Mengatakan bahwa Islam adalah agama universal hamper sama kedengarannya dengan mengatakan bahwa bumi itu bulat. Hal itu benar, terutama untuk masa akhir-akhir ini, ketika ide tersebut yang dikemukakan orang baik sebagai suatu sekedar bagian dari apologi maupun untuk pembahasan yang lebih sungguh-sungguh. Hokum islam itu dalam kenyataan sebenarnya adalah produk pemikiran hokum islam yang merupakan hasil interaksi antara yuris muslim sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya2
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin senantiasa dituntut untuk mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan manusia yang universal, sehingga islam tidak pernah kehilangan relevansinya baik dengan waktu maupun tempat sebagai8mana yang pesimis kepadanya, sehingga islam dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajarannya mampu menjadi manhaj manusia dalam berprilaku dan berhubungan dengan lingkungan zaman dan alam, dan juga mampu membentuk tatanan masyarakat yang berkeadilan.
Mahmud Syaltut akan memberikan pemahaman kepada kita bagaimana agar islam bias dipahami dengan baik, dan dapat dipahami dan diamalkan dengan mudah, sehingga islam akan selalu kondisional dan dapat selalu beradaptasi dengan perkembangan kehidupan manusia, khususnya manusia modern.
Terdapat dua aspek yang menonjol dalam pemikiran Syaltut yaitu terkait masalah-masalah kontemporer serta masalah fanatisme mazhab. Hal inilah yang dibahas dalam makalah ini yakni untuk mengetahui factor apa yang berpengaruh dalam pemikirannya.
Biografi Singkat Mahmud Syaltut dan Karyanya.
Mahmud Syaltut dilahirkan tahun 1893 di desa Maniyah, bani Mansur Propinsi Bukahirah, Mesir. Sejak kecil Syaltut telah memperlihatkan keinginan yang besar dalam ber-tafaquh fid diin (belajar islam). Pendidikannya dimulai dikampung halamannya dengan menghafal al qur’an pada seorang ulama setempat.3
Pada tahun 1906, Syaltut mengajar dialmamaternya. Bersamaan dengan itu terjadi gerakan revolusi rakyat mesir melawan colonial Inggris. Ia ikut berjuang melalui ketajaman pena dan kepiawaian lisannya sehingga banyak sekali tulisannya diterbitkan. Disamping itu pula ia juga terlibat mempelopori jama’ah al-Taqrib Baina al-Mazahib, sebuah organisasi anti fanatisme mazhab dalam hokum islam.
Dari almamaternya Syaltut lalu pindah ke Al-Azhar, selain sebagai pengajar di institusi pendidikan tertua di dunia ini, ia menjabat beberapa jabatan penting, mulai dari penilik pada sekolah-sekolah agama, wakil dekan fakultas syari’ah, pengawas umum kantor lembaga penelitian dan kebudayaan islam Al-Azhar, wakil Syeikh Azhar (pimpinan tertinggi Al-Azhar). Ulama dan tokoh kharismatik ini meninggal dunia pada tanggal 19 Desember 1963.
Saat menjadi pengajar di Al-Azhar pada tahun 1927 ia sudah mulai melakukan usaha-usaha pembaharuan pemikiran dengan gagasan bahwa sudah saatnya Al-Azhar melakukan reformasi ilmu pengetahuan dan tidak tertutup bagi kemajuan zaman namun hal ini ditentang oleh ulama-ulama tradisional yang menguasai Al-Azhar dan iapun sempat dikeluarkan dari Al-Azhar.
Pada masa hidup Syaltut, mesir saat itu sedang mengalami perubahan social yang begitu cepat. Kedatangan bangsa Eropa dengan kemajuan teknologinya membuka cakrawala berfikir masyarakat Mesir, tidak terkecuali terhadap cara pandang dan berfikirnya Syaltut.
Ditengah pergulatan nilai-nilai budaya lamadan nilai-nilai budaya baru itu, Syaltut tumbuh dan berkembang seirama dengan perkembangan social dan budaya tersebut. Interaklsi social budaya Eropa dengan masyarakat mesir yang begitu intens, berakibat merubah cara pandang dan cara berfikir masyarakat Mesir. Bahkan berakibat pula merubah struktur social yang telah ada. Berubahnya cara pandang dan struktur social masyarakat mesir tersebut berpengaruh juga terhadap pemikiran Syaltut. Kenyataan ini dapat dilihat dari timbulnya budaya baru dikalangan masyarakat Mesir saat itu kaum pria cenderung melakukan perkawinan dengan non muslimah dari kalangan bangsa Eropa. Sehingga Syaltut dalam fatwanya melarang perkawinan seorang pria muslim dengan wanita Eropa non muslimah karena dikhawatirkan pria beserta anaknya akan terpengaruh dengan budaya dan agama istrinya.
Beberapa karya Mahmud Syaltut yang terkenal antara lain Tafsir al Qur’an al-Karim al-Ajza’ al-‘Asyra al-‘Ula, Al-Fatawa, Al-Islam ‘Aqidah wa Syariah dan MUqarranah al-Mazahib Fi al-Fiqh.
Pokok Pemikiran Mahmud Syaltut Tentang Ijtihad.
Terdapat berbagai macam rumusan yang dikemukakan ulama berkaitan dengan ijtihad. Namun dari rumusan-rumusan tersebut dapat diambil beberapa esensi yang menjadi syarat bagi terwujudnya ijtihad, yakni : pertama, ijtihad merupakan upaya pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh ulama; kedua, tujuan ijtihad adalah untuk mendapatkan kepastian hokum yang sifatnya zanni; ketiga, ijtihad dilakukan terhadap hokum yang sifatnya amali; keem[at, dilakukan dengan melalui istinbat; kelima, obyek ijtihad hanyalah dalil-dalil yang zanni atau yang tidak ada dalilnya sama sekali.4
Mahmud Syaltut mempunyai pendapat yang tegas bahwa ijtihad untuk selamanya tetap terbuka. Menurutnya pengakuan hak berijtihad secara perseorangan maupun kolektif seluas-luasnya kepada ulama untuk menciptakan aturan-aturan dalam rangka mengatur urusan masyarakat islam sesuai perkembangan zaman, asalkan tidak bertentangan dengan pokok-pokok syariah yang pasti (usul al-syari’ah al-qat’iyah).
Menurut Syaltut sumber hokum bagi seseorang yang melakukan ijtihad adalah Al Qur’an, Al-Sunnah, dan Ra’yu. Dengan urutan yang tegas artinya terhadap masalah yang diijtihadi, pertama harus dicari rujukannya dalam Al-Qur’an. Bila tidak ditemukan maka beralih ke Al-Sunnah. Jika tidak ditenmukan informasinya dalam Al Qur’an dan Al Sunnah maka menggunakan al-Ra’yu.
Dalam persfektif Syaltut, bahwa melakukan ijtihad dengan ra’yu adalah mempersamakan hokum terhadap masalah yang tidak ada nashnya dengan masalah yang telah ada hukumnya dalam nash. Termasuk dalam lingkup menggunakan al-ra’yu menurut Syaltut adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah kulliyah. Kulliyah yang diserap dari nasah terhadap masalah yang tidak ditunjuk oleh nash. Syaltut memiliki pemikiran yang sejalan dengan pendapat ulama yang lain yaitu : bahwa nash al Qur’an yang dikemukakan dengan tegas dan pasti maksudnya dan tidak ada pengertian lain maka tidak diberlakukan ijtihad seperti kewajiban solat, zakat, larangan zina dan lainnya. Sedangkan ayat-ayat yang dikemukakan dalam redaksi yang kurang tegas tentang kandungan yang dimaksud, sehingga menimbulkan perbedaan pemahaman maka ada wilayah ijtihad terhadap ayat tersebut.
Pandangan Syaltut merupakan dorongan agar aktifitas ijtihad dapat berkembang, dan tidak terkungkung dalam suatu paradigm lama. Mengenai sumber hokum ijma’ menurut Syaltut ijma’ yang menjadi sumber hokum adalah ijma’ yang dihasikan terhadap masalah-masalah yang tidak dikemukakan oleh nash. Ijma’ yang demikian itu menjadi sumber hokum yang ketiga dalam penetapan hokum, karena berdasarkan al ra’yu. Sedangkan ijma’ yang dipakai para mujtahid berdasarkan suatu nash maka ijma’ yang demikian itu menurut Syaltut bukan sebagai sumber hokum setelah al Qur’an dan al Sunnah karena landasannya sudah jelas yaitu nash itu sendiri.
Dari uraian di atas tercermin dinamika hokum islam dalam menetap perkembangan zaman, agar perubahan masyarakat yang semakin cepat itu dapat diimbangi pula dengan perkembangan hokum islam, agar tidak ada kesenjangan antara dinamika masyarakat dan perkembangan hokum itu sendiri.
Ikhtilaf dan Taqrib al-Mazahib.
Perbedaan-perbedaan pendapat dalam memahami teks-teks syar’I merupakan kekayaan kita akan wacana pemikiran, dan juga merupakan bagian dari kebebasan berfikir yang diberikan oleh islam kepada manusia dalam rangka memahami agamanya secara detail.
Perbedaan yang timbul itu disebabkan oleh metodologi yang berbeda pada seorang mujtahid dalam memahami nash-nash syar’I, dan juga cara pandang yang berbeda dalam melihat sebuah masalah, sehingga hasil ijtihadnyapun berbeda.
Perbedaan-perbedaan yang muncul dan akhirnya menjadi sekte-sekte ataupun aliran-aliran, menurut Syaltut merupakan proses menyejarah. Sejarah menunjukkan setelah nabi saw wafat banyak pemahaman-pemahaman yang berbeda dalam melihat nash-nash syar’I dan akhirnya perbedaan-perbedaan ini banyak termuati oleh nuansa-nuansa politis dan muatan-muatan fanatic. Namun demikian menurut Syaltut walaupun jurang perbedaan diantara mereka begitu besar bahkan sulit untuk disatukan, tetapi pada hakekatnya mereka mempunyai satu sasaran tujuan yang sama dalam memahami islam yaitu mencari kebenaran. Walaupun kebenaran yang diyakini dan didapatinya menimbulkan perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.
Oleh karena sebenarnya ada satu prinsip dan hakikat tujuan yang sama tersebut antara satu mazhab dengan mazhab lainnya dalam memahami nash-nash syar’I, Syaltut melontarkan gagasan tentang “Taqrib al Mazahib” di mana kita berusaha mempersatukan visi dan persepsi pemahaman keagamaan kita tanpa melihat symbol-simbol aliran yang kita yakini, dan dengan meminimalisir fanatisme mazhab yang selama ini membekas dalam prilaku keagamaan kita. Gagasan ini bukan berarti kita harus menghilangkan pluralism mazhab yang ada, ataupun menyatukan antara mazhab yang satu dengan mazhab lainnya, tetapi lebih diarahkan untuk mengurangi sekat-sekat keagamaan yang telah menyejarah, dan membersihkannya dari unsure-unsur fanatisme aliran, sehingga umat islam bias menyamakan barisannya dan menghimpun kekuatannya dalam satu kekuatan besar tanpa melihat mazhab yang diyakininya.
Dalam konteks ini Syaltut memberikan komentar terhadap buku DR Musthof Syak’ah “Islam Bila Mazahib” bahwa karya ini relevan dengan dinamika pluralitas pemahaman keagamaan yang selama ini telah menyejarah, sehingga dengan karya ini kita diharapkan mampu memahami dan menyadari tentang perbedaan-perbedaan pemahaman keagamaan yang muncul dan berkembang sampai saat ini. Dan dengan kesadaran ini pula, pada akhirnya kita dapat meminimalisir perbedaan ataupun fanatisme mazhab yang ada, untuk selanjutnya kekayaan akan pluralitas itu kita dayagunakan dan kita himpun menjadi sebuah kekuatan.5
Beberapa Produk Ijtihad Mahmud Syaltut
Dalam percaturan intelektual Syaltut dikenal sebagai tokoh dan cendikiawan yang memiliki tipologi seorang mujtahid dan mujaddid dengan pemikiran islam moderat dan fleksibel. Itu bias dilihat terutama dalam pandangannya mengenai relasi antar agama, hokum islam, pluralism dan ragam aliran pemikiran dalam islam.
Dalam masalah kebebasan beragama misalnya, Syaltut melihat bahawa hal itu sesuatu yang mesti dan dijamin dalam islam. Manusia, katanya, mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Dengan kemampuan akal dan amal yang diperbuatnya, derajat manusia akan makin dekat dengan sang Khalik. Manusia diciptakan Tuhan bebas untuk melakukan apa yang diingininya.
Dalam mengkaji suatu masalah, ia selalu menggunakan pendekatan naql dan aql. Hal demikian lalu ia konvergensikan dengan penajaman pandangannya, dan menimbang apa yang disampaikan oleh ulama sebelumnya untuk kemudian ia pertimbangkan menjadi suatu keputusan hokum. Konsistensi dalam berpendapat selalu dipegang erat. Karena itu, tak jarang Syaltut berbeda pendapat dengan ulama lain.
Dalam pembaharuan pemikirannya, Syaltut dengan logika yang cerdas melakukan penafsiran ulang terhadap ayat nash Al Qur’an yang dianggap kurang tepat. Ia tergolong ulama yang mengembangkan penafsiran al-maudhu’I (tematik) dan diakui kontribusinya dalam pengembangan tafsir. Ia juga mempunyai visi yang jelas dalam emmahami dan menafsirkan teks nash yaitu ayat-ayat Al Qur’an yang berlatarbelakang sosiologis tidak seharusnya dipahami dan ditafsirkan secara teologis. Dengan demikian, Syaltut berusaha keras merombak argument-argumen tafsir atas ayat sosiologis yang telah dipatenkan menjadi ayat-ayat teologis yang bersifat absolute itu menjadi ayat-ayat sosiologis yang bersifat kontekstual. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya atas firman allah swt dalam Q.S. Al Baqarah ayat 282.
Menurutnya, misi dari ayat tersebut adalah berkaitan dengan soal kepercayaan mengenai transaksi hutang piutang, bukan berkaitan dengan persoalan didepan pengadilan. Mengenai disebutkan dalam ayat tersebut “satu orang laki-laki dan dua orang wanita” karena saat itu (secara sosiologis) wanita terbiasa terjun dalam perniagaan, sehingga dikhawatirkan ingatannya agak lemah dibandingkan dengan kaum laki-laki yang saat itu menekuninya. Syaltut menegaskan “bahwa al Qur’an diwahyukan pada saat kaum wanita tidak lazim aktif dalam berbagai transaksi financial dan kurang akrab dengan masalah perniagaan dibandingkan dengan kaum laki-laki, karenanya ingatan kaum wanita dalam urusan keuangan lemah, sebaliknya dalam urusan rumah tangga wanita lebih unggul” Syaltut menegasakan “jika kaum wanita itu berada dalam posisi dan tradisi ikut terlibat dalam urusan perdagangan, keuangan dan transaksi hutang piutang, maka tentu saja mereka berhak mensejajarkan diri untuk mendapatkan kepercayaan dan kesaksiansebagaimana kepercayaan yang diperoleh laki-laki”
Pemikiran Syaltut lainnya yang cukup signifikan yang dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan hokum islam adalah prinsip mengedepankan persamaan hak didepan hokum demi keadilan dan nilai kemanusiaan diatas sekat-sekat social agama, social kemayarakatan dan perbedaan gender. Oleh karena itu menurutnya, tidak ada perbedaan perlakuan dihadapan hokum antar orang islam dan non islam, laki-laki dan wanita, antara merdeka dan hamba sahaya, antara orang tua dan anaknya. Semuanya sama dihadapan hokum.
Dalam bidang muamalah, Syaltut bersikap fleksibel. Menurutnya parinsip syari’at islam dalam bidang muamalah adalah terpenuhinya maslahah. Apalagi jika suatu masalah itu tidak ada larangan dalam nash, maka hal itu diperbolehkan. Pendekatan maslahah yang digunakan dalam bidang muamalah ini mengantarkan kepada suatu pendapat bahwa keuntungan dari Bank tabungan Kantor Pos itu boleh dan aktivitas obligasi itu tidak bertentangan dengan syariah islam. Menurut Syaltut, bahwa keuntungan yang diberikan kepada Bank Tabungan Kantor Pos kepada pemilik modal adalah halal, karena uang yang dititipkan oleh pemiliknya bukan merupakan hutang bank, melainkan merupakan penyertaan modal pemilik uang untuk kemaslahatan bank. Dengan demikian kantor pos dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Dalam pemikiran hokum, Syaltut berasumsi bahwa terwujudnya suatu maslahah itu sesuai dengan sityuasi dan kondisi yang ada, saat suatu maslahah itu terjadi sehingga mendorong seorang mujtahid untuk melakukan ijtihad. Dengan pemikiran seperti ini, maka dapat dimaklumi jika ia berpendapat bahwa seseorang yang melakukan perzinaan maka orang tersebut dikenakan had walaupun tanpa ada empat orang saksi laki-laki. Dikenakannya hukuman had dalam kasus tersebut karena adanya maslahah yang menghendakinya yaitu agar kehormatan seseorang, kerukunan rumah tangga dan ketenangannya terjaga, serta keturunannya juga terjaga.
Prinsip Syaltut yang mengedepankan maslahah juga terlihat dalam pemikirannya dalam merespon masalah baru yang timbul dalam masyarakat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Hal ini terlihat dari pendapatnya yang menyatakan dengan tegas kebolehan inseminasi buatan dengan persyaratan : pertama, inseminasi dilakukan dengan sperma si suami sendiri, kedua, ovum dibuahi harus dari istri sendiri dan ketiga, rahim tempat kandungan itu dibesarkan harus dalam kandungan istri sendiri dan terakhir, inseminasi diperlukan untuk membantu pasangan suami istri yang mandul harus sesuai dengan ketentuan syara’.
Pemikiran lainnya dalam masalah kontemporer adalah kebolehan melakukan keluarga berencana (KB). Menurut Syaltut perdebatan yang terjadi dikalangan pakar hokum islam tentang KB dikarenakan mereka mengasumsikan KB dengan pengertian Tahdid an-Nasl (pembatasan anak/keturunan) atau dengan pengertian Taqlil an-Nasl (penyedikitan anak/keturunan) saja, tidak dengan pemahaman lain. Maka Syaltut memberikan pemahaman KB dalam pengertian Tanzim an-Nasl (pengaturan keturunan/penjarangan kelahiran). Dengan demikian diperbolehkannya melakukan KB harus dengan berbagai pertimbangan antara lain terpeliharanya kesehatan dan keselamatan ibu dan anak baik jasmani maupun rohani, selama mengandung, melahirkan dan memelihara anak serta terpeliharanya kesehatan anak akibat penyakit bawaan orang tuanya.
Sebagai penutup perlu dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut : pertama, pemikiran Mahmud Syaltut banyak dipengaruhi oleh system social, dimana budaya masyarakat Mesir saat itu sedang mengalami pergumulan dengan budaya Eropa sehingga banyak budaya dan masalah-masalah kontemporer saat itu menjadi perdebatan disamping juga masih kuatnya fanatisme mazhab. Kedua, Mahmud Syaltut melakukan ijtihad dengan menggunakan al ra’yu sebagai sumber hokum ketiga setelah al Qur’an dan al Hadits. Ijtihad dengan ra’yu adalah mempersamakan hokum terhadap masalah yang tidak ada nashnya dengan masalah yang telah ada dalam nash. Ketiga, dalam persfektif pembaruan hokum islam dalam bidang muamalah dewasa ini, pemikiran tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan. Konsep muamalah yang fleksibel akan lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat dimana hokum itu diberlakukan.
Daftar Pustaka
Taha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, UII Press, Yogyakarta, 2001.
www.republika.co.id./index_suplemen.asp?mid=5&kat_id=147&kat_id1=217.
H,M. Atho Mudzhar, Membuka Cakrawala Ijtihad : antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta. Titian Ilahi Press, 1998.
http://members.tripod.com/adm/img/common/ot_smallframe.gif?rand=25451=KMNU Online
Arief H. Abd. Salam Pembnaharuan Pemikiran Hukum Islam : antara Fakta dan Realita, LESFI, Yogyakarta, 2003.
Widjan, aden SZ dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, Safiria Insania Press, Yogyakarta, 2007.
1 Disampaikan dalam diskusi kelas mata kuliah : Pendekatan dalam Pengkajian Islam. Dosen Pengampu Prof. Dr. H. Akh. Minhaji, M.A. Program Studi : Hukum Islam, Konsentrasi : Keuangan dan Perbankan Syariah, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2007. M. Safwan adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2007/2008.
2 Taha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, UII Press, Yogyakarta, 2001.
3www.republika.co.id./index_suplemen.asp?mid=5&kat_id=147&kat_id1=217.
4 H,M. Atho Mudzhar, Membuka Cakrawala Ijtihad : antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta. Titian Ilahi Press, 1998. Hal.60
5 http://members.tripod.com/adm/img/common/ot_smallframe.gif?rand=25451=KMNU Online
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin senantiasa dituntut untuk mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan manusia yang universal, sehingga islam tidak pernah kehilangan relevansinya baik dengan waktu maupun tempat sebagai8mana yang pesimis kepadanya, sehingga islam dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajarannya mampu menjadi manhaj manusia dalam berprilaku dan berhubungan dengan lingkungan zaman dan alam, dan juga mampu membentuk tatanan masyarakat yang berkeadilan.
Mahmud Syaltut akan memberikan pemahaman kepada kita bagaimana agar islam bias dipahami dengan baik, dan dapat dipahami dan diamalkan dengan mudah, sehingga islam akan selalu kondisional dan dapat selalu beradaptasi dengan perkembangan kehidupan manusia, khususnya manusia modern.
Terdapat dua aspek yang menonjol dalam pemikiran Syaltut yaitu terkait masalah-masalah kontemporer serta masalah fanatisme mazhab. Hal inilah yang dibahas dalam makalah ini yakni untuk mengetahui factor apa yang berpengaruh dalam pemikirannya.
Biografi Singkat Mahmud Syaltut dan Karyanya.
Mahmud Syaltut dilahirkan tahun 1893 di desa Maniyah, bani Mansur Propinsi Bukahirah, Mesir. Sejak kecil Syaltut telah memperlihatkan keinginan yang besar dalam ber-tafaquh fid diin (belajar islam). Pendidikannya dimulai dikampung halamannya dengan menghafal al qur’an pada seorang ulama setempat.3
Pada tahun 1906, Syaltut mengajar dialmamaternya. Bersamaan dengan itu terjadi gerakan revolusi rakyat mesir melawan colonial Inggris. Ia ikut berjuang melalui ketajaman pena dan kepiawaian lisannya sehingga banyak sekali tulisannya diterbitkan. Disamping itu pula ia juga terlibat mempelopori jama’ah al-Taqrib Baina al-Mazahib, sebuah organisasi anti fanatisme mazhab dalam hokum islam.
Dari almamaternya Syaltut lalu pindah ke Al-Azhar, selain sebagai pengajar di institusi pendidikan tertua di dunia ini, ia menjabat beberapa jabatan penting, mulai dari penilik pada sekolah-sekolah agama, wakil dekan fakultas syari’ah, pengawas umum kantor lembaga penelitian dan kebudayaan islam Al-Azhar, wakil Syeikh Azhar (pimpinan tertinggi Al-Azhar). Ulama dan tokoh kharismatik ini meninggal dunia pada tanggal 19 Desember 1963.
Saat menjadi pengajar di Al-Azhar pada tahun 1927 ia sudah mulai melakukan usaha-usaha pembaharuan pemikiran dengan gagasan bahwa sudah saatnya Al-Azhar melakukan reformasi ilmu pengetahuan dan tidak tertutup bagi kemajuan zaman namun hal ini ditentang oleh ulama-ulama tradisional yang menguasai Al-Azhar dan iapun sempat dikeluarkan dari Al-Azhar.
Pada masa hidup Syaltut, mesir saat itu sedang mengalami perubahan social yang begitu cepat. Kedatangan bangsa Eropa dengan kemajuan teknologinya membuka cakrawala berfikir masyarakat Mesir, tidak terkecuali terhadap cara pandang dan berfikirnya Syaltut.
Ditengah pergulatan nilai-nilai budaya lamadan nilai-nilai budaya baru itu, Syaltut tumbuh dan berkembang seirama dengan perkembangan social dan budaya tersebut. Interaklsi social budaya Eropa dengan masyarakat mesir yang begitu intens, berakibat merubah cara pandang dan cara berfikir masyarakat Mesir. Bahkan berakibat pula merubah struktur social yang telah ada. Berubahnya cara pandang dan struktur social masyarakat mesir tersebut berpengaruh juga terhadap pemikiran Syaltut. Kenyataan ini dapat dilihat dari timbulnya budaya baru dikalangan masyarakat Mesir saat itu kaum pria cenderung melakukan perkawinan dengan non muslimah dari kalangan bangsa Eropa. Sehingga Syaltut dalam fatwanya melarang perkawinan seorang pria muslim dengan wanita Eropa non muslimah karena dikhawatirkan pria beserta anaknya akan terpengaruh dengan budaya dan agama istrinya.
Beberapa karya Mahmud Syaltut yang terkenal antara lain Tafsir al Qur’an al-Karim al-Ajza’ al-‘Asyra al-‘Ula, Al-Fatawa, Al-Islam ‘Aqidah wa Syariah dan MUqarranah al-Mazahib Fi al-Fiqh.
Pokok Pemikiran Mahmud Syaltut Tentang Ijtihad.
Terdapat berbagai macam rumusan yang dikemukakan ulama berkaitan dengan ijtihad. Namun dari rumusan-rumusan tersebut dapat diambil beberapa esensi yang menjadi syarat bagi terwujudnya ijtihad, yakni : pertama, ijtihad merupakan upaya pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh ulama; kedua, tujuan ijtihad adalah untuk mendapatkan kepastian hokum yang sifatnya zanni; ketiga, ijtihad dilakukan terhadap hokum yang sifatnya amali; keem[at, dilakukan dengan melalui istinbat; kelima, obyek ijtihad hanyalah dalil-dalil yang zanni atau yang tidak ada dalilnya sama sekali.4
Mahmud Syaltut mempunyai pendapat yang tegas bahwa ijtihad untuk selamanya tetap terbuka. Menurutnya pengakuan hak berijtihad secara perseorangan maupun kolektif seluas-luasnya kepada ulama untuk menciptakan aturan-aturan dalam rangka mengatur urusan masyarakat islam sesuai perkembangan zaman, asalkan tidak bertentangan dengan pokok-pokok syariah yang pasti (usul al-syari’ah al-qat’iyah).
Menurut Syaltut sumber hokum bagi seseorang yang melakukan ijtihad adalah Al Qur’an, Al-Sunnah, dan Ra’yu. Dengan urutan yang tegas artinya terhadap masalah yang diijtihadi, pertama harus dicari rujukannya dalam Al-Qur’an. Bila tidak ditemukan maka beralih ke Al-Sunnah. Jika tidak ditenmukan informasinya dalam Al Qur’an dan Al Sunnah maka menggunakan al-Ra’yu.
Dalam persfektif Syaltut, bahwa melakukan ijtihad dengan ra’yu adalah mempersamakan hokum terhadap masalah yang tidak ada nashnya dengan masalah yang telah ada hukumnya dalam nash. Termasuk dalam lingkup menggunakan al-ra’yu menurut Syaltut adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah kulliyah. Kulliyah yang diserap dari nasah terhadap masalah yang tidak ditunjuk oleh nash. Syaltut memiliki pemikiran yang sejalan dengan pendapat ulama yang lain yaitu : bahwa nash al Qur’an yang dikemukakan dengan tegas dan pasti maksudnya dan tidak ada pengertian lain maka tidak diberlakukan ijtihad seperti kewajiban solat, zakat, larangan zina dan lainnya. Sedangkan ayat-ayat yang dikemukakan dalam redaksi yang kurang tegas tentang kandungan yang dimaksud, sehingga menimbulkan perbedaan pemahaman maka ada wilayah ijtihad terhadap ayat tersebut.
Pandangan Syaltut merupakan dorongan agar aktifitas ijtihad dapat berkembang, dan tidak terkungkung dalam suatu paradigm lama. Mengenai sumber hokum ijma’ menurut Syaltut ijma’ yang menjadi sumber hokum adalah ijma’ yang dihasikan terhadap masalah-masalah yang tidak dikemukakan oleh nash. Ijma’ yang demikian itu menjadi sumber hokum yang ketiga dalam penetapan hokum, karena berdasarkan al ra’yu. Sedangkan ijma’ yang dipakai para mujtahid berdasarkan suatu nash maka ijma’ yang demikian itu menurut Syaltut bukan sebagai sumber hokum setelah al Qur’an dan al Sunnah karena landasannya sudah jelas yaitu nash itu sendiri.
Dari uraian di atas tercermin dinamika hokum islam dalam menetap perkembangan zaman, agar perubahan masyarakat yang semakin cepat itu dapat diimbangi pula dengan perkembangan hokum islam, agar tidak ada kesenjangan antara dinamika masyarakat dan perkembangan hokum itu sendiri.
Ikhtilaf dan Taqrib al-Mazahib.
Perbedaan-perbedaan pendapat dalam memahami teks-teks syar’I merupakan kekayaan kita akan wacana pemikiran, dan juga merupakan bagian dari kebebasan berfikir yang diberikan oleh islam kepada manusia dalam rangka memahami agamanya secara detail.
Perbedaan yang timbul itu disebabkan oleh metodologi yang berbeda pada seorang mujtahid dalam memahami nash-nash syar’I, dan juga cara pandang yang berbeda dalam melihat sebuah masalah, sehingga hasil ijtihadnyapun berbeda.
Perbedaan-perbedaan yang muncul dan akhirnya menjadi sekte-sekte ataupun aliran-aliran, menurut Syaltut merupakan proses menyejarah. Sejarah menunjukkan setelah nabi saw wafat banyak pemahaman-pemahaman yang berbeda dalam melihat nash-nash syar’I dan akhirnya perbedaan-perbedaan ini banyak termuati oleh nuansa-nuansa politis dan muatan-muatan fanatic. Namun demikian menurut Syaltut walaupun jurang perbedaan diantara mereka begitu besar bahkan sulit untuk disatukan, tetapi pada hakekatnya mereka mempunyai satu sasaran tujuan yang sama dalam memahami islam yaitu mencari kebenaran. Walaupun kebenaran yang diyakini dan didapatinya menimbulkan perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.
Oleh karena sebenarnya ada satu prinsip dan hakikat tujuan yang sama tersebut antara satu mazhab dengan mazhab lainnya dalam memahami nash-nash syar’I, Syaltut melontarkan gagasan tentang “Taqrib al Mazahib” di mana kita berusaha mempersatukan visi dan persepsi pemahaman keagamaan kita tanpa melihat symbol-simbol aliran yang kita yakini, dan dengan meminimalisir fanatisme mazhab yang selama ini membekas dalam prilaku keagamaan kita. Gagasan ini bukan berarti kita harus menghilangkan pluralism mazhab yang ada, ataupun menyatukan antara mazhab yang satu dengan mazhab lainnya, tetapi lebih diarahkan untuk mengurangi sekat-sekat keagamaan yang telah menyejarah, dan membersihkannya dari unsure-unsur fanatisme aliran, sehingga umat islam bias menyamakan barisannya dan menghimpun kekuatannya dalam satu kekuatan besar tanpa melihat mazhab yang diyakininya.
Dalam konteks ini Syaltut memberikan komentar terhadap buku DR Musthof Syak’ah “Islam Bila Mazahib” bahwa karya ini relevan dengan dinamika pluralitas pemahaman keagamaan yang selama ini telah menyejarah, sehingga dengan karya ini kita diharapkan mampu memahami dan menyadari tentang perbedaan-perbedaan pemahaman keagamaan yang muncul dan berkembang sampai saat ini. Dan dengan kesadaran ini pula, pada akhirnya kita dapat meminimalisir perbedaan ataupun fanatisme mazhab yang ada, untuk selanjutnya kekayaan akan pluralitas itu kita dayagunakan dan kita himpun menjadi sebuah kekuatan.5
Beberapa Produk Ijtihad Mahmud Syaltut
Dalam percaturan intelektual Syaltut dikenal sebagai tokoh dan cendikiawan yang memiliki tipologi seorang mujtahid dan mujaddid dengan pemikiran islam moderat dan fleksibel. Itu bias dilihat terutama dalam pandangannya mengenai relasi antar agama, hokum islam, pluralism dan ragam aliran pemikiran dalam islam.
Dalam masalah kebebasan beragama misalnya, Syaltut melihat bahawa hal itu sesuatu yang mesti dan dijamin dalam islam. Manusia, katanya, mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Dengan kemampuan akal dan amal yang diperbuatnya, derajat manusia akan makin dekat dengan sang Khalik. Manusia diciptakan Tuhan bebas untuk melakukan apa yang diingininya.
Dalam mengkaji suatu masalah, ia selalu menggunakan pendekatan naql dan aql. Hal demikian lalu ia konvergensikan dengan penajaman pandangannya, dan menimbang apa yang disampaikan oleh ulama sebelumnya untuk kemudian ia pertimbangkan menjadi suatu keputusan hokum. Konsistensi dalam berpendapat selalu dipegang erat. Karena itu, tak jarang Syaltut berbeda pendapat dengan ulama lain.
Dalam pembaharuan pemikirannya, Syaltut dengan logika yang cerdas melakukan penafsiran ulang terhadap ayat nash Al Qur’an yang dianggap kurang tepat. Ia tergolong ulama yang mengembangkan penafsiran al-maudhu’I (tematik) dan diakui kontribusinya dalam pengembangan tafsir. Ia juga mempunyai visi yang jelas dalam emmahami dan menafsirkan teks nash yaitu ayat-ayat Al Qur’an yang berlatarbelakang sosiologis tidak seharusnya dipahami dan ditafsirkan secara teologis. Dengan demikian, Syaltut berusaha keras merombak argument-argumen tafsir atas ayat sosiologis yang telah dipatenkan menjadi ayat-ayat teologis yang bersifat absolute itu menjadi ayat-ayat sosiologis yang bersifat kontekstual. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya atas firman allah swt dalam Q.S. Al Baqarah ayat 282.
Menurutnya, misi dari ayat tersebut adalah berkaitan dengan soal kepercayaan mengenai transaksi hutang piutang, bukan berkaitan dengan persoalan didepan pengadilan. Mengenai disebutkan dalam ayat tersebut “satu orang laki-laki dan dua orang wanita” karena saat itu (secara sosiologis) wanita terbiasa terjun dalam perniagaan, sehingga dikhawatirkan ingatannya agak lemah dibandingkan dengan kaum laki-laki yang saat itu menekuninya. Syaltut menegaskan “bahwa al Qur’an diwahyukan pada saat kaum wanita tidak lazim aktif dalam berbagai transaksi financial dan kurang akrab dengan masalah perniagaan dibandingkan dengan kaum laki-laki, karenanya ingatan kaum wanita dalam urusan keuangan lemah, sebaliknya dalam urusan rumah tangga wanita lebih unggul” Syaltut menegasakan “jika kaum wanita itu berada dalam posisi dan tradisi ikut terlibat dalam urusan perdagangan, keuangan dan transaksi hutang piutang, maka tentu saja mereka berhak mensejajarkan diri untuk mendapatkan kepercayaan dan kesaksiansebagaimana kepercayaan yang diperoleh laki-laki”
Pemikiran Syaltut lainnya yang cukup signifikan yang dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan hokum islam adalah prinsip mengedepankan persamaan hak didepan hokum demi keadilan dan nilai kemanusiaan diatas sekat-sekat social agama, social kemayarakatan dan perbedaan gender. Oleh karena itu menurutnya, tidak ada perbedaan perlakuan dihadapan hokum antar orang islam dan non islam, laki-laki dan wanita, antara merdeka dan hamba sahaya, antara orang tua dan anaknya. Semuanya sama dihadapan hokum.
Dalam bidang muamalah, Syaltut bersikap fleksibel. Menurutnya parinsip syari’at islam dalam bidang muamalah adalah terpenuhinya maslahah. Apalagi jika suatu masalah itu tidak ada larangan dalam nash, maka hal itu diperbolehkan. Pendekatan maslahah yang digunakan dalam bidang muamalah ini mengantarkan kepada suatu pendapat bahwa keuntungan dari Bank tabungan Kantor Pos itu boleh dan aktivitas obligasi itu tidak bertentangan dengan syariah islam. Menurut Syaltut, bahwa keuntungan yang diberikan kepada Bank Tabungan Kantor Pos kepada pemilik modal adalah halal, karena uang yang dititipkan oleh pemiliknya bukan merupakan hutang bank, melainkan merupakan penyertaan modal pemilik uang untuk kemaslahatan bank. Dengan demikian kantor pos dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Dalam pemikiran hokum, Syaltut berasumsi bahwa terwujudnya suatu maslahah itu sesuai dengan sityuasi dan kondisi yang ada, saat suatu maslahah itu terjadi sehingga mendorong seorang mujtahid untuk melakukan ijtihad. Dengan pemikiran seperti ini, maka dapat dimaklumi jika ia berpendapat bahwa seseorang yang melakukan perzinaan maka orang tersebut dikenakan had walaupun tanpa ada empat orang saksi laki-laki. Dikenakannya hukuman had dalam kasus tersebut karena adanya maslahah yang menghendakinya yaitu agar kehormatan seseorang, kerukunan rumah tangga dan ketenangannya terjaga, serta keturunannya juga terjaga.
Prinsip Syaltut yang mengedepankan maslahah juga terlihat dalam pemikirannya dalam merespon masalah baru yang timbul dalam masyarakat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Hal ini terlihat dari pendapatnya yang menyatakan dengan tegas kebolehan inseminasi buatan dengan persyaratan : pertama, inseminasi dilakukan dengan sperma si suami sendiri, kedua, ovum dibuahi harus dari istri sendiri dan ketiga, rahim tempat kandungan itu dibesarkan harus dalam kandungan istri sendiri dan terakhir, inseminasi diperlukan untuk membantu pasangan suami istri yang mandul harus sesuai dengan ketentuan syara’.
Pemikiran lainnya dalam masalah kontemporer adalah kebolehan melakukan keluarga berencana (KB). Menurut Syaltut perdebatan yang terjadi dikalangan pakar hokum islam tentang KB dikarenakan mereka mengasumsikan KB dengan pengertian Tahdid an-Nasl (pembatasan anak/keturunan) atau dengan pengertian Taqlil an-Nasl (penyedikitan anak/keturunan) saja, tidak dengan pemahaman lain. Maka Syaltut memberikan pemahaman KB dalam pengertian Tanzim an-Nasl (pengaturan keturunan/penjarangan kelahiran). Dengan demikian diperbolehkannya melakukan KB harus dengan berbagai pertimbangan antara lain terpeliharanya kesehatan dan keselamatan ibu dan anak baik jasmani maupun rohani, selama mengandung, melahirkan dan memelihara anak serta terpeliharanya kesehatan anak akibat penyakit bawaan orang tuanya.
Sebagai penutup perlu dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut : pertama, pemikiran Mahmud Syaltut banyak dipengaruhi oleh system social, dimana budaya masyarakat Mesir saat itu sedang mengalami pergumulan dengan budaya Eropa sehingga banyak budaya dan masalah-masalah kontemporer saat itu menjadi perdebatan disamping juga masih kuatnya fanatisme mazhab. Kedua, Mahmud Syaltut melakukan ijtihad dengan menggunakan al ra’yu sebagai sumber hokum ketiga setelah al Qur’an dan al Hadits. Ijtihad dengan ra’yu adalah mempersamakan hokum terhadap masalah yang tidak ada nashnya dengan masalah yang telah ada dalam nash. Ketiga, dalam persfektif pembaruan hokum islam dalam bidang muamalah dewasa ini, pemikiran tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan. Konsep muamalah yang fleksibel akan lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat dimana hokum itu diberlakukan.
Daftar Pustaka
Taha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, UII Press, Yogyakarta, 2001.
www.republika.co.id./index_suplemen.asp?mid=5&kat_id=147&kat_id1=217.
H,M. Atho Mudzhar, Membuka Cakrawala Ijtihad : antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta. Titian Ilahi Press, 1998.
http://members.tripod.com/adm/img/common/ot_smallframe.gif?rand=25451=KMNU Online
Arief H. Abd. Salam Pembnaharuan Pemikiran Hukum Islam : antara Fakta dan Realita, LESFI, Yogyakarta, 2003.
Widjan, aden SZ dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, Safiria Insania Press, Yogyakarta, 2007.
1 Disampaikan dalam diskusi kelas mata kuliah : Pendekatan dalam Pengkajian Islam. Dosen Pengampu Prof. Dr. H. Akh. Minhaji, M.A. Program Studi : Hukum Islam, Konsentrasi : Keuangan dan Perbankan Syariah, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2007. M. Safwan adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2007/2008.
2 Taha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, UII Press, Yogyakarta, 2001.
3www.republika.co.id./index_suplemen.asp?mid=5&kat_id=147&kat_id1=217.
4 H,M. Atho Mudzhar, Membuka Cakrawala Ijtihad : antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta. Titian Ilahi Press, 1998. Hal.60
5 http://members.tripod.com/adm/img/common/ot_smallframe.gif?rand=25451=KMNU Online
0 Comments:
Post a Comment