Tersebutlah sebuah kisah negeri seribu pulau dengan kerajaan-kerajaan kecil, dengan semangat gotong royong dan saling tolong menolong, yang saat ini masih dilanda krisis berkepanjangan, semua tokoh negeri ingin tampil, berkuasa dan menunjukkan eksistensi diri kalau tidak partai dan golongan mereka, bahwa merekalah yang terbaik, yang mampu menghadapai dan memecahkan setiap persoalan dan konflik yang sedang terjadi, di sisi lain terdapat pula kelompok kaum muda dengan koloni-koloni kecil dipinggir-pinggir ideliasme berjejer dengan pernyataan untuk menghibur agar tetap menciptakan perbaikan keadaan negeri dan menjalankan agenda reformasi.
Negeri seribu pulau saat ini dimpimpin oleh seorang tetua negeri hasil seleksi yang ingin menciptakan tatanan dunia baru bagi negeri seribu pulau dalam mengahadapi arus modernisasi dan juga globalisasi, dalam menjalankan roda pemerintahan tetua negeri dibantu oleh para pejabat negeri dengan beberapa koordinator yang membawahi tiap bidang dan urusan, mulai dari sandang, pangan, papan hingga urusan seni, budaya, pendidikan, keamanan bahkan pertahanan dan kebijakan luar negeri, selain itu bertindak pula para sesepuh negeri selaku ‘pengamat’ dan pemerhati jalannya roda pemerintahan dan beberapa lembaga adat negeri yang berstatus sebanding dengan jabatan punggawa negeri.
Lalu, jika demikian kompleknya, sistem alur tata pemerintahan negeri tersebut, mengapa krisis yang dialami demikian berkepanjangan? Hal ini sebagian menyatakan adanya ketidakadilan struktur dalam negeri, akibat dominasi luar negeri dalam berbagai aspek, sebagian lainnya menyatakan kebejatan moral para punggawa negeri, ketidak adilan antara pusat dan daerah dalam negeri, monopoli, utang luar negeri para pengusaha dalam negeri yang makin menumpuk dan harus segera dilunasi oleh sekitar 200 juta penduduk negeri, penghisapan golongan kaya terhadap golongan miskin, pengaruh konsumerisme dan materialisme yang membingungkan eksistensi dari setiap penduduk negeri. Kompleks, demikian sederet penyebab yang menurut para analis mengakibatkan krisis multidimensi dan berkepanjangan hingga saat ini.
Berawal dari permasalahan tersebut di atas, rakyat negeri makin merasa diperbodoh oleh sistem yang secara struktural membodohi dan meninabobokan mereka, karena itulah, seorang tokoh negeri yang prihatin atas keadaan tersebut mengagendakan yang namanya reformasi dari segala bidang kehidupan, singkat cerita, kesuksesan reformasi akhirnya berhasil di laksanakan dengan turunnya tetua negeri sebelumnya pada Mei 1997 dan digantikan posisinya oleh wakil tetua negeri, sukses reformasi ada yang berpendapat hasil kerja keras para kaum muda dalam suatu wadah yang bernama mahasiswa, namun sebagian lain berpendapat, bahwa sukses reformasi diakibatkan karena tetua lama sudah tidak sesuai lagi dengan tata keinginan dan tata pemerintahan Negara tetangga yang katanya super power yang dapat mengatur seenaknya tata bentuk dan tata laku rumah tangga dalam negeri, namun satu hal yang aku yakini bahwa kedua faktor tersebut turut menentukan andilnya terhadap sukses reformasi.
Hingga akhirnya, pada suatu waktu, awal terjadinya pemilihan tetua negeri yang baru, para sesepuh negeri, punggawa, pejabat, tua, muda dan seluruh elemen yang katanya mewakili aspirasi rakyat negeri, turut diundang untuk menentukan siapa sebenarnya yang berhak menduduki jabatan baru selaku tetua negeri.
Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan pertemuan itu dilakukan disebuah bale bambu yang berbentuk kerang, dan tidak luput pula undangan dari luar negeri turut menghadiri pertemuan itu, dan dalam waktu itu pula belum juga ditemukan kata spakat siapa yang akan menduduki posisi jabatan tetua negeri, sebenarnya hal ini dilakukan berhubung tetua negeri hasil transisi hasil reformasi sudah tidak mampu lagi menjalankan agenda reformasi, hal ini banyak para ahli yang merekomendasikan karena waktu yang diberikan terlalu singkat, lebih kurang hanya enam bulan, ada sebagian yang menyatakan bahwa tetua negeri merupakan perpanjangan tangan dari tetua negeri sebelumnya, dan pernyataan yang paling banyak menyatakan tetua negeri tidak begitu disukai oleh Negara tetangga yang super power, inilah diantara sederet alasan lain tetua negeri ingin digantikan posisinya.
Hingga akhirnya adalah seorang tokoh negeri dari golongan pesantren melakukan lobi politik untuk menemukan kata sepakat, mengapa hal itu ia lakukan? Banyak yang menganalisa katanya untuk menemukan dan mengakhiri perbedaan pendapat yang makin memanas antara para peserta pertemuan, demikian pula peristiwa serupa terjadi juga dimasyarakat dari golongan akar rumput mereka saling berbisik satu dengan yang lain dan menuangkan ide-ide antara yang pro dan yang kontra ditiap media karena tempat mereka di bale bambu yang tidak cukup besar untuk menampung kuantitas mereka yang sangat besar.
Walhasil, ternyata tokoh negeri dari golongan pesantren tersebut tidak sia-sia yakni dengan kecerdikannya untuk mempertemukan berbagai sudut pandang akhirnya dialah yang menuai hasil dan terpilih selaku orang yang akan menduduki posisi sebagai tetua negeri yang baru, walau dalam proses perjalanannya ia kurang disetujui untuk menduduki posisi tetua negeri oleh para ulama yang menjadi gurunya di pesantern, namun berkat kepiawaiannya ia tetap dapat menduduki posisi tersebut dan menyatakan dirinya tetap sebagai seorang santri.
Dalam perjalanan kepemimpinannya yang masih dikatakan baru, tetua adat berkeinginan untuk menghilangkan ‘bau’ yang telah tersebar kemana-mana yang selumnya disebar luaskan oleh tetua negeri sebelumnya, misalnya tentang sakralisasi jabatan dan pembersihan para pejabat negeri yang terkait dengan tetua adat sebelumnya, namun usaha tersebut tidak berlangsung lama dan kembali tetua adat merangkul para pejabat dan punggawa tersebut, misalnya dengan mengadakan silaturrahmi, kunjungan pribadi, dan hal ini juga disertai oleh berbagai intrik permainan kata dan kalimat, bukan tanpa makna, yang justru hal inilah yang mengakibatkan berbagai tafsiran, antara yang melihat dari sisi posistif maupun negatif, diantaranya ada yang menganggap wajar karena merupakan ekspresi dari kebebasan dan reformasi yang diperjuangkan, sebagian lainnya beranggapan tidak wajar dan dengan anggapan tetua negeri tidak etis mengeluarkan kata-kata yang tidak pada tempatnya.
Berulang kali misalnya tetua negeri diminta, dihimbau dan didesak, bahkan oleh para teman dekat dan ulama pesantren yang menjadi gurunya untuk tidak ‘ngomong sembarangan’, alhasil, tetua negeri seolah cuek dan tidak mau mengindahkannya, “begitu aja kok repot” kilahnya. Selain hal tersebut banyak juga yang menjadi sorotan tentang seringnya tetua negeri melakukan ‘jalan-jalan’ ke luar negeri yang alasannya adalah kunjungan kenegaraan, padahal tidak sedikit urusan rumah tangga dalam negeri yang masih membutuhkan perhatian dan belum terselesaikan.
Menanggapi berbagai penomena yang terjadi akibat sebagian besar ulah tetua negeri yang terus menerus menjadi sorotan, salah seorang tokoh adat negeri setempat menyatakan bahwa hal tersebut merupakan konsekuansi logis dari usaha menuju demokratisasi massif yang seluruh rakyat negeri inginkan berlangsung di semua lapisan dan semua sendi kehidupan dan masih banyak lagi yang memberi pernyataan-pernyataan yang senada maupun yang pro dan kontra.
Hingga dalam perjalanan kepemimpinannya ternyata banyak diantara pejabat negeri yang kurang setuju dengan pola dan kebijakan yang diterapkan oleh tetua negeri, hingga untuk mengantisipasi keadaan tersebut yang berdampak pada kepastian hukum, kebijakan dalam berbagai bidang, para punggawa yang bernaung dibawah bale bambu mencoba untuk “mencari-cari kesalahan” tetua negeri dengan menelusuri perjalanan kepemimpinan tetua negeri dengan kasus bantuan dana hibbah untuk pangan dari Brunai Darussalam, dengan itu tersebutlah kasus pangan I dan II atau para rakyat negeri lebih mengenalnya dengan istilah kasus bullogate I dan II, hingga akhirnya dalam proses perjalanan pengusutannya tetua negeri merasa dirinya ‘harus mengalah’ dan melepaskan jabatannya selaku tetua negeri. Dengan melambaikan tangan di Istana Negara yang diiringi oleh para teman dekatnya yang saat itu tetua negeri menggunakan celana pendek harus merelakan jabatan bergengsinya itu.
Syahdan, setelah itu pada pekan terakhir Juli 2001, terpilihlah wakil tetua negeri yang kini menjabati ‘Ibu Negeri’, menggantikan kedudukan dengan sisa waktu yang tak begitu panjang. Banyak yang menyatakan kedudukan Ibu Negeri merupakan ‘kemenangan yang tertunda’ setelah ibu negeri gagal dalam pemilihan akibat lobi, menduduki tetua negeri pada sidang di bale bambu pada 1999. Banyak suara sumbang datang dari berbagai kalangan, terlebih media dengan gencarnya mengundang rakyat negeri untuk menganalisa kedudukan ibu negeri sebagai tetua negeri, dalam headline media utama negeri misalnya dalam media daulat rakyat, media waktu, dan media petunjuk arah banyak dijumpai analisis serupa, tema-tema kedudukan ‘ibu negeri’ dan ‘bapak negeri’ yang makin memasuki daerah ‘rawan’ dalam penetapannya, boleh, tidak, hitam, putih, benar, salah, bahkan halal, haram, mau tidak mau tema ini terus menghangat diberbagai pelosok dan kalangan rakyat negeri.
Dibalik suasana memanas suhu politik negeri, tentang sah, tidak, pro dan kontra kedudukan ibu negeri sendiri tetap pada posisinya dan mengambil berbagai kebijakan dalam mengatur urusan rumah tangga baik dalam maupun luar negeri, pidato-pidato kenegaraan yang meliputi seluruh aspek politik, ekonomi, sosial, keamanan di kumandangkan, dengan berbagai kebijakan yang menyertainya, turut andil dalam usaha pemulihan krisis ekonomi, kepercayaan para investor, meningkatnya nilai mata uang Rupiah (Rp.) dalam pasar global dan lainnya.
Dan setelah itu, untuk membantu kelancaran urusan dalam dan luar negeri, ibu negeri memilih beberapa punggawa negeri yang dapat membantu kerjanya, dan terwadahi dalam suatu yang namanya punggawa negeri saling gotong-royong. Pro dan kontra timbul dalam urusan ini. Dalam perjalanan kepemimpinannya sebagai ibu negeri banyak lika-liku yang dihadapi ibu negeri dengan para punggawanya. Dan ini pun dilatarbelakangi oleh penyebab yang beragam, sebut saja akibat suhu politik yang kian memanas para tokoh negeri dan ibu negeri tergabung dalam yang namanya lima tokoh yang dipertemukan di Jawa Barat sana, hal ini dimaksudkan agar citra para tokoh negeri dimata masyarakat yang tetap selalu kompak dalam menjalni agenda reformasi tetap terjaga, walaupun pada kenyataannya hal itu tidak mencerminkan yang sesungguhnya.
Selain itu, kasus demi kasus lainnya terus menghangat, misalnya sebut saja kasus yang menimpa punggawa negeri dengan urusan keagamaan. Dengan seluruh keyakinan tanpa mempertimbangkan kerasionalan dan dampak yang diakibatkan, melakukan ‘pemugaran’ karena adanya keyakinan adanya harta negeri yang tersimpan dibalik ‘prasasti Tulis negeri’ yakni berupa batu yang ditulis seputar kejadian dan peristiwa ini banyak rakyat negeri yang tidak sependapat, malah melahirkan yang namanya aksi rakyat, dengan beramai-rama menyatakan ketidaksetujuan, dan hasilnya punggawa negeri harus berlapang dada merelakan ‘harta negeri’ tetap berada ditempatnya, kasus kedua tersebut adanya penjualan harta negeri ke luar negeri untuk hal ini, tersebut pejabat punggawa negeri yang mengurus milik negeri dalam bidang komunikasi rakyat. Usut punya usut bukannya lancar malah menjadi isu sentral antara yang pro dan kontra, banyak pejabat negeri yang mengomentari misalnya hal tersebut datang dari tetua bale bambu yang menyatakan, harta negeri untuk rakyat negeri saja, tidak untuk di luar negeri, kan kasihan rakyat yang nantinya merugi.
Kasus ketiga adanya kepulauan negeri yang diambil alih oleh tetangga luar negeri, ada dua pulau dan itupun tak terlalu digubris. Katanya pulau itu kecil-kecil, kan tak jadi soal karena kita memiliki lima pulau yang besar, itupun alasannya tak habis digali karena ya itu SDM-nya yang kurang, disudut meja para tokoh negeri, Hal ini dipertanyakan, lalu bagaimana reaksi ibu negeri?. Ibu negeri lebih menyerahkan hal ini pada punggawa urusan luar negeri, katanya yang sudah diambil ya relakan saja, kan sudah bukan milik negeri kita lagi, kan itu haknya mereka, dan kini kasus itu ia tenggelam juga, adem ayem tenang-tenang saja. Sebenarnya masih banyak urusan dalam negeri ya mungkin hal itu kurang tercermati saja oleh para rakyat negeri, termasuk saya, atau lebih karena keacuh-tak acuhan kita apalagi jika menyerahkan itu sepenuhnya urusan ibu negeri, tersebut misalnya negeri yang menyangkut punggawa Mahkamah Agung negeri, apalagi urusan punggawa negeri, urusan ketertiban masyarakat. Hal ini bahkan menjadi isu sentral dan menu sarapan kita dipagi hari, dengan adanya ‘kemarahan’ dari ‘anak negeri’ karena tidak keadilan yang dirasakan dalam berbagai aspek, yang paling dominan dianak tirikan ‘peran’ yang telah diberikan karena itulah terjadi ‘penghancuran’ dan itu terjadi didaerah ‘pariwisata’ dalam negeri.
Urusan belum selesai sampai disitu, para anak negeri yang seluruhnya melakukan penghancuran ditangkap oleh petugas kamtibmas, ada yang beranggapan itu tindak pidana, sebagian lagi beranggapan itu karena ‘desakan’ dari negeri super power yang lainnya bahkan menganggap sebagai suatu ‘panggilan suci’, bahkan ‘kewajiban’ dan itu menurut anda yang benar mana? Kasus belum selesai, seorang ‘guru’ negeri dituduh dibalik itu semua. Ada yang berpendapat sebagai tindak lanjut dari adanya organisasi yang di Negara teluk sana yang dituduh ‘perusak’ dunia dan meiliki cabang yang salah satunya di dalam negeri. Usut punya usut ‘ikatan agama’ yang menjadi sasaran dan diadili, yang kontra menyatakan ini ulah negeri kanguru yang warganya menjadi korban penghancuran dan ujungnya mereka tidak rela. Akibatnya sang guru ‘menantang’ punggawa luar negeri Negara kanguru tersebut, dan yang pro sebaliknya, melakukan hubungan lebih erat lagi dengan negeri kanguru. Misalnya melakukan kegiatan kamtibmas secara bersama-sama, ditambah kegiatan ‘intai-mengintai’ dan saling tukar informasi. Banyak juga yang lain beranggapan hal ini merupakan tindak lanjut dari ‘penekanan terhadap kedua agama’ Di dalam negeri setelah terjadinya penghancuran terhadap dua gedung kembar di negeri super power sana.
Terkait dengan permasalahan di atas banyak komentar dari banyak tokoh dalam negeri, apalagi yang menyangkut bidang politik dan kekuasaan diantaranya ada yang mengatakan ini konsekuensi logis akibat adanya ketidak adilan, dominasi dalam berbagai bidang, eksploitasi dan jenis-jenis isme-isme dan idiologi lain yang dibawa oleh negeri barat ke dalam negeri. Dalam skala lain banyak yang menyatakan rakyat dalam negeri mengalami krisis identitas diri sebagai satu kesatuan yang diwajibkan untuk dipertanyakan lagi, masuk dalam rumah yang mereka tidak tau arah dan pintu mana tempat mereka masuk, padahal hanya satu pintu.
Akibatnya jumlah permasalahan makin bertambah banyak terlebih dengan mencuatnya kasus para rakyat negeri yang bekerja di luar negeri, pelecehan seksual, hukuman rajam dan para calo yang tidak bertanggungjawab. Padahal kalau ingin jujur, merekalah sebenarnya asset negeri yang banyak mendapatkan pendapatan dalam negeri, ditambah lagi para anak negeri yang ingin keluar dari negeri sendiri, dengan membentuk negeri yang baru. Sepertinya rakyat negeri dengan pengalam hidup dalam sistem pemerintahan yang telah mereka jalani telah dibekali dengan berbagai pelajaran berharga tentang berbagai tindak ketidakwajaran dan ketidakadilan, karenanya wajar saja jika mereka berkeinginan untuk mensejahterakan diri dengan melalui pelepasan diri dari sistem yang tidak adil. Walau cukup efektif kiranya bualan yang diberikan oleh sistem lama dengan menciptakan kebijakan yang bertujuan untuk mengatur sendiri urusan rumah tangga negeri sendiri, dan semoga dengan hal ini tidak meninabobokan dan menciptakan para punggawa negeri dengan warisan bentuk penindasan dan eksploitasi gaya baru.
Demikian kiranya sederet permasalahan yang dapat kita telaah dalam berbagai dimensi kehidupan, dengan tujuan ini sebenarnya maksud dan tujuan penulis mengembangkan dan mereview balik yakni agar dapat menciptakan bentuk kesadaran krisis rakyat negeri. Tentang keadaan yang meninabobokkan mereka, dan tidak melulu disibukkan dengan orientasi jangka pendek yang tanpa disadari melanjutkan sisi realitas hidup yang terus memprihatinkan yang selanjutnya bagaimana bentuk solusi yang diinginkan untuk menghilangkan ketidakadilan dapat bersama dipikirkan tentu dengan kebebasan dan tanggung jawab.
Akhir kata seratus halamanpun takkan habis jika terus mengkaji dan bercermin dari perjalanan sejarah, namun yang terbaik yakni kemampuan kita dalam menangkap semangat dari berbagai bentuk pemikiran dan telaah krisis yang tidak menginginkan langgengnya status quo dalam berbagai bidang yang tak disadari, akhirnya, mari memikirkan, dan bekerjasama.
Negeri seribu pulau saat ini dimpimpin oleh seorang tetua negeri hasil seleksi yang ingin menciptakan tatanan dunia baru bagi negeri seribu pulau dalam mengahadapi arus modernisasi dan juga globalisasi, dalam menjalankan roda pemerintahan tetua negeri dibantu oleh para pejabat negeri dengan beberapa koordinator yang membawahi tiap bidang dan urusan, mulai dari sandang, pangan, papan hingga urusan seni, budaya, pendidikan, keamanan bahkan pertahanan dan kebijakan luar negeri, selain itu bertindak pula para sesepuh negeri selaku ‘pengamat’ dan pemerhati jalannya roda pemerintahan dan beberapa lembaga adat negeri yang berstatus sebanding dengan jabatan punggawa negeri.
Lalu, jika demikian kompleknya, sistem alur tata pemerintahan negeri tersebut, mengapa krisis yang dialami demikian berkepanjangan? Hal ini sebagian menyatakan adanya ketidakadilan struktur dalam negeri, akibat dominasi luar negeri dalam berbagai aspek, sebagian lainnya menyatakan kebejatan moral para punggawa negeri, ketidak adilan antara pusat dan daerah dalam negeri, monopoli, utang luar negeri para pengusaha dalam negeri yang makin menumpuk dan harus segera dilunasi oleh sekitar 200 juta penduduk negeri, penghisapan golongan kaya terhadap golongan miskin, pengaruh konsumerisme dan materialisme yang membingungkan eksistensi dari setiap penduduk negeri. Kompleks, demikian sederet penyebab yang menurut para analis mengakibatkan krisis multidimensi dan berkepanjangan hingga saat ini.
Berawal dari permasalahan tersebut di atas, rakyat negeri makin merasa diperbodoh oleh sistem yang secara struktural membodohi dan meninabobokan mereka, karena itulah, seorang tokoh negeri yang prihatin atas keadaan tersebut mengagendakan yang namanya reformasi dari segala bidang kehidupan, singkat cerita, kesuksesan reformasi akhirnya berhasil di laksanakan dengan turunnya tetua negeri sebelumnya pada Mei 1997 dan digantikan posisinya oleh wakil tetua negeri, sukses reformasi ada yang berpendapat hasil kerja keras para kaum muda dalam suatu wadah yang bernama mahasiswa, namun sebagian lain berpendapat, bahwa sukses reformasi diakibatkan karena tetua lama sudah tidak sesuai lagi dengan tata keinginan dan tata pemerintahan Negara tetangga yang katanya super power yang dapat mengatur seenaknya tata bentuk dan tata laku rumah tangga dalam negeri, namun satu hal yang aku yakini bahwa kedua faktor tersebut turut menentukan andilnya terhadap sukses reformasi.
Hingga akhirnya, pada suatu waktu, awal terjadinya pemilihan tetua negeri yang baru, para sesepuh negeri, punggawa, pejabat, tua, muda dan seluruh elemen yang katanya mewakili aspirasi rakyat negeri, turut diundang untuk menentukan siapa sebenarnya yang berhak menduduki jabatan baru selaku tetua negeri.
Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan pertemuan itu dilakukan disebuah bale bambu yang berbentuk kerang, dan tidak luput pula undangan dari luar negeri turut menghadiri pertemuan itu, dan dalam waktu itu pula belum juga ditemukan kata spakat siapa yang akan menduduki posisi jabatan tetua negeri, sebenarnya hal ini dilakukan berhubung tetua negeri hasil transisi hasil reformasi sudah tidak mampu lagi menjalankan agenda reformasi, hal ini banyak para ahli yang merekomendasikan karena waktu yang diberikan terlalu singkat, lebih kurang hanya enam bulan, ada sebagian yang menyatakan bahwa tetua negeri merupakan perpanjangan tangan dari tetua negeri sebelumnya, dan pernyataan yang paling banyak menyatakan tetua negeri tidak begitu disukai oleh Negara tetangga yang super power, inilah diantara sederet alasan lain tetua negeri ingin digantikan posisinya.
Hingga akhirnya adalah seorang tokoh negeri dari golongan pesantren melakukan lobi politik untuk menemukan kata sepakat, mengapa hal itu ia lakukan? Banyak yang menganalisa katanya untuk menemukan dan mengakhiri perbedaan pendapat yang makin memanas antara para peserta pertemuan, demikian pula peristiwa serupa terjadi juga dimasyarakat dari golongan akar rumput mereka saling berbisik satu dengan yang lain dan menuangkan ide-ide antara yang pro dan yang kontra ditiap media karena tempat mereka di bale bambu yang tidak cukup besar untuk menampung kuantitas mereka yang sangat besar.
Walhasil, ternyata tokoh negeri dari golongan pesantren tersebut tidak sia-sia yakni dengan kecerdikannya untuk mempertemukan berbagai sudut pandang akhirnya dialah yang menuai hasil dan terpilih selaku orang yang akan menduduki posisi sebagai tetua negeri yang baru, walau dalam proses perjalanannya ia kurang disetujui untuk menduduki posisi tetua negeri oleh para ulama yang menjadi gurunya di pesantern, namun berkat kepiawaiannya ia tetap dapat menduduki posisi tersebut dan menyatakan dirinya tetap sebagai seorang santri.
Dalam perjalanan kepemimpinannya yang masih dikatakan baru, tetua adat berkeinginan untuk menghilangkan ‘bau’ yang telah tersebar kemana-mana yang selumnya disebar luaskan oleh tetua negeri sebelumnya, misalnya tentang sakralisasi jabatan dan pembersihan para pejabat negeri yang terkait dengan tetua adat sebelumnya, namun usaha tersebut tidak berlangsung lama dan kembali tetua adat merangkul para pejabat dan punggawa tersebut, misalnya dengan mengadakan silaturrahmi, kunjungan pribadi, dan hal ini juga disertai oleh berbagai intrik permainan kata dan kalimat, bukan tanpa makna, yang justru hal inilah yang mengakibatkan berbagai tafsiran, antara yang melihat dari sisi posistif maupun negatif, diantaranya ada yang menganggap wajar karena merupakan ekspresi dari kebebasan dan reformasi yang diperjuangkan, sebagian lainnya beranggapan tidak wajar dan dengan anggapan tetua negeri tidak etis mengeluarkan kata-kata yang tidak pada tempatnya.
Berulang kali misalnya tetua negeri diminta, dihimbau dan didesak, bahkan oleh para teman dekat dan ulama pesantren yang menjadi gurunya untuk tidak ‘ngomong sembarangan’, alhasil, tetua negeri seolah cuek dan tidak mau mengindahkannya, “begitu aja kok repot” kilahnya. Selain hal tersebut banyak juga yang menjadi sorotan tentang seringnya tetua negeri melakukan ‘jalan-jalan’ ke luar negeri yang alasannya adalah kunjungan kenegaraan, padahal tidak sedikit urusan rumah tangga dalam negeri yang masih membutuhkan perhatian dan belum terselesaikan.
Menanggapi berbagai penomena yang terjadi akibat sebagian besar ulah tetua negeri yang terus menerus menjadi sorotan, salah seorang tokoh adat negeri setempat menyatakan bahwa hal tersebut merupakan konsekuansi logis dari usaha menuju demokratisasi massif yang seluruh rakyat negeri inginkan berlangsung di semua lapisan dan semua sendi kehidupan dan masih banyak lagi yang memberi pernyataan-pernyataan yang senada maupun yang pro dan kontra.
Hingga dalam perjalanan kepemimpinannya ternyata banyak diantara pejabat negeri yang kurang setuju dengan pola dan kebijakan yang diterapkan oleh tetua negeri, hingga untuk mengantisipasi keadaan tersebut yang berdampak pada kepastian hukum, kebijakan dalam berbagai bidang, para punggawa yang bernaung dibawah bale bambu mencoba untuk “mencari-cari kesalahan” tetua negeri dengan menelusuri perjalanan kepemimpinan tetua negeri dengan kasus bantuan dana hibbah untuk pangan dari Brunai Darussalam, dengan itu tersebutlah kasus pangan I dan II atau para rakyat negeri lebih mengenalnya dengan istilah kasus bullogate I dan II, hingga akhirnya dalam proses perjalanan pengusutannya tetua negeri merasa dirinya ‘harus mengalah’ dan melepaskan jabatannya selaku tetua negeri. Dengan melambaikan tangan di Istana Negara yang diiringi oleh para teman dekatnya yang saat itu tetua negeri menggunakan celana pendek harus merelakan jabatan bergengsinya itu.
Syahdan, setelah itu pada pekan terakhir Juli 2001, terpilihlah wakil tetua negeri yang kini menjabati ‘Ibu Negeri’, menggantikan kedudukan dengan sisa waktu yang tak begitu panjang. Banyak yang menyatakan kedudukan Ibu Negeri merupakan ‘kemenangan yang tertunda’ setelah ibu negeri gagal dalam pemilihan akibat lobi, menduduki tetua negeri pada sidang di bale bambu pada 1999. Banyak suara sumbang datang dari berbagai kalangan, terlebih media dengan gencarnya mengundang rakyat negeri untuk menganalisa kedudukan ibu negeri sebagai tetua negeri, dalam headline media utama negeri misalnya dalam media daulat rakyat, media waktu, dan media petunjuk arah banyak dijumpai analisis serupa, tema-tema kedudukan ‘ibu negeri’ dan ‘bapak negeri’ yang makin memasuki daerah ‘rawan’ dalam penetapannya, boleh, tidak, hitam, putih, benar, salah, bahkan halal, haram, mau tidak mau tema ini terus menghangat diberbagai pelosok dan kalangan rakyat negeri.
Dibalik suasana memanas suhu politik negeri, tentang sah, tidak, pro dan kontra kedudukan ibu negeri sendiri tetap pada posisinya dan mengambil berbagai kebijakan dalam mengatur urusan rumah tangga baik dalam maupun luar negeri, pidato-pidato kenegaraan yang meliputi seluruh aspek politik, ekonomi, sosial, keamanan di kumandangkan, dengan berbagai kebijakan yang menyertainya, turut andil dalam usaha pemulihan krisis ekonomi, kepercayaan para investor, meningkatnya nilai mata uang Rupiah (Rp.) dalam pasar global dan lainnya.
Dan setelah itu, untuk membantu kelancaran urusan dalam dan luar negeri, ibu negeri memilih beberapa punggawa negeri yang dapat membantu kerjanya, dan terwadahi dalam suatu yang namanya punggawa negeri saling gotong-royong. Pro dan kontra timbul dalam urusan ini. Dalam perjalanan kepemimpinannya sebagai ibu negeri banyak lika-liku yang dihadapi ibu negeri dengan para punggawanya. Dan ini pun dilatarbelakangi oleh penyebab yang beragam, sebut saja akibat suhu politik yang kian memanas para tokoh negeri dan ibu negeri tergabung dalam yang namanya lima tokoh yang dipertemukan di Jawa Barat sana, hal ini dimaksudkan agar citra para tokoh negeri dimata masyarakat yang tetap selalu kompak dalam menjalni agenda reformasi tetap terjaga, walaupun pada kenyataannya hal itu tidak mencerminkan yang sesungguhnya.
Selain itu, kasus demi kasus lainnya terus menghangat, misalnya sebut saja kasus yang menimpa punggawa negeri dengan urusan keagamaan. Dengan seluruh keyakinan tanpa mempertimbangkan kerasionalan dan dampak yang diakibatkan, melakukan ‘pemugaran’ karena adanya keyakinan adanya harta negeri yang tersimpan dibalik ‘prasasti Tulis negeri’ yakni berupa batu yang ditulis seputar kejadian dan peristiwa ini banyak rakyat negeri yang tidak sependapat, malah melahirkan yang namanya aksi rakyat, dengan beramai-rama menyatakan ketidaksetujuan, dan hasilnya punggawa negeri harus berlapang dada merelakan ‘harta negeri’ tetap berada ditempatnya, kasus kedua tersebut adanya penjualan harta negeri ke luar negeri untuk hal ini, tersebut pejabat punggawa negeri yang mengurus milik negeri dalam bidang komunikasi rakyat. Usut punya usut bukannya lancar malah menjadi isu sentral antara yang pro dan kontra, banyak pejabat negeri yang mengomentari misalnya hal tersebut datang dari tetua bale bambu yang menyatakan, harta negeri untuk rakyat negeri saja, tidak untuk di luar negeri, kan kasihan rakyat yang nantinya merugi.
Kasus ketiga adanya kepulauan negeri yang diambil alih oleh tetangga luar negeri, ada dua pulau dan itupun tak terlalu digubris. Katanya pulau itu kecil-kecil, kan tak jadi soal karena kita memiliki lima pulau yang besar, itupun alasannya tak habis digali karena ya itu SDM-nya yang kurang, disudut meja para tokoh negeri, Hal ini dipertanyakan, lalu bagaimana reaksi ibu negeri?. Ibu negeri lebih menyerahkan hal ini pada punggawa urusan luar negeri, katanya yang sudah diambil ya relakan saja, kan sudah bukan milik negeri kita lagi, kan itu haknya mereka, dan kini kasus itu ia tenggelam juga, adem ayem tenang-tenang saja. Sebenarnya masih banyak urusan dalam negeri ya mungkin hal itu kurang tercermati saja oleh para rakyat negeri, termasuk saya, atau lebih karena keacuh-tak acuhan kita apalagi jika menyerahkan itu sepenuhnya urusan ibu negeri, tersebut misalnya negeri yang menyangkut punggawa Mahkamah Agung negeri, apalagi urusan punggawa negeri, urusan ketertiban masyarakat. Hal ini bahkan menjadi isu sentral dan menu sarapan kita dipagi hari, dengan adanya ‘kemarahan’ dari ‘anak negeri’ karena tidak keadilan yang dirasakan dalam berbagai aspek, yang paling dominan dianak tirikan ‘peran’ yang telah diberikan karena itulah terjadi ‘penghancuran’ dan itu terjadi didaerah ‘pariwisata’ dalam negeri.
Urusan belum selesai sampai disitu, para anak negeri yang seluruhnya melakukan penghancuran ditangkap oleh petugas kamtibmas, ada yang beranggapan itu tindak pidana, sebagian lagi beranggapan itu karena ‘desakan’ dari negeri super power yang lainnya bahkan menganggap sebagai suatu ‘panggilan suci’, bahkan ‘kewajiban’ dan itu menurut anda yang benar mana? Kasus belum selesai, seorang ‘guru’ negeri dituduh dibalik itu semua. Ada yang berpendapat sebagai tindak lanjut dari adanya organisasi yang di Negara teluk sana yang dituduh ‘perusak’ dunia dan meiliki cabang yang salah satunya di dalam negeri. Usut punya usut ‘ikatan agama’ yang menjadi sasaran dan diadili, yang kontra menyatakan ini ulah negeri kanguru yang warganya menjadi korban penghancuran dan ujungnya mereka tidak rela. Akibatnya sang guru ‘menantang’ punggawa luar negeri Negara kanguru tersebut, dan yang pro sebaliknya, melakukan hubungan lebih erat lagi dengan negeri kanguru. Misalnya melakukan kegiatan kamtibmas secara bersama-sama, ditambah kegiatan ‘intai-mengintai’ dan saling tukar informasi. Banyak juga yang lain beranggapan hal ini merupakan tindak lanjut dari ‘penekanan terhadap kedua agama’ Di dalam negeri setelah terjadinya penghancuran terhadap dua gedung kembar di negeri super power sana.
Terkait dengan permasalahan di atas banyak komentar dari banyak tokoh dalam negeri, apalagi yang menyangkut bidang politik dan kekuasaan diantaranya ada yang mengatakan ini konsekuensi logis akibat adanya ketidak adilan, dominasi dalam berbagai bidang, eksploitasi dan jenis-jenis isme-isme dan idiologi lain yang dibawa oleh negeri barat ke dalam negeri. Dalam skala lain banyak yang menyatakan rakyat dalam negeri mengalami krisis identitas diri sebagai satu kesatuan yang diwajibkan untuk dipertanyakan lagi, masuk dalam rumah yang mereka tidak tau arah dan pintu mana tempat mereka masuk, padahal hanya satu pintu.
Akibatnya jumlah permasalahan makin bertambah banyak terlebih dengan mencuatnya kasus para rakyat negeri yang bekerja di luar negeri, pelecehan seksual, hukuman rajam dan para calo yang tidak bertanggungjawab. Padahal kalau ingin jujur, merekalah sebenarnya asset negeri yang banyak mendapatkan pendapatan dalam negeri, ditambah lagi para anak negeri yang ingin keluar dari negeri sendiri, dengan membentuk negeri yang baru. Sepertinya rakyat negeri dengan pengalam hidup dalam sistem pemerintahan yang telah mereka jalani telah dibekali dengan berbagai pelajaran berharga tentang berbagai tindak ketidakwajaran dan ketidakadilan, karenanya wajar saja jika mereka berkeinginan untuk mensejahterakan diri dengan melalui pelepasan diri dari sistem yang tidak adil. Walau cukup efektif kiranya bualan yang diberikan oleh sistem lama dengan menciptakan kebijakan yang bertujuan untuk mengatur sendiri urusan rumah tangga negeri sendiri, dan semoga dengan hal ini tidak meninabobokan dan menciptakan para punggawa negeri dengan warisan bentuk penindasan dan eksploitasi gaya baru.
Demikian kiranya sederet permasalahan yang dapat kita telaah dalam berbagai dimensi kehidupan, dengan tujuan ini sebenarnya maksud dan tujuan penulis mengembangkan dan mereview balik yakni agar dapat menciptakan bentuk kesadaran krisis rakyat negeri. Tentang keadaan yang meninabobokkan mereka, dan tidak melulu disibukkan dengan orientasi jangka pendek yang tanpa disadari melanjutkan sisi realitas hidup yang terus memprihatinkan yang selanjutnya bagaimana bentuk solusi yang diinginkan untuk menghilangkan ketidakadilan dapat bersama dipikirkan tentu dengan kebebasan dan tanggung jawab.
Akhir kata seratus halamanpun takkan habis jika terus mengkaji dan bercermin dari perjalanan sejarah, namun yang terbaik yakni kemampuan kita dalam menangkap semangat dari berbagai bentuk pemikiran dan telaah krisis yang tidak menginginkan langgengnya status quo dalam berbagai bidang yang tak disadari, akhirnya, mari memikirkan, dan bekerjasama.
0 Comments:
Post a Comment