang berbahaya yang dapat menimbulkan kelemahan fisik, mental terlebih intelektual Nabi Muhammad SAW bersabda yang diriwayatkan dari Ummu Salamah melarang barang-barang dan zat sejenis, bahkan lebih tegas Allah SWT menjelaskan dalam Q.S. Al Ma’idah ayat 90 yang barang atau zat, dan orang yang mengedarkannya dan terlibat di dalamnya tersebut dikatagorikan sebagai suatu perbuatan syeitan.
Dalam uraian di atas narkoba dapat disejajarkan dengan barang atau zat-zat yang dapat melemahkan fisik, mental dan intelektual yang sangat berbahaya dan haram untuk dikonsumsi. Dadang Hawari (Al Miqyas, edisi 216; 1999) menyebutkan bahwa penyalahgunaan NAZA (Narkotika, Alkohol, Zat adiktif lainnya) dapat menimbulkan gangguan mental organis, karena barang-barang tersebut memiliki efek langsung ke syaraf pusat (otak). Hal itu dapat dilihat langsung dari peribahan-perubahan Neurofisiologik dan Psiko Pisiologik pada seorang pemakai dalam keadaan ketagihan (withdrawal) dalam kenyataannyapun terbukti bahwa kerugian dan bahaya penggunaan naza sangat besar.
Selain berdampak untuk si pemakai penyalahgunaan naza juga akan berdampak bagi kemasyarakatan sebagai akibatnya adanya perilaku menyimpang yang bersifat anti sosial, lebih lanjut menurut Hawari permasalahan yang sering timbul akibat penyalahgunaan naza yakni pertengkaran/ribut dengan keluarga (83,3%), terlibat perkelahian/tindak kekerasan (65,3%), prestasi sekolah merosot (96%) dan kecelakaan lalu lintas (58,7%). Menurut WHO (1996) yang dikutip Hawari, batasan obat terlarang (drug) ialah setiap zat (bahan substansi) yang jika masuk kedalam organisme hidup akan mengadakan perubahan pada satu atau lebih fungsi-fungsi organisme tersebut. Narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya adalah zat yang memiliki efek seperti yang telah disebutkan yang disalah gunakan sehingga menimbulkan ketagihan (addiction) yang pada gilirannya akan sampai pada kondisi ketergantungan (dependence).
Dengan memperhatikan bahaya narkoba dan peredarannya yang begitu luas apalagi dari informasi yang terbaca dan terdengar di tiap media yang kini semakin banyak penderita yang masuk ke Rumah Sakit Jiwa Slagalas, pulau Lombok yang dijuluki pulau seribu masjid dengan penduduk mayoritas muslim terbesar dengan perangkat keamanan yang relatif lemah sedikitnya akan menjadi ladang yang empuk bagi pebisnis barang haram ini, terlebih menyangkut datangnya perdagangan bebas (Free Trade).
Serangan narkoba ke pulau seribu masjid seiring dengan serangan arus budaya dan kebebasan yang banyak dilahirkan oleh pengaruh wisatawan asing yang datang ke pulau ini, kita tidak perlu menutup mata akan kejadian yang terjadi didaerah kita ke‘bebas’an yang tidak pernah dilandasi oleh keterbukaan, dan tidak heran jika hal ini terus dipertahankan dan tidak ditindaklanjuti akan menjadi seperti kehidupan neraka dinegeri sendiri. Na’uzubillahiminzalik.
Bagi anggota sindikat hal itu tidak diperdulikan yang penting mendapatkan uang dan keuntungan sebesar-besarnya, disisi lain dengan rusaknya nilai-nilai moral yang telah berakar. Rusaknya pandangan hidup, rendahnya ahlak, mental dan intelektual generasi muda maka hal itu akan makin mempermudah golongan syeitan tersebut untuk memperbudak dan memperdaya wilayah ini. Dunia material memang telah banyak memberikan hasil nyata dalam kehidupan kita namun akankah kita menghilangkan nilai-nilai luhur yang dianggap suci atau hanya ada kesalehan ritual tanpa memperhatikan kesalehan sosial?
Karena itulah wahai para generasi muda intelektual muslim yang masih memiliki harga diri dan tetap bangga akan pulau seribu masjid, tidak patut dan tidak layak kita duduk berpangku tangan menyaksikan pembunuhan perlahan tapi pasti terhadap generasi muda kita, ingatkah kita akan kalimat yang kita hapalkan yakni “Jangan kamu bertanya tentang apa yang negerimu berikan untukmu, tapi bertanyalah tentang apa yang kamu berikan untuk negerimu” dan tidakkah kita takut kepada Allah SWT, orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak (generasi) yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka, oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”
Melihat fenomena yang terjadi, masyarakat kita semakin bingung mencari format yang dapat mereka jadikan tauladan bagi kehidupan yang akan datang, saling tidak percaya satu dengan yang lain, makin merenggangkan tali silaturrahmi, padahal mereka adalah saudara sendiri, banyaknya swadaya masyarakat bukannya makin bersatu malah “bersatu-satu”. Arus globalisasi dan informasi telah mengaburkan pemahaman tentang figur yang dapat dicontoh dan ditauladani. Mereka hanya bisa meniru “pokoknya” padahal mereka mengetahui tentang pribadi yang mereka tiru, namun semua itu melalaikan mereka dari buta mereka yang menutup pendengaran dan pandangan mereka dan makin menjauh dari cahaya Allah SWT.
Kalapun kita ingin kenyataan itu tidak terjadi, atau untuk menghindari dan mencegahnya kita akan dihadapkan pada suatu persoalan yang cukup pelik, dan kita tentu tidak ingin generasi berikutnya akan mengalami hal yang sama, keledai saja tidak akan terjatuh untuk kedua kalinya pada lubang yang sama, ya generasi yang memapu mengembalikan arti tauhid kepada Allah SWT yang dapat mengemban dakwah islamiah tanpa meniru dengan “pokonya”, maka setidaknya yang dapat menjadi fokus perhatian kita yakni mencetak kader yang memiliki kepribadian yang unggul dengan jiwa Islam, generasi yang bukan saleh sosial saja, namun generasi yang saleh keduanya baik ritual maupun sosial sejak dini (hal ini bukan bentuk omong kosong belaka jika kita ingin melakukannya) generasi yang mampu membentengi diri dan negerinya dari virus narkoba atau virus yang lebih berbahaya lainnya.
Generasi yang telah terbina dan memiliki kepribadian Islam dan hidup dalam jama’ah kaum muslimin di tanah Lombok ini tentu akan mampu memiliki standar aktivitas yang dapat membedakan halal dan haram dalam arti yang luas tentunya, dan dengan demikian ia akan dapat memahami amar ma’ruf nahi munkar dan iapun dengan sendirinya akan memahami bahwa secara sadar atau tidak sadar ia akan tidak rela terperosok dalam bahaya, terlebih untuk membahayakan orang lain, dan lebih jauh ia dapat menjadi generasi penolong bagi generasinya.
Setelah turunnya ayat tentang khamer di atas (Q.S. Al Maidah ayat 90) seseorang datang kepada Nabi SAW hendak menghadiahkan khamer kepada Beliau. Beliaupun menyampaikan larangan Allah SWT, orang itupun selanjutnya bertanya, “Apakah kujual saja kepada orang yahudi? “Nabi SAW melarangnya, orang itupun bertanya, “bagaimana kalau kuberikan saja kepada mereka?” Beliau melarangnya, orang itupun bertanya lagi, “lalu harus kuapakan?” Rasulullah SAW menjawab, “buang saja ke selokan”.
Tindakan Rasulullah SAW yang tegas dan jelas itu memberikan petunjuk yang jelas bagi pemerintah pusat dan kaum muslimin agar memusnahkan barang-barang haram itu, kalau khamer Beliau perintahkan untuk memusnahkannya apalagi narkoba!. Namun sayang, disatu sisi kita dapat melihat, jangan jauh-jauh ke pemerintah pusat yang masih amburadul mengurusi republik banjir, tulisan ini bermaksud untuk melihat fenomena yang terjadi di daerah kita sendiri dengan bahaya kepentingan pribadi yang memanfaatkan sekelompok swadaya tertentu dan narkoba yang mengancamnya, semoga ada wakil rakyat ada yang menyempatkan untuk membaca dan peduli sehingga jangan sampai terjadi seperti apa yang dikutip dalam tulisan bulletin dakwah Al Islam, dalam kalimat yang terbaca sebagai berikut “jika banyak ummat menderita dan terbunuh pemerintah seolah-olah tidak mendengar dan belum mendapat laporan, namun jika ada segelintir warga asing terbunuh atau hanya sekedar tidak nyaman, mereka akan mengutuk keras tindakan anak bangsanya bahkan melakukan penangkapan-penangkapan”.
Terlalu banyak kasus yang dapat kita jadikan contoh oleh karena itu, siapapun yang masih menyimpan memori ingatan diotaknya akan dapat melihat bagaimana perilaku para pemimpin dari masa ke masa. Terlalu banyak penyimpangan yang terjadi didaerah kita ini, ingatkah akan kasus pelanggaran HAM yang hingga kini merupakan teka-teki, belum lagi jumlah korban yang tak terhitung sensus.
Pemerintah daerah seharusnya dapat dengan serius menaggapi hal ini dan tidak hanya mementingkan kepentingan sesaat dan jangka pendek sedang generasi muda kita terancam virus narkoba, hukuman yang tegas kepada para sindikatnya meski harus dengan hukuman mati hendaknya dapat dilakukan jika hal tersebut benar-benar dibutuhkan.
Pemerintahpun hendaknya harus berani membongkar para aparat pejabat yang ada dibelakangnya, tanpa pandang bulu, hakim-hakim bersikaplah dengan tegas, jangan tergoda suap, tumbuhkan kepercayaan masyarakat dan perhatikan keadilan serta kesejahteraan rakyat, ingatlah akan firman Allah SWT dalam Q.S. Al Maidah ayat 48 yang artinya “Maka putuskanlah perkara (peradilan dan pemerintahan) diantara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (hukum Allah) yang telah datang kepadamu” dan ayat 49 yang artinya “(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara (peradilan dan pemerintahan) diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Dan) berhati-hatilah kamu terhadap mereka agar kamu tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”.
Pengawasan Dan Tanggung Jawab Masyarakat
Terkait dengan permasalahan di atas, dalam penanganan tentang masalah narkoba sebaiknya dan amat diperlukan masyarakat ikut andil dan tidak hanya mengandalkan aparat setempat, hal ini didaerah kita, Lombok, masih terbukti belum masih belum sadarnya mesyarakat akan bahaya narkoba, hal ini tentu akan terkait dengan banyaknya faktor yang mengakibatkannya, namun masyarakat juga tidak perlu malu untuk membawa anaknya untuk mendapatkan pengobatan jika terdapat adanya gejala-gejala anak tersebut terjangkit narkoba dan tidak perlu menunggu adanya gejala ketergantungan yang lebih parah baru si korban dibawa berobat, jika hal tersebut dapat dilakukan maka tidak akan sebanyak jumlah sekarang jumlah ketergantungan narkoba yang terdapat di RSJ Selagalas-Mataram, itu baru jumlah yang terjaring, bagaimana dengan korban yang lain yang belum terjaring dan meninggal akibat narkoba?.
Memang tidak dapat diragukan bahwa daerah kita (Lombok) kaya akan tingkat kesalehan ritual penduduknya, masyarakat akan cepat sekali terpengaruh untuk melakukan kebaikan yang menyangkut kesalehan ini, namun diperlukan juga tingkat kesalehan sosial yang tinggi, pengenalan terhadap jenis dan barang haram ini, disinilah peran para alim ulama dan para ustadz serta dari instansi terkait untuk dapat memperkenalkan jenis, akibat yang ditimbulkan dan dapat menekan jumlah peredaran barang haram tersebut jika terjadi didaerahnya dengan bekerjasama dengan aparat pemerintah yang terkait.
Saleh sosial juga dapat diterapkan dan diwujudkan melalui amar ma’ruf nahi munkar, penulis tidak bermaksud untuk memisahkan antar keduanya, tapi bagaimana mengaktualisasikan keduanya menjadi bagian dari ibadah kepada Allah SWT, dapat kita jumpai walaupun secara tidak langsung dan terlihat samarak masyarakat kita sering hidup secara berkelompok membentuk swadaya-swadaya yang demikian banyaknya dan semoga hal tersebut dapat mendatangkan manfaat dan dapat terhindar dari orang-orang yang bermaksud menunggangi demi kepentingan pribadi, kelompok ataupun partai, swadaya-swadaya tersebut janganlah hanya melakukan pengamanan terhadap daerah atau bagian harta benda meteriil saja seperti swadaya yang tumbuh berkembang kebanyakan, namun jangan lupa anak, generasi muda juga merupakan amanah dari Allah yang merupakan “generasi Ismail” untuk negeri kita.
Demikian pula peran dari lembaga-lembaga dakwah, sebaiknya ikut peduli dengan hal ini karena bagaimanapun Rasulullah SAW telah mempraktekkan untuk mengganyang setiap barang atau zat yang melemahkan jasmani dan rohani yang sejajar dengan khamer dan narkoba, sebagai barang dan zat yang haram bagi kehidupan manusia.
Dengan mengadakan Amar ma’ruf nahi munkar secara menyeluruh dan dukungan masyarakat, serta media-media siaran baik cetak maupun elektronik yang ada di pulau Lombok setidaknya akan dapat membentuk suatu kesadaran umum tentang apa yang diharamkan Allah dan Rasul harus dijauhi dan dimusnahkan. Hadist Rasulullah SAW yang artinya “Mu’min yang satu dengan mu’min yang lain apabila saling menyayangi dan saling mencintai maka akan menjadi kokoh ibarat bangunan yang bagian yang satu dengan bagian yang lain akan saling menguatkan” (HR. Imam Muslim).
Pengawasan Dan Tanggung Jawab Keluarga
Keluarga mempunyai peran yang teramat penting dalam menanamkan nilai-nilai positif sebagai suatu dasar/pondasi yang kuat dalam berpijak bagi kehidupan generasi muda muslim dikemudian hari. Membangun keluarga yang baik yang diridhoi Allah tentunya akan diawali dengan proses dan awal yang baik pula, sehingga akan dapat tercapai dambaan keluarga sakinah. Narkoba tidak pandang umur, apakah dari keluarga baik-baik ataupun sebaliknya, apakah tua, muda, kecil, remaja atau dewasa semuanya akan ia hampiri membawa bahaya dan malapetaka yang awalnya coba-coba kemudian akan beralih menjadi ketagihan dan ketergantungan.
Sebagai tempat berpijak keluarga dapat menjadi benteng pertahanan yang ampuh dalam menaggulangi bahaya tersebut atau sebaliknya keluarga merupakan awal dari munculnya bahaya tersebut hal ini tentunya akan tergantung dari keadaan keluarga itu sendiri, orang tua sebagai “top figure” bagi anak-anaknya dapat menentukan semuanya dan seharusnyalah orang tua dapat memberikan “image” dan solusi terbaik jika masalah tersebut timbul dengan semangat kekeluargaan dan keterbukaan orang tua dapat memberikan suasana yang harmonis sekaligus sebagai kontrol keluarga, penjelasan akan bahaya narkoba, dan masalah lainnya dapat dijelaskan sejak dini, kalaupun orang tua tidak paham akan bentuk, jenis dan ragam serta dampak yang dapat diakibatkan mereka dapat langsung menanyakan kepada instansi terkait.
Namun jika hal tersebut telah terlambat, dan sekiranya sang anak telah menjadi korban sebagai orang tua sudah merupakan kewajiban orang tua untuk lebih memperhatikan keluargnya. Mereka tidak perlu malu jika anaknya telah terlanjur menjadi korban narkoba dan untuk membawanya kerumah sakit atau tempat rehabilitasi penderita narkoba, namun sering pula terjadi orang tua hanya saling memberatkan salah satu pihak tanpa ada yang mau mengalah akibatnya si anak yang telah menjadi korban bukannya tertolong, sebaliknya akan menjadi semakin kritis dan dapat saja sudah tidak dapat tertolong lagi. Mati. Dan orang tua hal ini sebaliknya cepat sadari bagaimanapun anak adalah merupakan titipan, amanah Allah kepada kedua orang tuanya yang harus dipelihara dan dijaga sebaiknya.
Pengawasan Dan Tanggung Jawab Pribadi
Yang penulis maksud dengan pengawasan dan tanggung jawab pribadi dalam hal ini yakni pengawasan dan tanggung jawab selaku generasi muda, selaku mahasiswa yang acap kali menjadi sasaran empuk bahkan ikut terlibat dalam sindikat pengedaran narkoba, banyaknya generasi muda yang berprestasi tak pernah luput dari banyaknya pula generasi muda kita yang ikut larut dalam sindikat jaringan narkoba dan menjadi korban narkoba, kita tentu tidak ingin kehilangan generasi intelektual dimasa mendatang, fungsi mahasiswa atau kampus jangan hanya sebagai pengontrol jalannya roda pemerintahan, namun dengan itu pula fungsi mahasiswa dan kampus dapat dijadikan pengontrol dalam memberantas peredaran narkoba “untuk turun kembali kejalan” meluruskan para generasi muda yang telah, mau menjadi korban narkoba untuk menghilangkan niatnya walaupun hanya sebatas mencoba dan merasakan. Keadaan dan petaka akibat narkoba semakin hari semakin menjadi, generasi muda sering kali melarikan setiap masalah yang tidak dapat dipikulnya kearah narkoba, padahal hal tersebut hanya bersifat sementara, dan merekapun tahu akibat yang akan ditimbulkannya. Sebaliknya melihat hal demikian seorang generasi muslim akankah ia harus berpangku tangan menyaksikan keadaan tersebut?
Manusia dikaruniai akal, pikiran dan sifat yang berbeda satu sama lain, namun bagaimanapun hal yang demikian tidak dapat disatukan dalam arti dijadikan sama, akan tetapi manusia memiliki tujuan dan dari kesamaan tujuan itulah manusia dapat bersatu, tujuan yang dilandaskan pada kebenaran akan kuat dan tujuan yang dilandaskan pada ego dan kepentingan pribadi dan golongan akan rapuh. Belajarlah dari perkataan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Bahwa kebenaran yang tidak terorganisir akan kalah dengan kezaliman yang terorganisir. Dengan melihat fenomena yang terjadi yang diakibatkan oleh narkoba, kapan lagi para generasi muda, para mahasiswa akan melakukan tindakan nyata untuk tidak hanya berkutat tentang seminar, tentang penanggulangan akan tetapi harus dapat didukung dengan tindakan nyata untuk menaggulangi, bila perlu mahasiswa turun kejalan Ganyang Narkoba.
Memang ganyang narkoba didaerah Lombok akan dapat berhasil dengan melibatkan semua pihak terkait seperti misalnya yang telah tersebut di atas, kalaupun narkoba tidak dapat habis dari pulau seribu masjid, setidaknya angka peredaran dan korban akan dapat ditekan dengan kepedulian untuk terbebas dari bahaya barang haram tersebut.

Islam dan Kriminalitas

Seiring dengan perkembangan arus globalisasi dan westernisasi, sebagai anak jenius dari kedua hal tersebut, komunikasi yang berhasrat meniadakan sisi ruang dan waktu manusia dengan bermitra dengan sang teknologi yang berambisi menjadi Tuhan. Manusia kini tidak lagi menempuh jarak tak ada lagi ruang fisik yang dibutuhkan oleh sesuatu yang bernama eksistensi, terkecuali dalam ranah tradisional yang bagi sebagian manusia lain belum mampu untuk menghadirkannya, namun anehnya pada sisi ini kita diolah dan dibentuk oleh berbagai konflik, baik pada sisi diri, kelompok, bangsa atau bernegara.
Yang pada akhirnya kita dikejutkan oleh berbagai bentuk eksploitasi kejahatan, baik dalam dunia maya atau dalam dunia nyata keseharian kita. Berbagai kejahatan semisal sadisme, yang timbul ditenga-tengah masyarakat tentunya masih segar dalam memori kolektif ingatan kita, sebagai contoh semisal kanibalisme Samanto, atau Inulisasi dunia hiburan, atau semakin terperangahnya kita dengan tragedy kemanusiaan 11 September, bom Bali, pengeboman JW. Mariot hingga kasus fornografi di berbagai kalangan baik artis atau dunia mahasiswa dan sederet kasus yang sangat tidak menyejukkan jika disebutkan.
Kita kembali akan bertanya, apa yang terjadi dalam zaman ini, dalam masyarakat kita yang tak lagi menghiraukan sesama “harga sebuah nyawa dapat diukur dan dihargai dengan demikian murahnya”.
Dalam persfektif sosiologis historis kejahatan dan kriminalitas merupakan persoalan klasik yang dibawa kembali manusia berpradaban yang sebelumnya muncul dalam setting sejarah kehidupan, yang menurut persfektif agama kasus kriminalitas ini ditandai oleh adanya pembunuhan, meniadakan satu atas yang lain sebagaimana pernyataan Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, kasus pembunuhan antara putra Nabi Adam AS yakni Qabil dan Habil dan akhirnya terus berlanjut dalam bentuk dan rupa yang beragam seiring dengan perkembangan keberadaan manusia.
Terjadinya hal tersebut tentunya tidak akan dapat lepas dari berbagai persoalan dan kepentingan yang melatarbelakanginya, politik, ekonomi dan sederet permasalahan sosial lainnya. Kriminolog W. Kusumah misalnya menyatakan bahwa “tingginya frekuwensi pembunuhan adalah merupakan keadaan anomalitas (penyimpangan) dan tidak berfungsinya lembaga-lembaga pengendalian social” termasuk di dalamnya sistem hukum yang dijalankan selama ini. Ketidakpastian hukum, kerasnya tekanan sosial ekonomi, dekadensi moral dan makin maraknya kualitas kejahatan merupakan ciri-ciri yang menunjukkan makin melemahnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran suci agama.
Kita sadar bahwa masalah tersebut tidaklah mudah dalam mengatasinya, namun setidaknya kita dapat meminimalisir prosentase kelajuannya. Hal ini misalnya dapat ditempuh dengan bebarapa langkah komprehensif yakni pertama menciptakan tatanan sosial yang sehat. Ciri sistem sosial yang sehat dalam kaitan ini ialah minimnya rangsangan untuk melakukan kejahatan dan kekerasan. Dalam pada itu kita juga menyadari bahwa untuk mewujudkan hal tersebut juga tidaklah mudah, karena semakin hari kita dihadapkan oleh gencarnya siaran media tentang masalah kriminalitas ini, TV-TV swasta dengan beragam informasi seputar dunia kriminal ini makin menjadi-jadi semisal Buser, Sergap, Patroli, Sidik, TKP dan lain sebagainya yang sejenis dan secara fulgar memberitakan makin maraknya dunia kriminalitas ini. Hal ini sedikit atau banyaknya dapat meningkatkan rangsangan baru dalam menciptakan bentuk kriminalitas baru.
Tayangan-tayangan tersebut tidak lagi menjadi semacam sesuatu yang menuntun atau katakanlah mengurangi, namun justru sebaliknya akan makin menjadi. Media yang sedikit demi sedikit menciptakan akar budaya sendiri. Sadar atau tidak tayangan TV tersebut pada kesehariannya terus berkisar tentang eksploitasi kekerasan, perselingkuhan, bursa aurat, buka-bukaan kelewat batas, pamer kemewahan. Yang keadaan ini dengan sendirinya akan turut membentuk citra kita tentang lingkungan sosial sekitar kita, terlebih bagi anak-anak yang masih belum memilki loyalitas moral yang kuat, yang hal tersebut akan dianggap sebagai hal biasa dan akhirnya kriminal merupakan jalan yang dirasa dapat menyelesaikan suatu konflik, padahal dalam kaitan ini, Nabi SAW telah mewanti-wanti bahwa setiap anak (generasi penerus) dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orangtuanyalah yang akan membentuknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR. Muslim).
Pesan Nabi SAW di atas kiranya dapat memberi isyarat kepada kita bahwa bangunan pondasi moralitas generasi penerus banyak ditentukan oleh orang tuanya selaku “top figure” yang akan membangun image anaknya sendiri. Orang tua dalam kaitan ini tentu dapat diperluas cakupannya dalam arti, keluarga, masyarakat dan Negara, akhirnya dapat kita bayangkan dampak yang akan ditimbulkan jika ketiga komponen pembentuk satu kesatuan bangunan moral tersebut hancur maka akan menjadi apa generasi penerus nantinya yang akan memegang tongkat estapet pembangunan bangsa dan negaranya? Seharusnya prasyarat mendasar inilah yang seharusnya dipertanyakan oleh para orang tua. Dengan demikian generasi berikutnya akan sangat sulit untuk hanya diharapkan tampil di front terdepan untuk saling bahu membahu membentuk dan membina tatanan sosial yang sehat dan beramal ma’rup nahi munkar.
Kedua, pendidikan moral-religius. Prinsip hidup sangat banyak menentukan tingkah laku dan kehidupan seorang manusia. Jika ia beragama maka bisa jadi ia akan memiliki prinsip hidup yang berlandaskan etika keagamaan, demikian pula semakin religius seseorang maka makin kuat ia akan memegang prinsip agamanya itu. Yang pada akhirnya akan melahirkan sosok pribadi yang dapat diandalkan oleh generasi sezamannya.
Para pakar psikologi agama banyak menuturkan bahwa agama dapat menyembuhkan berbagai penyakit sosial kemasyarakatan, yang misalnya diakibatkan oleh gangguan moral dan prustasi sosial. Karena itulah menurut mereka jika agama dihayati dengan baik dan benar maka akan berdampak pada akan stabilnya emosi dan terbentuknya kepribadian seseorang untuk melakukan hal-hal yang hanya bersifat prioritas untuk dirinya dan bermanfaat bagi yang lain. Karena itulah Nabi SAW bersabda bahwa agama itu adalah nasehat, untuk Allah SWT, kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, bagi pemimpin umat dan orang-orang awam (HR. Muslim)
Agama akan menjadi nasehat yang efektif bagi masyarakat, jika ia dipahami, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tanpa proses ini maka non sense bahwa agama dapat menjadi nasehat yang efektif.
Ketiga, pemberian sanksi yang setimpal. Allah SWT telah berfirman dalam Q.S. Al Maaidah ayat 48 yang artinya “Maka putuskanlah perkara menurut apa yang telah Allah SWT turunkan dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka dan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu untuk ummat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang, sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikannya satu ummat saja, tetapi Allah hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allahlah kembalimu sekalian dan diberitahukan-Nya kepadamu apa-apa yang telah kamu perselisihkan itu”.
Demikian pula sabda Rasulullah SAW yang artinya sahabat Ali ra berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda “apabila datang dua orang meminta hukum kepadamu, maka janganlah kamu memberi hukum kepada orang yang datang lebih dahulu sebelum mendengarkan perkataan (pengaduan) yang lain, hingga kamu mengetahui bagaimana harus memberikan hukum” Ali berkata : “sesudah itu, baru aku bersedia menjadi hakim”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Sanksi yang setimpal terhadap pelaku kriminal sedikit tidak akan dapat memberikan rasa keadilan dalam masyarakat, meski disadari bahwa bentuk apapun hukuman itu tidak akan menghilangkan kejahatan secara tuntas, bahkan sebagian ada yang beranggapan bahwa aturan ada untuk dilanggar. Namun yang perlu diperhatikan yakni bahwa penjatuhan sanksi tersebut harus dapat memberikan rasa keadilan baik itu bagi masyarakat, maupun bagi pelaku kriminal artinya sanksi tersebut harus setimpal dengan perbuatan kriminal yang dilakukannya.
Khalifah Ali bin Abu Thalib pernah berpesan demikian “Allah menjadikan keadilan sebagai dasar pijakan bagi manusia, penyucian bagi dosa dan kelaliman dan kemudahan bagi Islam”. Demikian halnya dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman yang artinya “katakanlah : Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan” (Q.S. 7:29). Karena keadilan meki ditegakkan, konsekuensinya ia harus dijalankan oleh siapapun dan dimanapun. Tak peduli penguasa, keluarga, perusahaan atau saya bahkan anda juga.

Zakat dan Media Menunaikannya

Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Setelah solat, zakat dipandang sebagai suatu bentuk kewajiban keagamaan terpenting yang ditekankan kepada ummat islam. Karenanya zakat dipandang sebagai bentuk ibadah yang tidak dapat digantikan oleh model sumber pembiayaan apapun, dimanapun. Pada masa awal Islam, zakat merupakan ’pungutan’ wajib yang ditarik dari masyarakat untuk membiayai pengeluaran negara pada waktu itu. Karena itulah khalifah pertama Abu Bakar Ash Siddiq memerangi suku-suku bangsa yang enggan untuk membayar zakat. Abu Bakar berkata “Demi allah, aku akan memerangi orang yang memisahkan solat dengan zakat, karena zakat adalah kewajiban yang berkaitan dengan herta. Demi allah! Jika mereka menolak membayar zakat kepadaku berupa seekor kambing yang dulu pernah mereka bayarkan kepada Rasulullah saw niscaya aku akan memerangi mereka karena keengganan mereka membayar zakat tersebut” (HR. Bukhari).
Kewajiban zakat atau pajak keagamaan ini juga dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama (Lev. 27:30; Deut. 14:22; Num. 18:21; Neh. 11:37). Dalam Al-Qur`an pun berulangkali disebutkan bahwa umat-umat terdahulu juga dikenakan kewajiban untuk membayar zakat. Hanya saja, mengingat perbedaan latar belakang kehidupan sosial ekonomi pada waktu turunnya perintah zakat tersebut, maka obyek dan jumlah zakat yang dikeluarkan berbeda dengan konsep zakat dalam Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Selain itu, pembayaran zakat dalam Perjanjian Lama murni dimaksudkan untuk lembaga-lembaga keagamaan, sementara dalam Al-Qur`an zakat ditujukan untuk memberikan dukungan ekonomis kepada masyarakat dan bukan kepada hirarki institusi keagamaan, seperti kepada pendeta dalam tradisi non-Muslim (Zaman, 1996). Zakat berpengaruh besar terhadap berbagai sifat dan cara pemilikan harta benda (atau kekayaan) misalnya terhadap kekayaan yang ditimbun, hasil pertanian, pajak atas modal (hewan) dan sebagainya.
Harta benda tersebut dikenakan zakat jika telah mencapai nilai minimum yang disebut nishab berdasarkan cara dan perhitungan yang berbeda, tergantung dari harta benda yang dizakati. “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang fakir, orang miskin, pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya untuk (memerdekakan) budak, orang yang berutang untuk jalan allah dan orang yang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan allah; dan allah maha mengetahui lagi maha bijaksana” (Q.S. St Taubah ayat 60).
Secara ekonomik, pemungutan zakat semestinya dapat menghapus tingkat perbedaan kekayaan yang sangat mencolok. Sebaliknya dapat menciptakan redistribusi yang merata, disamping itu zakat dapat pula mengekang laju inflasi, selain perkembangan tidak tentu dari peredaran mata uanag dalam negeri, kekurangan barang dan kecepatan peredaran uang. Inflasi sendiri terjadi akibat kenaikan harga-harga dalam tingkat umum yang bisaanya karena bertambahnya suplai uang yang tidak disertai oleh suatu pertambahan permintaan yang sesuai. Sesungguhnya naiknya harga ini dapat mempengaruhi jalannya produksi dan distribusi kekayaan dengan berbagai cara dan hal tersebut sangat merugikan. Mengenai hal ini Rasulullah saw telah bersabda yang artinya “kekayaan (yaitu zakat) harus diambil dari si kaya dan dikembalikan kepada si miskin”.
Kata zakat sendiri berarti yang mensucikan dan yang menumpuk. Zakat juga meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral zakat mengikis habis ketamakan dan keserakahan si kaya. Dalam bidang sosial, zakat bertindak sebagai alat yang khas yang diberikan islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan si kaya akan tanggung jawab sosial yang mereka miliki. Dalam bidang ekonomi zakat mencegah penumpukan kekayaan yang mengerikan dalam tangan segelintir orang dengan memungkinkan kekayaan untuk disebarkan sebelum sempat menjadi besar dan berbahaya ditangan para pemiliknya. “Dan janganlah orang-orang yang bakhil dengan apa yang diberikan allah kepadanya dari karunia-Nya mengira bahwa kebakhilan itu lebih baik bagi mereka. Tidak ! kebakhilan itu buruk bagi mereka. Segala apa yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan pada leher mereka kelak pada hari kiamat. Kekayaan di langit dan di bumi adalah milik allah. Dan allah benar-benar mengetahui apa yang kamu lakukan” (Q.S. Ali Imran ayat 180).
Potensi zakat yang apabila dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Menurut sebuah sumber, potensi zakat di Indonesia mencapai hampir 20 Triliun per tahun. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005 mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp 19,3 triliun. Di antara potensi tersebut, Rp 5,1 triliun berbentuk barang dan Rp 14,2 triliun berbentuk uang. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1 triliun. Salah satu temuan menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70 persen) adalah masjid-masjid. Badan Amil Zakat (BAZ) pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal, serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta hanya 4 persen zakat maal.
Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat masih jauh dari potensi yang sebenarnya. Sebagai perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga-lembaga pengumpul zakat baru mencapai beberapa puluh milyar. Itu pun bercampur dengan infak, hibah, dan wakaf. Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen teknis pelaksana.
Dalam aplikasinya zakat akan kehilangan maknanya jika tidak timbul dari hati yang taqwa dan perasaan bersih, tanpa mementingkan diri sendiri. Jika kita memperhatikan ketentuan dan peraturan mengenai zakat dengan seksama, setidaknya kita akan mendapatkan beberapa prinsip yang terkandung didalamnya yakni : Pertama, prinsip keyakinan dalam islam, karena membayar zakat adalah suatu ibadah dan dengan demikian hanya seseorang yang benar-benar berimanlah yang dapat melaksanakannya dalam arti dan jiwa yang sesungguhnya. “….Dan dirikanlah solat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada allah, pinjaman yang baik…..” (Q.S. Al Muzammil ayat 20).
Kedua, prinsip keadilan tentang zakat terkandung dalam ucapan Rasulullah saw “Bagi (hasil) tanah yang diairi oleh hujan dan mata air, atau yang diairi air yang mengalir pada permukaan bumi ditentukan zakatnya sepersepuluh dari hasilnya, sedangkan bagi yang diairi sumur, seperduapuluh dari hasilnya” (HR. Bukhari). Prinsip ketiga, adalah produktivitas atau sampai batas waktunya. Ibnu Umar r.a. pernah berkata “Rasulullah saw pernah menyampaikan: “barang siapa yang memperoleh kekayaan setelah satu tahun, berlaku zakat atasnya” (HR. Tarmidzi dan Mishkat).
Selain subyek zakat yang berupa individu (person), zakat juga dapat dikenakan kepada badan hukum (recht person) sebagaimana halnya pajak. Badan-badan hukum tersebut seperti perusahaan-perusahaan yang memiliki kekayaan baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Zakat yang dikenakan kepada badan-badan hukum tersebut diambil dari saham dan keuntungan perusahaan-perusahaan tersebut (Qardhawi, 1997).
Nishab berarti surplus minimum tahunan dari harta benda yang sama nilainya di atas pengeluaran yang diperlukan. Nishab berlaku pada zakat hanya jika telah sampai waktunya dan produktif, tapi nishab akan hilang pada tanggal penjualan selama setahun dan harus berlaku pada tahun pertama sebelum jumlah yang didapat terkena zakat. Berlalunya suatu periode satu tahun sangat penting, karena waktu sangat diperlukan untuk mewujudkan produktivitas. Zakat sendiri dihapuskan jika pemiliknya meninggal dunia dan murtad. Bila kematian atas pemilik harta benda terjadi selama masa satu tahun maka harus ditunggu satu tahun berikutnya barulah zakat dikenakan atasnya.
Keempat ialah perinsip nalar yakni orang yang diharuskan membayar zakat ialah seseorang yang berakal dan bertanggungjawab. Dari sinilah ada anggapan bahwa orang yang belum dewasa dan tidak waras, bebas dari zakat yang dalm hal ini adalah suatu ibadah, karena itu zakat hanya diwajibkan pada mereka yang mampumelaksanakan kebijaksanaan. Namun menurut mazhab Maliki dan mazhab Syafi’I (terutama dalam hal ternak dan panen), orang yang belum dewasa dan tidak waras terkena zakat –dasar pendiriannya yakni- zakat adalah pajak atas harta benda, karena itu dapat dilaksanakan walaupun harta benda tersebut mungkin milik orang yang belum dewasa dan mereka yang tidak waras.
Karena itulah peran wali di sini sangat penting. Para wali inilah yang diharapkan dapat memanfaatkan harta benda mereka dengan cara yang paling masuk akal. Jika ada kemungkinan hilangnya harta benda orang yang belum dewasa karena kurang pemeliharaan, maka tidak dikenakan zakat. mengenai hal ini Rasulullah saw telah mengingatkan yang artinya “Barang siapa yang mengawasi harta benda anak yatim, berhati-hatilah. Jalankanlah harta benda itu dengan baik dan dengan membiarkannya tidak menghasilkan sehingga dapat dipungut zakat” (H.R. Tarmidzi).
Prinsip kelima, yakni kemudahan zakat diperoleh sebagian dari sifat pemungutan zakat dan sebagian diperoleh dari hukum islam tentang etika ekonomi. Prinsip keenam, yakni prinsip kemerdekaan. Yakni seseorang harus menjadi manusia bebassebelum dapat disyaratkan untuk membayar zakat. Saat ini, dimana perbudakan telah dihapuskan, orang yang dipenjara mungkin dapat ditempatkan dalam kelompok ini yang dianggap bukan orang bebas dan tanggungan mereka yang tidak berdaya dapat memperoleh penghasilan dari zakat.
Namun lain halnya dengan zakat fitrah yang diwajibkan untuk orang yang merdeka dan budak, sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, dia berkata “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah kepada anak kecil dan orang dewasa, orang merdeka maupun budak, masing-masing satu sha’ gandum (makanan pokok) atau satu sha’ kurma” (HR. Bukhari).
Dalam konteks kekinian, saat ini dan disini. Tentunya semua prinsip yang mengatur pembayaran zakat ini, meskilah dikelola untuk kesejahteraan ummat, khususnya lagi bagi kaum mustadafhin. Karenanya, setelah ditetapkannya UU Zakat nomor 38 tahun 1999 maka badan pengelola zakat seperti panti asuhan, yayasan sosial, pondok-pondok pesantren dan lembaga pengelola zakat lainnya yang sejenis akan terikat dengan ketentuan tersebut. Pengelolaannya sendiri meskilah dilakukan secara professional dan bertanggung jawab (amanah). Berikut beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan panduan yakni. Pertama, taat konstitusi, legal. Badan pengelola zakat meski taat konstitusi, untuk itu meski berbadan hokum (akta notaris), memiliki tanda pengesahan (SK) dari pemerintahs sesuai dengan tingkatannya. Tanda legalitas yang lainnya yakni NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), surat pengesahan organisasi sosial dan bentuk legalitas lainnya. Perangkat tersebut dibutuhkan sebagain ukuran kejujuran pengelola zakat. Disamping jika sewaktu-waktu terjadi urusan yang terkait dengan hokum, dapat diselesaikan secara hokum.
Kedua, independensi, tidak berpolitik praktis. Sebagai institusi keagamaan. Badan pengelola zakat terikat dengan sendirinya kepada alqur’an dan al hadist yang mengatur bahwa harta zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) juga wakaf adalah dari dan untuk ummat islam, bukan hanya untuk golongan tertentu. Konsekuensinya dalam penyalurannya dana ZIS dan juga wakafharus independent, tidak memihak kelompok atau golongan tertentu. Bekerja melayani semua ummat islam, tidak pandang kelompok, golongan organisasi kemayarakatan maupun partai.
Dalam hal netralitas badan pengelola zakat mestilah tidak terlibat politik praktis atau bahkan menjadi aktivis partai politik tertentu, meskipun partai islam, jika hal tersebut terdapat maka dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan dana ZIS juga wakaf untuk kepentingan ambisi politik para pengelola. Kesakralan lembaga amil zakat dapat hancur dan hilang karena lembaga amil zakat dan kaum dhuafa hanya dijadikan batu loncatan karir politik oknum pengelola.
Ketiga, visi dan misi badan pengelola mestilah memiliki visi dan misi yang jelas dan tegas. Visi utama mestilah berfokus pada penerimaan, pengelolaan dan penyaluran yang amanah dan professional. Misi meski disesuaikan dengan visi dengan berusaha melayani kaum aghniya (kaum berpunya) sebagai muzakki (pembayar zakat) dan pemberdayaan terhadap kaum lemah (kaum dhuafa) dan golongan penerima zakat yang berhak (mustahik zakat). Keempat, transparansi (keterbukaan). Transparansi dalam penerimaan dan penyaluran sangat penting, ini merupakan salah satu standar kejujuran. Hal ini misalnya dapat ditempuh melalui pemberitaan melalui media massa atau dapat juga langsung dikirimkan kepada para muzakki dan ummat islam lainnya. Sebagai alat control atas kualitas kejujuran dan kualitas amanah ini, maka badan pengelola tidak menutup diri untuk diaudit oleh akuntan public sebagai wakil masyarakat. Hasil inilah yang nantinya akan diumumkan kepada ummat islam.
Kelima, program kontinuitas. Program yang disusun hendaknya dapat bersifat populis dan strategis. Populis misalnya penyantunan bencana alam, penyantunan kebutuhan pokok masyarakat, beasiswa pendidikan dan sebagainya. Program strategis misalnya mengelola dan mengubah para penerima zakat menjadi para pembayar zakat. Karenanya program pembinaan, pengarahan, pemberdayaan dan pembelaan kaum lemah. Program-program ini meski terencana dan berkesinambungan –tidak selayaknya badan pengelola tidak dapat membuat program strategis dan hanya mengandalkan program populis- hal ini karena program populis kurang dapat memberikan efek ganda dan berkelanjutan terhadap pemanfaatan amanah ZIS dan juga wakaf.
Keenam, memudahkan dalam pelayanan. Agar memudahkan ummat dalam melaksanakan ibadah pembayaran ZIS dan juga wakaf. Badan pengelola hendaklah dapat memberikan pelayanan yang terbaik dan kemudahan-kemudahan kepada para muzakki. Misalnya dengan menyediakan rekening khusus pada setiap transaksi melalui perbankan, PO BOX dan fasilitas dan sarana pelayanan lainnya. Ketujuh, program penunjang, disamping program utama. Program penunjang juga meski dimiliki lembaga pengelola semisal pelatihan-pelatihan, jasa konsultasi dan lainnya.
Akhirnya, berikut akan disajikan tabel zakat untuk jenis harta, nishab, waktu mengeluarkan zakatnya beserta kadar yang mesti dikeluarkan dan selamat menunaikan zakat bagi yang wajib melaksanakannya.
Tabel 1. Jenis Harta, Nishab, Waktu dan Kadar Dalam Mengeluarkan Zakat
No.
Jenis Harta
Nishab
Waktu
kadar
Keterangan
1.
Zakat fitrah / makanan pokok
Kecukupan
Tiap akhir Ramadhan
2,5 Kg beras (2,5 liter)
Dikeluarkan pada Ramadhan saja
2.
Barang (uang simpanan / modal)
Senilai 85 gram emas murni
Berjalan 1 tahun (dimiliki)
2,5%
Dinilai saat mengeluarkan
3.
Perhiasan (bukan emas / intan, simpanan antara lain barang sekunder, tertier), mobil, TV dan lainnya
Tidak harus mencapai nishab
Tiap diperoleh / saat dimiliki
2,5%
Zakat dibayar sekali selama dimiliki
4.
Hasil usaha ekstraktif, mengambil langsung dari alam / hasil tambang hutan dan lainnya
Senilai 45 gram emas murni
Tiap panen
20%

5.
Hasil pertanian dan bumi
Senilai 1350 Kg gabah atau beras 750 Kg
Tiap panen
5-10%

6.
Penghasilan yang diperoleh dengan mudah tanpa pengorbanan yang berarti, hadiah, pemberian, barang temuan, keuntungan investasi, imbalan jasa dan lainnya
Tidak harus mencapai nishab
Saat diperoleh
20%

7.
Gaji, honor dan sebagainya
Senilai 85 gram emas murni
Tiap berjalan setahun
Minimal 2,5%


Sumber : Buletin Boulevard. Edisi 03/1 November 2001

Berkelompok dan Berorganisasi

Secara fitri manusia memiliki naluri untuk berkelompok dan berorganisasi, terdapat keinginan yang kuat atau katakanlah suatu kerinduan akan hal tersbut, hal ini oleh kalangan muslim lebih dikenal dengan sebutan berjama’ah. Baik itu dilakukan dalam bentuk formal atau informal karenanya Negara melindungi dan menjamin keinginan untuk berkelompok dan berorganisasi ini.
Dalam kajian kali ini penulis akan mencoba mencari beberapa catatan kecil tentang bagaimana korelasinya dalam membentuk suatu kesadaran dan pemikiran seseorang, baik itu yang diwujudkan dalam bentuk kepentingan kelompok maupun dalam perwujudan kepentingan individu.
Salah satu hal yang penting untuk menjadi catatan yakni terbentuknya suatu kelompok dan organisasi sangat bergantung pada bagaimana seorang individu menilai kelompok atau organisasi tersebut, dalam arti keberadaan atau ketakberdayaannya dalam suatu kelompok. Penilaian inilah yang akan membentuk suatu keputusan untuk berkelompok dan berorganisasi atau tidak.
Latar belakang yang lain juga sangat beragam, misalnya adanya kepentingan dalam arti luas, baik itu yang menyangkut pribadi, kepercayaan diri, keyakinan, status sosial, prestise, untuk memahami berbagai realitas hingga keinginan untuk turut berpartisipasi dalam dinamika kelompok baik itu yang berupa pemikiran, pergerakan, pemberdayaan atau hal lain.
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa sesungguhnya terdapat hal-hal yang tidak diperoleh jika tidak turut bergabung dalam suatu kelompok dan hal tersebut tentunya akan sangat berbeda ketika memasuki dunia kelompok dan organisasi, baik itu yang terkait langsung dengan pribadi bersangkutan, kelompok atau organisasi lain atau masyarakat secara keseluruhan. Disini selanjutnya akan berlaku ‘seleksi alam’ apakah seorang individu akan tetap untuk berkelompok atau keluar dari kelompok atau organisasinya.
Dapat beragam hal yang timbul dalam kelompok atau organisasi, baik itu berupa ide, pemikiran yang melandasi, terpenuhinya dinamika kelompok ternyata banyak dipengaruhi oleh beragam corak individu, baik pemikiran tadi atau tingkah laku. Dan keadaan ini dilatarbelakangi oleh beragam kepentingan individu yang ada dalam kelompok atau organisasi tersebut.
Dalam beragam bentuk dan idiologi kelompok dan organisasi terdapat pula hal yang harus disepakati antara individu dalam kelompok katakanlah secara sederhana sifat kelompok tersebut, apakah inklusif atau tidak, ketat atau longgar, rahasia atau publiken, tertutup atau terbuka, ekstrem atau moderat, dan beragam aturan lainnya yang tentunya telah disepakati dan menjadi semacam komitmen untuk dilaksanakan oleh seluruh anggota kelompok bersangkutan.
Satu hal penting yang terkait dengan kenyataan di atas yakni bagaimana selanjutnya masing-masing individu dalam kelompok mengapresiasikan dan mengaktualisasikan kesadaran yang ada dalam dirinya agar dapat mempengaruhi kesadaran dan apresiasi kelompok untuk dapat mewujudkan kepentingan kelompok. Aktualisasi kepentingan kelompok tersebut dapat berupa pemikiran kelompok yang akan diwujudkan dalam laku individu dengan lingkungan luarnya (environment) untuk mewujudkan kepentingan kelompok tadi. Untuk hal ini sekedar contoh kita dapat merujuk pada organisasi kepartaian, dimana seringkali sikap, laku perbuatan, statemen atau persepsi individu yang tergabung di dalamnya mencerminkan pemikiran atau hal yang menjadi kepentingan partainya.
Kepentingan kelompok ini, baik secara langsung atau tidak, disengaja atau tidak kerap membentuk persepsi tadi. Dalam hal ini kepentingan kelompok juga erat terkait dengan kepentingan individu yang ada di dalam kelompok tersebut, demikian sebaliknya individu yang ada di dalam suatu kelompok banyak dipengaruhi oleh kepentingan kelompoknya. Namun demikian apa yang menjadi kepentingan kelompok dan organisasi tidak mesti selalu bersesuaian dengan realitas individu dalam kelompok dalam arti dalam realitasnya kerap kali kepentingan kelompok tidak bersesuaian. Dengan kepentingan pribadi, atau malah sering terjadi justru bertolak belakang. Berlawanan.
Untuk hal ini sebut saja misalnya apa yang dilakukan oleh beberapa tokoh partai dalam mewujudkan kepentingan partainya, namun demikian banyak diantara anggota kelompok partai tersebut yang menentang atau katakanlah menolak keputusan partainya. Semisal yang dilakukan oleh Kwik Kian Gie dalam tubuh partai berlambang Banteng Moncong Putih, yang menghendaki adanya perubahan dalam kepemimpinan partai tersebut hal ini setidaknya diakibatkan oleh kekalahan partai dalam mengantarkan Mega-Hasyim menduduki kursi Presiden dan Wakil Presiden. Atau kepentingan para fungsionaris partai berlambang pohon beringin dalam menentang ketua umum partai Akbar Tanjung.
Yang jelas tiap individu dalam suatu kelompok akan mendapatkan hal-hal yang sebelumnya tidak ia pikirkan atau bayangkan, ketika masing-masing individu saling berbagi, saling mempengaruhi, bekerjasama untuk mewujudkan kepentingan kelompok atau organisasi dalam menghadapi realitas yang serba berbeda.
Dalam hal ini, penting untuk dapat kita baca dalam dunia kelompok dan organisasi yakni bagaimana kelompok dan organisasi melihat realitas dengan persepsi, pemikiran dan kesadaran dalam kelompok. Demikian pula terdapat banyak hal yang berbeda antara penilaian kelompok dan penilaian diluar kelompok. Hal ini akan sangat bergantung pada bagaimana suatu kelompok bertradisi dan berbudaya dalam kelompoknya dalam situasi, kondisi dan lokasi yang berbeda. Akhirnya selamat berkelompok bagi yang berkehendak.
Untuk menutup tulisan ini dalam dinamika kelompok alangkah baiknya kita menggarisbawahi pernyataan khulafaurrosyidun Ali Bin Abi Thalib r.a pada salah satu suratnya yang ditujukan pada salah seorang pembantunya dengan mengatakan “siapapun yang memiliki derajat setinggi apapun, tidaklah boleh memiliki anggapan, bahwa dia memiliki kedudukan sedemikian tinggi hingga sama sekali tidak memerlukan kerjasama dengan yang lain. Begitu juga terhadap orang yang dianggap memiliki kedudukan yang rendah. Hingga tidak layak untuk diajak bekerjasama atau membantu dirinya. Tidak seorangpun lebih tinggi dan lebih rendah dari kedudukan kerjasama sosial. Semua orang mempunyai keperluan dan keperluan ada pada setiap orang”.

Bercermin Pada 2002

Tersebutlah sebuah kisah negeri seribu pulau dengan kerajaan-kerajaan kecil, dengan semangat gotong royong dan saling tolong menolong, yang saat ini masih dilanda krisis berkepanjangan, semua tokoh negeri ingin tampil, berkuasa dan menunjukkan eksistensi diri kalau tidak partai dan golongan mereka, bahwa merekalah yang terbaik, yang mampu menghadapai dan memecahkan setiap persoalan dan konflik yang sedang terjadi, di sisi lain terdapat pula kelompok kaum muda dengan koloni-koloni kecil dipinggir-pinggir ideliasme berjejer dengan pernyataan untuk menghibur agar tetap menciptakan perbaikan keadaan negeri dan menjalankan agenda reformasi.
Negeri seribu pulau saat ini dimpimpin oleh seorang tetua negeri hasil seleksi yang ingin menciptakan tatanan dunia baru bagi negeri seribu pulau dalam mengahadapi arus modernisasi dan juga globalisasi, dalam menjalankan roda pemerintahan tetua negeri dibantu oleh para pejabat negeri dengan beberapa koordinator yang membawahi tiap bidang dan urusan, mulai dari sandang, pangan, papan hingga urusan seni, budaya, pendidikan, keamanan bahkan pertahanan dan kebijakan luar negeri, selain itu bertindak pula para sesepuh negeri selaku ‘pengamat’ dan pemerhati jalannya roda pemerintahan dan beberapa lembaga adat negeri yang berstatus sebanding dengan jabatan punggawa negeri.
Lalu, jika demikian kompleknya, sistem alur tata pemerintahan negeri tersebut, mengapa krisis yang dialami demikian berkepanjangan? Hal ini sebagian menyatakan adanya ketidakadilan struktur dalam negeri, akibat dominasi luar negeri dalam berbagai aspek, sebagian lainnya menyatakan kebejatan moral para punggawa negeri, ketidak adilan antara pusat dan daerah dalam negeri, monopoli, utang luar negeri para pengusaha dalam negeri yang makin menumpuk dan harus segera dilunasi oleh sekitar 200 juta penduduk negeri, penghisapan golongan kaya terhadap golongan miskin, pengaruh konsumerisme dan materialisme yang membingungkan eksistensi dari setiap penduduk negeri. Kompleks, demikian sederet penyebab yang menurut para analis mengakibatkan krisis multidimensi dan berkepanjangan hingga saat ini.
Berawal dari permasalahan tersebut di atas, rakyat negeri makin merasa diperbodoh oleh sistem yang secara struktural membodohi dan meninabobokan mereka, karena itulah, seorang tokoh negeri yang prihatin atas keadaan tersebut mengagendakan yang namanya reformasi dari segala bidang kehidupan, singkat cerita, kesuksesan reformasi akhirnya berhasil di laksanakan dengan turunnya tetua negeri sebelumnya pada Mei 1997 dan digantikan posisinya oleh wakil tetua negeri, sukses reformasi ada yang berpendapat hasil kerja keras para kaum muda dalam suatu wadah yang bernama mahasiswa, namun sebagian lain berpendapat, bahwa sukses reformasi diakibatkan karena tetua lama sudah tidak sesuai lagi dengan tata keinginan dan tata pemerintahan Negara tetangga yang katanya super power yang dapat mengatur seenaknya tata bentuk dan tata laku rumah tangga dalam negeri, namun satu hal yang aku yakini bahwa kedua faktor tersebut turut menentukan andilnya terhadap sukses reformasi.
Hingga akhirnya, pada suatu waktu, awal terjadinya pemilihan tetua negeri yang baru, para sesepuh negeri, punggawa, pejabat, tua, muda dan seluruh elemen yang katanya mewakili aspirasi rakyat negeri, turut diundang untuk menentukan siapa sebenarnya yang berhak menduduki jabatan baru selaku tetua negeri.
Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan pertemuan itu dilakukan disebuah bale bambu yang berbentuk kerang, dan tidak luput pula undangan dari luar negeri turut menghadiri pertemuan itu, dan dalam waktu itu pula belum juga ditemukan kata spakat siapa yang akan menduduki posisi jabatan tetua negeri, sebenarnya hal ini dilakukan berhubung tetua negeri hasil transisi hasil reformasi sudah tidak mampu lagi menjalankan agenda reformasi, hal ini banyak para ahli yang merekomendasikan karena waktu yang diberikan terlalu singkat, lebih kurang hanya enam bulan, ada sebagian yang menyatakan bahwa tetua negeri merupakan perpanjangan tangan dari tetua negeri sebelumnya, dan pernyataan yang paling banyak menyatakan tetua negeri tidak begitu disukai oleh Negara tetangga yang super power, inilah diantara sederet alasan lain tetua negeri ingin digantikan posisinya.
Hingga akhirnya adalah seorang tokoh negeri dari golongan pesantren melakukan lobi politik untuk menemukan kata sepakat, mengapa hal itu ia lakukan? Banyak yang menganalisa katanya untuk menemukan dan mengakhiri perbedaan pendapat yang makin memanas antara para peserta pertemuan, demikian pula peristiwa serupa terjadi juga dimasyarakat dari golongan akar rumput mereka saling berbisik satu dengan yang lain dan menuangkan ide-ide antara yang pro dan yang kontra ditiap media karena tempat mereka di bale bambu yang tidak cukup besar untuk menampung kuantitas mereka yang sangat besar.
Walhasil, ternyata tokoh negeri dari golongan pesantren tersebut tidak sia-sia yakni dengan kecerdikannya untuk mempertemukan berbagai sudut pandang akhirnya dialah yang menuai hasil dan terpilih selaku orang yang akan menduduki posisi sebagai tetua negeri yang baru, walau dalam proses perjalanannya ia kurang disetujui untuk menduduki posisi tetua negeri oleh para ulama yang menjadi gurunya di pesantern, namun berkat kepiawaiannya ia tetap dapat menduduki posisi tersebut dan menyatakan dirinya tetap sebagai seorang santri.
Dalam perjalanan kepemimpinannya yang masih dikatakan baru, tetua adat berkeinginan untuk menghilangkan ‘bau’ yang telah tersebar kemana-mana yang selumnya disebar luaskan oleh tetua negeri sebelumnya, misalnya tentang sakralisasi jabatan dan pembersihan para pejabat negeri yang terkait dengan tetua adat sebelumnya, namun usaha tersebut tidak berlangsung lama dan kembali tetua adat merangkul para pejabat dan punggawa tersebut, misalnya dengan mengadakan silaturrahmi, kunjungan pribadi, dan hal ini juga disertai oleh berbagai intrik permainan kata dan kalimat, bukan tanpa makna, yang justru hal inilah yang mengakibatkan berbagai tafsiran, antara yang melihat dari sisi posistif maupun negatif, diantaranya ada yang menganggap wajar karena merupakan ekspresi dari kebebasan dan reformasi yang diperjuangkan, sebagian lainnya beranggapan tidak wajar dan dengan anggapan tetua negeri tidak etis mengeluarkan kata-kata yang tidak pada tempatnya.
Berulang kali misalnya tetua negeri diminta, dihimbau dan didesak, bahkan oleh para teman dekat dan ulama pesantren yang menjadi gurunya untuk tidak ‘ngomong sembarangan’, alhasil, tetua negeri seolah cuek dan tidak mau mengindahkannya, “begitu aja kok repot” kilahnya. Selain hal tersebut banyak juga yang menjadi sorotan tentang seringnya tetua negeri melakukan ‘jalan-jalan’ ke luar negeri yang alasannya adalah kunjungan kenegaraan, padahal tidak sedikit urusan rumah tangga dalam negeri yang masih membutuhkan perhatian dan belum terselesaikan.
Menanggapi berbagai penomena yang terjadi akibat sebagian besar ulah tetua negeri yang terus menerus menjadi sorotan, salah seorang tokoh adat negeri setempat menyatakan bahwa hal tersebut merupakan konsekuansi logis dari usaha menuju demokratisasi massif yang seluruh rakyat negeri inginkan berlangsung di semua lapisan dan semua sendi kehidupan dan masih banyak lagi yang memberi pernyataan-pernyataan yang senada maupun yang pro dan kontra.
Hingga dalam perjalanan kepemimpinannya ternyata banyak diantara pejabat negeri yang kurang setuju dengan pola dan kebijakan yang diterapkan oleh tetua negeri, hingga untuk mengantisipasi keadaan tersebut yang berdampak pada kepastian hukum, kebijakan dalam berbagai bidang, para punggawa yang bernaung dibawah bale bambu mencoba untuk “mencari-cari kesalahan” tetua negeri dengan menelusuri perjalanan kepemimpinan tetua negeri dengan kasus bantuan dana hibbah untuk pangan dari Brunai Darussalam, dengan itu tersebutlah kasus pangan I dan II atau para rakyat negeri lebih mengenalnya dengan istilah kasus bullogate I dan II, hingga akhirnya dalam proses perjalanan pengusutannya tetua negeri merasa dirinya ‘harus mengalah’ dan melepaskan jabatannya selaku tetua negeri. Dengan melambaikan tangan di Istana Negara yang diiringi oleh para teman dekatnya yang saat itu tetua negeri menggunakan celana pendek harus merelakan jabatan bergengsinya itu.
Syahdan, setelah itu pada pekan terakhir Juli 2001, terpilihlah wakil tetua negeri yang kini menjabati ‘Ibu Negeri’, menggantikan kedudukan dengan sisa waktu yang tak begitu panjang. Banyak yang menyatakan kedudukan Ibu Negeri merupakan ‘kemenangan yang tertunda’ setelah ibu negeri gagal dalam pemilihan akibat lobi, menduduki tetua negeri pada sidang di bale bambu pada 1999. Banyak suara sumbang datang dari berbagai kalangan, terlebih media dengan gencarnya mengundang rakyat negeri untuk menganalisa kedudukan ibu negeri sebagai tetua negeri, dalam headline media utama negeri misalnya dalam media daulat rakyat, media waktu, dan media petunjuk arah banyak dijumpai analisis serupa, tema-tema kedudukan ‘ibu negeri’ dan ‘bapak negeri’ yang makin memasuki daerah ‘rawan’ dalam penetapannya, boleh, tidak, hitam, putih, benar, salah, bahkan halal, haram, mau tidak mau tema ini terus menghangat diberbagai pelosok dan kalangan rakyat negeri.
Dibalik suasana memanas suhu politik negeri, tentang sah, tidak, pro dan kontra kedudukan ibu negeri sendiri tetap pada posisinya dan mengambil berbagai kebijakan dalam mengatur urusan rumah tangga baik dalam maupun luar negeri, pidato-pidato kenegaraan yang meliputi seluruh aspek politik, ekonomi, sosial, keamanan di kumandangkan, dengan berbagai kebijakan yang menyertainya, turut andil dalam usaha pemulihan krisis ekonomi, kepercayaan para investor, meningkatnya nilai mata uang Rupiah (Rp.) dalam pasar global dan lainnya.
Dan setelah itu, untuk membantu kelancaran urusan dalam dan luar negeri, ibu negeri memilih beberapa punggawa negeri yang dapat membantu kerjanya, dan terwadahi dalam suatu yang namanya punggawa negeri saling gotong-royong. Pro dan kontra timbul dalam urusan ini. Dalam perjalanan kepemimpinannya sebagai ibu negeri banyak lika-liku yang dihadapi ibu negeri dengan para punggawanya. Dan ini pun dilatarbelakangi oleh penyebab yang beragam, sebut saja akibat suhu politik yang kian memanas para tokoh negeri dan ibu negeri tergabung dalam yang namanya lima tokoh yang dipertemukan di Jawa Barat sana, hal ini dimaksudkan agar citra para tokoh negeri dimata masyarakat yang tetap selalu kompak dalam menjalni agenda reformasi tetap terjaga, walaupun pada kenyataannya hal itu tidak mencerminkan yang sesungguhnya.
Selain itu, kasus demi kasus lainnya terus menghangat, misalnya sebut saja kasus yang menimpa punggawa negeri dengan urusan keagamaan. Dengan seluruh keyakinan tanpa mempertimbangkan kerasionalan dan dampak yang diakibatkan, melakukan ‘pemugaran’ karena adanya keyakinan adanya harta negeri yang tersimpan dibalik ‘prasasti Tulis negeri’ yakni berupa batu yang ditulis seputar kejadian dan peristiwa ini banyak rakyat negeri yang tidak sependapat, malah melahirkan yang namanya aksi rakyat, dengan beramai-rama menyatakan ketidaksetujuan, dan hasilnya punggawa negeri harus berlapang dada merelakan ‘harta negeri’ tetap berada ditempatnya, kasus kedua tersebut adanya penjualan harta negeri ke luar negeri untuk hal ini, tersebut pejabat punggawa negeri yang mengurus milik negeri dalam bidang komunikasi rakyat. Usut punya usut bukannya lancar malah menjadi isu sentral antara yang pro dan kontra, banyak pejabat negeri yang mengomentari misalnya hal tersebut datang dari tetua bale bambu yang menyatakan, harta negeri untuk rakyat negeri saja, tidak untuk di luar negeri, kan kasihan rakyat yang nantinya merugi.
Kasus ketiga adanya kepulauan negeri yang diambil alih oleh tetangga luar negeri, ada dua pulau dan itupun tak terlalu digubris. Katanya pulau itu kecil-kecil, kan tak jadi soal karena kita memiliki lima pulau yang besar, itupun alasannya tak habis digali karena ya itu SDM-nya yang kurang, disudut meja para tokoh negeri, Hal ini dipertanyakan, lalu bagaimana reaksi ibu negeri?. Ibu negeri lebih menyerahkan hal ini pada punggawa urusan luar negeri, katanya yang sudah diambil ya relakan saja, kan sudah bukan milik negeri kita lagi, kan itu haknya mereka, dan kini kasus itu ia tenggelam juga, adem ayem tenang-tenang saja. Sebenarnya masih banyak urusan dalam negeri ya mungkin hal itu kurang tercermati saja oleh para rakyat negeri, termasuk saya, atau lebih karena keacuh-tak acuhan kita apalagi jika menyerahkan itu sepenuhnya urusan ibu negeri, tersebut misalnya negeri yang menyangkut punggawa Mahkamah Agung negeri, apalagi urusan punggawa negeri, urusan ketertiban masyarakat. Hal ini bahkan menjadi isu sentral dan menu sarapan kita dipagi hari, dengan adanya ‘kemarahan’ dari ‘anak negeri’ karena tidak keadilan yang dirasakan dalam berbagai aspek, yang paling dominan dianak tirikan ‘peran’ yang telah diberikan karena itulah terjadi ‘penghancuran’ dan itu terjadi didaerah ‘pariwisata’ dalam negeri.
Urusan belum selesai sampai disitu, para anak negeri yang seluruhnya melakukan penghancuran ditangkap oleh petugas kamtibmas, ada yang beranggapan itu tindak pidana, sebagian lagi beranggapan itu karena ‘desakan’ dari negeri super power yang lainnya bahkan menganggap sebagai suatu ‘panggilan suci’, bahkan ‘kewajiban’ dan itu menurut anda yang benar mana? Kasus belum selesai, seorang ‘guru’ negeri dituduh dibalik itu semua. Ada yang berpendapat sebagai tindak lanjut dari adanya organisasi yang di Negara teluk sana yang dituduh ‘perusak’ dunia dan meiliki cabang yang salah satunya di dalam negeri. Usut punya usut ‘ikatan agama’ yang menjadi sasaran dan diadili, yang kontra menyatakan ini ulah negeri kanguru yang warganya menjadi korban penghancuran dan ujungnya mereka tidak rela. Akibatnya sang guru ‘menantang’ punggawa luar negeri Negara kanguru tersebut, dan yang pro sebaliknya, melakukan hubungan lebih erat lagi dengan negeri kanguru. Misalnya melakukan kegiatan kamtibmas secara bersama-sama, ditambah kegiatan ‘intai-mengintai’ dan saling tukar informasi. Banyak juga yang lain beranggapan hal ini merupakan tindak lanjut dari ‘penekanan terhadap kedua agama’ Di dalam negeri setelah terjadinya penghancuran terhadap dua gedung kembar di negeri super power sana.
Terkait dengan permasalahan di atas banyak komentar dari banyak tokoh dalam negeri, apalagi yang menyangkut bidang politik dan kekuasaan diantaranya ada yang mengatakan ini konsekuensi logis akibat adanya ketidak adilan, dominasi dalam berbagai bidang, eksploitasi dan jenis-jenis isme-isme dan idiologi lain yang dibawa oleh negeri barat ke dalam negeri. Dalam skala lain banyak yang menyatakan rakyat dalam negeri mengalami krisis identitas diri sebagai satu kesatuan yang diwajibkan untuk dipertanyakan lagi, masuk dalam rumah yang mereka tidak tau arah dan pintu mana tempat mereka masuk, padahal hanya satu pintu.
Akibatnya jumlah permasalahan makin bertambah banyak terlebih dengan mencuatnya kasus para rakyat negeri yang bekerja di luar negeri, pelecehan seksual, hukuman rajam dan para calo yang tidak bertanggungjawab. Padahal kalau ingin jujur, merekalah sebenarnya asset negeri yang banyak mendapatkan pendapatan dalam negeri, ditambah lagi para anak negeri yang ingin keluar dari negeri sendiri, dengan membentuk negeri yang baru. Sepertinya rakyat negeri dengan pengalam hidup dalam sistem pemerintahan yang telah mereka jalani telah dibekali dengan berbagai pelajaran berharga tentang berbagai tindak ketidakwajaran dan ketidakadilan, karenanya wajar saja jika mereka berkeinginan untuk mensejahterakan diri dengan melalui pelepasan diri dari sistem yang tidak adil. Walau cukup efektif kiranya bualan yang diberikan oleh sistem lama dengan menciptakan kebijakan yang bertujuan untuk mengatur sendiri urusan rumah tangga negeri sendiri, dan semoga dengan hal ini tidak meninabobokan dan menciptakan para punggawa negeri dengan warisan bentuk penindasan dan eksploitasi gaya baru.
Demikian kiranya sederet permasalahan yang dapat kita telaah dalam berbagai dimensi kehidupan, dengan tujuan ini sebenarnya maksud dan tujuan penulis mengembangkan dan mereview balik yakni agar dapat menciptakan bentuk kesadaran krisis rakyat negeri. Tentang keadaan yang meninabobokkan mereka, dan tidak melulu disibukkan dengan orientasi jangka pendek yang tanpa disadari melanjutkan sisi realitas hidup yang terus memprihatinkan yang selanjutnya bagaimana bentuk solusi yang diinginkan untuk menghilangkan ketidakadilan dapat bersama dipikirkan tentu dengan kebebasan dan tanggung jawab.
Akhir kata seratus halamanpun takkan habis jika terus mengkaji dan bercermin dari perjalanan sejarah, namun yang terbaik yakni kemampuan kita dalam menangkap semangat dari berbagai bentuk pemikiran dan telaah krisis yang tidak menginginkan langgengnya status quo dalam berbagai bidang yang tak disadari, akhirnya, mari memikirkan, dan bekerjasama.

M e g a t r u h

Aku pernah begitu membenci sosok pribadi yang bernama Aku. Pertama kemungkinan karena Aku terlahir disini, Indonesia, sebuah nama dan sebutan yang secara defacto atau the jurre di-Aku-I eksistensinya. Namun bagi Aku, nama itu dari sudut dan sisi manapun kulihat, akan tampak tambahan-tambahan ibarat sebuah kain yang sudah usang dan membutuhkan pemahaman baru untuk menyulam kembali tenunan itu, dan bak seorang penenun kain yang mengurai tenunannya kembali. Kedua karena Aku pikir ke-Aku-an ini terpengaruh oleh ke-Indonesia-anku, lalu bagaimana jika Aku hidup dan terlahir di Cina tempat lahirnya Kong Hu Cu, atau di India tempat lahirnya Budha Gautama, atau di Yunani tempat lahirnya Plato, atau di Prancis tempat lahirnya Rene Descartes, atau mungkin di Makkah tempat lahirnya Yang Mulia Nabi Muhammad SAW, yang lebih mengetahui ke-Aku-an mereka.
Dan ketiga, karena ke-Aku-an ku kini hendak Aku gantikan dengan kewesternisasian, kekapitalanku, kehedonisanku, dan ke-isme-isme yang lainnya, tanpa pernah Aku kembali perduli bahwa disini, Indonesia pernah tertanam ke-Aku-an oleh Chairil Anwar, para Foundhing Father, Patih Gajah Mada, atau Ibu Pertiwi.
Entah karena apa Aku juga pernah membenci sebuah kata yakni Indonesia, mungkin karena saat ini Aku masih hidup dan tinggal disini, atau karena alasan teman, saudara, sahabat, atau orang tua yang masih menghendaki Aku memiliki rasa nasionalisme untuk Indonesia ini. Aku membenci Aku dan Indonesia, lantaran Aku hidup dan dibesarkan disini, lantaran badut-badut serakah nan lucu menjadi tetangga keseharianku, lantaran setiap detik menerima kenyataan harus teriming-imingi oleh pengaruh konsumerisme yang membingungkan, materialisme yang mengharukan atau westernisasi dan modernisasi yang setiap saat menyerang sendi-sendi tulang tangan, kaki dan hatiku.
Aku pernah juga merasa, mungkin untuk sekedar untuk tidak menghirup oksigen dialam bebas akan lebih baik jika dibandingkan dengan keracunan udara dan hati yang terus menyerangku bak virus ganas yang mengintai mangsanya tiap saat, tiap waktu sekalipun, karena setiap keseharian keadaan yang kulihat dikelilingi oleh tengkorak-tengkorak berjalan yang siap memangsa sesamanya, mengitari gedung-gedung pencakar langit dengan papan nama disebelah kiri dan kanan yang menganga meminta diisi oleh lembaran uang ratusan atau ribuan, perahan keringat si miskin, tangisan bayi kelaparan dan sederet kisah memilukan lainnya.
Atau para raksasa buas dengan pakaian elitnya, limolsien ala Amriknya, atau gantungan kredit card dikunci mobilnya, dan gantungan para wanita cantik dibahu sebelah kirinya. Kehidupanku kini mungkin tidak baik, baik bagi kelanjutan ke-Aku-an-ku. Karena itulah Aku menolak, karena keadaan yang tiap hari Aku tak bisa, tak mampu dan tak sanggup menghadapinya, terlebih hanya untuk menarik nafas panjang menghilangkan keresahan, tak tahu meski bagaimana, harus apa dan bagaimana, berteriak dikira pahlawan kesiangan, turut berdemonstrasi dikira pesanan. Aku menolak karena Aku merasa telah dikecewakan oleh tanah tumpah darah bundaku, tanah yang telah diagungkan oleh Cicit Buyutku, oleh para Foundhing Father, oleh Khairil Anwar, atau oleh Maha Patih Gajah Mada.
Aku hanya bisa diam, tidak terendam, namun menyusun strategi perhitungan. Untuk satu kata Perubahan. Untuk ke-Aku-anku, untuk ke-Indonesia-anku, untuk nasionalisme para founding Father, untuk Ukhuwah Sang Guru, untuk Sumpah Palapa Patih Gajah Mada, untuk ke-Aku-an Khairil Anwar, dan sederet sumpah 1908.
Untuk ke-Aku-an kini harus kulakukan, tak berbekal Rudal Scud Irak, Rudal Tom Hawk Amerika, kini Aku harus jalankan hanya dengan keinginan dan kemauan untuk satu perubahan, kata sakti dari pak Imin, dimana ada kemauan disitu ada jalan, menjadi senjata pemusnah masal yang dapat diguncangkan, menjadi ‘bom Islam’ yang dapat diledakkan, ditambah keyakinan dengan do’a karena Aku berkeTuhanan.
Dengan modal itu, seperti serdadu dimedan laga, seperti Bima dengan gadanya, seperti Arjuna dengan busurnya, Cut Nyak Dien dengan Rencongnya, ditambah Muhammad SAW dengan ajaran sucinya. Aku meski melawan. Terlempar kearah kalian dengan berharap kalian akan ikut untuk menyemarakkan, atau sekedar menjadi penonton dipinggiran dengan menebar pesona pro dan kontra dalam setiap kesempatan. Terserah.
Ini bukan perang duni II, bukan perang Salib atau Perang Teluk, atau Perang Pimpinan Koalisi, atau perang lain yang disebutkan. Inilah perang suci untuk sebuah eksistensi, ke-Aku-an, ke-Indonesia-an. Seutuhnya.
Tanpa gaya seksi ala Madona, gaya Macho ala Tom Cruise, atau gaya Bollywood ala India, atau westernisasi dan modernisasi yang tak bertanggungjawab ala Amerika, terlebih Eropa, atau gaya Padang Pasir ala Timur Tengah. Tapi Aku yang hendak Aku tegakkan yakni, Indonesia dengan eksistensinya, dengan semangat kegotongroyongannya, dengan kekeluargaannya, untuk satu generasi yang telah hilang itu mutlak untuk dikembalikan atau dengan sebuah kata pengabdian: sebuah Kewajiban.Ke-Aku-an, ke-Indonesia-an yang : Pertama, tanpa mendapat deraan dan tekanan sosial politik dan ekonomi yang berpengaruh terhadap psikologi ke-Aku-an dan keIndonesiaan. Kedua, Ke-Aku-an dank ke-Indonesia-an yang mampu menjelaskan siapa diri, kelompok atau bangsanya secara adukuat yang dilandasi oleh rasa percaya diri, semangat nasionalisme dan kesucian keyakinan yang mengakar. Ketiga, ke-Aku-an yang mampu berdiri sendiri, yang berani mengatakan sepakat untuk tidak sepakat. Dimana tidak ada lagi ke-Aku-an, keIndonesiaan yang hilang dari problemasi, tantangan kebutuhan dan tidak akan hilang dari romantika dan dinamika zamannya

Jumat, 19 Juni 2009

Dinamisasi Hukum Islam Mahmud Syaltut

Mengatakan bahwa Islam adalah agama universal hamper sama kedengarannya dengan mengatakan bahwa bumi itu bulat. Hal itu benar, terutama untuk masa akhir-akhir ini, ketika ide tersebut yang dikemukakan orang baik sebagai suatu sekedar bagian dari apologi maupun untuk pembahasan yang lebih sungguh-sungguh. Hokum islam itu dalam kenyataan sebenarnya adalah produk pemikiran hokum islam yang merupakan hasil interaksi antara yuris muslim sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya2
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin senantiasa dituntut untuk mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan manusia yang universal, sehingga islam tidak pernah kehilangan relevansinya baik dengan waktu maupun tempat sebagai8mana yang pesimis kepadanya, sehingga islam dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajarannya mampu menjadi manhaj manusia dalam berprilaku dan berhubungan dengan lingkungan zaman dan alam, dan juga mampu membentuk tatanan masyarakat yang berkeadilan.
Mahmud Syaltut akan memberikan pemahaman kepada kita bagaimana agar islam bias dipahami dengan baik, dan dapat dipahami dan diamalkan dengan mudah, sehingga islam akan selalu kondisional dan dapat selalu beradaptasi dengan perkembangan kehidupan manusia, khususnya manusia modern.
Terdapat dua aspek yang menonjol dalam pemikiran Syaltut yaitu terkait masalah-masalah kontemporer serta masalah fanatisme mazhab. Hal inilah yang dibahas dalam makalah ini yakni untuk mengetahui factor apa yang berpengaruh dalam pemikirannya.
Biografi Singkat Mahmud Syaltut dan Karyanya.
Mahmud Syaltut dilahirkan tahun 1893 di desa Maniyah, bani Mansur Propinsi Bukahirah, Mesir. Sejak kecil Syaltut telah memperlihatkan keinginan yang besar dalam ber-tafaquh fid diin (belajar islam). Pendidikannya dimulai dikampung halamannya dengan menghafal al qur’an pada seorang ulama setempat.3
Pada tahun 1906, Syaltut mengajar dialmamaternya. Bersamaan dengan itu terjadi gerakan revolusi rakyat mesir melawan colonial Inggris. Ia ikut berjuang melalui ketajaman pena dan kepiawaian lisannya sehingga banyak sekali tulisannya diterbitkan. Disamping itu pula ia juga terlibat mempelopori jama’ah al-Taqrib Baina al-Mazahib, sebuah organisasi anti fanatisme mazhab dalam hokum islam.
Dari almamaternya Syaltut lalu pindah ke Al-Azhar, selain sebagai pengajar di institusi pendidikan tertua di dunia ini, ia menjabat beberapa jabatan penting, mulai dari penilik pada sekolah-sekolah agama, wakil dekan fakultas syari’ah, pengawas umum kantor lembaga penelitian dan kebudayaan islam Al-Azhar, wakil Syeikh Azhar (pimpinan tertinggi Al-Azhar). Ulama dan tokoh kharismatik ini meninggal dunia pada tanggal 19 Desember 1963.
Saat menjadi pengajar di Al-Azhar pada tahun 1927 ia sudah mulai melakukan usaha-usaha pembaharuan pemikiran dengan gagasan bahwa sudah saatnya Al-Azhar melakukan reformasi ilmu pengetahuan dan tidak tertutup bagi kemajuan zaman namun hal ini ditentang oleh ulama-ulama tradisional yang menguasai Al-Azhar dan iapun sempat dikeluarkan dari Al-Azhar.
Pada masa hidup Syaltut, mesir saat itu sedang mengalami perubahan social yang begitu cepat. Kedatangan bangsa Eropa dengan kemajuan teknologinya membuka cakrawala berfikir masyarakat Mesir, tidak terkecuali terhadap cara pandang dan berfikirnya Syaltut.
Ditengah pergulatan nilai-nilai budaya lamadan nilai-nilai budaya baru itu, Syaltut tumbuh dan berkembang seirama dengan perkembangan social dan budaya tersebut. Interaklsi social budaya Eropa dengan masyarakat mesir yang begitu intens, berakibat merubah cara pandang dan cara berfikir masyarakat Mesir. Bahkan berakibat pula merubah struktur social yang telah ada. Berubahnya cara pandang dan struktur social masyarakat mesir tersebut berpengaruh juga terhadap pemikiran Syaltut. Kenyataan ini dapat dilihat dari timbulnya budaya baru dikalangan masyarakat Mesir saat itu kaum pria cenderung melakukan perkawinan dengan non muslimah dari kalangan bangsa Eropa. Sehingga Syaltut dalam fatwanya melarang perkawinan seorang pria muslim dengan wanita Eropa non muslimah karena dikhawatirkan pria beserta anaknya akan terpengaruh dengan budaya dan agama istrinya.
Beberapa karya Mahmud Syaltut yang terkenal antara lain Tafsir al Qur’an al-Karim al-Ajza’ al-‘Asyra al-‘Ula, Al-Fatawa, Al-Islam ‘Aqidah wa Syariah dan MUqarranah al-Mazahib Fi al-Fiqh.
Pokok Pemikiran Mahmud Syaltut Tentang Ijtihad.
Terdapat berbagai macam rumusan yang dikemukakan ulama berkaitan dengan ijtihad. Namun dari rumusan-rumusan tersebut dapat diambil beberapa esensi yang menjadi syarat bagi terwujudnya ijtihad, yakni : pertama, ijtihad merupakan upaya pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh ulama; kedua, tujuan ijtihad adalah untuk mendapatkan kepastian hokum yang sifatnya zanni; ketiga, ijtihad dilakukan terhadap hokum yang sifatnya amali; keem[at, dilakukan dengan melalui istinbat; kelima, obyek ijtihad hanyalah dalil-dalil yang zanni atau yang tidak ada dalilnya sama sekali.4
Mahmud Syaltut mempunyai pendapat yang tegas bahwa ijtihad untuk selamanya tetap terbuka. Menurutnya pengakuan hak berijtihad secara perseorangan maupun kolektif seluas-luasnya kepada ulama untuk menciptakan aturan-aturan dalam rangka mengatur urusan masyarakat islam sesuai perkembangan zaman, asalkan tidak bertentangan dengan pokok-pokok syariah yang pasti (usul al-syari’ah al-qat’iyah).
Menurut Syaltut sumber hokum bagi seseorang yang melakukan ijtihad adalah Al Qur’an, Al-Sunnah, dan Ra’yu. Dengan urutan yang tegas artinya terhadap masalah yang diijtihadi, pertama harus dicari rujukannya dalam Al-Qur’an. Bila tidak ditemukan maka beralih ke Al-Sunnah. Jika tidak ditenmukan informasinya dalam Al Qur’an dan Al Sunnah maka menggunakan al-Ra’yu.
Dalam persfektif Syaltut, bahwa melakukan ijtihad dengan ra’yu adalah mempersamakan hokum terhadap masalah yang tidak ada nashnya dengan masalah yang telah ada hukumnya dalam nash. Termasuk dalam lingkup menggunakan al-ra’yu menurut Syaltut adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah kulliyah. Kulliyah yang diserap dari nasah terhadap masalah yang tidak ditunjuk oleh nash. Syaltut memiliki pemikiran yang sejalan dengan pendapat ulama yang lain yaitu : bahwa nash al Qur’an yang dikemukakan dengan tegas dan pasti maksudnya dan tidak ada pengertian lain maka tidak diberlakukan ijtihad seperti kewajiban solat, zakat, larangan zina dan lainnya. Sedangkan ayat-ayat yang dikemukakan dalam redaksi yang kurang tegas tentang kandungan yang dimaksud, sehingga menimbulkan perbedaan pemahaman maka ada wilayah ijtihad terhadap ayat tersebut.
Pandangan Syaltut merupakan dorongan agar aktifitas ijtihad dapat berkembang, dan tidak terkungkung dalam suatu paradigm lama. Mengenai sumber hokum ijma’ menurut Syaltut ijma’ yang menjadi sumber hokum adalah ijma’ yang dihasikan terhadap masalah-masalah yang tidak dikemukakan oleh nash. Ijma’ yang demikian itu menjadi sumber hokum yang ketiga dalam penetapan hokum, karena berdasarkan al ra’yu. Sedangkan ijma’ yang dipakai para mujtahid berdasarkan suatu nash maka ijma’ yang demikian itu menurut Syaltut bukan sebagai sumber hokum setelah al Qur’an dan al Sunnah karena landasannya sudah jelas yaitu nash itu sendiri.
Dari uraian di atas tercermin dinamika hokum islam dalam menetap perkembangan zaman, agar perubahan masyarakat yang semakin cepat itu dapat diimbangi pula dengan perkembangan hokum islam, agar tidak ada kesenjangan antara dinamika masyarakat dan perkembangan hokum itu sendiri.
Ikhtilaf dan Taqrib al-Mazahib.
Perbedaan-perbedaan pendapat dalam memahami teks-teks syar’I merupakan kekayaan kita akan wacana pemikiran, dan juga merupakan bagian dari kebebasan berfikir yang diberikan oleh islam kepada manusia dalam rangka memahami agamanya secara detail.
Perbedaan yang timbul itu disebabkan oleh metodologi yang berbeda pada seorang mujtahid dalam memahami nash-nash syar’I, dan juga cara pandang yang berbeda dalam melihat sebuah masalah, sehingga hasil ijtihadnyapun berbeda.
Perbedaan-perbedaan yang muncul dan akhirnya menjadi sekte-sekte ataupun aliran-aliran, menurut Syaltut merupakan proses menyejarah. Sejarah menunjukkan setelah nabi saw wafat banyak pemahaman-pemahaman yang berbeda dalam melihat nash-nash syar’I dan akhirnya perbedaan-perbedaan ini banyak termuati oleh nuansa-nuansa politis dan muatan-muatan fanatic. Namun demikian menurut Syaltut walaupun jurang perbedaan diantara mereka begitu besar bahkan sulit untuk disatukan, tetapi pada hakekatnya mereka mempunyai satu sasaran tujuan yang sama dalam memahami islam yaitu mencari kebenaran. Walaupun kebenaran yang diyakini dan didapatinya menimbulkan perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.
Oleh karena sebenarnya ada satu prinsip dan hakikat tujuan yang sama tersebut antara satu mazhab dengan mazhab lainnya dalam memahami nash-nash syar’I, Syaltut melontarkan gagasan tentang “Taqrib al Mazahib” di mana kita berusaha mempersatukan visi dan persepsi pemahaman keagamaan kita tanpa melihat symbol-simbol aliran yang kita yakini, dan dengan meminimalisir fanatisme mazhab yang selama ini membekas dalam prilaku keagamaan kita. Gagasan ini bukan berarti kita harus menghilangkan pluralism mazhab yang ada, ataupun menyatukan antara mazhab yang satu dengan mazhab lainnya, tetapi lebih diarahkan untuk mengurangi sekat-sekat keagamaan yang telah menyejarah, dan membersihkannya dari unsure-unsur fanatisme aliran, sehingga umat islam bias menyamakan barisannya dan menghimpun kekuatannya dalam satu kekuatan besar tanpa melihat mazhab yang diyakininya.
Dalam konteks ini Syaltut memberikan komentar terhadap buku DR Musthof Syak’ah “Islam Bila Mazahib” bahwa karya ini relevan dengan dinamika pluralitas pemahaman keagamaan yang selama ini telah menyejarah, sehingga dengan karya ini kita diharapkan mampu memahami dan menyadari tentang perbedaan-perbedaan pemahaman keagamaan yang muncul dan berkembang sampai saat ini. Dan dengan kesadaran ini pula, pada akhirnya kita dapat meminimalisir perbedaan ataupun fanatisme mazhab yang ada, untuk selanjutnya kekayaan akan pluralitas itu kita dayagunakan dan kita himpun menjadi sebuah kekuatan.5
Beberapa Produk Ijtihad Mahmud Syaltut
Dalam percaturan intelektual Syaltut dikenal sebagai tokoh dan cendikiawan yang memiliki tipologi seorang mujtahid dan mujaddid dengan pemikiran islam moderat dan fleksibel. Itu bias dilihat terutama dalam pandangannya mengenai relasi antar agama, hokum islam, pluralism dan ragam aliran pemikiran dalam islam.
Dalam masalah kebebasan beragama misalnya, Syaltut melihat bahawa hal itu sesuatu yang mesti dan dijamin dalam islam. Manusia, katanya, mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Dengan kemampuan akal dan amal yang diperbuatnya, derajat manusia akan makin dekat dengan sang Khalik. Manusia diciptakan Tuhan bebas untuk melakukan apa yang diingininya.
Dalam mengkaji suatu masalah, ia selalu menggunakan pendekatan naql dan aql. Hal demikian lalu ia konvergensikan dengan penajaman pandangannya, dan menimbang apa yang disampaikan oleh ulama sebelumnya untuk kemudian ia pertimbangkan menjadi suatu keputusan hokum. Konsistensi dalam berpendapat selalu dipegang erat. Karena itu, tak jarang Syaltut berbeda pendapat dengan ulama lain.
Dalam pembaharuan pemikirannya, Syaltut dengan logika yang cerdas melakukan penafsiran ulang terhadap ayat nash Al Qur’an yang dianggap kurang tepat. Ia tergolong ulama yang mengembangkan penafsiran al-maudhu’I (tematik) dan diakui kontribusinya dalam pengembangan tafsir. Ia juga mempunyai visi yang jelas dalam emmahami dan menafsirkan teks nash yaitu ayat-ayat Al Qur’an yang berlatarbelakang sosiologis tidak seharusnya dipahami dan ditafsirkan secara teologis. Dengan demikian, Syaltut berusaha keras merombak argument-argumen tafsir atas ayat sosiologis yang telah dipatenkan menjadi ayat-ayat teologis yang bersifat absolute itu menjadi ayat-ayat sosiologis yang bersifat kontekstual. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya atas firman allah swt dalam Q.S. Al Baqarah ayat 282.
Menurutnya, misi dari ayat tersebut adalah berkaitan dengan soal kepercayaan mengenai transaksi hutang piutang, bukan berkaitan dengan persoalan didepan pengadilan. Mengenai disebutkan dalam ayat tersebut “satu orang laki-laki dan dua orang wanita” karena saat itu (secara sosiologis) wanita terbiasa terjun dalam perniagaan, sehingga dikhawatirkan ingatannya agak lemah dibandingkan dengan kaum laki-laki yang saat itu menekuninya. Syaltut menegaskan “bahwa al Qur’an diwahyukan pada saat kaum wanita tidak lazim aktif dalam berbagai transaksi financial dan kurang akrab dengan masalah perniagaan dibandingkan dengan kaum laki-laki, karenanya ingatan kaum wanita dalam urusan keuangan lemah, sebaliknya dalam urusan rumah tangga wanita lebih unggul” Syaltut menegasakan “jika kaum wanita itu berada dalam posisi dan tradisi ikut terlibat dalam urusan perdagangan, keuangan dan transaksi hutang piutang, maka tentu saja mereka berhak mensejajarkan diri untuk mendapatkan kepercayaan dan kesaksiansebagaimana kepercayaan yang diperoleh laki-laki”
Pemikiran Syaltut lainnya yang cukup signifikan yang dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan hokum islam adalah prinsip mengedepankan persamaan hak didepan hokum demi keadilan dan nilai kemanusiaan diatas sekat-sekat social agama, social kemayarakatan dan perbedaan gender. Oleh karena itu menurutnya, tidak ada perbedaan perlakuan dihadapan hokum antar orang islam dan non islam, laki-laki dan wanita, antara merdeka dan hamba sahaya, antara orang tua dan anaknya. Semuanya sama dihadapan hokum.
Dalam bidang muamalah, Syaltut bersikap fleksibel. Menurutnya parinsip syari’at islam dalam bidang muamalah adalah terpenuhinya maslahah. Apalagi jika suatu masalah itu tidak ada larangan dalam nash, maka hal itu diperbolehkan. Pendekatan maslahah yang digunakan dalam bidang muamalah ini mengantarkan kepada suatu pendapat bahwa keuntungan dari Bank tabungan Kantor Pos itu boleh dan aktivitas obligasi itu tidak bertentangan dengan syariah islam. Menurut Syaltut, bahwa keuntungan yang diberikan kepada Bank Tabungan Kantor Pos kepada pemilik modal adalah halal, karena uang yang dititipkan oleh pemiliknya bukan merupakan hutang bank, melainkan merupakan penyertaan modal pemilik uang untuk kemaslahatan bank. Dengan demikian kantor pos dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Dalam pemikiran hokum, Syaltut berasumsi bahwa terwujudnya suatu maslahah itu sesuai dengan sityuasi dan kondisi yang ada, saat suatu maslahah itu terjadi sehingga mendorong seorang mujtahid untuk melakukan ijtihad. Dengan pemikiran seperti ini, maka dapat dimaklumi jika ia berpendapat bahwa seseorang yang melakukan perzinaan maka orang tersebut dikenakan had walaupun tanpa ada empat orang saksi laki-laki. Dikenakannya hukuman had dalam kasus tersebut karena adanya maslahah yang menghendakinya yaitu agar kehormatan seseorang, kerukunan rumah tangga dan ketenangannya terjaga, serta keturunannya juga terjaga.
Prinsip Syaltut yang mengedepankan maslahah juga terlihat dalam pemikirannya dalam merespon masalah baru yang timbul dalam masyarakat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Hal ini terlihat dari pendapatnya yang menyatakan dengan tegas kebolehan inseminasi buatan dengan persyaratan : pertama, inseminasi dilakukan dengan sperma si suami sendiri, kedua, ovum dibuahi harus dari istri sendiri dan ketiga, rahim tempat kandungan itu dibesarkan harus dalam kandungan istri sendiri dan terakhir, inseminasi diperlukan untuk membantu pasangan suami istri yang mandul harus sesuai dengan ketentuan syara’.
Pemikiran lainnya dalam masalah kontemporer adalah kebolehan melakukan keluarga berencana (KB). Menurut Syaltut perdebatan yang terjadi dikalangan pakar hokum islam tentang KB dikarenakan mereka mengasumsikan KB dengan pengertian Tahdid an-Nasl (pembatasan anak/keturunan) atau dengan pengertian Taqlil an-Nasl (penyedikitan anak/keturunan) saja, tidak dengan pemahaman lain. Maka Syaltut memberikan pemahaman KB dalam pengertian Tanzim an-Nasl (pengaturan keturunan/penjarangan kelahiran). Dengan demikian diperbolehkannya melakukan KB harus dengan berbagai pertimbangan antara lain terpeliharanya kesehatan dan keselamatan ibu dan anak baik jasmani maupun rohani, selama mengandung, melahirkan dan memelihara anak serta terpeliharanya kesehatan anak akibat penyakit bawaan orang tuanya.
Sebagai penutup perlu dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut : pertama, pemikiran Mahmud Syaltut banyak dipengaruhi oleh system social, dimana budaya masyarakat Mesir saat itu sedang mengalami pergumulan dengan budaya Eropa sehingga banyak budaya dan masalah-masalah kontemporer saat itu menjadi perdebatan disamping juga masih kuatnya fanatisme mazhab. Kedua, Mahmud Syaltut melakukan ijtihad dengan menggunakan al ra’yu sebagai sumber hokum ketiga setelah al Qur’an dan al Hadits. Ijtihad dengan ra’yu adalah mempersamakan hokum terhadap masalah yang tidak ada nashnya dengan masalah yang telah ada dalam nash. Ketiga, dalam persfektif pembaruan hokum islam dalam bidang muamalah dewasa ini, pemikiran tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan. Konsep muamalah yang fleksibel akan lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat dimana hokum itu diberlakukan.
Daftar Pustaka
Taha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, UII Press, Yogyakarta, 2001.
www.republika.co.id./index_suplemen.asp?mid=5&kat_id=147&kat_id1=217.
H,M. Atho Mudzhar, Membuka Cakrawala Ijtihad : antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta. Titian Ilahi Press, 1998.
http://members.tripod.com/adm/img/common/ot_smallframe.gif?rand=25451=KMNU Online
Arief H. Abd. Salam Pembnaharuan Pemikiran Hukum Islam : antara Fakta dan Realita, LESFI, Yogyakarta, 2003.
Widjan, aden SZ dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, Safiria Insania Press, Yogyakarta, 2007.
1 Disampaikan dalam diskusi kelas mata kuliah : Pendekatan dalam Pengkajian Islam. Dosen Pengampu Prof. Dr. H. Akh. Minhaji, M.A. Program Studi : Hukum Islam, Konsentrasi : Keuangan dan Perbankan Syariah, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2007. M. Safwan adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2007/2008.
2 Taha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, UII Press, Yogyakarta, 2001.
3www.republika.co.id./index_suplemen.asp?mid=5&kat_id=147&kat_id1=217.
4 H,M. Atho Mudzhar, Membuka Cakrawala Ijtihad : antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta. Titian Ilahi Press, 1998. Hal.60
5 http://members.tripod.com/adm/img/common/ot_smallframe.gif?rand=25451=KMNU Online

Mampu Ekonomi Syariah Menggantikan Kapitalisme?

Mampukah Ekonomi Syariah Menggantikan Kapitalisme?

Sistem ekonomi syariah yang dimotori oleh perbankan syariah sekarang sedang naik daun. Hampir semua bank memiliki divisi syariahnya. Perbankan ini juga disinyalir tahan uji, karena menerapkan sistem tanpa riba dan hampir 100% bergerak di sektor riil. Benarkah sistem ini bisa menantang kapitalisme?
Kapitalisme mengalami cobaan berat. Krisis telah berlangsung berkali-kali mendera sistem ini. Sistem ini terlihat tidak stabil. Krisis ini dianggap sebagai kegagalan. Wajar saja berbagai pihak mulai mencari sistem alternatif.
Kebetulan sekali sistem perbankan dalam kapitalisme menggunakan ’sistem bagi hasil’ yang nilai bagi hasilnya ditetapkan di depan. Dan ini dinamakan riba. Kemudian dengan mudahnya orang menuding riba inilah sebagai penyebab kegagalan kapitalisme.
Ada berbagai wawasan yang perlu dikembangkan dalam menyikapi pengembangan ekonomi syariah termasuk perbankan syariah dengan menarik pelajaran berharga dari sistem kapitalisme yang pada banyak hal sistem ini berhasil menyejahterakan rakyat.
* * *
Saya teringat pelajaran di buku biologi SMP tentang keseimbangan ekosistem. Di dunia ini sudah takdirnya serigala memangsa rusa. Namun sekitar tahun 1960 an di Amerika Serikat, terjadi gerakan pencinta rusa yang bertekad untuk melindungi rusa dari serigala pemangsa. Usaha ini berhasil, banyak serigala mati tertembak sehingga banyak rusa bisa selamat.
Keadaan bahagia ini ternyata tidak berlangsung lama. Membunuh serigala berarti merusak keseimbangan ekosistem. Karena bebas dari pemangsa, populasi rusa melonjak pesat. Makanan rusa berupa daun-daunan ternyata tidak cukup untuk menghidupi seluruh populasi rusa. Akhirnya banyak rusa itu mati kelaparan.
Pelajaran penting di sini adalah kita melihat suatu hal yang baik ataupun buruk dalam kacamata yang sempit, tanpa terlalu memperhitungkan sistem yang lebih besar.
Sama seperti halnya ekonomi syariah termasuk perbankan syariah sangat menekankan larangan riba. Suatu kehati-hatian tingkat tinggi terhadap sistem keuangan. Apakah kehati-hatian ini bisa merusak sistem yang lebih luas?
Dalam buku The World is Flat, Thomas Friedman, ada kisah seperti ini. Pada suatu ketika ekonomi ”dotcom” tumbuh gila-gilan. Setiap 15 detik ada 1 perusahaan ”dotcom” yang “go public”. Semua investasi tumpah ruah di sektor ini sehingga akhirnya timbul gelembung. Investasi menjadi tidak rasional yang tidak sesuai dengan kenyataan riil keadaan bisnis. Akhirnya gelembung ini pecah.
Kemudian Bill Gates memberi jawaban yang membuka wawasan soal gelembung ini. Gelembung memang pecah. Tapi investasi besar-besaran telah membuat banyak talenta terbaik memberikan sumbangan inovasi di sektor ini. Inovasi ini terbukti mengembangkan ekonomi dunia.
Bill Gates membandingkan keadaan gelembung ini dengan demam emas di Amerika Serikat di masa lalu. Ketika itu lebih banyak bisnis Levis’s, cangkul, sekop, hotel yang berkembang daripada bisnis emas itu sendiri.
Terbukti gelembung investasi itu tidak sia-sia. Bisnis di dunia menjadi sangat berkembang akibat inovasi-inovasi yang dilakukan di masa-masa gelembung ”dotcom”. Bahkan negara seperti India sangat bersyukur dengan gelembung ”dotcom” ini. Kabel serat optik dari Amerika Serikat dan Eropa ke India sudah terlanjur dipasang di masa gelembung. Ketika gelembung pecah, kabel sudah tertanam dan tidak mungkin digali kembali. Ongkos internet dari benua-benua ini menjadi sangat murah. Bakat-bakat terbaik India akhirnya mendapat jalan untuk terhubung dengan kemakmuran Barat dengan mengambil manfaat dari ‘outsourcing’. Bukankah ini juga berarti kecerobohan di sektor keuangan justru mendatangkan kemakmuran berikutnya?
Kehatian-hatian di sektor keuangan itu sangat baik. Tapi apakah dengan terlalu mengatur lembaga keuangan tidak berakibat fatal bagi inovasi? Saya kira kita perlu memiliki tingkat kewaspadaan yang sama terhadap pembunuhan serigala yang kejam itu, tapi kemudian itu terbukti fatal bagi kelangsungan hidup rusa itu sendiri.
* * *
Inovasi adalah kunci dari kemajuan dunia saat ini. Dan sampai batas tertentu dibutuhkan kecerobohan keuangan untuk mendapatkan inovasi ini. Sebagai contoh kiprah investor bernama Andy Bechtolsheim yang sangat ternama di dunia ”’dotcom”’. Setelah duet Sergey Brin dan Larry Page selesai melakukan presentasi di hadapannya, tanpa banyak basa basi, tanpa bicara apa-apa soal detail, Bechtolsheim kemudian menuliskan cek 100.000 dolar untuk modal Google Inc. Padahal perusahaan Google ini sama sekali belum resmi berdiri!
Tidak semua kesembronoan ala Bechtolsheim ini berhasil. Begitu banyak perusahaan ”’dotcom”’ terkubur dan hanya beberapa yang selamat. Namun dari beberapa yang selamat inilah yang terbukti menggairahkan ekonomi dunia.
Kemakmuran – di dunia kapitalis – saat ini dibangkitkan oleh inovasi. Ini nuansa yang perlu dipahami semua orang. Kemakmuran kapitalisme sama sekali bukan dibangun di atas tumpukan ide-ide yang menjamin kestabilan. Semua terjadi dalam suasana terlihat seperti “chaos” yang tak beraturan, penuh resiko, yang gampang terkena krisis.
Tentu saja kapitalisme tidak tinggal diam dengan faktor “chaos” ini. Baru-baru ini Presiden Obama mengumumkan rencana perombakan sistem keuangan AS. Perusahaan besar yang berpotensi merusak sistem finansial akan diawasi ketat oleh satu lembaga khusus.
Pengembangan ekonomi syariah seharusnya juga memperhatikan faktor “chaos”, faktor-faktor gelembung-gembung ekonomi yang ternyata bisa menopang inovasi ini. Ketika sektor keuangan terlalu dicekik, terlalu dibatasi geraknya mungkin kita akan kehilangan inovasi.
Sistem keuangan syariah barulah dalam skala kecil, apakah jika dalam skala besar sistem ekonomi ini akan mematikan inovasi? Jika sistem keuangan sekarang sudah dieliminir sisi kecerobohannya, sementara itu inovasi sebagai bahan bakar peradaban mendapat suasana kondusif dalam sistem keuangan sekarang, apakah kita masih butuh sistem keuangan yang lain?

sumber; Erwin Wirawan
ditulis kembali pada 20 Juni 2009

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id