Seiring dengan perkembangan arus globalisasi dan westernisasi, sebagai anak jenius dari kedua hal tersebut, komunikasi yang berhasrat meniadakan sisi ruang dan waktu manusia dengan bermitra dengan sang teknologi yang berambisi menjadi Tuhan. Manusia kini tidak lagi menempuh jarak tak ada lagi ruang fisik yang dibutuhkan oleh sesuatu yang bernama eksistensi, terkecuali dalam ranah tradisional yang bagi sebagian manusia lain belum mampu untuk menghadirkannya, namun anehnya pada sisi ini kita diolah dan dibentuk oleh berbagai konflik, baik pada sisi diri, kelompok, bangsa atau bernegara.
Yang pada akhirnya kita dikejutkan oleh berbagai bentuk eksploitasi kejahatan, baik dalam dunia maya atau dalam dunia nyata keseharian kita. Berbagai kejahatan semisal sadisme, yang timbul ditenga-tengah masyarakat tentunya masih segar dalam memori kolektif ingatan kita, sebagai contoh semisal kanibalisme Samanto, atau Inulisasi dunia hiburan, atau semakin terperangahnya kita dengan tragedy kemanusiaan 11 September, bom Bali, pengeboman JW. Mariot hingga kasus fornografi di berbagai kalangan baik artis atau dunia mahasiswa dan sederet kasus yang sangat tidak menyejukkan jika disebutkan.
Kita kembali akan bertanya, apa yang terjadi dalam zaman ini, dalam masyarakat kita yang tak lagi menghiraukan sesama “harga sebuah nyawa dapat diukur dan dihargai dengan demikian murahnya”.
Dalam persfektif sosiologis historis kejahatan dan kriminalitas merupakan persoalan klasik yang dibawa kembali manusia berpradaban yang sebelumnya muncul dalam setting sejarah kehidupan, yang menurut persfektif agama kasus kriminalitas ini ditandai oleh adanya pembunuhan, meniadakan satu atas yang lain sebagaimana pernyataan Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, kasus pembunuhan antara putra Nabi Adam AS yakni Qabil dan Habil dan akhirnya terus berlanjut dalam bentuk dan rupa yang beragam seiring dengan perkembangan keberadaan manusia.
Terjadinya hal tersebut tentunya tidak akan dapat lepas dari berbagai persoalan dan kepentingan yang melatarbelakanginya, politik, ekonomi dan sederet permasalahan sosial lainnya. Kriminolog W. Kusumah misalnya menyatakan bahwa “tingginya frekuwensi pembunuhan adalah merupakan keadaan anomalitas (penyimpangan) dan tidak berfungsinya lembaga-lembaga pengendalian social” termasuk di dalamnya sistem hukum yang dijalankan selama ini. Ketidakpastian hukum, kerasnya tekanan sosial ekonomi, dekadensi moral dan makin maraknya kualitas kejahatan merupakan ciri-ciri yang menunjukkan makin melemahnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran suci agama.
Kita sadar bahwa masalah tersebut tidaklah mudah dalam mengatasinya, namun setidaknya kita dapat meminimalisir prosentase kelajuannya. Hal ini misalnya dapat ditempuh dengan bebarapa langkah komprehensif yakni pertama menciptakan tatanan sosial yang sehat. Ciri sistem sosial yang sehat dalam kaitan ini ialah minimnya rangsangan untuk melakukan kejahatan dan kekerasan. Dalam pada itu kita juga menyadari bahwa untuk mewujudkan hal tersebut juga tidaklah mudah, karena semakin hari kita dihadapkan oleh gencarnya siaran media tentang masalah kriminalitas ini, TV-TV swasta dengan beragam informasi seputar dunia kriminal ini makin menjadi-jadi semisal Buser, Sergap, Patroli, Sidik, TKP dan lain sebagainya yang sejenis dan secara fulgar memberitakan makin maraknya dunia kriminalitas ini. Hal ini sedikit atau banyaknya dapat meningkatkan rangsangan baru dalam menciptakan bentuk kriminalitas baru.
Tayangan-tayangan tersebut tidak lagi menjadi semacam sesuatu yang menuntun atau katakanlah mengurangi, namun justru sebaliknya akan makin menjadi. Media yang sedikit demi sedikit menciptakan akar budaya sendiri. Sadar atau tidak tayangan TV tersebut pada kesehariannya terus berkisar tentang eksploitasi kekerasan, perselingkuhan, bursa aurat, buka-bukaan kelewat batas, pamer kemewahan. Yang keadaan ini dengan sendirinya akan turut membentuk citra kita tentang lingkungan sosial sekitar kita, terlebih bagi anak-anak yang masih belum memilki loyalitas moral yang kuat, yang hal tersebut akan dianggap sebagai hal biasa dan akhirnya kriminal merupakan jalan yang dirasa dapat menyelesaikan suatu konflik, padahal dalam kaitan ini, Nabi SAW telah mewanti-wanti bahwa setiap anak (generasi penerus) dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orangtuanyalah yang akan membentuknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR. Muslim).
Pesan Nabi SAW di atas kiranya dapat memberi isyarat kepada kita bahwa bangunan pondasi moralitas generasi penerus banyak ditentukan oleh orang tuanya selaku “top figure” yang akan membangun image anaknya sendiri. Orang tua dalam kaitan ini tentu dapat diperluas cakupannya dalam arti, keluarga, masyarakat dan Negara, akhirnya dapat kita bayangkan dampak yang akan ditimbulkan jika ketiga komponen pembentuk satu kesatuan bangunan moral tersebut hancur maka akan menjadi apa generasi penerus nantinya yang akan memegang tongkat estapet pembangunan bangsa dan negaranya? Seharusnya prasyarat mendasar inilah yang seharusnya dipertanyakan oleh para orang tua. Dengan demikian generasi berikutnya akan sangat sulit untuk hanya diharapkan tampil di front terdepan untuk saling bahu membahu membentuk dan membina tatanan sosial yang sehat dan beramal ma’rup nahi munkar.
Kedua, pendidikan moral-religius. Prinsip hidup sangat banyak menentukan tingkah laku dan kehidupan seorang manusia. Jika ia beragama maka bisa jadi ia akan memiliki prinsip hidup yang berlandaskan etika keagamaan, demikian pula semakin religius seseorang maka makin kuat ia akan memegang prinsip agamanya itu. Yang pada akhirnya akan melahirkan sosok pribadi yang dapat diandalkan oleh generasi sezamannya.
Para pakar psikologi agama banyak menuturkan bahwa agama dapat menyembuhkan berbagai penyakit sosial kemasyarakatan, yang misalnya diakibatkan oleh gangguan moral dan prustasi sosial. Karena itulah menurut mereka jika agama dihayati dengan baik dan benar maka akan berdampak pada akan stabilnya emosi dan terbentuknya kepribadian seseorang untuk melakukan hal-hal yang hanya bersifat prioritas untuk dirinya dan bermanfaat bagi yang lain. Karena itulah Nabi SAW bersabda bahwa agama itu adalah nasehat, untuk Allah SWT, kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, bagi pemimpin umat dan orang-orang awam (HR. Muslim)
Agama akan menjadi nasehat yang efektif bagi masyarakat, jika ia dipahami, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tanpa proses ini maka non sense bahwa agama dapat menjadi nasehat yang efektif.
Ketiga, pemberian sanksi yang setimpal. Allah SWT telah berfirman dalam Q.S. Al Maaidah ayat 48 yang artinya “Maka putuskanlah perkara menurut apa yang telah Allah SWT turunkan dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka dan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu untuk ummat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang, sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikannya satu ummat saja, tetapi Allah hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allahlah kembalimu sekalian dan diberitahukan-Nya kepadamu apa-apa yang telah kamu perselisihkan itu”.
Demikian pula sabda Rasulullah SAW yang artinya sahabat Ali ra berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda “apabila datang dua orang meminta hukum kepadamu, maka janganlah kamu memberi hukum kepada orang yang datang lebih dahulu sebelum mendengarkan perkataan (pengaduan) yang lain, hingga kamu mengetahui bagaimana harus memberikan hukum” Ali berkata : “sesudah itu, baru aku bersedia menjadi hakim”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Sanksi yang setimpal terhadap pelaku kriminal sedikit tidak akan dapat memberikan rasa keadilan dalam masyarakat, meski disadari bahwa bentuk apapun hukuman itu tidak akan menghilangkan kejahatan secara tuntas, bahkan sebagian ada yang beranggapan bahwa aturan ada untuk dilanggar. Namun yang perlu diperhatikan yakni bahwa penjatuhan sanksi tersebut harus dapat memberikan rasa keadilan baik itu bagi masyarakat, maupun bagi pelaku kriminal artinya sanksi tersebut harus setimpal dengan perbuatan kriminal yang dilakukannya.
Khalifah Ali bin Abu Thalib pernah berpesan demikian “Allah menjadikan keadilan sebagai dasar pijakan bagi manusia, penyucian bagi dosa dan kelaliman dan kemudahan bagi Islam”. Demikian halnya dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman yang artinya “katakanlah : Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan” (Q.S. 7:29). Karena keadilan meki ditegakkan, konsekuensinya ia harus dijalankan oleh siapapun dan dimanapun. Tak peduli penguasa, keluarga, perusahaan atau saya bahkan anda juga.
Yang pada akhirnya kita dikejutkan oleh berbagai bentuk eksploitasi kejahatan, baik dalam dunia maya atau dalam dunia nyata keseharian kita. Berbagai kejahatan semisal sadisme, yang timbul ditenga-tengah masyarakat tentunya masih segar dalam memori kolektif ingatan kita, sebagai contoh semisal kanibalisme Samanto, atau Inulisasi dunia hiburan, atau semakin terperangahnya kita dengan tragedy kemanusiaan 11 September, bom Bali, pengeboman JW. Mariot hingga kasus fornografi di berbagai kalangan baik artis atau dunia mahasiswa dan sederet kasus yang sangat tidak menyejukkan jika disebutkan.
Kita kembali akan bertanya, apa yang terjadi dalam zaman ini, dalam masyarakat kita yang tak lagi menghiraukan sesama “harga sebuah nyawa dapat diukur dan dihargai dengan demikian murahnya”.
Dalam persfektif sosiologis historis kejahatan dan kriminalitas merupakan persoalan klasik yang dibawa kembali manusia berpradaban yang sebelumnya muncul dalam setting sejarah kehidupan, yang menurut persfektif agama kasus kriminalitas ini ditandai oleh adanya pembunuhan, meniadakan satu atas yang lain sebagaimana pernyataan Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, kasus pembunuhan antara putra Nabi Adam AS yakni Qabil dan Habil dan akhirnya terus berlanjut dalam bentuk dan rupa yang beragam seiring dengan perkembangan keberadaan manusia.
Terjadinya hal tersebut tentunya tidak akan dapat lepas dari berbagai persoalan dan kepentingan yang melatarbelakanginya, politik, ekonomi dan sederet permasalahan sosial lainnya. Kriminolog W. Kusumah misalnya menyatakan bahwa “tingginya frekuwensi pembunuhan adalah merupakan keadaan anomalitas (penyimpangan) dan tidak berfungsinya lembaga-lembaga pengendalian social” termasuk di dalamnya sistem hukum yang dijalankan selama ini. Ketidakpastian hukum, kerasnya tekanan sosial ekonomi, dekadensi moral dan makin maraknya kualitas kejahatan merupakan ciri-ciri yang menunjukkan makin melemahnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran suci agama.
Kita sadar bahwa masalah tersebut tidaklah mudah dalam mengatasinya, namun setidaknya kita dapat meminimalisir prosentase kelajuannya. Hal ini misalnya dapat ditempuh dengan bebarapa langkah komprehensif yakni pertama menciptakan tatanan sosial yang sehat. Ciri sistem sosial yang sehat dalam kaitan ini ialah minimnya rangsangan untuk melakukan kejahatan dan kekerasan. Dalam pada itu kita juga menyadari bahwa untuk mewujudkan hal tersebut juga tidaklah mudah, karena semakin hari kita dihadapkan oleh gencarnya siaran media tentang masalah kriminalitas ini, TV-TV swasta dengan beragam informasi seputar dunia kriminal ini makin menjadi-jadi semisal Buser, Sergap, Patroli, Sidik, TKP dan lain sebagainya yang sejenis dan secara fulgar memberitakan makin maraknya dunia kriminalitas ini. Hal ini sedikit atau banyaknya dapat meningkatkan rangsangan baru dalam menciptakan bentuk kriminalitas baru.
Tayangan-tayangan tersebut tidak lagi menjadi semacam sesuatu yang menuntun atau katakanlah mengurangi, namun justru sebaliknya akan makin menjadi. Media yang sedikit demi sedikit menciptakan akar budaya sendiri. Sadar atau tidak tayangan TV tersebut pada kesehariannya terus berkisar tentang eksploitasi kekerasan, perselingkuhan, bursa aurat, buka-bukaan kelewat batas, pamer kemewahan. Yang keadaan ini dengan sendirinya akan turut membentuk citra kita tentang lingkungan sosial sekitar kita, terlebih bagi anak-anak yang masih belum memilki loyalitas moral yang kuat, yang hal tersebut akan dianggap sebagai hal biasa dan akhirnya kriminal merupakan jalan yang dirasa dapat menyelesaikan suatu konflik, padahal dalam kaitan ini, Nabi SAW telah mewanti-wanti bahwa setiap anak (generasi penerus) dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orangtuanyalah yang akan membentuknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR. Muslim).
Pesan Nabi SAW di atas kiranya dapat memberi isyarat kepada kita bahwa bangunan pondasi moralitas generasi penerus banyak ditentukan oleh orang tuanya selaku “top figure” yang akan membangun image anaknya sendiri. Orang tua dalam kaitan ini tentu dapat diperluas cakupannya dalam arti, keluarga, masyarakat dan Negara, akhirnya dapat kita bayangkan dampak yang akan ditimbulkan jika ketiga komponen pembentuk satu kesatuan bangunan moral tersebut hancur maka akan menjadi apa generasi penerus nantinya yang akan memegang tongkat estapet pembangunan bangsa dan negaranya? Seharusnya prasyarat mendasar inilah yang seharusnya dipertanyakan oleh para orang tua. Dengan demikian generasi berikutnya akan sangat sulit untuk hanya diharapkan tampil di front terdepan untuk saling bahu membahu membentuk dan membina tatanan sosial yang sehat dan beramal ma’rup nahi munkar.
Kedua, pendidikan moral-religius. Prinsip hidup sangat banyak menentukan tingkah laku dan kehidupan seorang manusia. Jika ia beragama maka bisa jadi ia akan memiliki prinsip hidup yang berlandaskan etika keagamaan, demikian pula semakin religius seseorang maka makin kuat ia akan memegang prinsip agamanya itu. Yang pada akhirnya akan melahirkan sosok pribadi yang dapat diandalkan oleh generasi sezamannya.
Para pakar psikologi agama banyak menuturkan bahwa agama dapat menyembuhkan berbagai penyakit sosial kemasyarakatan, yang misalnya diakibatkan oleh gangguan moral dan prustasi sosial. Karena itulah menurut mereka jika agama dihayati dengan baik dan benar maka akan berdampak pada akan stabilnya emosi dan terbentuknya kepribadian seseorang untuk melakukan hal-hal yang hanya bersifat prioritas untuk dirinya dan bermanfaat bagi yang lain. Karena itulah Nabi SAW bersabda bahwa agama itu adalah nasehat, untuk Allah SWT, kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, bagi pemimpin umat dan orang-orang awam (HR. Muslim)
Agama akan menjadi nasehat yang efektif bagi masyarakat, jika ia dipahami, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tanpa proses ini maka non sense bahwa agama dapat menjadi nasehat yang efektif.
Ketiga, pemberian sanksi yang setimpal. Allah SWT telah berfirman dalam Q.S. Al Maaidah ayat 48 yang artinya “Maka putuskanlah perkara menurut apa yang telah Allah SWT turunkan dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka dan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu untuk ummat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang, sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikannya satu ummat saja, tetapi Allah hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allahlah kembalimu sekalian dan diberitahukan-Nya kepadamu apa-apa yang telah kamu perselisihkan itu”.
Demikian pula sabda Rasulullah SAW yang artinya sahabat Ali ra berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda “apabila datang dua orang meminta hukum kepadamu, maka janganlah kamu memberi hukum kepada orang yang datang lebih dahulu sebelum mendengarkan perkataan (pengaduan) yang lain, hingga kamu mengetahui bagaimana harus memberikan hukum” Ali berkata : “sesudah itu, baru aku bersedia menjadi hakim”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Sanksi yang setimpal terhadap pelaku kriminal sedikit tidak akan dapat memberikan rasa keadilan dalam masyarakat, meski disadari bahwa bentuk apapun hukuman itu tidak akan menghilangkan kejahatan secara tuntas, bahkan sebagian ada yang beranggapan bahwa aturan ada untuk dilanggar. Namun yang perlu diperhatikan yakni bahwa penjatuhan sanksi tersebut harus dapat memberikan rasa keadilan baik itu bagi masyarakat, maupun bagi pelaku kriminal artinya sanksi tersebut harus setimpal dengan perbuatan kriminal yang dilakukannya.
Khalifah Ali bin Abu Thalib pernah berpesan demikian “Allah menjadikan keadilan sebagai dasar pijakan bagi manusia, penyucian bagi dosa dan kelaliman dan kemudahan bagi Islam”. Demikian halnya dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman yang artinya “katakanlah : Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan” (Q.S. 7:29). Karena keadilan meki ditegakkan, konsekuensinya ia harus dijalankan oleh siapapun dan dimanapun. Tak peduli penguasa, keluarga, perusahaan atau saya bahkan anda juga.
0 Comments:
Post a Comment